Tumgik
#wali al aswad
rinoa-posts · 6 months
Text
Isam..
Alhamdulillah..
Perjalanan Umrah dan Ziarah pada Nopember 2023 atau Awal Jumadil Ula kali ini banyak memberikan kesan dan cerita seru..
Salah satunya keluarga Isam.. Isam adalah anak dari Pak Nur Cholis, yang baru Saya kenal di Bandara Soetta.. Beliau berangkat Umrah dengan keluarganya (istri beliau dan 2 anak yang bernama Ziham dan Isam).
Karena judulnya udah namanya Isam, maka kisah ini tentang cerita Isam.. yg lain skip dulu yaa...
Isam adalah anak yang sangat supel, aktif, ceria, dan lucuuuuu.. kira2 seusia anak kelas 1 SD memang lagi lucu-lucu nya, lagi aktif-aktifnya.. wes.. dialah artisnya dalam rombongan jemaah kami.. karena dia yg paling mencuri dan mencari perhatian semuanya.. he-he-he..
Kadang muncul tiba-tiba, kadang hilang tiba-tiba, tapi tetap dalam perimeter kendali yang aman.. Alhamdulillah..
Kisah uniknya..
Isam sama Papahnya, Thawaf di sekitar Ka'bah Baitullah, percakapan Ayah-Anak ini terjadi ketika sedang dalam menyelesaikan putaran thawaf..
Dengan semangat dan rasa ingin taunya Isam bilang ke Papahnya: "Pah.. Pengen Hijir Ismail!!" dengan semangat Papahnya Isam merealisasikan keinginan Isam, anaknya.. Isam pun bahagianya..
Next: "Pah.. Pengen ke Maqam Ibrahim..!!"
Walaupun cukup padat Sang Ayah pun ikut memutar ngikutin arus tawaf dan menepi mendekati Maqam Ibrahim, akhirnya Isam pun dapat melihat jejak kaki Nabi Ibrahim AS. Isam bahagia dan tersenyum bangga...
Namun pandangan Isam berfokus pada kepadatan dan cowded nya sisi Hajar Aswad lalu berkata ke Ayahnya: "Pah.. Batu Syurga!!" Melihat fakta yang tak kondusif untuk kesana, Papah Isam tak bisa mengabulkan keinginan Isam.. Alhasil Isam menangis 😭😭 balik dari Thawaf karena gak bisa ke Batu Syurga..
Tangisannya mengundang empati, banyak tangan yg digerakkan Allah untuk menghibur anak bocah ini..
Al hasil.. Isam banyak dapat 'berkat' berupa Roti, cokelat, kurma, dll dari jama'ah yang melihatnya..
Isam pun senang dan bahagia..
Banyak pelajaran dari kisah ini.. salah satunya:
Kadang kita hanya fokus pada keinginan, sehingga terus menangisi keadaan, padahal yang terjadi sedang dihadapi itulah yang paling aman, paling baik untuk kita, dan kita harus teliti bahwa dibalik tidak tercapainya keinginan kita, Allah pasti sudah beri berkah dan kebaikan-kebaikan yang sangaaaaatlah banyak.. maka itulah yang sungguh membahagiakan apabila kita mau bersyukur..
"Wali-wali Allah itu tidak takut/khawatir dan tidak bersedih hati/berputus asa"
Mari bahagia selalu.. syukuri segalanya..
Alhamdulillah bini'matihi tatimussalihat..
Alhamdulillah 'ala kulli haal..
Laa hawla walaa quwwata Illa billah..
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
5 notes · View notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Melapangkan Jiwa. Para Kesayangan Alloh Dirahmati Alloh Untuk Saling Membagikan Rahmat Alloh. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Contoh Amalan Muta’addi #08: Memberi syafaat dan menolong orang yang dizalimi Bisa saja seseorang menjadi perantara untuk muslim lainnya dalam memperoleh manfaat atau terselamatkan dari mudarat. Inilah memberi manfaat pada muslim dengan kedudukan. Alhamdulillah Alloh Maha Melapangkan Jiwa. Para Kesayangan Alloh Dirahmati Alloh Untuk Saling Membagikan Rahmat Alloh. Dari Abu Musa beliau berkata, pernah suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi seorang peminta-minta -atau sepertinya ia berkata ‘ditemui (bukan didatangi) seorang peminta-minta’, atau orang yang mempunyai keperluan-, maka beliau bersabda: اشْفَعُوا فَلْتُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مَا شَاءَ “Berilah syafaat (pertolongan) niscaya kalian diberi ganjaran, dan Allah memutuskan melalui lisan rasul-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Bukhari, no. 6027 dan Muslim, no. 2627). Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan hadits ini berisi anjuran untuk memberikan syafaat kepada orang yang memiliki hajat, bisa jadi syafaat (perantaraan) itu pada sulthan (penguasa), pada wali, dan semacamnya, atau kepada seseorang. Maksud syafaat itu bisa jadi meminta kepada penguasa untuk menahan orang yang berbuat zalim, atau menghapus hukuman orang yang dihukum, memberi kemudahan kepada orang yang sedang butuh bantuan, atau semacamnya. Namun syafaat dalam hukuman hadd dihukumi haram. Syafaat dalam melakukan kebatilan, sama juga dengan syafaat ketika membatalkan kebenaran, dan semacam itu dihukumi haram. Kalimat “dan Allah memutuskan melalui lisan rasul-Nya apa yang dikehendaki-Nya”, maksudnya adalah orang yang sudah berusaha walaupun tidak berhasil, maka tetap mendapatkan ganjaran pahala. Contoh Amalan Muta’addi #09: Membantu hajat kaum muslimin, memberi mereka pertolongan ketika tertimpa musibah Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Muslim yang satu dan muslim lainnya itu bersaudara. Maka hendaklah tidak menzalimi, jangan biarkan saudaramu (yang menzalimi dan dizalimi). Siapa yang selalu menolong saudaranya dalam hajatnya, maka Allah juga akan menolong hajatnya pula. Siapa yang menghilangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya dari berbagai kesulitan yang dihadapi pada hari kiamat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 2442 dan Muslim, no. 2580) Contoh Amalan Muta’addi #10: Sedekah dengan harta diberikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan untuk membuat pahala semakin besar Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ فَإِنَّ اللهَ يَقْبَلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّيْ أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ. “Barangsiapa yang bersedekah dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang thayyib (yang baik), maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian mengembangkannya untuk pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga sedekah tersebut menjadi besar seperti gunung.” (HR. Bukhari, no. 1410 dan Muslim, no. 1014) Manfaat sedekah di antaranya adalah dapat menjaga badan serta dapat menolak berbagai musibah dan penyakit. Dari Al-Aswad bin Yazid, dari ‘Abdullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ “Mintalah kesembuhan peny
akitmu (kepada Allah) dengan bersedekah.” (HR. Al-Baihaqi, 3:193. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al-Jaami’, 3358) Ada cerita, penulis kitab Al-Mustadrak, Imam Abu ‘Abdillah Al-Hakim pernah mengalami cacar selama hampir setahun. Lantas ia meminta doa kepada orang-orang saleh, dia terus memperbanyak itu. Ia pun rajin bersedekah kepada kaum muslimin dengan memberikan minum pada rumah-rumah mereka. Orang-orang pun memanfaatkan minuman tersebut. Ternyata lewat beberapa pekan, Allah tampakkan kesembuhan baginya, cacar tadi hilang dan wajahnya kembali seperti sedia kala. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahil, hlm. 45. Referensi: Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahil. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Madarul Wathan. Sumber https://rumaysho.com/21993-memberi-syafaat-menolong-orang-dan-sedekah-termasuk-amalan-mutaaddi.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Alloh Maha Melapangkan Jiwa. Para Kesayangan Alloh Dirahmati Alloh Untuk Saling Membagikan Rahmat Alloh.
0 notes
spyrkle4 · 2 years
Text
Ark hcs I have about the survivors: Scorched Earth
this post the sequel lets go
---
-The other great city (not Nosti) was from the first survivors who came to Scorched Earth, some of the survivors ended up becoming the first few settlers in Nosti tho
-That city wasn’t destroyed by the obelisks there was a civil war that happened during a rly nasty heat wave 
-One of the things ppl did in Nosti was do all sorts of contests with their pet Jerboas, like sand digging, finding treasure, racing, etc, it’s part of why Raia was very close to Radar, who reminded her of the good times n.n
-John didn’t have any Jerboa’s but sometimes he would spoil some of the bby ones with treats and extra pets, he denies any claims that he does this bc he has a reputation or something
-John is also a cat person, he spoils his sabertooth rotten, he’s one of those ppl that go “psppspspsps” @ cats
-He also unironically enjoys mantis meat, John enjoys it out of spite tbh bc those bugs gave him grey hairs  
-Raia on the other hand enjoys meat from terror birds or argentavis’ (she likes bird meat) 
-When Helena was living with her she didn’t eat the arggies as much bc Helena loved them (and she had Athena) and got upset at the idea of eating meat from the same bird species that was her travelling companion back on the Island 
-There were some citizens of Nosti that were visiting another town/on an expedition when the Incident happened
-After Nosti fell a few other towns split into caravans, thinking the Obelisk was angry at them for too many people sticking together
-Raia actually knows abt other ppl of Nosti that weren’t in town when it got destroyed, but she never reached out to them because she couldn’t help them like she used to : (
(more notes under the cut)
-Timur wasn’t rly afraid of Anything in the desert ark, but he was Slightly Intimidated by Wali Al Aswad and her wyvern squad, since the Burning Phoenix clan didn’t know how to tame wyverns
-Raia didn’t know about the Burning Phoenix clan but if she did... she’d throw hands
-Burning Phoenix clan has their name because Timur managed to tame a phoenix and united a group of survivor’s under it’s banner
-Helana got her info about phoenix’s from a lone survivor she saw with one who used to be a Burning Phoenix clan member, they never told her where they learned how to tame a Phoenix from
Helena: So how’d you learn how to tame one of these buggers?
Former Burning Phoenix: uhhhhhhhh... internet?
Helena, internally: we have no internet tho... wut...
(She didn’t push it, Helena might be a curious cat but she knows when to not push someone) 
-Nasrin was one of the few Burning Phoenix members that didn’t die from the poisoned feast (she was taking care of her kid), she knew it was Edmund that did it but by the time she buried the rest of the clan, the tribe’s prisoners were released, Edmund had already escaped the Ark
-Idk what I’d think happened to Timur’s kid, but maybe the rest of the clan Ascended and ended up on the Island or something, that’d be funny bc Nasrin is just Full of Anger @ the old man that killed her husband and most of the tribe and found out he was well respected on this ark
-It would make her so mad and she would be “>:C”
-If she ended up on the island I think she and Isabelle would be great friends (now back to Scorched Earth, I already did a post on the Island)
-Raia 100% knew Edmund was up to something and was hiding his true colors, but didn’t axe him bc Helena still trusted him, she did try to subtly warn Helena by saying that her friend might be different from his time in the desert
-Helena assumed she meant that Edmund was going thru a Hard Time and then decided she’d do her best to be there for her friend!! (Raia, internally: you are too kind for this cruel word,,,)
-Radar, Helena’s Jerboa would hiss @ Edmund if he got too close, Helena was very confused abt her pet’s behavior and usually told Radar not to hiss at her friend
-Raia 100% saw no problem bc she saw Radar having good instincts
-This is based off of the Ark videos from NeddyTheNoodle but I like the idea of Radar following Helena while she does her notes on the Scorched Earth creatures 
-Okay so the Ark wiki describes Helana and Raia’s relationship as Raia seeing Helena as the kid she never had with John and now I imagine at one point when Raia was telling Helena to be careful esp in Wyvern Trench Territory Helena in deadpan tone went “yes Mom” 
-She felt bad when Raia started tearing up a lil’ thinking she upsetted her but actually Raia reassured her she was fine
-Raia I think would occasionally cut down the wyvern population in the Wyvern Trenches because she hates those flying creatures and if she saw any of them away from the trench ohhhhh it was On Sight 
-Helena’s notes while on Scorched Earth seem to mention Raia has killed the Manticore, I imagine she’s done it a few times so people can get out of the desert ark 
-I think Helena found some of the notes John wrote, she never mentioned it to Raia but internally lost her mind when realizing that when John was saying the name Raia, he was referring to Wali (cue her having an “omg omg omg” moment while her and Edmund were getting off of Scorched Earth)
-Helena at some point found the caravan group she got separated from and managed to reassure them she did not get crushed to death by an angry rock golem
-Speaking of rock golem I bet they’re Helena’s least favorite creature bc I hc she died from a rockslide, she doesn’t remember but gets this Super Uncomfortable feeling when around them
-Raia agrees with her bc she also gets that feeling around rock golems too (she didn’t die from a rockslide, but there was this earthquake in her old home and a falling roof hit her on the head and she got knocked out and didn’t wake up :C)
-And yeah... she def was having some PTSD flashbacks when Nosti got destroyed by a sandstorm earthquake
-Speaking of that, the earthquake that pulled Nosti into the sands also formed the Wyvern Trenches 
-Okay I wanna end this on a wholesome note so I like to think that after Helena left the desert, Raia kept her dossiers and even made copies so she wouldn’t lose them, Radar sometimes hid a few copies in weird places which explains some of the spots you find the dossiers in
6 notes · View notes
speckeltail · 7 years
Text
yall: normal well known video game ships
me: john dahkeya/raia
12 notes · View notes
questionsonislam · 3 years
Note
Is it permissible to make tawassul while praying and asking the help of awliya of Allah?
Seeking assistance is something and wasila (tawassul) is something else. Seeking assistance means asking for help. Wasila (tawassul) is a means to the end.
It is not permissible to ask for help from non-living things or a creature without intelligence even if it has a lot of service like the sun or the moon, even if it is holy like the Kaaba and the Black Stone (Hajar al-Aswad).
As for asking for help from people with intelligence, if the person is not a believer and a person with good deeds, it is not permissible to ask for help from him whether he is present or not. However, if he is a person with good deeds it is permissible to ask for help from him in order to ask intercession (shafa’ah), whether in his presence or near his grave.
Although the dead person has gone to the world of barzakh (veil), he has a kind of life peculiar to him. Our Prophet (PBUH) stated the following: "Prophets are alive in their graves." (Ibn Majah, Janaiz 65) Another evidence that prophets are alive in their graves is that Hazrat Prophet (pbuh) met the spirits of all of the prophets in Masjid al-Aqsa and greeted every prophet he met and those prophets replied his greeting. He also said the following about the polytheists who died during the Battle of Badr: "You cannot hear more than those; but they cannot answer.”
According to the people of tariqah (religious order) today, the help of a wali (saint) with a rank, whether he is dead or far away, can be asked for. He has the authority to help. Especially the people of tasarruf (authorized to do extraordinary things) can help both when they are alive and after they die; their help goes on.
As for wasila, as we have just mentiond, it is something to be used as a means to reach the end. There are some kinds of wasila:
1- To use the names of Allah for tawassul: Ibn Majah narrated the following from Hazrat Aisha: ‘The Prophet said the following in a supplication, " O Allah, I ask from you for the sake of your clean, nice and holy name"’
2- To make the supplication of the person as a wasila for whom tawassul is asked.
3- To make tawassul by using the personality of a great man with good deeds as an intermediary. For instance, to say something like ‘O Allah! I make the Prophet or Hazrat Abu Bakr a wasila in order to realize this wish of mine. Hazrat Umar made Hazrat Abbas (the Prophet’s uncle) a wasila in the supplication for rain by saying: “O Allah! We make the Prophet’s uncle a wasila, send us rain." (Bukhari).
4- To make tawassul by using the good deeds as an intermediary: For instance, to say something like “O Allah! I make this hajj or worship that I performed for you a wasila; relieve me of this misfortune or trouble”.
The kinds of wasila we listed above are present in Islam. It is not possible to deny them. The person to be made a wasila does not necessarily have to be superior to the person making tawassul. The Prophet (PBUH) said to Hazrat Umar, who wanted permission to go and make umrah, “Brother! Do not forget to pray for us”. He also ordered Hazrat Umar to tell Uways al-Qarani to pray for him. However, to imagine the prophet or any person independently and ask his help may cause a person to become an unbeliever. One should be careful about it. That is, it is permissible to think and to know that that person is a beloved slave of Allah and he does those things by the permission of Allah and to ask.
According to Ahlu Sunnah scholars, it is permissible to make tawassul as long as one does not go beyond it.
Those who regard wasila as completely haram are kharijites and and those who imitate them.
The information that angels protect people is present in the Quran itself: “For each (such person) there are (angels) in succession, before and behind him: they guard him by command of Allah”(ar-Rad, 13/11). That truth is pointed out in the verse.
The protection of the angels is not polytheism, similarly, the help and protection of other creatures should not be polytheism. However, we should not raise them from the level of being a means, a cause to the level of creation. It is a necessity of our belief that “there is no real creator other than Allah in the universe.”
Is there mediation, wasila in religion?
Wisdom is one of the indispensable elements of life and success; it is also a leaven and an important law in the management and control of all of the beings.
Men make achievements and maintain them by observing that rule and principle called wisdom.
Wisdom makes cause, means, wasila necessary between the Creator and the creatures.
The loftiness and greatness of the creator, the relationship and the balance among the beings are related to wisdom. In addition, the fact that beings serve as proof to their creator, the fact that they are searched and studied like a book by qualified people, and the most important of all, the fact that men are tested and tried for their achievements in the world and in the hereafter, depend on wisdom and a serious relationship with wisdom.
Men who have been given wisdom are the most honorable and valuable beings.
Based on this principle, the general term denoting the phenomenon of relationship between beings, things, man and the creator is wisdom.
In the connections between non-living things and living things,
in the veils between being created and creating,
in the causes between illness and health,
in slavery and its consequences,
in the relationship between conveying the message and guidance.
in the consequences and relationships of agriculture, trade, art and worship, wisdom is essential; and the causes, wasilas and means are the prerequisites of wisdom and they will always be present naturally.
Here, although the existence of means is necessary in terms of wisdom due to divine power and greatness, the oneness and majesty of Allah eliminates their effects. Wisdom necessitates that they remain only as means.
So, means are an essential of creation due to Allah’s name, the Wise.
So, the means like those are existent and necessary in our religion naturally.
For instance, the means of hidayah (guidance) are prophets.
The means of Allah’s orders to His prophets are the angels.
The means of pre-eternal speech are the Books and Pages.
The means of manifestations are miracles and arts.
The means of forgiveness and reward are bounties and Paradise.
The means of suffering and punishment are measures and Hell.
The means of worshipping and slavery are worships.
The means of approaching Allah are knowledge and taqwa (piety).
So, there is no place, state and time without means.
The most important point of the things that we have mentioned so far is as follows: Those means should not be something more than a wasila; they should be transparent and decent; they should not hide and cover the realities; in particular, they should strengthen not break the relationship between the slave and Allah.
If the means that exist between the realities and the people as a necessity of wisdom become dense and break the connection, then wisdom disappears and obstacles emerge. The means loses its property of being a means.
For instance, if a teacher enters between a mathematics book and the students, he integrates the students with the book. He increases the love. He also strengthens knowledge. Teachers form a great amount as means.
Artists are means of transferring the skill between the apprentices and art. Otherwise the arts and skills would cease and die.
Similarly, great religious people are transparent means to ensure and maintain the relationship between Allah and the slave. If they stop acting as intermediaries, the slave will spoil the relationship and break the connection.
However, being an intermediary is not something easy. The most important thing is to be capable and qualified.
That is, a teacher should act as an intermediary between the mathematics book and the student. However, if the teacher is a music teacher, it won’t do any good.
A doctor, who is a transparent means, should act as an intermediary between the patient and the illness in terms of wisdom. However, if an engineer instead of a doctor acts as an intermediary, he will only serve the angel of death.
Glasses become intermediaries between the eyes and things. Hearing aids become intermediaries between the ears and the sounds. As intermediaries, they serve those with ordinary eyes and ears to see and hear better.
Similarly, if qualified and capable people become intermediaries between the realities and ordinary people, they increase those people’s knowledge and virtues. Their spiritual lives become orderly and tidy. Ordinary people cannot see the naked realities and cannot perceive them. They can understand the realities only through some means.
The similes, metaphor and usual examples in the Quran are holy and transparent means like eyeglasses or binoculars between men and the realities that are difficult to perceive.
Therefore, to deny the means (wasila) means to deny wisdom, help, benefit, order, goodness and affair. It is an attitude contrary to creation and reality.
However, as there are always exceptions and misuse, the means deteriorated and misused in time; and bad examples reached present time. While it is necessary to correct, put into order and change them, it will be consciencelessness to wear mediation down and to deny it wholly and radically.
It will be a great mistake to prefer its demolition although it is possible to correct it.
So, mediation is a divine approbation that establishes the connection with reality like transparent glass, and that puts the relationships in order.
As it is present everywhere, there is and will be mediation in our religion. However, intermediaries that are very dense like priesthood, that confine the interest and respect only to themselves and break the relationship with Allah are a kind of hidden polytheism. Mediation like that does not exist in man’s nature and creation; it does not and cannot exist in our religion.
To see the means from the point of view of the evaluations above will protect us from excessiveness and negligence in terms of thoughts and attitudes, will drive all of our feelings and thoughts to the medium way, will provide our life with direction, peace and happiness.
1 note · View note
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Kaidah 5: Da’i Wajib Mengoptimalkan Upaya Manusiawi Seraya Memohon Bantuan Rabbani
Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam
  Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/08/20/kaidah-5-dai-wajib-mengoptimalkan-upaya-manusiawi-seraya-memohon-bantuan-rabbani/
0 notes
pesantrenpandeglang · 5 years
Text
Pengumuman Hasil Seleksi Masuk SD Islam Darunnajah Jakarta Gelombang Pertama 26 Januari 2019 Tahun Pelajaran 2019/2020
Pengumuman Hasil Seleksi Masuk SD Islam Darunnajah Jakarta Gelombang Pertama 26 Januari 2019 Tahun Pelajaran 2019/2020
بسم الله الرحمن الرحيم
SURAT KEPUTUSAN
1723/PPSB-SD/SDIDN/I/2019
TENTANG HASIL TES SELEKSI MASUK SD ISLAM DARUNNAJAH JAKARTA
TAHUN PELAJARAN 2019/2020
Dengan bertawakal kepada Allah SWT Panitia Penerimaan Calon Siswa Baru SD Islam Darunnajah Jakarta tahun pelajaran 2018/2019, setelah:
A. Memperhatikan
Hasil tes seleksi calon siswa SD Islam Darunnajah Jakarta.
Hasil musyawarah dengan seksama tentang hasil tes tersebut.
Jumlah lokal/bangku yang tersedia.
B. Menimbang
Bahwa untuk hal tersebut, perlu segera mengeluarkan keputusan.
C. Memutuskan
Menetapkan
Hasil Tes Seleksi Gelombang Pertama masuk SD Islam Darunnajah Jakarta Tahun Pelajaran 2019/2020.
Kelulusan dibagi menjadi dua kriteria; Lulus Murni, Lulus Bersyarat, dan tidak lulus.
Peserta tes yang dinyatakan Lulus Bersyarat diwajibkan untuk mengikuti Bimbingan Belajar selama 5 (lima) bulan berturut-turut.
Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat.
Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 26 Januari 2019
  Nur Amalia, S.H.I.                                                  Elah Hayati, S.H.I.
Kepala Sekolah                                                   Ketua PPSB 2019/2020
  Keterangan:
Bagi orang tua/wali peserta tes yang Lulus Murni/Lulus Bersyarat bisa langsung melakukan pembayaran pada tanggal 4 – 11 Februari 2019 di ATM atau fasilitas Internet Banking yang terhubung dengan jaringan ATM Bersama, Prima, atau ALTO, setelah pengumuman kelulusan, dikarenakan tempat terbatas. Mohon pembayaran dilakukan di hari kerja aktif Bank.
Pembayaran tidak dapat dilakukan melalui BCA Internet Banking.
Transfer hanya dapat dilakukan dengan Real time Transfer tidak dapat di proses dengan LLG (Lalu Lintas Giro) dan RTGS.
Pembayaran hanya dapat dilakukan dengan kode pembayaran yang terdapat di akun masing-masing. http://bit.ly/2EhcKe5
Untuk pembayaran dapat dilakukan pada tanggal 4 – 9 Februari 2019.
Program Bimbingan Belajar bagi peserta tes yang Lulus Bersyarat terhitung sejak dimulainya sekolah sampai 5 (lima) bulan ke depan dengan Materi Membaca dan Menulis (dikte).
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi Panitia Penerimaan Santri Baru Tahun Ajaran 2019/2020. Telp/Fax : 021 7376346 (08.00 – 15.00 WIB)
Eny Handayani           : 0812-13303-7351
Khodijah                      : 0813-1960-3337
Ahmad Awaludin         : 0812-9633-7739
  Lampiran Surat Keputusan
1723/PPSB-SD/SDIDN/I/2019
Hasil Tes Seleksi Gelombang Pertama Masuk SD Islam Darunnajah Tahun Pelajaran 2019/2020 Tanggal 26 Januari 2019 memutuskan:
Lulus Murni diterima di SD Islam Darunnajah
Nomor Nama JK Keterangan Urt No. Reg Siswa 1 0000011501 Abdul Qodir Romadhon L LULUS 2 0000010318 Abner Darius Algyasi L LULUS 3 0000011248 Akbar Alifano Kadir L LULUS 4 0000011225 Alana Iza Aqilah P LULUS 5 0000010967 Alfahri Satrio Malik L LULUS 6 0000010304 Ameera Calysta Danish Milanella P LULUS 7 0000009753 Arda Wibisono Hamdani L LULUS 8 0000011467 Arkananta Zaki Arief L LULUS 9 0000008451 Arrasyid Fadli Akbar L LULUS 10 0000008355 Aulia Izzatunnisa P LULUS 11 0000011170 Azka Putra Jahronih L LULUS 12 0000010008 Azzam Rajendra Purwanto L LULUS 13 0000009950 Calista Akiela Anindya P LULUS 14 0000012124 Dewi Tirta Ayu Mulyawati P LULUS 15 0000011476 Dzaky Alfiannov Hakim L LULUS 16 0000007729 Elvira Naufalyn P LULUS 17 0000010417 Erisya Ivanaska Hutama P LULUS 18 0000010655 Fakhri Ihsan Nofriadi L LULUS 19 0000007949 Fakhri Raihandra L LULUS 20 0000009850 Gendis Kaela Khansaa P LULUS 21 0000008135 Husna Fairuz Syarifah P LULUS 22 0000010480 Intan Ayu Prameswari P LULUS 23 0000011173 Jenahara Zulaikha Jaelani P LULUS 24 0000010259 Kanza Aqeesa Putri P LULUS 25 0000010455 Keano Destrarata Setiawan L LULUS 26 0000012241 Kenzie Arfa Wikiansyah L LULUS 27 0000011477 Kenzie Ramadhan Wirastomo L LULUS 28 0000011164 Khansa Athifa Fidelya P LULUS 29 0000010103 Khayla Shadrina Anandaru P LULUS 30 0000009709 Khayra Zahwa Adiba P LULUS 31 0000008159 Kholidi Asyadil Alam L LULUS 32 0000012391 Kyano Arkhan Alfawwaz L LULUS 33 0000008426 Lareina Annora Khansa P LULUS 34 0000010090 Layana Al – Qudsia P LULUS 35 0000011010 Listya Aidah Mazaya P LULUS 36 0000011470 Mikayla Putri Nazalfa P LULUS 37 0000009765 Mikhayla Quata Ayuna P LULUS 38 0000009726 Muhamad Habel Aswad L LULUS 39 0000012260 Muhammad Hakim Adefky L LULUS 40 0000011307 Muhammad Rasyiid Qawiy L LULUS 41 0000009722 Muhammad Syauqi L LULUS 42 0000010088 Nadira Khayla Syarif P LULUS 43 0000009882 Naura Medina P LULUS 44 0000011111 Naura Raudhatul Jannah P LULUS 45 0000011334 Putri Azzahra P LULUS 46 0000009804 Rafanda Azkadianing Putri P LULUS 47 0000007770 Raffa Fahrezi Setiawan L LULUS 48 0000009986 Rakha Abdillah Pratama Edfan L LULUS 49 0000011451 Rakha Faeyza Arki L LULUS 50 0000011460 Ratu Nashwa Anindya P LULUS 51 0000011534 Reivanno Syafarez L LULUS 52 0000010153 Satya Pradipto Nareswara L LULUS 53 0000007921 Sesa Sadera P LULUS 54 0000008272 Shena Gadisha Kamania P LULUS 55 0000010583 Taqiy Ahmad Ramadhan L LULUS 56 0000009946 Tsabita Jauza Sophia P LULUS 57 0000010006 Vanesya Zahra Putri Fillo P LULUS 58 0000008081 Zaky Rizki Maulana L LULUS 59 0000010140 Ziyan Akhtar Rezki L LULUS 60 0000010147 Raeesa Azhardillah Putri Sulistyo P LULUS
  2. Lulus bersyarat (Diterima di kelas 1 SD)
Wajib Mengkuti bimbingan belajar selama 5 bulan
No. No. Reg Nama Siswa JK Keterangan 1 0000010193 Adiva Zahirah Putuhena P Lulus Bersyarat 2 0000012262 Arjuna Satriadhi Prasetyo L Lulus Bersyarat 3 0000012389 Athar Reffaeyza Bhadrika L Lulus Bersyarat 4 0000009874 Pancaran Dhanu Syarif L Lulus Bersyarat 5 0000009702 Rumina Aryandharma P Lulus Bersyarat
  3. Belum TES
No. No. Reg Nama Siswa JK 1 0000010267 Azalea Khaliqa Dzahin P 2 0000007721 Eiliya Almahyra P 3 0000012197 Eithan Nayaka Kumara Yuri L 4 0000010012 Hammadan Zakha Kenziyara L
  from WordPress http://bit.ly/2D5e8Sk via IFTTT
0 notes
rinoa-posts · 6 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Isam..
Alhamdulillah..
Perjalanan Umrah dan Ziarah pada Nopember 2023 atau Awal Jumadil Ula kali ini banyak memberikan kesan dan cerita seru..
Salah satunya keluarga Isam.. Isam adalah anak dari Pak Nur Cholis, yang baru Saya kenal di Bandara Soetta.. Beliau berangkat Umrah dengan keluarganya (istri beliau dan 2 anak yang bernama Ziham dan Isam).
Karena judulnya udah namanya Isam, maka kisah ini tentang cerita Isam.. yg lain skip dulu yaa...
Isam adalah anak yang sangat supel, aktif, ceria, dan lucuuuuu.. kira2 seusia anak kelas 1 SD memang lagi lucu-lucu nya, lagi aktif-aktifnya.. wes.. dialah artisnya dalam rombongan jemaah kami.. karena dia yg paling mencuri dan mencari perhatian semuanya.. he-he-he..
Kadang muncul tiba-tiba, kadang hilang tiba-tiba, tapi tetap dalam perimeter kendali yang aman.. Alhamdulillah..
Kisah uniknya..
Isam sama Papahnya, Thawaf di sekitar Ka'bah Baitullah, percakapan Ayah-Anak ini terjadi ketika sedang dalam menyelesaikan putaran thawaf..
Dengan semangat dan rasa ingin taunya Isam bilang ke Papahnya: "Pah.. Pengen Hijir Ismail!!" dengan semangat Papahnya Isam merealisasikan keinginan Isam, anaknya.. Isam pun bahagianya..
Next: "Pah.. Pengen ke Maqam Ibrahim..!!"
Walaupun cukup padat Sang Ayah pun ikut memutar ngikutin arus tawaf dan menepi mendekati Maqam Ibrahim, akhirnya Isam pun dapat melihat jejak kaki Nabi Ibrahim AS. Isam bahagia dan tersenyum bangga...
Namun pandangan Isam berfokus pada kepadatan dan cowded nya sisi Hajar Aswad lalu berkata ke Ayahnya: "Pah.. Batu Syurga!!" Melihat fakta yang tak kondusif untuk kesana, Papah Isam tak bisa mengabulkan keinginan Isam.. Alhasil Isam menangis 😭😭 balik dari Thawaf karena gak bisa ke Batu Syurga..
Tangisannya mengundang empati, banyak tangan yg digerakkan Allah untuk menghibur anak bocah ini..
Al hasil.. Isam banyak dapat 'berkat' berupa Roti, cokelat, kurma, dll dari jama'ah yang melihatnya..
Isam pun senang dan bahagia..
Banyak pelajaran dari kisah ini.. salah satunya:
Kadang kita hanya fokus pada keinginan, sehingga terus menangisi keadaan, padahal yang terjadi sedang dihadapi itulah yang paling aman, paling baik untuk kita, dan kita harus teliti bahwa dibalik tidak tercapainya keinginan kita, Allah pasti sudah beri berkah dan kebaikan-kebaikan yang sangaaaaatlah banyak.. maka itulah yang sungguh membahagiakan apabila kita mau bersyukur dan shabar..
"Wali-wali Allah itu tidak takut/khawatir dan tidak bersedih hati/berputus asa"
Mari bahagia selalu.. syukuri segalanya..
Alhamdulillah bini'matihi tatimussalihat..
Alhamdulillah 'ala kulli haal..
Laa hawla walaa quwwata Illa billah..
1 note · View note
fedhol · 7 years
Text
Akibat Perbuatan Dosa
Setiap perbuatan dosa pasti memiliki mudhorotnya masing-masing sesuai dengan apa yang dikendaki-Nya. Setiap pelakunya bisa mengalami efek buruknya secara langsung, beberapa waktu kemudian, atau bahkan ditangguhkan dengan dirinya selalu diberikan nikmat walaupun tidak pernah melakukan ketaatan hingga akhirnya disiksa dengan siksa yang amat keras (istidraj). Lihatlah berbagai kisah yang menunjukkan bahwa kesengsaraan, kepedihan, atau kebinasaan yang dialami manusia, itu disebabkan karena perbuatan dosanya.
Bukankah ayah dan ibu kita, nabi Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga disebabkan karena perbuatan dosanya?
Bukankah umat nabi Nuh ditenggelamkan dalam banjir bandang disebabkan karena perbuatan dosanya?
Bukankah kaum ‘ad, tsamud dan kaum nabi Luth dibinasakan karena perbuatan dosanya?
Bukankah nabi Yunus dimasukkan ke dalam perut ikan karena perbuatan dosanya?
Bukankah Qarun beserta hartanya ditenggelamkan ke dalam bumi disebabkan karena perbuatan dosanya?
Bukankah Fir'aun binasa disebabkan karena perbuatan dosanya? Dan masih banyak lagi kisah-kisah yang menunjukkan hal-hal seperti itu.
Dosa bisa menyebabkan terhalangnya rezeki atau menyebabkan suatu musibah bagi seorang hamba. Dari Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “… Sesungguhnya seseorang benar-benar terhalangi mendapatkan rezeki disebabkan dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuuraa: 30)
Bahkan, keberadaan pemimpin yang dzhalim juga merupakan dampak dari perbuatan dosa. “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang dzhalim itu menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka lakukan.” (QS. Al-An'am: 129)
Dari Abdullah bin Umar, dia mengatakan, “Akulah orang kesepuluh dari sepuluh kelompok Muhajirin yang ada di sisi Rasulullah. Pada saat itu, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami kemudian bersabda, “Hai kaum Muhajirin, aku berlindung kepada Allah dari lima perkara dan semoga kalian tidak mengalaminya. -Tidaklah tampak perbuatan keji (zina) pada suatu kaum, sampai-sampai mereka melakukannya secara terang-terangan, melainkan mereka akan ditimpa cobaan berupa berbagai wabah tha'un dan penyakit yang belum pernah dialami oleh orang-orang sebelum mereka. -Tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa cobaan berupa kekeringan selama bertahun-tahun, paceklik, dan penguasa yang dzhalim. -Tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat dari harta yang mereka miliki, melainkan curahan air dari langit akan ditahan, bahkan sekiranya bukan karena binatang ternak, niscaya tidak akan turun hujan kepada mereka. -Tidaklah suatu kaum melanggar janji, melainkan Allah akan menjadikan musuh, yang bukan dari golongan mereka, lantas musuh-musuh itu mengambil sebagian harta yang ada di tangan mereka. -Tidaklah para imam mereka mengabaikan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya, melainkan Allah akan menjadikan mereka saling bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, Abu Nu'aim dalam al-hilyah, dan al-Hakim dengan sanad hasan, ash-Shahihah no.106 dalam Adda’ waddawa’ tahqiq Ali Hasan)
Berpecah belahnya seseorang diantara kita juga disebabkan karena perbuatan dosa. Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak mendzhalimi juga tidak menelantarkan”. Dan beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah dua orang muslim saling mencintai lalu keduanya berpisah, pasti disebabkan suatu dosa yang dilakukan salah satu keduanya”. (HR. Ahmad)
Mari kita lihat beberapa atsar diantara tiga generasi terbaik umat ini. Mereka begitu peka terhadap dosa yang telah mereka lakukan. Sampai-sampai mereka selalu berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika mengalami suatu musibah bahwa musibah tersebut terjadi karena akibat perbuatan dosanya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Sungguh aku benar-benar bermaksiat kepada Allah lalu aku mengetahui hal itu berakibat pada berubahnya perilaku keledai tungganganku, pembantuku, istriku, dan munculnya tikus di rumahku.” (Al-bidayah wan nihayah)[1]
Dari Abul-Asyhab, dari Al-Hasan, dia berkata, “Bahwa ada seseorang terkena duri, lalu dia berkata kepada diri sendiri, 'Aku tahu engkau telah berbuat dosa, dan Allah tidak mendzhalimi aku sedikit pun.’” (Az-Zuhd, karya Imam Ahmad)
Dari Abu Ayyub, dia berkata, “Ada seseorang yang namanya disebut-sebut di dalam masjid ini, yaitu al-Aswad bin Sari’. Abu Musa yang mendengar perkataan mereka, bangkit menghampiri mereka. Tiba-tiba tali sandalnya putus. Dia mengucapkan, "innalillahi wa inna ilaihi roji'un”, lalu berkata, “tali sandalku tidak putus melainkan karena suatu dosa.” (Az-Zuhd, karya Imam Ahmad)
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Selama lima bulan aku merugi tidak melakukan shalat Tahajjud karena dosa yang aku perbuat.” Ia ditanya, “Apakah dosa yang engkau lakukan?” Ia menjawab: “Aku melihat seseorang menangis, lalu aku berkata dalam diriku, ‘Orang ini riya.’” (Ihya’ 'Uluumid Diin I/313)[2]
Dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwasanya ketika ia dililit hutang, ia merasa gundah lalu berkata, “Sungguh aku tahu bahwa kegundahan ini disebabkan suatu dosa yg pernah aku perbuat empat puluh tahun yang lalu.” (Hilyatul Auliya’)
Dalam riwayat Abdullah bin As-Sari, Ibnu Sirin berkata, “Sungguh aku tahu dosa apa yang membawaku kepada hutang itu, yaitu aku katakan kepada seorang lelaki empat puluh tahun yang lalu, 'Wahai orang yang bangkrut.’”(Hilyatul Auliya’)
Mereka sungguh peka, bahkan mereka mengira kesengsaraan yang dialaminya itu disebabkan karena celaan buruk terhadap orang lain yang mereka lontarkan atau telintas dalam hati mereka.
Ibnu Qayyim mengomentari atsar tersebut, ia berkata, “Di sini terdapat poin penting dalam perkara dosa yang salah dipahami orang, yaitu kadang-kadang seseorang tidak melihat dampak dosa tersebut secara langsung, namun datangnya di kemudian hari, walaupun hal itu telah dilupakannya. Pelaku dosa tadi lantas mengira bahwa dia tidak terkena dampak dari dosa yang dilakukan sebelumnya. Betapa banyak orang yang tertipu dengannya, bahkan dari kalangan ulama dan orang-orang terpandang, terlebih lagi dari kalangan orang-orang bodoh?” (Adda’ waddawa’)
Bisa jadi akibat perbuatan dosa menyebabkan kita dibenci oleh hati orang-orang mukmin. Dari Salim bin Abil Ja’d, dari Abud Darda, dia berkata, “Hendaknya seseorang itu waspada sekiranya dia dibenci oleh hati orang-orang mukmin tanpa dia sadari.” Kemudian dia berkata, “Tahukah kamu apa maksudnya?” Aku menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Yaitu, seorang hamba yang berbuat maksiat kepada Allah dalam keadaan sembunyi-sembunyi, lalu Allah merasukkan kebencian kepadanya di dalam hati orang-orang mukmin tanpa dia sadari.” (Hilyatul Auliya’)
Janganlah merasa aman dari perbuatan dosa, karena bisa jadi sikap meremehkan dosa menjadikan dosa tersebut semakin besar. Ibnu Abbas berkata: “Hai pelaku dosa, jangan kamu merasa aman dari akibat perbuatanmu. Sungguh, apa yang mengikuti dosa itu lebih besar dosanya daripada dosa itu sendiri apabila engkau mengetahuinya.
Tiadanya rasa malumu terhadap makhluk yang berada di kanan dan kirimu (malaikat pencatat amal) saat engkau berbuat dosa, itu lebih besar dosanya daripada dosa itu sendiri. Tawamu dalam keadaan engkau tidak mengetahui apa yang akan Allah lalukan terhadapmu, juga lebih besar dosanya daripada dosa itu sendiri.
Kegembiraanmu dengan dosa yang berhasil kamu lakukan adalah lebih besar dosanya daripada dosa itu sendiri. Kesedihanmu atas dosa yang tidak berhasil kamu lakukan, itu lebih besar dosanya daripada dosa itu sendiri.
Ketakutanmu kepada angin yang jika berembus akan menyingkap tabir pintumu ketika berbuat dosa, tetapi hatimu tidak terguncang meskipun Allah melihatmu, adalah lebih besar daripada dosa yang kau lakukan …” (Hilyatul Auliya’)
Bila kita lihat di negeri kita sendiri, ternyata masih tampak kesyirikan dan kemaksiatan dimana-mana. Mereka ada yang dengan terang-terangan menunjukkan rasa syukur hasil panennya dengan membuat sesajen yang dikirim ke laut. Menanam kepala kerbau agar diberikan keselamatan, padahal hanya Allah yang dapat memberikan mudharat dan maslahat kepada hamba-Nya, bukan jin yang mereka anggap menempati tempat tersebut.
Ada juga di kalangan pemuda yang masih percaya ramalan bintang, garis tangan, dan semisalnya. Terkadang juga ada yang suka merasa sial karena terjadinya sesuatu, seperti telah kejatuhan cicak, menetapkan hari dan tanggal sial pada dirinya sendiri.
Jika kita lihat orang-orang yang dianggap sebagai wali pada masa sekarang, ternyata sebagian dari mereka ada yang masih mencari berkah dengan pergi ke kuburan-kuburan. Melakukan amalan-amalan yang entah contohnya darimana. Menetapkan keutamaan ibadah pada waktu-waktu tertentu tanpa dalil shahih, dan ternyata banyak sekali pengikutnya.
Lihatlah berbagai jenis riba yang sudah terjadi di negeri ini, padahal para pelakunya sendiri dinyatakan perang oleh Allah dan Rasul-Nya. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, …” (QS. Al-Baqarah: 279)
Lihatlah maraknya perjudian, peminum khamr, hampir menjadi tak asing di lingkungan tempat tinggal kita sendiri.
Perzinahan pun menjadi seperti hal yang biasa. Bahkan di kalangan pemuda saat ini, mendekati zinah (pacaran) adalah sebuah kebutuhan yang menjadi candu. Mereka selalu mendambakan zinah dengan kepura-puraan menganggapnya sebagai cinta yang suci, keromantisan, dan kasih sayang.
Jika beralih kepada para pelajar, ternyata sebagian besar tak mencerminkan sosok pembelajar sejati. Mereka menganggap plagiat (mencontek) sebagai suatu hal yang biasa. Seolah-olah mereka sekolah hanya untuk mendapatkan nilai bagus, tanpa peduli kualitas ilmu yang sudah mereka dapatkan.
Begitulah gambaran sedikit tentang kemaksiatan yang telah terjadi di negeri ini. Bagaimana mungkin Allah akan memberikan kesejahteraan, jika umatnya masih bergelimang dalam perkara yang dimurkai-Nya?
Sungguh, paceklik yang pernah terjadi, kemiskinan, kesengsaraan, pemimpin dzhalim, dan lain-lainnya, itu terjadi semata-mata karena akibat dari perbuatan dosa yang kita lakukan.
Kalian menginginkan kesejahteraan? Kuy sama-sama bertaubat.
[1] http://shahihfiqih.com/mutiara-salaf/diantara-akibat-dosa-muncul-tikus-di-rumah/ [2] https://almanhaj.or.id/3495-faktor-faktor-yang-memudahkan-shalat-tahajjud.html
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Usai Bertemu Syekh Sudais, Anies Diundang Buka Bersama Walikota Mekkah
Usai Bertemu Syekh Sudais, Anies Diundang Buka Bersama Walikota Mekkah
Usai Bertemu Syekh Sudais, Anies Diundang Buka Bersama Walikota Mekkah
Harianpublik.com – Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan tak hanya bertemu dengan Imam Besar Masjidil Haram Syekh Abdurrahman as Sudais.
Seusai berbuka bersama petinggi Masjidil Haram, Anies juga berkesempatan bertemu dengan Wali Kota Mekkah Osama al Bar, Rabu malam (7/6/2017) waktu setempat.‎
Juru bicara Anies-Sandi, Naufal Firman Yursak mengatakan, seusai bertemu Syekh Sudais dan Syekh Khalid al Humady, Anies diundang untuk iftar atau berbuka puasa di Masjidil Haram. Ruangan berbuka puasa itu adalah tempat khusus para imam, ulama, dan pengurus Masjidil Haram berbuka.
“Jarang ada undangan yang bisa berbuka di ruangan tersebut,” ujarnya, Kamis (8/6/2017).
Usai berbuka dan salat magrib, ‎Anies dan istri, Fery Farhati Ganis diantar untuk mencium hajar aswad. Anies dan Fery dikawal oleh sejumlah askar (satuan pengaman) untuk bisa mencium hajar aswad.
Tak hanya itu, Anies dan Fery juga diberi kesempatan untuk bisa salat sunat dua rakaat tepat di samping kakbah. ‎
“Pak Anies bahkan tiga kali mencium hajar aswad,” tambahnya‎.
‎ Anies kemudian diajak untuk menuju ke salah satu area di Masjidil Haram untuk melaksanakan salat tarawih.‎ Area itu merupakan area khusus keluarga kerajaan, pejabat negara, dan ulama.
“Tempatnya tidak jauh dari area sai,” ujar Naufal.
Saat di area itu, Anies kemudian bertemu dengan Wali Kota Mekkah Osama al Bar. Kepada Anies, Osama mengaku kalau kakeknya adalah orang Indonesia dari Palembang. Bahkan ibunya pun masih mengaku dari Palembang.
“Kepada Pak Anies, Wali Kota bercerita kalau keluarganya masih banyak di Palembang,” terangnya.
Anies kemudian mengikuti salat tarawih dari pukul 20.30 hingga 23.30 waktu setempat. Sebanyak 23 rakaat. Saat berbicara, diketahui ada sekitar muktamirin (jamaah umrah) yang datang mencapai 8,1 juta. Jauh lebih banyak dari masa haji yang normalnya 4 juta orang.
Anies, lanjut Naufal, merasa beruntung dari 8,1 juta orang yang datang mendapatkan banyak kesempatan. Bahkan bisa bertemu tiga imam besar di Masjid Quba, Nabawi, dan Masjidil Haram.
“Padahal Pak Anies hanya datang untuk niat umrah dan tidak menyangka disambut meriah,” ujar dia. [opinibangsa.id / tsc]
Sumber : Source link
0 notes
questionsonislam · 2 years
Note
Assalamualikum If a person is in some kind of trouble of this world(relationship,business or health,etc.), some elder people prefer to go to aalims and maulvisaabs who give them some kind of amal (or some specific way of makiing zikrs and reciting duas etc) to perform for getting help from Allah. Is it allowed? I personally believe that without Allah's wish nothing could happen and isn't it better to ask help only from Allah Almighty without any 3rd medium and wait till your wish is granted?
Please read the article given below;
About making tawassul while praying and asking the help of awliya of Allah
Seeking assistance is something and wasila (tawassul) is something else. Seeking assistance means asking for help. Wasila (tawassul) is a means to the end.
It is not permissible to ask for help from non-living things or a creature without intelligence even if it has a lot of service like the sun or the moon, even if it is holy like the Kaaba and the Black Stone (Hajar al-Aswad).
As for asking for help from people with intelligence, if the person is not a believer and a person with good deeds, it is not permissible to ask for help from him whether he is present or not. However, if he is a person with good deeds it is permissible to ask for help from him in order to ask intercession (shafa’ah), whether in his presence or near his grave.
Although the dead person has gone to the world of barzakh (veil), he has a kind of life peculiar to him. Our Prophet (PBUH) stated the following: "Prophets are alive in their graves." (Ibn Majah, Janaiz 65) Another evidence that prophets are alive in their graves is that Hazrat Prophet (pbuh) met the spirits of all of the prophets in Masjid al-Aqsa and greeted every prophet he met and those prophets replied his greeting. He also said the following about the polytheists who died during the Battle of Badr: "You cannot hear more than those; but they cannot answer.”
According to the people of tariqah (religious order) today, the help of a wali (saint) with a rank, whether he is dead or far away, can be asked for. He has the authority to help. Especially the people of tasarruf (authorized to do extraordinary things) can help both when they are alive and after they die; their help goes on.
As for wasila, as we have just mentiond, it is something to be used as a means to reach the end. There are some kinds of wasila:
1- To use the names of Allah for tawassul: Ibn Majah narrated the following from Hazrat Aisha: ‘The Prophet said the following in a supplication, " O Allah, I ask from you for the sake of your clean, nice and holy name"’
2- To make the supplication of the person as a wasila for whom tawassul is asked.
3- To make tawassul by using the personality of a great man with good deeds as an intermediary. For instance, to say something like ‘O Allah! I make the Prophet or Hazrat Abu Bakr a wasila in order to realize this wish of mine. Hazrat Umar made Hazrat Abbas (the Prophet’s uncle) a wasila in the supplication for rain by saying: “O Allah! We make the Prophet’s uncle a wasila, send us rain." (Bukhari).
4- To make tawassul by using the good deeds as an intermediary: For instance, to say something like “O Allah! I make this hajj or worship that I performed for you a wasila; relieve me of this misfortune or trouble”.
The kinds of wasila we listed above are present in Islam. It is not possible to deny them. The person to be made a wasila does not necessarily have to be superior to the person making tawassul. The Prophet (PBUH) said to Hazrat Umar, who wanted permission to go and make umrah, “Brother! Do not forget to pray for us”. He also ordered Hazrat Umar to tell Uways al-Qarani to pray for him. However, to imagine the prophet or any person independently and ask his help may cause a person to become an unbeliever. One should be careful about it. That is, it is permissible to think and to know that that person is a beloved slave of Allah and he does those things by the permission of Allah and to ask.
According to Ahlu Sunnah scholars, it is permissible to make tawassul as long as one does not go beyond it.
Those who regard wasila as completely haram are kharijites and and those who imitate them.
The information that angels protect people is present in the Quran itself: “For each (such person) there are (angels) in succession, before and behind him: they guard him by command of Allah”(ar-Rad, 13/11). That truth is pointed out in the verse.
The protection of the angels is not polytheism, similarly, the help and protection of other creatures should not be polytheism. However, we should not raise them from the level of being a means, a cause to the level of creation. It is a necessity of our belief that “there is no real creator other than Allah in the universe.”
Is there mediation, wasila in religion?
Wisdom is one of the indispensable elements of life and success; it is also a leaven and an important law in the management and control of all of the beings.
Men make achievements and maintain them by observing that rule and principle called wisdom.
Wisdom makes cause, means, wasila necessary between the Creator and the creatures.
The loftiness and greatness of the creator, the relationship and the balance among the beings are related to wisdom. In addition, the fact that beings serve as proof to their creator, the fact that they are searched and studied like a book by qualified people, and the most important of all, the fact that men are tested and tried for their achievements in the world and in the hereafter, depend on wisdom and a serious relationship with wisdom.
Men who have been given wisdom are the most honorable and valuable beings.
Based on this principle, the general term denoting the phenomenon of relationship between beings, things, man and the creator is wisdom.
In the connections between non-living things and living things,
in the veils between being created and creating,
in the causes between illness and health,
in slavery and its consequences,
in the relationship between conveying the message and guidance,
in the consequences and relationships of agriculture, trade, art and worship, wisdom is essential; and the causes, wasilas and means are the prerequisites of wisdom and they will always be present naturally.
Here, although the existence of means is necessary in terms of wisdom due to divine power and greatness, the oneness and majesty of Allah eliminates their effects. Wisdom necessitates that they remain only as means.
So, means are an essential of creation due to Allah’s name, the Wise.
So, the means like those are existent and necessary in our religion naturally.
For instance, the means of hidayah (guidance) are prophets.
The means of Allah’s orders to His prophets are the angels.
The means of pre-eternal speech are the Books and Pages.
The means of manifestations are miracles and arts.
The means of forgiveness and reward are bounties and Paradise.
The means of suffering and punishment are measures and Hell.
The means of worshipping and slavery are worships.
The means of approaching Allah are knowledge and taqwa (piety).
So, there is no place, state and time without means.
The most important point of the things that we have mentioned so far is as follows: Those means should not be something more than a wasila; they should be transparent and decent; they should not hide and cover the realities; in particular, they should strengthen not break the relationship between the slave and Allah.
If the means that exist between the realities and the people as a necessity of wisdom become dense and break the connection, then wisdom disappears and obstacles emerge. The means loses its property of being a means.
For instance, if a teacher enters between a mathematics book and the students, he integrates the students with the book. He increases the love. He also strengthens knowledge. Teachers form a great amount as means.
Artists are means of transferring the skill between the apprentices and art. Otherwise the arts and skills would cease and die.
Similarly, great religious people are transparent means to ensure and maintain the relationship between Allah and the slave. If they stop acting as intermediaries, the slave will spoil the relationship and break the connection.
However, being an intermediary is not something easy. The most important thing is to be capable and qualified.
That is, a teacher should act as an intermediary between the mathematics book and the student. However, if the teacher is a music teacher, it won’t do any good.
A doctor, who is a transparent means, should act as an intermediary between the patient and the illness in terms of wisdom. However, if an engineer instead of a doctor acts as an intermediary, he will only serve the angel of death.
Glasses become intermediaries between the eyes and things. Hearing aids become intermediaries between the ears and the sounds. As intermediaries, they serve those with ordinary eyes and ears to see and hear better.
Similarly, if qualified and capable people become intermediaries between the realities and ordinary people, they increase those people’s knowledge and virtues. Their spiritual lives become orderly and tidy. Ordinary people cannot see the naked realities and cannot perceive them. They can understand the realities only through some means.
The similes, metaphor and usual examples in the Quran are holy and transparent means like eyeglasses or binoculars between men and the realities that are difficult to perceive.
Therefore, to deny the means (wasila) means to deny wisdom, help, benefit, order, goodness and affair. It is an attitude contrary to creation and reality.
However, as there are always exceptions and misuse, the means deteriorated and misused in time; and bad examples reached present time. While it is necessary to correct, put into order and change them, it will be consciencelessness to wear mediation down and to deny it wholly and radically.
It will be a great mistake to prefer its demolition although it is possible to correct it.
So, mediation is a divine approbation that establishes the connection with reality like transparent glass, and that puts the relationships in order.
As it is present everywhere, there is and will be mediation in our religion. However, intermediaries that are very dense like priesthood, that confine the interest and respect only to themselves and break the relationship with Allah are a kind of hidden polytheism. Mediation like that does not exist in man’s nature and creation; it does not and cannot exist in our religion.
To see the means from the point of view of the evaluations above will protect us from excessiveness and negligence in terms of thoughts and attitudes, will drive all of our feelings and thoughts to the medium way, will provide our life with direction, peace and happiness.
1 note · View note
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Kaidah 5: Da’i Wajib Mengoptimalkan Upaya Manusiawi Seraya Memohon Bantuan Rabbani
Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam
  Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/08/20/kaidah-5-dai-wajib-mengoptimalkan-upaya-manusiawi-seraya-memohon-bantuan-rabbani/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Kaidah 5: Da’i Wajib Mengoptimalkan Upaya Manusiawi Seraya Memohon Bantuan Rabbani
Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam
  Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/08/20/kaidah-5-dai-wajib-mengoptimalkan-upaya-manusiawi-seraya-memohon-bantuan-rabbani/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Kaidah 5: Da’i Wajib Mengoptimalkan Upaya Manusiawi Seraya Memohon Bantuan Rabbani
Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam
  Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/08/20/kaidah-5-dai-wajib-mengoptimalkan-upaya-manusiawi-seraya-memohon-bantuan-rabbani/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam
  Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/08/20/kaidah-5-dai-wajib-mengoptimalkan-upaya-manusiawi-seraya-memohon-bantuan-rabbani/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam
  Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/08/20/kaidah-5-dai-wajib-mengoptimalkan-upaya-manusiawi-seraya-memohon-bantuan-rabbani/
0 notes