Tumgik
apriliakinasih · 8 days
Text
Sepertinya, satu lagi. Mengetahui batasan pergaulan dengan lawan jenis menurutku juga merupakan cara untuk menghargai diri kita sendiri.
Menghargai Diri Sendiri
Biasanya, seseorang dihargai karena pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya. Pencapaian dalam hal ini misalnya adalah karir. Tentu pandangan masyarakat kepada seseorang yang telah sukses berbeda dengan pandangan mereka pada orang yang masih belum punya pekerjaan.
Kendati demikian, terlepas kita sudah punya karir atau belum, sudah punya pencapaian-pencapaian atau belum, tidak ada yang bisa lebih menghargai diri kita selain kita sendiri.
Menurutku, ada banyak cara untuk kita bisa menghargai diri sendiri. Pertama, menjaga kebersihan diri. Dengan menjaga dan merawat diri, itu artinya kita sudah menghargai diri kita sendiri. Terlebih lagi, jika kita adalah muslim. Dalam agama Islam, menjaga kebersihan sangatlah dianjurkan. Bukankah, kebersihan adalah sebagian dari iman?
Cara kedua yang bisa kita lakukan adalah memakai pakaian yang bagus dan rapi, terutama ketika hendak menemui seseorang, bepergian, atau ketika ada meeting meskipun meeting-nya dilakukan secara online.
Ya, memakai pakaian bagus adalah salah satu cara kita untuk bisa menghargai diri kita sendiri. Orang lain yang melihat pun juga akan nyaman. Coba bayangkan, jika kita menemui seseorang dengan pakaian yang acak-acakan. Pasti seseorang tersebut melihat kita pun juga kurang nyaman. Kita juga pasti malu kalau berpenampilan yang tidak rapi, sementara orang yang kita temui berpenampilan begitu rapi dan pantas.
Aku pernah ditanya oleh temanku saat kami hendak menghadiri rapat secara online. Pada waktu itu, aku memakai pakaian seperti biasanya: gamis dan jilbab segi empat, lengkap dengan brosnya. Kemudian temanku ini mengatakan,"Mau ke mana sih rapi banget padahal 'cuma' rapat doang?"
Ada juga yang pernah mengatakan padaku,"Udah rapi-rapi tapi kok off cam?" Yang ini ceritanya memang agak lucu. Aku sengaja mematikan kamera waktu itu, karena hampir semua yang ikut rapat mematikan kameranya. Aku jadi sungkan sendiri kalau menyalakan kameraku. Hehe.
Namun, saat itu aku tidak merasa percuma telah berpenampilan rapi. Sebab, menurutku selain untuk menghargai diri sendiri, berpenampilan rapi juga bisa membangkitkan semangat untuk beraktivitas.
Cara ketiga adalah dengan menghindar dari orang-orang yang tidak bisa menghargai kita. Entah itu dengan cara mengurangi intensitas pertemuan, mengurangi komunikasi, atau kalau perlu kita juga bisa meng-cut off orang-orang yang tidak pernah membuat kita merasa berharga dan juga orang yang toxic. Bukan berarti niat kita jahat. Tidak, tidak seperti itu. Hanya saja, kadang-kadang kita juga perlu untuk mengutamakan diri kita sendiri, demi kesehatan mental kita sendiri. Untuk apa mempertahankan orang-orang yang tidak bisa menghargai kita?
Cara keempat adalah menjaga sikap. Berperilaku sopan dan santun pada orang lain juga menandakan bahwa kita menghargai diri kita sendiri. Izinkan saya menuliskan nasihat berharga satu ini:
"Ada banyak hal bisa yang menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri."
–RA. Kartini–
Menurut kamu, apa cara lain yang bisa kita lakukan untuk bisa menghargai diri kita sendiri?
(23 April 2024 | 10:15WIB)
14 notes · View notes
apriliakinasih · 8 days
Text
Menghargai Diri Sendiri
Biasanya, seseorang dihargai karena pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya. Pencapaian dalam hal ini misalnya adalah karir. Tentu pandangan masyarakat kepada seseorang yang telah sukses berbeda dengan pandangan mereka pada orang yang masih belum punya pekerjaan.
Kendati demikian, terlepas kita sudah punya karir atau belum, sudah punya pencapaian-pencapaian atau belum, tidak ada yang bisa lebih menghargai diri kita selain kita sendiri.
Menurutku, ada banyak cara untuk kita bisa menghargai diri sendiri. Pertama, menjaga kebersihan diri. Dengan menjaga dan merawat diri, itu artinya kita sudah menghargai diri kita sendiri. Terlebih lagi, jika kita adalah muslim. Dalam agama Islam, menjaga kebersihan sangatlah dianjurkan. Bukankah, kebersihan adalah sebagian dari iman?
Cara kedua yang bisa kita lakukan adalah memakai pakaian yang bagus dan rapi, terutama ketika hendak menemui seseorang, bepergian, atau ketika ada meeting meskipun meeting-nya dilakukan secara online.
Ya, memakai pakaian bagus adalah salah satu cara kita untuk bisa menghargai diri kita sendiri. Orang lain yang melihat pun juga akan nyaman. Coba bayangkan, jika kita menemui seseorang dengan pakaian yang acak-acakan. Pasti seseorang tersebut melihat kita pun juga kurang nyaman. Kita juga pasti malu kalau berpenampilan yang tidak rapi, sementara orang yang kita temui berpenampilan begitu rapi dan pantas.
Aku pernah ditanya oleh temanku saat kami hendak menghadiri rapat secara online. Pada waktu itu, aku memakai pakaian seperti biasanya: gamis dan jilbab segi empat, lengkap dengan brosnya. Kemudian temanku ini mengatakan,"Mau ke mana sih rapi banget padahal 'cuma' rapat doang?"
Ada juga yang pernah mengatakan padaku,"Udah rapi-rapi tapi kok off cam?" Yang ini ceritanya memang agak lucu. Aku sengaja mematikan kamera waktu itu, karena hampir semua yang ikut rapat mematikan kameranya. Aku jadi sungkan sendiri kalau menyalakan kameraku. Hehe.
Namun, saat itu aku tidak merasa percuma telah berpenampilan rapi. Sebab, menurutku selain untuk menghargai diri sendiri, berpenampilan rapi juga bisa membangkitkan semangat untuk beraktivitas.
Cara ketiga adalah dengan menghindar dari orang-orang yang tidak bisa menghargai kita. Entah itu dengan cara mengurangi intensitas pertemuan, mengurangi komunikasi, atau kalau perlu kita juga bisa meng-cut off orang-orang yang tidak pernah membuat kita merasa berharga dan juga orang yang toxic. Bukan berarti niat kita jahat. Tidak, tidak seperti itu. Hanya saja, kadang-kadang kita juga perlu untuk mengutamakan diri kita sendiri, demi kesehatan mental kita sendiri. Untuk apa mempertahankan orang-orang yang tidak bisa menghargai kita?
Cara keempat adalah menjaga sikap. Berperilaku sopan dan santun pada orang lain juga menandakan bahwa kita menghargai diri kita sendiri. Izinkan saya menuliskan nasihat berharga satu ini:
"Ada banyak hal bisa yang menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri."
–RA. Kartini–
Menurut kamu, apa cara lain yang bisa kita lakukan untuk bisa menghargai diri kita sendiri?
(23 April 2024 | 10:15WIB)
14 notes · View notes
apriliakinasih · 10 days
Text
Bertahan
Beberapa tahun lalu, aku menerima sebuah pesan berbunyi:
"Pril, bunuh diri itu dosa ya?"
Seketika aku langsung berpikir, ada apa dengan temanku? Seberat itukah permasalahan yang sedang dihadapi temanku ini hingga ia bertanya demikian? Kenapa sampai tebersit dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup?
Setelah mendengar ceritanya, aku merasa tidak berdaya untuk menolongnya sama sekali. Sebab, aku tidak pernah mengalami apa yang ia alami, dan aku juga tidak berada di dekatnya. Kalau saja jarak lokasi rumah kami terhitung dekat, ingin sekali aku datang padanya dan menenangkannya meski hanya dengan memberinya pelukan. Sayangnya, kami jauh. Aku juga bingung mau memberi saran apa.
Aku membayangkan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, pada saat menghubungiku, ia sedang berurai air mata. Mungkin saat itu dia juga sedang kalut tak keruan. Atau, mungkin juga saat itu dia ingin menumpahkan segalanya, tapi tak ada seorang pun yang memihaknya. Tak ada seorang pun yang mendengarnya. 
Sebagai temannya, tentu aku pun turut merasa sedih. Terlebih lagi, ketika aku tidak bisa menolongnya, kecuali hanya memberinya saran. Itu pun jika saranku dirasa membantu. 
Singkat cerita, entah bagaimana temanku itu berhasil melewati masa-masa terberatnya. Ia mampu bertahan melawan badainya.  Temanku telah membuktikan bahwa dia adalah satu di antara perempuan-perempuan kuat yang pernah kukenal. 
Tumblr media
Jujur, judul buku antologi keduaku ini mengingatkanku padanya. Sekarang, dia telah menjalani kehidupan baru. Aku senang melihat dirinya yang sekarang, terlihat lebih ceria dan bahagia. 
Di dunia ini, setiap kita pasti punya ujian masing-masing. Pernah mendengar pepatah,"Every cloud has a silver lining"? Pepatah tersebut bermakna bahwa setiap permasalahan pasti ada solusinya. Yang pasti, solusinya bukanlah putus asa, apalagi memutuskan untuk mengakhiri hidup. Yakinkan diri bahwa akan tetap ada harapan bagi mereka yang tidak menyerah. 
Kalau kamu sedang ada di masa-masa sulit, temukanlah alasan untuk bertahan. Kamu bisa menemukannya dari mana saja. Entah itu dari dirimu sendiri, dari lingkungan sekitar, atau bahkan dari cerita pengalaman orang lain.
Barangkali, buku ini bisa membantumu menemukan alasan untuk bertahan. Sebab, dalam buku ini tertulis cerita yang menginspirasi dan pengalaman hidup para penulisnya. Salah satu penulisnya adalah aku.
Dalam buku ini, aku menceritakan perjalanan hidupku yang juga tak mudah. Aku telah banyak menemui kegagalan. Namun, seberat apa pun lika-liku hidupku, aku tetap memilih untuk bertahan. Dan ternyata, kegagalan telah membantuku menemukan hal baru yang ingin kulakukan sepanjang hidupku.
Mohon doanya, semoga tulisanku dalam buku antologi ini membawa manfaat dan bisa menjadi penyemangat bagi siapa pun yang membacanya—entah itu mereka, atau mungkin kamu juga. 😊🙏
Tumblr media
(21 April 2024| 12:48 WIB)
3 notes · View notes
apriliakinasih · 11 days
Text
Luar Biasa
Pernahkah kamu melihat atau mengenal seseorang, lantas kamu menilai seseorang tersebut sangatlah biasa? Kata "biasa" di sini maksudku adalah biasa penampilannya, profesinya, atau apa pun yang (menurut pendapat kita) terlihat tidak lebih baik dari diri kita.
Memberi penilaian pada orang lain adalah hal yang manusiawi. Namun, yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa:
Setiap orang memiliki sisi luar biasa.
—Novita Widyastuti, dalam buku "The Art of Being Mediocre: Menjadi Orang Biasa dan Tetap Bahagia".
Kutipan kalimat tersebut begitu membekas di hatiku. Sampai-sampai, saat melihat penjual di pinggir jalan yang jualannya sepi pembeli, melihat tukang parkir, atau ketika bertemu dengan pemulung, aku selalu mengatakan dalam hati bahwa mereka punya sisi luar biasa.
Kita memang tidak bisa untuk tahu pasti sisi luar biasa dari setiap orang yang kita temui. Namun, dalam hal ini aku menilai dari perjuangan mereka. Lihatlah para penjual itu yang meskipun sedang sepi pembeli, tapi ia tetap berjualan dan dengan sabar menunggu ada yang membeli dagangannya. Atau, pemulung yang dengan sabar memilih sampah untuk kemudian dijual dan mendapatkan upah meski tidak seberapa. Mereka berjuang demi pundi-pundi rupiah yang barangkali dijadikan nafkah untuk keluarganya. Bagiku, semangat dan kemauan mereka untuk berjuang dan pantang mundur sesulit apa pun keadaannya adalah hal yang luar biasa.
Mungkin, bagi orang yang kerjanya di perusahaan bonafide, para penjual di pinggir jalan adalah orang-orang biasa. Mungkin, orang-orang yang sukses memandang pengangguran bukan siapa-siapa. Atau mungkin, orang yang berkecukupan menganggap biasa orang lain yang terlihat sangat sederhana.
Mulai saat ini, jika ingin menilai orang lain, ingatlah kutipan yang kuambil dari buku tadi, bahwa meskipun seseorang itu bukan siapa-siapa dan terlihat biasa saja di mata kita, dia tetaplah punya sisi luar biasa.
Mari belajar untuk menanamkan hal ini dalam hati. Dengan demikian, semoga kita termasuk orang-orang yang tidak mudah memandang orang lain sebelah mata, tidak mudah untuk meremehkan orang lain, dan senantiasa bersyukur atas apa pun anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.
Aku, kamu, mereka, kita semua punya sisi luar biasa.
(20 April 2024 | 16:35 WIB)
8 notes · View notes
apriliakinasih · 14 days
Text
Penghambat
Pernahkah kamu menginginkan sesuatu, lalu merasa bahwa sesuatu itu akan sangat sulit tercapai, dan kamu merasa tidak mampu bahkan sebelum mencobanya?
Jika pernah, kita sama. Aku pun pernah mengalaminya. Lantas apa masalahnya?
Baiklah, akan kujelaskan. Sekarang, cobalah amati sekali lagi kalimatku pada paragraf pertama di atas!
Sudah?
Lihatlah sekali lagi, di situ aku menulis:
...dan kamu merasa tidak mampu...
Ya. Kita sering kali merasa tidak mampu menaklukkan hal yang kita anggap sulit. Padahal, kenyataannya belum tentu. Biasanya, sesuatu terlihat sulit manakala kita memang belum pernah mencobanya. Bisa jadi, setelah mencobanya, ternyata itu lebih mudah dari yang kita bayangkan.
Itulah mengapa, kadang-kadang yang menjadi penghambat kita untuk bisa melakukan hal-hal besar, meraih apa yang kita inginkan, adalah diri kita sendiri. Kita tidak percaya pada diri kita sendiri, kita tidak yakin bahwa kita mampu. Padahal, orang-orang di sekitar kita yakin sekali bahwa kita bisa. Namun, besarnya dukungan orang sekitar terkadang masih kalah dengan pikiran negatif kita.
Akibatnya, banyak kesempatan yang lewat begitu saja hanya karena kita merasa bahwa kita tidak mampu. Kita lantas enggan mencoba, karena merasa itu terlalu sulit. Pada akhirnya, kita sendirilah yang merugi.
Melakukan hal yang kita anggap sulit adalah salah satu cara kita untuk bisa berkembang. Maka, mulai sekarang, jika menemui hal yang terasa sulit atau impian yang mungkin susah untuk dicapai, yakinkan diri bahwa kita bisa. Jangan lagi menjadi penghambat bagi diri sendiri. Jangan biarkan rasa takut dan semua pikiran negatif mengendalikan diri kita.
Aku pernah membaca nasihat bagus dari sebuah buku yang menyatakan kurang lebih seperti ini:
"Jika mimpi kita seperti gunung yang tinggi, maka jadikanlah ia bukit-bukit yang mudah untuk didaki."
Sekali lagi, jangan berpikir bahwa kita tidak bisa. Lakukan hal-hal kecil yang membuat kita lebih dekat dengan impian kita masing-masing. Kalau perlu, kita harus melakukan usaha yang lebih keras dari biasanya.
Sebenarnya, tulisan ini pun menjadi pengingat bagi diriku sendiri. Semangat ya buat kita semua. Kalau orang lain bisa, kita juga pasti bisa.
(17 April 2024 | 18:06 WIB)
11 notes · View notes
apriliakinasih · 17 days
Text
Kutu Buku
Zaman sekarang, sudah menjadi hal yang lumrah ketika seseorang membagikan cerita ke khalayak ramai melalui media sosial. Cerita apa saja, mulai dari kehidupan sehari-hari, cerita saat bepergian, sampai cerita tentang kegemaran atau hobi.
Aku sendiri sering membagikan cerita tentang hobiku, yaitu membaca buku. Aku sering— bahkan hampir setiap hari—membagikan informasi tentang buku apa yang sedang kubaca, dan apa yang kupelajari dari buku tersebut.
Sebenarnya, keinginanku sederhana. Aku hanya ingin menyebarkan "virus" suka membaca. Aku ingin dunia tahu, bahwa aktivitas membaca itu menyenangkan. Selain itu, banyak sekali variasi buku yang bisa kita nikmati, baik fiksi maupun nonfiksi.
Kebiasaanku membagikan cerita lewat media sosial tentang aktivitas membaca ini, membuatku mendapat julukan kutu buku. Jujur, aku senang dijuluki kutu buku. Bagiku, itu adalah sebuah pencapaian. Betapa tidak, dulu aku sama sekali tidak suka membaca, dan lihatlah, sekarang aku bahkan mendapat julukan kutu buku.
Pernah ada beberapa orang yang mengatakan padaku baik secara langsung maupun melalui chat,
"Kamu tuh jangan di rumah terus. Jangan kebanyakan baca buku. Main sana ke luar rumah."
atau,
"Sana lho, gabung sama ibu-ibu muslimat, biar ngga di rumah aja. Kamu kan kutu buku, biar punya banyak temen."
Tunggu dulu. Aku ingin bertanya padamu. Bagaimana tanggapanmu kalau kamu jadi aku?
Jujur, saat mendengar orang-orang berkata demikian, aku sedikit tersinggung tapi juga geli. Lucu juga sebenarnya. Di sisi lain, aku berterima kasih pada mereka karena telah sepeduli itu padaku.
Namun, ingin sekali aku menjelaskan panjang lebar kepada orang-orang yang masih menganggap bahwa kutu buku itu tidak punya teman dan kesepian.
Pertama, bagi seorang kutu buku, buku itu sendiri sudah menjadi temannya. Membaca buku itu rasanya seperti sedang diajak bicara, mendengarkan cerita, bahkan diberi nasihat. Apalagi kalau buku yang sedang dibaca adalah buku yang benar-benar mewakili perasaan. Rasanya pasti seperti dipeluk.
Aku sendiri suka sekali ke mana-mana membawa buku untuk kujadikan teman bepergian. Dibaca atau tidak, yang penting harus ada buku di dalam tasku.
Kedua, saat seseorang sedang membaca buku, maka sesungguhnya orang tersebut sedang menjelajah ke banyak tempat, bahkan yang jauh sekalipun. Mengapa? Karena saat membaca, seseorang akan terbawa suasana dan tenggelam dalam cerita, sehingga mereka seolah-olah berada di tempat kejadian dalam cerita. Maka, dengan membaca buku, seseorang bisa pergi ke mana pun tanpa harus melangkahkan kaki. Bukankah ini terdengar seru dan mengasyikkan?
Ketiga, bagi kutu buku, buku adalah pelarian sekaligus hiburan tersendiri. Pernah mendengar kalimat "Books are an escape"? Aku sendiri menjadikan buku sebagai pelarian. Saat pikiran sedang penat, buku membantuku untuk lari dari kenyataan. Buku pun merupakan hiburan bagiku. Tak masalah aku di rumah saja, asal aku punya buku untuk kubaca. Apalagi kalau punya buku baru, beuh senangnya minta ampun!
Satu hal lagi, kutu buku tidak harus berteman dengan ibu-ibu muslimat. Mencari teman tidak harus ibu-ibu muslimat, bukan? Masih banyak mbak-mbak muslimat yang bisa dijadikan teman juga, yang masih sama-sama muda. Hehe.
Last but not least, jangan lupa, bahwa tidak semua orang merasa suntuk saat di rumah. Di dunia ini banyak orang-orang yang justru betah sekali kalau di rumah, aku salah satunya.
(14 April 2024 | 22:56 WIB)
3 notes · View notes
apriliakinasih · 19 days
Text
Berhenti dan Terhenti
Aku rasa, berhenti dan terhenti adalah dua kata yang sekilas hampir sama maknanya, tapi sesungguhnya berbeda. Kau tahu apa bedanya?
Ya, benar sekali. Adalah unsur kesengajaan yang ada di dalamnya. Kata terhenti menunjukkan bahwa seseorang tak menyengaja untuk berhenti. Namun, kata berhenti justru sebaliknya, seseorang sengaja untuk menghentikan dirinya.
Kita sering mendengar ungkapan bahwa jika menemui kegagalan, kita sebaiknya jangan berhenti. Aku setuju dengan ungkapan itu. Kegagalan menurutku adalah sesuatu yang menjadikan perjuangan atau langkah kita terhenti untuk sementara waktu. Kegagalan yang terjadi tentu bukanlah atas kehendak kita. Lagi pula, rasanya tak ada satu pun orang di dunia ini yang mau gagal. Benar begitu, bukan? Kita semua inginnya berhasil, terlebih jika kita sudah mengerahkan usaha semaksimal mungkin. Jadi, pada intinya,
jika kita sudah melakukan usaha yang terbaik, dan kita gagal, maka itu artinya kita sedang terhenti.
Ketika sedang terhenti, anggap saja kita sedang mengambil jeda, menikmati istirahat barang sejenak sebelum melanjutkan perjuangan lagi.
Aku jadi ingat nasihat dari seseorang. Nasihat tersebut disampaikan padaku hari ini, lebih tepatnya tadi siang. Seseorang itu berkata begini,
"Pokoknya, usaha aja terus, karena kita ngga tahu nasib kita ke depannya seperti apa. Jangan pasrah pada keadaan."
Maka, jika saat ini kamu sedang terhenti, tolong jangan berhenti ya. Ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Aku pun sama sepertimu. Mari kita menikmati jeda ini sambil sesekali mengevaluasi diri. Agar jika sudah tiba waktunya untuk berjuang kembali, kita jadi lebih siap dan lebih kuat untuk melakukan usaha yang lebih baik lagi.
(12 April 2024 | 22:57 WIB)
8 notes · View notes
apriliakinasih · 20 days
Text
Dua Tipe Pemaafan
Hari ini, aku memberanikan diri untuk upload foto di story Instagram. Sejujurnya, aku bukanlah tipe orang yang suka main Instagram. Namun, akhir-akhir ini aku aktif juga di Instagram, dan entah kenapa, tadi aku sangat ingin mengunggah fotoku untuk kujadikan story. Foto tersebut kuberi musik dan gambar gif yang lucu.
Ada beberapa orang yang menyukai story-ku itu, ada juga yang mengirim pesan lewat DM padaku.
Ada satu pesan yang membuatku sedikit terkejut. Pesan tersebut dari seorang teman lama yang dulu mendiamkanku tanpa sebab. Dia seperti marah padaku, mengabaikanku tiap kali aku menyapanya (baik melalui chat, maupun DM). Padahal, aku tidak tahu salahku apa. Semenjak saat itulah, aku sudah tidak pernah lagi menghubunginya.
Tadi, dia menyapaku lewat DM. Meminta maaf padaku, lahir maupun batin. Meski terkejut, tapi aku mencoba untuk bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Alhasil, kami pun mengobrol banyak. Obrolan kami mengalir begitu saja. Dari obrolan kami itu, aku baru menyadari bahwa ternyata sudah 6 tahun kami tidak bertemu. Lama juga ya.
Jika ada teman yang sudah lama tidak bertemu, aku selalu mengajaknya untuk meet up. Namun, kali ini aku mencegah diriku. Aku tidak akan mengajak teman lamaku satu ini bertemu. Seperti mampu membaca pikiranku, dia kemudian lebih dulu mengajakku bertemu. Aku lalu mengiyakannya, meski mungkin kami akan bertemu tidak dalam waktu dekat. 
Rasanya, aku telah cukup berbesar hati memaafkan temanku satu itu. Padahal, bisa saja bukan, aku membalas perbuatannya dengan cara mengabaikannya juga? 
Itulah tipe pemaafan yang pertama menurut pendapatku. Aku memaafkan, dan hatiku terasa biasa saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ringan sekali memberinya maaf, dan sama sekali tidak keberatan untuk kembali berteman dekat.
Sekarang, coba dengarkan pengalamanku yang lain tentang memaafkan. Jadi, aku mengenal seorang perempuan yang jauh lebih muda dari usiaku. Kami memang cukup akrab, namun tak pernah sekali pun aku bercerita tentang masalah hidupku padanya. 
Suatu hari, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung perasaanku. Aku tidak bisa menceritakan kejadiannya secara spesifik padamu di sini. Yang jelas, saat itu aku bahkan sampai gemetaran membaca pesannya. Entah apa yang ada di pikirannya sampai-sampai dia sanggup mengatakan hal yang membuat tubuhku gemetaran, hatiku panas, dan telingaku memerah. 
Semenjak itu, aku memutuskan untuk tidak lagi berteman dengannya. Aku sama sekali tidak pernah lagi menghubunginya. Segala akses yang berkaitan dengannya kuhilangkan. Mulai dari nomor HP hingga akun media sosial. Semua demi ketenanganku sendiri. 
Kau tahu? Dari pengalamanku ini aku belajar, bahwa ada kalanya kita bisa memaafkan, tapi hubungan baik yang sudah terlanjur rusak tidak bisa kembali seperti sediakala. Begitulah perasaanku padanya. Aku sudah memaafkan, tapi sayangnya aku sudah tidak bisa kembali berteman dengannya seperti dulu lagi.
Aku pikir, ini tipe pemaafan yang kedua. Sudah memaafkan, namun hati seperti kaca yang telah pecah. Kaca yang pecah tak akan pernah bisa utuh seperti semula, betapapun kerasnya usaha yang kau kerahkan. 
(10 April 2024 | 22:58 WIB)
3 notes · View notes
apriliakinasih · 24 days
Text
Sebuah Pencapaian Baru: Antologi Pertama
Pertama kali tahu nama penulis Ahmad Rifa'i Rif'an dari buku beliau yang kubaca beberapa tahun yang lalu. Judulnya "Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk". Aku membeli buku itu tahun 2016 silam.
Semenjak baca buku itu, aku kemudian berburu karya-karya beliau yang lain. Betapa tidak, tak butuh waktu lama, aku langsung menyukai gaya penulisan beliau yang tegas, lugas, dan seringnya "nge-jleb". Buku-buku beliau sering kali membuatku merasa seperti sedang dimarahi, atau "ditampar sana-sini". Aku sering "babak belur" setelah baca buku beliau. Tapi itulah yang menarik dari karya seorang Ahmad Rifa'i Rif'an. 
Entah sudah berapa banyak buku beliau yang ada di rak bukuku. Ya, sesuka itu aku sama karya-karya beliau. Namun, dulu tidak pernah  tebersit sekali pun di pikiranku untuk ikut menulis antologi bersama beliau. 
Beberapa tahun lalu, aku ingat ada posting-an yang berisi ajakan menulis buku antologi dengan beliau. Saat itu, aku hanya memandang posting-an tersebut, lalu berkata dalam hati,
"Ah tidak mungkin aku ikut. Lagi pula, aku tidak berbakat untuk menulis. Aku tidak bisa menulis."
Seiring berjalannya waktu, menulis ternyata menjadi kebiasaanku. Bahkan, menulis menjadi aktivitas yang sangat kunikmati selain membaca buku. Kebiasaanku menulis ternyata membuatku berani untuk memiliki satu mimpi baru: menulis antologi bersama salah satu penulis favoritku ini.
Selang beberapa hari kemudian, aku rajin memantau Instagram. Barangkali, akan ada posting-an dari beliau yang berisi ajakan untuk menulis buku antologi. Aku harus ikut menulis dengan beliau, sehingga mimpiku bisa menjadi nyata.
Gayung pun bersambut. Beliau memposting ajakan untuk menulis buku antologi dengan judul "Indahnya Memaafkan". Aku kemudian teringat, aku punya stok tulisan tentang memaafkan. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengirimkan tulisanku saat itu juga.
Dan hari ini, mimpi itu telah menjadi nyata. Aku berhasil mewujudkan keinginanku untuk menulis buku antologi bersama beliau. Aku termasuk salah satu dari puluhan penulis di buku ini. Alhamdulillaah. Sebuah pencapaian yang mungkin bagi orang lain terkesan sederhana, tapi bagiku ini pengalaman luar biasa. Terlebih lagi, sekarang adalah bulan yang istimewa bagiku. Jadi, aku seperti mendapatkan kado terbaik.
Tumblr media
Aku berharap semoga tulisan sederhanaku dalam buku ini bisa menginspirasi pembaca, dan semoga suatu saat nanti, aku bisa menyumbangkan tulisan lagi di buku antologi mas Ahmad Rifa'i Rif'an.
(7 April 2024 | 15:47 WIB)
3 notes · View notes
apriliakinasih · 1 month
Text
Senja dari Balik Kaca Jendela
Sore ini, sambil menunggu waktu berbuka, aku membawa laptopku ke ruang tamu. Aku lalu membuka e-book, dan menenggelamkan diri pada halaman demi halaman buku yang sedang kubaca. Saat sedang asyik membaca, tiba-tiba kulihat ada cahaya jingga pada kaca jendela ruang tamuku. 
Seketika aku tahu bahwa itu adalah sinar matahari senja. Saat itu juga, aku langsung bergegas untuk melihat senja dari balik jendela. Aku duduk di kursi dekat jendela dan menikmati pemandangan matahari yang membulat besar dan—sebenarnya—menyilaukan. Tapi walau bagaimana pun, aku selalu menyukai matahari senja. 
Ketika aku sedang menikmati pemandangan, tiba-tiba aku teringat akan satu mimpiku. Mimpi yang dulu pernah mengakar kuat dalam hatiku. Sebuah mimpi sederhana, yang entah bisa atau tidak terwujud di masa depan. 
Mimpiku itu adalah memandangi langit senja lengkap dengan mataharinya yang besar, dengan seseorang yang kucintai. Dulu, aku ingin kelak bisa menikmati senja bersamanya. Tapi saat ini, aku bahkan sudah melupakan dirinya. Dia sudah lama pergi dari hatiku. Itulah kenapa tadi aku mengatakan bahwa aku tidak tahu apakah kelak mimpi itu bisa terwujud atau tidak. Karena aku tidak tahu, apakah dia ditakdirkan untukku atau tidak.
Senja memang begitu indah, dan terkadang bisa membawa pikiran kita pada mimpi kita yang indah—meski mimpi itu sudah lama sekali. 
(19 Maret 2024|17:47 WIB)
3 notes · View notes
apriliakinasih · 1 month
Text
Tips Menulis dari Penulis Favorit
Hari ini buku yang kupesan telah sampai di tangan. Buku tersebut adalah karya penulis favoritku, Ahmad Rifa'i Rif'an. Entah sudah berapa banyak karya beliau yang telah duduk manis di rak bukuku. Itu pun belum semua aku punya. Menurutku, beliau ini sangat aktif menulis dan sangat produktif. Terbukti, beliau telah menulis lebih dari 100 buku solo, dan puluhan buku antologi. Buku-bukunya pun banyak yang jadi best seller di toko buku seperti Gramedia. Keren sekali, bukan?
Buku itu kubeli dengan harga diskon. Dari pembelian buku tersebut, aku mendapatkan bonus sebuah buku berjudul "Untukmu yang Belajar Menulis", karya beliau juga. Sudah dapat diskon, dapat bonus buku pula. Sebagai seorang book lover, sudah barang pasti aku bersyukur mendapat diskon sekaligus bonus. Terlebih lagi, bonusnya ini adalah buku yang sedang kubutuhkan, karena aku juga sedang belajar untuk menulis.
Buku bonusnya ini kecil dan tidak begitu tebal. Tadi, sebelum tarawih aku menyempatkan diri untuk membaca buku kecil itu. Aku berhasil melahap habis buku itu dalam sekali duduk.
Ada beberapa hal yang telah kupelajari dari buku kecil tersebut. Pertama, Ahmad Rifa'i Rif'an belajar menulis dengan cara membaca buku, lalu buku yang dibaca tersebut ditutup, kemudian beliau menuliskan kembali isi buku yang telah dibaca dengan bahasa beliau sendiri. Beliau mengaku, awalnya memang sulit. Tapi lama-lama menjadi terbiasa, dan bahkan berhasil menemukan gaya penulisan beliau sendiri.
Kedua, menulis adalah aktivitas yang tidak boleh ditunda. Aku setuju. Sebab, menulis berkaitan dengan ide atau gagasan yang sewaktu-waktu bisa hilang. Jika ditunda, tak jarang, kita lupa apa yang hendak kita tulis. Ini juga menjadi pengingat bagi diriku sendiri untuk tidak menunda menulis setiap kali tebersit ide untuk dituliskan. Menurutku, kehilangan ide sama halnya dengan kehilangan satu tulisan. Sayang sekali, bukan? Pada intinya, jika menemukan satu hal yang ingin ditulis, segera tuliskan. Lakukan saat itu juga, jangan ditunda.
Ketiga, seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik. Itu sebabnya, gemar membaca buku adalah penting bagi seseorang yang ingin memiliki kemampuan menulis yang memadai.
Kita tahu, bahwa dengan banyak membaca, pengetahuan kita pun akan bertambah. Sejauh yang kurasakan, membaca memungkinkan kita untuk menemukan ide atau gagasan yang bisa menjadi bahan untuk sebuah tulisan. Inspirasi menulis sering kali didapatkan dari aktivitas satu ini.
Saat membaca buku pun kadang kita akan menemukan kata-kata yang kita belum tahu artinya. Maka, semakin banyak membaca, semakin banyak pula kata yang kita pelajari. Sehingga, ini akan memudahkan kita untuk memilih diksi yang tepat saat menulis.
Sejauh yang kurasakan, banyak membaca buku juga akan membantu kita untuk menumbuhkan rasa peka terhadap sebuah tulisan. Jika terbiasa membaca, maka kita akan bisa membedakan mana kalimat yang ditulis dengan baik, dan mana yang tidak.
Itulah beberapa hal yang kupelajari tentang tips menulis dari penulis favoritku, Ahmad Rifa'i Rif'an. Aku juga menambahkan pendapat pribadiku sesuai dengan apa yang kualami dan kurasakan. Semoga ada manfaat yang bisa dipetik dari tulisan ini ya.
(17 Maret 2024 | 23.34 WIB)
2 notes · View notes
apriliakinasih · 2 months
Text
Menjadi Seorang Penulis
Dulu, tidak pernah sekali pun aku bercita-cita menjadi seorang penulis. Jangankan menulis panjang lebar, menulis singkat saja aku tidak begitu mahir.
Pernah ada satu waktu di mana saat itu aku sedang berada di toko buku. Kejadian ini sudah lama sekali, kurang lebih 10 tahun yang lalu. Saat sedang asyik berjalan menelusuri buku-buku, langkahku kemudian terhenti tepat di depan sebuah buku yang sampulnya berwarna merah jambu. Aku memandangi buku itu. Kalau tidak salah, buku tersebut adalah sebuah novel. Aku sudah lupa judulnya. Yang kuingat, saat itu aku memandangi dan kemudian menyentuh sampul buku itu.
Ketika menyentuh sampulnya, hatiku lalu bertanya, "Mungkinkah suatu saat nanti namaku bisa tertera di sampul sebuah buku? Ah, itu tidak mungkin. Tidak mungkin terjadi, karena aku tidak berbakat untuk menulis."
Seiring berjalannya waktu, aku kemudian membiasakan diri menulis buku harian. Jujur, aku lupa apa yang melatarbelakangi kebiasaanku ini. Waktu itu aku juga mulai aktif sekali menulis di blog pribadiku.
Meskipun sudah membiasakan diri untuk menulis, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan bisa menjadi penulis buku. Tapi lama-lama, tebersit juga dalam benakku keinginan untuk menjadi penulis buku. Aku membayangkan betapa senangnya jika tulisanku bisa dinikmati oleh banyak orang. Betapa senangnya jika ada orang yang merasa terbantu oleh tulisanku.
Beberapa hari yang lalu, aku mendaftarkan diri ke salah satu penerbit untuk ikut serta dalam penulisan sebuah buku antologi. Awalnya, aku tidak begitu percaya diri. Tapi dorongan dalam diriku sudah tidak bisa lagi kulawan. Ditambah lagi, temanya juga cocok. Akhirnya, aku pun mengikuti proses seleksinya.
Ada perasaan haru saat aku melihat story yang dibagikan oleh penerbit tersebut di Instagram. Story itu tentang pengumuman siapa saja penulis yang terpilih. Ya, di situ disebutkan nama-nama penulisnya, salah satunya adalah aku.
Kau tahu, apa yang membuatku terharu? Adalah sebutan "penulis" yang kudapatkan.
Satu hal yang dulu kurasa tidak mungkin terjadi, sekarang sudah ada di depan mata. Sebentar lagi, impianku menjadi seorang penulis akan terwujud. Namaku pun akan tertera di sampul depan sebuah buku. Pertanyaan dari hatiku bertahun-tahun yang lalu, kini telah menemukan jawabannya.
Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku saat ini? Aku benar-benar terharu, senang, dan bangga pada diriku sendiri.
Jika nanti bukunya sudah jadi, aku berharap semoga tulisanku mampu memberi kebermanfaatan untuk siapapun yang membacanya.
(11 Maret 2024 | 00:17 WIB)
2 notes · View notes
apriliakinasih · 2 months
Text
Membaca
Salah satu hal yang paling aku syukuri adalah bahwa aku diberi kesenangan untuk membaca. Dalam hal ini, yang kumaksud adalah membaca buku. Kita tahu bahwa budaya membaca di negara kita masih sangat rendah. Itu berarti tidak banyak orang yang suka membaca.
Aku berkaca pada diriku sendiri. Dulu, aku pun begitu. Tapi sekarang, justru kalau sehari tidak pegang buku, rasanya ada yang kurang.
Dari pengalamanku, kegemaran untuk membaca tidak datang begitu saja. Sama halnya dengan menulis, membaca pun perlu dibiasakan. Dulu aku awalnya memaksakan diri untuk membaca, karena memang tidak suka membaca sama sekali. Awalnya terpaksa, akhirnya terbiasa.
Setelah terbiasa, aku merasakan kenikmatan tersendiri saat membaca. Kalau apa yang sedang kubaca sangat merefleksikan perasaanku, aku merasa seperti sedang dipeluk. Kalau buku yang sedang kubaca mengisahkan sebuah cerita, aku seperti hanyut dalam ceritanya, seperti menyimak seseorang yang sedang bercerita tepat di hadapanku. Kalau isi bukunya tentang motivasi, aku pun seperti diberi suntikan semangat, apalagi jika aku sedang merasa down.
Aku termasuk tipe pembaca yang suka bila halaman bukuku penuh dengan coretan. Hehe. Mungkin terdengar aneh, tapi mataku lebih suka melihat buku yang penuh coretan ketimbang yang bersih. Meskipun tidak semua halaman harus ada coretannya. Itu sebabnya, saat membaca, aku juga melakukan anotasi buku.
Aku biasanya memberi catatan-catatan singkat berisi komentar dan kesan tentang baris kalimat yang sedang kubaca. Biasanya, aku menulis anotasi di tepi halaman buku. Aku juga kadang menuliskan dengan singkat pengalamanku yang ada kaitannya dengan kalimat yang sedang kubaca.
Sejauh yang kurasakan, melakukan anotasi buku menjadikan aktivitas membaca lebih menyenangkan. Membubuhkan anotasi juga memungkinkan kita untuk berinteraksi secara lebih mendalam dengan buku yang sedang kita baca. Dengan melakukan anotasi, berarti kita sedang menerapkan teknik membaca aktif atau active reading. Sehingga, kita jadi lebih mendalami isi buku dan kita pun jadi lebih terhubung dengan buku yang kita baca. Dengan demikian, apa yang kita baca tidak berlalu begitu saja.
Harus kuakui, semenjak suka membaca, membeli buku jadi godaan terbesar yang tidak bisa kuhindari. Aku masih bisa menahan godaan untuk beli makanan, tapi aku tidak bisa menahan godaan untuk membeli buku. Apalagi jika buku tersebut sudah lama kuinginkan.
Hobi membaca pun menjadikanku seseorang yang suka sekali mencium aroma buku, terutama buku baru. Aku paling suka saat-saat ketika membuka buku baru, kemudian tercium aroma khas kertasnya. Benar-benar memanjakan indra penciumanku.
(2 Maret 2024| 19:56 WIB)
4 notes · View notes
apriliakinasih · 2 months
Text
Tidak ada yang perlu disesali. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu juga sudah mengerahkan semua kemampuanmu. Kamu sudah berusaha maksimal. Soal hasil, itu memang bukan ranahmu, bukan kuasamu. 
Barangkali, apa yang kamu tuju bukanlah tempat yang baik untukmu. Itu sebabnya, lagi-lagi Allah belokkan jalanmu. Dia tidak sedang mematahkanmu, Dia justru sedang membimbing langkahmu untuk menuju arah yang tepat.
Tidak ada yang sia-sia dari semua perjuanganmu yang gagal. Sebab...
"...yang dinilai oleh Tuhan adalah usaha kita, bukan hasilnya. Yang dihargai Tuhan adalah proses kita, bukan finish-nya. Yang diapresiasi Tuhan adalah ikhtiar kita, bukan suksesnya."
–Ahmad Rifa'i Rif'an, dalam buku Hidupku Kenapa Gini-Gini Aja
Maka bersabarlah. Teruslah berjalan meski perlahan. Teruslah melangkah meski tertatih. Teruslah berharap meski keinginan untuk berputus asa kerap kali menghampiri. Teruslah bergerak, jangan diam. Teruslah berusaha untuk menjadi lebih baik.
Hari tak selamanya gelap. Malam akan berakhir dengan datangnya cahaya fajar. Maka yakinlah, bahwa keterpurukan dan kesedihan yang sedang kamu alami ini juga tak akan berlangsung selamanya. Suatu saat nanti kamu juga akan menemui kebahagiaan. Dan mungkin, kebahagiaan yang akan kamu terima lebih dari yang pernah kamu bayangkan. Bagi-Nya, tidak ada yang tidak mungkin, bukan? 
(1 Maret 2024| 22:45 WIB)
15 notes · View notes
apriliakinasih · 2 months
Text
Inspirasi Menulis
Pagi ini aku mendapat pertanyaan dari salah seorang teman. Dia bertanya,
"Ada inspirasi tertentu kah mba bikin cerpen kayak gini ini? Atau ya udh ngarang aja gmn menariknya gitu"
Jujur, aku sempat bingung bagaimana menjawabnya. Aku sendiri juga bukan seorang penulis. Aku bahkan masih berlatih. Tulisan-tulisanku pun masih sederhana. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Tapi aku punya modal utamanya: rasa suka untuk menulis. Jadi, dari rasa suka itu, muncul keinginan untuk terbiasa menulis.
Semenjak membiasakan diri untuk menulis, aku merasa bahwa inspirasi menulis itu banyak. Bisa dari pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, atau bahkan dari buku bacaan. Pertanyaan dari temanku tadi pun sudah langsung jadi inspirasi untuk menuliskan ini.
Aku pernah mendapati sebuah nasihat bagus dari salah seorang penulis kenamaan, Ahmad Rifa'i Rif'an. Dalam buku beliau yang berjudul The Perfect Muslimah, beliau mengatakan,
"...tuliskan aja semua yang sedang dipikirkan. Jangan terlalu mikirin kalimat ngalir atau tidak, sistematis atau tidak, dan lain-lain. Yang penting, tulis semua yang kepikiran."
Aku pun menerapkan nasihat tersebut. Aku menulis apa saja yang terlintas di kepalaku. Pada saat menulis, aku juga tidak memikirkan apakah ide yang kudapatkan itu layak untuk dijadikan tulisan atau tidak, apakah tulisanku nanti menarik atau tidak, bagus atau tidak. Karena yang terpenting bagiku adalah menuangkan isi kepala. Menuangkan gagasan atau ide. Kalau semua sudah dituangkan, hati terasa lega dan sudah tidak ada lagi perasaan yang mengganjal. Bagus atau tidaknya, itu soal belakangan.
Setelah semua selesai ditulis, barulah kemudian aku membaca ulang apa yang telah kutulis. Kuperbaiki kalimat mana yang menurutku kurang pas. Kuusahakan agar setiap paragrafnya juga mengalir dan enak dibaca, setidaknya enak dibaca menurut diriku sendiri.
Aku juga meyakini bahwa semakin kita terbiasa menulis, maka kualitas tulisan kita pun juga akan membaik seiring berjalannya waktu. Jangan takut tak ada yang membaca tulisan kita. Aku percaya, setiap tulisan pasti ada pembacanya.
Satu hal lagi. Sejauh yang kurasakan, dengan terbiasa menulis, lama-lama kita juga akan jadi lebih peka untuk menangkap inspirasi atau ide untuk ditulis.
(1 Maret 2024 | 12:22 WIB)
4 notes · View notes
apriliakinasih · 2 months
Text
Nyawa Sebuah Rumah (Cerpen #2)
Namaku Arunika. Orang tuaku memanggilku Runi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Semua adikku laki-laki. Meski sedarah, tapi kami sama sekali tidak dekat.
Kami bertegur sapa hanya jika ada perlu saja. Kalau tidak ada perlu, kami diam. Diam seperti orang yang sedang saling marah satu sama lain. Padahal, kami tidak sedang saling marah. Tapi daripada nanti bicara hanya akan menimbulkan pertengkaran, lebih baik diam saja. Ya, dari kecil kami memang tidak pernah akur. Kami pun tidak pernah mengobrol. Jika kebetulan kami sedang berada di meja makan semuanya, kami tetap diam. Terdengar aneh memang, tapi itulah yang terjadi.
Keluarga kami memang utuh. Aku, ayah, ibu, Rudi, dan Satya. Meski utuh, tetap ada satu hal yang gagal di keluarga kami: komunikasi. Aku merasa komunikasi di antara kami tidaklah sehangat keluarga lainnya. Selain tidak dekat dengan adik-adikku, aku pun tidak dekat dengan ayahku.
Ayahku seorang yang temperamental. Emosinya mudah tersulut. Suaranya kencang, tatapannya tajam, dan sering membentak. Aku paling tidak suka dibentak. Ayahku bak malaikat kalau di hadapan orang lain. Tapi tidak sebaik itu pada anak-anaknya. Aku sendiri selalu salah di matanya. Aku bahkan merasa ayah tidak menyukaiku. Mungkin, itu sebabnya aku tidak dekat dengannya.
Satu-satunya orang yang aku nyaman dekat dengannya adalah ibu. Menurutku, ibuku luar biasa. Dari semua anaknya yang memiliki karakter berbeda-beda ini, ibu bisa merangkul semuanya. Ibu bisa dekat dengan masing-masing kami. Aku sendiri merasa sangat dekat dengan ibu. Ibu bahkan seperti sahabat bagiku, aku banyak cerita ke ibu. Tentang pengalaman-pengalaman hidupku, bahkan tentang orang yang membuatku jatuh hati.
Aku dan ibu bisa mengobrol di mana saja. Di dapur, di meja makan, di depan TV, di ruang tamu, atau bahkan di teras. Seringnya, kami mengobrol di dapur sambil masak, atau di meja makan. Saat-saat yang paling membuatku bahagia adalah saat ibu mengajariku masak, dan saat kami bepergian berdua.
Sayangnya, aku telat menyadari satu hal. Selama ini yang bercerita ke ibu hanya aku. Ibu tidak pernah cerita apapun tentang masalah yang sedang dihadapinya. Kuperhatikan, semakin hari ibu terlihat semakin kurus. Makannya pun sangat sedikit. Padahal, dulu ibu makannya tidak sesedikit itu. Sampai suatu hari, saat ayah dan kedua adikku sedang tidak di rumah, aku mendapati ibu terlihat sangat pucat, lemah tak berdaya.
Aku buru-buru membawanya ke rumah sakit. Aku menyewa mobil tetangga. Masalah biaya sewa, itu soal belakangan. Yang ada di otakku saat itu adalah bagaimana agar ibu bisa segera mendapat penanganan medis. Kami berangkat ke rumah sakit diantar oleh tetanggaku.
Saat di rumah sakit, dokter mengajakku bicara empat mata. Dokter mengatakan ibuku mengidap kanker rahim stadium 3, dan sudah termasuk ganas.
Aku terdiam seketika. Mendengar hal itu, dadaku mendadak terasa sakit sekali. Kepalaku juga terasa sangat berat. Mataku masih menatap sang dokter, tapi air mataku mengalir tak terbendung. Aku tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Saat itu aku baru tau rasanya duniaku runtuh.
Bagaimana bisa? Kenapa ini terjadi? Kenapa harus ibuku yang mengalami ini? Bagaimana bisa aku tidak menyadari bahwa ibuku sakit?
Dokter kemudian menyarankan agar ibu menjalani kemoterapi selama 6 bulan ke depan. Aku masih terdiam. Masih berusaha mencerna apa yang baru saja mendarat di telingaku. Dokter pun melanjutkan penjelasannya. Namun sayang, aku seperti tidak bisa mendengarnya. Telingaku seperti mendengung. Yang hanya kupikirkan saat itu adalah ibuku.
Dua hari sebelum memulai kemoterapi untuk pertama kalinya, ibu berpulang. Aku kehilangan ibuku. Aku kehilangan duniaku. Aku kehilangan orang yang paling kusayang dan yang paling menyayangiku. Aku kehilangan orang yang paling dekat denganku.
Sepeninggal ibu, rumah terasa sepi sekali. Sudah tak ada lagi obrolan di dapur dan di meja makan. Tak ada lagi yang mengajariku masak. Tak ada lagi makanan lezat masakan ibu di meja makan. Juga tak ada lagi yang mengajakku duduk-duduk di ruang tamu atau di teras saat sore.
Kupandangi dapur ibu dan semua peralatan masaknya. Lalu saat melewati meja makan, kupandangi kursi tempat ibu biasa duduk. Masih teringat jelas suaranya, senyumnya, gelak tawanya. Aku pun menuju kamarnya. Kupeluk bantal yang biasa dipakai ibu. Berharap bisa mencium wangi ibuku. Kupeluk erat-erat bantal itu sambil menangis tersedu-sedu.
Sungguh, rumah terasa lengang tanpa ibu. Saat itu aku menyadari, ibu adalah nyawa dari rumah ini.
Aku rindu ibu. Sakit sekali rasanya merindukan seseorang yang telah tiada. Aku bahkan belum sempat membahagiakannya.
Kini, aku hanya hidup bertiga bersama ayah dan kedua adikku. Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana nasibku ke depannya. Bisakah aku dekat dengan mereka, seperti dekatnya aku dengan ibu? Aku tidak tahu. Yang jelas, untuk saat ini aku hanya berharap, semoga ibu beristirahat dengan tenang. Semoga ibu bahagia di sana. Aku berjanji akan terus mengirim cintaku pada ibu. Cinta dalam bentuk doa. Semoga suatu saat nanti aku bisa memeluk ibu lagi, di surga-Nya.
(29 Februari 2024| 21:57 WIB)
4 notes · View notes
apriliakinasih · 2 months
Text
Prokrastinasi
Sejauh yang kualami, salah satu pemicu kebiasaan menunda-nunda pekerjaan adalah rasa malas. Rasa malas pun ada pemicunya. Salah satunya adalah mood atau suasana hati.
Biasanya, kalau sesuatu yang harus kita kerjakan atau selesaikan itu bukan sesuatu yang kita inginkan atau kita minati, maka kita akan cenderung malas mengerjakannya. Kemudian kita memutuskan untuk menunda mengerjakannya. Menunggu sampai benar-benar ada niat untuk menyentuh pekerjaan tersebut.
Pada saat menunggu itu, pasti kita akan merasa terbebani. Pundak juga terasa berat. Selalu kepikiran, bahkan sampai suntuk dan stress. Belum lagi jika kita berpikir bahwa pengerjaannya harus sempurna. Akibatnya, kita menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan bagaimana mengerjakannya dengan sempurna. Setiap hari hanya dipikirkan saja, tapi tak kunjung mencoba untuk mencicil mengerjakan.
Selain itu, kebiasaan menunda pekerjaan juga disebabkan karena merasa masih punya banyak waktu.
"Ah nanti sajalah, masih ada waktu sebulan."
"Nanti deh, masih ada waktu seminggu."
Pas sudah mepet deadline baru ada niatan mengerjakannya. Akibatnya, yang harusnya pekerjaan kita bisa jauh lebih baik, jadi terkesan asal selesai. Yang tadinya sudah ada niatan ingin memberikan yang terbaik, ternyata hanya mampu mengerjakan ala kadarnya. Kenapa? Karena terburu-buru dan sudah tak ada waktu.
Jika kita sadari, menunda pekerjaan punya dampak yang merugikan, terutama bagi diri sendiri. Pertama, kalau kita terus-menerus menunda pekerjaan, maka hal itu akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan menunda pekerjaan biasa disebut dengan istilah prokrastinasi. Kalau sudah menjadi kebiasaan, maka akan melekat pada diri kita dan susah untuk dihilangkan.
Kedua, karena kita memiliki kebiasaan prokrastinasi, maka kita pun akan disebut sebagai prokrastinator. Ya, prokrastinator adalah sebutan bagi orang yang suka menunda pekerjaan. Maukah kita jika kita dicap sebagai prokrastinator?
Ketiga, semakin ditunda, pekerjaan juga akan semakin menumpuk, pikiran pun juga akan semakin suntuk. Percayalah, menunda pekerjaan hanya akan membuat pikiran menjadi tambah stress. Kalau sudah stress, makan terkadang terasa tidak enak, tidur pun tak nyenyak. Merasa terbebani dan tidak tenang karena masih punya tanggungan yang harus diselesaikan.
Keempat, kebiasaan menunda pekerjaan juga akan merusak kepercayaan orang lain yang telah diberikan pada kita. Sebagai contoh, ketika kita bersepakat untuk mengerjakan satu proyek penelitian dengan seorang teman. Misalnya pengerjaannya memakan waktu selama 2 bulan. Kemudian, karena penelitian tersebut tidak sesuai dengan minat kita, dan kita juga merasa punya banyak waktu, maka kita terus saja menunda mengerjakannya. Sampai pada akhirnya, apa yang menjadi tugas kita tidak bisa terselesaikan dengan baik. Bahkan, kita tidak banyak membantu dalam proses pengerjaannya karena kehabisan waktu. Sehingga, di kesempatan yang akan datang, orang akan malas untuk bekerja sama lagi dengan kita. Kita mungkin tidak akan diajak lagi untuk mengerjakan penelitian selanjutnya, sebab orang sudah beranggapan bahwa kita tidak bisa mengerjakan dengan baik. Saat itulah kita telah kehilangan kepercayaannya. Padahal, tadinya mereka sudah percaya bahwa kita mampu. Sayangnya, kita menyia-nyiakan kepercayaan itu. Rugi sekali, bukan?
Maka, mulai saat ini, jika punya tugas apapun yang harus diselesaikan, jangan lagi menunda untuk mengerjakannya. Apalagi dengan alasan malas dan tidak mood. Berikan yang terbaik untuk orang-orang yang telah percaya pada kemampuan kita, dan jangan buat mereka kecewa.
Hapus kebiasaan menunda-nunda pekerjaan itu dengan cara memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Sebab, untuk bisa melakukan yang terbaik pasti butuh waktu dan persiapan yang matang, sehingga hasil pengerjaannya tidak asal-asalan. Jadi, tidak ada alasan untuk membuang-buang waktu dengan percuma. Segera kerjakan dan jangan hanya dipikirkan.
Sempatkan untuk mengerjakan, bukan mengerjakan ketika sempat.
Ah iya, ada nasihat dari salah seorang teman yang hingga hari ini masih kuingat. Dia bilang,
"Mood booster terbaik adalah tanggung jawab."
Semoga kita bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab, terhindar dari kebiasaan prokrastinasi, dan bisa menyelesaikan dengan baik apapun yang telah ada di pundak.
(28 Februari 2024| 16:37 WIB)
19 notes · View notes