Tumgik
prasasri · 7 days
Text
Tentang tempo hari yang harus melewati drama salah tiket kereta. Kabar baiknya, meski pun tidak dapat tiket kereta pengganti dan harus memilih naik bus. Toh pada akhirnya sampai juga ke tujuan, kan?
Jalannya memang harus jadi lebih berliku, harus ganti bis dua kali, harus jalan kaki yang cukup jauh di bawah terik matahari dan emosi jiwa raga. Rasanya memang lebih capek, tapi ketika sampai tujuan, rasa syukurnya jadi membuncah tiba-tiba, melebihi dibandingkan biasanya.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note · View note
prasasri · 11 days
Text
Dari kacamata orang sekitar, jelas aku nampak seperti manusia yang tak kunjung selesai dengan perasaan masa lalu. Masih terus menggali cerita lama untuk diceritakan ulang, lengkap dengan senyum-senyum sendiri yang membersamai. Pun juga dengan memoar yang terkesan tak ada yang sebaik dia, sosoknya seperti tak akan terganti sampai ujung batas jalan kehidupan dunia. Segagal move on itu aku di mata orang sekitar, lucu, padahal kenyataanya tidak jarang memang demikian.
Aku membiarkan penilaian itu berterbangan di sekelilingku, tidak membenarkan tidak pula menyalahkan. Sebab keduanya adalah prespektif masing-masing orang, kan?
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 12 days
Text
Karena ia pernah menjadi bagian penting dalam hidup ku, ia pernah menjadi salah satu sumber energi semangatku untuk bertahan dan menuntaskan segala yang sudah aku mulai, ia pernah menjadi obat paling mujarab ketika aku sedang terkapar di ICU, ia pernah menjadi telinga yang paling sabar mendengar banyak keluh dan tangisku yang super berisik, ia pernah menjadi teman perjalanan yang paling menjaga hingga aku sampai tujuan.
Ia pernah menjadi sepenting itu, hingga kini aku jadi buntu, lupa caranya menutup cerita lama dan memulai cerita baru. Cerita bersamanya, bab demi bab yang kita jalani tidak pernah sesederhana itu. Begitu membekas dan meninggalkan banyak ingatan, pun juga sebagiannya adalah ketergantunganku pada hadir sosoknya.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 17 days
Text
Tumblr media
Padahal sudah berlalu 17 tahun. Tapi sungguh, rindunya tidak pernah berkurang sedikit pun, kadang justru makin membuncah.
Hingga terkadang terbesit pemikiran, "kalau masih ada Ibu beserta doa-doanya yang melangit selepas salatnya, banyak hal yang terjadi di hidupku rasanya pasti tidak akan seberat saat ini untuk dilalui."
0 notes
prasasri · 24 days
Text
Mungkin untuk selamanya, aku akan membiarkan ingatan baik tentangmu tersimpan dalam salah satu ruang pikiranku, menerima jika tiba-tiba kepingan memori ingatan itu kembali terputar tanpa sengaja dalam isi kepalaku. Jangan salah paham dulu, aku membiarkan cerita baik itu tetap ada semata untuk menutup cerita buruk yang pernah terjadi. Sebab, ketika teringat kembali cerita buruk yang kamu lakukan padaku tempo hari, rasanya selalu sempurna membuat dadaku kembali sesak, pada akhirnya aku sendiri yang kerepotan menyembukannya lagi.
Iya, ini untuk diriku sendiri, bukan untuk kamu atau siapa pun, jadi tidak perlu merasa apa-apa. Tetaplah berbahagia dengan hidupmu yang sekarang dan selalu merasa tidak pernah punya salah apa-apa, seperti yang sudah-sudah.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 3 months
Text
Kemarin, di ruang tunggu poli sebuah rumah sakit, macam-macam potret masa tua tergambar nyata, hilir mudik menjadi cerita yang menyisakan pesan dan kesan.
Pasien A yang terlihat kisaran usia tujuh puluhan, terhuyung-huyung menapaki langkah demi langkah menuju bangku ruang tunggu. Sedang anaknya yang membawa nomor antrean sudah jalan lebih dulu, sibuk sekali dengan gadgetnya. Tidak ada tegur sapa atau sentuhan hangat di antara mereka. Hanya ada bentakan, "cepat sedikit dong, Ibu ini lelet sekali jalannya!" ketika orang tua itu tak kunjung sampai ke tempat duduk. Yang dibentak nampak layu dan murung, tergesa-gesa duduk di pojok ruang tunggu sendirian. Sedang yang membentak kembali asyik dengan gadgetnya.
Pasien B yang terlihat kisaran usia tujuh puluhan, melangkahkan kaki menuju ruang tunggu sendirian, duduk dengan nyaman setelah memastikan rok panjangnya tidak menyangkut di pembatas kursi. Lalu menyapa suster dengan wajah riang gembira dan senyum yang senantiasa menghiasi wajah cerah dengan keriput yang belum begitu nampak. Sesekali bertegur sapa dengan pasien yang duduk di kanan kirinya, aura positif pasien ini seketika menguar ke sekelilingnya.
Sendiri itu mungkin memang terlihat menyedihkan tapi nyatanya lebih menyedihkan dibersamai orang yang hanya menambah luka setiap harinya.
1 note · View note
prasasri · 3 months
Text
Minggu pagi dengan sisa gerimis subuh tadi, hadir sepasang suami istri yang barangkali berusia sekitar 60 tahun. Sang suami memapah sang istri turun dari motor. Bekas suntikan yang dibalut perban tipis terlihat di punggung tangan istri.
"Mbak, serabi ini pakai santen tidak ya?" Tiba-tiba sang suami sudah berada di depan warung setelah memastikan istrinya duduk aman dan nyaman di kursi samping warung.
"Iya, Pak. Pakai santan untuk guyuran di atas adonan," jawabku berusaha memberi penjelasan singkat.
"Bu, pakai santan, tidak apa-apa?" tanya suaminya dengan suara lembut di samping istri. Sang istri yang masih nampak lemas sedikit mengangguk.
"Ya sudah, dicoba sedikit ya, Bu. Nanti kalau kata dokter boleh ya bisa makan lebih dari satu." Suami dengan cepat memutuskan, mencoba membesarkan hati istrinya. Seulas senyum manis kini menghiasi wajah istri.
"Terima kasih, ya Pak. Sehat-sehat ya." Kataku sembari menyerahkan lima biji serabi pesanannya.
"Terima kasih, Mbak. Doakan istri saya sehat ya, ini baru dari UGD karena kurang enak badan." Dengan wajah tulus bapak itu, nampak kekhawatiran yang teramat sangat tentang kondisi istrinya.
"Iya, Pak. Semoga sehat kembali ya, Bapak juga sehat-sehat." Jawabku sembari menyerahkan kembalian sepuluh ribu rupiah.
Sepasang suami istri itu lantas saling gandeng menuju motornya, sang suami dengan telaten memperhatikan langkah istrinya agar tidak terpeleset. Sang istri pun menggenggam erat tangan suaminya, mempercayakan sebagian langkah kaki pijakannya.
Aku trenyuh menyaksikannya. Saat berita di media sosial sedang marak tentang perselingkuhan, di hadapaku hadir sepasang suami istri yang sudah lanjut usia tapi masih saling menopang, saling percaya, saling perhatian, saling menghormati satu sama lain. Sungguh tidak mudah menjaga cinta agar tetap pada pondasi awal dibentuknya dengan dua pilar yang kadang berat sebelah, kadang rapuh sebelah, tapi entah kasih seperti apa yang mereka cipta hingga selalu membawa pautan kedua hati mereka kembali kokoh.
1 note · View note
prasasri · 3 months
Text
Tiba-tiba isi kepala mengajak mundur pada ingatan beberapa tahun lalu. 2015-2016, masa di mana kita sama-sama berjuang. Bekerja sambil kuliah, kamu menuntaskan tugas akhir tanpa menolak shift malam yang membuatmu sering pulang pagi. Sedang aku masih asyik dengan praktikum kuliah drama yang kerap membuatku bermalam di kampus juga menyelesaikan pekerjaan kantor yang berkutat pada promosi, pembuatan katalog, pameran, dan project buku pertamaku kala itu.
Pukul 24.00 WIB dengan sisa tenaga yang kita punya di hari itu, kita saling bertukar pesan, "hari ini happy tidak? Berjalan menyenangkan atau ada yang membuat sebal?" Kalimat itu selalu berulang setiap hari, menjadi kalimat penutup sebelum terlelap.
Aduh, aku jadi mengulang cerita lama lagi, padahal akhir ceritanya sudah terpisah jadi bagian masing-masing sejak empat tahun lalu. Tapi selepas ini, pasti yang mengulang cerita masa lalu akan dianggap si paling terluka yang gagal move on. Padahal terkadang, sembuhnya luka yang sudah lalu bisa terlihat jika si empunya cerita sudah bisa menceritakan kembali cerita yang sudah-sudah dengan biasa saja, tanpa sesak dan isak lagi.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 3 months
Text
Dari sudut mana pun kita memang sudah tidak bisa untuk sama-sama membenahi. Tiap-tiap simpulnya sudah tidak bisa rekat lagi. Berhamburan menjadi kepingan-kepingan, bahkan sebagian sudah hilang dari jangkauan. Kalau masih ngotot untuk kembali merajut lagi, ketika kita berupaya mengumpulkan kembali kepingan-kepingannya, ternyata yang terjadi justru luka yang belum benar-benar sembuh itu akan tergores lagi, bahkan mungkin akan semakin dalam.
Sampai di sini, akhirnya kita sama-sama menyepakati bahwa makna dari 'menyudahi' tidak selalu tentang ketidakberdayaan mempejuangkan, tapi kebesaran hati untuk melepaskan dan saling menyembuhkan.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 3 months
Text
Selamat pagi, dari sudut paling strategis di kota kecil ini, lengkap dengan ramai sepi yang berganti secara cepat tiap harinya. Untuk pertama kalinya di tahun ini, gerimis mengguyur jalanan pagi-pagi sekali. Para pengendara tidak banyak yang menepi. Memang benar, bagi kebanyakan orang, pagi adalah tentang terburu-buru, entah karena jarak yang dituju terbentang banyak kilometer atau karena tuntutan ketepatan waktu tapi diri sering memilih menegosiasi dengan rayuan 'nanti dulu'.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 5 months
Text
Sudah susah payah menjaga jarak sejauh mungkin di dunia nyata dan dunia maya, eh nyamperinnya di dunia mimpi. Merepotkan sekali. Coba tolong jelaskan, bagaimana cara memblokir orang model begini di dunia mimpi?
—Prasetyani Estuning Asri
1 note · View note
prasasri · 5 months
Text
Ternyata, mimpi buruk itu bukan ketemu setan, tapi ketemu seseorang yang pernah meninggalkan kesan atau pesan yang menyakitkan. Padahal cerita di mimpi biasa saja, tapi karena tokoh di mimpi adalah orang yang keberadaannya pernah tidak mengenakkan hati, jadi mengganggu tidur. Mendadak kebangun, dada berdegup kencang, keringat dingin, ketakutan luar biasa. Aduh, bisa-bisanya di dunia nyata, di dunia maya, sampai di dunia mimpi, orang model begini selalu merepotkan hati saja.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 5 months
Text
10 Desember 1962, lahir seorang perempuan yang kuat, sederhana, pekerja keras, dan tegas. Bersamanya, selalu ada nilai-nilai dasar kehidupan yang ia bagi, dan ternyata hari ini jadi pondasi untuk menjalani kehidupan dengan cerita yang seringkali mengejutkan. Meski sudah melewati 16 tahun perpisahan ~yang berat~, tapi pelukan hangatnya masih membekas hingga kini, belaian lembut itu nyamannya masih terbawa hingga hari ini. Banyak kebiasaan yang sudah diajarkannya sejak kecil: mengaji, salat, cuci gelas-piring sendiri, lipat baju sendiri, taruh sepatu+sandal pada tempatnya, menghanger baju yang masih akan dipakai esok, tidak menumpuk cucian perabot dan baju, berganti baju langsung di kamar mandi, tidak pakai baju+celana pendek walau bersama keluarga inti sendiri, marapikan kasur sebelum tidur, berdoa sebelum makan dan tidur, menulis buku harian, membaca buku, dll dll. Perempuan yang kupanggil Buk'e. Terima kasih ya, Buk untuk 12 tahun kebersamannya, maaf ya kalau lagi kangen masih suka nangis. Hehe🫂Al-fatihah🤲
Tumblr media
0 notes
prasasri · 5 months
Text
Ketika ingatan yang pernah melukai hati sedemikian dalamnya itu kembali, ternyata tidak semudah itu untuk bersikap semua baik-baik saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lalu, kalau dipikir-pikir lagi, siapa yang menciptakan luka yang kadang kala masih muncul di ingatan itu? Tapi yang disalahkan tetap yang punyai luka ya, dilabeli keras hati karena tidak bisa memaafkan. Lagipula, sebenarnya sudah memaafkan, tapi bukan berarti sepenuhnya jadi lupa.
Aduh, padahal yang punya luka pun ingin baik-baik saja. Ingin segera sembuh dari segala luka batin masa lampau, ingin biasa-biasa saja ketika ingatan itu mengepung isi kepala. Dikira mudah ketika harus disiksa oleh luka batin dari orang terdekat yang ternyata terus melekat menjadi bagian kehidupan ini? Menyiksa! Sungguh. Belum lagi traumanya, selalu jadi lebih curiga pada siapa saja karena sudah hilang percaya. Bagaimana tidak, sudah pernah sedemikian percaya pada orang-orang terdekat, tapi ternyata dikibulin juga, dilukai, dikasih plot twist yang bikin sesak napas, menangis sampai kedua mata bengkak, dan sulit tidur.
Aduh. Aduh.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note · View note
prasasri · 5 months
Text
Kalau kamu pernah menyakiti seseorang dengan kebohongan yang tidak disangka-sangka, kemudian seseorang itu bisa memaafkanmu tapi kamu merasa ia tidak lagi seperti dulu, seperti membatasai komunikasi atau mengurangi interaksi. Barangkali itu bukan sekadar perasaanmu saja, tapi memang benar demikian adanya.
Mana ada, luka jahitan di kulit yang sudah robek berdarah-darah, lalu di kemudian hari permukaan kulit itu bisa bersih lagi tanpa tinggalkan bekas jahitan? Mana ada, orang yang membiarkan bekas jahitannya kembali terluka dan rela dijahit ulang di luka yang sama pula? Konyol saja kedengarannya.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 5 months
Text
Jangan gaduh karena isi kepala yang berbeda, tidak ada yang harus diperdebatkan dari banyak anggapan yang tidak sejalan. Sebab, bukankah memang kebersamaan ini sejatinya adalah tentang penerimaan?
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
prasasri · 6 months
Text
Tentang pergantian musim, tidak ada yang serta merta dapat melaluinya dengan mudah. Beberapa orang yang staminanya kurang fit, tubuhnya kerap didera demam atau batuk pilek karena perubahan cuaca yang ekstrem.
Bukankah perihal perubahan hati tak ubahnya serupa juga? Yang pada awalnya saling mencintai kemudian saling membenci. Tidak semua orang bisa melaluinya dengan mudah, ada yang sakit hatinya dalam sekali. Harus berjuang keras melalui fase membiasakan diri dengan perubahan hatinya sendiri dan hati seseorang yang dulunya ia cintai.
Seperti sakit fisik karena pergantian cuaca, sakit hati karena pergantian perasaan, bukankah mestinya bisa sama-sama kita maklumi? Dan bentuk pemakluman itu selalu bisa dilakukan dengan mudah: tahan diri untuk menghakimi orang lewat kalimat, "lemah banget sih kamu!".
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes