Tumgik
ansefast · 2 months
Text
Tak semua siap menjadi tempatmu berkeluh kesah. Tak semua siap menerima lukamu. Tak semua siap mendengar riuh di kepalamu. Manusia ada kalanya bosan. Manusia ada kalanya sibuk dengan waktunya. Pada akhirnya kamulah yang harus benar-benar menyayangi dirimu. Pada akhirnya kamulah yang harus benar-benar menghormati dirimu.
@terusberanjak
355 notes · View notes
ansefast · 9 months
Text
Pada akhirnya, orang yang kita butuhkan bukanlah ia yang pandai berbicara di depan umum, bukanlah ia yang mahir berstrategi dalam berorganisasi, bukanlah ia yang memiliki capaian prestasi gemilang. Bukan. Tapi ia yang bisa menghargaimu, sesederhana apapun. Tapi ia yang bisa mendengarkanmu, tanpa judgement. Dia yang bisa mengayomi tanpa kamu merasa didominasi. Dia yang bisa mengarahkanmu tanpa kamu merasa ragu utk dibersamai. Iya, kan?
Berbicara di depan umum bisa dipelajari, namun mengerti cara untuk menghargai adalah bagian dari pribadi. Nanti, semoga kita dipertemukan, ya. Aku pun masih banyak belajar.
452 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Tiba masanya merasakan apa yang dulu pernah dinasihatkan ke orang lain. Dan seperti biasa, nasihat-nasihat yang pernah terucap, nyatanya akan selalu diuji di kemudian hari. Mampukah kita melakukan, menerapkan, mengamalkannya dengan baik? 
22 notes · View notes
ansefast · 1 year
Note
Kak, apa harapan kakak kepada calon istrinya kelak?
HARAPAN KEPADA DIA
Harapan itu apa yang bisa menjangkau. Ada jembatan relasi yang mempertemukan. Karena saat ini jembatan itu belum ada, tentu harapan saya belum terbentuk. Apalah lagi calonnya masih berterbangan. Entah, lagi berputar-putar di mana?
Tapi harapan kepada diri sendiri, tentu ada. Dan itu yang lebih saya utamakan. Harapan agar saya tetap komitmen dalam nilai-nilai agama; harapan agar saya tetap menjaga diri menjadi pribadi yang baik dan memperbaiki; harapan agar saya terus berada dalam lingkaran yang baik-baik.
Sebab, dia adalah proyeksi dari apa yang ada dalam diri. Saya mengambil jalan kesederhanaan, pun saya ingin dia begitu. Saya memilih jalan keberkahan, tentu saya ingin dia meniti jalan yang sama. Saya berupaya komitmen pada perbaikan diri, pun tentu dia akan begitu. Jadi, ketimbang saya melempar harapan kepada dia, saya memilih untuk memulainya lebih dahulu. Bukankah, sekali lagi, pasangan kita adalah proyeksi diri kita?
53 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
menikah (dan punya anak), mengorbankan jati diri?
Sebelum saya menikah, saya sering berpikir kalau saya tipe perempuan ‘yang sulit dinikahi’. Kurang wife-able. “Emang ada yang mau sama cewek yang suka ngobrolin isu-isu sosial dan makroekonomi cem aku? Apakah perempuan itu utamanya untuk dipandang, daripada dijadiin tandem diskusi?”
Tumblr media
Nengok sana-sini, teman-teman perempuan yang lebih cepat menikah, mostly nggak kayak saya (mostly yang saya observe ya, bukan berarti representasi keadaan sesungguhnya). Bukan tipe penantang diskusi belibet kayak saya. Tapii, da atuh saya ingin menikah, hehe Akhirnya saya berdoa. Minta diberikan suami yang bisa saling menghebatkan potensi satu sama lain, berlandaskan ridhaNya. Ingin suami seperti sahabat. Saya merasa doa saya dikabulkan, bahkan pengabulannya lebih baik dari doa saya. Sepanjang pernikahan, selain diskusi soal “Kapan cucian mau dijemur?”, “Sayang aku cantik nggak sih?”(hahaa), kami cukup intens berdiskusi soal isu-isu sosial dan politik. Rasanya seruu. Jati diri saya seolah menemukan rumah. Bahkan, akhir-akhir ini kepikiran ide-ide kolab seru bareng suami.
Sedangkan saya belajar juga, para pribadi yang bisa menyelaraskan jati diri dan panggilan jiwanya dengan tugas sebagai orangtua, justru menginspirasi anaknya.
Apakah berarti tidak berkorban sama sekali? Tentu, ada pengorbanan, termasuk berpikir keras, diskusi alot, nangis-nangis, hingga istikharah berkali-kali– gimana potensi dan jati diri saya ini bisa di-adjust dengan peran utama saya sebagai istri dan ibu.
Tapi mengorbankan keinginan dan ego dalam pernikahan bukanlah mengorbankan jati diri.
Anggaplah jati diri kita adalah bongkahan batu– dimana menikah, memilki anak, ikhtiar penyelarasan, serta tawakkal makin mengamplas batunya menjadi intan yang berkilau terang.
Your truest you to the next level. Wallahu'alam.
*Ilustrasi dari sini.
111 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Tersambar Nasihat Lama
@edgarhamas
Adakah prinsip baik yang dulu kau yakini, namun makin bertambah umurmu kau mulai melupakannya?
Beberapa malam lalu, seorang guru membahas satu hal sederhana. Tapi bagiku ia bagai sambaran petir luarbiasa. Tausiyah itu berjudul: "Uluwwul Himmah", semangat yang tinggi.
"Kita tidak bangkit dan maju, karena himmah kita receh. Semangat kita redup", sebuah kalimat yang sebenarnya biasa, tapi ia menggugat kepala para manusia dewasa yang mulai menyerah pada mimpi-mimpinya.
Untuk bersemangat saja, banyak di antara kita yang mulai enggan.
Sihir rutinitas membuat kita mati rasa. Semangat besar yang dulu pernah berkobar bahkan kita senyumi sinis karena kita menganggapnya polos dan tak berguna. Beberapa di antara kita, sekadar semangat saja sudah tak punya. Apatah lagi untuk menyelesaikan impian dengan sempurna.
Dulu, kita yakin betul dengan mimpi. Dulu, kita antuasias untuk lakukan banyak hal dengan penuh energi.
Ya, aku tahu realitas membuat kita kaku. Kenyataan meremukkan ekspektasi. Komentar orang membuat kita enggan mencoba lagi. Tapi, apa cuma segitu kita pernah punya nyali?
Tausiyah malam itu, tentang "Uluwwul Himmah", tentang memiliki semangat nan tinggi untuk mewujudkan hal besar. Itu kan yang sering kita bahas ketika masih berseragam putih abu-abu? Ia hadir lagi menggedor pikiran dewasamu yang mulai menjalani hidup sekadarnya saja.
Pantas saja ada orang yang hidupnya hanya sampai usia dua puluh lima, tapi baru dikubur ketika umurnya tujuh puluh lima.
Mari merenung kembali atas perjalanan yang sudah lumayan jauh ini. Adakah ia telah menyerah; atau masih yakin dan punya kemauan mengubah keadaan?
278 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Connected
Judul “Reconnecting” di tulisan kemarin, mengingatkan saya pada suatu momen. Segala hal tentang saat itu, membuat saya membubuhkan judul “Connected” pada tulisan kali ini: TERHUBUNG.
Saat itu, kami sedang menjadi panitia sebuah agenda kaderisasi. Terpilihlah alam sebagai tempat menempa diri, sebut saja Hutan Pinus Nglimut di Kendal. Untuk acara ini, kami sudah bersiap beberapa bulan sebelumnya. Tentu saja, banyak tantangan dijumpai. Saking banyaknya, saya pernah temukan seorang yang ceria menyendiri menangis karena lelah. Hanya tepukan-tepukan kecil yang mampir di pundaknya, entah dapat membantu atau tidak :D
Saat itu para lelaki sudah meluncur ke Hutan Pinus. Saya dan Mba @bardiatulazkia yang menyusul, harus berangkat berboncengan berdua, tanpa iringan laki-laki (maklum Fakultas Kekurangan Mas-mas hehe). Saat hari mulai gelap, tiba-tiba hujan mengguyur sangat deras. Kami memutuskan berhenti di pos kosong di pojok tikungan. Setelah hujan cukup reda, kami melanjutkan perjalanan menerjang gelap. 
“Il.. Muroja’ah apapun yang Iil hafal..”. Kami mulai sedikit takut, motor yang dinaiki benar-benar sendirian di tengah kegelapan. Jika ada cahaya kendaraan lain, antara bahagia dan takut juga tak dapat dijelaskan. Bisa jadi orang baik, bisa jadi bahaya juga, ya kan? 
Alhamdulillah. Allah sampaikan kami ke lokasi panitia, walau sempat tersesat di jalan yang gelap dan menanjak. Bahkan ada juga kawan kami, yang harus terpeleset motornya saat berangkat. Keesokan malamnya, beberapa juga harus terjaga. Terkadang sesaat mengistirahatkan diri di karpet yang beratapkan langit saja. Sungguh penuh drama kepanitiaan ini wkwk :”)
Apakah cukup sampai di situ? Oh tentu tidak. Puncaknya adalah saat pembicara utama yang kami undang dari luar kota, tiba-tiba H-1 menyampaikan tak dapat hadir karena suatu kendala. Kami panik. Tapi seorang senior (non panitia), bersegera meminta kami membaca Qur’an. Sedangkan mereka berikhtar mencari alternatif pembicara. 
Acara tetap berjalan sesuai rundown. Beberapa panitia tetap bertugas sebagaimana mestinya, dan sisanya menyibukkan diri dengan Qur’an masing-masing. Seyakin itu kami, bahwa kemujaraban Qur’an akan menjadi obat ketidaktenangan. Sekaligus merayu, “Yaa Allah, bantu kami…”
Indah. Hingga jawaban Allah pun seindah itu. Seorang mantan Presiden BEM dari provinsi sebelah, alhamdulillah menyambut undangan kami. Beliau berkenan segera berangkat naik bus, kemudian menuju lokasi dengan motor panitia, yang jaraknya juga cukup jauh. Tak hanya itu, beliau berkenan menginap di tenda kecil bersama panitia. Undangan macam apa yang disampaikan H-1 dengan fasilitas seperti itu. Namun beliau hanya berucap kurang lebih, “Saya tahu rasanya jadi kalian, jadi saya coba memosisikan diri. Selagi bisa, kenapa tidak?” 
Sejak pertama mendengar kabar kesanggupan pembicara, hati saya terhujani. Saya menepi sambil menangis. Sangat membara beliau menyampaikan materi di barak, dan peserta menyambut dengan sautan sorai semangat. Saya menyaksikannya dari jauh, tetap sambil menangis. “Allah baik banget… Baiiiik banget…” (Sepertinya di momen seperti itu, @ansefast selalu ada di sana menjadi saksi :D)
Bohong jika kami tak lelah. Panik-paniknya juga ada, tapi tetap saja menenangkan. Di dalam lelah itu, saya masih menangkap aura bahagia dari teman-teman panitia. Saya tangkap juga sabarnya teman-teman yang terkena musibah. Dengan segala drama, kira-kira apa yang masih menyatukan kita? 
We’re connected for reasons we didn’t really know. And that connection, it turns out, was a gift from Allah.
Setelah saya pikir-pikir sekarang… Ternyata bukan hanya acaranya yang kami ikhtiarkan, tapi juga frekuensi iman. Saat itu, kami diminta tak jauh dari Qur’an, juga tetap kencangkan sabuk amal ruhiyah. Selalu begitu sejak zaman persiapan.
Drama-dramanya tetap saja ada. Namun apa yang terbayarkan setelahnya, selalu dapat membuat tersenyum bahagia. Indah sekali dikenang walau berbilang tahun sudah berjalan. Memang mustahil jika nostalgia tak akan berujung panjang :)
——————————
Dari Jogja, 06/01/2023 | 7:57 WIB
12 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Dewasa itu...
"Talang air pecah tadi malam. Mungkin kepanasan. Regulator gas udah mulai ga ngunci. Plafon kamar mandi lubangnya udah mulai besar. TV dari kemarin ndak ada suaranya. Listrik suka mati karena gak kuat, mesti naikin daya. Ini mau kemarau. Air sumur biasanya suka kering. Mending pasang air pam aja."
Waktu kecil, masalah harian, bulanan atau tahunan di atas tidak pernah saya ambil pusing. Tanggung jawab saya hanya berangkat sekolah, ngerjain PR dan makan tepat waktu. Itu saja. Masalah lain saya anggap angin lalu, sebab saya percaya semua pasti beres.
Di dalam pikiran saya, Orang tua saya hebat. Pasti punya tabungan yang cukup untuk bertahan hidup dan memperbaiki ini itu. Semua orang tua, saya pikir juga demikian. Semua orang tua pasti sudah punya tabungan banyak sebelum memutuskan menikah dan siap mengurus anak dan memperbaiki ini itu. Mental orang tua pasti kuat dan punya seribu satu cara mencari uang dan menyelesaikan masalah.
Dulu waktu kecil, semua masalah pasti beres. Entah bagaimana beresnya. Entah berapa uang yang dikeluarkan. Entah di mana beli ini itu. Entah lebih penting itu atau itu, prioritas ini dulu atau itu dulu. Entah dari mana sendok dan piring datang. Entah dari mana panci, gunting, korden jendela datang. Tiba-tiba saja semua ada.
Ketika merengek minta uang dan mereka bilang tak punya, saya yakin mereka sebetulnya punya. Tapi memang tak mau terlalu boros. Entah di mana mereka menyimpan uang, pasti di suatu tempat ada persediaan uang yang banyak yang betul-betul mereka atur dan pasti dikeluarkan saat kondisi mendesak. Jadi tak perlu khawatir.
Sekarang, setelah orang tua saya menganggur dan saya bekerja, saya mengerti. Bagaimana tidur dengan pikiran mengganjal. Besok mesti memperbaiki ini itu. Membayar ini itu. Beli ini itu. Saya paham jika ini tidak dibeli maka ini tidak bisa ada di rumah. Jika ini dibeli maka uang berkurang dan keperluan lain tertunda. Jika keperluan yang lain tertunda bisa jadi nanti berantakan. Tidak bisa masak. Tidak bisa mandi.
Sekarang, saat sumber keuangan datangnya hanya ke saya (dalam keluarga) maka otomatis tanggung jawab semua keperluan ada di pundak saya. Jika ini itu tidak diperbaiki maka tidak akan diperbaiki. Jika plafon kamar mandi tidak diganti maka akan terus seperti itu. Jika oli motor tidak diganti maka tidak akan diganti. Tidak ada yang bisa diandalkan lagi, sebab saya sudah dewasa dan punya pemasukan.
Menjadi dewasa artinya sadar diri dan sadar lingkungan. Jika ini rusak dan saya ikut menggunakannya maka saya juga bertanggung jawab ikut memperbaikinya. Tidak bisa mengandalkan tetangga. Tetangga sudah punya masalah mereka sendiri. Tidak bisa mengandalkan orang tua lagi. Orang tua juga punya masalah dan perjuangan mereka sendiri.
Sekarang, setelah memegang uang sendiri saya tahu bahwa jika tak punya uang artinya memang tak punya. Bahwa dalam kondisi mendesak pun jika tak punya uang maka betul-betul tak punya. Bahwa ternyata orang tua saya pun bisa tak punya uang. Bisa tak memegang uang. Bisa stuck seperti anak kecil yang kehabisan uang saku saat di sekolah. Bahwa orang tua tak selalu punya. Bahwa kadang orang tua pun bisa sangat senang mendapat uang 10 ribu.
Menjadi dewasa artinya mesti belajar banyak hal. Belajar mengganti regulator, memperbaiki stopkontak. Mesti belajar cara memasang pralon dan keran air untuk menghemat uang. Mesti tahu tarif wajar tukang saat ada genting bocor, antena patah atau mau membangun kamar mandi baru. Berapa harga semen dan pasir. Beli di mana yang lebih hemat. Merk semen apa yang bagus. Keramik apa yang paling cocok untuk kamar mandi dan murah.
Menjadi dewasa artinya mesti pandai bersikap dan menanggapi situasi. Mesti tahu informasi hidup orang-orang sekitar, mesti pandai memilah kata sebelum diucapkan supaya tidak menyinggung. Mesti tahu ibu ini pihak mana ibu itu pihak mana. Mesti tahu bapak itu punya masa lalu buruk dengan bapak A atau B. Juga mesti membesarkan hati dan siap karena saya akan mulai menjadi salah satu objek pembicaraan orang di sekitar.
Menjadi dewasa artinya masuk ke dalam sistem sosial. Bahwa saya juga bisa sakit dan perlu berobat. Mendaftarkan diri ke puskesmas. Mengantri di poli klinik rumah sakit. Menebus obat di apotek. Mengurus SIM, bayar pajak di samsat, iuran bpjs. Semua tidak akan didapat jika saya tidak bergerak. Saya tidak bisa sembuh jika tidak berobat. Waktu kecil. Saat sakit yang jadi masalah hanya rasa sakit. Menahan sakit. Masalah biaya, masalah pergi berobat, masalah administrasi sudah ada yang mengurus. Sudah ada yang memikirkan. Saat dewasa, sakit pun mesti memikirkan biaya obat, biaya menginap, biaya konsultasi dokter, biaya transportasi.
Menjadi dewasa artinya menjadi warga negara. Bahwa nama telah tercantum dalam beberapa kartu dan surat-surat penting. Bahwa nama bukan lagi hanya sekedar nama panggilan. Bahwa saya memiliki suara untuk memilih. Bahwa apa yang saya putuskan dan lakukan bisa berdampak besar. Bahwa jika melakukan kesalahan atau kejahatan saya bisa dipidana.
Menjadi dewasa artinya kesadaran makin tinggi dan luas. secara tak sadar saya mesti mengamati tatapan mata orang lain, cara mereka bicara, adakah yang disembunyikan. Senyum yang tulus atau tidak. Basa basi atau serius. Dia suka dengan saya atau tidak. Bagaimana saya mesti menguasai suasana. Berpakaian sesuai suasana. Bersikap sesuai suasana. Rasa malu pun juga menjadi sangat besar dan sensitif.
Waktu kecil, bahkan saya tidak peduli saya di mana. Mau di rumah, pasar, loket kereta, di dalam bus, di tengah hajatan, saya hanya fokus dengan apa yang membuat saya tertarik. Saya tidak peduli dengan yang lain. Saya hanya peduli teman saya bersembunyi di mana. Semak-semak atau di belakang rumah. Saya hanya peduli dengan dunia yang baru saja jadi tepat saat kawan dan saya menentukan siapa yang berjaga siapa yang bersembunyi.
Menjadi dewasa artinya kesadaran semakin dalam. Mau tidak mau pikiran secara tidak sadar memperhatikan hal-hal kecil dan artinya mesti belajar bahwa hal-hal kecil pun sebenarnya penting dan tidak bisa dianggap remeh. Bahwa bilang begini belum tentu orang menerimanya dengan baik. Bahwa hal yang sepele pun bisa menyakiti orang lain.
Menjadi dewasa artinya kepekaan semakin sensitif. Peka ketika orang lain membicarakan saya dan saya mesti belajar pura-pura tidak mendengarnya. Peka ketika ada yang tidak suka dengan saya. Peka ketika ada yang butuh bantuan tapi tidak berani bilang. Peka dalam memahami apa yang bahkan tidak dikatakan. Peka terhadap maksud orang lain yang disembunyikan. Peka ketika ada tamu dan mesti mencarikan cemilan dan minum. Peka ketika ada orang yang suka dengan saya tapi saya mesti menjaga jarak. Kepekaan itu datang dengan sendirinya dan semakin sensitif dari waktu ke waktu.
Menjadi dewasa artinya rasa malu semakin besar. Sering tidak pede dengan bentuk badan atau wajah sendiri. Tidak bisa bersikap sesuai dengan keinginan hati. Tidak bisa makan sambil lari ke sana ke mari. Tidak bisa memakai pakaian seenak hati. Tidak bisa banyak tingkah di tengah banyak orang.
Menjadi dewasa artinya menjadi bagian dari masyarakat. Mulai diperhatikan dan dibicarakan. Tidak seperti anak-anak yang diabaikan segala tingkahnya. Menjadi dewasa, segala sikap, ucapan dan pikiran akan diperhatikan dan dinilai orang lain. Tidak bisa nyelonong ke sana ke sini dan berharap diabaikan banyak orang.
Menjadi dewasa artinya sadar terhadap sistem dunia dan menjadi lebih realistis. Bahwa jika tak membeli maka tak punya. Bahwa jika tak punya maka tak bisa memakai. Bahwa jika tak punya kulkas maka tak bisa mendinginkan air dan menambah usia sayur. Bahwa jika tak punya mesin cuci maka mesti mencuci dengan tangan. Bahwa jika tak beli sabun maka tak bisa mandi. Bahwa jika tak bekerja maka tak punya pemasukan. Bahwa jika pengeluaran lebih besar dari pemasukan maka akan terlilit hutang. Bahwa jika tak bergerak maka tak bisa beli ini itu. Bahwa jika tak punya uang berarti memang tak punya uang. Bahwa jika tak punya keahlian tertentu maka akan tertinggal.
Bahwa teman-teman lebih butuh lunas cicilan motor daripada main hujan atau petak umpet. Bahwa senang-senang dan tertawa sepanjang hari tidak bisa membuat kenyang. Bahwa semua butuh uang. Bahwa uang penting. Bahwa uang meski bukan segala-segalanya tapi hampir segala-galanya butuh uang. Bahwa jika tak punya uang segalanya jadi sulit. Bahwa orang baik pun butuh uang. Bahwa hidup bukan hanya masalah makan minum.
Bahwa hidup tidak seperti film yang hanya fokus pada kerangka cerita saja. Bahwa hidup artinya menjalani inci demi inci, aroma demi aroma, kenangan demi kenangan, keringat demi keringat, air mata demi air mata. Bahwa hidup puncaknya bukan happy ending. Bahwa ketika berada di puncak kebahagiaan bisa jadi besok jatuh lagi. Bahwa ending dalam hidup adalah kematian, bukan terwujudnya impian.
Bahwa masa tua yang berat dan lemah pun mesti dijalani, bahagia atau tidak. Suka atau tidak suka. Bahwa ketika kehilangan seseorang artinya memang kehilangan. Tidak bisa ditawar tidak bisa merengek supaya ia kembali.
Menjadi dewasa artinya mesti belajar merelakan. Merelakan orang yang sangat disayang tiada. Merelakan kegagalan. Merelakan kekecewaan. Merelakan hal-hal yang tidak berjalan dengan baik. Merelakan waktu dan tenaga yang terkuras namun tidak menghasilkan apa-apa.
Merelakan kesalahan saat memutuskan. Merelakan kejadian yang mengubah banyak hal. Merelakan keadaan yang menempatkan diri dalam posisi sulit. Merelakan ketidakberuntungan. Merelakan posisi diri yang berbeda dengan orang lain.
Menjadi dewasa artinya mesti sabar. Tak bisa meluapkan emosi dengan tangisan (supaya yang diingini segera ada). Tak bisa meminta simpati orang lain dengan tangisan. Tak bisa merengek minta ini itu kepada orang lain.
Tak bisa memencet tombol skip untuk melewati waktu yang sulit, melewati malam hari saat sakit, melewati bulan yang buruk, melewati waktu magang yang tidak mengenakan, melewati tahun yang menyebalkan, melewati beberapa jam saat antre. Tak ada tombol skip.
Menjadi dewasa artinya mesti ikhlas dan tidak terlalu bergantung pada emosi. Tidak terlalu kecewa ketika sesuatu tidak berjalan baik. Tidak terlalu marah ketika es buah yang sudah disimpan dikulkas dimakan orang lain. Tidak terlalu kecewa ketika keinginan tidak terwujud. Tidak terlalu marah ketika barang kesayangan jatuh dan rusak.
Pada akhirnya hanya perlu bilang "ya sudahlah.tak apa." lalu lebih fokus memperbaiki apa yang rusak, mencari jalan keluar, mencari cara mengatur ulang rencana daripada merengek dan kecewa berlarut-larut.
Lebih ingin segera menyelesaikan masalah dengan cepat dan sederhana. Malas memperuncing permasalahan dan suasana. Malas mengeluarkan energi lebih.
Menjadi dewasa artinya tidak seantusias dulu waktu kecil. Tidak terlalu ingin naik bianglala, tidak terlalu antusias datang ke pasar malam, tidak terlalu antusias bermain air, tidak terlalu antusias pergi piknik. Saat dewasa banyak yang sudah dialami, banyak yang sudah dirasakan. Hal-hal yang dulu membuat antusias menjadi biasa saja, membosankan dan terkesan merepotkan.
Malas basah-basah, mesti bawa plastik, menyimpan baju basah, ganti baju di kamar mandi umum, nanti pulang mesti bilas mandi, mesti nyuci baju basah. Pergi piknik pun malas. Mesti nyiapin pakaian, uang, barang ini itu, bekal, outfit yang sesuai dengan tempat dan tidak membuat malu.
Menjadi dewasa artinya masuk ke dalam norma sosial. Mesti memperhatikan norma-norma di setiap tempat. Mesti memperhatikan sikap diri sendiri, sikap orang lain dan penilaian orang lain. Mesti membangun persona tertentu. Mesti menahan diri.
Menjadi dewasa artinya mesti mengikuti irama waktu. Bahwa ada yang bisa ditunda ada yang harus segera. Ada yang prioritas ada yang bisa dikesampingkan. Ada yang kebutuhan ada yang keinginan. Ada yang sekarang ada yang nanti. Ada kemarin, ada sekarang, ada besok. Ada masa lalu, masa kini dan masa depan.
Menjadi dewasa artinya menjadi manajer diri. Mesti mengatur waktu, mengatur keperluan, mengatur pengeluaran dan pemasukan. Mengatur emosi dan mood. Mengatur rencana ke depan. Sebab tidak ada orang lain yang akan melakukan itu semua untuk saya.
Menjadi dewasa artinya menjadi pemimpin diri. Mesti memutuskan keputusan-keputusan sulit. Mesti memikirkan konsekuensi ke depan. Terhadap diri saya sendiri dan orang lain. Mesti memikirkan untung dan rugi. Baik dan buruk. Pantas dan tidak pantas
Menjadi dewasa artinya pikiran semakin luas dan sibuk. Banyak yang mesti dipikirkan. Dari hal-hal sepele sampai besar. Rencana-rencana ke depan sampai masa lalu. Dari kejadian kemarin sore sampai kejadian tadi pagi. Dari hal-hal yang sudah terjadi sampai hal-hal yang belum terjadi, yang masih diawang-awang:
Besok ketemu ini itu. Bicara di depan banyak orang. Kira-kira baju apa yang bagus. Pakai kaos kaki atau tidak. Rambut perlu potong tidak. Presentasi ini perlu dijelaskan atau tidak. Saat pembukaan lebih baik begini atau begitu. Berapa orang yang hadir. Jam berapa sebaiknya mandi.
Tahun depan mau ngapain. Kerja di mana. Nikah umur berapa. Mending kontrak atau di rumah aja. Kalau ikut mertua enak atau ndak. Gimana kalau konflik dengan mertua. Mending anak 1 atau 2. Nanti sekolahnya di negeri atau swasta. Nanti uang cukup ndak untuk kebutuhan sehari-hari. Makan, pakaian anak istri, bantu orang tua juga. Bagaimana jika anak tidak bahagia dan merasa kekurangan. Bagaimana jika istri merasa susah karena tidak punya kulkas, mesin cuci, rumah tidak terlalu bagus. Bagaimana jika nanti saya bosan dengan istri sendiri. Bagaimana jika ada konflik. Bagaimana jika nanti kita bertengkar. Bagaimana jika nanti begini begitu.
Saya tidak sedang membicarakan makna kedewasaan secara hakiki atau psikologis. Saya juga tidak sedang membicarakan usia. Saya membicarakan kondisi seseorang yang sadar bahwa dirinya sudah bukan bocah lagi.
Selamat tinggal masa kecilku.
1K notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
About lyfe.
Dibalik warna warni dunia, ternyata cukup banyak orang menyimpan luka. Mulai dari adanya keterbatasan, ketidakharmonisan, kekecewaan, atau mimpi yang sekedar jadi harapan.
Seperti banyak dikatakan orang, kadang hidup seperti roda yang berputar, banyak peristiwa hidup menjadi bahan untuk terus belajar.
Seperti, melihat teman-teman yang terkena dampak layoff membuatku berpikir ulang untuk career break, switching, or just move. Selain skill yang harus terus diupgrade, pengalaman yang harus diperdalam, ada saving juga yang harus diperhitungkan ulang, serta tidak lupa zakat dan sedekah yang tak boleh terlewatkan. Persaingan semakin ketat, kesediaan semakin meningkat. Semoga teman terdampak bisa kembali bangkit dan menemukan jalan terbaik.
Gempa kemarin juga mengingatkan akan hakikat kesementaraan, tentang apa apa yang kita miliki sekarang tidaklah kekal dan penuh keabadian. Semoga lekas pulih, lekas sembuh dan kembali bertumbuh.
Tadi juga baru cerita sama ibuk tentang beberapa keluarga yang perjuangannya luar biasa, namun tetap sulit untuk sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan untuk sekedar membuat dapur menyala, hingga tunggakan sekolah yang tertunda.
Lain cerita pada mereka yang banyak gaya, namun ternyata dibaliknya banyak cicilan juga, gali lubang tutup lubang, namun begitu semoga kita bisa selalu berupaya, hidup sesuai kemampuan saja, merasa cukup atas banyak nikmat yang diterima.
Setiap orang memiliki cerita dalam hidupnya, apapun itu, semoga Allaah senantiasa membantu kita melaluinya, karena tanpa-Nya, sungguh kita tiada daya.
94 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Seluas Samudera
Bila kamu lihat luasnya samudera, darinya kita belajar bahwa gemuruh ombak yang sahut menyahut mengantarkan kehidupan dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Ternyata tak sepenuhnya menggambarkan kekayaan dan sisi misterius yang disimpannya.
Samudera tak butuh memposting indah litoral miliknya kepermukaan, namun siapapun yang penasaran dan mengintip pada jernih airnya akan dengan mudah melihat betapa cantik kepunyaannya.
Ia juga tak perlu mengabarkan pada langit dan darat, tentang kegelapan dan sisi suram yang dimilikinya. Biarlah kegelisahan, kesedihan, keburukan yang dimilikinya berada pada kedalaman paling pekat dimana hanya ia, Tuhan, atau sedikit dari penyelam tangguh yang bisa mengetahuinya. Karena baginya, ia hanya perlu menjalankan perannya untuk hidup dan menghubungkan siklus - siklus kehidupan bagi yang lainnya.
57 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
:”(
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
5 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Tidak selalu siapa yang cepat ia yang dapat, tidak selalu juga siapa berani ia yang pasti memiliki. Kamu tahu? Ada banyak hal yang tidak bisa dijangkau oleh tangan dan akal kita. Dari mulai karir, rezeki, bahkan soal pasangan hati. Sebab apa yang sedari awal bukan ditakdirkan untukmu, selamanya kamu tidak akan pernah memilikinya, meskipun kamu cepat dan berani.
Tangan kita tidak mungkin selalu bisa menggapai apa yang kita inginkan, begitulah cara Tuhan mengajarkan sabar dan doa pada hamba-Nya.
Akal pikiran, hati dan otak kita tidak akan pernah kuat jika harus berpikir dan merasakan segala hal, ujung-ujungnya pasti akan tumpah dengan air mata. Karena itulah mengapa Tuhan mengajarkan agar tidak bersandar pada pundak manusia.
Sudah, usia yang bertambah ini seharusnya menjadikanmu semakin dewasa dalam menyikapi. Tidak terburu-buru dan tidak pula segala hal harus kamu respon. Beberapa ada yang sebaiknya cukup kamu baca kemudian biarkan, tanpa berkomentar dan memikirkannya.
Dewasa itu mulai menyaring mana yang menjadi prioritasmu, mana yang sebaiknya kamu lakukan terlebih dahulu. Jadi, jangan selalu berpikir harus selalu "cepat" agar bisa "dapat", mulailah dengan cara yang baik, konsistenlah dengan kebaikan yang ada, lakukan dengan cara yang baik, berdoalah dengan doa yang baik, maka nanti Tuhan akan mempertemukanmu dengan apa yang ditakdirkan untukmu.
@jndmmsyhd
854 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
BUKAN SEMATA CITAMU, TAPI IA RENCANA TUHAN
Tahu tidak, apa diantara hikmah paling besar atas takdir kita pergi jauh tinggalkan rumah? Entah untuk sekolah. Untuk mencari nafkah. Atau untuk menemani pasangan.
Yaitu bahwa kita diperlihatkan banyak hal baru dan asing yang meluaskan pandangan, mengembangkan cara berpikir, hingga menuntun bagaimana memandang diri sendiri.
Kita pikir, semua perjalanan ini semata tentang kita dan mimpi-mimpi kita, padahal tidak sepenuhnya.
Ada yang hendak Tuhan ajarkan. Ada yang hendak Tuhan ingin sampaikan. Ada yang hendak Tuhan jadikan bagian dari diri kita, melalui seluruh peristiwa dan keadannya.
Jika saja kita mau mengurang-ngurangi perasaan bahwa semua capaian adalah tentang diri sendiri, maka kita akan menemukan bahwa rupanya setiap langkah membawa kita pada pelajaran-pelajaran, betapa kita masih memerlukan banyak pengetahuan.
achmadlutfi, 15.11.2022
81 notes · View notes
ansefast · 1 year
Text
Yang Maha Penyayang
Kalau sudah yakin bahwa setiap takdir-Nya selalu baik, tak perlu risau dengan apa kata orang. Jalan yang dipilihkan-Nya untuk kita saat ini, adalah bentuk terkabulnya doa-doa kita di masa lalu, atau bentuk penjagaan-Nya dari keburukan besar yang kita tak pernah tahu, atau bisa jadi merupakan sebuah jalan agar kita bisa mencapai kondisi dan posisi seperti yang telah kita doakan. 
Apa yang orang lain katakan, yang menyakitkan hatimu, lepaskanlah. Mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang telah kau alami, kau lalui, kau korbankan selama ini. 
Sedangkan apa yang Allah pilihkan, izinkan, dan rencanakan untukmu, adalah ketetapan-ketetapan terbaik sebagai bentuk kasih sayang-Nya. 
Dari perlakuan dan perkataan orang lain yang menyakitkan hatimu, semoga kamu bisa belajar. Untuk tetap rendah hati dan menjaga hati orang lain apapun keadaanmu dan keadaan mereka. Untuk tetap bersabar tidak menghakimi, sekalipun kamu merasa sedang berada dalam posisi yang lebih baik atau lebih tinggi. 
Semoga jalan-jalan yang terbentang, yang telah terlalui, dan yang harus dijalani, adalah jalan yang membuat kita terus berupaya berlari mendekat kepada Dia Yang Maha Penyayang. Semoga kita dilembutkan hati untuk senantiasa menjadi pribadi penyayang, di antara pilihan-pilihan hidup yang terkadang menyakitkan 
30 notes · View notes
ansefast · 2 years
Text
"Orang yang pengen mati tuh apa nggak pernah merasakan kenikmatan dunia? Nggak pernah bersyukur dengan rezeki yang dikasih sama Allah?"
"..............kenapa kita berlama-lama di dunia kalau di akhirat lebih baik?"
"kamu menggunakan akhirat buat justifikasi suicidal thought?"
"nggak gitu kok. Kalau kita fokusnya ke akhirat, apa yang kita lakukan di dunia jadinya mempersiapkan kematian juga. Gue nggak memandang kematian sebagai sesuatu yang menyeramkan. Kalau memang setelah mati kita kembali ke asal kita, bertemu dengan Rabb kita dan terbebas dari lelahnya kehidupan dunia"
"Kamu yakin nggak pengen hidup lebih lama? Pahala kamu emang udah cukup?"
"waktu gue muda, gue bikin salah dan dosa karena pemahaman gue tentang hidup dikit. Kalau gue udah tua, punya duit, punya power.....siapa yang bisa menjamin kalo gue bisa menahan diri dari berbuat dosa? Dalam kondisi sudah paham banyak hal, sepertinya dosanya bakal lebih berat"
"orang kalau tambah tua tuh tambah bijak De. Tenang aja"
Gue pun mikir begitu. Kalau ngikutin pola pikir gue yang pesimis banget, hidup nggak akan kerasa ada sparks-nya lagi. Tapi apakah gue tumbuh menjadi orang yang nggak bahagia dan selalu bayangin mati?
Nggak juga sih.
Cuman makin kesini tuh jadi makin sering berdoa semoga Allah menjaga hidup gue dengan baik. Waktu kecil, ketika gue membaca Al Falaq, gue tidak membayangkan bahwa gue akan relate dengan doa:
...wa min syarri haasidin idzaa hasad.
Tapi ternyata sekarang gue membaca doa itu dengan penghayatan. Semoga Allah menjaga hati gue dari rasa dengki. Semoga Allah juga menjaga orang di sekitar gue dari rasa dengki juga.
Sekalipun kita tidak pernah membandingkan diri sendiri dengan orang lain, jika kita hidup di culture yang toxic, pola perilaku kita juga akan berputar di situ.
Dulu, gue melawan culture seperti itu dengan pergi ke tempat yang lebih luas dan kembali tidak menjadi siapa-siapa. Sekarang? Mau pergi tuh banyak yang dihitung. Mau dihadapi ya bakal luka sendiri.
Gue bukan tipe orang yang mengejar jabatan dan seterusnya. Karena gue memahami bahwa konsekuensi dari jabatan dan power itu berat sekali. Akan memberatkan perjalanan ke akhirat jika tidak amanah.
Tapi ya nggak semudah itu juga menjauh dari keramaian hidup. Gue cuma berharap Allah mengasihani gue. Mengatur agar kehidupan ini tetap lembut karena kalo kehidupan ini keras, gue khawatir hati gue keras juga.
Semoga Allah mengizinkan gue kelak berpulang tetap sebagai jiwa yang tenang.
116 notes · View notes
ansefast · 2 years
Text
Fokus
Dia : Eh, kenapa sih kamu nggak dengerin kata orang. Rigid banget sama keputusanmu!
Aku : Kenapa enggak?
--------------------------------
Dia : kenapa sih kamu malah pulang kampung, kan sayang sarjananya...
Aku : kenapa enggak?
--------------------------------
Dia : kenapa kok kamu pilih dia sih...
Aku : kenapa enggak?
--------------------------------
Dia : kenapa kamu malah sibuk mencari jati diri sih, orang-orang seumuranmu lho udah nikah, udah bisa beli ini itu.
Aku : kenapa enggak?
---------------------------------
Dia : kenapa sih kamu kaku banget, prinsap prinsip, jadi susah tau idupmu... mau nikah aja calonnya harus begini begitu, haduhhh..
Aku : kenapa enggak?
---------------------------------
Dia : kenapa sih kamu mau berkorban segitunya?
Aku : kenapa enggak?
Sepanjang kita tahu ada tujuan yang kita kejar dan itu sangat berharga buat kita, tahu jalan yang kita tempuh, kenal sama konsekuensi. Jalani aja, kenapa enggak.
(c)kurniawangunadi
461 notes · View notes
ansefast · 2 years
Text
Tolak ukur ketenangan dan kegembiraan dalam menjalani hidup bukan dilihat dari lancar tidaknya kehidupan, berat tidaknya ujian, tetapi ialah tergantung seberapa besar keyakinan kepadaNya dan keridhaan atas segala ketetapanNya.
أليس الله بأحكم الحاكمين
Bukankah Allah hakim yang paling adil (QS:At-Tiin:8)
*Ust. Nuzul Zikri, Kunci Ketenangan di Tengah Ujian
28 notes · View notes