Tumgik
celotehpanda · 3 years
Text
Terlalu banyak hujan ya akhir-akhir ini. Entah itu hujan di bumi, entah itu hujan di pipi. Tidak ada yang pernah mengamini semua tragedi ini, tapi tidak ada yang tahu kapan itu akan terjadi. Jadi, peluk erat yang berarti. Hargai yang sudah memberi. Sebelum menepi dan pergi.
4 notes · View notes
celotehpanda · 4 years
Text
Masih nerima gaji full di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit begini adalah berkah tersendiri.
—Maka bersyukurlah.
4 notes · View notes
celotehpanda · 5 years
Text
Sudah tau sama-sama tidak bisa membahagiakan, sudah tau sama-sama merasa tidak sejalan, tapi selalu berusaha memaksakan untuk bertahan. Apa ini bagian dari Pendosa yang mengharap surga, masih khusyuk berdoa?
23 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Tumblr media
Mengapa senja lebih terdengar romantis daripada fajar. Apakah karena perpisahan lebih mudah dikenang daripada pertemuan.
Makassar, 17.58 WITA
62 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Dan kenyataanya lebih nyaman berteman dengan sepi, dibandingkan harus berteman dengan hati yang belum tentu pasti.
12 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Jika menunggu itu membosankan, lantas apakah berpindah hati itu menyenangkan?
36 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
“Kepada engkau yang telah membuat hati ini sakit, terimakasih. Karena kau kenalkan aku dengan bermacam-macam penyembuh luka; sabar, ikhlas, semangat, menyibukkan diri, dan waktu. Pain makes people change.”
— Aku sekarang dua kali lipat kuatnya. Nanti kalau kita bertemu, biar kukenalkan padamu pribadi baruku
41 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Sekarang jangan berebut mana yang dewasa dan mana yang anak kecil. Sekarang hanya perlu berbalik kebelakang, kau sudah berbuat apa pada hati ini? Memperjuangkan sampai mana, jika iya kenapa kita bisa lepas tak tau arah..
16 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Quote
Jika hanya ada satu di dalam hati, mengapa harus ada dua  di kepalamu? Jika hanya ada satu jalan yang bisa membahagiakanmu, mengapa harus berputar arah mencari kebahagiaan lagi?
17 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Tenang lah jiwaku, jangan bersedih. Tulus lah seperti hujan dimalam hari yang tidak bisa menampilkan pelangi.
13 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Lara, Kopi, dan Jarak
Tumblr media
Secangkir kopi selalu dapat diandalkan ketika jarak antara hati dan lara terlalu dekat. Kepekatannya terkadang menyembunyikan butir-butir bening yang tidak sengaja terjatuh. Demi secangkir kopi dan kekuatannya menyingkirkan senyap, petrichor setelah hujan bersedia datang lebih awal. Demi terenyahkannya keheningan antara dua jiwa, senja berpikir dua kali untuk pergi jika disana ada secangkir kopi.
Dibandingkan kesenangan dititik tertinggi, secangkir kopi biasanya lebih memiliki peran sebagai sahabat yang menemani duka, kehilangan, kekecewaan, pengkhianatan, dan rasa bersalah. Hanya segelintir manusia yang meminta ditemani secangkir kopi ketika dia bahagia. Sebagian besar meminta belas kasihan kepada secangkir kopi panas untuk menyembuhkan cedera akibat terlalu naif berbaik hati pada cinta.
Jarak terjauh didekatkan oleh kepulan aroma kopi. Sedangkan jarak terdekat kadang terasa jauh akibat memori yang diunduh oleh secangkir kopi. Bagi mereka yang meronta karena siksaan rindu, bagi siapa pun yang gila akibat ditikam cinta, cairan hitam pekat tersebut adalah kesempurnaan tanpa cacat. Ia mengerti makna lara. Ia memahami sulitnya berdiri lagi tanpa penopang atau seseorang yang dulunya ada kini hilang dan tiada.
Secangkir kopi, sakit hati, langkah-langkah yang berlari namun tak bisa berhenti. Ketiganya terhubung erat dan saling memahami. Manusia tidak akan pernah bisa memiliki kearifan secangkir energi yang diseduh dengan begitu teliti dan rapi tanpa ada kesalahan. Manusia tidak akan mampu mengungguli kemampuan secangkir kopi dalam menyabotase keheningan.
Saya menghormati secangkir kopi dengan titah-titah yang larut di dalam tiap molekulnya. Tanpa secangkir kopi, lara mungkin hanyalah seorang budak tak berdaya. Tanpa secangkir kopi, jarak mungkin hanya akan dilecehkan sebagai penyair tanpa karya sastra.
P.S : @iidmhd
18 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Setelah apa yang kau mau kau dapatkan, apakah kepergianmu itu balasan dari apa yang sudah ku lakukan? Ibarat kata kerja ikut orang susah payah dan tak dapat bayaran.
Tapi tenanglah, aku tidak akan mengemis soal hati dan aku sudah terbangun dari kebodohan.
9 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Aku yang memberi tulus, aku yang memberi aksara rasa, aku yang memberi hati. Kenapa kau pilih yg lain, mengapa? Apa kau tak bosan mendengarkan, “Yang bertampang sempurna tak selalu setia". Jika kau nanti sadar akan salah memilih dia yang baru, aku tak malu mengakui, kau boleh kembali.
11 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Dialog Sepertiga Malam
Ibu adalah rumah. Rumah yang berdindingkan kemuliaan hati. Rumah yang selalu menggodamu untuk kembali setelah pergi beratus-ratus kilometer. Dia adalah satu-satunya makhluk yang mampu menerima kau sebagaimana bentuk dan tingkah lakumu. Karena bagi ibu, kau selamanya dianggap seperti anak kecil yang baru belajar merangkak, lalu menuntunmu berjalan, kemudian sesekali membiarkanmu berputar komplek dengan sepeda roda tiga sendirian.
Begitupun ibu saya. Mungkin beliau lebih tepat jika saya sebut sebagai anomali. Dia bisa semanis kucing Persia lalu dalam hitungan detik bisa se-mengerikan Singa Afrika. But, seberuk apapun, setengik apapun tingkah laku atau kenyataan yang ada pada anaknya dia akan selalu menerima saya apa adanya.
Ada satu tindakan ibu yang sampai saya sekarang ini berumur 20 tahun masih menempel dalam pikiran saya, beliau menjewer dan menarik kuping saya dengan keras. Tentu saja tangis merobek seisi rumah. Saya menangis sampai titik tertinggi saya sanggup mengeluarkan suara. Biasanya ibu tidak pernah bermain fisik jika sedang memarahi saya, tapi mungkin saat itu beliau sedang marah besar terhadap saya. Sehingga beliau untuk pertama kalinya menjewer saya dan tak lupa dengan ceramahnya perihal unggah-ungguh (tata krama) yang durasinya lebih lama dari tangisan saya. Setelah amarahnya meredam, Ibu langsung diam, memeluk saya dengan erat lantas menuruh saya makan.
Saat kecil, sudah menjadi kebiasaan memanggil ibu sebelum saya terlelap. meluangkan separuh kasur, lalu memeluknya. Dari bajunya tercium bau minyak dan gorengan, tangannya pun masih lembab dan berwarna kuning karna setiap hari bermain dengan kunyit dan temu lawak. Saya selalu meminta diceritakan tentang kisah-kisah beliau dahulu, tentang ia yang harus berbagi makanan dengan saudaranya yang lain, tentang nenek yang kerap memarahinya karena tidak pulang ke rumah sebelum magrib, dll. Selalu, dalam ceritanya diam-diam beliau masukkan nilai dan norma budaya jawa. Berharap saya kelak bisa menjadi manusia yang mengerti tata krama.
Sampai sekarang, Ibu saya masih tetap sosok sederhana yang saya kenal. Beliau bukan berasal dari keluarga orang kaya, tentara, dokter, pengusaha, maupun priyayi. Beliau murni keturunan keluarga Tani dengan kehidupan sederhana seperti yang biasa kalian lihat di televisi. Dari sawah, ditiap cangkulannya kakek saya yang penuh peluh, ia selalu berdoa untuk keberhasilan anak-anaknya. Sementara nenek saya dirumah, memasak, mengurus rumah, memberi makan sapi. Serta tak lupa membantu kakek yang berada di sawah.
Ibu seorang pekerja keras. Beliau berangkat pergi jualan jamu tepat habis subuh lalu pulang sebelum dzuhur. Setelah itu beliau beberes rumah, menyiapkan makan buat anak-anaknya pulang sekolah. Lalu sore harinya beliau membuka angkringan di depan rumah. Saya sempat bertanya kepadanya dulu, “Kenapa sih bu pake bikin angkringan segala? Pagi-pagi buta aja ibu udah bangun buat nyiapin jamu yang akan dijual. Terus siangnya masih beresin rumah, ngurusin kita, nyiapin makan, dll. Lalu kenapa sore dan malamnya ga digunain buat istirahat aja si, bu?”.
“Rumah kita ini kan deket sama jalan raya, sayang kalo ga dimanfaatin. Lagian badan ibu pegel-pegel kalo nggak ngapa-ngapain”. Seperti itulah jawaban yang keluar dari mulutnya. Kadang melihat ibu yang sibuk dengan berbagai macam pekerjaanya itu ingin rasanya saya peluk seraya berkata, “jangan terlalu lelah ya, bu”.
Beberapa tahun lalu merupakan tahun yang berat bagi kami. Ibu dengan angkringannya mulai sering tidur malam, sedang saya terus belajar mati-matian untuk mencapai mimpi saya. Ada jarak yang tercipta diantara kami, kami terpisah sekat-sekat yang disebut kesibukan. Namun, sesekali kami berdialog saat sepertiga malam.
Saya kira berbicara empat mata mengenai keinginan kita adalah hal yang paling menegangkan dalam hidup. Kau harus belajar menerima kenyataan, bagaimana kalau keinginanmu tidak terturuti serta saat itu juga kau harus siap mendengar suara delapan oktaf dari ibu. Dengan hasil apapun saya harus siap, saya yakini ibu dapat menerima sepahit apapun kenyataan anaknya.
Pagi yang sunyi, waktu menunjukkan pukul setingah tiga (kala itu) saya mulai dengan pernyataan saya untuk berhenti kursus bahasa Korea. Ibu berhenti menumbuk kunyit dan temulawaknya, berdiri lalu menuangkan teh hangat dalam gelasnya. “dulu kamu yang besikeras mau kursus bahasa lalu kerja di Korea, sekarang kamu malah kayak gini. Kamu yakin mau berhenti? Mau jadi apa kamu nanti?”, ucapnya lirih sambil meminum tehnya.
Saya paham betul, pernyataan saya yang tiba-tiba ini akan membuat ibu semakin lama menyelesaikan jamu yang nantinya akan dijual. Sedangkan, tepat habis subuh ia sudah berangkat berjualan. Pelan-pelan saya balas, “Insya Allah, saya yakin dengan pilihanku ini, bu”. Ibu diam, lalu kembali menumbuk kunyit dan temulawaknya. Jeda diam yang cukup panjang ini sungguh menyebalkan. Menunggu ibu menjawab membuat saya tidak bisa melakukan apa-apa, pikiran saya pun jadi kosong. Memaksanya untuk menjawab mungkin akan membuat pagi terasa semakin lama.
Saya mulai gelisah, memainkan jari, menggaruk-garukkan kepala, bertingkah aneh supaya ibu memerhatikan saya lalu menjawab kebingungan saya. Akhirnya beliau mulai menoleh, suasana kembali mencekam, saya mulai berimajinasi apa yang akan diucapkan ibu. “Ibu cuma anak keluarga tani, ibu ndak ngerti tentang apa maumu, ibu hanya bisa mendukungmu”, kalimatnya mulai dipelintir, saya tahu ibu mulai kecewa.
Ada yang menggembung di sudut matanya. Saya melihatnya dalam keheningan malam yang mencekik. Sementara saya masih saja ingin menjelaskan bahwa pilihan saya kali ini benar-benar sudah saya pikirkan dengan matang. Tetapi, saya tak kuasa menjelaskan. Suasana dingin semakin memasuki ruangan, mata saya mulai menandakan tanda-tanda mengantuk, karna beberapa hari belakangan ini saya selalu terjaga hingga pagi karena memikirkan masalah ini. Lalu sepertinya ibu juga tidak suka apabila saya menjelaskan. Mungkin beliau akan merasa digurui oleh anaknya.
“terus, bu”, saya memaksa memulai kembali.
“terserah”, ini sebuah tanda. Tanda bahwa ibu sudah lelah dengan saya, ibu sudah tidak mau menanggapi pernyataan saya. “Kamu sekarang ini kurang bersyukur, lupa sama apa yang sudah dikasih Gusti Allah”, ibu menimpali singkat.
Ibu memang benar, banyak kegagalan yang membuat saya mengambil jarak dengan-Nya. Tuhan yang menggagalkan rencana-rencana yang saya rangkai indah, Tuhan yang membuat saya harus berdialog sepertiga malam dengan ibu saya. Tuhan yang diam ketika saya dalam keterpurukan. Seperti ada batu yang mengganjal sehingga apa yang diberikan sulit saya terima dengan lapang.
Ibu melepaskan tumbukannya, lalu mengusap matanya, membuatnya seolah menahan kantuk yang teramat parah. Tapi, saya tahu, beliau mengelap tangis yang sedari tadi ia tahan. Saya tahu, beliau pasti teramat kecewa dengan keputusan saya ini.
Saya memasuki kamar, melihat langit-langit lalu secara tiba-tiba saya langsung memangis. Saya mengingat bahwa apa yang barusan saya lakukan tentu telah melukai hati dan perasaannya. Saya mulai berpikir tentang cara meminta maaf pada Ibu, tentang bagaimana membuat keadaan seperti sedia kala. Tapi, pintu kamar saya tiba-tiba membuka, “kalau kamu siap, jalani wae, yang penting kamu selalu kerja keras. ibu hanya bisa mendoakan kamu”. Ucap ibu singkat.
Ibu mengajak saya ke meja makan, saya menghapus air mata saya terlebih dahulu. Saya tidak ingin beliau melihat anak laki-lakinya menangis akan keputusannya sendiri, setelah itu saya mengikutinya ke meja makan. Beliau tahu berdialog menjelang pagi menguras tenaga. Lantas, beliau menggoreng kembali ketela goreng sisa angkringan semalam, kemudian membuat secangkir kopi, mempersilakan saya minum. Saya tahu, ibu mulai menerima keputusan saya. Batu yang mengganjal didalam mulai hilang. Ibu adalah pintu terakhir keikhlasan. Ibu adalah wakil Tuhan yang diberikan kuasa untuk memberi keputusan untuk anak-anaknya.
Selagi saya mengunyah ketela, ibu mengambil air wudhu, ia mulai tahajud. Diam-diam saya melihatinya, air mata saya jatuh, saya menangis kembali. Terlintas dipikiran saya, “Bagaimana jika Ibu tiada?” Sedangkan saya belum sempat membuat bibirnya merekah lebar. Sesaat sebelum ibu melipat sajadah, saya berdoa dalam diam,
“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”
Saya tiba-tiba malu, dengan keadaan seperti ini sulit sekali menerapkan apa yang dilakukan oleh ibu saya dulu. Tentang orang biasa dengan kerja keras yang luar biasa. Tentang kakek nenek saya yang mengajari ibu saya bahwa menjadi luar biasa adalah tetap menjadi orang biasa.
***
Hari ini, Ibu tetaplah Ibu. Ibu yang sederhana, Ibu yang jarang berfoto dengan kamera. Beliau tetap menjadi manusia paling mulia seluas samudera. Rumah merupakan saksi bisu bagaimana jauh dan dekat menjaga kelekatan saya dengan ibu.
Selamat Hari Ibu, Bu.
51 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Photo
Tumblr media
Sebenernya definisi yang tepat untuk senja itu apa? Mentari yang meninggalkan sang langit, ataukah sang langit yang meninggalkannya demi sang rembulan? Ehmmm mungkin yang bener adalah bulan yang memisahkan mereka. Atau justru bukan pula semuanya?? Aukk ahh
Mentari bahkan selalu kembali esok hari setelah kemarin menenggelamkan diri, seperti selalu bersedia memaafkan meski berulang kali terlukai.
Senja selalu saja berbicara tentang perpisahan. Bagaimana ketika dia ditinggalkan, atau bagaimana rasanya harus digantikan. Bagaimana ketika semua mata memandang, tetapa dia harus bertahan. Memang begitulah adanya, seringkali ada hiperbola rasa yang terlahir bersama senja yang teduh. Entah saat lelah ingin mengeluh, atau meneteskan peluh.
Percaya atau tidak. Sadar atau tidak. aku selalu merasa ada pesan yang ingin disampaikan senja. Dan pesan yang ingin disampaikan senja sore ini kepadaku ialah perihal “rela”.
Senja membuatku paham makna dari kata “rela”. Bahwa apa yang saat ini ada bersama dengan kita, tak mesti selamanya. Semua punya masa-nya masing-masing. Tanpa kita duga, tanpa kita pinta, masa itu akan tiba dan tidak sedikitpun kita dapat menolaknya. Siap atau tidak, kita tidak bisa mengaturnya seperti yang kita harapkan.
Dalam hidup kamu akan bertemu satu atau dua orang yang seperti senja. Indah, tak tergapai, lalu hilang.
Saat dihadapkan pada sebuah pertemuan, bisa jadi saat itu pula kita harus bersiap untuk kehilangan. Memang begitu adanya. Terkadang apa yang begitu kita jaga dan kita cintai adalah takdir orang lain. Dan senja membuatku paham atas semua hal itu, yang membuatku mengerti apa itu “rela”. Dia yang selalu bersedia kembali meski terusir ribuan kali. Dia menerima dan dia merelakan sang langit bersenandung dengan sang rembulan.
Tapi apakah senja mengajarkan kita untuk mengeluh?
Entahlah, yang aku tahu senja selalu tiba. Tapi dia tak selalu bercerita tentang sedihnya berpisah. Bukankah ada saat-saat dimana kamu merasa bahwa senja sore begitu manis? Bukankah ada saat-saat dimana kamu merasa bahwa sore begitu teduh?
Perpisahan tak selamanya berbicara tentang kesedihan. Ada waktu dimana ia terasa begitu manis. Seperti saat kita percaya, bahwa berpisah tidak akan mampu menghancurkan rasa. Bahwa mereka yang pergi, pasti akan kembali.
Jika kelak kamu adalah sebenar-benarnya takdirku, kamu pasti akan dikembalikan padaku dengan cara yang begitu istimewa. Jika tidak, disinilah aku belajar melepaskanmu, dan menenggelamkan segala angan dan harapanku atas kamu.
Pantai Losari, Makassar, Pukul 17.29
649 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Bagi saya, haram hukumnya kalau ada yang menyisakan kopi di cangkirnya. Karena menikmati kopi adalah salah satu anugerah yang diberikan Tuhan.
So, menyisakan kopi dicangkir = mendustakan nikmat Tuhan.
Tumblr media
PAHAM MAKSUDNYA?
793 notes · View notes
celotehpanda · 6 years
Text
Awan pun pernah menjadi hitam, murung dan menurunkan hujan. Tapi itu hanya sesaat, dia akan menjadi biru yang indah di keesokan harinya bersama matahari yang sempurna. Wahai luka, kau akan sembuh pada saatnya.
29 notes · View notes