Tumgik
#d’poetic
dpoetic · 1 year
Text
Cukup
Bagaimana bisa seseorang yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh, menjadi subjek dalam tulisanku lagi kali ini.
aku ingat ada yang berkata bahwa cinta tidak pernah mati, ia hanya berpindah kepada yang lebih menghargai.
ternyata benar, ia tidak pernah mati.
Bahkan cinta yang pernah ada untukmu, Ia hidup lagi. Meskipun kembali tidak di hargai.
Bagaimana bisa engkau memenuhi pikiranku kembali? hingga aku hilang kendali atas diriku sendiri.
kau yang datang tanpa terduga, lalu kembali pergi seperti tak terjadi apa-apa.
dan aku, yang memang tetap tak mengerti apa-apa.
kita yang memang tetap tak bisa, untuk bersama sedikit lebih lama.
engkau yang selalu terburu-buru dan aku yang terus-menerus meragu. Masih pada rasa dimana tak sebegitu layaknya kau cinta.
semoga kita tak lagi saling menyapa, meskipun hanya untuk bertanya kabar sesekali.
semoga semesta tak lagi mempertemukan kita, dalam keadaan apapun itu.
sebab selalu ada luka yang harus ku pelihara, setelah pertemuan tanpa tuju.
maka, aku rasa cukup.
~ May, 4th ‘23 | © Dea Savitri  
7 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
Kadang-kadang kita tidak ditakdirkan memiliki apa yang kita inginkan dan menerima apa yang mungkin seharusnya kita dapatkan. Dari segala usaha yang terus-terusan. Dari belajar yang mati-matian. Ternyata tak menjamin hidup akan nyaman.
Seleksi semesta menunjukan betapa kejamnya dunia. Betapa yang tidak memiliki kuasa, hidupnya hanya akan sia-sia. Seolah-olah dunia hanya berkata percuma kalau kita tak punya apa-apa. Hingga keputusasaan lah yang merajai hidup kita.
Entah apa yang direncanakan olehNya, kita hanya harus menerima takdir yang sudah ada. Terlebih pada takdir yang juga sulit kita terima; Takdir yang membuat kita merasa tidak beranjak kemana-mana, meski segala waktu dan usaha sudah kita investasikan semua.
Namun semua hanyalah perihal waktu belaka. Kembali pada masing-masing percaya dan usaha, sebab kita tak pernah tau kemana kegagalan akan membawa kita. Entah pada sesuatu yang baru, entah pada sesuatu yang memang selama ini kita tunggu. Semua akan kita tahu ketika kita telah melewatinya dan mensyukuri setiap prosesnya. Saat ini mungkin kita belum mampu atau masih keliru memahaminya. Oleh karena itu, teruslah mencari pintu meski yang berlalu telah menolakmu. Tetaplah percaya bahwa segala upaya yang baik adanya, akan memiliki hasil yang baik juga. Walau nanti tak sejalan dengan ingin, pasti akan semanis semestinya.
~ March, 28th ‘20 | © Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 4 years
Text
Diuji itu biar lebih dekat, lalu diangkat derajat. Bukan malah semakin menjadi-jadi, lalu lupa diri. Memang nya kamu sudah punya investasi sebesar apa sampai berani mencaci Sang Pencipta? Bahkan dari 5 waktu yang kamu punya, sudah yakin dijalani semua? Jangan merasa semesta tidak bertindak sepatutnya, seolah-olah hanya dirimu yang paling menderita. Tiap-tiap manusia di bumi pasti punya rasa kecewa. Hanya saja beberapa dari mereka mampu berpura-pura, juga mampu menerima; termasuk yang kau lihat selalu bahagia.
~ April, 26th ‘20 | © Dea Savitri
1 note · View note
dpoetic · 5 years
Text
Hujan bulan Juli
Pada kemarau yang semesta suguhkan, sesekali langit menyapa bumi dengan segala keresahan di hati.
Ia menjatuhkan hujan sebagai tanda tak mampu menahan diri. Sebagai bentuk isyarat pada bumi akan beban yang tak kuasa ia sangga atau gugusan rindu yang tak lagi bisa bersuara.
Rintik jatuh yang tak kenal arah tidak mengartikan bahwa ia masih berdarah. Sesekali, ia hanya masih merasa patah, pada kesadaran yang menghantarnya akan sebuah rasa kalah.
Karenanya, memimpikan musim semi bertandang, sebesar harap nya untuk kembali menang. Sebab percayanya masih terlalu jauh untuk menyambut sebuah datang.
Maka ia jatuhkan lagi hujannya, sebagai upaya menumpahkan gelisah di dada. Basahnya menggambarkan kehampaan pada jiwa, serta dingin nya menyiratkan sunyi pada sukma.
Entah di musim yang keberapa, ia akan menanggalkan seluruh gundahnya.
Hingga nanti, hanya akan selalu ada hujan, sebagai sebuah cara melepaskan.
Seperti hujan ini, hujan bulan Juli.
~ July, 29th ‘19 | © Dea Savitri
3 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
Senja,
Aku tidak sengaja menemuimu tepat diatas kepala.
Garis pipiku melengkung tak terkira.
Kebetulan yang sekali lagi disengaja oleh Tuhan.
Lucu bukan? Menemuimu sekali lagi meski dalam bentuk tidak berupa. Tetapi lebih dari itu, aku tetap merasa bahagia.
Tidak perlu kutanya bagaimana kabarmu,
sebab semua terang tergambar dari senyummu.
Bahkan dibilangan hari yang sudah tak lagi terhitung, ternyata menjumpaimu masih kuanggap beruntung.
Dirimu masih mampu mengikat dan tetap mampu memahat.
Padahal, sudah kubuang jauh-jauh asa yang pernah ku bangun setinggi langit. Dan beberapa kali kutemukan segenap nama yang sempat membuatku merasa paling bahagia.
Tetapi tetap saja, mengagumimu adalah keputusan yang tidak tau kapan berakhirnya.
Sesungguhnya mungkin aku tak pernah sadar, bahwa mengagumimu adalah sebuah kegemaran di luar nalar.
Sebab dirimu menawan, bahkan, ketika disandingkan dengan lembayung yang berselimut pelangi-pun, kamu lebih, dan masih tak terkalahkan.
~ May, 21st. ‘19 | © Dea Savitri
6 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
~ penghujung Januari yang masih setia menahanmu disini ‘19 | © Dea Savitri
4 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Membunuh waktu
Dibawah kedua kantung mata nya yang hitam, doa-doa nya menggantung tanpa canggung. Deraian air yang melaju dari kedua mata nya, menggenangi tulang pipi hingga berakhir pada lengkungan kedua sisi dagu.
Perempuan dengan mata sendu itu sedang menikmati rasa pilu, diatas sebuah kain yang ia yakini kegundahan hatinya akan terganti. Ia menatap langit yang maha luas dengan kesungguhan hati yang tak terbatas. Mengabarkan duka cita, mengajak berbicara yang mencipta. Setiap waktu ia mengabari alam raya dengan berita yang sama, bahwa dirinya sedang terluka.
‘semoga semesta tidak jemu karena ceritaku isinya melulu tentang kamu’ — ucapnya.
Pada kedua telapak tangannya yang merekah, ia mengutarakan segala gundah. Tak ada kata yang terucap, tapi suara hatinya mampu menyentuh 7 lapis ruas langit. Keinginannya begitu sengit sampai-sampai ia rela menelan pahit.
Seorang perempuan yang hatinya telah dingin, bahkan hampir membeku. Menelan pahitnya waktu yang seolah tak mau tahu akan perasaanya yang telah membatu.
Ia begitu setiap hari, entah apa yang di nanti. Kepulangan seseorang yang sudah menemukan rumah barunya, atau kelupaan perasaan yang tak tersisa.
Pada akhirnya seperti itulah caranya membunuh waktu. Mencari ketenangan diantara sujud-sujud nya yang panjang. Meminta didengarkan pada yang maha mengetahu segala isi hati, meminta di hadiahi sebuah kesempatan; untuk bahagia atau untuk baik-baik saja.
Ia melupakan segalanya, segala bahagia yang pernah ia rasa. Sebab yang tersisa hanya selaksa gundah yang membuat hidupnya semakin patah arah. Air matanya meradang setiap kali ia ingin seseorang pulang. Ia merindukan kepulangan, kepulangan yang membuatnya begitu kehilangan. Entah mengapa hatinya rela bekerja sekeras ini, entah mengapa kedua matanya rela membayangkan yang tak ada.
Meski tak pernah ia temukan cara menghilangkan lara, meski semesta tak memberinya harapan jua, ia menanti apa yang ia yakini. Ia bergantung pada takdir, meski kemungkinannya sangat kecil, tapi ia percaya itu mudah bagi Tuhan.
~di penghujung waktu Desember menuju tahun yang baru (tanpamu) ‘18 | © Dea Savitri
6 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
~ Feb, 23rd ‘19 | © Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
Ada perbincangan hangat ditengah tengah keramaian malam itu.
Deru roda dua berlalu lalang menghantam telinga tak berkesan.
Ada aku yang senantiasa menunggu waktu untuk melupakanmu
Sayangnya ia tak mudah berlalu karna jeritan-jeritan itu khusus dibuat untuk membangkitkanmu.
Rasa pilu itu kemudian menghantarkan aku pada genangan genangan di pelupuk mata
Semakin berderu semakin tak mampu menahan sendu
Aku yang tertahan pada senyum yang tak bisa ku tanggalkan,
Aku yang tertahan pada hidup yang kau tinggalkan.
Sebuah perjalanan berkesan yang tak bisa lagi kuteruskan,
Sebuah perjalanan panjang yang mungkin tak akan lagi kutemukan.
Aku, sebuah hati yang terdalam yang sedang tenggelam.
~di November yang seharusnya bersamamu ‘18 | © Dea Savitri
3 notes · View notes
dpoetic · 7 years
Text
Rasanya pernah begitu sempurna, saat kita saling berbagi ceria. Tak ada luka, tak ada duka, tak ada derita.
Kita hanya berjalan mengikuti aliran air yang mengalir, bergerak seperti daun-daun jatuh yang dihempas angin; begitu pasrah, begitu tulus dan begitu menikmati kemana arah membawa kita.
Hingga akhirnya arah tersebut menerbitkan bahagia yang tak terduga. Hingga akhirnya sebuah rasa tumbuh dalam setiap percakapan yang kita punya. Hingga akhirnya kita lupa bahwa bahagia itu tak seharusnya tersedia untuk kita.
Kemudian rasa itu mempengaruhi setiap gerak gerik yang kita lakukan, rasa itu menghadirkan ketidaknyamanan pada setiap jeda yang kita sediakan. Semakin lama rasa itu semakin mematikan logika dari masing-masing kita. Hingga kita lupa bahwa kita tak memiliki ikatan.
Aku tak mengerti lagi harus apa. Sebab dalam rentang waktu yang kita punya, kau semakin tak meyakinkan. Kau menempatkan diriku kembali pada pusaran kecewa; memperlihatkanku dengan jelas arti luka yang sesungguhnya. Kau tak sepenuhnya menjadikanku tujuan, tak seutuhnya menjadikanku pelabuhan, dan aku bukanlah satu-satunya yang ingin kau perjuangkan. Maka dari itu aku enggan memberi jawaban. Kau hanya membuatku menahan segalanya sendirian, sementara sesungguhnya segala hal ingin kubagikan.
Pada akhirnya, rasa mengacaukan segalanya. Membuat kita tidak hanya merasakan satu saja tangkainya. Seandainya semesta memberi pilihan, mungkin jatuh padamu bukanlah hal yang kuinginkan. Mungkin meletakkan segalanya kembali ke awal akan melegakan. Sebab, setelah begitu menyenangkannya sebagai seorang rekan, mengapa menjadi menyebalkan ketika ingin saling beriringan?
Berhenti dan mengakhiri mungkin adalah hal yang sengaja kulakukan, meski pada akhirnya kau tampakkan lagi rupamu hingga aku tak bisa berhenti melupakan. Sementara otak berasumsi bahwa menjadi tak tersentuh mungkin jauh lebih baik daripada terlihat menyedihkan akibat luka yang sama, maka aku lebih memilih berlari dan bersembunyi untuk meredakan segala luka yang terjadi.
© Dea Savitri
15 notes · View notes
dpoetic · 7 years
Text
Pada ribuan pertanyaan yang tak kupahami, aku mencari-cari; perihal jawaban yang tak jua kutemui, bahkan ia semakin menjadi-jadi; Mengapa pada hatiku kau ikut serta melukai? Mengapa pada cintaku kau juga ikut melarikan diri?
Kau memilih untuk mengakhiri kisah ini, memintaku berlapang dada, seolah tak pernah ada apa-apa diantara kita.
Padahal kau tahu, memahami suatu ketiba-tibaan bukanlah hal yang mudah. Kau pun paham betul rasanya disakiti, sehingga kau mencoba untuk menyayangi. Tetapi tetap, ujung-ujungnya kau memilih pergi. Lalu dimana bagian yang kau sebut dari menjaga hati?
Pernahkah kau mencoba mengerti, akan sedalam apa lukaku ini? Mendefinisikan kehancuran yang kudapati? Apakah kamu bahagia dengan segala luka yang kurasa?
Kepergianmu yang tiba-tiba meninggalkan sejuta luka di dada. Sebab kau pernah begitu piawai mengutarakan tawa, namun kini kau juga pandai menggoreskan luka. Seolah tak ada hentinya, pikirku hanya berputar-putar pada kenangan masa lalu yang kini enggan kau ulangi. Bahkan untuk sekedar ingatpun mungkin kau tak sudi.
Bagaimana mungkin aku mampu melarikan diri? Sementara inginku maunya melulu hanya kamu. Bagaimana mungkin kamu menjadi yang paling kubenci? Sementara hati masih saja ingin kembali.
Aku hanya mampu menghakimi diriku sendiri, pada semua tingkah laku yang mungkin saja membuatmu benci, sehingga kamu lebih memilih berlari.
Rasanya menyenangkan menjadi kamu, setelah merasa memiliki bisa dengan mudah membuang. Setelah merasa dicintai, lantas berhak menyakiti. Sementara aku tinggal diantara ribuan luka yang kau hujani. Aku harus belajar hidup lagi, tertatih agar bisa berdiri kembali.
Rasanya-pun bersyukur saat kembali dicintai. Ku kira semua akan lama, ku kira semua akan lebih dari semestinya. Tapi rupanya semua hanya perkiraan yang tak ada artinya.
Aku sedang mencoba berdamai dengan hatiku, memahami bahwa memang semua tak seharusnya terjadi; sebuah ketidakmungkinan yang kita paksakan sejak awal. Seandainya aku lebih mengerti, mungkin semua tak sekacau ini.
Berkali-kali aku mencoba memberanikan diri untuk melupakanmu, mencoba berani untuk meninggalkan perasaanku. Namun berkali-kali pula aku ingin tetap kembali.
Aku berada ditengah kebimbangan yang luar biasa antara menetap atau meninggalkan. Antara pergi atau memelihara luka hati. Sebab aku masih merindukanmu pada malam-malam gelapku, mencarimu pada setiap sepertiga malamku, namun pada bagian lain aku meminta padaNya agar mematahkan patah hatiku serta menyempurnakan kelupaanku padamu.
Jadi, bisakah yang kupilih hanya satu? Kembali pada masa indah itu atau kembali pada tempatku sebelum sempat bertemu denganmu.
- September '17- | © Dea Savitri
10 notes · View notes
dpoetic · 7 years
Text
Pada rasa yang tak seimbang, aku menaruh bimbang. Karena menujumu adalah sebuah kesalahan dan melupakanmu adalah sebuah ketidakmungkinan.
Ada rasa yang datang tanpa di undang, ia tak pernah hilang meski sudah kusuruh pulang. Ada rasa yang tak bisa lagi kubuang, ada keterbiasaan yang kau isi dalam sekat-sekat hatiku yang kosong, hingga tanpa sadar kuletakkan rindu pada setiap jeda yang tak kau sapa.
Ada perasaan yang masih tak bisa kuungkapkan, sebab pada diri sendiri masih kutanyakan perihal rasa yang kurasa; mengapa padanya aku jatuh cinta? Pada seseorang yang tak pernah sekalipun terpikirkan jatuhku ingin kujatuhkan. Padahal sudah kujaga hati dengan penuh hati-hati, tapi siapa yang tahu bahwa hati sudah ingin kembali jatuh hati.
Kemudian aku berada ditengah pertanyaan tentang mengapa kita dipertemukan, tentang mengapa semesta menuai perasaan jika tak diizinkan menyatukan perasaan. Barangkali begitulah jalan cerita yang selalu ditakdirkan. Ada saja ketidakadilan yang menghampiri ketika titik temu terjadi. Hingga sesuatu sering kupertanyakan; apakah bahagia juga tersedia untukku? Sebab sukacita yang kurasa masih sering dibaluti oleh dusta.
Kita tak memiliki kekuatan untuk berlari beriringan. Saat semua tak semudah yang kita bayangkan, saat semua terjadi di luar pemahaman. Kita hanya berusaha memahami lantaran kita paham bahwa ada dua hati yang sedang Tuhan uji.
Rasanya sangat nyaman bersandar padamu, tapi mengapa begitu banyak rintangan?
Jadi, haruskah aku berhenti sejak dini agar lukaku tak makin menjadi-jadi? Ataukah tetap berlari menujumu meski hanya menyebabkan lebam di hati?
© Dea Savitri
2 notes · View notes
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
Nanti, jika kau sudah letih bertualang
Duduklah disini sembari meneguk kopi yang ku suguhi.
Ceritakanlah seluruh kisah tanpa gundah,
seraya berbahagia tanpa sudah.
Sebab hadirku yang duduk di kursi sebelah,
bukan Tuhan maksud untuk membuatmu kembali patah.
Nanti,
Di sudut kursi ini.
Pundakku adalah temanmu memuja hari.
Sementara aku, siaga meramu waktu menjadi diksi.
Tuangkanlah segalanya tanpa terbata.
Sebab sejauh apapun ceritamu berkelana,
Duniaku untukmu tetaplah menjadi telinga.
~ 1st of July ‘19 | © Dea Savitri
1 note · View note
dpoetic · 7 years
Text
Asa dalam rasa
Rasa. R.A.S.A
Empat kata beribu makna.
Ribuan makna itu terkadang tak memiliki arah untuk terungkap, ia lebih suka disekap dalam hati yang gelap.
Rasa apa ini? Ribuan kali pula kutanyakan dalam hati. Entah ini rasa apa, euforia suka cita kadang hadir bersama mendung yang gelap gulita.
Berlebihankah jika ini cinta? Apakah sebatas harap cukup pantas dikatakan cinta? Atau ini hanya obsesi belaka? Obsesi untuk apa? Memilikimu untuk menunjukan pada dunia? Obsesi macam apa jika dengan melihatmu saja duniaku seketika kau genggam, sesederhana itu ilusimu menguasai diriku. Lalu bagaimana jadinya jika sebuah sapa hadir dalam pertemuan kita? mungkin rongga-rongga dalam dada runtuh menjadi serpihan bahagia.
Ketahuilah cinta tak datang dengan sengaja, ia selalu buta pada setiap jatuh yang ia tuju, ia tak sempat memilih arah mana yang pantas untuk jatuhnya, ia hanya jatuh pada tempat yang ia anggap menarik, tanpa peduli apakah jatuhnya akan diusik.
Begitu juga tak kusangka-sangka, ternyata rasa menaruh asa padamu, padamu yang hingga kini segala harap kutuju. Kamu seperti pusat tatasurya, tempat memusatkan segala hal dalam diri sehingga terjadinya variasi rasa dalam hati. Kamu sumber bahagia dan luka, sebesar itu peranmu berpengaruh pada diriku dan seisinya.
Namun hati tak mengerti harus apa, ketika rasa dalam hati hanyalah sebatas rasa yang enggan menjadi nyata. Ribuan kali ingin kuungkapkan, namun malu kunjung menyadarkan.
Tak lain dan tak enggan, yang pandai kulakukan hanyalah menatapmu juga merindumu, sebab hanya dua hal itulah yang mampu kulakukan. Seperti Tuhan telah menakdirkan, mungkin terluka itu bagianku, ketika kamu hanyalah angan dan aku lagi-lagi tertipu oleh harapan, sementara waktu mempermainkan perasaan dengan pertemuan-pertemuan menakjubkan bersama tatapanmu yang selalu ingin kupertanyakan.
Dalam hal ini aku merasa begitu kesakitan dan satu-satunya yang mampu kulakukan hanyalah menyalahkan diri sendiri atas ketidakberanian yang kumiliki. Tak khayal rasa ingin memiliki semakin menjadi-jadi namun perasaan tahu diri selalu memperingati.
Lagi-lagi kupasrahkan diri pada ilahi, biarlah perasaan ini hanya aku dan semesta yang mengerti, meski bumi dan seisinya tak akan pernah merestui, setidaknya masih ada ruang yang tersedia untuk meletakkan segenggam harapan dan kekuatan untuk bertahan walau jawaban yang diberikan tak ada perubahan; masih sama, tetap sama dan mungkin akan selalu sama.
© Dea Savitri
1 note · View note
dpoetic · 5 years
Text
Tumblr media
Merdeka
~ March, 29th ‘19 | © Dea Savitri
0 notes