Tumgik
#joelian
hermitcraftx · 3 months
Text
joel randomly taking damage and freaking out and going "oh my god, what's shooting me? oh- its BLOOMIN' GRIAN" is so funny. they're so so awful to each other, they love harassing and irritating each other, i love the bad boys, i'm getting fed so well this season <3
1K notes · View notes
chillychive · 3 months
Text
Quick Question: On the ship name "Gribeans", referring to "Grian" and "Joel Smallishbeans"...
(If you are in this fandom, please read it and tell me what you think. Otherwise, hit see results
I recently (two seconds ago) realized that I pronounce it the 2nd way, despite Grian's name being pronounced very differently
42 notes · View notes
077gasoot · 7 months
Text
Tumblr media
whats up gribeans nation
80 notes · View notes
chemdisaster · 2 months
Text
daily joel #79 - was thinking of such a self-indulgent idea today and it involves grian being nice to joel. and also angst,,
Tumblr media
51 notes · View notes
jaemirani · 1 month
Text
Tumblr media
With all his efforts.
Agenda makan siang itu nyaris batal terealisasi kala sang Papa berkali-kali menelponnya untuk datang ke kantor, ada yang perlu dibicarakan, katanya. Tapi syukurlah Salazar punya Mama yang selalu bisa membantu disaat-saat seperti ini. Mamanya berhasil bujuk sang Papa untuk tidak mengganggu Salazar dulu sampai sore nanti. Dan sampai sore nanti, Salazar punya banyak waktu untuk mengobrol bersama Wave di kediamannya.
Usai menjemput Wave pukul setengah dua belas siang, mereka langsung menuju rumah makan untuk realisasikan agenda makan siang yang mereka rencanakan tadi malam. Usainya, Salazar langsung ajak Wave pergi menuju rumahnya. Rumah yang dulu menjadi tempat perpisahan mereka sebelum Salazar berangkat ke Australia.
Rumah itu tak banyak berubah semenjak ditinggal bertahun-tahun dulu oleh pemiliknya. Hanya saja, hangatnya nyaris menghilang. Sudut-sudutnya nyaris beku sebab lebih sering ditinggal oleh pemiliknya dari pagi sampai sore hari. Namun, bagi Salazar, rumah ini jauh lebih baik daripada rumah mereka yang berada di Australia.
Lampu ruang tamu dinyalakan oleh Salazar kala mereka akhirnya berhasil injakan kaki ke dalam rumahnya. Ia lepaskan jaket kulit miliknya, sisakan kaos hitam polos, sebelum akhirnya ia beralih tatap Wave yang berdiri diam didepan pintu.
“Kok diem aja di situ? Sini duduk dulu, nanti aku bikinin minum.”
“Keinget waktu kita kumpul buat latihan drama dulu,” katanya, lantas berjalan menuju sofa setelah lepaskan topi miliknya.
“Iya? Dulu waktu kita latihan drama itu, menurut kamu seru gak?”
“Seru aja, kok. Kenapa?”
Salazar beranjak, pergi ke dapur yang bersebelahan dengan ruang tamu, hanya bersekat dinding tipis tak terlalu lebar. Ia buka kulkas, keluarkan dua kaleng minuman soda, lantas dibawanya menuju Wave di ruang tamu.
“Waktu itu kan aku belum inget sama kamu. Aku lebih banyak diemin kamu selama kita latihan drama itu,” ia berkata, selagi tangan ulurkan satu kaleng minuman kepada Wave.
“Iya, gue sedih banget waktu itu.” Tentu saja kalimat itu Wave lemparkan hanya untuk candaan, sertakan kekehan setelahnya. Dan Salazar pun demikian, walau masih merasa bersalah tentang banyak hal di belakang. Namun, jika diingat-ingat kembali, sedikit lucu bagaimana minimnya interaksi mereka kala itu.
“Mau main ke kamarku gak?” Tanya pemuda tinggi tiba-tiba, buat yang lebih kecil hampir tersedak minuman bersoda di dalam genggaman.
“Hah? Mau ngapain?” Tanyanya.
“Gak ada, sih. Aku mau kasih liat sesuatu ke kamu.” Begitu katanya. Lantas dengan ragu Wave ikuti langkah Salazar menuju kamar miliknya.
Kamar yang terletak di lantai dua, paling ujung ruangannya. Wave cukup kaget sebab ruangan itu ternyata masih sama, tak banyak yang berubah dari terakhir kali ia menginap di sini sebelum Salazar pamit untuk pergi. Mungkin yang berbeda hanya beberapa dekorasi yang sebelumnya tak pernah ada, seperti beberapa poster artis dan film kesukaan si tuan kamar. Warna kamarnya masih monokrom seperti dulu, seperti tak diberi nyawa, namun hangatnya tetap ada.
“Bagus gak kamarku? Waktu pindah ke sini lagi sempet aku rombak dikit.”
Pemuda kecil menoleh sejenak, sebelum akhirnya kembali taruh fokus pada kaca besar yang diletakkan di sudut ruangan. “Iya? Tapi gak terlalu beda, sih, dari kamar lu yang dulu. Cuma warnanya makin suram aja,” katanya, mengundang tawa dari pemuda tinggi yang tengah tutup pintu.
“Padahal udah aku tempel banyak poster biar gak suram-suram banget.”
“But I like the way you arranged the decorations, sih, especially kaca sama tanaman gede itu,” Wave berkata selagi telunjuknya mengarah pada tanaman hias lumayan besar yang Salazar taruh di depan kaca besar. “So it warms up the room,” lanjutnya.
“Kamu suka? Nyaman gak?”
Wave tak tahu pasti apa maksud Salazar tanyakan dua hal itu, namun ia beri anggukan tanpa ragu. Dan Salazar hanya tersenyum, merasa puas atas jawaban lewat anggukan kepala dari Wave Joelian.
Pemuda tinggi kini beralih, capai laci meja belajarnya, lantas keluarkan selembar kertas yang ia lipat rapi. Di samping tempat tidurnya ia berdiri, menghadap Wave yang kini berdiri belakangi kaca besar dalam ruangan.
Ia berdeham, tampak gugup entah mengapa, sebelum akhirnya ia muntahkan kata usai pemuda kecil beri atensi penuh padanya.
“So...Wave, I made a poem for you. Gak tau ini bisa dibilang puisi atau bukan, but I made this for you with all my effort. Tolong didengar sebentar, ya?”
Wave tiba-tiba kebingungan, pun ikut merasa gugup kala Salazar angkat selembar kertas itu di depan dadanya untuk kemudian ia baca.
“10 things I love about you...,” begitu ia mulai puisi itu, matanya sempat curi pandang pada sosok pemuda kecil di hadapannya, sebelum ia lanjut baca selembar kertas dengan senyum tertahan.
“I love your smile, and the way you talk to me.
I love the way you look at me, and how I get caught up in your gaze.
I love the way you laugh, but I hate it when I see you cry.
I love the way you write, and all the poems and letters you write.
I love the shabby paper of your poems, and seeing your neat writing on them.
I love listening to your chatter on the swing in the afternoon, and your wave when I said goodbye.
I love the feeling of missing you even though it makes me sick.
I love the way you hold my hand, and the way you stroke my hair.
I love your spoiled side, and the way you pout and ask for your back to be rubbed.
And mostly I love the way you make me fall in love. I love everything as long as it's you.
From the beginning until now, I love everything about you. Not just 10 or even 100. I love you because it's you.”
Pipi pemuda kecil memerah, sertakan panas dan juga salah tingkah. Sedangkan pemuda tinggi kini tutupi seluruh wajahnya menggunakan selembar kertas puisi di tangannya. Padahal ia sudah siapkan seluruh keberanian dan kepercayaan dirinya untuk lakukan ini dari beberapa hari sebelumnya, namun akhirnya tetap saja ia berakhir malu dan salah tingkah setelah bacakan puisi miliknya.
“Puisinya bagus,” puji Wave setelah berhasil lawan perasaan salah tingkahnya.
Di depan, Salazar mulai singkirkan kertas dari wajahnya. “Serius? Thanks to Kat Stratford for inspiring me to write this poem, i guess.”
Keduanya lantas tertawa.
Salazar maju, kikis jarak antara ia dan Wave. Mereka sempat bersabung mata untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya pemuda tinggi lempar pandangan ke kaca di belakang pemuda kecil.
“Aku pernah janji buat ngenalin kamu ke crush-ku, inget gak?”
Wave sontak menengadah, tatap Salazar di hadapannya. Oh, ya, ia hampir lupa Salazar pernah menjanjikan itu padanya.
“Turn around and see for yourself,” bisiknya selagi sentuh pundak Wave untuk beri isyarat agar pemuda itu segera berbalik.
Lantas kala ia berbalik, yang dilihatnya hanyalah pantulan dirinya serta Salazar yang berdiri di belakangnya sertakan senyum hangat miliknya. “Am I your crush?” Tanyanya, tanpa basa-basi, dan tentu saja hal itu mampu buat pipi serta telinga Salazar menjadi merah.
“You are. And sorry for being annoying all this time, but I tried to tell you about all my feelings for you.” Ia sentuh pundak Wave, meminta atensi pemuda itu agar menghadapnya kali ini. “Kayaknya dulu itu, waktu kita masih sering main bareng, aku udah jatuh cinta sama kamu. Tapi karena masih kecil dan belum ngerti cinta-cintaan, aku anggapnya cuma perasaan suka dan seneng aja. But I swear, I loved it when we kissed—no no! I mean, ga bermaksud cabul, tapi...bener kok.”
Wave tertawa, entah Salazar tengah serius atau tidak sekarang, namun mendengar pemuda itu berbicara perihal ciuman itu lagi membuat ia merasa lucu.
“Kenapa ketawa? Aku lagi confess ke kamu, loh.”
Dengan sisa tawanya, Wave mencoba untuk rangkai kata, sebelum Salazar merajuk dan tak ingin lanjutkan sisa kalimatnya. “Gak bermaksud ketawa, tapi cara kamu confess lucu banget. Puisinya juga bagus banget, thank you for putting all your effort into that poem, ya, Salazar. Aku juga udah suka kamu dari kita SD dulu, tau.”
“Ya udah, ayo pacaran!”
“Hah?”
“Kamu juga udah balik ke setelan pabrik cara ngomongnya. Udah pake aku-kamu lagi, I mean. Berarti kita udah bisa pacaran dong? Mau gak pacaran sama aku?”
Wave sesaat membeku, sedikit tak menyangka akhirnya Salazar akan nyatakan perasaan padanya hingga mengajaknya untuk berpacaran. Dan walaupun dengan sedikit keraguan, pemuda itu akhirnya beri anggukan kepala.
“Mau?”
“Mau. Ayo pacaran.”
Kalakian, tubuh Wave menghilang ditelan dekapan Salazar. Pemuda tinggi tersenyum begitu lebar usai dengar jawaban dari yang lebih kecil. Mungkin merasa lega karena usahanya tak berakhir sia-sia. Dan pemuda kecil ikut salah tingkah di dalam dekapan itu, antara tak percaya apakah semua ini nyata.
Sahabat dari kecil dan sempat terpisah untuk waktu yang cukup lama, mereka berdua tak pernah menyangka akan jatuh cinta lalu berakhir berpacaran. Kiranya, perasaan yang sempat diabaikan sebab diri sendiri belum mengerti perkara hati, sekarang akhirnya temui jawaban atas keresahan selama mereka berpisah.
Salazar lepaskan dekapannya, sentuh kedua pundak Wave dengan lembut selagi mata mereka bersabung satu sama lain. Tangannya bergerak, terus ke atas hingga berhenti pada pipi berisi milik pemuda kecil. Cukup lama ia diam, mengunci netra jelaga milik Wave pada tatapan lembutnya, seolah meminta izin pada sang tuan untuk tindakan yang akan ia lakukan selanjutnya.
Kalakian perlahan, ia kikis jarak, lantas daratkan ciuman di atas bilah bibir milik pemuda kecil. Sejenak ia berhenti, beri waktu untuk keduanya terbiasa. Namun, Wave pejamkan mata dengan gelisah, lantas tiba-tiba dorong pundak Salazar agar menjauh darinya.
“Wave, kenapa?”
Yang lebih kecil menengadah dengan raut wajah tegang serta mata yang berkaca-kaca, “Salaz, aku takut...”
0 notes
wizardcorn3r · 2 years
Note
if ur taking request how about last life joel x grian :D
Tumblr media
this dynamic is rly good tbh
724 notes · View notes
hermitcraftx · 3 months
Text
grian explaining how joel works to xb knowing from the life series is enough to make me want to collapse to my knees and start wailing. god i fucking love gribeans so much holy shit "he's just going to get more desperate xb" "hes so IMPATIENT WHY DID HE RUSH IN" "JOEL YOU KNOW YOU CAN'T TRAP PEOPLE THAT'S WHY I NEED TO BE THERE" this is such a huge fucking win for gribeans enjoyers. if im honest
1K notes · View notes
selarocsworld · 5 years
Text
Tumblr media
Here's Joelian (you can call him Jo).
He's a young man a little eccentric, but under his air of scum, he's someone very intentioned. He's always there to support Jun, his best friend. The latter works in a perfume shop and was beaten by his father when he was young, which left him with a deep trauma. Hardly anyone can put a hand on his shoulder without making him jumping (not to mention the fact that he was beaten once because he's gay).
But let's go back to Joelian:
He also lives in 2030 and he's a model. Actually, he didn't choose this profession, he did it mainly for ease; he's boosted in the middle by his parents (extremely rich and always on a business trip) and it suits everyone. Despite everything, deep inside him, this job and all the constraints that go with it deeply annoy him.
His only motivation to go to work is Lewis, an employee of about fifty years who works in the same agency as Jo (he deals mainly with the administration or cleaning). Indeed, these two were brought to meet each other, and one by one, fell in love despite their age difference (although their relationship is secret). But that's not all; at the same time, Jun confessed to having strong feelings for his friend and one day they had sex together.
After a while, unable to withstand the pressure that his work put on him, and with all the drugs he had taken to keep pace, Joelian found himself underfed and over to the hospital. From there, when nothing else was going for him, Jo finally realized what he really wanted; stop this "fucking job" (as he said), and live happily with Lewis without having to hide him and despite the embarrassment of the latter to go out with a "youngster". As for Jun, things were cleared up with him too.
Like what, this event was a bad thing for a good.
Edit: And by the way, he's redhead ♥
FRENCH VERSION
1 note · View note
pyjamac · 2 years
Text
busted my lip but not in the regular joelian way but by failing to catch a piece of candy in my mouth
6 notes · View notes
077gasoot · 7 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
making my comeback with mcyt yaoi
63 notes · View notes
limadetikcom · 7 years
Text
Dandim Pamekasan Resmi Buka Turnamen Bola Volli Dandaim Cup Ke 7
Dandim Pamekasan Resmi Buka Turnamen Bola Volli Dandaim Cup Ke 7
PAMEKASAN, Limadetik.com – Dandim 0826 Pamekasan Letkol Inf Nuryanto resmi membuka Turnamen Bola Volly Dandim Cup ke VII tahun 2017 dalam rangka memperingati HUT TNI ke 72  bertempat di Lapangan Bola Volly Makodim 0826 Pamekasan. Minggu, (01/10/17) sore.
Upacara pembukaan yang dimulai pukul 15.40 Wib dipimpin oleh Komandan Upacara Kapten Inf Joelian Pasiops Kodim 0826 diawali dengan penghormatan…
View On WordPress
0 notes
abdazizlove · 7 years
Text
Danramil Galis Pamekasan "Sisir" Gabah Petani
Danramil Galis Pamekasan “Sisir” Gabah Petani
MADURAKU.COM – Danramil Galis, Pamekasan, Madura, Jawa Timur Kapten Inf Joelian melakukan penyisiran gabah dengan terjun secara langsung ke lapangan, menemui para petani di wilayah itu.
Danramil membujuk dan memberikan penjelasan kepada para petani melalui pengurus kelompok tani yang ada di wilayah itu, agar bersedia menjual gabah mereka, Senin (20/3/2017).
“Saat ini penyerapan gabah oleh…
View On WordPress
0 notes
808skatehi-blog · 9 years
Video
youtube
(via https://www.youtube.com/watch?v=lwvLn2DBi_k)so rad
1 note · View note
jaemirani · 3 months
Text
Tumblr media
Letters written but never sent.
Bermodal video tutorial dan titah dari sang Mama lewat panggilan video, Salazar berhasil buatkan sup sayur dan nasi merah untuk Wave Joelian. Bermodal internet juga ia pilihkan menu makan siang untuk Wave yang katanya bagus untuk dikonsumsi oleh orang pengidap gerd dan asam lambung. Dan syukurnya, pemuda kecil tak banyak protes saat ia sodorkan menu sederhana yang ia buat dengan penuh usaha. Mungkin karena setiap suapnya akan dihadiahi usapan lembut di kepala, pun apresiasi yang ia bubuhi tak kalah banyaknya dari semangkuk nasi.
Usainya, setelah habiskan makan siang dan lewati banyak konversasi di meja makan, Salazar beri pelukan hangat yang sudah ia janjikan, sertakan juga usapan-usapan lembut dan menenangkan di punggung juga surai. Memangku tubuh yang lebih kecil selagi lengan itu melingkar di sekitar lehernya. Pundak Salazar juga bermain peran, menjadi tumpuan untuk kepala yang dijatuhkan kala kantuk mulai rayapi kelopak mata si kecil dalam pelukan.
Ia tak pernah bubungkan harap akan terjadinya semua peristiwa hari ini. Tak pernah ia berharap akan pangku Wave bak anak koala yang sedang manja, tak pula berharap akan hadapi sisi lain dari teman masa kecilnya. Ia tak kuat. Perasaannya membuncah, meletup-letup saat akhirnya ia dengar Wave sebut dirinya aku dan panggil ia dengan kamu. Padahal sebelumnya juga begitu, saat mereka masih sama-sama dahulu kala sekali, saat jarak belum pisahkan mereka berdua. Namun, entah kenapa, kali ini rasanya berbeda.
Ada desiran aneh yang ia rasa, kala manisnya ucap juga kalimat yang keluar dari bilah bibir yang lebih kecil ditujukan untuk dirinya. Ia ingin asumsikan ini sebagai rasa cinta, namun, rasanya seperti ada yang salah. Ia takut dengan fakta. Ia takut mengetahui bahwa ia pikul rasa itu sendirian, tanpa orang kedua.
Gerakan kecil dari pemuda dalam pelukan lantas buat matanya yang sempat terpejam kembali terbuka. Tangannya yang sempat terhenti beri usapan, kini kembali bekerja, tak ingin pemuda kecil terganggu tidurnya.
“Usapnya jangan berhenti...”
Ah, ia beri protesan.
“Iya, ini diusap lagi.”
Namun, tiba-tiba Wave tegakkan diri, lepaskan kalungan lengan pada leher Salazar. “Aku mau tiduran di kasur aja.”
“Kenapa?”
“Takut, nanti paha kamu kesemutan.”
Pemuda tinggi beri ulasan, “Gak apa-apa, semut gak bakal berani deketin, kok.” Padahal aslinya, paha itu sudah kram dan mati rasa. Namun, pemuda kecil kukuh, lantas langsung tarik diri dari pelukan sang pemuda tinggi.
Selimutnya ditarik untuk kemudian tutupi sebagian diri, kembali pejamkan mata; berusaha temui kembali alam bawah sadarnya. Sedang yang di sana masih sandarkan diri di kepala kasur milik yang tengah tidur, merekam bagaimana pemuda kecil rebahkan diri dengan posisi menghadap tempatnya duduk sekarang.
Lengan, paha, dan dada yang sempat beri dekapan masih sisakan panas, pun degup jantung yang tak normal itu masih bekerja layaknya dipacu dengan kencang. Ia benar-benar tengah jatuh, ya? Jatuh pada teman masa kecilnya. Jatuh cinta, namanya, kalau ia tak salah duga.
Tumblr media
Lembayung senja diluar sana datang mengintip dari celah jendela, kala si pemilik kamar masih pulas dalam tidurnya. Nyawa lain di dalam sana lantas sigap tutup jendela juga tirai untuk halau jingga yang berniat bangunkan pemuda yang masih terbaring di atas kasurnya.
Tak ia sadari sudah seharian ia berada di kediaman Wave, temani putra tunggal Hansen yang tengah sakit. Sampai pukul lima sore pun, sang wanita yang titipkan anaknya pada dirinya belum juga pulang ke rumah, kiranya masih sibuk dengan jam kerjanya.
Setelah cukup lama rekam langit jingga di luar sana, kini matanya beralih pada satu kardus berukuran sedang yang ditaruh di atas meja belajar. Ia bukan orang yang kepoan, namun melihat kardus dengan untaian kata berbunyi “memori kita” di atasnya, buat ia dilanda jutaan ton rasa penasaran. Lantas tanpa pikir panjang, ia dudukkan diri pada kursi, kalakian, dibukanya kotak persegi.
Ia tercekat.
Tumpukan surat dengan kertas yang menguning, juga lembar sisa kertas yang disobek asal; penuhi kotak yang ia buka dengan tangan yang bergetar. Ia temukan beberapa bungkus permen warna-warni di dalam sana, juga satu permen cincin yang masih terbungkus plastik bening.
Diambilnya sebagian surat. Tertulis namanya di sana, dengan alamat rumah yang hanya tertera; Australia. Kalakian, dengan tergesa jemarinya buka amplop yang bungkus satu lembar kertas kekuningan. Terukir banyak kalimat di atas sana, dibubuhkan melalui tinta hitam dengan tulisan tangan tak terlalu rapi. Entah tahun berapa surat ini dibuat, namun yang pasti, itu adalah saat mereka dipisah dengan jarak tiga ribu kilometer lebih.
Tumblr media Tumblr media
Ia sejenak berhenti usai buka dua surat yang secara garis besar, isinya pertanyakan kapan ia kembali. Atur napas yang semakin tak karuan. Ia mana tahu. Ia mana tahu teman masa kecilnya itu juga buatkan ia surat, namun tak pernah dikirim ke tujuan. Ia tak pernah terpikir untuk beri alamat rumahnya di negeri kanguru kala ia pamit pada Wave waktu itu. Ia mana tahu, kepindahannya akan bangkitkan berjuta rasa rindu.
Ia tak pernah tahu, mereka pikul perasaan itu dengan jarak beribu-ribu.
Jemarinya kembali bergerak, sentuh surat-surat lain di dalam sana, dan berakhir ambil dua amplop yang kemudian ia buka. Tulisan di atas lembar kertas itu cukup berbeda dari surat-surat sebelumnya; yang dua ini jauh lebih rapi. Jauh lebih banyak pula kalimat yang ditorehkan di atas sana.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Tangisnya tumpah. Tak tertampung, usai ia baca dua surat terakhir. Ia bagai disiksa. Penyesalan serang dirinya bersama sesak yang berburu.
Ia menyesal tak banyak usaha untuk bisa hubungi Wave saat mereka berpisah, menyesal hanya kalut dalam pikiran buruk bahwa Wave tak menginginkan ia dan pertemanan mereka. Ia menyesal tak cari cara dan malah berpasrah kala kewarasannya hampir dibunuh oleh rasa rindu.
Sesenggukan ia menangis, selagi tangan genggam lembar surat yang hampir basah oleh air mata. Fakta bahwa perkataan Simon tentang Wave, surat, dan puisi-puisinya ternyata benar adanya. Ia seperti menggila, menyesali semuanya, padahal segala sesuatu sekarang sudah baik-baik saja. Namun, ada sisi dalam dirinya yang belum bisa ia maafkan, sebab pernah abaikan Wave dan percaya pada pikiran buruknya.
“Umh, Salaz...”
Rengekan halus itu berasal dari pemuda yang baru saja terjaga dari tidurnya. Menyingkap selimut, lantas tegakkan diri selagi punggung tangan usap mata yang agaknya bengkak usai tidur berjam-jam. Ia berdiri, hampiri Salazar yang duduk belakangi tempat tidurnya. Kalakian, ia berhenti, membeku beberapa sekon usai mata tangkap pemuda tinggi tengah tangisi isi kotak persegi. Sebelum akhirnya, dengan sigap ia sambar kotak serta surat-surat di dalam genggaman Salazar, marah atas lancangnya pemuda itu sentuh sesuatu yang tak seharusnya ia tahu.
Tubuhnya gemetar. Tanpa sadar, ia cengkram surat-surat itu hingga kertasnya berantakan. Ia benar-benar lupa untuk singkirkan kotak itu dari tempat yang mungkin akan tertangkap pandangan Salazar. Ia tak tahu kenapa dirinya setakut ini, ia tak mengerti sama sekali.
“Kenapa diambil? Kamu takut aku baca surat-suratnya?”
Salazar berdiri di hadapan Wave, sisa tangisnya masih ada, pipinya yang basah dibiarkan begitu saja. “Aku udah baca setengahnya.”
Pemuda kecil menengadah, tatap wajah kacau pemuda tinggi. Ia tak tahu, tapi dirinya kesal. “Lu lancang!”
Yang lebih tinggi agaknya tak mengerti kala tatapan tajam miliknya ia lempar, ada nyawa lain yang merasa diintimidasi. Ia tiba-tiba ikut kesal, sesak yang berkali-kali hantam dadanya tak dipedulikan, ia tak bisa kendalikan semua perasaan yang serang dirinya hari ini.
“Kenapa gak kirim semua surat itu ke aku? Kenapa disimpan buat diri sendiri?”
“Alamat lu aja gue gak punya, gimana bisa kirim surat ke lu!”
Ia usap wajahnya dengan kasar, “then at least, biarin aku baca semua suratnya.”
“Enggak!”
Tangan pemuda tinggi terangkat, dengan lancangnya raih kotak dalam dekapan Wave, namun sang pemilik lebih dulu beri dorongan agar ia menjauh.
“Lu tuh sadar gak sih, Sal? Selama ini lu gak pernah usaha buat hubungin gue. Lu gak pernah kirim surat ke gue, padahal lu jelas tau alamat rumah ini.”
“Kata siapa?! Kata siapa gue gak pernah usaha?!” Bentakan itu akhirnya lolos juga. Kiranya, ia benar-benar kesulitan untuk kendalikan semua perasaan yang membuncah.
“Gue selalu coba buat kirim surat ke lu, tapi Papa gak suka. Dia selalu berusaha buat ganti alamatnya, dan akhirnya surat-surat gue gak pernah sampe. Gue udah usaha selama ini, Wave! Gue udah coba cari lu lewat sosmed. Facebook, instagram, twitter, di semua platform udah pernah gue cari, tapi akun lu gak ada! Terus lu masih salahin gue juga?! Kalo lu mau komunikasi kita lancar waktu itu, seharusnya lu juga usaha buat hubungin gue lewat apapun. Tapi ternyata lu, enggak, kan? Usaha lu cuma sampe nulis surat doang!”
BUGH!
Wave daratkan pukulan, tepat pada tulang pipi Salazar. Buat kewarasan pemuda tinggi terkumpul kembali setelah beberapa sekon menghilang. Buat ia tersadar telah bentak dan teriaki Wave hingga buat pemuda itu menangis.
“Lu gak ngerti..! Lu gak pernah tau apa aja yang gue lewati selama ini!”
Perasaan Salazar mencelos. Melihat bagaimana Wave menangis karena perkataannya; hal yang tak akan pernah bisa dimaafkan oleh dirinya sendiri. Ia bak orang gila, diselimuti amarah atas rasa sesal yang dirasa, dan dengan bodohnya ia malah limpahkan semuanya kepada pemuda yang presensinya sungguh ia jaga untuk tak lagi dibuat terluka.
Ia sungguh sudah gila.
“It was all my fault. Aku gak bermaksud buat bentak-bentak kamu, Wave, maaf...” Ditangkupnya pipi berisi itu, diberi usapan lembut kala pemuda kecil ingin berontak. Tatapan keduanya bertemu, bersabung lama dengan sisa-sisa bulir jernih di ujung mata. Sebelum akhirnya pemuda tinggi muntahkan untaian bunyi bahasa dengan sangat lembutnya.
“Aku emang gak pernah tau semuanya, Wave, aku clueless soal semuanya semenjak kita pisah. Aku pengen tau semuanya dari sudut pandang kamu, aku pengen tau apa yang bikin kita gak pernah bisa komunikasi selama enam tahun itu.”
Pemuda kecil tak beri protesan, kiranya usapan di pipi itu berhasil tenangkannya yang juga sempat dikuasai amarah tak berarti.
“So, please, tell me everything. Aku perlu tau, aku gak mau kita terus-terusan salah paham. Ceritain semuanya, ya? Pelan-pelan aja. Apapun itu, aku gak akan hakimi kamu.”
Lantas kala pemuda di hadapannya beri anggukan, ia ulas senyuman, sertakan usapan lembut di pipi pemuda kecil. Kembali beri nyawa atas hilangnya sejenak akal sehat mereka berdua.
0 notes
hermitcraftx · 4 months
Text
joel: where do we get another pig from?
grian: 😍😳 THE ⭐️🤩🧚‍♂️ WILDERNESS 💫💫💫💃💃🕺
1K notes · View notes
hermitcraftx · 2 months
Text
you know with grian having a tie for his permit office outfit it would only be right for someone to use it to angrily pull him closer while they demand he does his job
792 notes · View notes