Tumgik
muhsarifin · 22 days
Text
#36. Takrif Bertumbuh Bersama Semesta
Jika bertambah usia tak lantas memberi rasa sadar akan indahnya daya bertumbuh, mau sampai kapan hidup dengan menimbun penyesalan? Jika kematian adalah kepastian, sampai kapan kita terus berjalan dengan ketidakmuliaan sebagai manusia yang katanya sempurna?
Tumblr media
Menjadi lebih baik adalah pilihan, tidak ada pemaksaan dan tidak perlu dipaksa dalam mencari dan membentuk prosesnya.
Tidak ada yang benar-benar terbaik di antara lainnya,
Siapapun yang berani merawat dirinya sama saja sedang berikrar untuk tidak menyusahkan semesta dalam bergantung dengannya, langsung ataupun tidak langsung.
Jika apa yang kita upayakan, hasil dari kecurangan atau kebohongan yang terlampau sering dilakukan.
Apa alasan semesta untuk menolong di saat kita sedang membutuhkan? Dari orang-orang yang hadir saat dalam kondisi terdesak, solusi yang muncul ketika dibutuhkan dan segala kemudahan yang seringkali tidak masuk akal.
Sadarkah saat diri lebih mudah dalam melalui banyak hal, selain karena doa orang-orang terkasih yang tak henti-hentinya menyertai.
Boleh jadi karena kesediaan kita untuk tidak suka menyusahkan makhluk lainnya, memberi makna akan indahnya saling menguntungkan dan sebagai pengingat bahwa semesta ini bukan hanya kita sebagai manusia yang hidup darinya.
Perjalanan kedepan adalah sebuah anugerah, tidak semua akan sampai jika ternyata usia tak merestuinya. Hidup cuma sekali, sisi emosional sebagai manusia tidak selayaknya dikedepankan, jika itu berarti berdampak buruk dalam proses bertumbuhnya.
Sisi rasional didayakan oleh Allah, tak lain untuk menyeimbangkan daya emosional yang sering meledak-ledak.
Ketika dirundung masalah, lebih banyak menyalahi faktor eksternal sebelum melihat diri sendiri, enggan untuk berpikir terbuka bahwa dunia ini bukan hanya tentang dirimu dan segala pola egoisme dan playing victim yang tanpa sadar dilakukan agar melindungi diri dari zona tidak nyaman.
Tantangan hadir untuk melatih mental sehingga diri sanggup melalui pola tantangan yang lebih melilit rasional apalagi menguji kesabaran dan ketabahan untuk tetap menjaga prinsip menjadi baik.
Jika menjadi baik belum menjadi prinsip, pola benar enggan mendekat dan menyinari perjalanan kedepan. Perlahan pahamilah bahwa menjadi dewasa tentang memegang integritas. Satu hal terpenting, jaga nama baik dengan baik-baik.
Nama baik akan mudah tercoreng, saat latar belakang yang katanya terhormat dilukai masalah atau skandal perkara integritas.
Pada titik ujungnya, hanya nama yang tercatat dalam benak orang-orang yang mengenal kita. Jika kita telah tiada, harum atau tidaknya bergantung pada cara terhormat atau tercela yang kita dayakan selama hidup.
Bertumbuh memerlukan keberanian. Melompati ketidakmungkinan, merayakan kegagalan, meramaikan kesepian dan segala proses yang seringkali menantang rasa ragu dan takut.
Kiranya sepakat dengan pepatah dari Gail Sheehy (American author, journalist and lecturer):
"Jika kita tidak berubah, kita tidak tumbuh. Jika kita tidak tumbuh, kita tidak benar-benar hidup."
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
4 notes · View notes
muhsarifin · 5 months
Text
#35. Selamat Berderu, Jurang Baru?
Nada harapan, doa baik atau wishlist sudah berkeliaran sejagat sosmed, mungkin diantara kita juga melakukannya. Baik kok, tidak masalah, silahkan aja. Namun, sudahkah seiring dengan kesiapan dan keberanian untuk menghadapi babak baru dengan level ujian yang lain kisah? Pertanyaan besar yang patut tuntas dengan segera.
Tumblr media
2023. Penuh kondisi yang membuat kita (masih) bertanya-tanya, rasa takut, sulit-melilit bahkan sebesar nama atau sebonafide apapun itu masih bisa runtuh seketika.
Deretan teguran bagi kita yang alpa tanpa dayaNya. Jika sampai hari ini kita masih sehat lantas lebih banyak jadi penonton dari dampak wabah yang menimpa sekitar kita, jelaslah sebuah anugerah berharga. Jika dibandingkan susah-gundah yang kita alami dalam melalui masa berat itu.
Masa dari mode bangkit bagi seluruh makhluk di semesta ini, ada yang mendahului kita dalam takdir usia di sisi lain alam sebaliknya. Tumbuh dengan tekad untuk menghidupi manusia walau kita sering merusaknya. Bertahan dengan rentanya semesta, masyaAllah.
2024. Sebuah awal baik untuk kita bermuhasabah dengan apa-apa yang kita lalui, entah dalam dan luar diri.
Dalam. Tentunya soal keseriusan untuk menjadi insan yang lebih berdaya iman. Benar sudah lebih dipertanyakan dibanding salah yang perlu ditindak tegas. Kondisi akhir zaman, sebuah realitas yang kita perlu sadari tak lantas buat kita gentar. Inilah sebuah tantangan nyata yang perlu kita kendalikan dan ditegakkan sesulit apapun itu. Hanya ada dua pilihan, berani lawan atau ikut arus?
Luar. Tak lain, menghadapi dunia yang tidak lagi ramah dengan insan yang berdaya iman. Musuhnya tidak lagi bernafas beda keyakinan, lebih menantang, saudara seiman. SubhanAllah.
Teringat dengan opini banyak tokoh ulama, salah satunya UAH yang mengatakan di salah satu ceramahnya:
"Seakan-akan Allah sedang menyeleksi kita siapa dari kita yang berdiri di atas hak dan mana dari kita yang berdiri di atas batil,” ungkapnya dalam kajian Shaf Muslimah yang diunggah  di akun Youtube resminya, Kamis (7/12/2023). Ini menunjukkan bagaimana peristiwa internasional memiliki dampak spiritual dan moral yang dalam bagi individu.
Sebuah tragedi kemanusiaan yang kiranya memberi gambaran telak, hambatan semakin berbagai rupa, ada yang jelas, samar-samar tak sedikit berpura-pura untuk kepentingan yang entah apa bentuknya.
Jika hari ini masih dengan teguh prinsip bahwa beriman hanya dengan peribadatan semata, mulailah diperluaskan konteksnya. Kondisi semesta hari ini hingga perkara memilih pemimpin yang amanah dan takut kepada Allah, non-peribadatan, semua-semua adalah ibadah, lebih jauh, bentuk jihad yang perlu ditegakkan segera.
Inilah era dimana konteks beragama, beriman dan beribadah saatnya diperluas. Semua berhubungan dan saling berpengaruh peristiwa demi peristiwa, menghantam kenyamanan dalam beribadah, tak sedikit yang memainkan prinsip ajaran dalam kepentingan sesaat.
Sebagai pengingat, ada peristiwa besar yang perlu disambut dengan penuh gembira oleh kita insan yang berdaya iman:
Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”
Untuk memulai babak baru dengan penuh syukur dan bahagia, saatnya berikrar dengan sepenuh jiwa:
Apa-apa yang terhambat sebelumnya mungkin belum saatnya untuk kita panen sekarang. Butuh proses untuk menyemai sabar yang sepertinya belum cukup jadi bibit hasil. Tanda syukur adalah sebuah validasi sederhana soal diri kita telah mampu sadar akan nikmatNya yang betul-betul menghampiri. Tak semua mampu bersyukur, tak semua mampu bersabar, jadilah salah satunya yang berusaha.
Semangat mengarungi babak baru dengan penuh kesadaran diri untuk syukur dan sabar apapun kondisinya!
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
4 notes · View notes
muhsarifin · 10 months
Text
#34. Arena Tanpa Belas Kasih
Saat diri memilih untuk mengemis belas kasih dari makhluk, tanpa sadar, kita dengan sengaja mengundang rasa kecewa itu hadir. Perjalanan tidak sekedar menggapai apa yang diinginkan, lebih jauh, seni pilah-pilih. Mana yang tetap digenggam dengan sepenuh hati, mana yang perlu dilepaskan agar tetap hidup. Belajarlah untuk sadar dalam cukup, mengayuh daya iman satu-satunya jejak tanpa isak.
Tumblr media
Ya, memang. Hidup ini arena penuh rintangan dan ujian. Jika hari ini kita masih merasa lelah, marah, kecewa atau bahkan muak dengan apa-apa yang dialami.
Semua pikir-rasa itu wajar, layak untuk dipertanyakan.
Pada titik indahnya, kita diminta oleh Allah untuk paham dan mengerti. Bahwa, perjalanan mendewasa itu seperti mengayuh sepeda.
Untuk bisa menjalankan rodanya, kita perlu usaha setidaknya lekas goweslah walau secara perlahan, tidak hanya sekedar diam itu tidak akan membawamu kemana-mana, usaha itu memerlukan energi yang terus-menerus secara konsisten, gigih dan tekun, tanpa sadar mulai berkeringat, menetes-netes hingga membasahi sekujur tubuh.
Dalam menempuh hidup tentu perlu energi, apalagi menjalin sebuah hubungan dengan orang lain. Jika tidak sadar akan bentuk energi yang terus terpancar dan saling terkait, suatu saat akan memberi arti boomerang kepada diri.
Tak apa jika itu baik, ketika itu buruk perlahan menguras energi, jangan-jangan membuat diri ingin menuju ke arah yang tak seharusnya, perlahan berubah, sakitnya, membentur karakter yang selama ini dibangun dengan hati-hati.
Perlu disadari dalam-dalam,
Semesta kian menua, kini, kita berdiri pada akhir zaman. Sadarkah bahwa lingkungan perlahan menjadi ngeri, kejam dan ganas? Tidak ada itu belas kasih, sama sekali.
Penuh tipu daya, nafsu hewani dikedepankan, saling memangsa, parahnya, menjerat yang lemah, memuja yang kuat, benar dianggap keliru, salah penuh kaum pembenaran, zaman kini sakit sungguh sakit.
Tidak peduli, dirimu sedang lemah iman atau mentalnya sedang terpuruk. Selagi ada celah, lingkungan kian seradak-seruduk. Semua jenis manusia semakin berani, mengekspresikan pembenaran sesuai versinya. Beserta ideologi yang dipuja-puja hingga meremehkan iman, kitab suci dan ajaranNya apalagi Allah, Sang Maha Tinggi.
Tidak ada lagi yang berlaku pasti, semua berjalan dalam jejak semu dan halunya tersendiri. Ada yang bahagia dalam agenda kebohongan, memastikan bahwa semakin banyak yang percaya itu sebuah kebenaran. Tidak peduli bahwa benar itu perlu jujur, benar itu perlu pedoman, benar itu perlu berpegang kepada Allah, Sang Maha Benar.
Itulah pentingnya, bukan sekedar pilah-pilih harus diperketat. Siapa-siapa yang layak dipilih untuk duduk dalam lingkaran pertama, kedua, dan ketiga. Terdekat dengan diri kita seorang. Lebih penting lagi, apa-apa yang masuk-keluar dalam tiap bisikan, omongan, nasehat, teguran, percakapan hingga keterlibatan dalam segala aspek dalam hidup kita.
Bergaul boleh, silaturahmi jelaslah sangat dianjurkan karena banyak manfaat, bukan berarti harus ikhlas untuk dikendalikan, dipengaruhi bahkan dijerumuskan ke lubang penuh larangan atas Allah, Sang Maha Petunjuk.
Jika ternyata jawabannya: harus penuh kesendirian, kiranya itu lebih baik daripada pergaulan dan lingkungan yang menyesatkan. Perbanyak interaksi dengan dirimu seorang dan Allah, Sang Maha Peneguh. Perluas apa-apa yang masih kurang, eratkan dengan ilmu pengetahuan, apapun itu yang baik dan benar. Pertajam intuisi agar lekas tegas dan bisa membedakan mana yang benar dan salah dengan setegak mungkin. Perteguh daya iman hingga tidak ada satupun makhluk yang bisa mempengaruhi selain ajaranNya yang penuh cahaya dan menenangkan.
Selalu ingat, nasehat dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Ighatsatul Lahfan, beliau menerangkan:
Tidak ada obat bagi fitnah kecuali sabar.
Sabar adalah penempa seseorang dan pembersih dirinya dari dosa, ibarat pembakaran itu tempaan untuk menghasilkan perhiasan emas dan perak.
Fitnah itu tempaan untuk menghasilkan seorang mukmin yang jujur. [source]
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
9 notes · View notes
muhsarifin · 11 months
Text
#33. Sad/Happy Ending dalam Makna 'Kita'
Jika kita tidak lagi memiliki alasan untuk bertemu, boleh jadi, saatnya memupuk apa-apa yang sebetulnya terlupa untuk diurus dengan serius. Jika kita tidak lagi sedekat dulu, boleh jadi, saatnya merajut apa-apa yang sebelumnya enggan untuk diperbaiki dengan sepenuh hati. Yaps, itulah diri sendiri beserta hidup yang masih redup.
Tumblr media
People come and go!
Prinsip hidup yang memberi makna dalam, indahnya bersahabat dengan kesementaraan. Jika kita terikat dan telah bergantung dengan orang lain, berarti kita perlu menerima apapun feedback dari orang tersebut. Berupa kecewa, sedih, marah atau rasa sakit dan tidak enak lainnya.
Kiranya itu wajar, karena jarak antara kita dengan siapapun layaknya garis putus-putus. Terlihat menyambung tetapi nyatanya ada jarak kosong di dalam ikatannya.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - || seperti inilah bentuknya.
Arti dari jarak kosong, maksudnya, batasan yang memisahkan antar kita satu sama lain. Ada yang sebut sebagai privasi, batas toleransi dalam berbagai situasi, prinsip, dan bentuk subjektifitas lainnya.
Jika hari ini kita banyak menyaksikan, hubungan dengan berbagai perkaranya seperti mudah sekali dipatahkan tanpa melihat akibatnya. Tidak perlu jauh-jauh, mungkin kita sendiri pernah mengalaminya.
Ada yang mudah sekali menyakiti orang lain dengan menghujat, membully, memfitnah atau ujaran kebencian lainnya. Merusak kepercayaan, hubungan bertahun-tahun hancur dalam sehari, kepentingan pribadi mengalahkan tujuan bersama. Parahnya, ada yang menjadi musuh dalam selimut. Dikira sahabat atau teman, taunya menusuk. Ngeri!
Bentuk simfoni hitam yang perlu dijalani dengan mode sabar dan tanpa paksaan, apapun alasannya. Bahwa,
~ Sekuat atau sesakral apapun hubungan yang kita ikat, jangan sampai menandingi janji hubunganmu dengan Allah.
~ Hati manusia mudah berubah, dekati Allah, Sang Pemilik Hati agar terus diteguhkan dan ditambah sabar-tabahnya saat kondisi berkata sebaliknya.
~ Jika hari ini kita terhubung sangat erat, boleh jadi, besok seketika putus begitu saja, pastikan hubungan telah dilandasi karena Allah.
Itulah trio poin dari sekian banyak hikmah, merajut ikatan di dunia fana ini.
Tanpa perlu dipaksa-paksa dengan tingginya ekspektasi, boleh jadi, hubungan itu terasa kuat setiap harinya. Tanpa perlu dielu-elukan berlebihan, boleh jadi, hubungan itu menjadi istimewa setiap harinya.
Hidup yang didasari akan batasan, membuat kebebasan itu tumbuh dalam jejak daya sebuah pengabdian cinta akan Sang Maha Pecinta. Kita hanya perlu fokus memancarkan daya iman seserius dan sekhidmat mungkin, setiap harinya.
Biarlah Allah yang terlibat dalam menghidupkan jarak kosong itu hingga menjadi penguat dalam segala musim prahara yang silih berganti. InsyaAllah.
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
15 notes · View notes
muhsarifin · 11 months
Text
#32. Harap-harap dalam Berharap
Tumblr media
Mengarungi hidup tentu perlu daya harapan. Dimanapun, kapanpun, dalam kondisi apapun. Dipenuhi setiap hari, lekas dipulihkan walau jiwa-raga masih penuh ketidakutuhan, ditambah daya juangnya agar tak lagi terperosok jauh ketika diri jatuh dalam keterpurukan. Jangan sampai terulang kembali ya, jangan pokoknya jangan.
Sejatinya, perlombaan yang sesungguhnya adalah memenangi dirimu seorang.
Jika kini dan hari ini, dunia semakin bising. Tidak berarti diri kita ikut bising.
Jaga baik-baik tembok antara dirimu dengan dunia luar. Boleh jadi, dirimu kian kacau dan tanpa kendali karena tidak sadar mempersilahkan pengaruh luar untuk lakukan intervensi.
Sedikit atau banyak, tetaplah sebuah masalah. Jika kita tak lekas menyadarinya, tanpa daya saring dan menganggap semua inputnya bermanfaat.
Lekas sadarlah, sadar walau sejenak.
Bermanfaat atau tidak manfaat, bukan perkara nanti.
Namun, saat dirimu sedang berhadapan dengan pengaruh itu.
Sudahkah diri sadar, bahwa kita sedang berpijak dalam jaman fitnah dan huru-hara. Semua kian sulit dibedakan, mana yang benar dan salah. Bias, sangatlah bias.
Sudah berapa banyak tragedi demi tragedi kita lahap hingga kini, buruknya dari berbagai sisi. Dunia yang saling terkoneksi justru sangat mengganggu, tanpa batasan, bising sangatlah bising.
Sudah berapa sering diri terpuruk dalam pola ketergantungan?
Ya, tergantung akan pertolongan dari orang lain. Memaksa harapan itu datang dari orang lain. Mengemis sebuah kesempatan untuk berbagai hal yang kita perlukan.
Tanpa sadar, diri perlahan tenggelam. Dalam sebuah pola ketergantungan. Kalo tidak ada seseorangpun di sisi kita enggan gerak, semangat apalagi perkara bisa menyambut yang baik-baik di depan sana.
Masa depan dengan segala lika-liku justru berarti sebaliknya, suka-duka perlu ditangani dengan seorang diri. Orang lain pun mereka yang paling terdekat, sekedar pendukung, ya, support system. Tak kurang, tak lebih. Titik.
Jadi, hal apa yang perlu kita jemput dayanya?
Daya yang seringkali kita lupa, tetapi tiada batasnya. Daya yang seringkali luput perhatian, tetapi tiada duanya. Daya yang seringkali kita kufuri, tetapi tiada habisnya.
Ya, daya iman yang perlu ditanam seerat, setinggi dan seutuh mungkin.
Daya oleh Dialah, Sang Maha Perkasa, Allah, dengan segala peluk hangatnya tiada ujungnya menegur dengan cinta. Terus saja memberi apa-apa yang kita butuhkan, walau kita sering ngeyel dengan apa-apa yang diharapkan.
Teruslah berharap sambil diasah dan dayakan firmanNya,
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
Masihkah diri setia menenun harapan akan dayaNya?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
6 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#31. Catatan Kelana [2]
Tumblr media
Pada titik tertentu, perjalanan merengkuh soal permulaan.
Untuk berani merangkul sebuah kekuatan, sekali lagi. Mempasrahkan sebuah keadaan; hancur, tidak utuh, berantakan, porak-poranda, ya, memang itulah adanya. Tidak bisa mengelak, tidak bisa diganggu gugat.
Ada hal-hal yang tidak bisa kita paksakan untuk menuju dalam arti lebih.
Lebih baik, maju, makmur, sejahtera, apalagi tenang.
Semakin jauh perjalanan kian usia bertambah, hidup seperti merengkuh sebuah pemahaman. Tidak untuk lebih dan lebih, jleb, untuk menyadari bahwa kita perlu tangguh. Tanpa alasan, tanpa tapi, tanpa terkecuali.
Sedang suka pun duka, bertahan dan terus berjalan apapun keadaannya adalah sebuah keharusan. Boleh jadi, belum saatnya, boleh jadi, masih perlu ikhtiar sedikit lagi, boleh jadi, perlu bersabar lagi, boleh jadi, perlu muhasabah banyak-banyak akan segala khilaf dan salah akan-Nya.
Menyerah, bukanlah jalan keluar terbaik. Hari ini, kita telah sampai sejauh ini, berkat segala jatuh-bangun yang telah dipilih untuk diambil resikonya. Walau saat itu sedang di titik terendah, mungkin seperti saat ini.
Makna permulaan yang perlu diisi terus-menerus dengan daya keyakinan.
Yakin akan Allah yang masih setia mewarnai hari-harimu kedepan.
Yakin akan do'a orang-orang terkasih yang melangit tanpa perlu ditagih.
Yakin akan do'a dari orang-orang yang sengaja pun tidak sengaja kamu temui lalu kamu tolong tanpa pamrih atau ingatkan dalam kebaikan sekecil apapun, ternyata melangit tanpa terbilang.
Satu yang juga penting,
Yakin akan dirimu sendiri yang setia menemanimu walau suka-duka yang seringkali kita lupa untuk mengutamakan dan merawatnya.
Banyak hal yang terjadi dalam hidup kita sendiri, tetapi tidak semua dari kita menyadari bahwa:
Tidak ada yang kebetulan, adanya serangkaian kebetulan yang perlahan menjadi jalan takdir. Allah tunjukkan sebuah validasinya lewat banyak hal, maka tidak ada cara ampuh selain untuk terus yakin akan segala ujian yang meramu jadi sebuah kejelasan dalam ketidakjelasan.
Misteri yang hanya Allah, Sang Maha Kuasa, memiliki hak penuh dalam menentukan. Terus ikhtiar tanpa batas, ditambah sabarnya dan dikurangi ekspektasinya.
Katanya ingin dipilihkan yang lebih baik sesuai versiNya?
Masih setia untuk terus teguh dan tangguh, sekali lagi?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
36 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#30. Memaafkan, Merengkuh Inner Peace
Tumblr media
Sadarilah, sekali lagi. Tidak semua yang berdenyut dalam hidup berbicara pada nada kesesuaian. Tak jarang berbalik arah, melawan diri yang memiliki dayanya tersendiri. Nyaris lumpuh, cukup menerima lalu menyesuaikan, tanpa tapi.
Hari demi hari, diri dipenuhi rasa dan tekanan yang tak berkesudahan. Diterjang banyak tantangan dari berbagai arah. Tak bisa sembunyi apalagi menghindar.
Terkadang, boleh saja, diri terlanjur marah akan keadaan yang tidak sesuai harapan. Tidak perlu ditahan apalagi dialihkan.
Merasa muak akan situasi yang semakin tidak terkendali.
Ditambah, tidak ada satupun yang setidaknya coba mengerti akan situasimu, tanpa harus menghakimi, membanding-bandingkan apalagi hadir hanya untuk menambah tekanan baru.
Cukup peduli dalam diam, jika tidak bersedia jadi bagian dari solusinya.
Mendewasa, ternyata bicara soal memaafkan.
Ada banyak elemen diluar diri yang tidak mungkin dalam genggamanmu.
Ada yang seakan-akan peduli denganmu, hadir membawa seabrek solusi padahal tidak diminta. Ada yang seakan-akan mencoba hadir, bukan untuk berdiri disisimu hanya ingin memenuhi rasa penasarannya. Ada yang seakan-akan menjadi solusi, buruknya menambah masalah baru.
Diri perlu juangkan daya memaafkan, sekali lagi.
Memaafkan, apa-apa yang tidak sesuai. Bahwa, segala hal yang membumi kini hanyalah berisi daya pembelajaran tanpa jeda hingga usia menuju gerbang ketiadaan. Merengkuh keadaan yang abadi di alam akhirat, kelak.
Tetap setia menjadi penyelamat akan dirimu sendiri yang nyaris tak tertolong. Tidak perlu membuang-buang waktu untuk mencari pengakuan, penghargaan apalagi pegangan dari orang lain.
Sadarilah, dirimu tidak sepenting asumsimu.
Cukuplah, anggapan itu berkecamuk dalam dirimu. Untuk menyeimbangkan apa-apa yang tidak sesuai inginmu agar tetap menempatkan rasa percaya diri akan dirimu seorang.
Kita hanya perlu tetap tangguh untuk memastikan hidup masih berjalan dalam semangat juang, walau tertatih-tatih bahkan berjalan tanpa kaki adalah syarat mutlak. Lekas rehat jika lelah, belajar pulihkan luka sedini mungkin, sembuhlah!
Berjuang soal teguh dalam memaafkan.
Jangan biarkan diri tenggelam dalam kemarahan, kebencian maupun ketidakberdayaan lainnya.
Percayalah, selagi usia masih dalam ruang nafas, pertolonganNya pun akan terus setia menggandeng dirimu yang penuh luka, insyaAllah.
Masihkah setia dalam merengkuh dayaNya, sekali lagi?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
13 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#29. Merawat Ketidakutuhan [4]
Tumblr media
Perihal titik perjalanan yang terulang tanpa diminta. Memberi arti bahwa begitulah adanya, tidak bisa diperbaiki walau niat baik mulai bercumbu jadi sikap untuk tetap baik-baik saja atau mencoba menuju keadaan yang lebih baik seharusnya.
Ya, arti soal begitulah adanya. Tidak perlu dipaksakan.
Untuk memverifikasi segala kesalahpahaman yang dikira sebatas asumsi diri yang mungkin tidak tepat, terlalu ceroboh atau terlanjur dipaksakan. Sekali lagi, begitulah adanya.
Untuk merevisi segala perasaan yang mungkin terlanjur berlebihan, tidak ada belas kasih atau cenderung menyalahkan. Sekali lagi, begitulah adanya.
Nyatanya, hidup ini berarti belum tentu.
Belum tentu mendapat timbal balik yang sama dengan upaya keras yang dilakukan. Belum tentu senyum mendapat senyum, tawa berbalas tawa apalagi sama-sama merasa bahagia.
Pada titik persimpangan jalan, ada rambunya: people come and go.
Ada yang datang lalu meninggalkan luka baru, ada yang pergi lalu menyisahkan rindu, ada yang datang lalu membiarkan rasa yang tak berbalas, ada yang pergi lalu membuang rasa kecewa.
Semua-semua berarti siklus: ada dan tidak ada. Sirkulasi antara diri sendiri dengan orang lain yang datang dan pergi sesuka hatinya.
Tak ada beban baginya, kitalah yang boleh jadi terlalu banyak ekspektasi. Nyatanya berujung sama saja, tanpa timbal balik yang diharapkan.
Ternyata, begitulah adanya.
Hidup berjalan layaknya angin yang tak kenal kita sedang kedinginan atau kepanasan. Semua-semua soal berani menghadapi walau diri sedang tidak baik-baik saja atau cenderung rapuh dan tak berdaya.
Makna pilih kasih boleh jadi itulah arti adil?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
11 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#28. Dualisme Trio Ketangguhan
Tumblr media
Melangitkan upaya cinta kasih, berarti mengaktifkan daya jujur dan berani serona-ronanya. Satu sisi bernada getir, satu sisi berujung manis, kelak. Tenanglah!
Ternyata, lamanya sebuah hubungan.
; percintaan, pertemanan pun ikatan kepercayaan.
Bukan berarti sama-sama sepakat, ada nilai yang lebih besar dari sekedar keegoisan. Hasrat untuk saling mengerti dan melindungi, layaknya mimik yang rumit untuk segera dipilih.
Sebagian percaya bahwa asumsi liar diluar hubungan adalah pertimbangan terjitu. Sebuah indikasi ikatan, sayangnya sebatas ikatan. Tanpa hadirkan rasa cinta kasih yang sekiranya perlu diadopsi walau itu kusut dan karat.
Sebagian percaya bahwa kehadiran berarti tidak segalanya.
Akhirnya, melupakan proses kebersamaan yang telah terbangun tanpa perlu disuruh. Entah sebuah sikap kesia-siaan atau gelagat sekedar butuh saja bukan untuk saling menghargai.
Sebagian percaya bahwa waktu keintiman bernada selama-lamanya.
Padahal hidup ini syarat dengan kesementaraan. Tidak semua hal tetap pada tempatnya, ada masanya, semua ada waktunya. Dipisahkan oleh pilihan dari satu pun semua perajut hubungannya atau semesta yang bercumbu dengan takdir terbaikNya.
Dalam proses keeratannya,
Kita hanya perlu kedepankan daya cinta kasih sebagai landasan. Untuk terus percaya, saling belajar memahami dan saling menghargai walau itu sulit. Tanpa tapi, tanpa alasan, tanpa terkecuali.
Suatu saat berada di titik keraguan, sekali lagi, daya keintiman tetaplah sebuah takaran. Apa-apa yang terbangun atas dasar keresahan yang sama, beserta visi-misi bersama pun rasa khawatir yang bercumbu jadi sikap peduli.
Kelak, hadirlah masa transisi yang akan menentukan ikatan masa depan.
Apakah layak diperjuangkan, dipertahankan dan diprioritaskan?
Asumsi liar, definisi kehadiran dan makna keintiman akan terakumulasi jadi respon akhirnya. Tiga diantara sekian banyak diksi sebab akan rapuhnya sebuah ikatan hubungan.
Untuk melegitimasi aslinya,
Dengan munculkan daya jujur dan benar sebagai upaya cinta kasih.
Bagi yang percaya bahwa cinta tetaplah di posisi terdepan, ia akan tetap percaya dan memberi ruang untuk saling mengerti dan melindungi. Tanpa tapi, tanpa alasan, tanpa terkecuali. Ya, setia hidupkan cinta kasih seterus-terusnya.
Bagi yang percaya bahwa cinta bernada semu dan lumpuh akan daya keegoisan, ia akan mudah curiga, ragu, bahkan rumit untuk mengerti apalagi berlaju ke tahap percaya seutuhnya. Seluruh realitas yang setia mendefinisikan sebuah kesia-siaan, tidak layak diperjuangkan apalagi terpaksa untuk bertahan walau bertepuk sebelah tangan. Sakit dan tinggi ekspektasi, nada pasti yang perlu dinetralkan.
Pada ujungnya, kita hanya perlu memilih. Mana yang patut diperjuangkan, layak dipertahankan, dan perlu diprioritaskan?
Satu-satunya yang harus diselamatkan adalah dirimu sendiri. Ikuti kata hatimu, bergeraklah dalam keberanian, netralkan realitas, dan langitkan ujungnya. Tidak perlu dipertanyakan lagi dan lagi, sadarlah itu diluar kendalimu.
Masihkah setia untuk terus percaya akanNya, sekali lagi ?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
11 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#27. Merawat Ketidakutuhan [3]
Tumblr media
Perlahan, diri mulai terbiasa untuk menghadapi banyak cubitan realitas. Titik sembuh tangguh?
Apa-apa yang telah terjadi, kini telah jadi masa lalu, masa baik-buruk yang semestinya cukup jadi pembelajaran terhebat. Untuk mencumbu hari-hari, masa kini, berikut daya tangguh yang telah dilalui hari-hari kemarin.
Suatu saat diri (kembali) berdiri,
Pada pola realitas yang nyaris sama seperti pernah menghadapinya. Lantas, sadar-tidak sadar, diri pun merasa rasa-rasa tidak enak yang mengait jadi rasa sakit-perih, sekali lagi.
Dicumbu overthinking, berpikir yang bukan-bukan, beserta gejolak hati yang lagi-lagi bertarung tanpa arah.
Sesak rasa yang merasuk tanpa jeda, mempertanyakan, lantas bergulat jadi ungkapan manusiawi: mengeluh, menangis hingga rasa aneh seperti habis daya untuk dikail kembali.
Sadarlah! Kita sedang berdiri di titik pengujianNya, titik yang perlu diingat, sekali lagi, bahwa sudah saatnya kita belajar untuh teguh dan tangguh.
Titik yang memberi definisi, sudah terlampau jauh dirimu merangkak, berjalan dan berlari sekuat tenaga hingga di titik kini. Melalui hari-hari penuh tekanan, berhasil dilewati, ...ternyata suatu ketika seperti kembali ke masa berat itu.
Tidak ada salahnya,
Untuk menyentuh gumpalan rasa tidak enak itu sekali lagi, tetapi daya yang saatnya diaktifkan: daya bertahan untuk teguh dan tangguh.
Allah memberi pola yang nyaris sama, boleh jadi, caraNya untuk menyatakan: dirimu perlu sadar diri, sadar akan apa-apa yang telah dilalui dengan gagah berani, sadar akan apa-apa yang telah dipaksa untuk dikuat-kuatkan, serta sadar akan segala kerumitan yang seringkali hanya dirimu yang paling memahami kondisinya.
Di titik ini,
Berilah ruang untuk diri meyakinkan sebuah keraguan, mentekadkan sebuah perjalanan, serta mendambakan sebuah harapan hingga sadar-tidak sadar diri perlahan pulih sejadi-jadinya, insyaAllah.
Sejatinya, banyak hal yang terjadi penuh alasanNya. DenganNya kita hanya perlu melalui, ya, melalui sekali lagi dengan kesungguhan. Sungguh untuk bertahan, sungguh untuk kuat, sungguh untuk belajar teguh hati dan tangguh sikap.
Masihkah diri setia untuk percaya akanNya, sekali lagi?
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
24 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#26 — Tangguh, Perlu Teguh
Tumblr media
Langkah kian jauh, syarat dengan daya tabah yang perlu ditambah. Banyak hal yang ternyata tak semudah itu melaluinya.
Mencoba, jatuh, lalu bangkit layaknya roda yang berputar, terus menerus.
Tanpa ujung, boleh jadi, itulah aturan mainnya.
Suatu saat,
Diri ingin sekali menyerah.
Ingin menyudahi apa-apa yang telah menjadi jalan, ada kalanya tidak bisa lekas meninggalkan begitu saja, akhirnya seperti harus dijalani, tidak ada pilihan yang lebih baik, terjebak.
Apakah itu yang dinamakan sebuah takdir?
Sulit mendefinisikan rasa penuh kecamuk, tertahan. Entah terhambat dengan realitas, kondisi yang nano-nano, beserta pikir dan rasa yang sulit dikendalikan.
Pada simfoninya,
Tidak ada alasan adalah alasan itu tersendiri.
Suatu saat diri menikmati proses dengan sepenuh hati. Ada bait-bait perjalanan yang memaksa untuk menuju yang lebih baik. Lantas segera mencarinya, menemukan, ternyata tidak lebih baik dalam kira.
Kemudian, bertanya-tanya sekali lagi:
Apakah ini takdir bagiku atau sebuah ujian dengan bentuk lainnya?
Mendewasa,
Menjalani sesuai kemampuan sebagai daya juangnya. Menaruh banyak atau tinggi ekspektasi, boleh saja, tetapi jika sulit mencapainya lantas bersiap untuk menanggung tidak enaknya. Tanpa tapi, tanpa alasan.
Untuk berdaya jadi tangguh,
Sedini mungkin perlu kayakan daya teguh, keteguhan hati dan pikir yang kadang sukar penuh kendali. Entah faktor dalam atau luar diri yang meminta untuk segera ditanggapi. Seperti nada yang kadang memberi teka-teki, dorongan ke jalan keluar. Padahal solusi kadang masih berupa mentahan yang bahan bakunya perlu ditumbuhkan terlebih dahulu.
Itulah rumitnya jalan hati-pikir yang perlu bersahabat dengannya. Dengan sering-sering bersama dirimu sendiri, mengenalnya lantas menyelami untuk memahami pola solusi yang semestinya disederhanakan.
Menerjemahkan satu demi satu akan teka-teki selama ini, semakin jauh melangkah, semakin rumit bentuknya, jika tak lekas memahaminya.
Sesekali diri perlu rehat sejenak untuk kembali sadar bahwa:
Apa-apa yang telah berlalu perlu dijadikan bahan baku untuk bekal masa kini, semua-semua yang relevan.
Masa depan yang penuh misteri kita hanya perlu berbaik sangka kepadaNya disertai daya iman yang seiring sejalan.
Memerdekakan hasrat kebaikan dan kebermanfaatan, tanpa perlu alasan yang mempersulit vibrasinya.
Tak lupa, daya materi yang perlu pula diperkuat agar daya baik dan manfaat bisa terus dicitakan. Tanpa halangan.
Salam Tangguh! Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
25 notes · View notes
muhsarifin · 1 year
Text
#25 — Hangatnya Berkesadaran
Tumblr media
Ada kalanya, upaya yang kita lakukan tak kunjung jelas ujungnya. Bertemu putaran masalah yang itu-itu saja, tak jarang melaju ke kondisi yang sukar solusi.
Seperti terjebak dalam labirin yang sebetulnya kita sedang melintasinya. Sekat demi sekat, berjalan bahkan berlari sekuat tenaga. Bertemu persimpangan jalan, memilih jalur mana yang layak dilalui, disertai rasa gusar, bingung, tak jarang dengan penuh ragu.
Ada yang dimulai dengan tergesa-gesa, penuh pertimbangan atau seruduk tanpa arah. Kadang terasa ngos-ngosan padahal baru saja dimulai, kadang terasuk sebuah rasa tanpa hasrat. Tidak ingin lagi, tidak suka atau mau mengakhiri saja. Tanpa alasan atau bingung kenapa dan ada apa. Sekedar tidak mengerti, entahlah.
Di saat itulah,
Kita perlu berhenti sejenak. Rehat atau istirahat. Mengosongkan pikiran yang semrawut, meredupkan perasaan yang labil sejadi-jadinya, serta meringankan beban fisik yang berat sana-sini.
Ya, belajar untuk melangkah secara perlahan.
Sesekali, itu perlu. Tidak ada yang tertinggal dan meninggalkan, hidup ini bukanlah kompetisi. Sempit sekali definisinya, perluaslah segera. Persetan dengan segala omongan orang, kita jadi kerdil jika dirasa, perkuat aksimu.
Selalu ingat,
Saat ini, detik ini. Kita adalah manusia yang penuh sifat kesementaraan.
Ada lelahnya, ada emosionalnya, ada sejuknya, dan itu sangatlah wajar.
Seringkali, bukan beban hidup atau masalahmu yang rumit.
Tetapi, kitalah yang mempersulitnya. Sadarkah?
Misalnya nih. Waktunya istirahat bukannya dimanfaatkan dengan baik, malah tetap sibuk katanya produktif padahal sedang terjerembab dalam perilaku toxic kepada diri sendiri.
Sebelum,
Terucap, bertekad, tiba-tiba membuat rencana radikal. Semua-semua berfokus dengan luar dirimu. Ya, liburan, nonton hiburan atau lainnya.
Ada baiknya, kita mulai mencoba fokus ke dalam dirimu.
Merefleksikan apa-apa yang telah menjadi sebuah langkah, keputusan, pilihan bahkan gulungan salah, keliru, dan gagal yang kini telah menempuh jalur rasa pada dirimu. Entah rasa yang mendorong untuk tidak mendekati orang, hubungan atau masalah tertentu.
Boleh jadi,
Kita tidak membutuhkan kegiatan hura-hura yang membuang materi dan waktu secara berlebihan, tetapi kegiatan sederhana yang memastikan dirimu nyaman dengan dirimu sendiri.
Tidak ada salahnya untuk menghibur diri melalui pernak-pernik di luar diri.
Lucu gak sih, boleh jadi sering dialami oleh kita, sudah membara dengan energi yang terakumulasi jegar-jeger ke dalam jiwa. Eh, ternyata saat menghadapi realitas, balik lagi, healing lagi, balik lagi. Begitu terus sampai tidak ada ujungnya, sayang sekali.
Pada simfoninya,
Titik bahagia diciptakan bukan dicari. Dengan pemahaman yang konsisten dan tahan banting, mulai merajut dari yang sedang dan kini bersama dengan dirimu, ya, fisikmu, jiwamu, perasaanmu dan pikiranmu. Satu hal penting yang seringkali kita teralihkan dengan komponen di luar diri, yaitu:
"Daya untuk setia merawat diri seutuhnya. Seni dalam berfokus dalam seapaadanya. Tanpa dan dengan adanya orang lain, dirimu tetap bisa bahagia, sejuk, tenang dan bertumbuh semestinya."
Kita ada karena ketiadaan, semua ada masanya, termasuk orang, hubungan serta beban berat yang ditopang selama hidupmu. Bertumbuhlah menjadi tangguh, beranikah?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
10 notes · View notes
muhsarifin · 2 years
Text
#24 — Jemari Ketergantungan
Tumblr media
Boleh saja, diri mulai terbuka akan luka. Bersenandung dalam kisah ke selain dirimu seorang. Siapkah kala kecewa adalah rasa getir diakhir cerita?
Sesekali luka berbisik pada diri yang terlanjur tenggelam.
Dalam umpatan sepi, tanpa seorangpun di sisi.
Suatu saat hadir seseorang yang telah mengenal satu sama lain, terpaut hubungan waktu, tidak sebentar. Sematan yang kiranya lebih dari sekedar teman, ya, sahabat, bahkan kakak atau adik non-biologis.
Mulai terbuka, berbagi cerita, tak jarang berani memahami keluh kesahnya. Jujur pada rasa yang berkecamuk dalam diam. Berikut pikiran kerdil yang mengganggu. Semua-semuanya dengan sikap saling. Semakin cair dan kian nyaman. Sampai pada titik, diri mulai bersedia untuk percaya, sekali lagi.
Ternyata...
Suatu saat hadir masalah, memberi definisi lain tentang jarak yang perlu diambil.
Ikatan hubungan yang perlu dicukupkan. Terlalu lelah untuk melanjutkan sebuah drama. Tanpa dendam, hanya ingin cukup saja. Tak ingin apa-apa.
Perlahan mulai mengerti. Selama ini, hadir untuk saling mengisi.
Sebatas tujuan kerdil, ya, memanfaatkan. Muncul saat butuh, hilang saat tidak membutuhkan. Kembali, definisi membuka ruang percaya yang keliru tempatnya.
Begitulah,
Arti ujungNya penuh kasih. Makna cemburu akan pilihan kerdil kita sendiri, lebih memilih bergantung pada makhlukNya yang penuh batas, lemah dan khilaf.
Dibanding Dia, Allah, Sang Maha Perkasa. Tanpa mengecewakan, tanpa pilih kasih, tanpa ingkar janji, tanpa mengecilkan lagi tanpa melebih-lebihkan.
Seluruhnya berarti cukup dan sesuai takaran, berdasarkan pada butuh kita sebagai makhlukNya, bukan pada kemauan dan perkiraan kita yang keliru.
Teringat,
Salah satu ungkapan mutiara penuh tamparan sadar, sekali lagi.
"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia."
[Ali bin Abi Thalib ra]
Memberi arti sejati bahwa berhubungan baik dengan sesama, boleh saja dan harus terus dipupuk, tetapi saat libatkan hati perlu sadar porsi, memberi ruang akan kemungkinan, mungkin dikecewakan, dikhianati, disalahpahami, dibenci, dan segala kepahitan yang meradang, suatu saat.
Maka,
Berdoalah seserius dan sekhidmat mungkin, sekali lagi.
Untuk selalu diteguhkan langkah kakinya, semakin mendewasa, makin terjal jalurnya. Mengarungi segala untaian sepi nan sunyi, tanpa seorangpun siap mengulurkan tangannya seperti hari kemarin. Karena, tiap insan memiliki luka perjalanannya masing-masing dan masih perlu diobati seiring bekas luka masa lalunya. Ya, kita perlu sadar dan memahami juga situasinya. Tak perlu mengemis.
Pertanyaan berikutnya,
Masihkah diri teguh dan menguat untuk setia berdiri di kaki sendiri, sekali lagi?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
22 notes · View notes
muhsarifin · 2 years
Text
#23 — Sinyal Langit, Menguat!
Tumblr media
Tragedi demi tragedi layaknya peristiwa yang terulang. Apakah kita betul-betul mulai tersadar atau barangkali sudah terbiasa?
Selalu percaya, tidak ada yang kebetulan di seluruh semesta ini.
Sesuai firmanNya, "sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran" [al-Qamar: 49]
Memberi sinyal kuat bahwa segalanya yang terjadi telah ditakdirkan olehNya. Tanpa terkecuali, termasuk kedua tragedi yang baru-baru ini kita dengar (seperti) berulang yang menewaskan hingga ratusan nyawa.
Belum usai ingatan kita dan turut berduka di awal bulan, di bulan yang sama, layaknya awal dan akhir, terjadi di akhir bulan. Tidak ada yang kebetulan!
Sadarkah kita?
Semakin kesini, makin kesana. Menuju akhir dengan rahasiaNya.
Terlalu banyak kehancuran yang kita dengar, saksikan bahkan rasakan.
Lalu, siapa yang salah?
Jelas, pertanyaan besar yang pantas ditujukan terlebih dahulu ke masing-masing diri kita. Perihal keserakahan, ketidakpedulian, keegoisan, kearoganan, serta deretan sikap dan sifat kerdil lainnya.
Keserakahan. Kini, bumi yang makin tua renta digunduli, dilubangi, dibakar, dikeruk segala isinya hingga bencana alam terjadi dengan miskin tanda, perubahan iklim makin nyaris tidak terdeteksi, penyakit makin datang tiba-tiba, dan segala sebab-akibat yang makin tanpa perkiraan.
Keegoisan. Kini, bukan rahasia umum, saat yang kaya makin jaya lalu yang miskin makin melarat. Ada yang lebih parah dari maju dengan menyikut pesaingnya, yaitu saat diri tidak peduli dengan sekitarnya, ya, lebih memilih fokus pada hidupnya. Tok. Tanpa perlu berbagi, tak harus tau kondisi lingkungannya, berhubungan baik jika ada untungnya saja, sangat dan sangat kerdil.
Kearoganan. Kini, atas dasar harta, tahta dan ruang beriak (media sosial). Semua orang berhak menginjak-injak harga diri sesamanya. Membunuh, menyiksa, melecehkan, bahkan membully. Tanpa harus sadar akan sisi kemanusiaan terhadap sesama manusia yang berakal sehat dan berhati nurani.
Seluruhnya, bagian dari tamparan keras untuk kita semua.
Apa yang perlu dimerdekakan?
Fokus menjadi diri yang sadar diri, sadar posisi dan sadar peran.
Tidak mungkin, semua sendi problematika hanya diselesaikan oleh beberapa orang saja, suatu golongan, suatu negara atau kita sebagai bagian kecilnya.
Apatis atau netral. Bukanlah sikap yang berkesadaran. Hidupkan partisipasi terkecil sebagai diri. Ya, sadar politik, misalnya.
Banyak peran yang bisa kita ambil, namun tak semua dari kita rela, bersedia dan berani untuk ikut ambil bagiannya. Ada yang puas pada zona nyamannya hingga tidak lagi merasa perlu peduli pada apa-apa yang perlu dibenahi diluar dirinya.
Layaknya, rela mati akan nuraninya sebagai manusia asal aman sentosa. Tanpa nambah drama, tanpa perlu habiskan energi (lagi).
Padahal hidup soal menata sebuah tanggungjawab sosial yang kemudian olehNya diterjemahkan jadi keberkahan. Ya, soal kebermanfaatan apa yang bisa kita lakukan. Semampunya dan setulus-tulusnya, tak lebih.
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
19 notes · View notes
muhsarifin · 2 years
Text
#22 — Teguh atau Runtuh
Tumblr media
Kita semua adalah manusia yang terluka. Berupaya baik-baik saja dengan kepura-puraan yang dibiasakan. Sudahkah kita terbiasa?
Berlarut pada usia yang makin mendewasa. Jejak terjal terasa meradang. Kian hari kian menyesakkan. Pola kerdil tentang menjadi dewasa sejati-jatinya.
Ada yang masih setia pada masa lalu, terlumat ingatan bising. Diri yang terisak sakit sejadi-jadinya. Memberi vibrasi pada masa kini yang tanpa sadar terakumulasi. Rasa dan pikiran kerdil, kini membumi pada tiap langkah pun pilihan yang dihidupkan, detik ini juga. Terwujud pada diri yang merasa mengganjal, tak lepas, terjerat dengan ketidaktahuan dan kebingungan.
Ada yang memilih setia pada masa kini, memaksa diri untuk terbiasa. Iya, menganggap semua yang telah berlalu jadi garis masa lalu. Namun, jejak sakit itu sekedar dihindari hingga suatu saat terjatuh dalam hempasan isak tanpa sebab. Masih sakit, serasa-rasanya. Sesekali, tertunda, terasa lagi, terulang dan berulang.
Ada yang langsung menerjang ke masa depan, fokus pada apa-apa yang baik untuk dilakukan. Setia pada pemulihan dan perbaikan tak jarang ke arah perubahan. Sebuah lompatan tajam, ya, pola memaksa ekstrem bagi diri, boleh jadi, diri masih terjerembab di masa lalu atau tertatih-tatih di masa kini. Langkah seperti miskin energi, terpasung dalam kekosongan dan kerumitan. Tanpa jalan keluar, tidak tahu, bingung, anehnya seperti "baik-baik saja."
Seluruhnya, bicara soal pola yang belum usai.
Perihal rasa sakit dan pikiran kerdil dengannya perlu ditata sedemikian rupa.
Pola perlahan-lahan yang mestinya dihidupkan.
Sebab diri masih dalam keraguan, berlari dalam halunya jalan keluar, tersandera pada rasa "baik-baik saja", sesekali berbinar pada lompatan peluang padahal pilihan yang makin menjauhkan diri pada kesejatiannya.
Masih bertarung pada rumitnya pertanyaan yang tak kunjung terjawab, sesekali mengernyitkan dahi berupaya mencari jalan keluar, sekali lagi.
Nyatanya, memang begitu adanya...
Bahwa hidup berarti sebuah proses panjang, tanpa harus terlalu berlebihan, perlahan tetap pada pola menikmati, tak perlu terburu-buru, melalui atau segera menyudahi.
Ada berjuta-juta alasanNya, tanpa harus segera kita ketahui ujungnya.
Berilah kesempatan pada diri untuk belajar memahami, sekali lagi.
Ada banyak cara dalam memahami, dengannya kita perlu mulai menikmati. Segala proses tanpa tapi. Bertahan, boleh jadi, salah satu cara terkuat.
Berupaya teguh atau memilih runtuh, setia jadi pilihan kita semua sebagai manusia yang terluka. Tetaplah, semua pilihan seiring resiko, dengannya kita perlu tanggungjawab seserius-seriusnya. Tanpa tapi, lagi-lagi.
Pertanyaan selanjutnya,
Masih beranikah dirimu untuk menikmati sebuah seni keteguhan, sekali lagi?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
32 notes · View notes
muhsarifin · 2 years
Text
#21 — Merawat Ketidakutuhan [2]
Tumblr media
Ada saatnya, diri mulai beradaptasi untuk mengenal rasa rela,
Teringat ungkapan, "biarlah waktu yang mengobati"
Bukan sekedar menunggu, perlu upaya walau jengkal demi sejengkal. Perlahan ungkapan itu lekas menuju. Ketika diri siap dan berani melalui masa penuh pasang-surut. Sesekali pikiran munculkan dugaan yang tidak-tidak, sesekali perasaan berkecamuk tanpa arah, tak jarang memaksa kembali ke masa-masa penuh tekanan.
Amati saja, segala letupan yang bernada manja. Entah menguap jadi tangis, sedih, murung, gelisah, khawatir atau rasa yang sulit didefinisikan.
Pada ujungnya,
Kita masih perlu bersabar sekali lagi, ya, sekali lagi.
Perlahan mengenal rasa maaf,
Memaafkan gumpalan luka yang terlanjur membekas, memaafkan sesak dada yang terlanjur menyakitkan, memaafkan masa lalu yang terlanjur kelam dan tenggelam.
Fokuslah,
Pada diri yang mulai terbiasa, beraktivitas walau kadang masih teringat dan terasa perihnya.
Sadarilah! Mungkin, kesadaran kecil itu bagian dari upaya kerasmu selama ini. Beserta, doa yang terpanjat secara sengaja, tidak sengaja, keras, pelan atau nyaris tak sanggup bersuara.
Ingatlah, segala rintihan walau nyaris tak bersuara, Dia, Allah, Sang Maha Mendengar tetaplah setia menampungnya. Terus ditampung hingga waktu yang sungguh tepat. Tentu berupa kejutan yang selama ini dinantikan. Tanpa disangka-sangka.
Maka,
Terus berusaha percaya seserius dan sekhidmat mungkin.
Dengan begitu, ketika dorongan negatif datang dari berbagai sisi. Saat tersesat, kita masih ingat arah kembali. Bersimpuh lagi lalu tenggelam dalam doa dan ampunan meminta pertolonganNya, sekali lagi.
Tak perlu terburu-buru untuk segera menyudahi. Nikmati prosesnya, boleh jadi, itulah caraNya terjemahkan menjadi buah-buah pahala, ampunan, serta ridhoNya. Hingga, kita lupa "apa itu rasa sakit?"
Terpenting, seperih pun separah apapun lukanya. Diri masih bersedia untuk belajar memaafkan jiwamu sehingga bisa menguatkan bahwa segala yang dialami itu bukanlah salahmu. Lebih indah, semua tentang caraNya menyayangimu. Tanpa tapi...
Masih sanggupkah untuk terus percaya, sekali lagi?
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
186 notes · View notes
muhsarifin · 2 years
Text
#20 — Merawat Niat, Kerdilnya Ekosistem
Tumblr media
Perjalanan menjadi dewasa kian beragam selimutnya. Tiap langkah seperti pintu yang membuka jalur lain dengan segudang pertanyaan. Ada banyak godaan yang seringkali mengkerdilkan secercah niat baik sebagai amunisi diri. Bahkan, tak jarang datang dari orang-orang terdekat yang kita kira sebagai support system.
Pilihan yang disalahpahami, diri yang diragukan, keberadaan yang dianggap nothing, besarnya omongan alpanya support, tak jarang dipaksa rela menerima omongan orang atas ketidakpercayaan yang disangkal.
Kehidupan akan terus berjalan, pilihan akan kian mengiringi. Scene demi scene. Bergulat pada lemahnya support system, cukup menguras energi. Tak bisa mengelak bahwa sebagai makhluk sosial, semandiri-mandirinya seseorang tetap membutuhkan kehadiran orang lain. Walau hanya dengan mempercayai apa yang diyakini, proses yang dijalani atau sekedar menanyakan kabar.
Lingkungan yang dipijakki mungkin tak semua orang memiliki keberuntungan yang sama. Ada yang rela berjalan jauh demi lingkungan baik yang bisa support sekecil tawa atau senyum yang seringkali tertahan dalam lingkungan terdekat. Ada yang rela melepas rasa malunya demi ekspresi diri yang tertekan. Ada yang rela mengemis harga diri demi menyatakan bahwa dirinya sangatlah berharga.
Dunia hari ini dengan kebebasan bersuara dan berekspresi. Media sosial sebagai platformnya. Semakin banyak orang menunjukkan sisi lain akan dirinya. Tak jarang yang tak sadar bahwa apa yang dilakukan telah kebablasan. Vibrasi energi yang kini bergulat dalam frekuensi konten, tanpa batas.
Bisa jadi, salah satu alasannya karena tak semua dari kita memiliki ekosistem bertumbuh yang setia mendengar, saling memberi feedback atau sekedar menanti kabar.
Niat seseorang tentu hanya dirinya dan Allah yang memahami secara utuh. Saat prasangka keliru datang dari orang lain. Tidak ada alasan penting untuk mempercayai. Persepsi orang lain tidak akan bisa kita hindari. Namun, kita bisa memfilter mana yang sekedar diiyakan atau dijadikan input baik bagi diri.
Hal sederhana untuk memilah dan memilih, lingkungan baik termasuk orang-orangnya. Tampakkan segala hal baik dari dirimu, jika tidak adanya sikap apresiatif. Lebih baik, menjauh dan carilah lingkungan lain.
Ternyata, tak semua hal baik akan diterima oleh lingkungan yang kita anggap baik.
Jadi ingat, kutipan nasehat yang pernah berseliweran di kanal media sosial :
"Sulitnya meyakinkan lalat bahwa bunga itu jauh lebih indah dari pada sampah."
Mengutip sebuah artikel, "sebab ia sudah terbiasa hidup di antara tumpukan sampah dan mencium bau busuknya sehingga ketika kita tunjukkan bunga yang indah dan harum, ia pun tak terima."
Senada dengan ucapan Malik bin Dinar dalam Sifatus Shafwah 2/172 :
"Sesungguhnya badan apabila terkena penyakit maka akan sulit untuk menelan makanan dan minuman, demikian pula hati apabila telah tertutup dengan kecintaan kepada dunia, maka akan sulit menerima nasihat."
Selamat bertumbuh bersama semesta!
[c] Muhammad Sarifin | @muhsarifin
20 notes · View notes