Tumgik
dpoetic · 1 year
Text
Cukup
Bagaimana bisa seseorang yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh, menjadi subjek dalam tulisanku lagi kali ini.
aku ingat ada yang berkata bahwa cinta tidak pernah mati, ia hanya berpindah kepada yang lebih menghargai.
ternyata benar, ia tidak pernah mati.
Bahkan cinta yang pernah ada untukmu, Ia hidup lagi. Meskipun kembali tidak di hargai.
Bagaimana bisa engkau memenuhi pikiranku kembali? hingga aku hilang kendali atas diriku sendiri.
kau yang datang tanpa terduga, lalu kembali pergi seperti tak terjadi apa-apa.
dan aku, yang memang tetap tak mengerti apa-apa.
kita yang memang tetap tak bisa, untuk bersama sedikit lebih lama.
engkau yang selalu terburu-buru dan aku yang terus-menerus meragu. Masih pada rasa dimana tak sebegitu layaknya kau cinta.
semoga kita tak lagi saling menyapa, meskipun hanya untuk bertanya kabar sesekali.
semoga semesta tak lagi mempertemukan kita, dalam keadaan apapun itu.
sebab selalu ada luka yang harus ku pelihara, setelah pertemuan tanpa tuju.
maka, aku rasa cukup.
~ May, 4th ‘23 | © Dea Savitri  
7 notes · View notes
dpoetic · 1 year
Text
Aku Bisa Apa?
Jika ditanya rasanya sedalam apa?
Aku tidak bisa menakarnya.
Jika ditanya seingin apa?
Seperti ingin menggenggam seluruh dunia.
Perasaan yang sekiranya tak pernah engkau kira atau pula engkau terima, setiap harinya ia tumbuh tanpa sedikitpun rasa iba.
Kesempatan yang tak kunjung datang itu kadang-kadang membuatku putus asa.
Tetapi, melangitkan namamu dalam setiap doa, tak akan hentinya aku coba.
Barangkali, mencintaimu adalah sebuah usaha tanpa timbal balik.
Oleh karena itu, aku dituntut untuk siap menghadapi berbagai hal pelik.
 Seperti melihat tuju mu yang semakin mengarah kepadanya.
 Ah! Apakah tak ada 1 saja doaku yang sampai pada yang kuasa?!
Padahal aku sungguh ingin memberikan duniaku yang utuh untuknya, namun jika ia lebih memilih semesta lain,
Aku bisa apa?
~ Dec, 13th ‘22 | © Dea Savitri
3 notes · View notes
dpoetic · 3 years
Text
Renjana
Kutitipkan sebagian angan-angan pada tiap-tiap rintik hujan yang berjatuhan. Kututurkan satu-persatu keinginan di setiap datangnya siang dan malam.
Aku mencari cela tanpa jeda, meyakinkan semesta agar bersedia.
Kuucapkan pada tiap kesempatan, kuuntai indah menjadi sebuah tulisan. Sebuah sendu di dalam kalbu yang intensinya menujumu.
Di tiap temu dengan yang kuasa, kuramu doa paling sederhana. Agar kita bertemu di jalan yang sama; Jalan dimana aku adalah tujuanmu sepenuhnya, dan kamu adalah pulangku yang seutuhnya.
Perihal banyaknya doa-doa yang mengudara, yang entah sudah sampai langit keberapa. Aku tidak henti-hentinya mengulang hal yang sama. Sengaja ku menguncimu dengan pinta, sebab bagiku kau terlalu istimewa.
Semoga dirimu tak selalu terkurung dalam kata ‘semoga’. Adalah hal paling baik jika kelak kau menjadi sebuah nyata.
Bagiku, menunggu hanyalah hal sederhana. Sebab yang lebih membuat derita adalah memilikimu yang mungkin hanya angan-angan belaka.
Namun, berteguh hati pada sebuah sanubari adalah sebuah janji. Maka ku berharap bahwa kelak aku adalah sesuatu yang kau syukuri.
Nanti, jika memang kesempatan berbahagia telah tiba, semoga aku adalah wujud nyata yang dipilih semesta untuk menerima segala dan menjadi yang selalu ada disaat yang lain tidak bersedia,
Untukmu.
~ Dec, 27th ‘20 | © Dea Savitri
4 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
Kepada diri sendiri di 5 tahun nanti. Aku percaya engkau akan jauh lebih baik dari saat ini. Aku percaya beberapa angan yang selalu kau usahakan dan doakan pun akan terealisasi.
Namun kau harus mengerti, kadangkala untuk menebus sebuah pencapaian, kau harus melewati sedih yang suntuknya setengah mati, bahkan melewati patah yang sakitnya tidak bisa dimaklumi. Kuat-kuat lah atas segala rasa sakit yang entah nantinya akan menjelma seperti apa.
Pesanku, untuk segala ingin yang tidak terjadi sesuai mimpi. Kau hanya perlu meyakini bahwa memang belum rezeki. Untuk segala harap yang tidak terjadi sebagaimana mestinya, kau hanya perlu menerima bahwa memang belum waktunya. Jangan pernah menyerah seperti dirimu yang sudah-sudah. Meski berdarah, aku meyakini kau akan tetap berdiri meski dengan satu kaki.
Tetaplah menjadi diri sendiri, bagaimanapun keadaannya nanti, aku akan tetap mencintaimu seperti hari ini.
~ July, 18th ‘20 | © Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
Hari ini semesta sekali lagi memberimu kesempatan berbahagia. Sebagaimana umur panjang Ia hadiahi sebagai karunia. Bersama dengan usia yang bertambah, tentu saja tantangan dalam hidup semakin berlimpah. Tetapi kuharap kau tidak pernah menyerah, seperti dirimu yang sudah-sudah. Doaku hanyalah tetap saja menjadi dirimu sendiri, menjadi kamu yang sekarang ini dengan apa-apa yang kamu ingini. Pada tiap-tiap langkah yang kamu pilih, pada apa-apa yang kamu tekuni, akan kudukung sepenuh hati. Selebihnya akan kubawa dalam semoga, agar semesta merestui juga. Sebagai tambahan semoga dalam hidupmu yang baik-baik selalu datang, yang buruk-buruk menghilang. Selamat menua, sekali lagi Gorgeous R!♥️
~ May 12th ‘20 | © Dea Savitri
1 note · View note
dpoetic · 4 years
Text
Diuji itu biar lebih dekat, lalu diangkat derajat. Bukan malah semakin menjadi-jadi, lalu lupa diri. Memang nya kamu sudah punya investasi sebesar apa sampai berani mencaci Sang Pencipta? Bahkan dari 5 waktu yang kamu punya, sudah yakin dijalani semua? Jangan merasa semesta tidak bertindak sepatutnya, seolah-olah hanya dirimu yang paling menderita. Tiap-tiap manusia di bumi pasti punya rasa kecewa. Hanya saja beberapa dari mereka mampu berpura-pura, juga mampu menerima; termasuk yang kau lihat selalu bahagia.
~ April, 26th ‘20 | © Dea Savitri
1 note · View note
dpoetic · 4 years
Text
Kadang-kadang kita tidak ditakdirkan memiliki apa yang kita inginkan dan menerima apa yang mungkin seharusnya kita dapatkan. Dari segala usaha yang terus-terusan. Dari belajar yang mati-matian. Ternyata tak menjamin hidup akan nyaman.
Seleksi semesta menunjukan betapa kejamnya dunia. Betapa yang tidak memiliki kuasa, hidupnya hanya akan sia-sia. Seolah-olah dunia hanya berkata percuma kalau kita tak punya apa-apa. Hingga keputusasaan lah yang merajai hidup kita.
Entah apa yang direncanakan olehNya, kita hanya harus menerima takdir yang sudah ada. Terlebih pada takdir yang juga sulit kita terima; Takdir yang membuat kita merasa tidak beranjak kemana-mana, meski segala waktu dan usaha sudah kita investasikan semua.
Namun semua hanyalah perihal waktu belaka. Kembali pada masing-masing percaya dan usaha, sebab kita tak pernah tau kemana kegagalan akan membawa kita. Entah pada sesuatu yang baru, entah pada sesuatu yang memang selama ini kita tunggu. Semua akan kita tahu ketika kita telah melewatinya dan mensyukuri setiap prosesnya. Saat ini mungkin kita belum mampu atau masih keliru memahaminya. Oleh karena itu, teruslah mencari pintu meski yang berlalu telah menolakmu. Tetaplah percaya bahwa segala upaya yang baik adanya, akan memiliki hasil yang baik juga. Walau nanti tak sejalan dengan ingin, pasti akan semanis semestinya.
~ March, 28th ‘20 | © Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
Beberapa waktu belakangan, aku meraba-raba masa depanku denganmu. Entah bersama, entah angan-anganku belaka.
Nyatanya menginginkanmu bertahun-tahun saja tidak lantas membuatmu mengganggapku ada. Sebab bersamanya saat ini dirimu berbagi suka. Dan sendiriku yang masih mengharap-harap dirimu yang tak ada.
Seluruh kesenanganku saat itu nyatanya masih bisa membuatku tertawa. Dari bagaimana aku yang tak bisa berhenti tersenyum saat memikirkanmu, bagaimana aku yang berlari begitu kencang hanya untuk melihatmu, bagaimana aku yang berpura-pura acuh padahal ingin sekali menatap, bagaimana aku yang begitu malu saat kau menangkapku sedang memandangmu, dan dari bagaimana aku yang menahan seluruh degub ketika semesta mempertemukan kita secara tak sengaja. Semua pertemuan kita yang selalu ku anggap sebagai karunia. Dari seluruh ketidakmampuanku itu kau pasti tahu bahwa aku penggemarmu nomor satu.
Dahulu sekali, saat engkau ingin pergi. Aku berdoa pada yang Kuasa, untuk membuat kita saling sapa sekali saja. Untuk membuatmu bertanya kepadaku tentang sesuatu yang bahkan tak ada kaitannya tentang kita. Tetapi kau malah pergi begitu saja, bahkan membuatku menyaksikanmu tertawa oleh sebab yang ku tak suka; dia. Yang beberapa tahun belakangan menjadi alasanmu bahagia, yang juga menjadi andalanmu memegang percaya.
Entah bagaimana menjelaskannya, aku berharap kau bahagia. Tetapi jahatku, menginginkan akhir kalian yang tak akan menjadi apa-apa. Karena setiap kali aku menginginkan seseorang yang nanti dapat seutuhnya kupercaya setengah mati, rupamu-lah yang selalu kembali. Dan aku masih tidak mengerti, mengapa inginku padamu seburuk ini.
Senjaku, senjanya.
~ Feb, 19th ‘20 | © Dea Savitri
4 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
𝑴𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒊𝒔?
𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘩 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘬𝘶𝘱𝘪𝘭𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘵𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴. 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘯𝘥𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯, 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘴𝘶𝘯 𝘥𝘪𝘬𝘴𝘪 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘸𝘢𝘬𝘪𝘭𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘭𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯? 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴. 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘳𝘢𝘴 𝘵𝘦𝘯𝘢𝘨𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯, 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘳𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯; 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘳𝘶𝘢𝘯. 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘩𝘢𝘭 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘱𝘢𝘴 𝘣𝘦𝘣𝘢𝘯, 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘮𝘢𝘯. 𝘛𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘢𝘯. 𝘉𝘢𝘨𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶, 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘵𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘳𝘢, 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢. 𝘔𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 ��𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘱𝘴𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘭𝘪𝘯𝘨𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘥𝘪𝘢𝘫𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘢𝘨𝘪. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘥𝘪𝘩𝘢𝘯. 𝘉𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴, 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘮𝘱𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯, 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘥𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘮𝘱𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘢𝘯. 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘳𝘶 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘶𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘣𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘬𝘪𝘳 𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘴𝘢𝘯. (𝘏𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯). 𝘉𝘦𝘳𝘶𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴. 𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘪𝘳𝘪𝘴, 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘱𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴. 𝘒𝘦𝘭𝘦𝘨𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢; 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘳𝘺𝘢. 𝘒𝘦𝘴𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘪𝘳𝘢; 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘯𝘺𝘶𝘵 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘥𝘪𝘬𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘴𝘶𝘴𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘶𝘳𝘯𝘢.
~Jan, 24th ‘20 | © Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
Tahun ini cukup banyak memberikan investasi pelajaran bagi saya. Meski diawal disambut oleh hati yang gundah gulana, tetapi tidak begitu saja terjadi dalam jangka lama. Sebab yang patah saat itu tidak membuat saya lantas menyerah, meski sesaat sempat membuat hilang arah.
Dari kekecewaan yang setiap sebab nya berbeda, saya belajar memahami banyak hal. Hal yang bukan semata-mata hanya menimbun amarah, tetapi juga membantu tumbuh dan bertambah.
Pada tiap-tiap keluh kesah yang saya punya, keikhlasan juga turut menyertai perjalanan saya. Saya tidak sepenuhnya baik-baik saja, tetapi juga tidak rapuh sepanjang cerita. Saya justru banyak bahagia dari hal-hal yang tak terduga. Memahami dunia dari tiap sudut berbeda, membuat saya bersyukur lebih banyak pula, dan hasilnyapun luar biasa sejahtera. Merasa cukup ternyata kuncinya.
Tahun ini, saya belajar lebih. Mungkin tahun selanjutnya pun semakin letih. Tetapi semoga tidak membuat saya runtuh gigih.
Tak banyak yang saya bisa utarakan. Yang pasti terima kasih dan bebenah diri akan selalu ingin saya lakukan. Selain kata maaf karna sering kali mengecewakan, 2019, engkau mengesankan. Selamat menyambut 2020 yang menyenangkan!
~ Dec, 31st ‘19 | © Dea Savitri
1 note · View note
dpoetic · 4 years
Text
Ada masa dimana saya tidak ingin membayangkan dan berharap tentang apapun.
Tentang angan-angan pekerjaan, tentang menjadi seperti apa di depan, juga tentang sesiapa yang akan mendampingi di masa mendatang.
Bukan tidak berani, tetapi lebih seperti memasrahkan diri. Memohon pada yang maha pemberi, untuk sebaik-baik jalan dalam hidup. Sepertinya cukup.
Meski kadang juga merancang rencana, tetapi tetap di taruh pada kadarnya. Seperti menjalani hidup apa adanya, tanpa sepenuhnya terencana.
Nyatanya lumayan mampu mengatasi kegelisahan hati, meminimalisir kekecewaan yang disebabkan diri sendiri
~ Dec, 11th ‘19 | © Dea Savitri
0 notes
dpoetic · 4 years
Text
Tumblr media
02.11’s p.m. thought
~ Dec, 5th ‘19 | © Dea Savitri
0 notes
dpoetic · 4 years
Text
Untukmu yang pernah terlalu gegabah. Untukmu yang pernah acuh akan memilah. Untukmu yang selalu berpikir tak pernah salah. Aku sudah berubah, tak lagi berdarah.
Pada tuduhmu yang tak pernah benar. Pada janjimu yang pula kau langgar. Peduliku padamu juga ikut memudar.
Maka jangan lagi mencari celah untuk berulah. Sebab diriku tak ingin lagi berbagi lelah. Jangan lagi memohon untuk kembali. Sebab tak ada lagi ruang untukmu menetap disini. Diriku yang pernah begitu jatuh padamu telah mati ditelan bumi.
Berbahagialah atas segala keputusan yang pernah kau buat. Sebab itu menjauhkanmu dari manusia tak berdaya sepertiku, manusia yang kau harap menjadi pelengkap kesempurnaan namun ternyata hadirku hanya kau anggap sebagai sebuah kesalahan.
Sambutlah seluruh tuduhan yang pernah kau ajukan dengan kenyataan. Dan anggaplah seluruh kerinduan sebagai balasan sebab pernah meninggalkan.
Sepeninggalmu dulu, aku juga begitu. Bahkan lebih gila, hanya saja aku pandai berpura-pura. Tetapi sekarang baik-baik saja, bahkan menyesalinya. Mengapa mengenal dirimu aku mau. Mengapa ditinggalkanmu aku merindu.
Sekarang semesta memberimu kesempatan yang sama; menikmati baik buruknya, sakit-sakitnya.
Jadi, nikmatilah sebagaimana aku pernah. Menjadi orang yang paling tersiksa, tetapi tak bisa melakukan apapun, selain menerima.
~ Dec, 1st ‘19 | © Dea Savitri
4 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Pria Paruh Jiwa
Aku tidak tau apa yang Tuhan pikirkan ketika Ia menciptakanmu.
Bagaimana mungkin diatas segala kurang, ia berikan keindahan pada segenap mata yang jatuh memandang.
Ia menganugerahimu senyum manis yang dipastikan tak akan mengikis meskipun kau sedang menangis. Rambut hitam yang enggan berantakan, serta hidung panjang yang membuat rupa sederhanamu semakin menawan.
Tidak seperti kebanyakan pria rupawan, Ia memilih cokelat matang untuk mewarnai segenap tubuh tegap itu.
Yang paling mengusik adalah lengkungan kecil di tiap-tiap langit bibir yang Ia buat begitu sempurna seolah pantang jika lama-lama dipandang.
Di lain hal, ada yang tak lupa Ia bubuhi pada sisi makhluk sekacau dirimu; semangat tanpa batas, dan sikap optimis yang tak pernah mengelupas. Ia merahmati jiwamu dengan kebijaksanaan, sebagaimana seluruh kemahiran, tidak bulat-bulat kau telan sendirian.
Kau tak sungkan berbagi pemahaman pada mereka yang justru belum tentu mendengarkan. Kau tumbuh menjadi salah satu yang berpengaruh, bahkan pada mereka yang hidupnya pernah runtuh.
Aku jatuh cinta pada caramu hidup. Pada seluruh langkahmu yang tak pernah redup. Aku mencintai bagaimana caramu tumbuh dan mencintai tumbuhmu yang mampu menjadi pengaruh. Aku mencintai banyak hal itu, bahkan sekurang-kurangnya dirimu. Hanya saja untuk melengkapi itu, kau butuh aku.
~ Oct, 29th ‘19 | © Dea Savitri
6 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Esensi Bahagia
Di dunia ini kadang kita dituntut untuk memilih meski tidak dalam kapasitas menentukan. Pula dituntut menjalani hidup yang intensinya tidak sesuai dengan keinginan hati.
Seolah dunia tak ingin mengerti, seolah semesta tak adil dalam mengasihi. Dan satu-satu nya cara ya hanya memang menjalani, melewati meski dengan berat hati.
Padahal fase yang tak pernah ingin dilewati itu, memiliki segudang pembelajaran untuk hidup kita di depan. Dari sejauh apa kita melangkah, sebaik apa kita tumbuh dan bertambah, serta kehati-hatian terhadap hal yang sudah-sudah, semua dikemas dalam sebuah paket yang kita sebut masalah.
Tetapi saat itulah waktu kita untuk memahami, memperbaiki, serta mendekatkan diri pada yang paling pandai memberi. Mengingatkan kita pada sebuah arti bahwa dunia tidak selalu menyediakan kesan yang rupawan. Mengajarkan kita untuk siap menjalankan jika kiranya ada lagi hal-hal yang tak sejalan.
Baik dan menyenangkan nya dunia tidak diukur berdasarkan apa yang dimiliki dan dilewati, tetapi pada apa yang sudah kita punya dan kita terima.
~ Oct, 23rd ‘19 | © Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
Sudah sejak lama semenjak kita mengurungkan niat untuk bersama. Tak terhitung berapa banyak waktu yang mungkin seharusnya kita lewati bersama tawa berbalut rasa.
Sejak aku menghentikan langkah untuk menujumu, saat itu juga aku terluka. Tetapi aku tahu kau-pun tidak baik saja. Kesetiaan kita pada sang pencipta rupanya mengalahkan seluruh asa.
Meski telah menelan kalah, nyatanya hingga kini kita mampu mempertahankan ikatan agar tetap merekah. Walau tak lagi dalam bentuk yang indah, setidaknya kita mampu melangkah tanpa membahas luka yang sudah-sudah. Hebatmu adalah menahan tanya yang meledak-ledak di kepala. Hebatku adalah membekam sang renjana meski dengan sejuta sesak di dada.
Kali ini diam ku menggiring ingatan masa lalu saat kita terjajah pilu. Sesekali pikirku mengarah pada segenap ragu; benarkah keputusan kita kala itu? Mengapa tak saling mengadu untuk menemukan jalan yang baru? Mengapa memilih berlalu tanpa menjelaskan satupun sendu?
Karena luka yang tetap dibiarkan menganga, kita tidak lagi membagi suka. Sejak saat itu pula kita menjadi dua orang asing yang tidak pernah peduli akan hidup masing-masing. Padahal kita pernah saling memberi bahkan dalam porsi yang orang lain tidak bagi.
Di lain hal, semesta tetap menyediakan ruang untuk kita bertukar pikir dan juga berbagi tawa. Hanya saja kali ini dikemas dalam bentuk yang berbeda. Tak sehangat yang pertama.
Maksudku kali ini tidak tercampur harap ingin kembali, hanya saja terkadang aku menerka-nerka pada apa yang pernah kita punya. Pun kadang kala aku hanya merasa heran ketika bisu ku beralih menjadi rasa penasaran.
Meskipun wujudmu dapat kupandang jelas, namun seluruh tanya nampaknya tak ingin lidah ku ulas. Mungkin memang Tuhan menakdirkan sebatas pelajaran tanpa sangkut paut rasa yang berlebihan. Tetapi sekali lagi, aku hanya penasaran
‘Mengapa semesta menuai perasaan pada kita yang jelas tak sejalan?’
~ Oct, 16th ‘19 | © Dea Savitri
5 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Menanggalkan keliru
Kini aku telah sampai di ujung jalan yang pernah membawaku pada kekeliruan; jalan panjang yang tiap tapaknya menyuguhkan kesengsaraan dan resah-resah yang tak berkesudahan.
Ratusan hari yang tak pernah terlalui dengan rasa sederhana, waktu yang terulur sia-sia, dan impresi akan memori yang sengaja menetap sebagai isi kepala. Sungguh masa yang begitu pelik.
Kini waktu tengah memutar dunia. Dunia yang tak lagi penuh duka, bahkan memetik bahagia bisa dengan sederhana saja.
Alam raya membagi suka cita dalam bentuk yang tak terduga. Meski bahkan terkesan semu, tetapi cukup mahir meneduhkan sendu.
Barangkali keliru-ku selama ini adalah cara semesta untuk menuntun ku tumbuh, tumbuh dari segala rasa yang pernah membuatku jatuh. Melatihku cukup, dari segala hal yang Tuhan bagi dalam hidup. Karena mungkin jiwa yang semakin baik tercipta dari pribadi yang lebih epik.
Jiwa yang sempat merasa gagal itu kini tengah menata jalan untuk menggapai angan. Di sisa waktu yang semesta sediakan, disambutnya hebat segala hal tentang impian. Sebagai caranya membalas dendam akan segala kekalahan. Teguhlah ambisinya meski nanti hanya dengan satu kaki, sebab mimpinya tetap-lah harus terpenuhi.
Tiba saatnya pintu yang dulu di harap terbuka, kini dibiarkan tetap apa adanya. Buku yang nyaris tiap hari di baca, kini ditutup sebab tak lagi ingin tau akhirnya. Tengadah tangan yang dahulu gemar meminta hal yang sama, kini terhenti sebab tak pernah ada isyarat untuk menapaki jalan yang sama.
Kutanggalkan keliruku pada Nya, sebagai bentuk terimakasih tak terkira. Sebab aku meyakini satu hal yang sama baiknya, bahwa balas dendam terbaik adalah dengan menjadi lebih baik, itu saja. Cukup.
~29th August ‘19 | © Dea Savitri
7 notes · View notes