Tumgik
khoridohidayat · 1 month
Text
Pancaran Iman
Satu hal yang akhir ini baru masuk ke kesadaranku adalah bahwa ternyata, iman itu memancar. 
Pernah tidak bertemu dengan orang yang dilihat itu menenangkan dan damai. Berbicara dengan dia seperti ada aura tenang yang hadir dan semua obrolannya baik tak ada ghibah sedikitpun. Namun, ketika kamu beranjak ke orang lain, tiba-tiba rasa tenang itupun hilang. 
Aku punya satu teman. Dia adalah orang yang taat dalam beragama. Karena ketaatannya itu, kadang aku malu jika minum sambil berdiri ketika ada orang itu. Padahal ia tak pernah menasihati apapun tentang adab makan dan minum. Aneh ya. Tapi memang begitu, iman itu memancar.
Aku jadi teringat kehidupan kos kosanku di Semarang. Di kosan itu, aku termasuk orang yang cukup sering ke masjid ketika adzan berkumandang. Memang sudah kebiasaan dari SMA ketika adzan ya shalat di masjid. Suatu hari, tetangga kamar ku memanggil ketika aku hendak berangkat shalat.
“Rido, tunggu.” Dia memanggilku kemudian pergi ke pojokan kamarnya dan mengambil peci. “Aku mau berangkat ke Masjid bareng kamu.” lanjutnya
Aku kaget karena dia tumbenan banget mau ke Masjid. wkwk. Karena biasanya ya dia shalat dikosan dengan kaos dan sarung seadanya.
Aku tak pernah sedikitpun mengkritik orang itu karena tak pernah ke masjid. Aku hanya setiap hari, lima kali dalam satu hari, melewati kamar dia untuk ke masjid. Dan terkadang mampir ke kamarnya sepulang dari masjid untuk bercerita dan merebahkan badan. Ternyata memang betul, iman itu memancar. 
Orang yang beriman akan nyambung ketika berkomunikasi dengan orang yang beriman pula. Mereka seperti mempunyai satu sinyal yang cocok untuk mendengarkan cerita. Mereka seperti seorang sahabat yang baru bisa berjumpa lagi setelah lama berpisah. Padahal belum pernah berjumpa.
Seperti radio, kamu tak bisa memaksakan obrolan jika memang sinyalnya berbeda. Pasti suaranya tak nyaman jika pancaran imannya berbeda.
Manusia di bumi itu memang banyak, sangatt banyak. Tapi orang yang satu frekuensi iman denganmu-lah yang perlu kamu masukkan kedalam circle pertemananmu.
Semoga, kita selalu dipertemukan dengan orang-orang yang beriman. Dan, jika telah bertemu, jangan dilepaskan!
42 notes · View notes
khoridohidayat · 8 months
Text
Aku ingin menjadi ayah yang tenang. Ayah yang tak memarahi anak jika dia berbuat salah. Kepala rumah tangga yang tak diktator kepada partner berumah tangganya. 
Aku ingin menjadi ayah yang teduh. Seseorang yang selalu dirindukan pulang oleh anak dan istri. Ayah yang membuat anak-anak bahagia jika mendengar suara tepak kakiku di pintu rumah. Ayah yang dengan kehadiranku, rumah menjadi terasa lebih hangat dan dan menyenangkan. Bukan malah menjadi tegang karena selalu mengkritisi apa yang ada disekitarnya.
Aku ingin menjadi ayah yang bisa berperan sebagai sahabat. Ayah yang selalu bisa mengedepankan diskusi jika ada masalah. Bukan selalu mencari siapa yang benar dan salah.
Semoga kamu juga ingin menjadi ayah yang seperti itu.
192 notes · View notes
khoridohidayat · 8 months
Text
Kamu tak perlu menurunkan standarmu agar ada satu orang yang mendekat kepadamu.
Kamu tak perlu menggunakan banyak topeng hanya agar terlihat menarik bagi orang lain.
Kamu hanya perlu menjadi diri sendiri dan terus meningkatkan kualitasmu. Biarkan dirimu ditemukan oleh orang yang tepat, yang jatuh cinta karena pemikiran dan rencana-rencana besarmu.
301 notes · View notes
khoridohidayat · 9 months
Text
Menikah itu nilainya setengah dari agama. Apabila ia dijemput dengan cara yang kotor, maka akan terkotorilah semua agamamu pula. Oleh karenanya, jemputlah ia dengan cara yang baik. Jalan yang memang Allah sudah memberikan batasan-batasannya.
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka dari itu, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.”
HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
163 notes · View notes
khoridohidayat · 10 months
Text
Semakin lama, circle pertemananmu akan menyempit. Tapi satu yang harus diketahui, bahwa tanpa sadar kamu juga menemukan circle pertemananmu yang baru.
Adalah hal yang sangat wajar kalau kita mulai merasa bahwa sahabatmu yang dahulu dekat menjadi seakan menjauh. Bukan karena mereka jahat. Bukan karena kamu ngga penting. Itu semua karena masing-masing dari kita bertumbuh, maka prioritas kita juga akan berubah.
Dulu, main ke pantai gunung atau ke mall mungkin adalah hal yang menyenangkan. Tapi hari ini, weekend adalah hal yang yang berharga untuk beristirahat dan scrolling social media. Pada akhirnya, kita menikmati waktu dalam kesendirian kita.
Makin lama, tak sadar kamu dan mereka saling menarik diri, dan akhirnya menemukan orang baru yang satu ritme obrolan denganmu.
Kamu dan temanmu hidup di waktu yang sama, tapi dengan eksposure pengalaman yang berbeda. Dan itu membuat kalian berubah dengan takarannya masing-masing.
23 notes · View notes
khoridohidayat · 10 months
Text
Makin dewasa, harusnya kita makin males buat ngomentarin orang lain.
Energi udah mulai turun, kerjaan cukup menumpuk. Harusnya dua alasan itu udah cukup buat kita untuk fokus ke diri sendiri. Lagian, setiap orang punya prioritasnya masing-masing.
Mereka yang sukanya masih jalan-jalan ya mungkin karena emang belum prioritasnya nabung buat beli rumah. Mereka yang sukanya menarik diri mungkin ya karena emang lebih suka dengan kesendirian.
Satu yang penting adalah, kita mencoba untuk selalu menawarkan bantuan. Kali aja mereka butuh telinga kita buat mendengarkan kisah mereka yang sedang gapapa. Sisanya, kita fokus ke diri sendiri.
Your life matters much more than others'.
34 notes · View notes
khoridohidayat · 10 months
Text
Ada Takarannya
Kalau dipikir-pikir, semua hal baik itu tak lagi menjadi baik kalau dosisnya berlebihan.
Perfeksionis itu bagus. Dia akan membantu memastikan pekerjaan kita selesai secara bagus dan sempurna. Tapi jika melampaui takaran, perfeksionis justru menarik kita kepada tak menghasilkan apa-apa. Ingin memulai ini takut kurang. Ingin memulai itu takut dikritik.
Begitu pula dengan peduli. Memberikan atensi pada suatu masalah memanglah hal yangbagus. Tapi terlalu memperdulikan pilihan dan omongan orang lain justu akan membuat kita menjadi berat memikul omongan mereka.
Maka, bijaklah dalam memberikan takaran. Agar apa yang kita perhatikan memang sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan.
11 notes · View notes
khoridohidayat · 11 months
Text
Aku mendoakan agar kamu segera menemukan cinta yang menerimamu apa adanya.
Cinta yang tak mempermasalahkan dengan bunyi mengorokmu ketika tidur. Cinta yang bisa menertawakan ketika melihat angka timbangan badanmu yang terus bertambah. Cinta yang menerima sifatmu yang selalu lupa dimana tiket parkir yang baru saja kamu pegang. Dan semoga kamu juga segera menemukan cinta yang maklum dengan suara token listrikmu, yang sering berbunyi ketika kamu sedang ingin bermesra-mesraan dengannya.
Walaupun agak aneh, tapi semoga kau segera menemukannya!
28 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Jika ingin pergi, lakukanlah saja.
Jangan mempertahankan lingkungan toxic hanya karena tak enak meninggalkan mereka.
Yakinlah, ketika kamu meniggalkannya, minggu depan mereka juga sudah menemukan teman baru.
Hidupmu lebih penting untuk kau urusi sendiri.
Jangan menjadi people pleasure.
---
13 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Singgah atau Menetap
Banyak orang datang dan pergi. Beberapa bisa masuk ke kehidupanku. Tetapi lebih banyak yang hanya singgah, kemudian kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Aku tak mempermasalahkan itu, barangkali aku juga pernah menjadi tamu yang kurang sopan di kehidupan orang lain. Maafkan, jika aku pernah seperti itu.
Tapi aku bersyukur bisa menjalani hidup ini dan bertemu dengan kalian. Dan kabar bahagianya, aku tak mempermasalahkan engkau akan tetap berada di hidupku atau tidak. Karena aku juga tak menggantungkan kebahagiaan kepadamu. Aku, hanya menautkan cinta kepada diriku sendiri.
Selamat berteman denganku, semoga kamu mendapatkan kebaikan dariku.
31 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Apa arti cinta? 
Apakah cinta harus saling memiliki? Atau cukup merelakan dia bahagia dengan yang lain? 
Karena, kalau boleh jujur, bahagianya memang bukan aku.
Lalu, mengapa aku terus mengekang dia untuk mencintaiku?
Setelah lamaranku ditolak kemudian melihat pernikahan Fathia, aku fokus mengejar S3. Aku tak peduli orang bilang aku apa. Apakah orang bilang bahwa aku mencari gelar doktor untuk pelarian atau apa. Aku tak peduli. Mereka tak tahu lukaku, kenapa aku harus memperhatikan dia.
Hidupku sudah dimulai seperti baru lagi. Aku bertemu dengan orang orang baru, dan tentunya Syifa yang memang sedang melanjutkan pendidikan S2 nya di Bristol, Inggris bersama suaminya. Dia turut sedih dengan peristiwa yg menimpaku. dia tahu apa yg terjadi.
Hingga saat ini sebetulnya aku juga tak percaya mengapa Fathia begitu cepat melupakanku. seminggu setelah ayahnya menolakku, dia menyebarkan undangannya. Padahal baru beberapa pekan yang lalu, kami berdiskusi hangat mengenai beberapa topik taaruf yang harus dibereskan, seperti model keluarga yang akan dibangu dan visi misinya.
Namun malang bukan kepalang, lamaranku harus berhenti karena tak mendapatkan restu ayahnya. Dia memandang bahwa tak pantas lelaki sepertiku bersanding dengan Fathia yang sudah dirawat dengan penuh kasih sayang dan pendidikan yang terbaik. Tak cocok jika keluarga miskinku bersanding dengan dia yang terlahir sudah kaya raya dan mendapatkan makanan terbaik, pendidikan terbaik, dan lingkungan yang terbaik. 
Aku telah bertekad melupakannya. Tak elok bagi seorang lelaki terhanyut dalam kesedihan terlalu lama. Kini aku telah mempunyai banyak teman baru di Inggris. Aku juga harus mulai fokus dengan studi PhD ku di London. Aku harus mendapatkan nilai yang bagus dan aktif di perhimpunan pelajar. Karena dengan dua hal inilah aku bisa melebarkan kesempatanku untuk berjejaring dengan banyak orang.
Urusan menikah? Aku berdoa semoga tahun ini aku bisa menikah. Jika memang berjodoh, sepertinya aku akan menikah dengan Nurul, mahasiswa master di UCL yang akhir ini banyak membantuku terkait penelitian di departemenku. Dia anak yang tak kalah cerdas, cantik, dan juga alim. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata dia juga satu almamater SMA ketika kami masih sama-sama di Darul Ulum, Jombang. Tak heran bahasa Inggris dan Arabnya sangat mahir. Ibu juga sudah menyetujui tentang ini, bahkan ternyata Ibunya Nurul juga kawan lama Ibuku ketika masih aktif di Muslimat Jawa Timur, sepuluh tahun yang lalu. Betapa bungahnya ibuku ketika tahu bahwa Nurul telah tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Aku harus fokus mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk undangan dan tiket pulang ke Indonesia. Insyaallah sembilan hari lagi kami berdua akan mengambil summer break untuk pulang ke kampung halaman dan menikah.
“Apa ndak terlalu buru-buru Dhe?” Kata Syifa diikuti beberapa pertanyaan selanjutnya dari Mas Fahmi, suami Syifa. 
“Sepertinya tidak. Sudah dipikirkan matang-matang. Ibu juga sudah setuju, tabungan juga sudah ada. Hukum menikah di kasus saya sudah naik dari sunnah menjadi wajib.” Jawabku lugas.
“Begitu ya. Ya sudah. Oh iya, ini ada titipan surat dari Fathia untukmu. Dia menitipkan surat untukmu minggu lalu ketika kami pulang ke Indonesia dua minggu lalu. Terimakasih sudah jauh-jauh silaturahmi ke Bristol.” Syifa menyodorkan amplop putih bersih yang berisi surat dari Fathia kearahku.
“Terimakasih Kak, akan aku baca nanti di perjalanan. Saya ijin pamit ya Syifa, Mas Fahmi.” 
“Iya, hati-hati. Kabari kalau sudah sampai di London. Titip salam untuk Nurul ya.”
Aku membalikkan badan berpamitan kepada mereka. Beruntung kereta menuju Bristol belum berangkat. Aku bergegeas masuk ke gerbong lima dan duduk di samping jendela. Melelahkan juga ternyata perjalanan dari London ke kota ini. Aku meletakkan barang-barangku di bagasi atas, dan tak lupa mengambil surat dari Fathia. Aku cukup penasaran dengan isinya, walaupun tak cukup membuatku bergairah.
Assalamualaikum Mas 
Aku tahu bahwa lancang sekali aku mengirimkan surat ini kepadamu. Tapi aku tak tahu lagi kepada siapa aku harus bercerita. Sudah satu tahun aku menikah dengan Aldika tetapi kami tak mendapatkan banyak kecocokan dalam berkeluarga. Rumah kami yang besar tak berasa seperti rumah yang bisa dijadikan tempat kembali. Entah sudah beberapa kali tangan dia melayang ke pipiku hingga memerah. Umpatan dia adalah makanan sehari-hariku sebagai istrinya, Mas. 
Sebetulnya aku tak terlalu masalah dengan dua hal itu. Tapi, aku betul-betul naik darah ketika aku tahu bahwa dia adalah orang yang menyukai sesama jenis Mas. Sampai sekarang aku tak pernah disentuhnya dan menggenapkan diri menjadi seorang istri. Justru, beberapa kali malah dia berani membawa teman prianya untuk bermain di kamar kami. Aku hanya bisa menangis melihat keadaan ini. Betapa malang perempuan seperti diriku yang telah menolak lamaran pria yang meratukan wanita, kemudian justru menerima pinangan seseorang yang bejat akal dan perilakunya. 
Abi sudah tahu tentang ini, dia bahkan betul-betul marah kepada Aldika ketika tahu bahwa dia adalah seorang gay. Aku beruntung masih mempunyai Abi yang mendukung. Pekan lalu, kami sudah mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. 
Meskipun begitu, aku masih takut Mas. Terkadang lelaki bejat itu masih mengintaiku dari belakang. Dia juga sering mengirimkan teror bahwa dia ingin menjamin aku dan keturunanku tak akan bahagia selama-lamanya. Oleh karena itu, apakah Mas bersedia melindungiku? Aku ingin meminta perlindungan darimu karena kamulah orang yang bisa membuatku merasa aman. Ilmu matang psikologi klinismu pasti juga akan banyak membantu aku untuk keluar dari episode traumatis ini. 
Maaf jika aku lancang, apakah Mas mau menikahiku dan memulai hidup baru di Inggris? Aku bersedia menemanimu hingga selesai program PhD mu di UCL. Aku juga mempunyai senior lulusan FK UI yang juga sedang belajar disana. Mungkin ini bisa juga menjadi jalanku untuk melanjutkan pendidikan Master of Clinical Medicine di Oxford University. 
Aku sangat memohon kepadamu seperti seorang fakir yang memohon kepada tuannya. Tolong selamatkan aku. Aku tak mau hidup dalam bayang-bayang lelaki bejat itu dan hidup dalam luka trauma masa lalu. Maafkan aku jika terlalu lancang.
Hormat saya.
Fathia
---
Aku meneteskan mata membaca kalimat demi kalimat yang dia tulis. Tak sadar ternyata aku juga masih sayang kepadanya. Siapa gerangan orang yang tak mau dengan perempuan yang cerdas, baik hati, dan mapan secara ekonomi? Jujur hingga saat inipun aku masih belum bisa melupakanmu, Fathia. 
Sebentar, akan aku usahakan barangkali aku bisa membatalkan rencana pernikahanku dengan Nurul. Aku akan berdiskusi dengan Ibu mengenai ini. Tunggu Fathia, semoga kau baik-baik saja disana. Aku tak tega melihat wanita sebaik dirimu disia-siakan oleh orang yang bejat akhlaknya.
**
“Saya terima nikah dan kawinnya Fathin Nurul Adilah binti Adichandra dengan mahar seperangkat alat shalat, dibayar tunai.”
“Sahh! Alhamdulillah” 
Sorak sorai tamu undangan mengucap syukur atas lancarnya proses pernikahanku dengan Nurul. Aku melihat ibu sangat bahagia dengan sahnya hubungan kami secara syariat Islam. Teman-teman kami dari Darul Ulum juga datang silih berganti bertamu di pesta pernikahan kami. 
Di belakang kursi tamu, aku juga melihat Fathia datang bersama Ayah dan Ibunya. Tak dinyana, ternyata anak petani kecil dari Gresik ini sudah tumbuh dewasa dan sedang melanjutkan pendidikan tertingginya di salah satu kampus terbaik dunia. Plus, istrinya juga merupakan seorang yang cerdas dan aktif mengurusi ekonomi inklusif di Indonesia. 
Aku telah matang untuk menutup masa laluku. Tak mungkin aku membatalkan pernikahanku hanya karena Fathia. Walaupun jujur, ketika itu aku masih ada rasa kepadanya. Namun setelah aku sowan ke Abah Kyaiku di Darul Ulum, beliau memberiku nasihat bahwa cinta itu seharusnya diberikan secara utuh setelah menikah. Bukan kepada mereka sebelum aku menikah. Cinta bisa diraih dengan usaha, walaupun pasti tak akan mudah. Tak ada ibadah yang mudah di dunia ini. 
Aku telah tekad untuk beribadah dengan Nurul, membangun keluarga yang penuh kasih dan sayang bersamanya. Dia adalah perempuan baik dan cerdas yang pernah aku temui. Abah Kyaiku juga menyampaikan bahwa dia adalah seorang Hafidzah yang tak pernah menunjukkan dirinya bahwa dia hafal Quran. Betapa bahagianya aku mendapatkan seorang istri penghafal Quran. Itu adalah doa yang pernah selalu aku langitkan ketika masih menyelesaikan tesisku di Universitas Indonesia. Aku telah bertekad untuk menutup halaman lamaku, maaf aku tak bisa membantu sesuai dengan apa yang kamu mau, Fathia. Semoga kelak kamu akan dipertemukan dengan orang yang baik akhlak dan agamanya.
“Mas” Nurul memanggilku bisik-bisik
“Iya Dhe?”
“Terimakasih ya telah memilihku. Semoga aku bisa menjadi istri yang berbakti kepadamu sepenuhnya” Dia melanjutkan.
“Sama-sama, istriku. Setelah ini, kita harus kembali lagi ke Inggris dan berkutat dengan pekerjaan kampus. Oh ya, siapkan juga proposal doktoralmu. Sepertinya aku bisa mencarikanmu promotor untuk PhD mu di London. Kita bangun keluarga yang baik secara dunia dan akhirat ya.” Jawabku penuh hangat kepadanya.
“Siap Pak Bos!” Jawab dia lucu. Seperti anak kecil yang sedang diperintah gurunya untuk membelikannya jajan.
Selesai (6/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 6
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
23 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Jika tak berjodoh, mengapa kita harus dipertemukan? 
Aku tahu bahwa setiap pertemuan pasti membawa ibrah yang bisa kita resapi. Tapi terkadang aku berfikir mengapa kita harus dipertemukan jika memang tak berjodoh? 
Aku tak mungkin mengatakan bahwa Allah sedang mempermainkan aku dengan mempertemukanmu kemudian memisahkannya. Tak mungkin Allah yang Maha Rahiim bertindak seperti itu kepada hambanya. Namun, aku hanya terus bertanya kepada diriku, mengapa aku harus dipertemukan kemudian berpisah denganmu?
Pasca kejadian di cafe itu bersama Fathia dan Syifa, duniaku seakan-akan betul runtuh. Harapanku untuk menikah dengan Fathia telah pupus sudah. Aku tak mendapat restu dari orangtuanya. Aku dan Fathia sebetulnya sama-sama saling suka. Oleh karena itulah, sejak beberapa bulan yang lalu aku meminta Syifa untuk menjadi perantaraku untuk mengutarakan maksudku untuk serius dengannya. 
Aku ingat sebuah Hadits bahwa jika kita mempunyai niatan yang baik, niscaya Tuhan akan memudahkannya. Maka dengan modal dasar tersebut, dan dengan proses tesisku yang sudah hampir selesai, aku memberanikan diri untuk menyampaikan maksud tersebut. Tapi tak dinyana, ternyata niatan baik itu ditolak karena beberapa alasan.
“Sebetulnya aku tak enak menyampaikan ini secara langsung, apa kamu tidak apa-apa?” Tanya Fathia polos kepadaku.
“Ya tak apa. Alasan yang jelas namun pahit akan lebih baik daripada alasan yang manis tetapi tak mendasar” Jawabku.
“Sebetulnya Abi cocok saja dengan niatmu datang untuk mengajakku menjalin hubungan yang lebih serius. Tetapi sepertinya masalahnya adalah . . .” 
Fathia memotong sebentar perkataannya. Sepertinya dia sedang memberikan aku kesempatan untuk mencerna bahwa kalimat setelah ini adalah poin utamanya. Namun sepertinya aku sudah bisa menebak.
“Masalah ekonomi?” Kataku menyerobot.
“Emm, iya, Mas.” Fathia menjawab dengan tergagap.
Aku sudah menduganya. Ayah Fathia memang orang yang terpandang di lingkungannya. Beliau adalah seorang pengusaha tambang di daerahnya. Aku pernah mendapatkan cerita sedikit dari Fathia bahwa ayahnya dulu adalah seseorang yang tak mampu, kemudian karena kerja keras dan keteguhannya membangun bisnis, sekarang dia berhasil memimpin perusahaannya menjadi salah satu perusahaan tambang yang cukup stabil, walaupun tak begitu besar. Namun nampaknya kamu pun tahu, keuntungan tak seberapa dari usaha tambang sudahlah sangat cukup untuk menghidupi anak dan istrinya dengan penghidupan yang nyaman.
Sebetulnya ini juga menjadi issue-ku ketika datang ke rumah Fathia. Tempat tinggal dia bak rumah yang sering menjadi tempat film-film klasik Indonesia. Rumahnya besar dengan gerbang yang megah, tak lupa juga ada satu satpam penjaga dirumahnya karena beberapa aktivitas bisnis seperti rapat juga terkadang dilakukan dirumah Fathia. Hunian yang bergaya klasik ini mempunyai empat pilar besar menjulang ke atas lantai dua. Lantainya terbuat dari marmer, dan juga dilengkapi dengan karpet merah khas hotel bintang lima yang pernah aku kunjungi di daerah Sudirman. 
Rumah yang sangat kontras dengan gubuk sederhana kami di Gresik, Jawa Timur. Tempat tinggal kami sangat sederhana. Hanya satu balok rumah yang dibagi menjadi beberapa bagian. Dua kamar, satu ruang tamu dan ruang makan, dan satu lagi adalah toilet. Rumah Ibu dirumah juga baru saja direnovasi menjadi bangunan yang cukup lama atas bantuan pemerintah, itu pun atas hasil negosiasi yang aku lakukan kepada kepala desa selama dua tahun lamanya. Agak miris, tapi memang begitu adanya. 
Rumah kami, entah apakah layak disebut rumah jika dilihat dari bangunannya. Karena jika musim hujan tiba, tak jarang kami sekeluarga juga harus bergegas mengambil ember-ember kecil bekas cat tembok untuk diletakkan di lantai yang basah karena bocor. Jangan kau bayangkan ember itu hanya ada satu atau dua di tengah ruangan. Kami pernah menghitung, setidaknya ada sembilan titik bocor di rumah kami, sehingga, mau tak mau, ketika hujan lebat tiba, aku, ibu dan adik langsung berubah menjadi pemburu ember untuk diletakkan di titik dimana kebocoran terjadi. 
Memang kami berdua, aku dan Fathia adalah dua insan yang berbeda latar belakang tetapi anehnya kami selalu nyambung ketika berkomunikasi. Bukankah kunci keberhasilan suatu hubungan berada di komunikasinya? 
“Maaf ya Mas, tapi memang begitu adanya jawaban dari Abi.” Kata Fathia lirih.
“Ya nggak apa-apa, Fathia. Berarti memang bukan jodohnya.”
“Terus rencana Mas kedepan gimana?” Tanyanya kembali
“Mungkin aku akan melanjutkan prosesku untuk mengejar beasiswa S3 di UCL London mengambil fokus di clinical child psychology.” Jawabku datar.
“Wahh di London? Bakalan seru tuhh. Andai aja ya Abi merestui pasti aku bisa menemin kamu PhD disana.” Jawab Fathia cukup kegirangan.
“Hush, jangan ngomong gitu. Aku tak ingin memikirkan pernikahan lagi akhir ini. Aku ingin istirahat. Doaku yang dulu aku sampaikan kepadamu perlu aku ganti, yaitu agar kita menemukan seseorang yang cocok, kemudian bisa membangun keluarga masing-masing yang kuat dan berpendidikan tinggi.” 
Aku menjawab respon Fathia dengan diplomatis. Sebetulnya didalam hati, jika aku boleh mengatakan, ya memang mungkin akan sangat seru jika aku dan dia bisa tinggal di London selama 4 tahun sambil menyelesaikan PhD ku disana. Kami bisa mengelilingi bumi Allah yang indah dan fokus memberikan pendidikan terbaik untuk anak di Inggris. Tapi malang bukan kepalang, taaruf kami berhenti di tahap ini. Aku hanya ingin berdoa padanya, semoga dia bisa dipertemukan dengan lelaki yang bertanggung jawab.
“Oh ya Mas, ini ada titipan dari Abi, untukmu.” Perempuan teduh itu berkata sambil menyodorkan satu kertas seukuran undangan.
“Oh apa ini?” Jawabku. Aku mengambil kertas seperti undangan tersebut, dan membukanya secara perlahan. Gila. Ini adalah undangan nikah. Tapi siapa yang akan menikah? Sahabat Fathia? Aku membaca satu per satu informasi yang ada, dan menemukan tulisan “kami yang berbahagia, Fathia dan Aldika”.
“KAMU MAU MENIKAH?” Tanyaku keheranan.
Dia hanya diam, sesekali memandang ke arahku, kemudian membuangnya lagi.
“Tapi, kenapa secepat ini, Fathia? Baru kemarin kita melakukan proses ta'aruf, kemudian hasilnya ternyata aku tak berjodoh denganmu. Tak mungkin ketika proses ta'aruf kemarin kau juga sedang menjalin hubungan dengan yang lain. Aku tahu kau tak seberani itu melanggar kesucian taaruf. Mengotori proses taaruf sama saja mengotori agamamu sendiri, Fathia. Tapi kenapa secepat ini?” Aku mulai tak bisa mengontrol diri. Betapa tidak, wanita yang aku kenal baik-baik menjadi seperti orang yang asing. Dia bukan seperti Fathia yang aku kenal dahulu.
“Maaf Mas, aku hanya menyampaikan pesan Abi. Aku tak berhak menjawab. Saya ijin pamit.” Fathia menjawab pelan dengan menundukkan kepalanya. Dia nampaknya telah berubah, dia bukan Fathia lagi, dia adalah orang yang asing.
Bersambung
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 5
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
37 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 4
Setelah drama menyampaikan gagasan dengan nuansa sidang tesis pekan lalu, aku semakin harap-harap cemas dengan hasilnya. Apakah ayah Fathia mau menerima lamaranku atau tidak. Jika aku lihat kemarin, sepertinya sih ayahnya oke oke saja dengan kehadiranku. Bahkan ketika aku ditanya beberapa alasan mendasar mengapa ingin menikahi Fathia, aku bisa menjelaskan alasannya dengan baik juga. Syukur alhamdulillah.
Tapi entah kenapa tetap saja ada rasa was-was. Bagaimana jika aku tak diterima, bagaimana jika ada syarat yang harus aku penuhi dan mustahil aku lakukan. Misalnya aku harus mempunyai penghasilan dua digit baru bisa menikahi orang yang aku cintai. Tapi ya sudahlah. Yang jelas aku sudah memberikan yang terbaik untuk diriku sendiri. 
Hari ini, aku sedang menunggu Fathia di cafe tempat kita biasanya rapat organisasi di Universitas Indonesia. Dulu, aku ingat sekali ketika kami sudah selesai rapat BEM UI, pasti kami mampir disini untuk melepas penat dan mengevaluasi beberapa divisi yang tadi tak terbahas. Aku beruntung sekali bisa bertemu Fathia ketika pertukaran pelajar di UI. Aku yang sedang belajar psikologi di Universitas Brawijaya mendaftarkan diri untuk exchange ke UI. Bukan tanpa alasan, UI adalah salah satu universitas terbaik di bidang psikologi.
Di waktu pertukaran pelajar yang singkat itu, aku memanfaatkan waktu untuk bergabung di beberapa organisasi di kampus ini. Salah satunya BEM, yang kemudian ini menjadi momen aku bertemu Fathia, anak fakultas kedokteran yang cerdas dan rendah hati. 
Sebetulnya aku sudah memiliki rasa padanya sejak kami awal-awal bertemu. Aku kagum dengan pribadinya yang sopan, rendah hati, dan pintar. Pernah suatu saat, ketika kami sedang melakukan pengabdian bersama ke korban banjir di Bogor, dia menunjukkan jiwa peduli yang besar kepada kami semua. Ketika itu rombongan kami semobil sedang berhenti sejenak di Indomaret di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor. Kebetulan ketika itu kami memang berhenti cukup lama untuk beristirahat, jam sudah menunjukkan 11 malam. Ketika rombongan semobil sudah masuk satu per satu, kami sadar, ada yang kurang. Fathia menghilang. Kami panik. Menelpon dia tak berdering sama sekali. Aku yang juga panik langsung turun dari mobil dan mencoba kembali ke gerai Indomaret tadi. Dan kau tahu? Dia sedang belanja dengan seorang anak kecil lusuh yang terlihat seperti dua hari tak mandi. 
“Fathia, ini kami sudah mau berangkat.” Kataku dari ujung pintu
“Iya Mas, bentar ya. Udah mau selesai kok.” Jawabnya
Ternyata dia membelikan satu keranjang penuh jajan dan bahan makanan untuk anak kecil kusam tadi. Bagi kita, anak gelandangan seperti itu memang sudah menjadi fenomena biasa di Indonesia. Bahkan beberapa dari mereka memang sengaja berprofesi sebagai gelandangan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Oleh karena itulah, terkadang aku malas untuk memberikan uangku kepadanya, takut jika ternyata orang itu hanya berpura-pura sudah, padahal mempunyai rumah yang cukup bagus di kampungnya.
“Kenapa kamu menolong dia? Kan dia pengemis, orang yang malas, Fathia?” Tanyaku heran sambil berjalan bersama ke arah mobil.
“Ya memang sih dia gelandangan. Tapi barangkali memang hanya itulah pekerjaan yang bisa mereka lakukan, kita kan ngga tahu. Kita mah bisa enak kuliah, kerja dan berorganisasi juga karena privilege kan. Ayahku misalnya, dia adalah seorang pengusaha tambang, ya otomatis aku ngga harus living paycheck to paycheck. Hidupku ya udah fokus belajar aja dapet nilai yang bagus terus kerja. Kalau mereka, gimana mau belajar? Sedangkan mereka harus memikirkan juga mau makan apa hari ini karena ngga punya stok bahan makanan.” Jelas perempuan itu dengan lugas, dan diberi studi kasus yang simpel dan mudah dimengerti.
“Ohh gitu yaa.” Jawabku setengah melongo karena penjelasan yang lengkap dari Fathia.
Sejak saat itulah sepertinya aku mulai memiliki rasa kepada Fathia. Dan karena dia jugalah aku mempunyai semangat untuk melanjutkan studi S2 ku di UI, agar bisa bertemu dia lebih sering dan aktif mengikuti komunitasnya di berbagai kegiatan. 
Sekarang, dia sedang sibuk koas di jurusan kedokterannya. Sedangkan aku dalam proses penyelesaian tesis di magister psikologi klinis. Masuk di bidang psikologi klinis juga membuatku lebih sering berdiskusi tentang ilmu kedokteran dengan Fathia. Bagi kalian yang belum tahu, psikologi klinis adalah bidang ilmu psikologi yang juga menggabungkannya dengan ilmu kedokteran. Memang lebih pusing, tapi penerapan ilmu ini lebih scientific dan lebih dapat dipertanggungjawabkan olehku selaku calon praktisi. 
Karena aku dan Fathia bisa dikatakan masuk di rumpun keilmuan yang mirip, sama-sama klinis, tak jarang kita jadi sering berdiskusi mengenai suatu isu. Dan dari situlah aku menjadi lebih kenal perempuan itu. Aku menjadi tahu segalanya, tentang apa yang diungkapkan, dan apa yang tak diungkapkan.
Dengan ilmu yang dipelajari di kelas, aku menjadi tahu bahwa Fathia mempunyai ambisi sosial yang tinggi, tak heran jika dia pernah mendirikan komunitas sosial di UI ketika masih aktif di BEM. Namun, namanya manusia, pasti dia juga mempunyai kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah dia belum bisa berdamai dengan inner childnya.
“Hayoloo ngalamun apa” Tiba-tiba suara perempuan menghancurkan lamunanku. Disertai cekik tawa.
“Eh dasar Lo ya.” Aku menjawab dengan nada yang juga tak kalah keras. 
Perempuan itu adalah Syifa, teman baik Fathia. Ternyata Fathia tidak datang sendiri ke cafe ini, dia datang bersama sahabat dia, yang sekaligus teman dekatku juga ketika organisasi. FYI, Syifa adalah orang yang membantu proses kami taaruf dari awal hingga akhir ini. Dia sudah menikah tahun lalu dan sedang mempersiapkan studinya ke Inggris. Dari dulu Syifa memang ingin S2 di Inggris bersama pasangannya, dan secara ajaib, ternyata harapannya terkabul. Gila ini orang emang, entah wirid apa yang dia amalkan kok bisa se perfect itu terkabulnya.
“Eciye yang lagi deg dengan nunggu hasil dari Abinya Fathia yaa? Eciyee.” Kata Syifa meledekku.
“EHH DIEM LU YAA, kalau aja bukan senior yang bantu prosesku sama Fathia, pasti udah aku geprek lu Kak.” Kataku yang kesal tapi sambil senyum-senyum karena omongan Syifa.
“Jadi gimana?? Udah siap jadi suami? Kata dia menimpali lagi
“Hushh! Suami suami. Emang yang mau kasih jawaban ente? Kan Fathia, dihh.” Aku menjawabnya dengan wajah merah tak keruan antara salah tingkah dan menjaga wibawa didepan Fathia.
Sepertinya jawaban doa-doaku semakin dekat. Fathia, perempuan yang aku kagumi sepertinya mau untuk hidup bersamaku dan membangun keluarga kecil tapi bahagia. Sepertinya inilah memang jawaban atas penantian panjangku untuk tidak berpacaran dengan siapapun selepas SMA. Aku berkomitmen untuk tak pacaran lagi ketika itu karena aku ingin fokus untuk masa depanku. Dan hari ini, tibalah saatnya untuk menerima konsekuensi dari cinta itu sendiri. Dan aku telah siap dengan itu semua.
Fathia dan Syifa mulai duduk di meja yang telah lama aku pesan. Kami duduk di sudut cafe agar mendapatkan privasi obrolan kami. Meja kami yang berbentuk bulat semakin membuat kami harus lebih saling berdekatan satu sama lain dan tak perlu bicara keras-keras. Kombinasi yang pas untuk menjaga rahasia obrolan kita!. Aku menurunkan laptop yang sedari tadi sudah berada di meja itu. Tak lupa aku juga menutup beberapa buku, tablet, dan gedgetku agar lebih khusyuk mendengarkan penjelasan Fathia. Ini akan menjadi salah satu momen yang bersejarah di hidupku.
Aku berdehem lirih, menandakan bahwa aku ingin menanyakan hasil diskusi Fathia dengan keluarganya, apakah kita akan melanjutkan kepada proses taaruf selanjutnya atau tidak. Aku lihat juga Syifa sudah senyum-senyum sedari tadi, apakah ini pertanda baik?
“Jadi, Mas, setelah didiskusikan dengan Abi dan Umi.” Fathia berbicara lirih
Aku menjadi semakin deg degan tak keruan. Apa, iya apa hasil diskusinya??. Jangan dipotong-potong gitu ngomongnya, Fathia. Dari dulu dia memang orang yang paling pandai mengatur intonasi dan ritme berbicara.
“Sepertinya proses taaruf kita tidak bisa dilanjutkan lagi karena Abi kurang cocok denganmu Mas.” Fathia melanjutkan bicaranya.
Waktu terasa berhenti. Suara bising bartender menyiapkan kopinya menjadi semakin nyaring di telinga. Dunia seakan-akan berhenti sejenak, atau setidaknya menjadi slow motion. Aku menghirup nafas lebih panjang dari sebelumnya. Mencoba mencerna apa yang tadi Fathia katakan. Orang tuanya menolak aku? Bukankah kemarin seperti baik-baik saja? Apakah semangatku belajar dan gelar S2 psikologi klinis yang akan aku dapatkan bulan depan masih terasa kurang? Apakah aku masih dirasa kurang bisa merawat anak gadisnya? Atau ada apa? Mengapa jika ada sesuatu yang masih mengganjal tidak ditanyakan saja ketika itu? Apa yang harus aku lakukan?
“Ta, tapi. Apa alasannya, Fathia?” Tanyaku yang masih setengah tak percaya dengan jawaban itu. Dia menunduk seperti merasa betul-betul bersalah. Sedangkan Syifa yang sedari tadi meledekku bahwa aku akan diterima juga menjadi bengong tak mengeluarkan satu patah katapun. Dia masih bingung mencerna jawaban Fathia tadi. Sepertinya ini hasil yang diluar dugaan Syifa.
“Ada beberapa alasan mengapa Abi menolak, yang pertama . . .” Sahut Fathia.
Bersambung (4/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 4
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
12 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Lalu, apa alasanmu ingin menikahi anak puteriku, Nak?
Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari laki-laki paruh baya yang berada didepanku. Disampingnya, duduk seorang gadis teduh berdandan sederhana, ditemani oleh ibunya yang juga berpakaian rapi ketika itu. 
Aku yang sudah sedari tadi berbicara panjang lebar basa basi dengan dua orang paruh baya ini mulai memutar otak untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, tertata dan mengena. Aku menegakkan punggung, menghirup nafas dengan rileks, dan merapikan sedikit bajuku yang sudah cukup lusuh karena tebaran angin sore itu.
Di situasi itu, apa yang harus aku lakukan? Kamu sebagai pembaca, apa hal yang bakal kamu lakukan jika kamu berada di posisiku? Kalau aku, mungkin, aku akan cukup bingung menjawabnya.
Karena, kadang, apa yang kita lakukan sering kali tanpa alasan. Tentang makanan yang kita makan, apakah kita betul memikirkan nutrisinya? Tentang kebiasaan scrolling social media yang kita lakukan setiap hari, apakah kita membatasinya? Tentang mengerjakan tugas sekarang atau nanti, apakah kita memang sudah menghitungnya betul-betul agar tidak terlalu mepet deadline? Sepertinya banyak hal di dalam hidup kita yang dilakukan secara otomatis, tanpa sadar.
Tapi untuk ini, aku tak bisa melakukan secara otomatis, aku harus mempunyai alasan. Tapi apa. Aku masih mencarinya. Mungkin ini alasan Fathia menanyakan pertanyaan yang sama dua minggu lalu, agar aku siap ketika ditanya hal yang sama oleh Abinya. Sial, mana ketika itu aku tak menjawab pertanyaan dia dengan baik lagi. Aku hanya menggunakan analogi kampungan untuk menjelaskan mengapa aku memilih dia untuk menjadi pendamping hidupku nanti. Mampus, hari ini aku merasakan akibatnya.
Aku masih memikirkan jawabannya. Waktu seperti berhenti sejenak, sedangkan aku masih bisa memikirkan sesuatu secara leluasa. Aku melihat perempuan itu senyum manis malu-malu kepadaku, percaya bahwa aku bisa menjawab pertanyaan itu dengan baik. Sedangkan aku, masih bergulat dengan pikiranku, menelusuri ruang perasaan didalam hati, berharap aku bisa menemukan jawaban itu. 
Pikiranku menyelam ke dalam otakku dengan lebih dalam, ada hal yang harus aku jawab. Ada seseorang yang membutuhkan jawabannya. Kenapa ya aku memilih dia? Apakah karena cantik? Sepertinya bukan itu poin utamanya. Apakah karena dia pendengar? Iya memang, tapi hatiku berkata bahwa aku mempunyai alasan yang lebih tinggi daripada itu. Apakah karena pekerjaannya? Sebentar-sebentar, sepertinya aku tahu. Oke, aku menemukan alasannya!
“Saya ingin menyelamatkan diriku dan anak keturunanku, Abi.” Kataku
Sejenak ruangan tamu rumah ini menjadi hening. Suara detikan jam dinding terdengar lebih keras dari sebelumnya. Suara angin dari sebuah kipas di pojok ruangan juga menjadi terdengar lebih kencang. Waktu seperti berhenti ketika itu. Dan nampaknya perempuan itu juga tidak paham dengan apa yang baru saja aku sampaikan.
“Aku kurang paham dengan jawabanmu, bisa tolong jelaskan lebih lanjut?” Kata pria paruh baya itu
Baik, aku menghela nafas lebih dalam, mengatur intonasi dan ritme paragraf-paragraf panjang yang akan aku keluarkan. Tak lupa, aku juga membaca doa untuk memperlancar lisanku, yaitu doa yang sama ketika Nabi Musa diperintah oleh Allah untuk menghadap penguasa Mesir ketika itu .
“Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.”
Paragraf pertama aku buka dengan sebuah teori psikologi.
Jadi maksud saya seperti ini, Abi. Saya selalu percaya, bahwa baik buruknya seseorang sangat bergantung pada lingkungannya. Orang akan menjadi baik jika dia berkumpul dengan orang baik. Dan juga sebaliknya, orang akan menjadi “jahat” jika dia berkumpul dengan orang yang kurang baik. Iman juga seperti itu. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda, bahwa hati manusia itu sangat lemah. Dia harus terus diikat dengan pertemanan yang baik.
Saat ini, dunia sudah tidak seaman dahulu. Banyak orang menganggap bahwa berpacaran adalah hal yang lumrah. Menonton tayangan tidak senonoh juga sepertinya sudah menjadi bagian hidup bagi beberapa orang diluar sana. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, banyak anak SMP dan SMA di suatu kabupaten mengajukan pernikahan dini. Bukan karena memang sudah siap menikah, tetapi mereka telah hamil diluar nikah.
Kejadian seperti ini yang membuat saya takut. Bagaimana jika anak saya juga seperti itu. Bagaimana jika pada suatu saat nanti anak saya merengek untuk pergi satu malam bersama pacarnya. Apa jadinya jika dia pergi bersama pacarnya kemudian dengan rela pahanya dipegang-pegang oleh pacarnya dan dia tidak merasa risih sedikitpun. Mungkin terlihat klise, tapi saya benar-benar pernah melihatnya di jalan, dengan kedua mata kepala saya.
Disisi lain, orangtua juga tak kalah berzinanya. Ada istri yang selingkuh dengan rekan sekantornya karena dia lebih mendengarkan dan menerima apa adanya daripada suaminya. Ada juga suami yang mempunyai hubungan asmara lain dengan asistennya, yang lebih muda, yang lebih cantik, dan yang lebih sering bertemu di kantornya. Bahkan ada juga orang yang sampai sengaja check in di hotel bersama teman sekantor atau asistennya untuk melakukan hubungan haram itu.
Saya takut jika itu akan terjadi di keluarga saya. Saya boleh menerima cobaan apapun, asal jangan cobaan dalam keluarga dan agama. Karena konon itu adalah cobaan yang paling berat di dunia dan jarang ada orang yang bisa melewatinya dengan baik.
Oleh karena itu, saya harus memilih pasangan yang solehah. Orang yang telah menjaga dirinya. Perempuan yang juga telah berkomitmen lama untuk menjaga hawa nafsunya dengan tidak bermesraan dengan seseorang jika belum sah. Dan, aku melihat, bahwa puteri bapak adalah muslimah yang taat. 
Saya pernah mendengar dari sahabatnya bahwa dia selalu sholat hajat sebelum tidur, menjaga shalat tahajudnya seperti dia menjaga barang yang dicintainya, bahkan sahabatnya juga pernah melihat dia tak sengaja tertidur di atas sajadahnya dengan memeluk mushafnya akibat lelah menuntaskan target bacaan hariannya.
Saya mempercayakan hidupku untuk dilengkapi oleh dia.
Saya sangat selektif dalam memilih teman, maka saya juga berhak selektif dalam memilih pasangan.  --
Orang yang membeli sepatu mungkin hanya menyesal satu atau dua minggu ketika dia memilih barang yang salah. Orang hanya akan kesal selama satu atau dua tahun jika salah memilih pekerjaan. Tapi, soal pasangan, akan seberapa menyesal jika orang telah salah memilih pasangan?
Saya ingin menyelamatkan diri dari lingkungan yang tidak sehat. Saya ingin menyelamatkan anak dan isteriku dari zina yang telah dihiasi sedemikian rupa. Aku, juga ingin memilihkan ibu yang cerdas dan shalihah untuk anakku nanti. Itulah satu alasanku untuk memilih dia sebagai pasangan saya.
Satu paragraf gagasan ku telah terucap dengan lancar. Aku melihat orang tuanya mengangguk-angguk setuju dengan jawabanku. Hope it will be. Aku menghela nafas sejenak, menyadari ternyata keren juga ya aku bisa mempunyai gagasan yang kuat seperti itu. Ternyata berdebat dengan dosen ketika di kelas psikologi klinis di kampus bisa berguna juga ya untuk melamar perempuan yang aku cintai.
Semoga memang ayah dia bisa mencerna apa yang aku sampaikan, dan semoga apa yang aku harapkan bisa terwujud. Aku ingin segera menggenapkan separuh agamaku.
Bersambung (3/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 3
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
270 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Menurutmu, apa makna sekufu? Apakah mereka yang berada di kondisi ekonomi yang sama? Atau mereka yang topik pembicaraannya bisa menyambung dan saling melengkapi?
Menurutmu siapakah yang pantas menikah? Apakah mereka yang berada di status ekonomi yang sama? Atau mereka yang mempunyai tingkat keilmuan yang sama?
---
Menurutmu pribadi, apakah aku termasuk orang yang tak tahu malu? Mengajak taaruf seorang putri istana yang cerdas, sopan, dan berpendidikan?
Berulang kali aku mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. Prosesku mengajak hubungan yang lebih serius dengan Fathia banyak mendapatkan komentar yang beragam dari beberapa teman-temanku. Beberapa ada yang mendukung, namun beberapa justru mempertanyakan apakah aku sudah memikirkannya dengan matang.
Dua kontras jawaban yang berbeda dari teman lingkaranku membuat aku menjadi setengah-setengah. Ingin lanjut namun ragu, tapi juga ingin berhenti tapi sayang jika prosesnya harus berhenti di tahap ini.
Mungkin ini sebabnya beberapa seniorku selalu menasihati orang yang sedang bertaaruf. Bahwa, kita harus menyembunyikan prosesnya. Segala prosesnya. Dengan siapa, sudah sampai tahap mana, dan lain sebagainya. Jika semua sudah fiks, barulah teman-teman kita diberitahu kabar bahagianya melalui surat undangan pernikahan. 
Memang sesuatu yang diam-diam akan selalu memudahkan seseorang dalam bekerja. Namun nasi telah menjadi bubur. Beberapa temanku sudah tahu bahwa aku sedang menjalani proses taaruf dengan Fathia, entah dari mana kabar itu. Tiba-tiba saja mereka mengetahui kabar itu dan menanyakan kebenarannya kepadaku. 
**
“Lo serius ngajakin Fathia taaruf? Gila ya emang nyali lo.” Kata temanku lantang karena kaget mengetahui bahwa aku sedang berproses taaruf dengan Fathia. 
Kami sedang berada di cafe siang ini. Hanya berdua, aku dan sahabatku. Tempat nongkrong bergaya insustrial ini cukup terkenal buat orang-orang yang bekerja di daerah kami. Tempat yang cukup sepi, bersih, dan dilengkapi dengan gaya yang estetik menjadikan cafe ini pilihan bagi orang-orang melepas lelahnya setelah bekerja seharian di kantornya. Itulah alasanku disini sekarang bersama temanku.
“Ya serius lah. Emang aku pernah bercandaan ya soal perempuan? Dari dulu aku kan juga ga pernah tuh ngejalin hubungan asmara dengan siapapun. Ya itu karena aku emang nggak pernah bercanda soal perempuan.” Jawabku santai.
“Tapi maksudku tuh gini, kamu kan tau Fathia ini orang yang kaya raya. Dunia dia tuh udah yang kayak dunia berbeda gitu loh buat kita. Ya emang sih dia tuh orangnya emang humble banget. Tapi apa dia mau buat suatu hari nanti pergi naik motor bareng elu? Kan dia biasanya naik mobil. Terus, apa dia mau buat nyoba masakin di rice cooker terus makan tahu tempe yang kayak dulu pernah kita lakuin di pondok? Lu kira Fathia tuh kayak mbak-mbak santri yang serba bisa gitu?” Temanku menjawab lagi pertanyaanku dengan bertubi-tubi seperti seorang ibu yang ingin menyadarkan anaknya yang telah berbuat salah.
Iya, aku tahu bahwa Fathia memang orang yang berbeda status dengan kami berdua, tapi jika memang itu adalah orang yang cocok menurutku, mau bagaimana? 
Aku juga pernah membaca tulisan Habiburrahman di Ayat-Ayat Cinta, beliau mengatakan bahwa seharusnya para lelaki tak cepat minder dengan apa yang dimiliki oleh seorang perempuan, karena kita para lelaki mempunyai teladan yang sempurna yaitu Rasulullah yang juga menikah dengan seseorang yang cantik, baik perangainya, dan juga kaya. Ketika itu, Rasulullah hanyalah manusia biasa yang tak kaya ataupun mempunyai jabatan. Meskipun begitu, kejujuran beliau telah dikenal kemana-mana hingga beliau dijuluki al-amin, yang artinya seseorang yang jujur. Sehingga singkat cerita, melihat kejujuran Nabi Muhammad ketika itu, Khadijah bertekad untuk mengajukan diri untuk menjadi istri beliau.
“Akupun seperti itu Bro, aku yakin Fathia akan menghormatiku meskipun kami mempunyai latar belakang yang berbeda. Aku yakin Dia bisa memposisikan dirinya jika memang kami berjodoh. Toh aku juga ngga mau mikir jauh-jauh apakah berjodoh atau tidak. Aku hanya fokus ke satu per satu prosesnya, memastikan bahwa tidak ada satu step taaruf yang tercampur dengan ikhtilat.” Jawabku panjang lebar menjelaskan mengapa aku memilih Fathia dan satu bab sirah nabawiyah kepada temanku.
“Ya semoga ya. Turut seneng kalau nanti elu jadi sama si Fathia. Dia adalah salah satu orang baik yang pernah aku temui juga di BEM ketika itu.”
“Ting…” Suara notifikasi HP ku berdering, kulihat nama Fathia di notifikasi whatsapp ku. Ternyata dia baru saja mengirim pesan. Buru-buru aku langsung membuka isi pesan itu, barangkali ada hal urgen yang dia butuhkan.
“Mas, aku udah ngomong Abi, katanya dipersilahkan silaturahmi ke rumah hari Selasa sore, apa bisa?” 
Senang dan deg-degan rasanya mendapatkan balasan pesan itu dari Fathia. Akhirnya setelah sekian lama memendam rasa kepadanya, aku bisa menyampaikan maksudku dengan cara yang baik, yaitu kepada orangtuanya langsung. Walaupun ya disatu sisi aku agak khawatir, apakah niatan baikku ini bisa diterima keluarganya atau tidak.
Ahh mengapa aku melamun, aku harus segera menjawab pesan dia. 
“Okey, Insyaallah semoga Allah memudahkan.” Jawabku singkat
Buru-buru aku menyeruput secangkir kopi yang masih tersisa siang itu, kemudian memasukkan beberapa barang-barang kedalam tasku. Degup jantungku semakin kencang, sekarang hidupku seperti berjalan diatas harapan dan ketakutan.
“Aku pamit dulu ya Bro, mau kerjain yang belum beres dikosan.”
Bersambung (2/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 2
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
72 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Tapi, apa sebetulnya alasan utamamu memilihku untuk menjadi pelengkap agamamu?
Pertanyaan penutup yang cukup mendasar ia lontarkan di akhir pertemuanku dengan perempuan itu. Jujur hingga akhir ini aku juga tak tahu persis mengapa aku memilih dia untuk menjadi partnerku membangun keluarga. Aku hanya merasa cocok dengan dia, dan itu sudah cukup untukku untuk memilih dia sebagai orang yang aku pilih.
Tapi sepertinya aku paham. Logika laki-laki dan perempuan berjalan dengan cara yang berbeda. Perempuan, akan mencoba mencari validasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan sesuatu. Sedangkan aku, seperti kaum lelaki yang lain, satu alasan baik saja sudah cukup untuk memutuskan apakah aku mau membangun hubungan keluarga dengannya.
Namun kembali lagi, hingga saat ini aku belum menemukan alasan yang betul-betul klop dan dramatis mengapa aku memilih dia. Ditambah lagi dengan kegiatan akhir ini yang cukup hectic karena aku harus menyiapkan berkas-berkas sidang tesisku di kampus. Tapi baiklah, jika dia meminta jawaban, aku berusaha memenuhinya.  Aku mencoba memutar otak, mencari alasan-alasan terbaik mengapa aku perlu menikah, mengapa aku memilih perempuan ini dan mengapa juga aku harus menikah sekarang. Ahh tapi sayang aku tak menemukannya.
“Sepertinya aku tak bisa menjawabnya sekarang. Jawabanku pasti tak akan memuaskanmu” Kataku dengan menunduk.
“Hmm baiklah, tak apa.” Jawabnya
“Tapi, apakah memang semua rasa harus mempunyai alasan?” Tanyaku kembali. 
Dia memutar–mutar bola matanya. Memperlihatkan gestur yang juga bingung atas pertanyaanku. 
“Mmm, maksudmu bagaimana Mas?”
“Maksudku, apakah jika ada seseorang yang jatuh cinta kepada pasangannya, haruskah dia mempunyai alasan? Bukankah tak semua hal di dunia ini mempunyai alasan. Misalnya tentang pemilihan bajumu hari ini. Kenapa hari ini kamu menggunakan baju warna putih dipadu dengan warna khas cokelat bumi? Lengkap dengan cardigan dan sepatu yang juga cocok untuk dipadu padankan? Bukankah di dunia ini masih ada warna yang lain?” Jawabku panjang lebar. Semoga analogi ini tak membuatnya bingung.
“Yaa, itu karena aku lagi pengen aja pake baju ini.” Jawab dia polos.
“Nah, ya begitulah denganku. Aku hanya merasa cocok saja denganmu. Dan aku sudah mempertimbangkan ini sedari lama. Bahwa setelah dipikir-pikir, dan dipertimbangkan dengan beberapa guru dan orang tuaku, sepertinya kamu adalah orang yang cocok untuk menemaniku berkembang di kemudian hari. Sudah, tak ada alasan lain.” Aku mencoba menjelaskan satu persatu konsep ini dengan hati-hati. Agar dia juga tak salah persepsi.
Sepertinya pilihanku untuk membuat analogi demi analogi yang aku paparkan tadi cukup berhasil. Beruntung dia adalah perempuan yang cerdas di bidangnya, sehingga dia paham atas apa yang aku sampaikan tanpa harus menjelaskan konsep secara panjang lebar. Maklum, dia adalah mantan wakil ketua BEM Fakultas Kedokteran UI, satu-satunya Waka BEM perempuan yang menjabat periode itu. Dengan pengalamannya bertemu banyak orang, dia sudah cukup biasa untuk mencerna kalimat-kalimat rumit yang kadang tujuannya A, tapi lawan bicara memutarnya kepada B C baru kepada inti poinnya. Syukur dia paham atas apa yang aku maksudkan.
“Hoo, I see. Okeey.” Kata dia
“Jadi gimana? Sudah puas dengan jawabanku?”
“Sebetulnya sihh belum, ini jujur ya. Hehe. Tapi ya sudah, nanti aku sampaikan ke Abi dulu ya, biar nanti tahu gimana jawabannya. Terimakasih telah memilihku.” Katanya sambil tersipu malu.
“Baik silahkan.”
Dia kemudian pamit pergi membelakangiku. Kerudungnya yang rapi dari depan yang belakang  semakin membuat aku yakin bahwa dia adalah orang yang mungkin akan tepat untuk berjuang bersama membangun keluarga kecilku. 
Ngomong-ngomong, ini adalah kali pertamaku mengajukan proposal taaruf. Dari dulu, aku hanya bisa mengagumi seseorang tanpa bisa mengungkapkannya karena berbagai alasan. Mungkin kamu juga pernah mengalaminya, saat dimana kamu jatuh cinta kepada seseorang tetapi kamu sendiri belum siap untuk menghadapi konsekuensi percintaan itu sendiri. Pada akhirnya, perasaan itu hanya berujung pada cinta yang tak tersampaikan.
Namun hari ini situasinya berubah. Aku telah menjadi pribadi yang telah siap menanggung konsekuensinya. Aku telah siap ilmunya, begitu pula dengan ekonominya. 
Tetiba aku jadi ingat momen beberapa tahun yang lalu ketika aku masih belajar S1 di Brawijaya sekaligus nyantri di Jawa Timur. Ketika itu, guru ngajiku berkata bahwa menikah itu ada lima hukumnya, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Ada banyak faktor yang menyebabkan sebuah pernikahan akan dihukumi wajib, sunnah, bahkan haram. Kami yang masih awam mengenai hal ini jadi mengernyitkan dahi ketika guru kami menyampaikan hal ini. Kok bisa pernikahan yang asalnya baik, dan sunnah nabi malah bisa menjadi haram.
Tak lama kemudian, guruku menjelaskan lebih lanjut. Sebuah pernikahan, akan menjadi haram jika niat menikah itu hanya untuk menyiksa salah satu pihak. Misalnya, ada fulan menikah dengan fulanah dengan tujuan agar si perempuan ini tidak bisa menikah dengan seseorang yang dia cintai. Pernikahan model seperti ini bisa dihukumi sebagai pernikahan yang haram jika dilaksanakan. 
Sedangkan pernikahan akan menjadi wajib, guruku melanjutkan, apabila ada seseorang yang sudah mampu secara ilmu, ekonomi, dan tanggung jawab, dan dia juga takut jika terjerumus kedalam zina. Orang-orang seperti ini harus segera diselamatkan dengan menikah. 
“Nah orang-orang kayak sampean ini. Yang ilmunya sudah ada, tapi duitnya yang belum ada. Hukumnya makruh.” 
“Maka dari itu, biar ndang nikah, ya kalian harus cari duit dulu, nanti statusnya baru naik ke wajib, nah baru cari calonnya.” Kiyaiku menambahkan keterangan di pengajian sore itu yang memicu kekek banyak santri.
Hari ini, jika aku pikir, sepertinya hukum menikah di dalam diriku sendiri sudah naik kepada wajib. Aku sudah mempunyai ilmunya hasil belajar sore hingga malam ketika ngaji di Malang. Urusan uang, walaupun nggak bisa dikatakan berlebih, aku termasuk seseorang yang sudah mempunyai cashflow yang sehat. 
Semoga niatanku untuk menyempurnakan ajaran Rasulullah untuk menikah bisa disambut dengan baik oleh dia, dan keluarganya. Aku berharap-harap cemas. Semoga aku segera mendapatkan jawabannya.
Bersambung (1/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 1
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
36 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Orang Tua adalah seseorang yang paling sedih ketika kamu sedih.
Siapa yang paling sedih ketika kita sedih? Siapa yang paling kecewa kalau kita lagi kecewa? Siapa yang paling marah kalau kita lagi kenapa-napa? Siapa? Percaya atau engga, orang yang paling sedih ketika kamu lagi nggak bahagia adalah ibumu. Orang yang paling kecewa kalau kamu lagi kenapa-napa adalah ibumu. Bahkan, ketika kamu sedang berjuang, dia adalah orang yang paling khawatir akan keadaanmu.
Kamu mungkin bisa melenggong kesana kemari, tapi ibumu sebetulnya sedang khawatir apakah anaknya baik-baik saja atau tidak.
Aku sendiri punya cerita personal mengenai ini.
Kilas balik pasca lulus SMA. Ketika itu aku pulang jam 3 malam karena baru pulang dari Semarang untuk tes di lembaga Polisi. Yapp! Dulu aku pengen banget jadi polisi. Aku ikuti semua prosesnya dengan hati-hati, satu per satu. 
Aku lari setiap hari secepat-cepatnya, sejauh-jauhnya. Tak hanya itu, aku juga sudah mengikuti latihan bersama untuk jadi polisi ketika itu. Hasilnya?? Aku pulang malam itu dengan tangan kosong. Betul betul kosong seperti seorang ayah yang telah mencoba melamar pekerjaan sana sini karena dia baru saja di PHK oleh perusahaan sebelumnya.
Aku hanya bisa menunduk ketika itu. Dan mengatakan “maaf ya Bu, aku gagal”. 
Aku melihat matanya yang mulai berkaca-kaca ketika itu. Wajah teduhnya masih terlihat di antara ruangan makan rumahku yang memang hanya mempunyai sedikit pencahayaan.
“nggak papa” kata ibuku. Sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
Aku sadar betul bahwa dia sedih bukan karena aku gagal menjadi polisi. Tetapi karena aku tak berhasil mencapai apa yang aku inginkan. Entah menjadi polisi atau bukan, kalau itu adalah mimpiku, maka ibu selalu berharap yang terbaik untukku.
Ibu sedih karena aku sedih.
Dia memang bukan orang yang bisa berkata-kata panjang dan tertata seperti penulis, tapi kasih sayangnya itu merebak harum masuk ke relung jiwa anak-anaknya. Pengasih, perhatian, dan supportive.
Hari ini, kejadian itu terulang kembali. Ketika aku ditolak kerja di salah satu lembaga zakat Indonesia. Sejenak setelah aku mendapatkan kabar penolakan itu, aku langsung menelfon ibuku. Mengatakan bahwa aku belum rejeki di pekerjaan itu. 
Kemudian samar-samar aku mendegarkan Ibu menguatkan aku dari ujung telfon ketika itu.
“Ngga papa, semoga nanti diberikan yang lebih baik.”
Nasihat yang sama seperti ketika aku gagal meraih cita-citaku tujuh tahun lalu. Ternyata ruang dan waktu tak mengubah sifat ibuku yang menerima anaknya apa adanya. Semoga memang Allah segera memberikan jalan terangnya. 
@langitlangit.yk @careerclass @bentangpustaka-blog
6 notes · View notes