Tumgik
therecklessbum · 7 years
Text
Air Mata
Beberapa anak terlahir dengan air mata yang lebih banyak dari air hujan. Dan hati mereka ini ibarat atap rumah yang biarpun ia keras, pada suatu ketika bisa kehilangan kemampuan menahan derasnya hujan. Hingga air pun masuk menetes ke dalam rumah, membasahi setiap sudut ruangan yang terbiasa kering.
Saya kira memang demikian. Setiap orang selalu memiliki sisi-sisi lembut di dalam diri mereka. Sisi-sisi yang mungkin ia sembunyikan namun akan muncul sendiri saat di waktu-waktu tertentu. Misalnya saja, seseorang bisa saja terjebak dalam haru yang begitu dalam, meski ia sedang jatuh cinta. Saat mereka menatap mata orang-orang yang dicintainya, atau saat sedang memeluk mereka dengan begitu erat, bukanlah hal yang aneh bila mata mereka tiba-tiba basah dan berkaca-kaca sebab hal-hal yang mereka rasakan, semacam ketakutan untuk kehilangan, atau perasaan syukur yang terlampau berlebihan, padahal mereka ini sedang berbahagia. Bersama iringan lagu Love Song dari The Cure yang dibawakan oleh 311 misalnya, mereka akan tenggelam dalam rasa sentimentil yang akhirnya membuat mereka meneteskan air mata. Betapa perasaan sayang bisa sebegitu cengengnya.
Atau bisa juga seorang ayah yang keras dan biasa mengumpat juga memarahi anak-anaknya, pada suatu saat begitu bangga melihat putri kecilnya menari di pentas sekolah, hingga tak terasa air matanya keluar begitu saja. Ia bisa saja lupa bahwa rasa bahagia dan takjub yang berlebih-lebih membawanya larut dalam haru hingga ia menangis sendiri melihat keceriaan. Melupakan hal-hal menjengkelkan tentang anak-anaknya yang terkadang membuat ia meluapkan amarah. Dan tentu saja, pada suatu waktu saat putri kecilnya telah beranjak dewasa, ia mesti rela melepasnya untuk pria pilihan putrinya. Di sinilah, tentu akan ada rasa haru yang dalam, tentu akan ada air mata. Bukan hanya rasa sedih tentang kenyataan bahwa putri kecilnya akan hidup dengan pria pilihannya, tetapi juga bahagia dan bangga yang kemudian menjadi satu di dalam air mata.
Menyebalkan memang, sebab kita ini manusia, yang biar bagaimanapun dibekali perasaan yang terkadang lebih besar dari rasio kita sendiri. Jangankan manusia, bahkan seekor gajah, dengan badannya yang besar dan kulitnya yang setebal kerak bumi, akan berkabung dan menangisi saudaranya yang mati. Menguburkan dengan duka dan berhari-hari meratapinya. Jadi apalah seorang pria yang pada titik-titik tertentu tanpa ia sadari jatuh dalam haru yang berlarut-larut, padahal kiri kanannya sedang berbahagia.
Ah, sungguh. Pada saatnya nanti, saya kira setiap kita, terutama pria-pria dengan ketangguhan mereka ini akan mengalaminya. Sebab bukankah indah melihat bagaimana seorang pria meneteskan air matanya? Bagaimana ia menyeka dan kemudian tertawa bahagia di waktu yang sama. Sebab pria, yang dikata adalah penopang kehidupan, tentulah memiliki sisi-sisi di mana ia terus akan menjadi anak kecil dengan air matanya yang tersimpan penuh. Betapapun tegarnya mereka, akan ada saja yang membuat mereka termenung sendiri. Dan air mata nyatanya bisa merupakan media yang baik, membuka pori-pori yang menutup cerita-cerita tertentu di mana pada akhirnya tersampaikan juga oleh sebab air mata itu sendiri.
via Blogger http://ift.tt/2qhbAcf
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Kota Rindu
Ada suatu kisah yang manis tentang sebuah kota. Sebuah kota Rindu, begitu kami mungkin akan menyebutnya. Di suatu senja yang biasa, dengan aroma air hujan yang sesaat sebelumnya membasahi jalan-jalan yang sudah dikenal baik oleh banyak orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Ia adalah kota, di mana kami, anak-anak rindu ini terbiasa menghabiskan waktu selepas kesibukan perkuliahan kami. Saat kami harus mengerjakan sesuatu, atau ketika kami biasa untuk tidak melakukan apa-apa dan sekedar berkumpul membicarakan segala hal yang memang layak untuk kami bicarakan; ide-ide, impian, atau membicarakan orang-orang, apa saja, siapa saja. Ia tentu saja adalah waktu-waktu yang kami rindukan. Dan di kota Rindu ini kami bertemu kembali, bersapa dan bercerita, tak ubahnya seperti yang dulu-dulu. Di suatu malam, di sebuah sudut kota yang kali kedua menawarkan kenangan manis bagi saya, dengan aroma air hujan yang sesaat sebelumnya membasahi jalan dan trotoar serta setiap hal yang kami kenali cukup baik. Salatiga, orang-orang biasa memanggilnya.
Malam itu adalah malam yang baik, malam yang membawa kami bersama kembali, sebab kedua kawan baik kami, Ulfa dan Mario esok paginya akan menyusul kami, meraih gelar sarjana mereka, yang nantinya mau tak mau hanya akan menjadi cerita yang baik tentang apa saja yang pernah terlewatkan di masa-masa belajar mereka. Ah kawan, ketahuilah bahwa beberapa bulan dari hari ini kau akan merindukan betapa menjadi mahasiswa naif dengan idealisme yang berlebihan adalah harta yang paling berharga. Dan kau tentu akan sangat merindukan waktu-waktu itu. Sama seperti kini, kami merindukannya. Dan untuk kesempatan malam itu, saya mengucapkan terimakasih yang dalam untuk mereka. Bukan apa-apa, sebab jika bukan karena kelulusan mereka ini, tak mungkin kami, anak-anak ini berkumpul kembali di kota yang juga selalu menawarkan cerita-cerita yang baik. Jojo yang tengah menyiapkan dirinya pergi ke Kanada di tahun ini, untuk sebuah program volunteer yang ia ikuti, juga Ryan, ia yang lahir dan dibesarkan di kota ini, yang kini harus tinggal di Ibu Kota untuk bekerja, kemudian cik Grace yang tengah sibuk belajar bersabar untuk mengurus anak-anak kecil di sekolahnya, dan Sandra yang masih terlalu mencintai kota ini, hingga sepertinya enggan untuk keluar atau kembali ke kota asalnya, serta Huri yang masih sibuk mencari beasiswa S2-nya dan beberapa kawan kami yang lainnya, yang dengan sangat bangga merelakan waktu untuk berkumpul bersama malam itu, untuk kedua kawan kami ini. Ulfa dan Mario, kedua orang yang mau tak mau kami akui menjadi bagian penting dari setiap hal yang kami kerjakan. Mereka ini selalu memiliki ide-ide yang baik tentang apa-apa saja yang akan kami lakukan. Biarpun si Mario pada akhirnya hanya akan berakhir sebagai penghibur, dengan candaan yang tak terbatas dan cerita romantisme-nya yang selain membuat kagum mereka yang mendengar, juga bisa menyebabkan tawa yang tak berkesudahan. Dan Ulfa, kau tahu, seperti kisah tentang Es Buah yang tak begitu lampau, selalu ada sebagai anak yang menenangkan kami, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ya, walaupun esoknya ia akan sebal sendiri saat kami mengulang cerita-cerita bodoh tersebut dan kami akan terus saja mencandai hal itu, yang biarpun konyol adalah tetap saja kenangan yang manis.
Saya mengingat obrolan kami di malam-malam itu dengan cukup baik, betapa Ryan, dengan kumisnya itu, mengatakan sesaat sebelum keberangkatannya ke kota ini, bukan saja bahagia dan riang yang ia bayangkan, tetapi suatu kenyataan yang berat saat melihat dengan sadar, betapa hari Minggu esok, ia mesti kembali lagi menjalani kehidupannya di kota orang dan meninggalkan kotanya sendiri. Kembali melakukan rutinitas-rutinitas yang itu-itu saja. Atau Jojo, yang menyetujui pendapat saya betapa sekarang kami terlalu sering menggunakan tolok ukur kawan-kawan perkuliahan kami kepada orang-orang di tempat yang kini kami tinggali. Betapa membanding-bandingkan menjadi alasan yang tak terlalu hina untuk terus menganggap bahwa kawan-kawan di masa kuliah kami ini adalah kawan-kawan terbaik yang tak ada gantinya. Berlebihan betul! Terlebih Mario, kawan dengan hati yang lebih besar dari berat badannya itu, dengan cerita-cerita yang melankolis dan bahasa-bahasa yang entah ia dapatkan dari mana, selalu bisa mendeskripsikan betapa dia telah merasa kesepian tinggal di kotanya sendiri. Dan hal-hal yang demikian inilah yang pada akhirnya berlanjut ke dalam pembahasan yang lebih jauh. Saat kemudian kami sampai harus membuat sebuah permainan, di mana masing-masing dari kami akan mengajukan sebuah pertanyaan dan akan dijawab oleh semua yang hadir malam itu. Biar semua terlibat, biar semua mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahaannya. Hal-hal sepele dan remeh temeh hingga sesuatu yang sangat dalam. Selalu saja, tentang kenangan, idealisme yang mau tak mau harus kami tepiskan, tentang penyesalan-penyesalan tentang hal yang sempat dilakukan atau yang tak sempat dilakukan, hal-hal baik, dan tentu saja, tentang romantisme anak-anak muda yang entah bagaimana selalu saja bisa masuk ke dalam obrolan-obrolan kami. Namun tetap saja, waktu menjadi pembatas keceriaan kami malam itu. Sesaat setalah hujan meninggalkan dingin yang tak karuan itu, serta lelah yang tak lebih besar dari kebahagiaan kami, kami mesti mengakhirinya. Menyiapkan esok di mana kami akan sekali lagi bersama, berkumpul dan bercerita. ---
Jadi benarlah bila ia disebut kota Rindu. Sebuah kota milik siapa saja yang merasa memilikinya. Seorang anak yang tinggal beberapa ratus meter darinya pun merasa memiliki kota tersebut hanya karena ia beberapa tahun menghabiskan masa mudanya di sana, menulis cerita dari awal mula ia mengenal asmara hingga saat idealisme yang ia miliki terkikis perlahan-lahan. Seorang petualang yang hanya sesekali berteduh di bawah naungan pepohonan rindang di jalan-jalan utama pun suatu kali tertarik untuk kembali lagi. Mencicipi kenangan-kenangan akan senja yang baik, juga cerita tentang kota dan hal lainnya. Pun mereka, para pemuda dari berbagai kota, yang dengan sedikit malas menginjakkan kaki mereka di kota kecil ini untuk belajar, setelah beberapa lama tersihir oleh atmosfer kota yang begitu tenang, suatu saat akan menginginkan waktu-waktunya tercurah di sudut-sudut kota yang awalnya tak ia sukai. Bahkan para pelancong, ia yang hanya melintas, tamu-tamu dari berbagai kota dan siapa saja yang sesekali pernah bersinggah di kota ini, pada suatu saat akan merasa terpanggil kembali. Karena itu, cobalah kau berjalan-jalan menyusuri gang-gangnya yang sepi, selepas hujan di malam hari, sambil mendengarkan kisah-kisah kenangan tentang kota ini. Dengan diiringi These Streets dari Paolo Nutini yang serasa mengantarkan nostalgia tentang apa-apa saja yang pernah terjadi di jalan-jalan yang begitu familiar. Kemudian bersatu dengan obrolan-obrolan orang-orang di sekitar, mendengarkan cerita dan keluh kesah di balik wangi asap tembakau atau kepulan panas kopi yang tersaji di cangkir-cangkir mungil mereka, tenggelam dalam tawa yang tak terbatas. Betapa ia telah membesarkan banyak sekali jiwa yang baik. Betapa ia telah menumbuhkan benih-benih keriangan di malam-malam saat beberapa kawan duduk bersama melingkari meja-meja makan dengan cerita yang menggelora tentang apa saja. Di mana benih-benih tersebut akan tersemai di ingatan kami dan terus tumbuh, membuahkan rasa rindu yang manis.
Dan kami akan selalu mengingat, bukan saja tentang malam itu, tapi tentang setiap hal yang kami pernah lakukan bersama. Saat masing-masing dari kami nantinya duduk mengerjakan kesibukan kami sendiri. Menata jalan-jalan kami dengan impian yang telah kami siapkan sendiri. Dan nantinya, kami memastikan bahwa kami semua akan pulang ke kota ini sekali lagi, kota Rindu, yang bukan milik kami sepenuhnya, tapi kami serasa memilikinya. Kami akan terus mengingat dan mengenang. Tentang jalan-jalan yang mulai terang dengan lampu-lampu yang baru, tentang tembok-tembok yang bercoretkan kisah rindu di mana-mana, tentang jendela yang terbuka di sebuah gedung fakultas kami yang tinggi menjulang dengan aksen kenangan yang sama, serta tentang kunci pintu yang rusak, yang mengingatkan kami akan malam-malam Natal dengan kisah sentimentil yang selalu membikin kami menghela nafas, merindukannya.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Ironi Yang Manis
Ada cukup banyak draft yang belum sempat saya selesaikan di halaman ini. Cerita-cerita yang baik tentang Yogyakarta atau kisah-kisah manis minggu lalu di Pulau Panjang bersama kawan-kawan organisasi, juga omong kosong tentang apa saja; pikiran, ketakutan, kejengahan maupun kejengkelan dan idealisme. Juga sebuah tulisan  tentang kota yang manis, kota rindu yang sempat saya tuliskan dan akan saya coba kemas dalam kenangan yang baik, apalagi beberapa saat yang lalu saya tengah berada bersama kawan-kawan saya kembali. Menikmati indahnya sore tadi dengan bercangkir-cangkir cerita klise tentang semua hal yang pernah kami obrolkan. 
Namun entahlah, beberapa detik ini saya sedang sekali lagi disibukkan dengan pikiran-pikiran ganjil yang mau tak mau terus saja mengikuti setiap kali kesadaran akan apa yang sedang terjadi menghinggapi dan melingkupi pikiran saya. Ini adalah sebuah pikiran nakal yang selalu menarik energi negatif keluar sehingga ia bisa meledak dengan sendirinya. Ia adalah akumulasi dari hal-hal sederhana yang mengendap di bawah kesadaran manusia. Dan ia adalah hal-hal sederhana yang dirumit-rumitkan, sehingga begitu kentara kekanak-kanakannya. Egois betul, memang demikian adanya.
Adalah sebuah kenyataan bahwa, kita adalah bayi-bayi di dalam keabadian. Maksud saya, kita begitu mudah datang dan pergi dengan tanpa membawa apa-apa, tanpa belajar apa-apa. Sebab yang kita tahu semua orang itu baik, semua hal itu mungkin, apa yang kita lakukan akan selalu memberi dampak dan respon positif. Kita tak melihat bahwa kebaikan yang kita berikan akan diartikan berlebihan dari orang lain, sehingga pada saatnya ia akan datang menyusahkan diri kita sendiri. Merasa bahwa kita menaruh perhatian tertentu pada orang itu, dan saat mereka datang, kita hanya mampu meludahi dengan cara yang manis, yang iapun tak akan artikan sebagai keenganan ataupun hinaan. Ia akan terus saja di sana, menunggu dan berharap, sebab orang-orang itu merasa bahwa dengan sebuah pujian atau apresiasi, kita tentu menaruh perhatian berlebih. Walau nyatanya kita hanya melakukan sesuatu demi mengharapkan kembalian dari orang lain, supaya ia melakukan hal yang sama terhadap kita suatu saat nanti. Dalam hal ini, membatasi diri terhadap orang-orang yang tidak jelas menjadi sangat penting! Menghindari mereka, mungkin saja. Atau sesungguhnya karena kejengkelan yang menumpuk, kita berharap dapat membelah wajahnya dengan sebuah pisau lipat dan mengeluarkan isi otaknya dan bermain dengan hal-hal itu di jalanan, namun tentu saja dengan cara yang tak kentara, entah kita mengiyakan maupun tidak, dengan cara yang abu-abu tanpa ketegasan. Entah karena ia yang bebal, atau karena kita yang seolah memberi jalan mereka untuk mengganggu kita terus menerus. Hanya karena kita, bayi-bayi yang takut menyakiti bayi yang lain. Dan kitapun akhirnya tak tahu bahwa menelan terlalu banyak air laut bisa menyakiti rongga mulut dan menyesakkan kerongkongan. 
Beberapa dari kita begitu berharap bahwa orang-orang mungkin akan mampu belajar dari sekitar, dari hal-hal yang ia pernah hadapi atau jumpai di kehidupan orang lain. Seperti kawan saya yang enggan untuk menyuruh, meminta maupun memaksa kawannya untuk berbuat ini atau itu, namun lebih mengharapkan inisiatif dari hal-hal sekitar yang terjadi. Sebab kita adalah manusia, mamalia dengan rasionalitas yang diharapkan mampu mengolah suatu persoalan pada keputusan-keputusan benar. Mampu memilih dan memilah, membedakan yang baik dan yang kurang baik. Sehingga perintah maupun dikte-dikte sepantasnya tak dibutuhkan. Misalnya saja, ada banyak kesulitan yang mungkin bakal seseorang dapatkan jika ia bertindak seperti ini, atau seperti itu. Atau sebuah kejengkelan yang muncul dari orang-orang sekitar yang begitu banyak mengganggu hari-harinya, yang membuat tetesan air mata begitu deras turun tak berguna. Tidak selamanya, orang lain harus menuntut ini itu, atau menyarankan ini itu supaya ia bisa terlepas dari kejengkelan itu. Bukankah belajar dari hal-hal terdahulu akan berguna untuk menghadapi kesulitan ini? Namun sebaliknya, sadar maupun tidak ia justru meneruskan hal-hal yang biasa ia lakukan dan tak mau membuat jarak sedikitpun dengan orang-orang menyebalkan itu. Ia malah selalu seolah terus memberi ruang dengan jendela dan pintu yang bebas terbuka akan setiap kemungkinan yang bisa orang-orang itu lakukan terhadapnya. Tak pernah mau belajar, tak terbesit pikiran untuk berubah. Mungkin saja.
Hingga pada saatnya ia sedih sendiri, jengah sendiri, lelah, menyesal dan kemudian melakukan hal itu kembali. Indah betul bagaimana perulangan-perulangan tentang keluh kesah dan hal-hal yang seolah sendu terus saja mengalir dan berotasi pada suatu poros yang konstan. Sebab begitulah, di alam bawah sadar kita, kita merasa bahwa apa yang kita lakukan tidaklah menyakiti orang lain, apa yang kita lakukan akan membuat kebaikan-kebaikan yang indah, dan jikalau kita menutup satu dari sekian banyak pintu dan jendela yang terbuka, orang lain akan tersakiti dan kita adalah tersangkanya. Padahal, jika kita mau sadar, justru dengan menutup satu persatu ruang-ruang yang samar-samar tersebut dengan rapi dan memberi sekat-sekat yang tepat, kita telah menyelamatkan orang-orang tersebut dari kepalsuan dan perangkap yang indah, juga, menyelamatkan diri kita sendiri tentunya.
Namun tetap saja, tidak semua orang mampu belajar dari sekitar, dari apa yang sudah terjadi, dari apa yang dialami orang lain. Sebab kita adalah anak-anak yang lahir dengan detak-detak ironi yang seirama. Kau tahu, semacam berpura-pura membenci hal-hal yang sesungguhnya kita nikmati dan cintai, atau menyesali segala sesuatu yang seolah biasa kita kutuki. Biar orang lain melihat bahwa kita adalah sebuah anti-tesis, walaupun nyatanya, kita hanya enggan dan malu mengakui bahwa sesungguhnya kita adalah molekul yang sama, perindu pujian dan perhatian dari banyak sekali mata. Suka maupun tidak, kita mesti menerima fakta itu, sebab jikalau tidak, mari kita sepakat bahwa itu adalah kutukan.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Berubah
Dalam hal apapun, tiap-tiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah seketika itu juga. Maksud saya, hal-hal yang terjadi, tak peduli itu menyenangkan, menyedihkan, menyebalkan, orang akan dengan sangat mudah merubah dirinya. Merubah bagaimana ia mesti bersikap, merubah kadar sesuatu di dalam dirinya atau bahkan merubah dirinya melawan sesuatu yang sesungguhnya bukan dirinya. Membingungkan bukan? Menempatkan dirinya dalam kearoganan yang dibuat-buat atau sebaliknya mencurahkan kasih sayang pada hal-hal sederhana.
Misalnya, orang akan berubah saat ia merasa selalu diabaikan. Usaha-usaha yang ia kerjakan sedikitpun tak diperhatikan, atau malah dihina oleh orang-orang di sekitarnya, yang amat begitu ia pedulikan. Orang pun akan mudah berubah saat sedikitpun tidak ada apresiasi yang ia dapatkan, sebab mungkin ia hanya melakukan hal-hal sederhana, sebisa dirinya, karena ia tahu ia merasa begitu terbatas kala itu. Di sisi lain, seorang pemberontak pada suatu titik akan mudah merasa jatuh cinta pada hal-hal remeh seperti saat ia memandang takjub pada seekor anak sapi yang berlari-lari kegirangan mencari susu ibunya. Atau saat ia membaca puisi atau menyaksikan sebuah pentas sederhana tentang ayah yang menyadari putri kecilnya telah tumbuh menjadi seorang wanita.
Dan kau tahu, nyatanya perubahan-perubahan itu terjadi karena pertentangan-pertentangan yang tak begitu rumit sebenarnya. Ia bisa saja muncul akibat kekecewaan yang terlalu dalam, atau hal-hal baik yang nyatanya diabaikan oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia tentu bisa juga muncul karena rasa haru yang membuat seseorang iba hingga pada akhirnya ia memikirkan dirinya sendiri dan menyadari banyak hal buruk yang ia telah kerjakan. Ibarat blitz-blitz kamera yang memancar terlalu cepat, terkadang perubahan orang-orang itu juga begitu cepat. Dan pada saatnya, kita, atau siapapun yang mendapati perubahan itu mungkin akan gamang sendiri, menyesal, bisa jadi, ataupun bersuka karenanya.
Ia yang tengah menundukkan kepalanya, mengikuti irama kawannya yang murung, misalnya. Bisa saja sepersekian detik kemudian membayangkan dirinya menghentak-hentakkan kakinya menyaksikan Audioslave dengan lagu Doesn't Remind Me berteriak-teriak dan mempersetankan kesedihan kawannya, sebab kawannya ini tak merasa terbantu oleh kehadirannya dan mengharapkan hal-hal yang lebih indah daripada sekedar menundukkan kepala. Atau ia yang tengah mabuk berat memikirkan asmara sambil mengumpat, pada suatu titik terangnya berdiri, membantu nenek tua yang kesusahan menyeberang jalan, sebab ia menyadari bahwa ada begitu banyak hal rentan yang membuatnya merasa jauh lebih kuat dari perasaannya yang remuk. Sederhana sekali.
Dan kelak, saya kira perubahan yang mereka lakukan ini sedikit banyak akan mempengaruhi cara pandang kita. Melihat seribu satu kemungkinan yang dapat terjadi di sekeliling kita. Ia bisa saja menimbulkan kekhawatiran. Saat kita baru menyadari betapa kita ini adalah anak-anak yang selalu mempedulikan diri sendiri, hingga tak sempat melihat bahwa hal-hal sederhana yang dilakukan orang lain bukanlah melulu soal mencari perhatian atau apapun, namun lebih karena kekhawatiran itu sendiri, yang berlebihan dan kepedulian yang melebihi kisah Rama dan Sinta.
Saya kira kita semua pernah mengalami itu. Sebab sayapun demikian, entah menjadi saksi perubahan orang-orang di sekitar saya, atau juga saya sendiri yang menjadi pelaku perubahan itu. 
Sederhana sekali, seperti blitz-blitz kamera.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Anak-anak Rindu
Sudah cukup lama sekali di dalam ingatan kami, entah enam, tujuh, atau belasan tahun kami tidak duduk bersama di meja makan, tidak membicarakan apa-apa kecuali diri kami sendiri. Lalu membuka setiap hal yang masing-masing dari kami alami saat-saat itu; di sekolah, di tempat bermain, di tempat kerja atau di mana saja misalnya. Kemudian melanjutkan pembicaraan yang lebih sakral tentang masa depan, pendidikan, cita-cita, hingga asmara, mungkin saja.  Sudah lama sekali.
Yah, keluarga. Saya sedang mencoba mengingat ke belakang tentang masa-masa di mana saya pernah tumbuh menjadi bagian dari hal baik dan buruk yang masih saja membekas hingga saat ini. Yang sedikit banyak menyumbang cerita dan idealisme tentang bagaimana memandang hidup kami sendiri. Di dalam sebuah keluarga yang baik. Segala tawa, haru, ketakutan, tangis, rindu, kecewa dan hal-hal yang masih terus terasa menjengkelkan hingga detik ini. Namun bukankah itu semua ada untuk dinikmati dan disyukuri? Maka biarlah ia tertulis di sini.
---
Saya tumbuh di dalam keluarga yang baik. Sebuah keluarga yang besar dan kaku serta sama sekali tidak romantis. Ibarat kami sudah terbiasa untuk hidup sendiri-sendiri. Melakukan hal-hal kami sendiri. Membatasi diri kami dengan sebuah sekat yang cukup tinggi terhadap kisah-kisah pribadi kami. Kepedulian yang berlebih-lebih terkadang membuat kami jengkel sendiri. Dan saya kira hal-hal tersebut bermula pada suatu masa. Pada sebuah cerita yang memang tak seharusnya dituliskan di sini.
Saat anak-anak lain menikmati liburan mereka ke tempat-tempat baru bersama keluarga mereka, misalnya. Saya dan kakak saya hanya akan berakhir di pangkuan kakek nenek kami. Di kota kelahiran yang penuh sesak itu. Mendengarkan dongeng mereka tentang apa saja. Tentang kisah-kisah heroik sejarah bangsa, tentang nenek buyut kami yang konon masih keturunan suatu kerajaan di daearah Boyolali, tentang keluarga kami sendiri dengan segala naik turunnya. Dan tentang segala hal lainnya. Cerita yang justru kini membuat saya meragukannya.
Atau saat anak-anak lain berbangga masuk ke gerbang sekolah dengan berbekal senyum kedua orang tua mereka, saya adalah anak yang cukup bersyukur bahwa saya bisa berangkat ke sekolah tanpa harus mempedulikan omelan ibu saya soal apa-apa saja yang meributkannya. Soal bangun siang, soal seragam kotor, soal sarapan yang tak dihabiskan, soal apa saja. Hanya soal sepatu usang yang kadang membuat saya menggerutu.
Di saat lain, ketika teman-teman kami begitu kagum dan bangga tentang cerita keluarga mereka, tentang hal-hal manis yang mereka bagikan dan rayakan bersama, tentang gambar-gambar yang mereka tempel di rumah-rumah mereka, kami hanya bisa tersenyum geli membayangkan betapa menikmati kesempatan makan malam bersama adalah hal baik yang begitu langka bagi kami. Kami bahkan tidak sempat memiliki kesempatan untuk sekedar mengabadikan kegiatan-kegiatan yang kami lakukan. Misalnya saat-saat yang manis ketika salah satu dari kami berulang tahun atau semacamnya. Sayang sekali bukan?
---
Namun, terlepas dari hal-hal menyedihkan itu, ada tersimpan kenangan-kenangan baik yang memang akan selalu membuat rindu.  Tentang masa-masa yang baik. Masa di mana hal-hal yang paling membahagiakan adalah bertemu dengan ayah kami yang dengan sangat menyebalkan kala itu kami rindukan. Misalnya, saat saya bocah yang dengan bodoh percaya bahwa ketika kita merindukan orang-orang yang kita sayangi, kita bisa menyampaikannya dengan meneriaki namanya di bak mandi. Saya melakukannya. Entah siapa yang memberi tahu, tapi sungguh, tangis menjadi begitu saja reda dan kelegaan benar-benar terasa, sebab rindu seolah sudah tersampaikan kepada ayah saya yang kala itu sedang jauh. Ajaib memang.
Kakek Terbaik Sedunia
Pun, kami mengingat betapa waktu-waktu itu adalah waktu di mana berkeliling kota dengan mengendarai sepeda tua bersama kakek kami adalah liburan yang paling istimewa. Hanya melihat-lihat dan menikmati setiap sudut kota kelahiran yang sedang berbahagia itu dengan tawa kanak-kanak kami tanpa berani menginginkan hal-hal yang lain. Itu pula merupakan masa di mana mengikat tali sepatu sendiri merupakan kebanggan yang luar biasa. Seolah kami ini adalah orang dewasa yang siap untuk mengencingi dunia. Dan masa-masa itu pula adalah saat ketika hal-hal yang mematahkan hati kami adalah hal-hal sederhana semacam kekalahan bermain kelereng atau petak umpet, atau gagal menerbangkan layang-layang dan iri sebab anak-anak lain dibelikan mainan-mainan baru oleh orang tua mereka.
Dan saya kira, setiap kita tentu akan merindukan masa-masa tertentu tentang cerita kanak-kanak yang pernah kita lalui. Melampaui segala hal buruk yang mungkin saja ada di setiap sudut-sudut kenangan, kita akan menemukan cerita yang membuat kita bersyukur karenanya.
Sebab memang masih ada begitu banyak hal yang semestinya tak perlu disampaikan di sini. Ia adalah hal-hal baik dan buruk yang disediakan untuk orang-orang terbaik kita. Mereka yang mau percaya dan menerima kita secara penuh. Bukan melulu hal-hal baik yang ada pada kita atau yang berada di depan kita. Sebab apa gunanya mereka ada bila hanya sekedar untuk hal-hal baik yang ada pada kita dan tak mau menerima keburukannya?
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
A Late Letter On Friday
Begini akan ku mulai. Ada beberapa orang yang terlahir dengan begitu banyak ingatan di dalam dirinya. Entah itu adalah ingatan yang benar-benar ada sedari ia menjalani hidupnya, atau ingatan yang terpaksa ia munculkan saat hal-hal tertentu datang padanya. Semacam kesengajaan untuk mengingat hal baik, buruk, aneh maupun ajaib oleh sebab sesuatu tengah terjadi. Dan dengan segala hal indah yang kau miliki, tentu orang-orang akan mengingat potongan-potongan gambar yang pernah terjadi, entah sengaja entah tidak.
Aku mengingatmu sebaga anak dengan ikat kepala berwarna merah, atau apapun warnanya itu, yang dengan sangat menyebalkan membuat orang yang kau ajak bicara kehilangan kewibawaannya. Ia tentu tidak menganggapmu lebih dari seorang anak yang sok kenal, yang suka bertingkah seperti anak kecil yang menggemaskan. Ia tentu tak banyak memperhatikanmu. Kau tahu, ia sedang lebih memperhatikan hal-hal yang sedang menghinggapi dirinya. Jadi bila kini kau tanyai dia tentang setiap detail pertanyaan yang muncul dari bibirnya, tentu ia sudah begitu lupa.
Akupun ingat bagaimana kau selalu risau terhadap anak-anak yang tidak menyukaimu. Di suatu sore, saat obrolan kita mengarah ke mana-mana. Buku, keluarga, asmara, impian dan orang-orang menyebalkan yang melingkari dirimu. Saat kau selalu saja mengkhawatirkan hal-hal sederhana, dan membuatnya menjadi serasa rumit saja. Jangan pernah berkata dirimu bodoh! Kau hanya perlu beberapa waktu untuk bertumbuh. Untuk menyeimbangkan diri antara angan-angan dan dunia sekitarmu. Bukankah kau tahu, betapa orang-orang baik di sekelilingmu selalu mengharapkan tawamu? Dan biarpun mereka biasa mencandaimu, bukankah itu adalah dukungan terbaik dari mereka, supaya kau tak gentar melangkah. Mempersetankan seluruh kebencian orang-orang lain yang ingin melihat kau jatuh. Tak usah kau pedulikan itu. Mereka hanya ingin bertukar cerita denganmu. Cerita yang indah-indah saja tentunya. Sebab bila harus menjadi dirimu, tentu mereka tak kan sanggup. Yakinlah!
Semacam kini, betapa bagi mereka, menjadi bagian dari orang-orang yang hebat adalah kesempurnaan.  Aku tahu, itu tidak bagimu. Sebab bagimu, mencintai kebebasan dan memberikan seluruh hidupmu pada hal-hal yang kau cintai adalah segalanya. Kau tahu betul bagaimana anak yang mereka kagumi itu bersikap. Menjengkelkan, katamu. Entahlah, Aku tidak mengenalnya. Apakah Aku sejauh ini mendengarkan seluruh ceritamu dengan jujur? Atau kau hanya berupaya melegakan ketakutanku yang selalu saja sama? Bukannya Aku tak percaya, hanya saja, melihat seluruh kemungkinan bisa saja menjadi amunisi yang baik untuk berjaga-jaga, jika masa-masa sulit yang sesungguhnya tiba.
--
Aku ingat betapa kau begitu bahagia menyambut buku-buku yang bertumpuk dan tercecer di lantai dengan semangat yang membabi buta hingga kau melupakan kawanmu. Berlari menyambut mereka seolah memeluk anak-anakmu. Terasa menyebalkan memang. Tapi kau tahu, bagiku itu indah. Betapa anak seusiamu mencintai segala tulisan lebih dari apapun. Betapa kekagumanmu atas semua itu memberimu energi yang meledak-ledak. Aku iri, akan selalu seperti ini. Betapa kau selalu punya waktu untuk mendekam di balik rak-rak dengan tumpukan kata dan cerita, berjam-jam tenggelam dalam fantasi yang membuatmu lupa dengan apapun. Dan betapa halaman demi halaman dapat kau habiskan lebih cepat dari waktu makanmu, adalah sebuah kekaguman yang lebih lagi.
Dan lagi, Aku akan mengingat betapa kau dengan rela menunggu seseorang dalam mimpimu, yang ia sendiri bahkan tak memperhatikanmu. Ah tidak, dia memperhatikanmu sesungguhnya, hanya saja benar jika kau bilang bahwa waktu seringkali salah. Kau selalu bilang jika menunggu itu melelahkan. Iya, mungkin benar. Tapi bukankah menunggu membuatmu tahan uji? Menunggu membuatmu menjadi penuh harap. Dan kini, bukankah waktu-waktu menunggumu pada akhirnya terbayar penuh, dengan kebaikan-kebaikan yang meliputinya. Walaupun tampaknya, hingga kini kau masih saja merisaukan. Ingat ini! Bukan salahmu jika di antara waktu-waktu menunggumu kau tergerak untuk memetik bunga dan buah-buahan di samping kanan kiri jalan di tempatmu menunggu. Bukan salahmu juga bila bunga dan buah yang kau petik nyatanya hanya indah saat ia tertancap pada batang-batangnya. Dan ketika kau petik, ia membusuk juga, memburuk pula pada akhirnya. Dan kini kau masih memegangnya, di saat apa yang kau tunggu mungkin telah di depan mata. Maka tentukan, kau tahu mana yang baik untuk dirimu sendiri! Jadi kini, adalah baik jika kau mau pahami, bahwa seluruh hidup yang telah kau jalani tidak ada sesuatu pun yang disebut sebagai kesia-siaan. Dan dengan seluruh hal baik yang kau harapkan kini kau dapatkan di jalan-jalan yang telah mengarah ke depan, kau pun mesti bersyukur pada apa yang mungkin telah lama kau harapkan. Satu hal lagi, Aku yakin kau juga tahu, bahwa syukur bukan hanya kata, ia adalah tindakan. --
Beberapa hari ke depan, kau mungkin akan mendapatkan bunga dan pemberian-pemberian dengan ucapan yang manis. Dari siapa saja, orang-orang tak dikenal, pemain basket, tukang sapu, pemain terompet, kutu buku, badut hingga anak-anak remaja manja yang masih menetek susu ibunya, yang dengan bangga melantangkan suaranya mencari popularitas di mana-mana. Kau tahu, merayakan apa yang disebut sebagai kasih sayang, katanya. Omong kosong betul. Memuakkan. Tapi biar bagaimanapun, kalian ini adalah anak-anak manusia yang lahir dengan impian-impian akan kasih sayang yang luar biasa. Kalian tumbuh dengan cerita romansa ala William Shakespeare yang klise itu, yang selalu saja mengagung-agungkan pemberian-pemberian. Kau pantas untuk menerimanya.
Sedang Aku, Aku lebih menyukai kata-kata penyemangat di saat perang. Olok-olok penuh canda saat kau tahu kapalmu hendak karam. Itu lebih menguatkan. Itu lebih menenangkan. Sehingga kau tak lagi peduli entah mati entah hidup atau kapan dan bagaimana. Bahkan saat kelaparan datang, bebunyian dan tari-tarian bisa lebih memabukkan dan membuat lupa akan lapar dan dahagamu. Yang akan kuberikan adalah kekhawatiran yang berlebih-lebih. Dan yang paling istimewa adalah ejekan akan setiap hal yang kau lakukan.
Dan setelah ini, jika kita punya kesempatan bertatap muka, jangan kau tanya terlalu banyak tentang ini. Sebab tulisan ini memang sengaja dilebih-lebihkan. Tapi bukankah memang seharusnya begitu? Biar dia enak dibaca saja. Mungkin. --
---
*P.S: Sepertinya ini tulisan pertama yang menggunakan orang pertama tunggal "Aku" dan bukan "Saya". Entahlah, biar dia terasa lebih personal bagi beberapa orang saja sebenarnya.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Kejutan
Hingga detik ini saya masih percaya betapa hidup selalu memberikan kejutan di tiap-tiap tikungan dan naik turunnya. Dan kejutan tidaklah melulu hal baik. Sebab ia kejutan, kau tahu, sesuatu yang buruk namun mengejutkan pun kita sebut sebagai kejutan. Ia adalah hal-hal yang membuat angan-angan kita beralih dari sedih menuju suka, suka menuju duka, dan seterusnya. 
Bayangkan, ia bisa melaju sepersekian detik lebih cepat dari rambat cahaya yang kemudian membuat kita takzim sendiri. Membuat kita melompat kegirangan atau mendekam di sudut kamar mandi. Semisal hal-hal bodoh yang kau lakukan dengan seseorang yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Yang membuatmu senyum-senyum sendiri saat mengingatnya. Atau juga obrolan di malam-malam yang larut tentang hal-hal sepele yang membikin kita serasa menjadi anak yang baru mengerti dunia. Namun di sisi lain, ia juga bisa merupakan hal-hal menjengkelkan. Yang membuatmu begitu ingin mengumpat sendiri. Yang membuatmu resah sebab hal-hal yang baru saja kau lakukan semalam, dalam hitungan jam memberi balasan sebuah tamparan. Kabar menyedihkan bagaimana hal-hal baik yang kau harapkan selalu saja terkendala satu dua hal yang menyebalkan. Atau hal-hal lucu yang kau lakukan semalam, dengan seorang anak yang istimewa tiba-tiba harus usai, atau semacam itu. Menyedihkan bukan?
Tapi itulah kejutan. Tidak ada yang bisa disalahkan atas hal ini. Tinggal kau mau menerimanya dengan lapang atau tidak. Dan kosmos memang ajaib. Ia selalu bisa saja membuat gara-gara dengan hal-hal yang terlampau melankolis untuk anak-anak yang baru saja tumbuh. Ia membuat rasa haru terus saja muncul, hingga terlampau sedih untuk dikenang. Dan ya, hal-hal ajaib itu, adalah satu dari jutaan cerita yang dituliskan di lembaran kita.
Tapi mungkin saja, ia hanya sebuah kekhawatiran yang berlebih-lebih. Ketakutan-ketakutan berlebih yang pada akhirnya hanya menjadi lelucon. Dan kita hanya akan mencandainya, sebagai anak yang mudah khawatir dengan hal-hal remeh. Entahlah, mungkin saja.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Before Sunrise
Salatiga sedang sangat menjengkelkan hari-hari itu. Ia diliputi mendung yang pekat serta dingin yang menyebalkan sebab hujan seperti telah jatuh cinta padanya. Dan saya pun sempat bersumpah serapah dibuatnya. Hujan telah membuat semua hal yang dirancangkan menjadi berantakan. Ia mengacaukan pengandaian-pengandaian yang baik. Memuakkan betul! Akan tetapi, saat waktu telah berlalu, ada hal-hal yang tanpa saya sadari terjadi karena hujan yang menyebalkan itu, yang sempat saya kutuki. Ia pada suatu titik justru menjadi awal dari seluruh hal yang penuh cerita ajaib. Ia adalah Alfa, yang membangkitkan hal-hal baik setelahnya. Biarpun ia dibenci, ia dikutuk dan disalahkan, ia adalah pemicu kebaikan bagi banyak orang. Dan saya, anak yang telah bersumpah serapah akan hujan sore itu, adalah salah satunya. Pada titik itulah saya menyadari betapa terkadang hal-hal kecil yang terjadi di tiap-tiap hari kita merupakan sebuah alur akan cerita yang lebih baik dari apa yang kita angankan sebelumnya. Meskipun ia hanya sebuah pola kecil yang tak beraturan, atau justru sesuatu hal yang terlampau besar yang tak sempat kita pikirkan. Nyatanya, setiap hal memiliki mata rantai akan kejadian-kejadian sesudahnya. Dan hujan sore itu adalah salah satunya. Ya, itulah yang orang-orang sebut sebagai Efek Kupu-Kupu. Dan karena hujan deras yang turun sore itu, yang membuat rencana-rencana sederhana mesti tertunda, saya justru menjumpai banyak keajaiban setelahnya. Di Sabtu sore yang mendung, di kota Salatiga yang selalu saja memberikan hal-hal yang baik di mana beberapa kawan yang dengan penuh kerinduan mengajak untuk bertemu. Sore itu, hingga malam, saat hujan masih saja terasa menyebalkan.
Saya berakhir bersama seorang anak yang tak kalah menyebalkan di sisa Sabtu malam itu sesaat setelah hujan reda. Anak ini ada dengan miliaran cerita di bibirnya, anak dengan angan-angan yang melebihi tinggi badannya. Ia sedang merasa enggan untuk pulang malam itu. Dan dengan semangatnya yang masih saja meninggi ia berhasil membuat saya menemaninya menghabiskan malam dengan obrolan-obrolan seperti biasanya. Melintasi jalanan sepi di gang-gangnya yang gelap, di bawah remang-remang lampu jalan yang menyeka lelah kami seperti saat Jesse dan Celine berjumpa untuk pertama kalinya. Mengagumi apa saja yang tersimpan di bawah kolong langit malam itu; jalanan, orang-orang, gedung-gedung dan rumah yang memiliki aksen kenangan yang baik. Dengan hanya berjalan kaki, tanpa siapa-siapa kecuali kami, waktu melambat seakan membiarkan kami terperangkap dalam malam yang dingin dan gelap. Berbicara tentang segala hal sekali lagi sama seperti Jesse dan Celine. Tentang seks, feminisme, superioritas laki-laki, politik, perang dan kemanusiaan. Ah, tentu tidak, kami tidak membicarakan hal-hal itu seperti mereka. Kami membicarakan segala hal yang jauh lebih sederhana. Betapa tinggal di sebuah rumah mungil di tengah kota dengan pepohonan dan bunga-bunga di sekelilingnya adalah angan-angan yang kami rindukan misalnya. Kemudian meletakkan juga sebuah bangku panjang di trotoar kami dengan kanopi di atasnya supaya orang-orang bisa berteduh di bawahnya saat terik maupun saat hujan. Atau membuat perpustakaan kami sendiri dengan diisi oleh buku-buku terbaik yang sudah ratusan kali kami baca berulang-ulang adalah harapan teragung yang kami miliki. Hingga pembicaraan tentang betapa kami dengan sadar mengakui bahwa kami telah menjadi anak-anak yang bodoh karena melakukan hal-hal semacam ini semua. Dan lebih jauh, kami biasa untuk bertukar kisah kami masing-masing. Berbagi ide-ide serta gagasan yang naif, hitam dan putih, cinta dan benci, hidup dan mati. Segala kisah picisan tentang orang-orang menyebalkan di sekeliling kami, kisah-kisah banal yang meliputi hidup kami, hingga hal-hal murung yang kami berdua bagikan yang terus saja bergulir tanpa kenal lelah. Dan pada saat-saat seperti itulah kami biasa untuk mencandai dan menertawakan hidup, sebab itu adalah cara terbaik yang bisa kami lakukan untuk menjaga diri kami menyadari bahwa di sisi kehidupan yang lain ada begitu banyak hal yang lebih menyedihkan dari hal-hal yang kami jalani. Melalui jalanan yang gelap dan dingin dan sepi, dengan cerita-cerita yang manis yang meliputi kami.
Kami melakukan segala sesuatu tanpa benar-benar merencanakan sebelumnya. Berbelok di gang-gang tertentu, berhenti di mana saja, memilih persimpangan yang kami anggap baik untuk dilalui, atau memutar kembali ke jalan yang kami ambil sebelumnya. Kemudian bercerita kembali. Bagaimana anak ini pada suatu ketika bertemu dengan seseorang dari masa lalunya yang sungguh berniat untuk menjumpainya walaupun anak ini sendiri sudah lupa apakah pernah mengenal wajah orang itu. Atau saat ia kesal tentang betapa seseorang yang sedang dekat dengan dirinya begitu mudah menyombongkan dan membanggakan apa yang dia miliki dengan lantang dan kekanak-kanakan. Juga tentang adik-adiknya yang manis dan menggemaskan yang dengan sendu ia rindukan. Kami terus saja bercerita tentang segala hal. Hingga pada suatu titik, beberapa jam sebelum matahari terbit, di sebuah sudut kota Salatiga yang sedang dingin-dinginnya itu, kami memutuskan untuk menghentikan langkah kami. Di sebuah kedai yang syahdu, bersama kepulan asap rokok dan tawa para pria dan wanita yang sedang berbahagia dengan gelas-gelas kopi di meja mereka dan obrolan acak tentang apa saja, kami mengistirahatkan langkah kami dini hari itu. Mengingat kembali ke belakang, kemudian melaju ke depan lagi, dan terus saja seperti itu seolah tak ada jeda sedikitpun bagi kami untuk memejamkan mata. Sebab nyatanya, kami menikmati setiap kata yang kami dengar maupun sampaikan. Segala gagasan yang berlebihan dan segala omong kosong yang pada suatu ketika akan kami patahkan sendiri. Dan semua itu adalah hal-hal yang tidak pernah kami rancangkan sebelumnya. Sungguh, semua hal itu merupakan hal-hal yang luar biasa. Sebab terkadang kau pun mesti menyadari, bahwa kehidupan sesungguhnya selalu memberikan hal-hal tak terduga di tiap sisi kanan dan kirinya. Ia adalah kejutan-kejutan kecil yang tak lantas menjadi basi untuk diingat dan dibicarakan kembali. Seperti Margo Roth Spiegelman, yang tak selalu punya rencana akan hidupnya, namun selalu menemukan dirinya diliputi oleh keajaiban. Dan nyatanya, hal-hal yang kami lakukan sungguh akan menjadi sebuah ingatan yang kuat. Ia mungkin memang terjadi tanpa sebuah perencanaan yang baik. Sebab mau atau tidak, saya mesti mengakui bahwa hujan yang sesore tadi sangat menyebalkan, kini telah memberi waktu-waktu yang luar biasa setelahnya. Mungkin kami tak sempat melakukan hal-hal ini jika hujan tak turun sore itu. Bisa jadi kami lebih memilih untuk melakukan hal yang jauh lebih masuk akal, seperti tidur di kamar kami masing-masing dan beristirahat. Mungkin saja. Namun, nyatanya, hujanlah yang membuat seluruh atmosfer malam itu menulari keinginan kami untuk bercerita. Dan seluruh ingatan akan kejadian-kejadian sesaat sebelum matahari menampakkan dirinya kala itu akan bertahan untuk waktu-waktu yang cukup lama. Semacam amunisi yang memang diisikan penuh supaya masing-masing dari kami mampu untuk memelihara kerinduan esok harinya. Seperti Jesse dan Celine mungkin, yang pada awalnya meyakini betapa mereka memiliki ketegaran penuh untuk menahan rindu yang bagi mereka begitu remeh, namun pada akhirnya menyerah kepada kerinduan mereka masing-masing. Dan anak ini, yang beberapa malam sebelumnya sedang begitu suka memurungkan dirinya dengan lagu Jealous dan Hyperballad kini telah mengembangkan senyumnya kembali pada lagu-lagu semacam Story dari Monkey Majik yang mulai saat itu menjadi terdengar begitu sentimentil. Ia akan terus mengalun menemani segala aktivitas kami. Saat membaca buku, saat menulis dan mencoret-coret kertas-kertas kosong dengan garis dan warna-warna acak, saat melakukan apa saja dan tentu, saat hujan yang menyebalkan turun mengurung kami kembali.
Before Sunrise
Dan di sebuah sudut kota sesaat sebelum matahari terbit, dengan dingin yang disisakan oleh hujan yang sempat saya kutuki, kami telah menghabiskan malam kami tenggelam dalam cerita. Tentang apa saja, buku yang baik, musik yang baik, orang-orang dan apa saja. Dan sungguh, mencandai dan menertawakan hidup membuat semua hal menjadi begitu sederhana. 
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Membayangkan Hari Menua
Saya pernah berpikir jika kelak saya akan menghabiskan masa pensiun dengan tinggal bersama seorang perempuan tua yang sama-sama menyukai buku dan menghabiskan hari-hari kami mendengarkan lagu-lagu country di saat tengah hari dan folk di setiap senja. Kemudian membangun sebuah kedai sederhana yang menyajikan cerita dan romantisme di dalam gelas-gelas kopi dan lembaran kisah-kisah ajaib hasil karya manusia. Pasti menyenangkan sekali membayangkannya. Konyol memang, sebab nyatanya baru beberapa waktu saya mencicipi kehidupan orang dewasa yang melelahkan. Dan sekarang saya membayangkan masa-masa tua yang damai dan tenang. Tapi bukanlah dosa untuk sekedar berandai-andai tentang masa-masa tua yang terdengar cukup syahdu dengan hal-hal yang kita cintai. Jadi kini, saya akan sedikit bercerita tentang hal itu. Saya pernah beberapa kali termenung berandai-andai bagaimana saya mungkin akan menikmati setiap detik masa-masa tua nanti. Tinggal bersama seorang perempuan tua cerewet yang selalu merisaukan anak-anaknya yang hidup berada jauh di kota lain. Di temani seekor anjing Saint Bernard yang juga telah tua dan malas, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tiduran di depan televisi dibanding bermain-main di halaman belakang kami, juga lagu-lagu yang berputar menunjukkan seberapa kami telah melampaui waktu muda kami bersenang-senang.  Melalui sebuah gramaphone tua misalnya, yang sengaja diletakan di sudut salah satu ruangan dengan terus berputar memainkan lagu-lagu country dan folk. Juga rak-rak yang berisi buku-buku acak macam panduan membuat bonsai karya Colin Lewis, kemudian fiksi-fiksi kriminal Agatha Christie hingga kisah-kisah satir Ryūnosuke Akutagawa dan beraneka ragam jenis buku lainnya dengan hanya diterangi oleh bohlam-bohlam kuning yang cahayanya remang dan malas. Saya akan senang untuk menghiasi dinding-dinding yang warna-warna cat yang telah memudar dengan gambar-gambar palsu karya Vincent van Gogh, Salvador Dali hingga Affandi. Foto-foto petualangan kami di masa muda yang sengaja dibuat hitam putih pun mungkin akan cukup menarik untuk dipasang memberi kesan lawas yang dalam. Hari-hari kami akan berisi obrolan dan debat yang tak berkesudahan tentang hal-hal sepele. Misal mana merk sabun mandi yang paling wangi, atau siapa yang paling keras mendengkur saat tidur di antara kami, hingga memperdebatkan siapa yang terbaik antara HDT dan Annie Dillard. Dalam membayangkan hal itu, saya akan memilih untuk tinggal di sebuah rumah mungil dengan sebuah taman kecil berisi bunga-bunga, sayur mayur dan bermacam tanaman obat, di sebuah sudut kota yang tenang. Mendirikan sebuah galeri buku independent yang mengijinkan siapa saja untuk datang membaca dan meminjam buku-buku kami. Atau membelinya juga mungkin akan sedikit membantu. Dan bolehlah, orang berlalu lalang, datang dan pergi untuk sekedar menikmati bercangkir-cangkir kopi dengan obrolan mereka tentang apa saja sampai larut. Mungkin juga akan ada sekumpulan anak muda dengan visi revolusioner mereka sengaja berdiskusi tentang Mark hingga Castro. Atau gadis-gadis tanggung yang datang dan pergi kecewa karena tidak menemukan buku Tere Liye di sana. Kamipun mengijinkan beberapa pasang muda-mudi untuk datang membawa pundi-pundi cinta mereka dengan berbagai kisah asmara hanya untuk sekedar mencari sebuah tempat untuk bermesraan. Karena mereka akan menjadi teman di masa-masa tua kami tinggal di sana. Merekalah yang akan menyegarkan kami dengan ide-ide baru dari anak-anak yang lebih muda dari kami di masa-masa itu. Anak-anak yang menyebalkan tentunya. Menarik pastinya, menjalani hari-hari dengan dikelilingi fantasi dan imajinasi yang berlebih. Yah, dan semua itu hanyalah angan-angan semata. Hal-hal yang mungkin terkesan muluk-muluk untuk seorang anak yang baru saja melakoni babak baru dalam perjalanan hidupnya. Ia tentu akan menjumpai banyak hal, yang sedikit banyak akan berpengaruh dan mengubah hal-hal yang ia mungkin pernah bayangkan. Namun sekali lagi, bukankah kita adalah anak-anak manusia yang suka sekali berharap hal-hal baik terjadi pada diri kita? Atau mungkin tidak? Entahlah.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Di Sebuah Kota
Saya hampir tenggelam dalam bosan setelah beberapa jam menunggu hujan deras yang tak lekas reda. Di suatu sore, di teras sebuah kamar kos yang sepi lantaran ditinggal para penghuninya kembali ke tempat asal mereka. Dan saya seorang diri. Hanya ditemani alunan muram dan malas The Will to Death dari John Frusciante. Ah, kau tahu, sungguh menyebalkan ketika mengetahui bahwa hal-hal ringan yang dapat menghiburmu sedikit di sela-sela kegamanganmu pada akhirnya pelan-pelan menjauh, memudar dan pergi. Klasik! Lalu ia akan kembali lagi, menyembunyikan hal-hal yang ia tak mau kau tahu dengan kepolosannya yang tak bisa kau hindari. Untuk itu, hadapilah biarpun sesungguhnya kau tahu betul.
Dan menunggu adalah pekerjaan yang baik. Ia selalu bisa menjadi katalis bagi otak untuk memunculkan banyak sekali hal yang tak sempat terpikirkan saat beraktivitas. Ia tentu saja membosankan. Namun ayolah, bukankah menyanyikan Creep-nya Radiohead keras-keras sambil berharap bahwa orang-orang akan menghargai usaha kecilmu yang telah kau lakukan untuk merekapun nyatanya tak kurang membosankan dibanding semua ini? Ia bahkan menjadi sia-sia belaka. Dan saya kira, saya akan lebih menghargai derai hujan yang lebih jujur sebagai lagu yang merdu ketimbang tawa renyah yang ringan dan mudah pergi begitu saja.
Awalnya, saya berencana untuk sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan memutari kota yang untuk beberapa lama akan saya tinggali. Saya tengah memerlukannya untuk sedikit meringankan sakit kepala. Untuk sedikit menjernihkan isi pikiran dari hal-hal negatif serta kecurigaan berlebih akan orang-orang, hal-hal dan banyak lagi. Ah, sudahlah! Saya membayangkan bahwa mungkin saya akan menemukan kejutan-kejutan kecil yang saya rindukan. Hal-hal sederhana yang membuat kedua sudut bibir agak naik sedikit. Mungkin warna-warna cerah dapat juga membuat mata saya sedikit berbinar. Karena saya begitu menyukai sensasi saat pupil mata beradaptasi dengan perubahan cahaya. Membesar lalu mengecil. Mengecil lalu membesar. 
Sayapun membayangkan akan menjumpai hal-hal tak biasa terjadi pada hari-hari ini. Semisal sepasang kakek dan nenek yang sedang bermain lompat tali, atau seorang ayah berbadan besar dengan tato dan brewoknya sedang mengajari gadis kecilnya menari balet. Ataupun seorang gadis cantik berparas bidadari yang memilih menikah muda dengan seorang pemuda biasa saja yang hanya memiliki tubuhnya dan idealisme yang berlebih-lebih. Sungguh menyenangkan. Saya yakin saya tidak mungkin menemukannya, tapi percayalah, harapan-harapan remeh yang semacam itu tak lantas membuat dirimu hina.
Saya masih saja menunggu sesore ini. Tak ada gelas-gelas kopi, lembaran kertas bersampul bertuliskan huruf cetak yang tebal, yang saat diabadikan di dalam gambar akan memberikan sensasi elegan layaknya para hipokrit di media-media (sosial). Hanya ada sebuah kotak ajaib datar yang sedari tadi menemani dengan lagu-lagu sekenanya, tak peduli suasana apa yang sedang terjadi sebab iapun tak peduli. Hingga akhirnya saat senja datang, saat ia mesti tiba, hujan nampaknya mulai malas berjatuhan ke tanah. Ia perlahan berpamitan, meninggalkan airnya yang menggenang di sudut-sudut halaman. Namun, karena senjalah yang pada akhirnya datang , serta lantunan puji-pujian mulai mengalun di langit yang mendung di kota sore ini, bukanlah hal yang baik untuk melanjutkan tekad yang sedari tadi sejujurnya telah berubah menjadi kemalasan. Dan tulisan ini, yang seharusnya akan saya maksudkan untuk menceritakan hal-hal baik yang mungkin ditawarkan kota ini beberapa jam lalu, pada akhirnya berubah menjadi kisah remah-remah yang klise seperti biasanya. Menyebalkan sekali.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Rapuh
Jika malam ini tidak turun hujan, mungkin cerita kali ini tak sebegitu nelangsa. Tapi apalah daya jika semesta menurunkan air matanya yang jelas menambah muram setiap hal malam ini. Dengan sebuah lagu berjudul Rapuh dari Padi yang terus saja mengalun diulang-ulang, hal-hal yang baru saja terjadi menjadi semakin muram saja. Ah, sungguh klise! Tidak mungkin tidak jika setiap pilihan dan keputusan yang kita buat akan tetap meninggalkan perasaan gelisah yang cukup menyita perhatian berlebih. Pilihan-pilihan yang sangat sederhana, hingga pilihan yang begitu penting dan rumit, sama-sama memberikan akibat yang tak jauh berbeda pada suatu titik tertentu. Dan saya pada titik ini dengan cukup yakin menyadari bahwa hal-hal yang tengah terjadi tidak lantas terlupa begitu saja. Ia mungkin terlihat remeh dan enteng. Namun bisa dikatakan bagaimana kita bersikap tidaklah selalu menunjukkan gambaran perasaan yang sesungguhnya. 
Sehingga untuk itu, saya menyadari bahwa keputusan yang baru saja kami buat akan meninggalkan sesal dengan beraneka ragam kegelisahan. Tentu saja. Kami tahu bahwa hal akan menjadi sedikit berbeda di kemudian hari. Kami akan lebih suka mendengarkan musik kami masing-masing. Kami akan lebih sering membaca buku kesukaan kami masing-masing, dan tentu saja kami akan mengharapkan hal-hal baik bagi diri kami. Ada begitu banyak cerita yang sempat kami tulis. Tentang hal-hal gila, tentang perjalanan dan petualangan, tentang kenakalan kami di tiap-tiap waktu yang bisa kami nikmati. Dan ia, pada saatnya harus hilang juga. Ia tak mungkin untuk dilupakan semudah yang kita harapkan. Karena ia, hal-hal yang bagi sebagian kita diharapkan untuk dilupakan dan berlalu, nyatanya pergi dengan hiasan cerita dan kisah picisan yang tetap membekas hingga kapanpun. Remeh memang, tapi lihatlah, Kurt Cobain pun mengatakan bahwa ia akan mencintai hal yang telah lama berlalu. Ia akan merindukan dengan penuh sesalnya. Dan hal ini pasti juga akan saya rasakan, entah kapan!
Dan bagi seorang pengingat dan pengenang, bukanlah perkara mudah untuk sekedar melupakan detail-detail kecil yang pernah terjadi di masa-masa yang telah lalu. Semisal tetesan air hujan, gemericik air sungai atau nada-nada manis tembang Arina dan kawan-kawannya yang secara sekilas akan langsung mengingatkan setiap detail sederhana. Sebab hal-hal kecil itulah yang menjalin ikatan kuat akan setiap cerita yang pernah tertulis.
Dan nantinya, saat waktu telah berlalu, saat membaca catatan-catatan ini, saya akan sangat yakin bahwa ingatan tentang masa-masa yang sudah terlewati akan kembali menghampiri dengan mesra. Membuka rongga-rongga yang seharusnya telah sembuh dan tertutup dengan rapi. Karena ia, tentu saja, adalah ingatan yang cukup baik dan berharga.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Seorang Pria Yang Lupa Namanya
Ia adalah anak yang lahir dari rahim keresahan. Ia sendiri terbentuk dari getaran kebimbangan yang bergerak teratur. Penuh bimbang akan apapun. Hingga pada saatnya, saat ia tumbuh, ia masih saja berarti sebagai suatu resah dan kegelisahan yang dibungkus oleh daging dan tulang. Dalam kematangannya yang sekarang, tentu dunia melihatnya sebagai suatu harapan, penopang keseimbangan, tapi nyatanya, ia masih akan terus bimbang akan sesuatu hal kecil saja.
Bisa saya katakan, saya mengenalnya terlalu jauh dari kebanyakan orang. Selain karena telah cukup lama bersama dengan anak ini, juga karena banyak hal yang sering ia bagikan kepada saya. Dan semuanya adalah omong kosong belaka. Tapi, biar bagaimanapun ia adalah anak yang berbeda.
Benar saja, ia memang tak semenarik anak-anak seusianya. Ia tak cukup keren untuk ditampilkan di album-album foto siapapun. Ia lebih mirip sebuah antitesis. Begitu penuh kebencian dan begitu mudah untuk tidak menyukai apapun. Namun, jikalau sesekali kau mengajak dia mengobrol, sudah barang tentu kalian akan tenggelam dalam pembicaraan yang tak terputus, romantis bahkan terkadang cukup intim. Bagaikan malam-malam penuh orgasme yang tak berakhir. Ya, karena dia ini, anak yang dilahirkan oleh keresahan, pada waktunya akan memancarkan hal-hal yang selama ribuan purnama ia pendam sendiri. Gagasan-gagasan aneh yang ia temukan sendiri. Ide-ide pria nakal yang penuh ambisi idealis layaknya revolusioner pada mudanya. Jadi pintar-pintarlah memilah perkataanya, sebab kau akan pusing sendiri. Ah, tak perlu berlebihan sebenarnya, sebab kalian tak bakal mengetahui siapa dia. Bahkan dia sendiri pun lupa akan dirinya. Begitulah.
0 notes
therecklessbum · 7 years
Text
Hal-hal Terakhir
Memasuki penghujung tahun selalu ada saja hal yang layak untuk diputar kembali. Semacam mengulang kaset tape yang berisi cerita-cerita kehidupan kita sendiri. Ia tentu saja penuh hal-hal yang semestinya ditinggal dan dilupakan. Tapi beberapa hal justru membikin kita suka termenung-menung seorang diri.
Saya mengalami begitu banyak hal untuk pertama kalinya di tahun ini. Namun, bukan hal-hal pertama itulah yang saya kira akan saya tuliskan. Hal-hal terakhirlah yang nyatanya membuat ingatan dan kenangan serasa ingin berputar ke belakang. Karena ia tak mungkin dapat kita lakukan kembali. Atau karena ia tak dapat kita rasakan di waktu-waktu yang akan datang. Sehingga hal-hal terakhir ini akan berakhir sebagai sesuatu yang harus dilupakan atau justru dirindukan. Seperti sebuah perasaan romansa yang kini mulai dingin begitu saja hilang sejak terakhir kali menggapai puncak di selatan Jawa kala itu. Atau juga saat terakhir memegang suatu keyakinan yang terkesan keren yang kini justru tiba-tiba harus merendah merunduk pada kenyataan yang senyata-nyatanya. Saat kita tidak lagi bisa berpaku pada hal-hal ide tanpa tau hal praktis yang perlu dipahami, saat itulah ia harus lenyap.
Masih terasa begitu jelas, saat-saat terakhir saya terlibat dan menyibukkan diri dengan banyak sekali kegiatan kampus. Bersama orang-orang favorit saya. Di mana kami bisa mengobrol apa saja, atau membicarakan siapa saja, hingga menjelek-jelekkan divisi lain yang tidak semilitan kami. Ah, saya merindukannya. Serta hari-hari tanpa mandi, juga malam-malam yang tentu tanpa tidur pun pernah saya lewati dengan baik. Dia adalah masa-masa terakhir kesibukan dengan kawan-kawan satu angkatan. Dia begitu menyebalkan. Tapi sungguh, beberapa momen tentang hal itu justru membuat beberapa di antara kami yang merindukannya. 
Saya juga masih mengingat betapa menyebalkannya menyusun tugas akhir untuk kelulusan beberapa bulan yang lalu. Ia adalah malam-malam yang berat. Penuh penat yang selalu saja membuahkan perasaan bersalah jika dengan sengaja atau tidak telah memejamkan mata sebelum terlebih dahulu menyelesaikan puluhan revisi. Namun iapun membuat diskusi dengan beberapa orang kawan menjadi terkesan sedikit akademis. Apalagi karena kami memiliki tema yang hampir sama dalam penulisan tugas akhir tersebut.
LDKM FBS 2016
Yang masih begitu dekat, beberapa hari yang lalu, saya begitu bersemangat bisa bekerja bersama angkatan baru dari organisasi kami sebagai outbound trainer LDKM FBS 2016. Terlepas dari beberapa hal menjengkelkan yang terus saja terpikirkan, ada banyak perasaan aneh yang timbul di antaranya selama masa-masa itu. Sebuah perasaan bangga dan permulaan kerinduan akan kegiatan bersama di waktu-waktu yang akan datang. Dan itu mungkin kali terakhir saya akan sebegitu dalam dan dekat dengan mereka. Karena setelah ini saya mesti melanjutkan apa yang sudah menunggu di depan. Tentang mereka ini, puluhan diskusi dan rapat mungkin sudah terlewati, ratusan keluh kesah dan beberapa kali kebosanan datang dan menghampiri. Tapi sungguh aneh, ketika selesai seluruh kegiatan kami, perasaan gamang dan nelangsa begitu mudah untuk hinggap. Dan perasaan semacam itulah yang menelurkan kerinduaan akan segala sesuatu.
Karena pada saatnya nanti, pada suatu waktu yang tak tentu, bukanlah hal yang keliru ketika setiap kita terasa tergerak untuk mengeja rindu. Dan hal-hal terakhir itulah yang biasanya akan paling terasa menempel di selaput pikiran kita. Entah baik atau buruk, hal-hal terakhir selalu menyajikan ingatan yang lebih nyata. Ia akan menjadi sesal ketika ia adalah buruk. Namun begitulah, karena sesal adalah pemanis di setiap akhir. Apa jadinya jika ia datang di awal? Tentu kita tak kan memanggilnya sesal. Dan ketika ia adalah akhir yang baik, tentu saja kerinduanlah yang akan selalu berusaha menjangkaunya kembali.
0 notes
therecklessbum · 8 years
Text
A Non-Sense To The None
Apakah kamu menyadari atau sesekali pernah berpikir bahwa hal-hal yang kamu lakukan sejati-jatinya hanya akan berakhir sebagai siklus belaka? Kamu lahir, tumbuh, mengucapkan kata pertamamu. Orang tuamu bangga. Kamu berdiri berusaha berjalan, terjatuh dan menangis. Namun tak putus asamu mencoba. Hingga akhirnya kamu terus melakukannya, berjalan, berlari dan melompat. Melompati rerumputan setinggi mata kakimu, hingga pagar pekarangan tempat kelahiranmu yang kini mungkin penuh sesak semak-semak tak terawat.
Kamupun terus tumbuh, belajar bernyanyi. Do-re-mi-fa-sol-la-si-do, bersama guru dan teman-temanmu. Kamu bermain sambil mengafalkan nama-nama tumbuhan, hewan, buah-buahan hingga nama-nama orang yang gambarnya terpampang di setiap tembok ruanganmu belajar. Kamu terus menghafal. Satu hingga segala rupa hal yang semestinya akan kamu ketahui entah saat kamu beranjak dewasa nantinya. Tentu kamu bahagia. Tentu kamu begitu senang dengan hal-hal sederhana di masa kanak-kanak yang menawarkan lebih banyak tawa ketimbang pilihan-pilihan yang rumit. Saat itu, otakmu masih sebegitu sederhananya. Kamu tentu juga akan memilih untuk menangis daripada membuat keputusan-keputusan yang tidak dapat kamu cerna. Saat mengompol kamu menangis, saat diejek teman-temanmu kamu menangis, saat kalah dalam suatu permainan, kamu menangis, bahkan ketika kamu tahu bahwa kamu berbuat salah, dengan menangislah orang-orang dewasa tidak akan memarahimu. Menyenangkan sekali.
Akhirnya kamupun cukup untuk belajar ­a,b,c,d. Membaca dan menulis. Mengeja kata-kata sederhana. Mengingat dan memahami bahwa N tak sama dengan M, dan seterusnya. Begitu sederhana memang, namun ada kalanya saat kamu kesulitan mengeja suatu kata. Atau ketika salah seorang temanmu yang kesulitan melafalkan Rrrr karena cedal. Kamu tertawa, teman-temanmu tertawa. Meledek dan mencandai, hingga akhirnya dia, kawanmu yang cedal ini menangis, mengadukan kepada orang tuanya, kepada guru-guru kalian. Kamu dan teman-temanmu menyesal. Meminta maaf, bermain bersama lagi. Menyengankan bukan?
Namun tak selama masa itu tetap. Kamu harus tumbuh juga pada akhirnya. Sekarang tentu kamu harus belajar menghitung. Mulai menambahkan angka-angka sederhana hingga mengakarkan angka-angka yang tentu kamu tak tahu guna dan faedahnya selain untuk menyenangkan guru matematikamu. Otakmu berkembang. Kamu belajar begitu rupa hingga saat kamu mencapai menstruasi pertamamu atau mimpi basahmu yang terasa aneh untuk pertama kalinya. Dan kamu menyukainya.
Kamu sadar, lekukakan di tubuhmu semakin menjadi. Suaramu berubah. Bulu-bulu haluspun mulai tumbuh di bagian-bagian tubuhmu. Jika dulu kamu jijik ketika duduk dengan temanmu yang berbeda kelamin, kini kamu mencuri-curi waktu untuk bisa bersama-sama dengan mereka. Ya, kamu mulai caper! Di masa-masa inilah kamu akan mengenal bahwa bahasa memiliki kekuatan lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan saat mengeja huruf, kata, frasa dan kalimat. Kamu akan mulai mengenal tembang-tembang yang lebih rumit daripada sekedar kisah liburanmu berjalan-jalan dengan ayahmu mengendarai delman. Kamu mengenal ode dan elegi. Kamu pura-pura menyukai puisi. Kamu mencari-cari kata! Saat itu emosimu berlebih. Kamu perlu melampiaskan energimu. Mendengarkan lagu-lagu yang manis sambil menghayal yang indah-indah. Begitu saja. Lantas kamu membaca Tere Liye (Ya Tuhan!) untuk permulaan. Dan Tuhan memakluminya. Lalu biar kelihatan kau mengerti sastra kau melompat jauh ke Khalil Gibran karena teman-temanmu membicarakannya di sekolah. Kamu ingin diperhatikan! Ingin terlihat manis di depan teman-temanmu yang berbeda kelamin. Kamu mulai merasakan keresahan di tiap senja datang. Kamu mulai merasa apa itu dilema. Kamu mulai merasa aneh saat harus bertemu seseorang yang kamu suka. Kamu mulai mengenal asmara. Kamu mungkin tak sempat mengenal Chairil Anwar, Rendra atau Tolstoy karena mereka tak masuk akal bagimu! Apa yang indah pada saat itu adalah apa yang dikonsumsi teman-temanmu. Saat kamu tak mengikuti, kamu akan dikeluarkan dari hitungan. Kamu bukan bagian dari mereka. Makanya kamu mengekor dan terus saja mengekor.
Namun kamu terus bertumbuh. Kamu mulai mengenal pemberontakan. Kamu memberontak terhadap sekitar. Orang-orang dewasa itu penuh omong kosong. Amarahmu yang berlebih-lebih perlu disalurkan. Kamu adalah pemarah yang egois. Ingin menang sendiri dan tak mau diatur. Kamu ingin mengambil keputusan-keputusan hidupmu sendiri. Tubuhmu adalah milikmu. Kamu bersenang-senang dengannya. Segala hal kegaulan adalah dewa pujaanmu. Kamu ingin populer, dikenal semua orang, dikagumi dan diteriaki seolah kamu adalah seseorang yang begitu berharga. Nyatanya, kamu tidak! Kamu mempercantik diri, mempromosikan dirimu sebagai apapun yang bisa dijangkau orang-orang sekitarmu. Kamu tak tahu malu! Semua orang harus tahu siapa kamu! Kamu tentu akan mulai menilai orang-orang di sekelilingmu. Kamu tentu jeli memilih orang-orang yang akan menguntungkan ambisimu. Lupakan teman-temanmu yang lama dan ganti yang baru. Begitu mudah.
Namun, kamupun tentu tahu, masa-masa itu memang berlanjut cukup lama. Tapi ia bukanlah selamanya. Ia suatu ketika akan berhenti. Berhenti saat kesadaranmu tumbuh sendiri. Entah. Pada masa apa, pada waktu apa, pada keadaan semacam apa, kamu akan tahu bahwa kesia-siaanlah yang kamu perjuangkan.
Semakin lama dan semakin lama, kamu menyadari bahwa ada banyak hal tak berguna yang sudah kamu lakukan. Kamupun merasa telah membuang waktu yang bermiliaran tahun itu. Padahal usiamu baru masuk 20an! Kamu akhirnya menyadari, begitu banyak tuntutan di sekelilingmu. Kamu mesti menanggalkan hal-hal kanak-kanakmu yang kurang berguna. Kamu menjadi lebih individual. Kamu mempunyai banyak beban untuk ditanggung. Kamu mempunyai banyak persoalan untuk diselesaikan. Kamu harus bisa berpikir. Kini, kamu dihadapkan puluhan hingga ratusan pilihan yang rumit. Kamu mulai menata langkahmu. Menimbang-nimbang apa yang akan kamu jalani berikutnya, akan menjadi apa kelak, dan akan berakhir seperti apa jadinya.
Kelak kamu terus lanjut berjalan. Kamu mulai menua, menentukan persinggahanmu. Membentuk keluarga. Atau tidak, itu pilihanmu. Dan kamu akan menua. Kamu mulai resah dengan suara berisik yang mengganggu tidurmu. Kamu terganggu dengan anak-anak muda yang saat seusiamu dulu sering berteriak-teriak bebas. Kamu benci dengan tangisan anak-anak. Kamu butuh ketenangan. Tanda bahwa kamu sudah mulai lanjut umurmu. Kamu mulai lupa beberapa hal, pandanganmu sedikit kabur, kamu tak bisa berlari lagi.
Kamu hanya akan bisa melihat anak cucu dan generasimu mengulangi hal-hal yang sudah kamu lewati. Semua hanya berakhir sebagai repitisi-repitisi yang akhirnya tentu menjadi semacam dirimu. Bahagia atau tidak, itu urusan lain. Setiap kita memiliki pilihan sendiri. Dan pada akhirnya, kamu mesti menerima bahwa kamu harus berakhir, digantikan dan dilupakan. Semacam pucuk-pucuk dedaunan yang ranum dan menghijau menggantikan dedaunan yang telah menua dan yang telah jatuh. Hingga pada kesudahannya, kamupun mati!
0 notes
therecklessbum · 8 years
Text
Malam-malam Tanpa Tidur serta Hari-hari Tanpa Mandi
Di antara banyak sekali kisah di masa-masa kuliah, hal-hal terbaik yang akan selalu kita ingat tentunya semua hal di luar urusan akademis. Percayalah, kita akan sangat senang sambil terkekeh-kekeh saat bercerita tentang hal-hal remeh temeh semacam membolos mata kuliah tertentu hanya untuk nongkrong di suatu tempat, atau kegiatan absurd lainnya bersama kawan-kawan kita. Dan saya sampai saat ini tak bisa membayangkan apa yang ada di benak anak-anak lain yang kuliah mati-matian hingga tak sempat berkegiatan dengan teman-temannya di kampus, atau justru biasa beralasan bahwa dia mungkin bisa kehabisan oksigen jika membolos kuliah untuk sekadar membantu teman-temannya menyelesaikan kegiatan bersama. Maksud saya, setelah akhirnya menjadi seorang sarjana pun pada akhirnya kita harus turun ke masyarakat, ke banyak orang untuk terlibat di dalam sesuatu, melaksanakan sesuatu, menjadi berguna apapun itu. Tidak hanya menjadi mesin pencetak uang yang hanya peduli terhadap dirinya sendiri. Bukan apa-apa, tapi banyak juga kawan saya yang kuliahnya santai, tak pernah belajar setiap malam atau bahkan malam sebelum tes, cukup banyak kegiatan (entah kegiatan yang berguna maupun hanya bermain-main), nyatanya lulus 4 tahun juga, dengan indeks prestasi di atas tiga setidaknya, dan mereka tetap saja loyal dengan segala kegiatan kami. Dan tentu saja pergaulan mereka jauh lebih luas. Wong nyatanya, mereka, anak-anak yang mati-matian tadi, pada akhirnya lulus dengan nilai yang tak banyak bedanya kok, paling banter tiga koma sekian dan tidak ada yang empat! Dan skripsinya? Ya sama saja, pada akhirnya juga sekadar for the sake of lulus. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi, setiap orang punya kesenangannya sendiri. Dan saya serta beberapa kawan, baik kawan fakultas atau kawan organisasi, pada kenyataannya sangat menyukai apa yang kami lakukan di luar kegiatan belajar kami. Dari semua itu, yang hendak saya tuliskan adalah memori-memori terakhir saya saat berkegiatan bersama kawan-kawan fakultas. Kawan-kawan satu angkatan tentunya. Adalah suatu kegiatan tahunan yang diadakan oleh fakultas. Sebuah kegiatan sebagai wadah unjuk gigi dari masing-masing angkatan untuk berekspresi dan menunjukkan kebolehan mereka dalam hal akademis dan kreativitas. Ini adalah tahun terakhir kami, atau katakanlah tahun official kami sebagai satu angkatan tertua di fakultas, sehingga tentu saja kami dengan segala cara berusaha memberikan yang terbaik untuk angkatan kami. Walaupun, tentu saja banyak dari kami yang memiliki agenda tersendiri, semacam ambisi terpendam untuk menjadi yang terhebat di antara adik-adiknya. Namun terlepas dari hal itu, kesenangan yang justru saya dan beberapa kawan saya dapatkan adalah malam-malam di mana kami harus mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk angkatan kami dalam acara tersebut. Ya, kami mesti mengupayakan banyak sekali hal. Urusan tetek bengek dari perlengkapan dan aksesoris yang dibutuhkan angkatan kami, hingga malam-malam di mana kawan-kawan kami harus berlatih untuk perlombaan seperti mini drama, dance, lomba debat, serta kuis-kuis sederhana yang dipertandingkan di dalam acara tersebut. Dalam kesibukan semacam ini, setiap orang yang terlibat adalah berguna! Entah apa pun yang bisa mereka berikan. Macam, Teduh, kawan saya yang a la profesor itu yang dengan suka rela mengirimkan beberapa bilah bambu hijau yang masih hangat untuk property drama kami, atau Mario yang menyediakan rumahnya sebagai basecamp untuk menginap dan mengerjakan barang-barang tersebut. Semua orang yang terlibat memiliki fungsinya masing-masing. Dari para konseptor dan eksekutor dengan fungsi yang krusial hingga kawan-kawan saya yang runtang-runtung ke sana kemari sebagai penghibur. Tak apalah, karena penghibur nyatanya juga penting. Dan di antara itu semua, tentu saja masing-masing kami memiliki urusan sendiri-sendiri, kami punya kegiatan lain di luar sana, kami punya jadwal kuliah yang berbeda-beda, kami punya tanggung jawab, namun tetap saja, bangga rasanya mengingat betapa kawan-kawan saya ini berdedikasi untuk hal-hal bersama ini. Kurang lebih tiga hari yang saya rasakan di mana karpet kotor, pintu-pintu kayu yang tercoret kuas, sofa dan banyak sekali barang di rumah Mario dengan bau-bauan aneh yang bercampur telah menjadi saksi bagaimana kami dengan tekun menghabiskan waktu-waktu kami yang mungkin akan lebih berguna untuk belajar mata kuliah yang saat ini pun saya tak ingat lagi. Tiga hari bagi saya, dan beberapa hari lebih banyak bagi kawan-kawan saya yang lain. Bukan apa-apa, sebelumnya saya hanya merasa agak enggan untuk bergabung karena ke-tidak-satu-visi-an di antara mereka akibat dari kemenangan yang kami dapatkan di pekan olahraga fakultas kami, EDO, ditambah dengan alasan-alasan lainnya. Kau tentu akan merasakan kegamangan ketika kualitas pertemananmu mulai diukur dari hasil dan bukannya usaha. Semacam kelupaan bahwa kegembiraan yang kami dapatkan tentunya adalah hal-hal sederhana atas kerja keras bersama yang lebih agung daripada hasil yang sekarang pun hilang begitu saja. Dan saat membicarakan menang atau kalah, beberapa hal mungkin sudah bergeser dari kebersamaan dan lebih kepada pencapaian. Ya, dan saya cukup enggan. Namun, setelah meluruskan beberapa hal dengan Ulfa, Grace dan Mario disertai rasa sentimentil yang berlebih beberapa malam sebelumnya, saya jadi bisa memaklumi hal-hal semacam itu terjadi di antara kawan-kawan kami. Saya pun harus bergabung di sisa tiga hari tersebut bersama mereka. Tiga hari, tanpa mandi maupun ganti baju -karena tidak sempat, dan tanpa tidur, tentu saja. Itulah yang terjadi. Dan membolos kuliah untuk urusan semacam ini tentu bukan hal baru bagi kami. Akan ada banyak cerita jika kami harus kisahkan satu per satu. Mulai dari EDO, Loved ini, natal fakultas, Drama dan kegiatan-kegiatan semacamnya yang tentu saja memiliki kisahnya masing-masing. Beberapa dosen di fakultas kami ternyata cukup maklum dengan hal-hal semacam ini. Yah, selain karena mereka cukup dekat dengan kami, tentu saja karena dulunya mereka juga pernah terlibat di dalam kegiatan-kegiatan seperti ini. Dan membolos untuk kegiatan terakhir kami, pastilah memiliki prioritas yang lebih. Ini adalah hari-hari yang berkeringat dan mengganggu. Kami harus memutar otak untuk mengerjakan sesuatu seperti yang diharapkan kawan-kawan kami di angan-angan mereka. Juga malam-malam lembur bagi beberapa dari kami. Ya, kami saat hanya berlima, berdelapan atau saat bersepuluh, entahlah. Di mana kami akan bertukar cerita tentang apa saja. Malam di mana kami begitu sering membayangkan bahwa mungkin ini adalah kerja keras yang kami lakukan bersama untuk terakhir kalinya, malam untuk mengenang apa-apa saja yang sudah kami lewat, hingga malam di mana kami merencanakan reuni yang kami saja bahkan belum berpisah! Konyol sekali. Malam itu juga adalah malam saat kami sesungguhnya akan lebih banyak berbisik-bisik atau tertawa dengan nada yang tertahan karena kami berada di lingkungan orang lain sekitaran jam 11 malam hingga 2 pagi. Hal itu terjadi lantaran kami mesti berpindah tempat dari rumah Mario ke pos kami yang lain, di mana kami menyimpan barang-barang besar yang tidak mungkin bisa disimpan di rumah Mario. Dan tentu saja, pembicaraan sentimentil tentang kisah-kisah kawan kami, Mario yang selalu saja membuat kami bergairah untuk tetap terjaga melupakan kantuk dan lelah kami sambil menggores tinta atau menancapkan paku payung di frame besar yang sudah disediakan oleh Iwan. Dan malam-malam tanpa tidur serta hari-hari tanpa mandi tersebut akhirnya terbayar dengan kemenangan yang manis, suka cita dan kebahagiaan dari kami semua. Semua yang terlibat maupun tidak, semua yang mengingat maupun lupa, dan semua yang berbangga dan semuanya. Saya percaya bahwa kelak kami akan membicarakan hal ini kembali. Saat kami sekali lagi menjadi para pengingat dan pelamun. Merindukannya, mungkin. 
P.S: Ide untuk menulis ini didapat saat saya dan kawan saya, Mario mengingat-ingat tentang rangkaian kegiatan yang kami katakan cukup 'gila' di akhir tahun 2014. Mulai dari kegiatan macam EDO, dekor Natal fakultas, Drama fakultas hingga Loved di tahun 2015 dan seterusnya hingga pertengahan 2016 ini. Juga tentu saja, kami mengingat betapa kami ini selalu tak jauh-jauh dari istilah; tukang, lembur, bolos kuliah dan hal-hal belakang layar lainnya. P.S lagi: Saya juga sempat mengambil beberapa video amatir dengan kamera ponsel saya tanpa sepengetahuan kawan-kawan saya.
0 notes
therecklessbum · 8 years
Text
Saat Tuhan Meraut Sendiri Raut Wajahmu
Saya menjumpai begitu banyak orang dengan raut muka mereka yang bahagia. Anak-anak yang selalu saja bersemangat yang membuat siapa saja akan merasa tertular oleh semangat itu. Dan dari puluhan raut muka yang biasa saya jumpai, adalah ke-khas-an tersendiri saat menyadari bahwa keceriaan tiap orang memiliki cita rasa yang berbeda-beda. Dan tentu saja, karena saya lelaki, saya akan sedikit menulis tentang beberapa anak gadis dengan keceriaannya yang mewarnai wajah-wajah mereka.
Mari kita sebut saja, si gadis Janis Joplin dengan segala kesederhanaanya itu. Ia adalah anak yang selalu ceria. Seperti Tuhan sendiri yang menenun benang-benang membentuk bibir tipisnya yang selalu tersenyum, bahkan tak jarang ia gunakan untuk tertawa begitu lebar. Ia adalah anak yang tak akan memusingkan hal-hal lahiriah semacam gadis-gadis pada umumnya. Dia lebih memilih untuk bermain dengan anak-anak anjingnya di kubangan, lumpur atau tanah-tanah berpasir. Ya, dia adalah anak seperti itu. Dan sekalipun tak pernah saya lihat kesedihan membanjiri matanya. Bahkan dulu saya sempat bertanya-tanya bagaimana bisa hidupnya begitu mudah dan bahagia. Entah memang demikian atau sebenarnya anak inilah yang begitu pandai untuk menyimpan segala sesuatu di bawah permukaan kulit hitam manisnya itu. Entahlah. Hingga saat ini saya masih begitu mengagumi keceriaan anak ini.
Saya juga akan sangat ingat dengan si gadis Bahagia. Ya, karena itulah namanya. Dia memang anak yang berbahagia. Selain daripada kenyataan bahwa hidupnya diliputi oleh hal-hal terbaik yang pantas didapatkan oleh anak seperti dia, dia bukanlah tipikal anak yang suka berpikir terlampau berlebihan yang dapat menyebabkan kepayahan yang menyebalkan. Dia adalah anak dengan segala keputusan yang sederhana. Yang akan membuatmu menggelengkan kepala jika kau terlalu berpikir jauh tentang hal-hal yang nyatanya begitu sederhana di tangannya. Jika kau pernah mendengar Piano Sonata No. 16 in C Major dari Mozart, mungkin kau bisa katakan bahwa tangan Tuhan sendirilah yang memainkan nada-nada yang ceria itu sehingga terciptalah keceriaan yang meliputi diri anak ini. Dan anak ini, walaupun memang sangat menyebalkan, akan selalu menjadi anak kecil dengan tembang-tembang ceria yang membuatmu tak sanggup menahan geli sendiri. Begitulah.
Kemudian, selain kedua gadis ini, ada pula seorang gadis yang beberapa tahun lebih muda dari saya. Si gadis Tomboy saya akan menyebutnya. Kami bertemu di suatu masa yang tak bakal membuat saya bisa bebas menjadi diri saya sendiri pada waktu itu. Sehingga hal itulah yang membentuk semacam jarak pemisah antara kami berdua. Walaupun setelahnya, saya adalah pria yang tak bisa menolak candaannya yang terkadang membuat gemas. Anak ini, selain ke-tomboy-annya, ia juga sepertinya tak biasa memakai rok dan berjalan dengan anggun layaknya gadis pada umumnya, sebab tingkahnya yang lincah dan hal-hal semacam itu membuat ia bakal kewalahan jika harus berurusan dengan rok dan benda-benda feminim lainnya. Dan selain keceriaannya itu, mungkin tepat jika saya katakan bahwa di usianya yang begitu muda, anak ini memiliki keberanian dan kemandirian yang teguh. Sumpah! Seolah anak ini tak benar-benar membutuhkan lelaki untuk sekedar mengangkat tasnya yang berat. Dan sumringah-nya yang memang bawaan itu, adalah hal terbaik yang dirautkan Tuhan pada diri gadis seperti dia. Bahkan saat kami belum saling mengenalpun ia seolah telah sebegitu dekat dengan saya. Dan jika harus jujur, bolehlah saya katakan jika kosmos mempertemukan kami di waktu yang benar-benar terlambat. Andai ia mempertemukan kami di masa-masa yang jauh lebih awal, kau tahu, ada beberapa hal yang mungkin memiliki alur cerita yang lebih riang.
Berlebihan memang, tapi begitulah nyatanya anak-anak dengan raut muka yang berbahagia ini diukir oleh Tuhan sendiri. Dan Ia tentu saja, menyediakan hal-hal terbaik untuk masing-masing dari kita. Dan anak-anak bergolongan darah B ini menjadi contoh betapa hidup memang sangat menyebalkan. Tapi tak pantas rasanya jika kita lupa untuk sekedar bahagia dan bernyanyi. Bukankah begitu?
0 notes
therecklessbum · 8 years
Text
Pelamun dan Pengingat
Salah satu hal yang tidak saya dapat di dalam kopi adalah gosipnya bahwa ia akan membawa seseorang terjaga sepanjang malam sesaat setelah menelannya. Ya, gosip! Tentu saja, karena ia tak berpengaruh apa-apa pada indera-indera saya kecuali tentang urusan buang air kecil. Sekali mengantuk ya tetap saja mengantuk. Itu sudah bawaan mungkin. Tapi akhir-akhir ini saya sering kehabisan stok kopi di rumah dan satu-satunya orang yang menghabiskannya adalah saya sendiri. Lah, mau bagaimana lagi? Saya sedang sering terjaga sepanjang malam baru-baru ini, dan apalagi yang memungkinkan sanggup menemani selain desas-desus bahwa kopi berkhasiat ? Walaupun tidak demikian yang terjadi tapi ya, setidaknya ia ada sedari panasnya hingga dinginnya untuk menemani kebebalan tuannya yang tak kunjung berbuat sesuatu. Setelah urusan-urusan perkuliahan selesai dengan segala tetek bengeknya, giliran hal-hal anehlah yang membayang-bayang di fase-fase menyebalkan dalam hidup saya.  Saat disibukkan oleh perulangan-perulangan yang membosankan; bangun siang, menulis, membaca, mengajar, menulis dan terjaga sepanjang malam, kemudian bangun siang, menulis, membaca dan terus-menerus seperti itu, tentu otakmu akan bekerja mencari jalan keluar untuk memanfaatkan setiap sisa energi yang ada. Dari setiap repetisi itu, hual paling menyebalkan yang sering hadir ialah kenyataan bahwa setiap malam saya biasa terjaga setelah satu dua jam tidur. Saat kira-kira malam tengah dikuasai serangga-serangga dengan nyanyiannya yang menenangkan dan malam saat lantunan lembut lagu apapun terdengar begitu muram, di saat itulah justru terkadang ide-ide baru bermunculan. Walaupun sialnya ia hanya akan bertahan sepuluh hingga lima belas menit setelah laptop dinyalakan. Sisanya hanya akan berakhir sebagai lamunan dan khayalan akan apa saja. 
Pada masa-masa seperti itulah saya kembali menjadi manusia empat hingga lima tahun yang lalu. Ketika mengingat-ingat adalah pekerjaan saya, dan melamun adalah kegiatan paruh waktunya. Saya bisa menjadi sangat sentimentil dibuatnya jika harus mengingat hal-hal yang terlampau melankolis. Diiringi tembang-tembang Pink Floyd yang tak kalah muram itu, semua ingatan terasa seperti sedang digambar di dalam mesin pencetak hitam-putih yang hanya menyisakan garis-garis kasar dan detail seadanya. Bukan hanya hal-hal melankolis sesungguhnya. Kisah-kisah kebersamaan dengan kawan-kawanmu tentulah yang justru membuatmu menjadi melankolis. Dan untuk hal-hal semacam ini, saya akan mengingatnya secara mundur. Saya akan mengingat sesaat sebelum kami belum benar-benar berpisah. Saat kami masih suka mencuri-curi waktu menghabiskan malam-malam dengan obrolan klise dan murahan. Di meja-meja bundar yang bercorak kenangan di tiap ujung-pangkalnya dengan gelas-gelas aneka macam minuman, serta beraneka makanan yang tak lebih nikmat dari ingatan ini sendiri. Mulai dari kisah-kisah sehari-hari menghadapi kepenatan perkuliahan yang membosankan, mencandai kawan-kawan kami akan jalan cerita cinta mereka atau disabilitas mereka untuk menyatakan cintanya untuk orang lain, hingga tentu saja merencanakan kegiatan apa saja yang paling-paling akan berakhir sebagai sekedar rencana. Klasik! Dan saya akui, beberapa saat setalah itu, saya akan suka untuk sekedar mengingat bila sesekali melintas di tempat-tempat kami suka menghabiskan malam bersama. Mengingat bahwa tempat-tempat itu mungkin telah merekam beberapa potongan percakapan yang tak terlampau penting, juga hal-hal yang kami sempat jalani. Mengingat bahwa mungkin saja pemilik tempat-tempat itu pernah agak jengkel dengan kami yang suka mengobrol begitu banyak hingga larut dengan hanya memesan beberapa gelas minum yang murah saja. Ditarik lebih mundur lagi, akan ada sketsa yang masih nyata tentang perjuangan kebersamaan kami dalam acara-acara fakultas. Banyak sekali jika harus dituliskan. Bagaimana kami kepayahan mengatur segala sesuatunya. Dan di antara semua kepayahan itu, mengumpulan beberapa puluh anak untuk sekedar berbagi ide untuk bersenang-senang bersama menjadi pekerjaan paling mustahil saat itu. Jadilah kami berakhir sebagai segelintir udik yang sok-sok berdedikasi untuk angkatan. Malam-malam penuh gerutu dan sumpah serapah. Biarpun tawa kami masih kencang, siapapun di antara kami pasti enggan untuk bersuka rela menghabiskan malam-malamnya tanpa tidur hanya untuk sesuatu yang mereka sebut kebersamaan. Omong kosong memang, tapi yah itupun sedikit banyak telah merekatkan kebanyakan dari kami. Walaupun tak banyak memang. Namun setidaknya, nanti atau kapanpun itu, saat kami bertemu kembali, kami memiliki sedikit bahan untuk dibicarakan lagi. Diulang terus menerus tanpa harus merasa bosan.
Saya akan terus menemukan bahwa hal-hal telah begitu banyak berlalu jika harus terus mengingatnya satu per satu. Terlalu banyak. Begitulah kisah sentimentil yang terjadi empat tahun belakangan. Pertemuan-pertamuan tak terduga dengan Mark hingga Mochtar Lubis. Mantra-mantra ajaib mereka di tiap rak perpustakaan itu, ide dan gagasan besar yang begitu muluk untuk orang-orang macam kami yang selalu terbatas dengan realita. Keringat dan baunya yang akan membekas bersamaan dengan kepenatan kami bersama setelah menyelesaikan kegiatan-kegiatan bersama. Sore-sore yang manis nan sejuk saat menghabiskan waktu bersama beberapa gadis tertentu, berjalan menghapiri tiap sudut kampus dengan obrolan murahan yang menggelikan, hingga saat lelah bersama beberapa kawan tertawa-tawa membahas dan mengerjakan apa saja.  Tentu saja semua itu adalah hal yang wajar. Karena banyak di antara kita memang terlahir untuk mengingat-ingat, untuk berkisah dan menceritakan perulangan-perulangan yang tak bosan-bosannya dibagikan. Di antara kita tersimpan banyak sekali orang dengan kemampuan melamunnya yang tiada tara, dan mengingat adalah sebuah pemberian yang agung. Dengan melamun dan mengingatlah kita biasanya diingatkan untuk belajar, walaupun pada kenyataanya, kita akan lebih banyak berkomentar konyol tentang ingatan-ingatan yang telah kita bangun dari lamunan.
0 notes