Tumgik
kikiriana · 1 year
Text
Sometimes I hate myself for not being able to stop thinking. It feels like my brain is spinning and constantly bombarding me. It actually hurts me a lot, but I just can't seem to stop it.
76 notes · View notes
kikiriana · 2 years
Text
Ada pernyataan dari beberapa orang yang cukup mengganggu pikiran belakangan ini. Adik sebentar lagi lulus. Tentu saja saya ikut senang dan bangga, bukan karena ikut membiayai tapi karena dia komitmen dan tanggung jawab dengan kuliahnya. Tetapi saya jadi lebih sering mendengar, "Biar adiknya cepet lulus dan dapat kerja. Jadi kamu bisa gantian mengurus hidupmu untuk menikah."
Saya mengaminkan sampai kalimat dapat kerja. Namun kemudian merasa janggal dengan kalimat selanjutnya. Ada rasa tidak terima dalam diri, ketika orang lain menganggap adik saya adalah beban yang membuat saya menunda menikah.
Memang mungkin saya sempat mengeluh sekali dua tetapi bukan karena ingin cepat menikah alasannya. Saya adalah orang yang paling paling paling support dengan pendidikan, terlebih untuk adik sendiri. Bahkan kami berencana ingin ambil bootcamp atau ekstensi bersama.
Saya benci sekali. Orang-orang yang berkomentar itu bahkan tidak pernah membantu bahkan hanya dengan sekedar support. Masih ingat jelas bagaimana orang berkomentar kepada kami, "Anak orang miskin sekolah tinggi untuk apa."
Kembali ke komentar tadi. Intinya saya hanya tidak ingin adik saya nggak menikmati masanya. Saya nggak ingin dia terburu melakukan sesuatu karena pendapat orang lain. Saya ingin dia melakukan apa yang dia senangi dan dapat kerja di tempat yang ia inginkan pula.
2 notes · View notes
kikiriana · 2 years
Text
Nulis Lagi, Nulis Terus
Ada berbagai kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengisi bulan Ramadan. Baik yang bernilai ibadah maupun bersifat amal kebaikan. Seperti umat lainnya yang menyambut Ramadan dengan berbagai agenda, saya juga tidak ingin ketinggalan. Saya putuskan untuk bergabung kembali di 30DWC Jilid 36.
Kebetulan event menulis yang sedang saya ikuti ini mengangkat tema spesial yaitu Pejuang Ramadan. Jadi fighter atau sebutan bagi peserta event wajib menulis segala hal yang berkaitan dengan Ramadan selama 30 hari penuh.
Selain menarik tentu saja tema Ramadan sangat luas. Ada berbagai hal yang bisa diulas secara mendetail. Terus terang tidak ada persiapan ide khusus untuk 30 hari itu. Tetapi saya bertekad untuk mencoba menulis non fiksi. Ya, meskipun tidak 30 hari penuh, sih.
Menjadi tantangan tersendiri membuat tulisan yang keluar dari zona nyaman. Apalagi untuk bahasan Ramadan tentu tidak jauh dari hal yang berkaitan dengan keagamaan. Kehati-hatian dalam menyampaikan tulisan tentu harus sangat diperhatikan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, riset harus lebih mendalam. Selain itu, olah rasa dan kepekaan terhadap sekitar juga tidak kalah penting karena seringkali ide timbul dari hal-hal yang dianggap sepele di sekitar kita. Terakhir, melakukan diskusi dengan sesama fighter juga terbukti mampu menajamkan isi tulisan yang dibuat.
Saya sempat mengulas kembali beberapa tulisan yang sudah dibuat. Meskipun secara isi masih perlu lebih banyak nutrisi, saya cukup lega ketika beberapa bisa diterima dan sampai pesannya kepada pembaca. Mengingat tulisan-tulisan itu dibuat dengan bumbu kekhawatiran akan menggurui serta kesalahan informasi.
Terlebih setelah mendengar cerita dari fighter lain tentang kendala yang sama. Ternyata itu wajar saja. Sudah seharusnya penulis merasa memiliki tanggung jawab terhadap isi tulisannya. Tetapi jika memang tulisan tersebut mengandung kebaikan yang ingin dibagikan, mengapa harus takut?
Satu hal yang saya yakini, menulis hal baik di bulan yang baik dengan niat baik pula tentulah tidak ada ruginya. Syukur-syukur bisa menambah isi tangki amal dan ibadah kita sampai penuh.
1 note · View note
kikiriana · 2 years
Text
Ramadan Saat Aku Dewasa
Bagaimana kalau ada yang bertanya, apa isi Ramadanmu tahun ini?
Jawaban apa yang terlintas? Apakah tahu isi, bakwan, atau kolak pisang?
Jika melayangkan kembali ingatan masa kecil dulu, kegiatan bulan Ramadan kita selalu terpantau dalam sebuah buku. Mulai dari catatan tadarus harian, jadwal salat fardu dan tarawih, hingga waktu membayar zakat semuanya tersusun rapi. Rasa-rasanya tidak sulit untuk mengisi hari dengan berbagai ibadah yang sudah tentu terjamin pahala berlipat ganda.
Tetapi, kenapa sih setelah dewasa rasanya sulit sekali untuk istikamah beribadah saat Ramadan?
Selain dari segi usia yang bertambah, pemikiran pun tentu mengalami perubahan. Saat kecil dulu bulan Ramadan bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Justru paling ditunggu karena banyaknya hal yang dianggap menyenangkan akan datang seperti libur sekolah dan dibelikan mukena baru untuk salat tarawih.
Setelah dewasa, hal yang dianggap menyenangkan tadi mengalami pergeseran. Bukan lagi sekadar membeli mukena baru, tetapi lebih ke manajemen diri dan waktu. Terlebih bagi pekerja, penting sekali untuk mengatur agar pekerjaan dan ibadah di bulan Ramadan tetap berjalan beriringan tanpa harus mengganggu salah satunya.
Dari segi godaan, tentu akan berbeda pula porsinya. Kalau dulu sih, godaan hanya sebatas melihat iklan sirup di siang hari. Tetapi sekarang harus melawan beratnya rasa malas. Percayalah, melawan faktor dari dalam diri itu sesungguhnya lebih sulit dari pada melawan faktor dari luar. Maka dari itu, dianjurkan untuk mengosongkan atau membersihkan hati sebelum menjalankan puasa.
Ibarat menguras bak kamar mandi berlumut dan menggantinya dengan air yang jernih. Ramadan adalah momentum yang tepat untuk mengisi ulang hati dengan segala hal yang bersih. Jika persiapan sudah mantap, tentu Ramadan tidak akan menjadi sulit saat kita dewasa. Sesungguhnya orang dewasa itu diberikan kelebihan akal yang lebih sempurna agar senantiasa berpikir.
2 notes · View notes
kikiriana · 2 years
Text
Kosongkan Hati, Menyambut Bulan Suci
Seharusnya tulisan ini terbit ketika awal Ramadan. Tetapi tidak apa, tidak ada kata terlambat untuk menebarkan kebaikan. Hari ini lagi-lagi dihadapkan dengan tulisan bertema. Ketika mendengar kata ‘Kosong’ yang didaulat menjadi tema hari ini, saya terpikirkan beberapa ide. Salah satunya yaitu hubungan antara kekosongan dan bulan Ramadan.
Semua umat muslim tahu bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang penuh rahmat. Umat muslim di berbagai belahan dunia sudah barang tentu menantinya dengan sukacita. Ada pula berbagai perayaan atau tradisi khas daerah setempat yang digelar dalam rangka penyambutan bulan penuh berkah ini.
Namun sepertinya ada satu yang luput di antara gegap gempita tradisi sambut Ramadan, yaitu persiapan pribadi. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Ramadan adalah bulan yang istimewa. Lantas apakah kita hanya akan menyambutnya dengan biasa saja? Tentu kita tidak ingin jika bulan Ramadan hanya dilewatkan dengan sekadar mengosongkan perut.
Persiapan dari dalam diri sudah seharusnya menjadi prioritas utama. Hal ini bisa dimulai dari mengosongkan hati dari segala hal yang buruk. Bermaafan dengan sesama bisa menjadi salah satu jalannya. Meskipun hal ini bukan hanya perlu dilakukan saat menjelang Ramadan saja. Tetapi bisa menjadi langkah awal untuk membersihkan hati menyambut bulan suci.
Menjalankan puasa Ramadan dengan hati yang bersih tentu akan lebih nikmat. Jika demikian, maka insya Allah ibadah lainnya akan terasa mudah dan ringan pula untuk dijalankan.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Siapa yang rumahnya sudah mulai kedatangan hamper dari rekan atau saudara?
Berdasarkan pengamatan saya, tradisi mengirim hamper atau parsel ini biasa dilakukan saat perayaan tertentu. Rupanya hal ini juga dilakukan ketika menjelang perayaan Idul Fitri.
Sebagai orang yang besar di desa, kami biasa menyebut hamper dengan bingkisan. Isi bingkisan beragam, mulai dari sembako seperti beras dan gula, baju baru, hingga makanan siap saji seperti biskuit.
Tujuan memberi bingkisan ini yaitu untuk membantu tetangga yang kondisinya kurang mampu. Dengan begitu, semuanya dapat merayakan Idul Fitri dengan suka cita tanpa kekurangan. Selain itu bingkisan juga biasanya diberikan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua.
Seiring perkembangan zaman, hamper atau parsel ini mengalami pergeseran fungsi. Selain untuk membantu orang yang kurang mampu, hamper juga menjadi salah satu media untuk menjalin silaturahmi.
Isinya pun tidak lagi sekedar makanan, akan tetapi bisa berbentuk barang seperti alat salat dan peralatan makan. Biasanya hamper seperti ini dikirimkan untuk kolega atau sahabat jauh. Tak lupa dibubuhi dengan ucapan selamat lebaran kepada penerima hamper.
Ada satu yang menarik perkara mengirim hamper ini. Dahulu penerima tidak wajib membalas hamper kepada pengirim. Namun di sosial media, ternyata saya menemui beberapa penerima yang mengaku resah ketika mendapat kiriman hamper.
Di satu sisi mereka senang, tetapi di sisi lain merasa terbebani karena harus membalas kiriman tersebut meskipun tanpa permintaan pengirim.
3 notes · View notes
kikiriana · 2 years
Text
Para Pengendara
Selain makanan, hal lain yang tidak kalah mengejutkan bagi saya ketika pertama kali merantau adalah perilaku pengendara kendaraan. Berpindah dari kota kecil ke kota yang agak sedikit besar dengan masyarakat majemuk pastilah akan menemui bermacam karakter unik.
Dari hasil pengamatan saya terhadap pengendara motor maupun mobil di kota ini, rata-rata bersifat temperamen. Mulai dari angkutan umum yang berhenti sembarangan, sepeda motor yang hobi memotong jalan, hingga mobil pribadi yang gemar parkir sekenanya di bahu jalan. Semua sudah pernah saya temui.
Kota ini juga terkenal dengan macetnya. Lebih-lebih saat jam pulang kerja di bulan Ramadan. Bunyi klakson berpadu dengan antrian kendaraan yang mengular adalah kombinasi yang menjengkelkan. Ditambah oleh adanya motor yang hobi menyelip di sela mobil hingga terkadang dengan sengaja menabrak kendaraan di depannya.
Saya sendiri lumayan sering menjadi korban senggol motor seperti itu. Lebih anehnya lagi saya yang seharusnya marah sebagai korban malah kena sinis duluan. Jika sudah begitu, wah rasanya tidak tahan untuk berteriak dan mengumpat langsung membara. Bagi saya hal ini benar-benar menjadi salah satu godaan berpuasa yang cukup berat.
Bayangkan! Sudah perut lapar karena puasa, ingin segera pulang dengan selamat eh pakai acara disenggol orang tidak dikenal, kena marah pula. Tiada yang bisa diperbuat selain sabar. Itulah mengapa kesabaran hadiahnya surga karena ya memang sulit, Bun. Kalau mudah sih, hadiahnya pasti cuma permen.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Menu Buka Favorit
Pagi itu seperti biasa Minah berbelanja bahan untuk memasak menu berbuka. Selain menu sayur mayur dan lauk, ia juga berbelanja labu kuning dan pisang.
“Mau masak kolak, Nah?” sapa tetangganya.
Minah menanggapi dengan anggukan kecil dan senyum bahagia. Bagaimana tidak, hari ini ia akan memasak menu berbuka favorit suaminya yaitu kolak labu kuning dan pisang.
Minah mengupas kulit labu dan pisang. Lantas ia memotongnya dengan rapi dan presisi. Bang Joni suaminya paling tidak suka jika ada potongan yang tidak rapi. Air dalam panci sudah mendidih. Minah lantas memasukkan parutan gula merah dan daun pandan yang diikat rapi pula.
Gelembung air mendidih berubah warna menjadi kecoklatan dan menguarkan wangi pandan ke penjuru rumah. Aromanya sudah pasti menggoda siapapun yang menciumnya. Setelah memasukkan potongan labu kuning dan pisang, Minah menuang semangkuk santan kental.
“Nah, selesai,” ucapnya sambil tersenyum puas, “Bang Joni pasti senang sekali.”
Waktu menjelang berbuka sudah dekat. Minah bersiap di meja makan dengan segala hidangan, tak lupa kolak labu kuning dan pisang kesukaan suaminya. Tak lupa ia juga memakai pakaian bagus dan berdandan rapi. Kemudian Minah membuka ponsel lalu mengakses aplikasi enstagram dan mengetik nama suaminya di halaman pencarian.
“Pas sekali,” batinnya bahagia. Sebuah senyuman ikut tersungging di bibirnya yang bergincu merah marun.
“Selamat berbuka Bang Joni. Minah masak kolak kesukaanmu,” ucapnya pada sebuah foto keluarga dengan deskripsi ‘Makan malam bersama keluarga kecilku.’ Sementara itu sang ibu menatapnya prihatin dari seberang meja.
1 note · View note
kikiriana · 2 years
Text
Apresiasi
Tujuh hari menjelang berakhirnya pagelaran 30DWC. Kemarin kami diberikan tantangan untuk menulis tiga hari berturut-turut dengan tema khusus yang telah ditentukan oleh tim. Saat pembagian tema diumumkan, rupanya mengundang reaksi yang beragam.
Hal ini berkaitan dengan salah satu tema yang terasa asing bagi sebagian fighters, terutama di squad saya sendiri. Tema yang cukup menggalaukan khalayak itu terdiri dari satu suku kata, yaitu Gering. Huruf e pada gering dibaca sama seperti huruf e pada seblak. Tema ini diusulkan oleh salah satu Guardian. Beliau sempat mengonfirmasi kata tersebut berarti sakit. Jadi kami yang mendapat tema itu bisa menuliskan segala hal yang berhubungan dengan sakit.
Sejak pagi tadi kami sudah asyik berdiskusi via grup whatsapp. Membahas hal apa saja yang sekiranya bisa dituliskan untuk memenuhi tema hari ini. Kami juga melakukan cek ulang di KBBI tentang arti gering. Diskusi berlangsung seru terlebih setelah saya dan fighter lain yang berasal dari Jawa Tengah, mengaku pernah mendengar arti lain dari gering. Kami di Jawa Tengah menyebut orang kurus dengan sebutan gering.
Sadar akan tema yang dirasa sedikit nyentrik, kami saling memberikan semangat. Jujur saya sempat khawatir anggota squad saya merasa kesulitan. Tetapi ternyata sungguh di luar dugaan. Mereka malah setor tulisan lebih awal dari hari biasanya. Maka dari itu saya memutuskan membuat tulisan ini sebagai apresiasi kepada mereka. Terima kasih ya, kalian hebat. Mari terus berjuang untuk membuat tulisan terbaik sampai hari ketiga puluh.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Jangan Marah Nanti Puasanya Batal
Berpuasa di bulan Ramadan adalah ibadah yang sifatnya wajib bagi kaum muslimin karena termasuk dalam rukun iman ketiga. Hakikat berpuasa sendiri sejatinya adalah menahan diri dari hawa dan nafsu duniawi. Selain itu seorang yang berpuasa juga diharuskan menjauhi segala hal yang dapat membatalkan puasa.
Waktu kecil dulu, saya ingat seorang pernah berkata, “Jangan marah-marah, nanti puasanya batal.” Hal ini tentu saja mengundang rasa penasaran. Apakah benar marah dapat membatalkan puasa?
Menurut hadis riwayat Bukhori nomor 1904 dan Muslim nomor 1151 yang berbunyi, “Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan bahwa marah akan membatalkan puasa. Akan tetapi marah berkaitan dengan hawa nafsu duniawi. Orang yang marah saat bulan Ramadan sudah tentu kurang bisa menahan hawa nafsunya. Meskipun tidak membatalkan, namun dapat mengurangi pahala serta esensi ibadah puasa Ramadan itu sendiri.
Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi potensi marah saat bulan puasa?
Tentu saja kita harus meneguhkan niat ibadah kita. Jika niat kita kuat, insya Allah hati kita akan dilembutkan pula sehingga lebih mudah mengontrol emosi. Tanamkan juga dalam hati bahwa marah adalah salah satu perbuatan yang tidak disenangi Allah. Sehingga apabila kita menghindarinya maka Allah akan rida terhadap ibadah kita.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Puasa Ala Anak Kos
Sejujurnya hari ini saya lumayan bingung mau menulis apa. Sampai akhirnya memutuskan untuk membuat tulisan kali ini yaitu tentang puasa ala anak kos. Saya sendiri sudah menjalani kehidupan sebagai anak kos kurang lebih enam tahun. Satu tahun di kota Yogyakarta, lima tahun di kota Depok.
Berpuasa di rumah dan kos tentu memiliki vibes yang berbeda. Jika biasanya segala urusan berbuka dan sahur sudah ada yang menyiapkan, ketika hidup di kos mau tidak mau semuanya menjadi serba mandiri.
Berdasarkan pengalaman, salah satu hal penting yang harus disiapkan yaitu logistik. Bagi saya, bulan puasa adalah waktu yang tepat untuk berhemat. Jika hari-hari biasa lebih sering pesan makanan online, maka saat bulan puasa saya akan lebih sering memasak.
Saya akan membuat perencanaan menu berbuka dan sahur setiap minggu. Kemudian menyusun daftar belanja bahan-bahan seperti sayur, lauk pauk, dan bumbu-bumbu. Kegiatan ini selalu menjadi hal yang menyenangkan karena bisa sekaligus menghadirkan masakan rumah di kos.
Awal berpuasa di kota Depok memang cukup membuat saya kaget dan kurang berselera makan. Mungkin karena rasa makanan yang sedikit berbeda dengan daerah asal. Selain itu kota ini cenderung sangat ramai dan macet ketika menjelang waktu berbuka. Jadi saya berpikir daripada membeli lebih baik memasak sendiri.
Pokoknya jika urusan logistik ini dirasa sudah aman, maka aman pula kegiatan lainnya. Seperti pepatah, perut kenyang ibadah pun tenang hehehe …
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Alarm Sumbang
Halo, sudah lama kita tidak bertemu. Sepertinya banyak pembaca dengan wajah baru. Baiklah, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Andro dan aku punya majikan bernama Tania. Oke, perkenalan cukup. Kau akan lebih memahami siapa aku nantinya jika mengikuti cerita ini.
Aku ini semacam soulmate untuk Tania, jadi kemana pun ia pergi aku harus ikut. Hampir semua tugasku masuk kategori penting. Tetapi pada cerita kali ini aku akan membahas satu saja yaitu membunyikan alarm.
Tania -majikanku- adalah orang yang gemar bergadang. Demi tidak terlambat melakukan aktivitas maka ia akan membuat daftar alarm yang berbeda menit dan jam. Saat bulan Ramadan seperti ini, alarmnya tentu bertambah juga. Otomatis jam kerjaku ikut bertambah.
Sejauh ini alarmku berhasil membangunkan Tania tepat waktu. Hanya saja kali ini aku sedikit khawatir. Sudah pukul satu dini hari, Tania masih terjaga. Sementara alarm sahur akan berbunyi sekitar dua jam lagi. Tidak biasanya Tania bergadang hingga dini hari. Tania baru tertidur pukul tiga pagi setelah putus asa oleh koneksi yang diam-diam sengaja ku perlambat. Tugasku akan segera dimulai, tiga puluh menit lagi.
Pukul 03.30 adalah alarm pertama. Lima kali berdering, lima kali pula terlewat.
Aku bersiap menyalakan alarm kedua, pukul 04.00. Lima kali berdering, lima kali kembali terlewat.
Aku belum akan menyerah. Pukul 04.15 alarm terakhir, harapan terakhir.
Sia-sia, Tania tidak bergerak sedikit pun. Aku pasrah. Sudah tidak ada lagi pengaturan alarm yang bisa kunyalakan setelah pukul 04.15.
“Imsak! Imsak!” Tania terkejut dan segera membuka matanya. Ia meraihku dari meja, memandangi layarku yang penuh dengan alarm terabaikan. Aku hanya bisa menatapnya prihatin.
“Gawat, aku terlewat sahur,” teriaknya sedetik kemudian.
Kulihat ia berlari menenggak segelas air putih sesaat setelah melemparkan tubuhku begitu saja ke atas kasur. Oh, apakah setelah ini aku akan dijuluki Andro si Alarm Sumbang?
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Gorden Warung Makan
Setiap menjelang Ramadan, ada berbagai tradisi dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Namun dari sekian banyak tradisi yang unik dan beragam, ada satu yang sampai saat ini masih membuat batin saya bertanya.
Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah warung makan yang mendadak bergorden. Entah sejak kapan tradisi warung bergorden ini muncul, tidak ada yang tahu pasti. Hanya saja hal ini masih sering menjadi trending topic terutama di media online. Apalagi beberapa pemerintah daerah bahkan mengeluarkan peraturan khusus mengenai kewajiban warung bergorden saat bulan Ramadan.
Ketika melakukan pencarian dengan kata kunci warung, gorden, dan puasa, saya menemukan berbagai artikel menarik yang ditulis oleh orang berbeda. Isinya kurang lebih sependapat yaitu kontra terhadap fenomena warung bergorden ini.
Alasan kontra para penulis pun beragam. Tetapi semuanya berakhir pada satu pertanyaan dan kesimpulan yang sama yaitu; apakah menutup warung dengan gorden saat puasa membuat ibadah puasa semakin berkualitas?
Jika saya yang diberikan pertanyaan tersebut, saya akan menjawab tidak dan justru akan bertanya balik. Bukankah tujuan berpuasa adalah menahan diri hawa dan nafsu duniawi? Masak hanya gara-gara melihat warung terbuka lantas puasa kamu langsung goyah?
Beberapa orang mengatakan tujuan tradisi gorden tersebut sebagai tindakan toleransi. Tetapi justru malah semakin membuat saya ingin bertanya lagi. Apakah toleransi hanya muncul saat bulan Ramadan? Bagaimana dengan para fakir yang memandangmu makan di warung tanpa gorden saat tidak Ramadan? Sedang engkau tak menggubrisnya sedikitpun.
Ah, saya rasa tulisan kali ini memang penuh dengan pertanyaan.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Hari Ketujuh Belas
Ramadan sudah memasuki hari ketujuh belas. Hanya perasaan saya saja atau waktu yang memang berjalan cepat sekali. Saya tiba-tiba merasa galau. Entah bawaan mood swing akibat sedang menstruasi atau suasana hujan yang mendukung.
Sebelum Ramadan datang, saya selalu memohon agar disampaikan umur untuk menjalaninya. Saya menyusun beberapa rencana yang akan dilakukan di bulan Ramadan. Lantas berjanji dalam hati agar target yang saya tetapkan harus tercapai sehingga membuat Ramadan saya lebih bermakna dari tahun sebelumnya.
Namun, apa yang akhirnya terjadi?
“Saya baru pulang kantor, setelah salat keburu ngantuk.”
“Mau berangkat ke masjid malah hujan deras.”
Lagi-lagi target saya jauh meleset. Jangankan mengkhatamkan Al-Qur’an, salat Tarawih saja bolong-bolong. Kira-kira seperti dialog di atas pembelaan lisan saya. Padahal jauh di dalam hati, saya tahu betul hanya satu alasan sebenarnya yaitu malas.
Saya jadi ingat seseorang pernah berkata bahwa menahan lapar dan haus saat puasa itu mudah, yang sulit adalah meresapi dengan sebenar-benarnya makna Ramadan. Bahwa puasa Ramadan bukan hanya sekedar momen untuk mengosongkan perut, tetapi seharusnya juga menjadi waktu yang tepat untuk meng-upgrade diri.
Sejujurnya saya takut sekali Ramadan tahun ini akan berlalu begitu saja. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya tanpa ada kualitas iman yang bertambah dalam diri saya. Saat ini saya masih mencoba untuk melanjutkan rencana saya. Mudah-mudahan Allah masih memberikan umur dan kesempatan untuk menyelesaikannya di hari-hari terakhir bulan Ramadan ini. Aamiin Allahuma Aamiin.
2 notes · View notes
kikiriana · 2 years
Text
Puasa Tidak Boleh Malas
“Aaah, masih lama sekali,” celetuk Alif.
Jam dinding menunjukkan pukul empat sore ketika Alif lagi-lagi menggerutu. Hari ini adalah hari pertamanya mengikuti puasa penuh. Ia merasa waktu berputar lebih lambat dari hari biasanya.
“Ah kalau begitu Alif mau tidur lagi saja, kan ibadah,” ucap Alif sambil melangkah menuju kamarnya.
Ibu tersenyum mendengar gerutuan Alif. “Puasa itu harus sabar lho, Lif,” kata Ibu.
“Lebih baik Alif melanjutkan hafalan surah,” lanjut Ibu.
“Alif mau tidur saja bu, menghemat energi,” bantah Alif.
Melihat Alif yang hendak beranjak tidur, Ibu pun memiliki sebuah ide. Lalu Ibu mengajak Alif berbincang.
“Alif tahu tidak, kalau bulan Ramadan itu bulan yang istimewa?” Pertanyaan Ibu dijawab anggukan oleh Alif.
“Nah, pada bulan Ramadan juga banyak orang yang berlomba melakukan ibadah terbaik,” lanjut Ibu.
“Kenapa begitu, Bu?” tanya Alif yang mulai tertarik.
“Pada bulan yang istimewa ini, semua ibadah akan berlipat pahalanya. Apakah Alif tidak ingin dapat pahal juga?” tanya Ibu.
“Mau! Mau! Mau!” ujar Alif semangat.
“Kalau begitu Alif bisa membantu ibu mengantarkan makanan takjil ke masjid,” kata Ibu.
Alif langsung bangkit dari kasurnya dan memasang posisi siap.
“Nah, kau sudah mengerti kan Alif kalau berpuasa itu bukan menjadi alasan untuk bermalas-malasan karena banyak pahala di dalamnya,” tukas Ibu.
Alif tidak menggerutu lagi, ia bersemangat memasukkan kotak-kotak berisi makanan takjil dengan riang gembira.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Anak-anak dan Masjid
Kemarin tanpa sengaja saya membaca sebuah artikel. Isinya tentang seorang imam masjid di Turki yang mengajak anak-anak bermain bersama usai salat Tarawih. Ketika membaca komentarnya, saya jadi ingat suatu kejadian ketika adik saya masih kecil.
Dia pernah dipukul oleh seorang imam masjid yang dianggap sesepuh oleh warga desa. Usut punya usut ternyata hal itu terjadi karena beliau tersandung kaki adik saya saat berjalan. Saya yang baru mendengar cerita ini, cukup kaget dibuatnya.
Pasalnya sejauh yang saya tahu, masjid di desa itu tergolong ramah anak. Bahkan ada sebuah taman kanak-kanak yang bangunannya menempel dengan masjid. Saya dan teman-teman dulu kalau bermain ya di area masjid itu.
Saya jadi mengingat kembali waktu masjid itu bisa dikatakan sedang mengalami masa kejayaannya. Hampir setiap sore, semua sudut masjid selalu dipenuhi oleh anak-anak yang belajar mengaji. Pada waktu tertentu juga diadakan pengajian dan lomba-lomba islami anak-anak dari berbagai usia.
Jangan ditanya kalau Ramadan tiba, anak-anak seperti kamilah yang paling semangat memenuhi masjid. Entah mengejar khataman Al-Qur’an atau sekedar menunggu jaburan setelah salat Tarawih. Satu hal yang pasti, tidak ada orang marah-marah karena keriuhan anak-anak itu.
Kembali ke topik artikel tadi. Dari komentar yang saya baca, ternyata cukup banyak yang mengalami hal kurang mengenakkan seperti adik saya. Akibatnya beberapa mengaku trauma untuk ke masjid dengan dalih takut dimarahi.
Seperti artikel pada umumnya, pasti ada yang pro dan kontra. Hal yang menyebabkan kontra adalah pendapat seperti masjid bukan arena bermain, anak-anak sulit diatur serta mengganggu ibadah, dan sebagainya. Menurut opini saya, hal-hal tersebut sebetulnya bisa dikondisikan.
Orang tua atau pengelola masjid dapat merancang kegiatan yang ramah anak seperti mengaji bersama dan berkumpul untuk mendengarkan cerita riwayat nabi. Saat berkumpul inilah, bisa sekaligus diselipkan pemahaman tentang apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan di masjid. Saya rasa usia anak-anak adalah masa yang paling mudah menerima dan menyerap instruksi. Hanya perlu pembiasaan yang rutin dan sabar.
Mengapa hal ini menjadi sesuatu yang penting? Jawabannya mudah, anak-anak inilah yang kelak akan menghidupkan masjid menggantikan generasi kita. Tetapi jika hal ini terus menerus diabaikan, maka jangan heran apabila suatu saat, masjid benar-benar sepi hingga azan pun tak berkumandang. Sungguh saat itulah waktu yang paling berbahaya.
0 notes
kikiriana · 2 years
Text
Hafalan Surah Si Adek
“Pokoknya aku ngga mau ke masjid lagi,” teriak Adik dengan muka cemberut.
Kami baru saja pulang salat Tarawih, ketika tiba-tiba adikku yang berusia tujuh tahun merajuk. Ibu dan Ayah sampai terheran-heran. Padahal biasanya orang yang paling semangat pergi ke masjid adalah si Adek.
“Memangnya kenapa, Dik? Salat di masjid kan banyak pahala,” kata Ibu mencoba membujuk.
“Kata Bondan, Adik tidak boleh salat ke Masjid kalau hanya hafal surah An-Nas,” isak Adik.
Ibu tersenyum. “Kalau begitu Adik mau belajar hafalan dengan Ibu? Tetapi Adik harus tetap pergi ke Masjid ya.” Ajakan itu langsung disambut anggukan berkali-kali oleh Adik.
Begitulah, setiap selesai salat Tarawih dan Subuh Adik melakukan hafalan surah dengan Ibu. Mulanya Adik sangat bersemangat, sampai akhirnya suatu malam kulihat ia menangis tersedu-sedu karena kesulitan menghafal.
“Dek, hafalan surah itu harus sabar. Kakak dulu juga begitu.” Aku mencoba menghibur.
“Kalau nanti Adik hafal sampai surah Al-Kafirun, Ayah akan belikan sepatu baru untuk Adik,” tambah Ayah. Mata Adikku langsung berbinar. Ia bergegas menuju Ibu yang sedang menghangatkan sayur di dapur.
“Bu, ayo kita harus segera berlatih hafalan lagi,” celotehnya, “Ayah akan membelikanku sepatu baru kalau hafal sampai surah Al-Kafirun.”
Ibu tertawa mendengarnya. Ayah hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putra bungsunya itu. Ada-ada saja memang si Adek.
0 notes