Tumgik
atomicflouder · 3 years
Photo
Tumblr media
Illshurrekshun For Impending Resurrection!
0 notes
atomicflouder · 4 years
Text
Aku Tidak Akan Pulang Kerumah. Ketika riuh. Aku tidak akan kembali ke dalam pelukan. Ketika banyak mata tertuju padamu Aku ingin sepi-sepi. Menyalakan api dan menghangatkan tubuhku sampai tiba saat dirimu pantas kembali. Padaku. Ilalang terbakar. Ketika itu aku duduk di pojokan. Menukar rasa cinta yang sukar. Aku tidur di kaki malam. Melupa diri. Mabuk sendiri. Bila malam pulang. Pagi datang. Dan aku masih disini. Jangan cari Aku bisa kembali pergi Menabung kerinduan Mengusir dingin dengan matahari yang bisa membakar ubun-ubun. Lalu aku lari. Lagi. Sayangku. Ini sajakku. Sajak kejujuranku. Sajak yang sejak lama sudah tertimbun. Lalu menguap kembali ke udara bersama hari. Aku mau sepi sayang. bersamamu. Atau sepi sendiri jua. Tak akan mengapa.
0 notes
atomicflouder · 5 years
Photo
Tumblr media
NEKRODAMUS
0 notes
atomicflouder · 5 years
Photo
Tumblr media
145 notes · View notes
atomicflouder · 5 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
JALAN BEBAS HAMBATAN
Lihatlah semut yang sedang mengelilingi jemarimu. Mungkin perjalanannya sudah terlalu jauh, hingga yang dia lakukan hanya berputar di atas telapak tanganmu. Mungkin dia tak sadar dan lupa, dari mana dia berangkat, bagaimana perjalanannya, atau mengapa akhirnya ia sampai ke sini.
Semut ini tak sendirian, kita (ya, aku dan kamu) kenal benar rasanya berjalan-jalan hingga rumah tak lagi menyembul di pojok mata (setidaknya dalam kepala masing-masing). Dengan atau tanpa alasan kita memulai perjalanan ini. Mungkin kita ingin menambal keseharian yang datar, menginterupsi seringai tugas yang tertumpuk di meja, mendistorsi perspektif hingga dunia terasa baik-baik saja. Kita sudah bebal ditemui kebosanan, cukup, tak lagi-lagi, dia tak diterima di sini. Pada mulanya adalah rasa ingin tahu. Seingatku, penasaran adalah bahan bakar utama perjalanan ini, mungkin hingga kita lelah dan merasa tak bisa lagi menoleh (nanti).Tentu ini sebuah pemberontakan masa muda, atau setidaknya upaya untuk tak terjebak di kehidupan yang repetitif; apa pun alasannya, titik awal perjalanan ini sungguh menyenangkan.
Pintu kemungkinan yang dulu terasa tak mungkin terjamah pelan- pelan terbuka lebar. Krisis dan sengkarut keseharian yang tadinya melelahkan perlahan berubah menjadi baik-baik saja. Perbincangan dan opini terasa segar, interaksi antarmanusia jadi menarik. Realita tak lagi terbagi-bagi, akhirnya, kita dapat menikmati mengurut benang-benang penghubung di antaranya.
Hingga satu titik di mana kita merasa  perjalanan ini  mengubah kita menjadi lebih manusiawi. Perlahan kita mampu melompati realita dan sukarela menjalani keseharian, tak ada yang berat pula memusingkan, tepatnya tak perlu dipikirkan. Lagi pula perjalanan ini memipihkan kesadaran kita, membuatnya lentur kemudian sanggup menyerap realita via lensa yang ramah. Kita juga mampu menggali kegiatan repetitif, seperti menemukan kenyataan bahwa Nasi Kuning yang biasanya kita acuhkan, mendadak jadi santapan yang sedap.
Perjalanan ini juga bercabang-cabang. Bukan seperti jalan lain yang hanya memiliki beberapa area istirahat dan tujuan, cabang jalan dalam perjalanan ini sangat mungkin menimbulkan cabang baru. Bisa saja kita menemui pelajaran bijak (semu) tentang kehidupan, mengunjungi tepi kesadaran, mampu membatu hingga realita terasa jinak atau membangun interaksi manusiawi pada karibmu.
Dari sana, perjalanan semakin ringan. Menyenangkan. Terlalu penting untuk dilewati begitu saja, pikir kita. Bila mungkin, kita enggan sejenak menepi dari perjalanan ini. Untuk berpikir sejenak dan menghitung langkah, sudah seberapa jauh kah kita? Kita sudah jadi manusia macam apa? Tak perlu berhenti sekarang, momen sudah terlanjur bergulir. Naga itu sedikit lagi tercapai genggaman.
Kita merasa seperti manusia, tapi manusia lain terasa tak menyenangkan. Pertemanan kita kerdilkan jadi sekedar relasi ekonomi. Apa yang aku bisa peroleh darinya? Ruang? Waktu? Akses? Peduli setan tentang masalah mereka, seharusnya yang memilih perjalanan ini bisa mengurusi masalahnya sendiri. Belum lagi kita harus tidur memeluk gunting dan pulpen, setengah terjaga, jangan sampai di tengah perjalanan sulur hukum menjerat kita.
Perjalanan ini akhirnya menjadi satu-satunya arah yang kita tapaki. Cabang-cabangnya membuat keseharian semakin berjarak dan kita lambat laun menikmati jarak ini. Buat apa mencerna realita ketika kita bisa memandanginya dari jauh? Tempat ini ramah bagi kita, karena di sana kita bisa menjadi penonton setia. Biarkan lebah-lebah itu berseliweran, toh tak ada yang menyengatmu.
Perjalanan ini menjadi totalitas hidupmu. Proyek ini adalah muara pilihan dan perilaku kita sehari-hari. Terlalu nyaman dengan jarak yang hadir, realita tak lagi menarik untuk dicerna. Hambar dan mudah diterka. Lebih baik jika kita teruskan saja perjalanan ini, toh lubangnya masih panjang. Hingga tanpa disadari, mati rasa senang hati merangkul kita.
Dengan kulit yang menebal dan indra tertutup rapat, kita sukarela terus menerus berada dalam kekosongan. Mungkin kamu ingat cabang perjalanan ini, rasanya familiar, seperti selimut di atas kasur atau dinding putih yang menatapnya. Di ruang itu kesadaran kita  tak lagi pipih, jangankan kesadaran, berfungsi pun sulit. Pikiran kita digerakkan impuls-impuls sementara, kebanyakan soal meneruskan perjalanan, walau kita tau hal itu tak lagi menyenangkan.
Perjalanan ini memangkas waktu dan mengerutkan ruang. Sudah berapa lama kita berada di perjalanan ini? Sudah  sampai mana kita? Sudah berapa banyak kenyataan yang kita tolak masuk? Lebih penting lagi, apakah perjalanan ini membuat kita lebih manusiawi? Atau justru membuat kita hanya nyaman mengambang?
Tak ada yang tahu jawabannya, mencarinya terlalu melelahkan, pula menginterupsi perjalanan ini. Lensa kanta yang tadinya membantu kita mencerna realita, sudah tertinggal di cabang entah yang mana. Kesadaran ekspansif itu kini tinggal menyisakan arogansi dan kebebalan. Interaksi kita dengan manusia lain kini hanya sekedarnya, hanya memastikan kita belum wafat. Bila mereka ingin menumpang perjalanan kita, silahkan, tapi tak usah terlalu lama.
Semua interaksi kita berada dalam pancang-pancang perjalanan kita. Hampir semua relasi sosial kita terasa tak penting, tak relevan tepatnya, bila tak berhubungan dengan perjalanan ini. Menjadi manusia menjadi urusan belakangan, yang utama adalah meneruskan perjalanan. Kemudian lingkar-lingkar pun pecah, mengerut hingga kita tak lagi dapat mempercayai siapa-siapa.
Menyisakan kita, berjalan sendiri, yakin tak bisa memutar arah. Lagi pula perjalanan ini jauh lebih baik dari pada realita, seburuk apa  pun itu. Jarak itu meyakinkan kita, bahwa hanya ada satu perjalanan yang sanggup kita tempuh. Sampai akhirnya kita tak lagi  yakin bisa meneruskan perjalanan ini, perlahan akhirnya kita menoleh. Rumah tak  lagi terlihat, kita berpisah karena jarak. Pada saat ini  aku mengamati sekeliling, aku bahkan tak lagi mengenali tempat ini. Tersesat tanpa pernah ke mana-mana.
Jemariku masih dikelilingi si semut. Aku baru menyadari beberapa semut sedang melubangi lumbung sinsemilla milikku. Dengan sigap kuusir semut-semut itu. Tak lama kemudian, seseorang menepuk tanganku.
“Kita mau ke mana sih?” “Pantai kan?” kataku.
“Oh iya, kok enggak nyampe-nyampe?”
Dia kembali menatap ke depan, meluruskan setirnya, menyulut gorilanya.
serupa jalan bebas hambatan, harapan serta asa yang kita jaga akan menyongsong perjalanan tiada akhir. Sebaik apapun, seburuk apapun, bersabarlah
0 notes
atomicflouder · 5 years
Text
Fuck You Kemeninfo!!
0 notes
atomicflouder · 6 years
Photo
Tumblr media
The Most Narcissistic Beings : Girls
0 notes
atomicflouder · 6 years
Photo
Tumblr media
Kerajinan
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Khianat
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
" The Incredible Musician , Indonesian Mine's . Vira Talisa Has Played Some Bossa Nova And Folk Stuff . It Should Be Good In Another Times I Think "
( oc-602 : VIRA TALISA - Self Titled E.P / Orange Cliff Records, 2017 )
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Ikhlas
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Happy Birthday Lee Friedlander!
American photographer Lee Friedlander, born #otd in 1934, has one of the most inventive, prolific careers in the history of photography. Friedlander’s lively, irreverent glimpses of city streets and tongue-in-cheek self-portraits of the 1960s upended the earnest humanism of postwar photography. In the decades that followed, he evolved an influential visual language of the “American social landscape” that continues to inspire imitation. Explore works and past exhibitions at mo.ma/2tnoO7D.
[Lee Friedlander. “Provincetown, Massachusetts.” 1968. Gelatin silver print. Gift of the photographer. © 2017 Lee Friedlander.]
345 notes · View notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Selamat Hari Rilisan Fisik Sedunia !
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Gerigi Gila
1 note · View note
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Humans Are Only Animal That Drinks Another Milk
0 notes
atomicflouder · 7 years
Photo
Tumblr media
Janur
0 notes