Cerpen : Kerani
Di sudut ruangan, beberapa menit lalu harapanku melambung tinggi. Aku optimis kau akan memilih tempat tepat di sebelahku. Sebagaimana yang direncanakan sebelumnya. Namun, aku keliru. Mereka yang lebih ceria lebih asyik sepertinya menjadi teman berbicara.
Kau berjalan santai seperti gayamu sehari-hari. Meletakkan leptop di atas meja tepat di dekat dua teman perempuanku yang usianya lebih muda. Kau mengambil posisi di tengah. Beruntung, aku masih bisa melihatmu dari jarak ideal. Meski di dalam sini tak nyaman sekali.
Rasanya tak adil. Seharusnya bukan di sana tempatmu berada. Apa semua tanda itu tak bisa kau kenali? Atau sengaja kau abaikan karena banyaknya orang-orang? Berbeda saat kita hanya berdua?
Salahku memang tak mendekatimu. Salahku tak berani bergabung dalam obrolan kalian. Tapi, jauh di dalam sini masih berharap kau lebih peka. Agar kau datang dengan sendirinya.
Tadi pagi, di lain ruang kau tampak berbeda. Kebetulan kedatangan kita hampir bersamaan. Senyum mengembang itu tak pelak membuatku senang. Terlebih saat langkahmu membelok ke tempatku. Hati ini kian berdebar.
"Gimana? Sudah beres semua?" tanyamu sambil mendekat. Mengulurkan telapak tangan.
Aku terdiam. Biasanya tak pernah seperti ini. Seumur-umur tak pernah kau berani melakukannya.
"Kurang satu laporan," jawabku sambil menjabat tanganmu.
"Kok bisa? Kemarin sore belum diprin?"
Aku mengangguk kecil untuk kemudian kembali melihat ke depan. Jantungku seperti bergeser dari posisi semula saat sebentar sekali tatapan kita bertemu.
"Nggak sempat," jawabku.
"Hmmm. Ya udah sini aku bantu."
Aku menggeleng. Bagiku tidak perlu.
"Yakin?"
Tangan itu masih setia. Terasa sedikit penekanan di telapak tanganku. Kau menjabat dengan sepenuh hati. Seolah kita rekan sejati.
"Iya. Persiapan buat presentasi, aja."
Kau pun mengangguk seraya melepas jabat tangan pertama kita. "Oke. Aku langsung ke ruang seminar, ya."
"Iya."
Kembali langkahmu terayun meninggalkanku. Memperlihatkan cara berjalan yang sedikit membungkuk. Sungguh biasa. Tidak istimewa bahkan. Tapi aku … suka.
Seminar berlangsung. Seperti yang sudah-sudah, kau mampu membungkam para peserta kelas dengan sangat baik. Bahkan, aku yang sering mendampingimu menyiapkan banyak hal tetap saja terpukau. Riuh tepuk tangan pun terdengar.
"Baik, apa ada pertanyaan tentang penggunaan platform pendidikan ini?" tanyamu di tengah forum.
Beberapa peserta tampak saling melempar pandang. Ada yang mulai mencatat di bukunya. Ada juga yang lebih memilih memainkan ponsel. Masing-masing menampakan reaksi yang berbeda. Aku tersenyum kecil. Harusnya ada banyak pertanyaan. Aku pun ikut mengamati pergerakan mereka karena dengan cepat harus mencatat jika ada yang bertanya. Itu tugas yang kau berikan hari ini.
Lengang.
Satu pun tak ada yang berniat mengangkat tangan.
"Bu Rifa, mungkin bisa dibantu?" tanyamu lembut.
"Ya, Pak."
"Bisa dipandu, ya?"
Aku pun mengangguk. Senang sekali mendapat kesempatan. Segera aku berdiri. Berjalan anggun ke arahmu. Sebaik mungkin aku melakukannya.
"Baik, Bapak, Ibu, ada yang mau ditanyakan?" tanyaku mengulang pertanyaanmu. Hanya saja kutambahkan senyum ramah. Kuyakinkan pada mereka tidak ada yang salah dari bertanya.
"Baik, Mbak Diyan?" tanyamu. Kau lebih cepat melihat pergerakan itu.
"Begini, Pak. Saya sudah coba donwload, tapi kok nggak bisa, ya. Apa memorinya penuh atau bagaimana?"
Kau tersenyum. Ya. Tersenyum seperti biasa dan untuk siapa saja.
"Coba saya lihat hpnya, ya," katamu sambil berjalan ke arah Dian. Perempuan yang tadi kau ajak bicara.
Memang begitu sikapmu. Baik pada siapa saja. Di acara seminar seperti ini kadang aku lupa diri. Kau adalah aktor yang harus memainkan peran dengan penuh penghayatan. Kau memang harus bersikap seperti itu. Meski di dalam sini tak rela saat setiap kali acara menyaksikannya.
"Makasih, ya, Pak. Sudah bisa ini."
"Makanya jangan penuh-penuh, Mbak. Dihapus dulu itu foto-fotonya," ujarmu. Mungkin kau sedang berusaha melucu.
"Ah, Bapak bisa, aja."
Dian. Adik tingkatku waktu kuliah. Beda prodi tapi satu fakultas. Akan kutandai setiap ia mengikuti kelas. Aku tidak suka dia terlalu menunjukkan ketertarikan padamu.
Kau kembali mengambil alih panggung. Melanjutkan materi dengan tema lain. Mau dengan gaya apa pun, tetap sama. Selalu memesona. Dan sayangnya, dua perempuan lain di ruangan ini juga mengakui. Biasanya hanya aku saja karena kelas yang kau buka lebih banyak peserta laki-lakinya.
Seminar selesai. Kukira kau akan langsung keluar dari ruangan ini, namun kau masih menjawab beberapa pertanyaan lanjutan dari Dian dan temannya. Aku pun tak melibatkan diri.
"Tunggu di kantor, ya," ujarmu.
Aku mengangguk.
"Mbak Rifa sombong amat. Sini dulu, lah, gabung sama kita," seloroh Dian.
Aku tersenyum tipis sambil mengangkat tangan. Malas.
Ruang kerja terasa lebih sepi. Seorang diri aku menunggu. Mungkin Dian dan temannya menahanmu di sana. Dan kau, menanggapi seperti yang sudah-sudah juga. Akhirnya kusibukkan diri dengan merapikan beberapa berkas.
Pintu terbuka. Kau melangkah dengan penuh wibawa. Di mataku. Kau mendekati meja kerja yang menghadap langsung ke pintu.
"Aku balik dulu, ya," ujarmu lembut.
"Tumben?" tanyaku sambil melirik jam.
"Ada acara."
"Sama?"
"Sama istri sama anak, lah, siapa lagi?" jawabmu dengan senyum menghias di bibir.
Pada tahap ini seharusnya aku sadar diri. Tak semestinya aku menempatkan perasaan itu padamu. Tadi saat dengan peserta kelas perempuan saja aku tak nyaman, sekarang ditambah dengan seseorang yang jelas tidak mungkin bisa kukalahkan.
"Hati-hati."
"Pasti, Rifa. Kamu pulang naik motor?"
Aku mengangguk. Memang itu satu-satunya kendaraan yang bisa membawaku.
"Lain kali aku antar, ya."
Aku tersenyum getir. Untuk apa?
Ponselmu bergetar. Sebuah panggilan video tampak di layar. Dengan bangga kau menggeser tanda hijau. Membiarkan panggilan itu berlangsung.
"Iya, bentar, Dik," ujarmu.
"Nanti telat, Mas! Udah siang ini!"
"Bentar lagi. Ini kasihan Bu Rifa beresin sendirian."
"Oh sama Bu Rifa? Mana orangnya?"
Ya. Istrimu kerap begitu. Mengakrabkan diri dengan rekan-rekanmu termasuk aku.
Sedikit memaksakan diri, aku menyapa seseorang yang tidak mungkin kukalahkan tadi.
"Iya, Bu. Ini sudah mau pulang."
"Maaf ya, Bu Rifa. Dirusuhin suami saya terus, ya? Maaf nih, nggak bisa bantu buat hari ini."
"Iya, Bu. Ndak apa-apa."
Meski dalam hati kesal setengah mati. Jam kerja suaminya belum selesai. Harusnya masih bisa bersamaku sebentar lagi.
"Ya udah, Dik. Mas siap-siap dulu, ya. Tunggu di rumah."
Sapaan itu … yang kuinginkan. Sapaan itu … yang kuharapkan darimu. Tapi, jelas tidak mungkin. Aku sendiri tak yakin dengan apa yang kurasakan.
"Aku balik dulu, ya."
"Iya."
"Lain kali ngobrol panjangnya."
"Iya."
Kau tersenyum tipis. Kembali mengulurkan tangan. Buat apa?
"Aku balik dulu," ulangmu.
"Iya." Kali ini tak kuraih. Aku memilih berjalan meninggalkan ruangan.
Setelah mobilmu meninggalkan area kantor, aku kembali ke posisiku. Menyelesaikan beberapa laporan juga menyusun jadwalmu besok. Seperti ini terus setiap hari.
Setelahnya aku mengambil ponsel. Mengetuk nomormu. Memandangi foto profilmu. Berdua dan tampak mesra. Berbeda denganku yang setia menjadi bayang tanpa pernah mendapat pengakuan.
Kusingkirkan benda pipih itu seraya meluruskan punggung di sandaran kursi. Sejenak memejamkan mata. Satu atau dua jam ke depan kau akan merajut status WA. Memperlihatkan dengan pasti kebahagiaan keluarga kecilmu itu dan aku … tidak suka.
6 notes
·
View notes
Alhamdulillah Alloh Maha Beri Kenyamanan. Ajak Sampaikan Kata Terima Kasih & Mohon Maaf Ke Bidadari Kita. Cemburu Tanda Cinta. #Dakwah #Islam
Cemburu dalam bahasa Arab disebut dengan ghairah yang secara bahasa diartikan: berubahnya suasana hati dan bangkitnya amarah karena berbagi sesuatu yang bersifat privasi. Cemburu merupakan watak alamiah yang diberikan Allah pada diri manusia, dan akan muncul ketika ada orang lain yang turut bersama mengusik miliknya, dan perasaan tersebut muncul dengan sendirinya.
Alhamdulillah Alloh Maha Beri Kenyamanan. Ajak Sampaikan Kata Terima Kasih & Mohon Maaf Ke Bidadari Kita. Cemburu Tanda Cinta.
Banyak jenis cemburu yang diperbolehkan dalam syariat, salah satunya adalah cemburu dalam rumah tangga, bisa saja cemburu ini muncul dari seorang suami atau dari seorang istri. Pasangan yang tidak memiliki rasa cemburu secara proporsional tidak dianggap baik, karena itulah Nabi menyebut dirinya sebagai orang yang pencemburu melebihi sahabat Sa’ad.
Cemburu dari seorang suami berguna untuk menjaga nasab agar tidak terjadi percampuran. Sebab itulah dikatakan, setiap umat diberi rasa cemburu pada kaum laki-lakinya, dan diberi shiyanah (terpelihara) pada kaum wanitanya.
Istri juga boleh cemburu pada suaminya selama tidak sampai mengucapkan kata-kata kotor dan membangkang pada suami. Seorang istri tidak mungkin terbebas dari rasa cemburu, karena cemburu adalah watak manusiawi. Sebagai contoh adalah istri-istri Nabi, bagaimana sesekali mereka saling cemburu antara satu dengan yang lain.
Berikut beberapa riwayat tentang cemburu istri-istri Nabi:
Cemburu Aisyah pada Khadijah.
Dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah RA. berkata: “Tidaklah aku cemburu kepada istri-istri Nabi SAW. sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah, padahal aku belum pernah melihatnya. Ini karena Nabi sering menyebut-nyebutnya (memuji dan menyanjungnya), dan terkadang Nabi menyembelih kambing, memotong-motong bagian dagingnya, lantas mengirimkannya pada saudara-saudara Khadijah. Suatu saat aku berkata kepada beliau, “Seolah-olah tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah.” Maka Nabi menjawab: “Khadijah itu begini (sifatnya) dan begini (keistimewaannya) dan dari dialah aku mempunyai anak.” (HR. Bukhari)
Dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah RA. berkata: “Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah memohon izin (isti’dzan) masuk menemui Rasulullah SAW. Seketika Rasul teringat dengan isti’dzan Khadijah, beliau berubah tampak senang karenanya, dan bersabda, “Ya Allah! Jadikanlah dia Halah”. Aku (Aisyah) langsung cemburu dan berkata, “Apa yang engkau ingat dari wanita tua dari bangsa Qurasy itu, yang telah memerah kedua sudut mulutnya (: giginya telah tanggal dan yang tersisa hanyalah gusi merah), yang telah meninggal pada masa lampau, dan Allah telah memberi ganti dirimu dengan orang yang lebih baik dari pada dirinya.” (HR. Bukhari)
Cemburu Aisyah pada Shafiyah.
Ibnu Hajar dalam al-Ishabah fi Ma’rifatis Shahabah meriwayatkan dari Atha’ bin Yasar, berkata, “Ketika Rasulullah SAW. datang dari Khaibar, dan Shafiyah ikut bersama beliau, kemudian disuruh tinggal sementara di rumah Haritsah bin Nu’man. Para wanita Anshar mendengar berita itu, lantas mereka datang ke rumah Haritsah untuk melihat kecantikan Shafiyah. Aisyah kemudian juga datang ke rumah itu dengan bercadar, setelah Aisyah keluar, Nabi SAW juga keluar mengikuti Aisyah, lalu bertanya, “Bagaimana perempuan yang engkau lihat itu Aisyah?” Aisyah menjawab, “Aku melihat seorang wanita Yahudi.” Nabi lalu menasehati, “Jangan berkata seperti itu, sungguh dia telah masuk Islam dan Islamnya juga baik.”
Cemburu Zainab pada Shafiyah
Dari Aisyah RA.: Dalam sebuah perjalanan Rasulullah, unta Shafiyah mendadak sakit, sementara unta Zainab ada yang tersisa. Maka Rasulullah SAW bersabda pada Zainab, “Unta Shafiyah sakit, aku minta engkau memberi dia seekor dari untamu.” Zainab menjawab, “Apa aku harus memberi wanita Yahudi itu?”. Karena kejadian itu, Nabi tidak mendatangi Zainab pada bulan Dzul Hijjah dan Muharram; dua bulan atau bahkan tiga bulan. (HR. Ahma
d).
Cemburu Istri-Istri Nabi pada Shafiyah
Dari Zaid bin Aslam semua istri Nabi berkumpul di dekat beliau saat sakit menjelang wafat. Shafiyah berkata, “Aku ingin sakit yang engkau rasakan juga ikut aku rasakan.” Istri-istri Nabi saling mengedipkan mata. Nabi kemudian melarang mereka dan mengatakan bahwa Shafiyah tidak berdusta.
Cemburu Istri-Istri Nabi pada Aisyah
Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah: Istri-istri Rasulullah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah Aisyah, Hafshah, Shafiyah dan Saudah. Kelompok kedua adalah Ummu Salamah dan istri-istri yang lain.
Kaum muslimin tahu betapa cintanya Rasulullah SAW pada Aisyah, sehingga ketika mereka memiliki harta yang ingin dihadiahkan kepada Rasul, mereka mengundurnya sampai Rasulullah tiba pada giliran bermalam di rumah Aisyah, baru kemudian pemilik hadiah itu mengirimkan hadiahnya untuk Rasul ke rumah Aisyah.
Kelompok Ummu Salamah kemudian berkata pada Ummu Salamah, “Berbicaralah pada Rasullah SAW agar beliau memberi tahu orang-orang, agar siapa saja yan ingin memberikan hadiah kepada Rasul hendaknya memberikan hadiah itu di mana pun Rasulu bermalam di rumah istri-istrinya.”
Perihal tersebut kemudian disampaikan Ummu Salamah pada Rasul sebanyak tiga kali, sampai pada akhirnya Rasul bersabda, “Janganlah engkau menyakitiku perihal Aisyah, sesungguhnya wahyu tidak turun padaku pada saat aku berada di dalam jubah seorang wanita, kecuali Aisyah.”
Ummu Salamah lalu berkata, “Aku bertaubat pada Allah dari menyakiti dirimu wahai Rasulallah.” (HR. Bukhari)
Diceritakan dari Anas ia berkata: Nabi sedang berada di rumah salah satu istrinya, kemudian salah seorang dari istri-istri yang lain mengirimkan makanan dalam mangkuk, kemudian istri tersebut memukul tangan pelayan itu hingga mangkuk di tangannya jatuh dan pecah. Nabi kemudian mengumpulkan serpihan-serpihan mangkuk dan memasukkan makanan itu ke dalamnya. Kemudian bersabda, “Ibumu sedang cemburu”. (HR. Bukhari).
Demikianlah rasa cemburu istri-istri Nabi, walaupun demikian rasa cemburu itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi pribadi-pribadi yang hebat. Di antara mereka ada wanita-wanita yang ahli puasa, ahli ibadah malam, periwayat beribu-ribu hadis Nabi, ahli agama yang menjadi rujukan umat dan lain sebagainya. Allah berfirman, “..boleh jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu…” (Q.S. Al-Baqarah [02] : 216)
sumber : https://bincangsyariah.com/khazanah/istri-istri-nabi-yang-pernah-cemburu-satu-sama-lain/
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid.
Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin.
Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
Alhamdulillah Alloh Maha Beri Kenyamanan. Ajak Sampaikan Kata Terima Kasih & Mohon Maaf Ke Bidadari Kita. Cemburu Tanda Cinta.
1 note
·
View note