Tumgik
#writingproject
pemintalkata · 4 months
Text
Nggak Ngaruh
Bisa nggak, kita nggak perlu tahu hidup satu sama lain aja?
Bukan, bukan karena belum move on. Tapi kayaknya buat apa sih aku perlu tahu hidup kamu dan sebaliknya? Padahal kita kan bukan teman juga.
Setelah malam itu, harusnya aku segera unfollow akun sosial mediamu ya. Harusnya aku nggak perlu besarin egoku dengan cara mau lihatin ke kamu kalau hidup aku baik-baik aja.
Harusnya aku nunjukin ke diriku sendiri aja dan itu cukup.
Dalih nggak dewasa saat saling unfollow sosial media ketika sudah putus itu celetukan siapa sih?
Apa sih parameter dewasa? Siapa sih yang bilang dengan masih saling follow tandanya kita udah dewasa?
Nggak lantas jadi pecundang kok orang-orang yang milih unfollow atau blokir. Karena kita kan mau mengamankan hidup sendiri aja. Memangnya apa manfaatnya juga kamu tahu hidup aku baik-baik aja? Nggak akan merubah ceritanya juga kan? Nggak lantas kita bisa memperbaiki sesuatu yang harusnya memang diakhiri kan?
Liatin hidup kamu, nanti menikah, punya pasangan baru, punya keluarga sendiri nggak akan bikin perubahan apa-apa juga di hidup aku.
Kita nggak saling kenal sebelumnya. Kita juga nggak memutuskan untuk jadi teman setelahnya. Jadi buat apa sih ini semua?
Kayaknya sih aku memang harus ambil langkah sih. Nge-cut orang-orang yang aku nggak seneng aja, aku bisa, apalagi kamu yang kasih luka.
Jadi kayaknya udah ya, nggak perlu tahu lagi aja. Kalaupun suatu saat kita ketemu, ya benar-benar karena nggak sengaja. Itupun kalau cuma mau lewat tanpa menyapa ya nggak apa-apa juga.
Yang semula asing biar kembali ke asal muasalnya.
75 notes · View notes
coklatjingga · 4 months
Text
Tumblr media
Satu sisi, sebagaimana manusia biasa, rasanya ingin sekali diberi keberlimpahan harta yang dengannya bisa membahagiakan orang tua, menolong sesama dan berbuat banyak untuk umat.
Sayang, di sisi satunya, sebagaimana manusia yang diujiankan nafsu mencintai dunia sedemekiaan rupa, rasanya enggan memiliki harta yang diperebutkan oleh ahli waris, diributkan sanak keluarga. Bahkan, ketika sadar itu tak lagi menjadi hak, masih saja getol mendapatkannya. Dan tak jarang menyebabkan pecah perang saudara.
Ternyata benar, mabuk dunia semenyeramkan itu.
Maka, Ya Allah, biarkan aku mabuk akhirat melalui harta duniaMu.
Batusangkar, 11122023
28 notes · View notes
aksarapuan94 · 4 months
Text
Langit tak selalu biru. Tapi apapun warnanya langit tetap mempesona. Seperti kamu, meski tidak selalu tertawa, untukku kamu istimewa. Bahkan ketika kamu mendung pun aku tetap suka. Gemuruh mu pun aku bisa terima. Tapi kamu pasti tidak percaya.
Kamu memang serupa langit. Bukan karena tinggi, tapi karena kamu adalah manifestasi kebaikan yang diciptakan Tuhan bukan (hanya) untuk aku. Kamu indah dikagumi, tapi tidak bisa dimiliki. Jangan terlalu keras sama diri sendiri ya. Kamu itu memang layak dikagumi. Tetap jadi baik ya, kamu itu menginspirasi.
Suar(a)ksara, 7 Des 2023
25 notes · View notes
dpoetic · 1 year
Text
Cukup
Bagaimana bisa seseorang yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh, menjadi subjek dalam tulisanku lagi kali ini.
aku ingat ada yang berkata bahwa cinta tidak pernah mati, ia hanya berpindah kepada yang lebih menghargai.
ternyata benar, ia tidak pernah mati.
Bahkan cinta yang pernah ada untukmu, Ia hidup lagi. Meskipun kembali tidak di hargai.
Bagaimana bisa engkau memenuhi pikiranku kembali? hingga aku hilang kendali atas diriku sendiri.
kau yang datang tanpa terduga, lalu kembali pergi seperti tak terjadi apa-apa.
dan aku, yang memang tetap tak mengerti apa-apa.
kita yang memang tetap tak bisa, untuk bersama sedikit lebih lama.
engkau yang selalu terburu-buru dan aku yang terus-menerus meragu. Masih pada rasa dimana tak sebegitu layaknya kau cinta.
semoga kita tak lagi saling menyapa, meskipun hanya untuk bertanya kabar sesekali.
semoga semesta tak lagi mempertemukan kita, dalam keadaan apapun itu.
sebab selalu ada luka yang harus ku pelihara, setelah pertemuan tanpa tuju.
maka, aku rasa cukup.
~ May, 4th ‘23 | © Dea Savitri  
7 notes · View notes
mrch0c0late · 2 years
Text
Kalo di pikir-pikir, kamu tuh baik banget ya.
Bersedia pergi meskipun enggak mau, Bersedia berhenti, meskipun perasaan km enggak gitu.
- Mrch0c0late -
27 notes · View notes
zimtphilosoph · 1 year
Text
Raiha Falls
-I-
-後程-
A dark timbre hailed out into the courtyard as sharp and clear as a bullet dislodging into the night.
“Tch. It seems you’re fair game to me now.”
As soon as Gin’s hand disappeared beneath the lapel of his overcoat, as was his usual modus operandi, the actress in pursuit of both, the male executive and the girl, abandoned her cover.
The disguise of Kudō Yūsaku forsaken, the mask forgone. To drew the noose ever tighter around the Kudō patriarch’s neck, was something she'd shun till her last.
Gin at least, would’ve seen through one of her games, as the man had the keen sense of a bloodhound, able to sniff her out, even when no one else seemed to glean the truth beneath.
“I beg to differ. Lay off her, Gin.”
After tailing both, the male executive and the girl to a corporate building whose premises are bordered eastwardly by the Teimuzu-gawa, Vermouth’s voice still held an ounce of breathlessness within as it carried out into the courtyard.
Intercepting his line of fire, the actress drew her Belstaff coat closer to her lithe frame, missing the trusted weight of her gun, more than she would care to admit. Yet, her steps betrayed none of it. The almost meandering, yet self-assured poise clad the woman in a habitual veneer of cold composure.
-後程-
Ran stood pale and unmoving, her back flush against the rails, and a vast escarpment just beyond. Torrents of glistering black cascaded into one of Raiha-no-taki's sunken pools and further onward into the river itself and left a constant roar in her ears.
A gaze of inquisitive indigo bore into the actress only in passing, but after a merest moment of indecision, seemed to come alight with recognition.
Her ever so quietly uttered “It's you.” so genuine in its sentiment, yet so profoundly wrong to the woman who struts upon this worldly stage in the guise of her own daughter.
If this eve was to steep in a grand drape of blood, at least this abhorrent lie shall take its last bow with her.
“Our traitor coming out to play. It shall be your undoing, woman.”
A heavy-booted prowl conquered its path on the concrete pavement.
Gin licked over his canines with decadent relish, tasted out on his words like a connoisseur would savour a comet vintage. He finally had her, the grande dame of deceit, no longer untouchable to him.
“We’ll see.” she crooned in a low contralto.
The actress tilted her head to one side with an air of coquet aloofness, a lazy cavalier smirk thin on culpable quirked lips. All but acting the Agent provocateur she was.
It reaped her nothing but a contemptuous scowl.
Calloused olives seethed, narrowed in utter distrust, as Gin considered the little karateka to whom Vermouth seemed so unequivocally drawn.
“Far from that sleuth, it has been the Mōri girl and the bouya, you were drawn to. Our line of work should've ridden you of such foolish sentiments. It doesn’t become you, Vermouth.”
The defiant gleam in vibrant turquoise bedimmed into guardedness.
“Is there something you're looking for, Gin?”
The man ground his jaw, a low baritone deepening further till it bled into a growl. “Tsk. Doesn’t matter. She'll merely precede them. That brat and dilettante tantei will be disposed of soon enough.”
The silver blond executive flared his nostrils, keen to mete out the coup de grâce, now that his game was afoot.
“No, yamete.” a soft outcry, followed by a cascade of lightsome footsteps, draw the immediate focus of both syndicate members.
The muzzle afore trained to the high of Vermouth’s heart, aligned its aim in a split second.
Her attention never to stray far from Gin, she read his intention not a moment to soon.
Acting on a desperate momentum, Vermouth acolled the small of Ran’s waist, and spun them both around in a semicircular. Outmanoeuvring the muzzle until it no longer trained on the girl, but left the elder woman vulnerable in its stead. Negligent to her own, the actress took utmost care to coax Angel's head into a protective dip against her own sternum.
Mere seconds later, a shot rang out into the courtyard like a bell tolling.
-後程-
4 notes · View notes
Scene from my novel 4
Read other scenes: 1 || 2 || 3
Three years later, the special forces team caught my parents. I managed to escape; no one paid attention to a pre-teen. That night, my parents entered a dreamscape and spoke to me. 
I sat by the hearth in my tiny family cottage outside the city center of Eldham. Mother and Father joined me on the cushions on the floor. They hugged me tightly, kissing my forehead gently. 
“I’m so sorry, my dear. I am sorry we’re leaving you alone.” Mother mourned, tears welling in her eyes. 
“Heed our words, my sweet child.” Father spoke, the steel in his voice was betrayed by the sadness in his blue eyes. “Do not save us. This must happen. We must die.” 
“Then we all die. Everything dies! You have to let me save you.” I begged.
“No. We are giving you everything, if you’ll have it. The magic is yours. You can carry on, keep everything alive. You might fulfill the prophecy or preserve life for the next cycle.” My father held out his hand. A glowing orb sat in his palm, waiting for me to take it. 
“I’m taking your magic, too, aren’t I?” Father nodded. Mother reached out to grasp my hand. “Memories? Family secrets? Histories?” I asked.
“All of it.” Mother replied, his mouth set firm. 
“Why?” I frowned. I needed to know the answer. But, I didn’t want to. I shuddered as the fire died. 
“When the rooster crows, everything is yours. Darcio will think he’s won. He hasn’t, not truly. He needs to think he’s won. That’s only possible if we die.” Father pried open my fingers and placed the orb in my palm. 
“I’ll need to leave Sakaris for a while, won’t I? Are you certain you can’t come with me?” I plead. 
Mother nodded. “Yes, you’ll need to leave. It’s the only way to make sure you survive. I am so sorry, my sweet chickadee.” 
I sat up straighter, my resolve hardening. “Okay. I love you both. 
“We love you too,” their voices echoed in my head and faded. 
The next day, I watched in horror and anger as Darcio cheered and laughed as my parents burned to death.  He partied and celebrated. His courtiers sang and danced alongside their king. 
As much as I wanted to run and save my parents, I obeyed their instructions. I left Eldham but I couldn’t bring myself to leave Sakaris right away. I watched as Darcio enlisted his special forces to spread terror and fear. I had laughed when I heard that his soldiers ran scared and charred from the Dragon Lands. 
2 notes · View notes
moalfi · 4 months
Text
(P)Rahara
Usia menjadi hal yang cukup melekat dan sulit untuk dilepaskan, apalagi dikaitkan dengan pernikahan.
Malang bagi setiap perempuan yang dewasa ini emansipasi tidak lagi berlaku untuk alasan. Serangan dari setiap sisi; memilih pekerjaan ditekan oleh omongan, memilih pernikahan belum siap dengan segala tuntutan.
Tapi kau tahu, Rahara harusnya bukan saja untuk perempuan. Lelaki pun sama, tetap dalam tekanan dan tuntutan tak bisa lepas begitu saja.
Setiap diam adalah pertarungan pikiran dan perasaannya.
Setiap lamunan adalah tentang tanggungan dan beban.
Mari kita rayakan bersama, Sebagai manusia yang sejatinya bebas tapi tetap dalam batas.
2/31
0 notes
kopiumek · 1 year
Text
Buat kamu yang sedang dalam fase bingung sama apa yang sedang dijalani,
Nggak papa. Ngerasa bingung juga bagian dari menjadi manusia. Nggak harus seneng terus.. dan nggak sedih terus juga.
Nggak papa kalau masih bingung sedang menuju ke mana, nggak papa kalau masih bingung akan milih jalan yang mana, nggak papa kalau masih bingung sama kondisi sekarang.
Dijalani aja pelan-pelan.
Karena nggak semua harus kita mengerti sekaligus.
0 notes
s-ulfanita · 1 year
Photo
Tumblr media
Kau tahu, kenangan kadang menjadi salah satu alat emosional yang paling berharga dalam hidup kita. Bahkan tak jarang, kenangan menjadi alat untuk bertahan hidup bagi seseorang. Jika kau belum juga memahaminya, maka mulailah mengukir kenangan dalam setiap sejarah hidup yang kau lalui. Kelak, pada waktu yang juah dari hari ini kau pasti akan memahaminya juga. #fragment #writing #writingproject #writingcommunity #writingchallenge #writeaway #writer #writerscommunity https://www.instagram.com/p/Cp2fc56p2oy/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
pemintalkata · 3 months
Text
Aku sedang tidak Berkorban
"Sudah buat cerita?" Tanya suami.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kenapa? Nggak ada ide ya?" Tanyanya lagi.
Senyum miris, "Hehe, iya."
"Maaf ya kalau baba dan adek sudah ambil waktu umma. Sejak baba dan adek datang ke hidup umma, mungkin umma jadi kehilangan kebiasaan yang sebelumnya."
Kaget dan syoknya ada banget denger kalimat beliau.
Apa benar aku membuat mereka merasa seperti itu selama ini?
Memang, sejak kehadiran mereka hidupku seperti berubah. Seperti kataku, banyak kebiasaan yang bergeser bahkan hilang sama sekali.
Sesederhana membaca dan menulis pun aku seperti kekurangan waktu. Tapi itu bukan salah mereka.
Mereka nggak pernah mengambil waktuku. Mereka nggak pernah mengambil kebiasaanku.
Aku yang mau ada di saat ini dengan keadaan seperti ini.
Mereka adalah mimpiku. Keinginanku saat ini ya terus ada di tengah-tengah mereka.
Tapi aku pasti punya mimpi lain juga, yang aku impikan bahkan sebelum bertemu mereka. Betul dan mimpi-mimpi itu nggak pernah padam barang sebentar. Hanya karena aku belum mampu mewujudkannya sekarang, bukan berarti mimpi-mimpi itu hilang. Bukankah katanya mimpi nggak pernah kenal usia?
Saat ini, aku sedang belajar tentang cara menghadapi realita. Realita yang paling dekat ya aku memang sedang bersama mereka. Realitanya aku mau menemani anakku bertumbuh. Realitanya aku mau support mimpi suamiku yang pelan tapi pasti menunjukkan hasilnya. Aku mau menjadi istri dan umma yang 'hadir penuh' untuk mereka.
Lalu mimpiku siapa yang dukung? Pastilah mereka.
Nanti, saatnya tiba, mimpiku yang pernah aku istirahatkan sebentar itu bisa kembali aku lanjutkan. Terkadang nggak bisa mencapai beberapa hal dalam satu waktu itu nggak apa-apa. Capai satu per satu setiap list yang aku tulis nggak kemudian menjadikanku ketinggalan.
Lagipula aku sedang nggak berkompetisi dengan siapapun, kan?
Mimpi itu kita yang ciptakan. Dan kalaupun di tengah jalan, mimpinya tiba-tiba berubah haluan ya nggak masalah.
Semangat menghidupkan dan mengejar mimpi teman-teman. Karena selain untuk beribadah, salah satu alasan kita bisa terus hidup ya karena punya mimpi dan tujuan.
28 notes · View notes
coklatjingga · 4 months
Text
Suara malam mengantarkan kantukku sedikit terlambat malam ini. Sedang kelam telah cukup lama menyelimuti langit, membiarkan bintang-bintang menjadi corak, berkelip setiap detik.
Dari kamar ibu kudengar sayup firmanNya mengalun. Menjadi senandung pejam yang akan selalu kurindukan saat raga ini dan rumah saling berjauhan.
Sudah terlalu lama aku mencari bahagia di luar rumah. Bahkan pernah pada sosok yang ternyata tak pantas kupercaya. Sampai akhirnya kusadar, bahagia itu, yang bisa kurasakan di dunia, berada di bawah atap seng, di balik dinding batu, yang kusebut rumah.
Bahagia itu teraduk dalam wangi aroma masakan ibu di kuali, larut dalam segelas teh manis hangat milik ayah, memantul di senyum keduanya.
Bahagia itu tepat di depan mata, di balik pintu kayu yang terkuak setiap waktu, kala kupulang membawa rindu dalam tas ransel pemberian ibu.
Bahagia itu tersimpan di hati yang tak pernah ragu akan kasih sayang Allah yang mengalir lewat kasih ayah dan ibu.
Betapa lelahnya selama ini kucari bahagia di tempat yang salah.
Batusangkar, 10122023
16 notes · View notes
aksarapuan94 · 4 months
Text
"Besok masuk apa?"
"Udah makan belum neng?"
"Mau dimasakin apa?"
"Pulang latihan langsung kerja?"
"Kamu ga renang dek?"
"Mau bawa bekal ga?"
Irama terindah itu suara ibu di rumah.
Suar(a)aksara, 7 Des 2023
21 notes · View notes
dpoetic · 1 year
Text
Aku Bisa Apa?
Jika ditanya rasanya sedalam apa?
Aku tidak bisa menakarnya.
Jika ditanya seingin apa?
Seperti ingin menggenggam seluruh dunia.
Perasaan yang sekiranya tak pernah engkau kira atau pula engkau terima, setiap harinya ia tumbuh tanpa sedikitpun rasa iba.
Kesempatan yang tak kunjung datang itu kadang-kadang membuatku putus asa.
Tetapi, melangitkan namamu dalam setiap doa, tak akan hentinya aku coba.
Barangkali, mencintaimu adalah sebuah usaha tanpa timbal balik.
Oleh karena itu, aku dituntut untuk siap menghadapi berbagai hal pelik.
 Seperti melihat tuju mu yang semakin mengarah kepadanya.
 Ah! Apakah tak ada 1 saja doaku yang sampai pada yang kuasa?!
Padahal aku sungguh ingin memberikan duniaku yang utuh untuknya, namun jika ia lebih memilih semesta lain,
Aku bisa apa?
~ Dec, 13th ‘22 | © Dea Savitri
3 notes · View notes
viennajetschko · 1 year
Photo
Tumblr media
Update to November personal #scriptwriting challenge... 😔 I wrote 12 of 100 pages. 😙 That's... yeah, my absolute lowest output. I'm telling you November is not my month. This adapted #nanowrimo2022 did not work. But I did a couple of nice covers beforehand and I want to share something nice with you - so here are some #premade bookcovers. ❤️😙 ⬆️ Swipe for more. 👉 There's of course more on my SelfPubBookCovers account (selfpubbookcovers.com/jebdesigns) and I share more samples under: @jebdesigns_bookcovers Just recently, I added some #winterly themed #bookcovers - maybe just right if you finshed your #writingproject (😭) or are on the look out for that sweet holiday-themed cover. 🤶🎅😁 Hope you enjoy! #writingchallenge #scriptwriting #coverart #bookstagram #amwriting #ebookcover #bookcoverdesign #premadebookcover #bookprep #selfpublishing #selfpub #indieauthor #writingcommunity #writingtime #writingexcuse #nanowrimo https://www.instagram.com/p/Cl4LD06It8V/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Text
Check out my Nanowrimo project?
0 notes