Tumgik
#30dwcjilid33
abidahsy · 3 years
Text
Ayah dan Pendidikan
Menurut ibuk, ada dua hal yang ayah sangat peduli tentang anak anaknya yaitu pendidikan dan kesehatan. Aku sepakat dengan ibuk, khususnya soal pendidikan.
Masih lekat dalam ingatan, saat aku persiapan masuk ke sekolah berasrama tingkat SMP belasan tahun ke belakang. Saat itu, kami diminta untuk menulis sebuah essay sebagai syarat kelengkapan masa orientasi, salah satu essaynya tentang motivasi belajar di sekolah berasrama.
Iseng saja ayah memberikan ide padaku, sesaat sebelum berangkat. Ayah bilang, “tulis saja soal perasaanmu nanti tinggal jauh dari orang tua,”
Kemudian, aku menebak kalimat berikutnya, entah itu perasaan sedih, rindu, dan hal-hal melankolis lainnya karena itulah yang biasanya terjadi dalam momen perpisahan, bukan?
Ternyata sebaliknya, ayah melanjutkan kalimatnya, “..bukankah enak, bisa jauh dari orang tua, gak ada yang ngatur-ngatur lagi. Bisa hidup bebas dan mandiri. Seperti ayah dulu saat ditinggal (meninggal) ayahnya ayah (kakek). Sempat lega karena merasa lepas dari banyak aturan, tapi beberapa hari setelahnya memang rasanya sedih dan kehilangan.”
Aku menelan ludah.
Meskipun tidak pernah bertemu dengan mbah (kakek) dari ayah secara langsung, aku sering mendengar cerita tentang sosok beliau yang sangat tegas. Melihat sifat ayahku yang tegas, sedikit banyak aku bisa membayangkan bagaimana dulu ayah dididik oleh mbah yang super duper tegas.
Berlanjut ke diskusi setelah lulus sarjana, ayah memberikan ‘perintah’ untuk segera lanjut S2. “Kalau S2-nya nanti nanti, malah jadi malas dan gak semangat lagi, lebih baik ambil S2 secepatnya karena anak ayah harus S2. Itu baru anak ayah.”
“Itu baru anak ayah”, menjadi penggalan kalimat yang masih aku ingat hingga hari ini. Sampai ibuk beberapa kali berkelakar, “ya sudah, jadi anak ibuk saja, tidak wajib S2, mudah bukan?”
Perbedaan pendapat antara ayah-anak itu sebenarnya sederhana. Dengan aku yang mau berbisnis dulu, lalu berangkat S2, sedangkan ayah ingin anaknya S2 dulu, lalu bebas mengejar apapun yang aku mau.
Demi menjadi anak ayah.
Ya, begitulah ayahku, sang komandan dalam medan perang yang menganggap pendidikan (dan kesehatan) adalah hal yang paling penting untuk diperjuangkan, ditanamkan, dan diwariskan kepada anak-anaknya kelak. Dilengkapi dengan setumpuk nasihat lainnya tentang waktu, hidup, mengingat Allah, dan berbagi dengan sesama.
17 notes · View notes
sqainialkhanza · 3 years
Text
Jalan Hidup
Jalan hidup itu harus lurus. Kalau berkelok, bagaimana bisa sampai pada tujuan? Pemikiran manusia sesungguhnya begitu terbatas, sedangkan Allah Maha Tahu tentang semua kehidupan. Hal ini disebabkan manusia tidak punya ilmu semesta. Pemikiran hanyalah perkiraan, sedangkan perkiraan tidak mungkin bisa dijadikan pegangan hidup. Hanya pedoman dari Allah yaitu Quran yang bisa menghadirkan jalan yang lurus bagi kehidupan. Maka, tidak heran saat Rasul mengeluh pada Allah akan umat-umat yang mengabaikan Quran tersebab khawatir akan keselamatan kaumnya. Jalan mana yang bisa lurus lainnya kalau bukan dari Allah?
Al-Quran bukan hanya soal deretan kata dan huruf, tetapi makna yang bisa dijadikan pegangan. Hanya al-Quran yang bisa menunjukan dengan objektif, gambaran setelah mati. Selain al-Quran, hanya sebuah perkiraan. Seperti halnya kita yang tidak pernah tau apa yang akan terjadi besok, apalagi tahu urusan akhirat yang sangat jauh perbedaan waktunya. Maka Quran adalah kehormatan bagi umat Rasulullah. Dari segi apa? Keyakinan yang kokoh dan kuat. Hal ini terkait aqidah.
Kehormatan umat Rasul juga ada pada pengabdiannya. Pedoman yang jelas, maka pengabdiannya juga bisa jelas nan haqiqi. Hal ini tentang ibadah. Hakikat pengabdian yang benar adalah saat punya pegangan yang kokoh dan tidak melihat seberapa banyak orang yang mengikuti.
Kehormatan lainnya bagi umat islam adalah ia punya tujuan yang pasti. Sesungguhnya Quran itu kehormatan bagi umat. Maka, saat Quran jadi pegangan, kehormatan bagi setiap orang itu akan didapatkan. Adapun ketidakjelasan yang sering dibuat manusia, seringkali tujuannya adalah mencari keuntungan.
Jadi, jalan hidup mana yang kamu pilih?
9 notes · View notes
warnawarnilangit · 3 years
Photo
Tumblr media
Masih koma, belum titik. Jika hari ini terasa sulit, bersabarlah. Percayalah akan ada kemudahan yang hadir bersama kesulitan. Jangan menyerah karena ini bukanlah akhir dunia. Harapan itu masih ada selama kita terus berusaha dan bersandar pada-Nya.
Masih koma, belum titik. Jika hari ini terasa mudah, bersyukurlah. Jangan pongah. Ingatlah bahwa ujian itu pasti ada. Kita tidak tau, dalam bab apa Allah akan menguji kita. Selalu siap siaga untuk segala kemungkinan yang ada.
Masih koma, belum titik. Jika melihat dia masih banyak cela, ingatlah bahwa masih ada waktu dan kesempatan yang membuatnya bisa berubah. Maka jangan buru-buru menghina. Cukup benci perbuatannya, tidak pada pribadinya. Kita tidak tau di akhir nanti siapa yang lebih bertakwa.
Masih koma, belum titik. Jika melihat sosok yang mempesona, seolah terlihat sempurna dari segala arah, kagumi sesuai porsinya. Ingatlah bahwa kita semua manusia yang punya peluang untuk berbuat salah dan juga sifat pelupa. Maka sediakan ruang pemakluman jika suatu saat dia berbuat salah.
Doa, dia menjadi salah satu senjata utama untuk kita dan mereka. Dalam sulit atau mudah, ada doa. Untuk yang masih bercela atau terlihat sempurna, ada doa. Semoga kita semua berakhir dengan titik yang indah.
— Frase “masih koma, belum titik” ini saya dengar secara tidak sengaja dari salah satu kajian malam radio Suara Muslim Surabaya. Untuk narasi di atas juga berdasarkan sedikit penjelasan dari Ustadz karena memang pada saat itu sedang tidak dalam kondisi yang siap untuk meneruskan mendengarkan kajian.
Jika ada yg pernah mendengarkan kajian radio Suara Muslim Surabaya yang episode ini dan tau link rekamannya, bisa berbagi. Kalau dugaan saya, ini dari salah satu episode Majelis Ilmu Catatan Prof. Ali Aziz.
#cmiiw #ntms #pengingatdiri #30DWC #30DWCJilid33 #Day11
(at Gresik) https://www.instagram.com/p/CWDlFLyvRCB/?utm_medium=tumblr
7 notes · View notes
rumi-humaira · 3 years
Text
Romantisasi Arti Hidup
Saya dan teman saya memiliki suatu hobi khusus: meromantisasi arti hidup, kapanpun itu, dimanapun itu, untuk kisah siapapun – baik kisah diri sendiri ataupun kisah yang dijalani orang lain. Baik kami mengetahuinya secara langsung atau tidak. Sesederhana melihat sepasang ojek online sedang bercengkrama sedangkan kami berdua baru keluar dari restoran dimsum di daerah suburban. Melihat mereka membuat kami mempertanyakan arti hidup kami berdua sebagai tipikal pegawai kantoran di selatan Jakarta. Apa sebenarnya arti hidup ini? Kemudian juga ketika melihat sepasang kakek nenek masih berpegangan tangan romantic melewati kami berdua, kami juga bertanya-tanya lagi: apakah kehidupan ibukota selama ini mengubah kita sampai-sampai melupakan makna hidup yang sesungguhnya, hakikatnya manusia dilahirkan dan diturunkan ke muka bumi?
Lebih-lebih lagi, sebenarnya ini hobi yang sudah kami lakukan sejak enam tahun silam. Ketika kami masih tinggal di asrama mahasiswa exchange di Seoul, menyantap sahur di jam 2 dini hari, lalu salah satu menu kami adalah nasi dan sawi hijau. Lebih tepatnya, saya lupa apa yang saya masak, tapi saya menyertakan sawi rebus. Sedangkan teman saya hanya memakan nasi dengan lauk, dan saya menasehatinya untuk memakan sayur – sehingga dia pun mengambil sawi saya, dan ketika lauk yang dia santap sudah habis, sisanya adalah menu nasi putih dengan sawi hijau.
Betapa sangat tidak cocoknya.
Sawi seharusnya disantap dengan mie ayam. Nasi seharusnya disantap dengan kangkong, misalnya. Bukankah ada yang aneh dari menu sahur kami di dini hari itu? Kami hanya memasak seadanya yang ada di stok kulkas kami masing-masing, dan ketika dipertemukan, muncul menu yang tidak nyambung. Padahal, baik nasi maupun sawi tidak ada yang salah. Hanya saja, ketika dipasangkan, ternyata mereka tidak cocok. Sepertinya manusia pun seperti itu; sendiri-sendiri, per orangnya baik-baik saja. Tapi ketika dipasangkan, muncul ketidakcocokkan yang janggal. Padahal bukan berarti nilai orang tersebut kurang. Padahal, tiap orangnya baik-baik saja. Seperti masing-masing sawi dan nasi putih jika tidak disatukan. Lalu mengapa kita menilai diri kita memiliki nilai yang kurang, ketika mengalami ketidakcocokan dengan orang lain, terutama pasangan?
Mungkin kita hanya seperti nasi yang belum bertemu dengan tumis kangkungnya. Mungkin kita hanya seperti sawi hijau yang belum bertemu dengan mie ayamnya.
Dari salah satu kebiasaan tersebut, kami melanjutkan hidup dengan usaha mencari-cari arti hidup, filosofi pemaknaan hidup dari setiap hari-harinya, kejadian kecil sampai besar. Alhasil, kami terus meromantisasi arti hidup, dari tiap-tiap pengalaman yang dilalui.
Padahal, kembali ke sepasang ojek online yang sedang bercengkrama di depan restoran dimsum, mungkin mereka hanya ingin berteman, hanya ingin berbagi cerita. Mungkin mereka hanya menjalani hidup sebagaimana tuntutan hidupnya. Padahal, saya dan teman saya melihat mereka menjalani arti hidup yang sangat mengagumkan – mencari nafkah untuk keluarga yang menunggu, dan sambil menjalani proses itu, berteman dengan sesama profesi yang baru dikenal di depan restoran dimsum. Tidak ada pikiran macam-macam untuk hal-hal jahat atau terobsesi dengan hal duniawi yang sehari-hari kami lahap. Mungkin. Atau tidak. Atau mereka mau. Kita tidak tahu. Atau, kakek-nenek yang berpegangan tangan tadi pun, mungkin seperti itu karena alasan lainnya
Kita tidak tahu.
Tapi kita terus-menerus mencoba meromantisasi arti hidup. Padahal, bisa saja tidak semuanya harus diromantisasi atau dicari-cari maknanya.
Mungkin kadang kami berdua harus berhenti sejenak dalam usaha romantisasi arti hidup. Mungkin kadang, hidup memang harus dijalani saja terlebih dahulu.
4 notes · View notes
kikiriana · 3 years
Text
Hari pertama masuk sekolah setelah libur lebaran diawali dengan pelajaran olahraga. Setelah mengambil nilai untuk lompat jauh, Pak Guru menyuruh kami istirahat dan berganti seragam sebelum mengikuti pelajaran berikutnya. Aku dan Murni mendapat giliran di awal sehingga memiliki waktu istirahat yang lebih lama.
"Makan di rumahku, yuk!" Ajakan Murni kusambut dengan anggukan mantap.
Ayah Murni adalah penjaga sekolah di SMP sebelah, sehingga rumahnya ada di dalam lingkungan sekolah. Kami harus memanjat pagar sekolah itu untuk masuk. Gerbang masih dikunci karena belum jam pulang.
Setelah berhasil memanjat pagar setinggi satu meter, kami sampai di rumah Murni. Ibunya sudah menyiapkan soto ayam yang masih mengepul, lengkap dengan gorengan dan teh manis hangat. Aku dan Murni segera melahap soto dengan nikmat.
"Ni, di mana tempat cuci kaki?" tanyaku pada Murni.
"Ayo kuantar ke masjid sekolah," kata Murni menanggapi.
Kami berjalan beriringan dan sampai di masjid sekolah. Masjid itu mempunyai tempat wudu berbentuk bak mandi panjang yang tertutup triplek bagian atasnya. Air dialirkan melalui tiga buah keran di sisi bak. Aku meletakkan sepatuku di atas bak, kemudian mencuci kaki.
Saat hendak memakainya kembali, aku terkejut. Sepatuku hilang sebelah. Aku panik, bertanya kepada Murni bagaimana sepatu itu bisa hilang.
"Oh, bagian ini tripleknya terbuka." Murni mengintip dari teras masjid yang posisinya lebih tinggi sembari menunjuk lokasi hilangnya sepatuku. Aku menepuk dahi.
Aku dan Murni bergegas mencari sepatu kami dalam bak mandi itu. Benar saja, kami menemukannya di ujung bak dekat keran nomor tiga. Aku segera memberi tahu ayah Murni sekaligus meminta maaf karena sudah mengotori air wudu. Untunglah ayahnya tidak marah.
Setelahnya kami segera kembali ke sekolah, dan aku berjalan dengan sebelah sepatu yang basah.
2 notes · View notes
fthhz13 · 3 years
Text
Sebuah Perjalanan:
Memahami arti sebuah "Kegagalan" (Bag 3)
Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk menunggu kesempatan di tahun depan sambil menguatkan apa yang sudah didapat di pondok pesantren, utamanya hafalan al Qur'an.
Aku mulai mencari informasi tentang Karantina al Qur'an. Dan Alhamdulillah tak lama setelah itu, aku mendapat informasi bahwa telah dibuka pendaftaran karantina tahfidz al Qur'an selama 6 bulan. "Wah cocok nih sambil menunggu seleksi ke Mesir di tahun depan." Pikirku begitu.
Tak panjang berfikir, aku langsung menghubungi kontak yang ada di pamflet, dan langsung mendaftar.
Waktu bergulir, hari seleksi pun tiba. Aku dan kawanku yang juga mendaftar, siap-siap berangkat menuju tempat seleksi.
***
Bandung, kota yang indah bagiku, dan nanti akan menjadi tempat yang mungkin paling berkesan didalam kehidupan ku.
Sore hari, aku dan kawanku sudah sampai di tempat seleksi. Ternyata tidak sedikit yang akan mengikuti seleksi esok pagi, yang membuat aku jadi agak sedikit kurang percaya diri waktu itu. Ditambah lagi jumlah yang akan diambil hanyalah 6 orang Ikhwan dan 6 orang akhwat. "Ya Allah, aku memohon keputusan Mu yang terbaik." Pintaku dalam hati.
Hari pun berganti. Waktu shubuh masih sekitar 1 jam lagi. Sudah banyak yg bangun dan melaksanakan shalat tahajjud, memanjatkan doa demi kelancaran pagi hari nanti. Maasya Allah, doa mereka nampak sangat khusyuk. Entah siapa yang esok hari akan terpilih. Semoga Allah berikan yang terbaik.
Bersambung..
Bus 80. Darrasah - Hay 'Asyir.
4 notes · View notes
rosmarisa · 3 years
Photo
Tumblr media
[ᴍᴇɴᴄᴏʙᴀ ᴅᴀɴ ᴛᴀᴋᴜᴛ] Kata '𝗽𝗲𝗻𝗮𝗸𝘂𝘁' sepertinya sangat cocok disandingkan denganku. Ada beberapa hal yang menjadi dasar perasaan takut maupun ragu tumbuh dalam diri. 𝘍𝘭𝘢𝘴𝘩𝘣𝘢𝘤𝘬 saat awal aku masuk sekolah, kuliah ataupun kerja. Dalam benakku selalu berseliweran pertanyaan-pertanyaan seperti,⁣ "𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘢 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢𝘱𝘵𝘢𝘴𝘪?" Atau pertanyaan⁣ "𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘢 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘱𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘣𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘱𝘢𝘬 𝘨𝘶𝘳𝘶?"⁣ Pertanyaan seperti itu membuat aku selalu ingin berada di titik ternyaman dan takut mencoba memulai suatu hal yang baru. Pikiran-pikiran negatif itu yang akhirnya membuat aku 𝘪𝘯𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘦 akan kemampuan diri aku.⁣ "𝘞𝘢𝘩 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶, 𝘢𝘩𝘩 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘢𝘫𝘢"⁣ Perasaan ragu dan takut mencoba hal baru akan membuat diri ini 𝘰𝘷𝘦𝘳𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬𝘪𝘯𝘨 terhadap segalanya. Tapi perasaan takut ini harus di lawan bukan menjadi teman. Dengan mencoba hal baru aku akan menjumpai banyak hal asing seperti lingkungan baru, orang baru, pengalaman baru dan tantangan baru. Aku mungkin akan kesulitan diawal, namun seiring berjalannya waktu hal itulah yang membuat aku terus berkembang menjadi individu yang lebih baik lagi.⁣ ⁣ Sebenarnya bukanlah hal yang mudah bagi penakut seperti aku untuk menantang diri sendiri dengan mengikuti 𝘤𝘩𝘢𝘭𝘭𝘦𝘨𝘦 30DWC ini yang mana diwajibkan menulis minimal 200 kata selama 30 hari non stop. Tapi kembali pada diriku, aku ingin berubah ke arah yang lebih baik dengan menulis dan aku yakin InsyaAllah aku bisa.⁣ Bismillah⁣ ✨ Halo perkenalkan saya Rosmasari Marisa dari Squad 3. Saya akan menulis selama 30 hari bersama teman-teman fighter 30DWC Jilid 33 @pejuang30dwc di platform akun instagram pribadi saya @rosma.risa. Saya akan menulis tulisan nonfiksi bebas yang berkaitan dengan 𝘴𝘭𝘪𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘭𝘪𝘧𝘦⁣ ataupun tema yang diberikan 30DWC Jilid 33 Tulisan saya akan dimentori oleh Kak @rezky_passionwriter dan Kak @rizkamamalia #30dwc #30dwcjilid33 #deklarasi30dwc33 #day1⁣ https://www.instagram.com/p/CVfhWvFPqWS/?utm_medium=tumblr
4 notes · View notes
anotsooldmom · 3 years
Text
Aku Si Penakut
Aku tahu pasti kalian semua yang baca bakal geleng geleng kan baca judulnya? Dalam hati kalian bilang, kalau yang penakut kayak gini, gimana yang pemberani? Kalau penakut aja tulisannya senyinyir itu, yang pemberani kayak apa?
Sudahlah. Mau kuterangkan gimana pun juga, sepertinya kalian gak akan sependapat denganku. Tapi ijinkan kuceritakan cerita versiku ya?
Dulu waktu aku sering arung jeram, kau kira aku gak takut? Takutlah! Tapi ide tentang pengalaman baru yang memuaskan itu begitu menggoda. Makanya aku tetap melakukannya.
Waktu memutuskan naik gunung lalu jatuh dan bermalam dengan laki laki asing yang tidak terlalu kukenal, menurutmu apa aku tidak takut? Takut. Hanya saja waktu itu memang tidak banyak pilihan jadi semalaman kerjaanku cuman dzikir dan berdoa supaya aku selamat lihat terang lagi.
Sekarang, saat sering menulis tulisan tulisan yanh sering kali terasa menyindir perorangan, kau kira aku tidak hapus ketik hapus ketik ping seket? Ya mesthi! Tapi kenapa tetap kulakukan? Karena, entahlah, gejolak buat ngomong yanh seharusnya kayak lebih besar daripada takutku.
Belum lagi kalau aku menulis kritik ke penguasa, wah itu lutut berasa gemetar kayak habis naik turun tangga puluhan kali. Takut dilabel nyinyir, sirik, ga move on, barisan sakit hati, negative thinking dan sederet kata kata lainnya. Tapi entah kenapa kok ya aku menulis lagi soal tema tema ini.
Sama kayak perilaku kita, eh aku maksudnya, saat ditanya, "Takut neraka gak?"
Ya takut bro, tapi kok ya kelakuanku masih aja nyerempet kelakuan penghuni neraka. Kalau dipikir pikir sebenarnya kenapa ya kok rasa takut ternyata ga cukup buat kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu?
Takut gemuk tapi tetap makan es krim.
Takut bangun kesiangan tapi tidur kemalaman.
Takut nyakitin orang tapi akhirnya tetap nyakitin orang.
Malam ini aku menyadari sesuatu, ternyata ada yang lebih kuat dari rasa takut. Di satu sisi, nafsu lebih kuat dari sekedar rasa takut. Itu makanya banyak yang takut sama neraka, tapi ya tetep gitu gitu aja kelakuannya, kayak aku. Naudzubillahi mindzalik.
Tapi di sisi lain juga ada good virtues, yang aku gak tahu apa terjemahan bahasa Indonesianya, yang juga lebih kuat dari rasa takut. Buktinya pahlawan pahlawan kita dulu, takut melawan penjajah bermodal bamby runcing, tapi ya tetap melawan. Itu karena good virtues, semacam nilai nilai kebaikan utama yang layak diperjuangkan.
Aku yakin para pahlawan itu juga takut pas hari-H-nya, cuma dorongan melakukan sesuatu yang benar, yang baik, ternyata lebih mendominasi dari sekedar rasa takut.
Jadi kalau seandainya pun saat ini, kita sedang takut pada sesuatu, pastikan kita memiliki good virtues yang layak diperjuangkan. Dengan begitu biasanya rasa takutnya hilang atau minimal memudar.
Lagipula, orang bijak pernah bilang, bukan dia yang selalu berani yang hebat, tapi dia yang takut tapi berhasil mengelola ketakutannyalah yang sesungguhnya pemberani.
Tapi kalau kasusku, mungkin aku sekedar ngotot dan ngeyel aja, jadi rasa takutku kadang kala terabaikan, meringkuk sendirian di pojokan.
Tumblr media
1 note · View note
coretanwasilah · 3 years
Text
Persiapan Pilkada Gowa 2020
Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah, dalam hal ini adalah Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, serta Gubernur dan Wakil Gubernur adalah agenda lima tahunan untuk memilih pemimpin di kabupaten/kota maupun provinsi.
Sebelum tahun 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD sesuai tingkatan masing-masing—DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, DPRD Provinsi untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Sejak tahun 2005, terjadi perubahan regulasi yang mengharuskan pemilihan langsung oleh warga negara Indonesia yang bersyarat. Selanjutnya, setiap lima tahun sekali pemilihan ini dilaksanakan.
Kabupaten Gowa, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, bersama dengan sepuluh kabupaten lainnya (Selayar, Bulukumba, Maros, Pangkep, Barru, Luwu Utara, Luwu Timur, Soppeng, Toraja, Toraja Utara) melaksanakan pilkada serentak pertama kali di tahun 2005. Selanjutnya, dilaksanakan pada tahun 2010, 2015, dan terakhir 2020.
Bagi sebagian orang, momen Pilkada hanya sekadar datang mencoblos di hari pemungutan suara, memilih sesuai hati nurani mereka, kemudian pulang menunggu hasil. Namun, tidak bagi penyelenggara, peserta, maupun pemantau.
Penyelenggara dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan jajaran dari pusat sampai ke TPS, serta Dewan Kehormatan Pengelenggara Pemilu (DKPP). Peserta, yaitu pasangan calon yang berkontestasi dalam pemilihan bersama seluruh tim suksesnya. Pemilih, adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat, dan menggunakan hak pilihnya dengan asas luber—langsung, umum, bebas, rahasia—dan jurdil—jujur dan adil.
Ketiga komponen ini tentu saja memiliki cerita berbeda dalam pelaksanaan pilkada. Selama kurang lebih 29 hari kedepan, saya akan menceritakan bagaimana pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dari perspektif penyelenggara, khususnya di Kabupaten Gowa.
***
Pilkada Gowa 2020 adalah salah satu pemilihan yang saya tunggu-tunggu. Kenapa? Tidak lain dan tidak bukan, karena inilah pemilihan yang mulai dari persiapan sampai pada akhir pelaksanaan, dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota. Mulai dari proses perencanaan anggaran, sampai pada pelaksanaan realisasi anggaran tersebut, menjadi tanggung jawab kami. Dengan kata lain, sukses tidaknya Kabupaten Gowa memilih Bupati dan Wakil Bupati pada tahun 2020, salah satunya ada di tangan kami.
Di KPU Gowa periode ini, saya diberi amanah untuk menjadi Ketua Divisi Perencanaan, Data, dan Informasi. Tidak berlebihan kalau mengatakan, saya mengikuti proses pelaksanaan pilkada ini dari nol. Mulai dari pembahasan anggaran yang memakan waktu lama, pencermatan sana-sini, sebelum dipaparkan di depan Bupati dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah.
Dimulai dengan penentuan jumlah TPS—Tempat Pemungutan Suara. Dasar utamanya adalah data pemilih di suatu wilayah, dalam hal ini pada tingkatan terkecil desa atau kelurahan. Yang menjadi rujukan adalah jumlah TPS pada Pilkada Gubernur sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun 2018, sebanyak 1170 TPS. Jumlah maksimal pemilih adalah 800. Namun, dengan memperhitungkan pertambahan jumlah penduduk, dan sebaran pemilih di setiap TPS di pemilihan sebelumnya, diputuskan untuk mengusulkan penambahan jumlah TPS menjadi 1232 TPS. Selanjutnya, angka inilah yang dimasukkan dalam rancangan awal penyusunan anggaran.
Jumlah ini yang akan menentukan berapa besaran honor penyelenggara adhoc—PPK, PPS, PPDP, KPPS—sampai pada penentuan jumlah logistik pemilihan. Kalau dilihat secara kasat mata, pekerjaan ini gampang. Sisa memasukkan ke file excel, dalam satu klik akan diketahui berapa besar anggaran yang akan diajukan ke Pemerintah Daerah sebagai penyandang dana pelaksanaan Pilkada. Setelah melalui pencermatan yang lama, kami memutuskan untuk mengajukan sebesar 65 milyar.
Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Di depan tim anggaran Pemda Gowa, kami diminta melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mengurangi nilai tersebut. Ibarat kata, kami melakukan penawaran dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di pilkada. Akhirnya, diputuskan untuk mengurangi jumlah TPS menjadi 1175 TPS saja. Selain itu, pasangan calon yang semula direncanakan tujuh, dikurangi menjadi lima. Pengurangan ini berdampak cukup signifikan, dengan menekan anggaran menjadi 60 milyar.
Anggaran ini kemudian disetujui oleh Bupati Gowa. Kami bersyukur, salah satu KPU yang tidak terlalu lama melakukan tarik ulur terkait anggaran adalah KPU Gowa, dengan jumlah anggaran yang disetujui termasuk besar.
Apakah sampai di situ?
Tidak. Setelah penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah, kami tetap mencermati anggaran. Melihat kembali kemungkinan untuk mengurangi anggaran, rasionalisasi se-efektif dan efisien mungkin. Termasuk besaran honorarium penyelenggara ad hoc yang mengalami penurunan dari jumlah yang kami rencanakan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Alhasil, kami mengembalikan 5 milyar ke Pemda Gowa. Dengan jumlah 55 milyar, kami sangat berharap dapat melaksanakan Pilkada Gowa 2020 dengan baik dan tanpa kendala. Selama ini, Gowa terkenal sebagai zona merah dalam pelaksanaan Pilkada, tetapi kami berharap di 2020 Gowa dapat menorehkan sejarah masuk dalam zona hijau berdasarkan indeks kerawanan yang dirilis oleh Kepolisian Republik Indonesia.
1 note · View note
deslaknyo · 3 years
Photo
Tumblr media
WAGENINGEN Sebuah kota kecil di tengah daratan negara yang memiliki ketinggian di bawah permukaan laut membuatku jatuh cinta. Alamnya, udaranya, ketenangannya, dan orang-orangnya sungguh mengambil hati saya. Awal mula jatuh cinta adalah ketika saya mempelajari falsafah ilmu penyuluhan yang salah satu tokoh besarnya berasal dari kota ini. Dari buku kuliah itu, saya kemudian ingin sekali mengunjungi kota ini untuk menuntut ilmu. Akhir tahun 2015, saya tak pernah menyangka bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar di kota ini. Sebuah universitas terbaik di dunia untuk bidang pertanian menjadi oven yang siap memasak dan membuat roti enak untuk dipersembahkan kepada negara Indonesia. Saya menjadi bahan bakunya. Tak banyak orang tahu tentang kota ini. Kota kecil yang bahkan tak punya stasiun kereta seperti kota lain di Belanda. Saya butuh waktu 30-40 menit mengayuh sepeda untuk tiba di stasiun.Melewati hutan atau padang rumput tempat gembala sapi dan domba. Saya pernah dua kali dikejar mereka ketika melintasi tanah gembalanya. Nostalgia, saya sudah menganggap Wageningen adalah kota kedua saya. Ingin sekali kembali rasanya, hidup tenteram tanpa hiruk pikuk kemacetan, udara sejuk, dan tetangga yang ramah. Oya, satu hal lagi yang membuat saya jatuh cinta pada kota ini, air minum yang segar. Air minum saya ambil dari kran air, sangat segar, tidak perlu menggunakan dispenser atau menyimpan air di dalam kulkas. Selain air minum yang segar, susu sapi pun bisa dibeli dengan harga yang murah. Saya bahkan bisa minum satu liter susu sapi setiap hari. Meski tak tinggal lama di kota ini, banyak nostalgia yang ia tinggalkan di hati saya. #30dwc  #30dwcjilid33  #day23 https://www.instagram.com/p/CWYkOJiPA4E/?utm_medium=tumblr
0 notes
ahmadsabilalfaqih · 3 years
Text
Pertemuan Dengan Ibu Santi
Gemericik hujan bagaikan nyanyian indah siang itu. Setelah hujan agak lebat seharian membasahi setiap sudut kota, siang menjelang ashar hujan mulai reda.
Vivi masih terus berfikir keras bagaimana bisa menaklukkan hati Bayu. Vivi semakin tertantang, bersamaan dengan itu Vivi memiliki hal yang bisa membuat semua lelaki yang dia inginkan jatuh hati. Kecantikan, kekayaan, jabatan.
Beberapa laki-laki di perusahaan dan anak perusahaan lainnya sudah pernah ia taklukkan. Terakhi Riko, teman satu divisi dengan Bayu. Riko juga pernah satu kelas dengan Bayu di pesantren, hanya saja Riko hanya mampu bertahan satu tahun.
Walaupun niatnya kepada Riko hanya untuk bersenang-senang, mengisi malam minggu yang lagi kosong. Sekaligus ingin membuat Bayu cemburu. Tapi tetap kelihatannya Bayu bergeming. Sekarang Vivi sadar telah banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Vivi ingin bertobat. Vivi sadar usianya sudah bertambah dewasa. Walau bagaimana pun Vivi harus memikirkan bagaimana bahtera rumahnya tangganya kedepan.
Vivi ingin rumahnya nanti menjadi surga. Vivi ingin suami yang soleh, bisa menjadi imam, membimbing ia menuju surga, dan ia melihat itu ada di Bayu. Cintanya semakin membuncah, seperti gelora cinta Zulaikhah kepada Nabi Yusuf Alaihissalam. Cintanya menjadi berwibawa, cinta karena Allah seperti Khadijah Radiyallahu 'Anha kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Ditengah rintik hujan dan keheningan kota siang itu ia pacu mobilnya menuju rumah Bu Santi, Ibunda dari pujaan hatinya, Bayu. "Yaa Allah... jika ini yang terbaik, maka permudahlah. Aku yakin dengan langkah yang ku ambil. Lewat munajat-munajatku selalu wajah Bayu yang menghiasi fikiranku." Batin Vivi terus berdialog.
"Ini amanah yang harus saya selesaikan." Ujar Vivi dalam hati.
Sebelum berangkat, Ibu Anggi, Ibunda Vivi, sudah memberi kisi-kisi apa saja yang harus ia lakukan. Ibu Anggi juga mengingatkan Vivi untuk bisa mengambil hati dari Ibu Santi. Ada juga beberapa tugas yang diberi Ibu Anggi kepada anaknya, Vivi. Sebelumnya juga Ibu Anggi bersama Vivi membuat kue Apam, kue kesukaan Bayu. Vivi memang sudah mengetahui beberapa kesukaan Bayu dan apa yang ia tidak suka. Lewat teman-teman Bayu, termasuk Riko. Kue Apam juga makanan kesukaan Ibu Santi. Sekaligus Ibu Anggi memberi kursus ke Vivi bagaimana cara membuat kue-kue tradisional. Vivi juga mendapat amanah titip salam buat Ibu Santi.
Ibu Anggi juga berpesan agar Vivi bisa menjaga adab. Dialognya nanti tidak perlu menjurus ke perjodohan. Cukup fokus ke hal-hal yang dia sukai. Makanan kesukaannya. Harapannya. Obesesinya. Semua hal yang ia senangi.
Sebenarnya saat almarhum Pak Bagus, Ayah Bayu masih hidup Ibu Anggi sering ketemu dengan Ibu Santi di beberapa pertemuan, seperti Family Gathering. Hanya saja memang Ibu Santi tidak banyak cerita terkait kehidupannya. Sehingga dia tidak banyak tahu tentang Ibu Santi.
Nyaris setelah Ayah Bayu tiada. Ibu Santi jarang keluar rumah. Dia lebih senang dirumah sambil menggeluti usaha katering untuk membantu biaya kuliah dan sekolah adik Bayu, Sinta dan Sarah.
20 menit kemudian Vivi sampai ke rumah Bayu.
"Assalamualaikum..."
"Wa alaikum salam..." jawab bu Santi. "Eeehhh... Nak Vivi. Tumben nih jauh-jauh, hujan-huja kesini. Mari masuk Nak." Ajak Bu Santi dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
"Gimana kabarnya Bu?" Tanya Vivi. Ia mencium punggung tangan Bu Santi sejurus kemudian memeluk dan mencium pipi kiri dan kanannya. Rasa bahagia dan gugup bercampur di hati Vivi. Wajah sendu dan penuh wibawa, pembawaan yang ramah membuat Vivi tertegun. "Ya Allah ..." Vivi kembali mengulang doa yang selalu ia panjatkan di sholat tahajjudnya.
(Bersambung)
#30dwcjilid33
#squad2 (kaizen)
#day12
#ceritafiksi
5 notes · View notes
abidahsy · 3 years
Text
Sebuah Doa Pemberian Ibuk
Setiap kali aku selesai bercerita tentang seseorang yang .... (kalian paham-lah maksudnya, hehe), ibuk-ku selalu bilang, "banyak-banyak berdoa ya,"
Dan dari sekian banyak doa, aku betul-betul ingat sebuah doa pemberian ibuk dalam bahasa arab yang saat aku cari makna doanya, mataku berhasil dibuat berkaca-kaca karenanya.
Sejak awal tahun, aku merapal doa ini berulang-ulang, berulang-ulang, dan berulang-ulang, sampai aku tidak mampu lagi menghitungnya. Berdoa dengan harap yang penuh atas jawaban "ya" dari langit. Begini doanya:
Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui hati kami.
Kami telah berkumpul karena cinta-Mu, dan berjumpa dalam ketaatan pada-Mu, dan bersatu dalam dakwah-Mu, dan berpadu dalam membela syariat-Mu.
Maka yaa Allah, kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukkanlah jalannya, penuhilah ia dengan cahaya yang tiada redup, dan lapangkanlah dada-dada dengan iman yang berlimpah kepada-Mu. Serta indahnya takwa kepada-Mu, dan hidupkan ia dengan ma'rifat-Mu, dan matikan ia dalam syahid di jalan-Mu.
Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Ya Allah, kabulkanlah.
Doa yang tidak lain adalah doa rabithah, doa memohon didekatkan, dikuatkan dengan kedekatan itu, dan dilimpahi kebaikan yang berlimpah atasnya.
Memang, jawaban dari sebuah doa itu meliputi tiga pilihan yaitu dikabulkan saat itu juga, ditangguhkan hingga waktu yang tepat, atau diganti dengan yang lebih baik. Aku pun selalu mengajak diri ini bicara dan meyakini bahwa ketiganya selalu mendatangkan kebaikan, setidakmampu apapun akal maupun indra ini memahami.
Dan benarlah, jawab atas doa sejak awal tahun itu pun menemukan titik jedanya berkali-kali. Meski masih belum jawaban yang pertama, tapi aku sungguh merasakan betapa Allah memberiku penjagaan.
Penjagaan yang membuat segala hal menjadi setenang air dan seterang matahari. Setenang air karena jika belum didekatkan berarti belum yang terbaik bagi satu sama lain. Seterang mentari karena menjadi lebih sadar diri bahwa kadang kita luput atas fakta bahwa diri ini sangat lemah dan tidak tahu apapun melainkan sangat sedikit.
Sedangkan, Dia-lah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Penyayang dari semua penyayang.
Benarlah, saat ini akupun masih tetap berdoa dengan doa yang sama.
Semoga jemu bukanlah kata dalam kamusku berdoa,
Dan ya, semoga dekat adalah kata yang ada dalam kamus kita.
9 notes · View notes
warnawarnilangit · 3 years
Photo
Tumblr media
Mari mengenang masa-masa awal bisa membaca. Ternyata saya lupa.. 😁. Yang saya ingat, dulu (kemungkinan saat MI) saya pernah mempunyai majalah Bobo dan buku kumpulan legenda. Selain dua buku tadi, saya juga sering membuka-buka majalahnya ibuk, Mimbar Pembangunan Agama, dan majalah mbak, Annida.
Seiring berjalannya waktu, saya mengenal toko buku Salemba. Buku yang ada pada foto diatas, seingat saya hasil belanja disana, beserta komik Detective Conan. Belanja bukunya bersama orang tua yaa. Oh iya, saya juga sepertinya sudah sering mampir ke perpustakaan sekolah saat MTs.
Lalu bagaimana dengan masa awal ingin menulis? Lupa juga 😆. Tetapi ada sesuatu yang menarik yang saya ingat. Dalam majalah Annida, ada beberapa jenis cerita, diantaranya adalah cerita bersambung (cerbung) dan catatan harian (cathar). Dua cerita ini sukses menarik saya untuk mencoba menulis. Namun pada akhirnya tidak berhasil menyelesaikan menjadi sebuah cerita yang utuh. Bahkan mungkin hanya berisi beberapa kalimat lalu selesai.
Saat saya mencoba menulis cerita tersebut, saya belum mengenal gawai, maka saya menuliskannya di buku. Bibit-bibit introvert sudah terlihat saat Itu. Saya tidak ingin cerita saya dibaca orang. Saya pun berkeinginan untuk membuat sandi sendiri untuk menggantikan huruf abjad. Mungkin karena “ribet” dengan sandi-sandi tersebut, belum ada karya yang tercipta.
Masa SMA, akses pada buku terbuka lebih luas. Perpustakaan sekolah mempunyai banyak buku, begitu pula teman-teman. Beberapa buku yang saya baca saat SMA adalah buku-buku karya Habiburrahman El Shirazy, Mira W, Harry Potter, 24 Wajah Billy dll. Kebanyakan merupakan buku fiksi.
Tentang menulis? Saya tidak ada memori khusus. Namun pada saat SMA, saya cukup menikmati pelajaran bahasa Indonesia. Termasuk didalamnya adalah ketika mengerjakan tugas membuat resensi buku.
Pada masa kuliah dan paska kuliah bagaimana? Bersambung yaa😁.
Semoga dengan membaca sekilas tulisan kali ini, bisa membawa kita untuk mengenang masa lalu yang membahagiakan. Jika ternyata ada masa lalu yang masih menyisakan luka, semoga kita bisa segera menyembuhkannya.
Alhamdulillah. Selamat beristirahat dengan tenang 💚.
#30DWC #30DWCJilid33 #fitaikut30dwc #Day2 https://www.instagram.com/p/CViUZtovU1N/?utm_medium=tumblr
1 note · View note
rumi-humaira · 3 years
Text
Ketakutan Ditinggalkan
Menjadi anak bungsu, saya terbiasa untuk bermanja-manja dan menempel kepada orang yang menjadi tumpuan hidup saya. Pada masanya, orang itu adalah ibu saya. Saya lebih memilih bersama ibu dibandingkan harus berbaur dengan anak-anak seumuran saya. Saya tidak mau pergi ke taman kanak-kanak, dan memilih untuk berada di rumah kecil kami, menyimak ibu saya mengajarkan cara membaca dan menulis.
Tapi manusia, anak kecil sekalipun, tidak diciptakan untuk terus-menerus bergantung kepada satu orang saja.
Bertumbuh, saya mengamati bahwa ibu saya juga memiliki masalahnya sendiri. Baik dari cerita-cerita ibu saya, baik dari pengamatan saya, dari saya diam-diam membaca isi sms di telepon genggamnya sambil saya bermain game snake, dari pembicaraan via telepon dengan teman-temannya; yang sepertinya ibu saya sering lupa bahwa saya, anak kecil sekalipun, dapat memahami konteksnya.
Kata ibu saya, saya bisa menangis keras jika tidak dapat menemukan ibu saya di pandangan, bahkan ketika itu hanya untuk membuang sampah di bawah pohon jambu di depan rumah kami. Atau ibu saya sedang berada di kamar mandi. Bagi saya, ibu saya adalah segala-galanya.
Pun, penolakan darinya adalah segala-galanya.
Saya terus menanti momen dapat bermain dengan ibu saya, tapi jelas, semakin saya besar, semakin banyak urusan yang lebih diprioritaskan. Saya, dengan kecerdasan di atas rata-rata anak sekolah dasar pada masa itu, sebenarnya memahaminya. Ada tagihan untuk dibayar. Ada penagih hutang rajin mengunjungi rumah kami, dan ibu saya bertahan kuat untuk dapat melindungi kami.
Sayangnya, kecerdasan emosional saya tidak dapat benar-benar mencerna yang terjadi. Saya tahu, konsepnya ibu saya menyayangi saya. Ibu saya menanggapi serius ketika saya bilang saya tidak mau punya adik, nanti akan saya cubit – karena egoisme saya ingin menjadi satu-satunya yang paling disayang di keluarga. Kakak saya sudah terbiasa berkorban harus jadi yang mengalah, harus jadi yang lebih dewasa. Saya bisa mengklaim posisi anak yang paling disayang, paling diperhatikan, paling diutamakan. Walaupun nama kami sama-sama berakhir dengan Humaira – panggilan sayang rasul kepada istrinya, alasan orangtua kami menamai Humaira karena kami berdua adalah anak yang disayang – saya berteguh keras bahwa saya akan jadi yang paling disayang.
Awalnya, sepertinya, hanya dimulai perlahan-lahan. Ketika ibu harus menemani kakak saya pergi ke Jogja, dan harus meninggalkan saya hanya berdua dengan ayah di rumah, saya ingat menangis-nangis sambil berlari mengejar mobil mereka. Menangis di tengah jalan komplek, di permukiman sepi di perbatasan kota. Saya ingat ibu saya hanya melihat saya yang berlari-lari mengejar sambil menangis, meminta pengemudi untuk tetap berjalan. Mungkin mereka sudah terlambat. Mungkin mereka tahu kalau harus memeluk saya sekali lagi, saya akan bersikeras agar mereka jangan pergi atau akan terus merengek memaksa untuk bisa ikut juga.
Saya ingat ayah saya berusaha menghibur saya. Berusaha menenangkan. Saya juga ingat saya tidak menginginkan ayah di saat itu; ayah jauh; saya tidak bergantung kepadanya. Saya bergantung seluruhnya kepada ibu. Tapi, seperti ayah pada umumnya, saya dibekali uang jajan cukup banyak – jauh lebih banyak daripada yang ibu saya pernah berikan – untuk pergi membeli eskrim ke minimarket terdekat. Saya ingat pikiran saya teralihkan saat berjalan kaki sendirian dan kemudian memilih eskrim pelangi favorit saya. Serta menikmati sensasi yang jarang saya dapatkan: kebebasan untuk membeli apapun, tanpa batasan jumlah, batasan harga, seperti aturan umumnya dari ibu saya.
Mungkin sebenarnya saat itu ayah saya ingin mengajarkan bahwa kita tak dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri hanya dari satu orang saja. Akan berbahaya jika hanya bergantung kepada satu orang saja. Setelahnya pun, kapanpun saya berseteru dengan ibu saya, ayah saya akan selalu berkata “itu karena mama sayang…”
Apakah rasa sayang berarti diungkapkan dengan kemarahan?
Apakah rasa sayang berarti diungkapkan dengan membiarkan anaknya merasa ditinggalkan?
Apakah rasa sayang berarti menganggap saya sebagai beban?
Rasanya, sebagai anak kecil, banyak pikiran yang saling tumpah tindih di pikiran saya. Kemudian ketika semuanya semakin sibuk – semuanya – dan saya bosan untuk pulang ke rumah sendirian hanya dengan rasa sepi, saya berusaha untuk pulang semalam mungkin, hanya agar nantinya ada yang menyambut saya di rumah. Tapi kali ini, menjadi yang termuda di keluarga sepertinya menghambat tujuan itu. Tentu saja, selama apapun saya berusaha menghabiskan waktu dengan teman-teman – di sekolah, di rumah teman, di warnet, di eskul, bahkan di angkot yang mengetem sangat lama – tetap saja saya ternyata harus pulang ke rumah yang gelap gulita.
Saya yang takut akan kegelapan, dengan telepon genggam yang biasanya sudah kehabisan batre, tanpa sumber cahaya selain sedikit dari pintu yang saya biarkan terbuka, harus berlari setengah meloncat dari pintu depan sampai ke saklar lampu terdekat – setengah menangis, setengah ketakutan akan melihat hal-hal yang seharusnya tidak ada.
Saya benci momen-momen itu. Saya ketakutan, tapi siapa yang dapat melindungi saya jika bukan diri sendiri?
Saya ingin marah, tapi siapa yang bisa saya salahkan? Mereka seperti ini demi saya, katanya. Demi memenuhi kebutuhan saya. Atau mengejar impian-impiannya, seperti kakak saya yang juga sibuk. Saya harus mendukung. Bukankah mengejar impian adalah hal yang bagus? Bukankah berambisi dan mencetak prestasi adalah hal yang patut dibanggakan, terutama ketika bertemu orang-orang lain yang mendapat cap biasa-biasa saja?
Masih dalam tujuan agar tidak pulang ke rumah yang gelap dan harus ketakutan sendirian, saya pun berusaha mengikuti apa yang mereka semua lakukan. Menyibukkan diri. Mencari-cari pujian. Mencari pengakuan, agar dapat menarik perhatian mereka kembali, walapun hanya untuk menjadi sesuatu untuk mereka banggakan tatkala berjumpa dengan orang lain. Walaupun ketika tidak ada orang lain, saya terus menerus dikritik; selalu ada yang kurang dari diri saya. Walaupun sebenarnya yang selalu saya tunggu-tunggu hanya beberapa jam di akhir minggu ketika ayah pulang dari ibukota dan kami semua pergi menyantap jamuan di luar rumah. Walaupun saya harus merengek dan merajuk sekian jam untuk dapat menyeret semuanya untuk mau pergi.
Saya tidak punya teman dan uang saat itu, hanya waktu sekali seminggu itu yang selalu saya tunggu-tunggu dan menjadi motivasi yang menguatkan untuk melewati 5 hari lainnya.
Sampai mungkin akhirnya saya tidak lagi peduli. Atau berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Saya berusaha mencari teman. Mencari perhatian lain. Meminta orang-orang lain untuk menghabiskan waktunya dengan saya, walaupun ternyata saya jadi dicap tidak baik; di kota tempat tinggal saya, perempuan pulang malam jelas bukan hal yang baik. Padahal, saya hanya menghabiskan waktu menikmati keberadaan orang lain, selagi bisa.
Semakin bertumbuh, dengan kemampuan dan independensi yang meningkat, saya belajar kalau yang saya alami adalah anxious attachment, jenis attachment yang terus-menerus merasa tidak aman dan ketakutan untuk ditinggalkan. Ada banyak teorinya, dan cara-cara untuk menolong diri sendiri. Saya coba pergi ke terapi dan sedikit berhasil – sedikit gagal – bahagia – menangis di tengah malam – berusaha lagi, dan seterusnya. Masih dalam proses, tapi setidaknya saya sedikit lebih memahami diri saya. Serta berusaha memahami semua penyebabnya. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyalahkan, baik orang lain maupun diri sendiri.
Teori lainnya yang menarik adalah tentang love language. Ternyata saya menemukan bahwa love language saya adalah quality time. Sepertinya jelas sangat berbeda dengan keluarga saya yang condong ke act of services. Pantas saja, sebesar apapun pengorbanan yang mereka berikan demi memastikan masa depan saya baik-baik saja – bahkan lebih, harus lebih baik dari rata-rata – tapi saya tidak merasa disayangi, karena mereka jarang ada. Padahal, seperti yang selalu ayah saya ulangi, semuanya ini karena orangtua sayang…
Beberapa hari ini, ketika saya mengasuh keponakan saya, saya mulai melihat diri saya dalam dia. Ponakan saya, baru berusia 7 bulan, mulai ketakutan ditinggalkan. Menangis ketika kami meninggalkannya, padahal baru sebentar saja, bahkan masih di ruangan yang sama, baik untuk menyiapkan asip untuknya atau menyiapkan sarapan kami sendiri. Ketika dia tertidur dengan menjadikan tangan saya sebagai bantal, dia langsung terbangun dan menangis ketika saya menarik tangan saya. Melihatnya, saya bertanya-tanya: apakah ini akan jadi sejarah yang mengulang dirinya sendiri? Saya tidak mau dia mengalami hal yang sama. Saya ingin dia memiliki secure attachment. Apa yang bisa saya berikan agar dia bisa merasa aman?
Saya tahu ponakan saya sepertinya kebingungan, selalu dioper-oper antara ibu-ayah-nenek dan tantenya karena kesibukan kami semua. Kali ini, saya melihat dari pespektif orangtua, perspektif seorang caretaker. Orangtua ponakan saya, jelas sibuk karena pekerjaan, agar dapat membelikan kebutuhan-kebutuhannya. Pun untuk menghabiskan waktu memenuhi kebutuhan pribadi mereka sendiri sebagai individu, aktualisasi diri, rehat sejenak. Bagaimana cara meyakinkan bayi ini bahwa kami semua sayang padanya dan tidak akan meninggalkannya, padahal kami sering menghilang? Bahkan saya di masa kecil pun sangat sulit untuk dapat menerima teori seperti itu, walaupun benar.
Saya kira, mengalami masalah-masalah itu dapat melatih saya untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Nyatanya, ternyata saya kebingungan. Mungkin juga karena saya belum sepenuhnya sembuh. Beragam self-help book sudah saya lahap, riset-riset saya terkait teori-teori attachment ini sudah cukup dalam, tapi jelas prakteknya jauh lebih sulit daripada konsepnya. Lalu bagaimana menerangkan itu semua kepada bayi 7 bulan ini? Bagaimana untuk mencegah dia memiliki ketakutan ditinggalkan seperti yang saya alami?
3 notes · View notes
kikiriana · 2 years
Text
Nutrisi untuk Kulit
Puasa Ramadan terbukti menyehatkan apabila disertai dengan pola hidup yang tepat. Berpuasa jangan sampai menjadi alasan untuk malas menjaga kondisi tubuh. Apalagi seperti yang kita ketahui, tubuh tidak memperoleh asupan makanan dan air yang cukup dari pagi sampai sore hari.
Saat menjalankan puasa, tubuh mengalami penurunan cairan yang dapat mengakibatkan dehidrasi. Gejala dehidrasi antara lain timbulnya rasa haus terus-menerus, kelelahan, dan kulit menjadi kering. Hal ini disebabkan oleh tubuh manusia 60 persennya terdiri dari air yang dibutuhkan setiap sistem dalam tubuh, termasuk kulit.
Nah selain memenuhi kebutuhan air minum ketika sahur dan berbuka, sebaiknya juga disertai perawatan kulit yang tepat. Sebagai penggemar skincare, saya akan merekomendasikan beberapa cara untuk menjaga kulit tetap sehat dan ternutrisi selama puasa.
Pertama, makan makanan dengan kandungan gizi seimbang serta memperbanyak buah dan sayur. Makanan ini bisa ditemui dengan mudah dan murah. Makanan yang sehat tidak harus berharga mahal.
Kedua, rutin memakai pelembab untuk wajah dan losion untuk bagian tubuh lainnya, terutama kaki. Bagi yang beraktivitas di luar ruangan, sebaiknya juga menggunakan tabir surya setelah memakai pelembab. Hal ini untuk menghindari kulit yang bersisik dan pecah-pecah. Kulit pecah-pecah ini jika dibiarkan bisa mengakibatkan luka sehingga mengurangi kenyamanan saat beribadah di bulan Ramadan.
Ketiga, tidak melewatkan pemakaian pelembab bibir atau biasa disebut lip balm. Saat tubuh mengalami dehidrasi, bibir akan terasa kering dan pecah-pecah. Saat berbicarapun biasanya menjadi sedikit kaku karena kondisinya yang kering tersebut. Tentu hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pemilihan produk perawatan kulit sebaiknya disesuaikan dengan jenis kulit masing-masing. Hal ini untuk mengantisipasi produk yang tidak cocok, sehingga malah memperparah keadaan kulit. Itulah beberapa cara untuk menjaga nutrisi kulit saat sedang menjalankan puasa Ramadan. Jika kondisi tubuh dalam keadaan prima, tentu ibadah puasa akan terasa lebih khusyuk.
1 note · View note
fthhz13 · 3 years
Text
Sebuah Perjalanan: Memahami arti sebuah “Kegagalan” (Bag 2)
Pagi itu aku bersiap-siap berangkat ke tempat seleksi itu diadakan. Tidak jauh dari rumah, karena malamnya aku menginap di kos-an saudaraku yang juga kuliah di sekitar situ.
Sepagi itu, ibukota sudah ramai. Ada yang berangkat sekolah, kuliah, kerja, atau mencari kerja, dll.
Aku sudah sampai tempat seleksi. Disana sudah ramai dipenuhi orang-orang yang juga memiliki tujuan yang sama, ingin kuliah di timur tengah. Tinggal menunggu menit, waktu seleksi akan segera dimulai.
Seleksipun dimulai, aku mengerjakan soal dan menjawab wancara sebisa dan semampuku.
Hari seleksi pun selesai. Segala usaha sudah dikerjakan, sisanya hanya tinggal tawakkal.
Tahap selanjutnya aku menunggu hasil seleksi yang berselang tidak lama dari waktu seleksi.
Hari bergulir sambil terus berdoa, berharap cemas agar diberikan hasil yang terbaik. Hingga pada waktunya, hasil seleksi pun keluar.
Satu persatu aku lihat nama yang lolos seleksi dan bisa berangkat melanjutkan studi ke Mesir. Aku lihat pertama kali, namaku tidak ada. Aku lihat lagi, barangkali mataku tidak teliti, ternyata tidak ada juga, sampai kesekian kalinya aku baca hasil pengumuman itu, ternyata hasilnya sama. Namaku tidak ada.
Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Ada rasa kecewa disitu. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa aku memang kurang dari segi persiapan. Jadi wajar saja kalau hasilnya aku tidak lolos seleksi.
Namun muncul persoalan baru. Setelah itu, akupun tak tahu mau kemana, karena aku cuma ingin kuliah di Mesir, hanya mendaftar kesitu.
Hingga pada akhirnya…
Bersambung..
0 notes