Tumgik
#Memahami oligarki
masbagyo · 2 years
Text
Memahami Oligarki
Diskursus tentang oligarki, akhir-akhir ini menyeruak lagi, diberbagai jenis perbincangan. Bahkan ressufle kabinetpun, tidak lepas dari penilaian berkenaan dengan melanggengkan oligarki. Dan menjadi semaki panad saat dikipasi melalui berbagai jenis media. Karenanya media sosial kini menjadi sarana efektif untuk menyebarkannya. Sehingga ruang publik menjadi riuh, disisi lain, juga mengundang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
mamadkhalik · 8 months
Text
DM 2 Solo
Pertama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada para BPH, Pengurus, kader, dan peserta yang telah menyukseskan agenda DM 2 Solo. Sungguh tidak mudah memegang amanah pengkaderan besar ini, atas izin Allah semua berjalan lancar.
Tumblr media
Kedua, teruntuk para peserta, Prof. Rhenald Kasali telah memberikan gambaran yang jelas tentang perubahan dunia. Dakwah kampus yang terasa "jumud" itu perlu segera disikapi dengan bijak tanpa mengurangi esensi dakwah.
Dari buku "Menuju Kemenangan Dakwah Kampus" kita disadarkan mengenai pentingnya makna kemenangan, bukan sekadar menduduki jabatan strategis seperti BEM, namun kebermanfaatan yang dapat kita berikan bagi mahasiswa dan masyarakat.
Bagian penting dari buku ini adalah seruan untuk kembali ke Ashalah Dakwah Kampus, memahami kembali makna Islam, pentingnya tarbiyah untuk manusia, pentingnya dakwah sebagai seruan kebaikan, dan yang pasti fiqih dakwah sebagai rambu dasar yang dilengkapi oleh manhaj dakwah. ADK perlu paham itu.
Masuk ke bab metode, setelah memahami Ashalah Dakwah Kampus, kita perlu membaca perubahan pemuda saat ini. Bagaimana memahami diri sendiri, memahami orang lain, selanjutnya memberi pembebanan yang tepat dalam setiap amanah yang diberikan.
Kita para aktivis dakwah, berangkat dengan mimpi, ekspektasi, dan juga pengalaman spiritual yang berbeda. Jangan menganggap sama, jangan menuntut banyak hal sebelum memberi pemahaman, jangan mematikan mimpi mereka! Jangan berlindung dengan term "ini amanah dakwah."
Mengutip dari buku "Di Kekinian Dakwah" dalam proses tarbiyah, terkadang para aktivis banyak melupakan proses pemahaman dari perangkat-perangkat dan rukun-rukun ukhuwah. Apabila 2 step ini dilupakan, dakwah akan runtuh dari dalam.
Ingat kembali klasifikasi basis dakwah, mana basis pendukung, mana para penggerak, mana ideolog gerakan. Saat berada di fase penggerak, sudah sepantasnya sadar akan peran, pun saat hilang arah tujuan, bukan sibuk mencari kesalahan atau pembenaran, namun kembali lagi ke 2 poin atas, harus saling memahami dan menguatkan ukhuwahnya.
Kita sudah sama-sama membaca umat ini. Kita familiar dengan kalimat dakwah tak butuh kita, namun kita yang butuh dakwah. Namun dalam tulisan ini, saya tegaskan bahwa hari ini dakwah butuh kita semua! orang-orang dipersimpangan jalan itu butuh kita, orang-orang terzalimi butuh kita, saudara seperjuangan pun butuh kita, jangan sampai mengecap manisnya iman sendirian namun kita tutup mata di luar sana.
Manhaj kita menuntun manusia untuk menuju kemuliaan, melepaskan diri dari perdebatan khilafiyah, dan yang paling penting mengupayakan persatuan umat.
"kita adalah dai sebelum apapun"
"Sampaikan walau satu ayat"
bukanlah menjadi pembenaran untuk kita tidak menambah ilmu. Cari majelis ilmu, carilah guru, jagalah adab dengan guru, orang tua, dan saudara sesama muslim. Carilah bekal sebanyak-banyaknya, tenangkan hatimu, sucikan hatimu dari niat-niat untuk pujian, harta, dan dunia dan segala isinya.
Tempat kita berdiri saat ini, Solo, bumi yang diridhai oleh Allah memiliki jenama "The Spirit Of Java." namun menurut Ustadz Syihabuddin Al-Hafizh, Solo ini bukan hanya jawa semata, tapi "Spirit Of The World"
Peranakan china di pasar gede, peranakan Arab di Pasar Kliwon, India di Laweyan dan jawa sebagai etnis mayoritas berkumpul di kota ini.
Tak cukup dari itu, di kota ini juga ada bekas Kraton Kerajaan Mataram Islam yang besar di Kartasura, Kraton Mangkunegaran pimpinan Pangeran Sambernyawa dan Kasunanan pimpinan PB X yang gigih melawan belanda, lalu munculnya SDI yang memicu pembentukan SI sebagai perlawanan oligarki kolonial di Laweyan.
Di zaman ini, ormas dan kelompok Islam meliputi : MTA yang besar di Karangayar, LDII Sukoharjo sekitarnya, Hidayatullah di Mojosongo, DSKS dan laskar Islam di Ngruki, Muhammadiyah di Sukoharjo, dan Para Habaib tarekat yang besar di Pasar Kliwon.
Faktor historis dan landscape ormas ini menjadi bukti bawah Islam adalah pemersatu bangsa, sebuah spirit yang harus kita bawa sembari menyerukan moralitas kepada peradaban barat yang rapuh itu.
Maka, saat berkumpul kembali kelak, kita sepakat untuk mengesampingkan perbedaan pendapat dalam suatu perkara, kita berfokus merangkai persatuan antar umat, sesuai dengan prinsip kita, persaudaran adalah watak muamalah KAMMI.
Terakhir, dimasa yang penuh fitnah ini, kita harus membangun optimisme akan kejayaan umat. Bukan toxic positivity, namun berputus asa dan berpangku tangan itu bukanlah karakter seorang muslim.
Selayaknya Bilal bin Rabbah dengan ketauhidanya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam saat memukul batu di Parit Khandaq, Umar bin Abdul Aziz dengan reformasi birokrasi Umayyah, Imam Ghazali, Nuruddin Zanki, Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai aktor Islah dalam menaklukan Al-Quds, Muhammad Al-Fatih yang menaklukan Konstantinopel, dan kita semua para aktivis dakwah kampus yang tengah mempersiapkan diri untuk kejayaan Islam.
Semoga dimudahkan dan dikuatkan!
"Kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok" - Imam Hasan Al-Banna
30 notes · View notes
seribupos · 9 months
Text
Memetakan Pola Pikir Denny JA Sebuah Tinjauan Mendalam Terhadap Isu-isu Sosial dan Politik
Dalam perkembangan dunia sosial dan politik di Indonesia, penting untuk memahami pola pikir tokoh - tokoh yang berperan dalam membentuk opini dan kebijakan. Salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar adalah Denny JA, seorang intelektual yang secara aktif terlibat dalam berbagai isu sosial dan politik di negeri ini. Artikel ini akan memberikan tinjauan mendalam terhadap pola pikir Denny JA serta pandangannya terhadap isuisu yang menjadi perhatian masyarakat.
Denny ja dikenal sebagai seorang ahli politik, pengamat sosial, dan juga pendiri sebuah lembaga survei yang terkenal di Indonesia. Namanya sering dikaitkan dengan penelitian dan analisis tentang preferensi politik masyarakat serta perubahan sosial yang terjadi di Indonesia. Pola pikirnya yang analitis dan kritis membuatnya menjadi salah satu pemikir yang dihormati dalam diskursus sosial dan politik. Salah satu isu sosial yang menjadi perhatian Denny ja adalah masalah kemiskinan. Dia percaya bahwa kemiskinan bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga permasalahan struktural yang melibatkan aspek sosial, politik, dan budaya. Denny memetakan pola pikirnya dengan menganalisis akar permasalahan kemiskinan, seperti rendahnya pendidikan, akses terhadap lapangan kerja yang terbatas, serta ketimpangan distribusi sumber daya. Dengan pemahaman ini, Denny berupaya mencari solusi yang holistik, yang melibatkan perubahan kebijakan, implementasi programprogram pemberdayaan ekonomi, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengatasi kemiskinan. Selain itu, Denny JA juga aktif dalam menganalisis isu politik di Indonesia. Dia sering mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam analisisnya. Denny berpendapat bahwa politik harus melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit. Dia memetakan pola pikirnya dengan mengkritisi praktik politik yang koruptif, nepotisme, serta oligarki kekuasaan. Denny secara terbuka menyuarakan kebutuhan akan reformasi politik yang lebih demokratis dan inklusif, di mana partisipasi publik dipandang penting dalam pengambilan keputusan politik yang berdampak luas. Dalam konteks isuisu sosial dan politik, Denny JA juga mengemukakan pandangannya mengenai agama dan pluralisme. Dia percaya bahwa keberagaman adalah kekayaan Indonesia yang harus dijaga dan diperkuat. Denny memetakan pola pikirnya dengan menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia dan kebebasan beragama bagi semua warga negara. Dia menolak diskriminasi agama dan mengajak masyarakat untuk saling menghormati perbedaan serta bekerja sama dalam membangun harmoni sosial. Selain itu, Denny JA juga memiliki pemikiran kritis mengenai isuisu gender dan perlindungan hak perempuan. Dalam pandangannya, kesetaraan gender bukan hanya tentang pemberian hak formal, tetapi juga perubahan dalam pola pikir dan budaya yang masih patriarki. Denny memetakan pola pikirnya dengan mendukung peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hakhak perempuan, termasuk akses terhadap pendidikan, kesempatan kerja yang setara, serta perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender. Pola pikir Denny JA yang berpusat pada keadilan sosial, demokrasi, dan pluralisme mendorongnya untuk terus berkontribusi dalam meningkatkan kualitas diskursus sosial dan politik di Indonesia. Dalam menghadapi tantangan yang kompleks, Denny aktif dalam menyuarakan pendapatnya melalui tulisan, pidato, serta berbagai kegiatan yang mendorong partisipasi publik.
Cek Selengkapnya: Memetakan Pola Pikir Denny JA: Sebuah Tinjauan Mendalam Terhadap Isuisu Sosial dan Politik
0 notes
belamelsworld · 9 months
Text
Menguak Realitas: Pertambahan Kemiskinan dan Kekayaan di Masa Pandemik Menurut Denny JA
Pendahuluan: Masa pandemik yang sedang kita alami saat ini telah mengubah banyak aspek kehidupan kita, termasuk ekonomi dan sosial. Salah satu dampak signifikan dari pandemi ini adalah adanya pertambahan kemiskinan di berbagai negara di seluruh dunia. Namun demikian, ada juga fakta menarik yang perlu kita perhatikan, yaitu adanya pertambahan kekayaan bagi sebagian orang di tengah-tengah krisis ini. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai realitas ini berdasarkan pandangan Denny ja, seorang tokoh masyarakat yang dikenal karena pemikirannya yang kritis dan analitis. I. Pertambahan Kemiskinan di Masa Pandemik A. Dampak Ekonomi Pandemi 1. Kenaikan Tingkat Pengangguran 2. Penurunan Pendapatan Masyarakat 3. Menurunnya Daya Beli B. Kerentanan Kelompok Rentan 1. Pekerja Informal 2. Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 3. Masyarakat Miskin Perkotaan C. Rantai Dampak Lingkaran Setan 1. Turunnya Konsumsi 2. Penurunan Produksi 3. Menurunnya Pertumbuhan Ekonomi II. Pertambahan Kekayaan di Masa Pandemik A. Peran Teknologi dan Industri Digital 1. Perkembangan E-commerce dan Dampaknya 2. Perusahaan Teknologi dan Keuntungannya 3. Inovasi Bisnis di Tengah Pandemi B. Keuntungan dari Sektor Investasi 1. Investasi Saham 2. Investasi Properti 3. Investasi Emas C. Dampak Kebijakan Pemerintah 1. Bantuan Ekonomi bagi Usaha Besar 2. Stimulus Fiskal dan Moneter III. Analisis Denny ja Mengenai Realitas ini A. Krisis sebagai Peluang 1. Potensi Bisnis Baru 2. Inovasi dalam Mencari Solusi B. Kekayaan sebagai Keuntungan dari Ketidakadilan 1. Ketimpangan Ekonomi yang Semakin Tinggi 2. Peran Oligarki dalam Keuntungan Masa Pandemik C. Perlunya Tindakan dan Kebijakan yang Adil 1. Pemberdayaan Kelompok Rentan 2. Regulasi yang Melindungi Kepentingan Rakyat Kesimpulan: Artikel ini telah membahas mengenai pertambahan kemiskinan dan kekayaan di masa pandemik berdasarkan pandangan Denny JA. Pandemi telah membawa dampak ekonomi yang signifikan, terutama dalam hal kenaikan tingkat kemiskinan. Namun demikian, ada juga sejumlah orang yang sukses memanfaatkan krisis ini untuk mendapatkan keuntungan finansial. Denny JA menyuarakan pentingnya tindakan dan kebijakan yang adil untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan melindungi kepentingan rakyat. Dalam menghadapi masa sulit ini, kita perlu menjaga sikap kritis dan analitis untuk memahami realitas yang sedang terjadi dan berupaya mencari solusi yang tepat.
Cek Selengkapnya: Menguak Realitas: Pertambahan Kemiskinan dan Kekayaan di Masa Pandemik Menurut Denny JA
0 notes
notesbeforewesleep · 3 years
Photo
Tumblr media
“Jadilah Orang Kaya, Dengan Begitu Kamu Akan Lebih Mudah Jadi Orang Baik”, katanya [Part 2]
Masih membahas hal yang ramai dijagat raya beberapa hari lalu. Jagat twitter lebih tepatnya hehehe, lanjutan dari sebelumnya.
Kita udah menyimpulkan bahwa sebenernya kekayaan dan kemiskinan bukan menjadi suatu tolak ukur manusia bisa menjadi lebih baik atau lebih buruk, justru kekayaan dan kemiskinan sama-sama berpotensi membuat orang bisa melakukan aktivitas baik atau pun aktivitas buruk.
Enggak jarang kan orang maling mengatasnamakan kemiskinan? Engga jarang juga kan orang kaya yang menimpun hartanya sendiri dan males ngeluarin harta buat kebaikan?
So, kekayaan dan kemiskinan bisa kita blacklist sebagai salah satu indikator yang akan menentukan orang lain bisa lebih mudah untuk menjadi orang yang baik.
Lagipula, kalo di runut penyebab terjadi kesenjangan sosial, antara yang kaya dan yang miskin pun bukan semata-mata permasalahan individual aja, tapi udah soal permasalahan struktural. Memang, bisa jadi orang yang saat ini hidup miskin itu karena kemalasan yang ada di dalam dirinya dia, tapi itu semata-mata bukan menjadi satu-satunya penyebab. Ada yang lebih parah dari itu.
Abainya negara dalam memperhatikan masalah rakyat membuat semakin runcingnya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Bahkan posisi parlemen yang separuhnya anggotanya merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor di Indonesia, hal ini menjadi wajar apabila masyarakat menaruh curiga kepada pemerintah. Apalagi belakangan ini kebijakan dan UU yang dihasilkan dianggap tidak berpihak kepada rakyat, melainkan hanya berpihak kepada kelompok atau elit tertentu (oligarki). Enggak usah jauh-jauh, yang masih segar sampe hari ini pun kita bisa liat, abainya pemerintah dalam menanggulangi efek dari pandemi covid 19 menjadi bukti jelas bahwa pemerintah terlihat tidak peduli dengan masyarakat, melainkan lebih peduli dengan kondisi ekonomi, dibandingkan dengan menyelamatkan nyawa masyarakat. Parahnya pun sampai ada kasus korupsi bantuan sosial covid 19 utk masyarakat yang dilakukan oleh menteri sosialnya sendiri.
Lagi saya katakan, kalau tingkat semakin baiknya seseorang disandarkan pada kekayaan, pada kenyataannya kita bisa lihat apakah para pejabat hidupnya semakin dekat dengan rakyat? atau malah semakin jauh dengan rakyat?Lalu, bukankah menjadi wajar di zaman now bahwa yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin? bukan karena kemalasan individu semata, tapi karena memang ada yang salah dalam pengelolaan sistemnya? Bahwa kemiskinan yang terjadi merupakan hasil dari permasalahan yang bersifat sistemik.
Jiwa materialistik yang ditanamkan oleh budaya sistem kapitalistik memang telah mengakar luar biasa, bahkan ke individu, hal ini menyebabkan pandangan manusia terhadap apapun, hanya disandarkan pada besar atau tidaknya materi yang dimiliki. Termasuk saat kita hendak menilai mana aktivitas yang bisa menjadikan kita orang lebih baik, mana yang tidak pun disandarkan pada berapa besarnya materi yang kita miliki. Padahal, saat kita memahami adab berbicara kepada orang tua pun, bukankah itu suatu kebaikan? apakah saat kita memahami adab kepada orang tua itu membutuhkan uang/materi lainnya?
Silahkan di jawab sendiri.
Kita lanjut ke part 3 ya, supaya tidak terlalu panjang.  
2 notes · View notes
moonsieure · 4 years
Text
sebelum sembilan belas
Kalau hendak melakukan kilas balik setahun ke belakang, rasanya banyak sekali yang sudah dilalui dan dialami. Yang diselesaikan. Waktu malam-malam begadang untuk menonton video pembelajaran bimbel online, kembali ke sekolah menghadap buku-buku tebal dengan judul yang sama sekali berbeda karena aku menyeberang jalan, lalu bersosialisasi sekadarnya, dilanjutkan dengan rutinitas membosankan seperti biasa.
Belajar. Buku. Internet. Gawai. Pena. 
Tentang hal-hal yang menemaniku untuk mengejar kampus impian. Nyatanya, aku tidak berakhir di tempat yang aku inginkan. Jurusanku kini bukan yang aku perjuangkan siang-malam atau kutuliskan pada dinding harapan. Tidak jarang kalau diam-diam aku sering bergumam, tempatku bukan di sini nampaknya. 
Satu tahun. Dua semester. Sepanjang itu sesungguhnya hidup bukan cuma perihal aktivitas yang didasarkan tips-tips motivator di akun info-sbmptn, semangat-masuk-kampus, pun ugm-ui-itb-story. Dominasi euforia yang kelihatan memang itu, tetapi bukankah kata Pangeran Kecil, “Yang terpenting adalah yang tidak terlihat oleh mata.”
Maka waktu setahun yang penuh komplikasi itu isinya macam-macam sekali. Bukan cuma belajar pengertian Teori Struktural Fungsionalnya Marx, utang bertambah dikredit, atau bagaimana memahami struktur lapisan air tanah. Yang itu sejatinya bisa dikuasai dengan niat yang bulat, walaupun UTBK tahun ini tidak lagi melibatkan soal-soal potensi akademik, ya? 
Belajarnya sudah spesifik soal skolastik saja. Silogisme, kata baku-tidak baku, ejaan, matematika dasar...tidak peduli kamu lulusan angkatan Corona maupun gap year, hari-harimu di rumah lebih banyak belajar, belajar, dan belajar, kan?
Aku juga. 
Ditambah ilmu-ilmu yang barangkali asing namanya, tidak pernah kau dengar, namun sebetulnya sering kau temui dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kadang tidak sadar kalau sudah mengimplementasikannya. 
Ilmu apa? Eh, aku juga masih agak ragu apakah aku betul-betul sudah mempelajarinya. Apakah aku sudah belajar itu dan masuk dalam tabungan ilmuku. Pokoknya, ilmu ini sering disebut sebagai cara untuk mendekatkan diri pada Kekasih. Mensucikan batin dengan hidup sederhana dan rendah hati. Tokoh-tokohnya sering dianggap bersembunyi dari keramaian hiruk-pikuk dunia agar senantiasa tenang jiwanya. Buku-buku yang dijual di toko buku yang sering kau kunjungi itu, biasanya menaruh kata “tasawuf” pada judulnya untuk membahas ilmu itu. 
Belajar dari mana? Dari buku sajakah? Ah, tentu saja bisa dari mana saja.
Buku-buku ulama sufi itu cuma salah satunya. Lainnya mungkin dari status Whatsapp teman yang mengunggah potongan kajian Cak Nun dengan tambahan instrumen dan subtitle, dari kanal Youtube Bunda Maia, bahkan bisa saja dari obrolan tak terduga dengan teman-teman di sekitar kita. Sampai hal itu mengantarkan kita untuk lebih mendalaminya, menuju validasi materi dengan buku-buku dan yang lebih memadai. Mereka gerbangnya.
Rasanya seperti meditasi. Belajar menjadi lebih pasrah…lebih ikhlas. Kukira, itu adalah proses ghaib, tidak terlihat. Seperti yang aku bilang sebelumnya, kadang kita tidak sadar waktu mengalami proses itu. Makanya kita butuh self-awareness. Makanya di usia yang semakin belas-belas ini kita butuh setting boundaries. Kita...butuh lebih akrab dengan istilah psikologi, ya? Supaya lebih mengerti diri sendiri.
Lalu, mengenal dunia lebih luas lagi. Membaca buku lebih banyak. Belajar apapun yang ingin dipelajari selagi masih ada daya dan tenaga (dan usia). Terima sajalah dengan keadaan mental kita, sambil perlahan menuju ke arah yang lebih baik. Rutin melakukan Check In kalau sedang ada keadaan mendesak. 
“Accept the feelings.” Stoicism. Liberalism. Feodal, oligarki, ah…kampus merdeka. Intelektual. Produktivitas. Keuangan! Ah. umur 20 yang begitu menakutkan.
Belum lagi berderet ‘kepentingan’ lain yang mungkin sedang menunggu untuk dinyalakan lampunya, agar lebih terang jalannya dan dilapangkan hati ketika melewatinya, saat masih belajar dan terus belajar. 
7 notes · View notes
budummmusthopa · 4 years
Text
Ilusi Sudut Pandang dan Lakon Kegilaan
Tumblr media
Manusia adalah serentak tunggal dan jamak di alam semesta ini. Sebagai individu yang bermasyarakat, dalam dirinya terdapat berjuta-juta galaksi mimpi dan fantasi, karakter khayal tak berhingga, dambaan dan cinta yang tak terpuaskan, kesedihan tanpa batas, nafsu kebencian, keserakahan, kesewenang-wenangan, dan lainnya.
Dunia selalu setia menjadi saksi atas semua perkara ini. Gerak-gerik manusia terekam jelas dengan jejak-jejak DNA di setiap langkah, celah juga jeda dalam hidupnya. Setiap detik yang bergulir selalu memberikan cerita tersendiri dalam fragmen kehidupannya. Tanpa terkecuali perihal baik-buruknya suatu peristiwa yang sering menjadi terjangan problema.
“Dimana kaki berpijak, disitu mata membelalak.
Dimana pikir meruah, disitu ingin menumpah.
Dimana rasa bergejolak, disitu emosi menyerak.
Dan dimana tekad membulat, disitulah kehendak bergulat”.
Ini bukanlah sebuah kutipan peribahasa yang dijadikan sebagai falsafah hidup sebagian manusia tentang bagaimana mereka harus membangun kesadaran atas apa yang tengah mereka hadapi dan jalani dalam kehidupan. Melainkan tentang hasrat yang kadang menikam dalam senyap, memperdayai empati hingga melenyap.
Dimana kaki manusia memijak, memang akan memberikan sudut pandang berbeda atas apa yang mereka lihat, juga konsep pemikiran dan tindakan yang beragam ─ senantiasa berubah.
Sebagai makhluk sosial yang berakal dengan trias dinamikanya, kehidupan manusia sangatlah kompleks dan menuai banyak pertanyaan.
Cipta, rasa dan karsa telah menjadi kekuatan penggerak manusia dalam beraktifitas, bahkan dalam membentuk sebuah peradaban. Peradaban merupakan tahapan perubahan dari perkembangan akal budi manusia yang telah berjalan bertahap dan berkesinambungan dengan karakter khas dan didalamnya terdapat norma yang mengatur kehidupan.
Namun, pesatnya perkembangan zaman saat ini menumbuhkan cakrawala pandangan manusia yang semakin terbuka luas, sehingga merubah kondisi dan perilakunya.
Perubahan yang terjadi membuat manusia diperhadapkan dengan fenomena yang menghadirkan dorongan keinginan untuk terus mencapai sesuatu di luar diri mereka, dan selalu ingin mengubah atau memperbaiki apa-apa saja yang ada disekitarnya, disertai atau tanpa adanya pertimbangan.
Hal ini ternyata tak hanya membawa manusia pada kondisi yang menghadirkan kemaslahatan dalam hidup, di lain sisipun turut menghadirkan hal sebaliknya. Sebuah fenomena baru dimana manusia hidup dalam dunia yang semakin meluruh karena letupan kegilaannya.
Perhelatan Kegilaan
Peradaban manusia mungkin bisa dikatakan berjalan beriringan dengan kegilaannya, walaupun kegilaan adalah suatu hal yang terlalu sukar diberi batasan dan definisi pasti, karena dalam setiap fase sejarah kegilaan diukur dengan batas normal yang terus-menerus berubah, berbeda dari masa ke masa, sebagaimana analisa Michel Foucalt dalam bukunya Madness and Civilization (Kegilaan dan Peradaban).
Hari ini, mungkin menjadi babak baru yang menandakan evolusi perwujudan kegilaan manusia. Dunia yang semakin renta menua tak hanya bersedih karena ditimpa penyakit yang mendera, duduk perkaranya adalah melainkan karena beberapa penghuninya semakin mengada-ada, melampaui batas normal, dimana sebagian manusia semakin menampakkan wajah anomie-nya.
Dapat kita saksikan kehidupan benar-benar sedang diuji. Perhelatan akbar tentang kegilaan tengah dipertontonkan di bumi pertiwi ini, dan manusia memang merupakan aktor yang paling ahli dalam memainkan perasaan.
Ada orang-orang yang tengah berjuang mengais rezeki demi sepotong senyuman keluarga, namun begitu saja terhenti paksa. Ada yang tengah bergelut dengan cucuran keringat mencari nafkah, namun tetiba saja harus berdiam di rumah, mengusap air mata atas rintihan suara perut yang mereka rasa.
Bahkan iring-iringan mobil jenazah malah di lempari kayu dan batu kerikil, mayat didalamnya ditolak untuk dikebumikan.
Dalam scene kegilaan yang ditayangkan. Ada orang-orang yang masih terus memainkan lakon kebodohan dengan ambigu kepanikannya, menimbun banyak barang sebagai upaya memperkaya diri.
Belum lagi korporasi besar yang masih menikmati subsidi, pun para petinggi-petinggi negeri dan koleganya (oligarki) yang masih sibuk sana-sini nyeleneh dengan isi kepala mereka beserta ambisinya, saling serobot mencari panggung, dengan pandangan saling berseberangan.
Juga mengenai keadilan yang masih dipaksa bungkam serta kebijakan yang selalu saja ditulis atas dalil kepentingan penguasa. Alih-alih merumuskan jalan keluar, malah semakin menambah masalah yang mengakar ─ sebuah ilusi dengan kesan oase tentang kepedulian.
Tapi yah, beginilah hidup dengan semesta perspektif dan hasrat yang terus mempengaruhi manusia dengan balutan subyektivitas penilaiannya. Suatu hal yang dipandang benar belum tentu dipandang serupa oleh manusia lain, begitupun sebaliknya.
Titik Terang
Sebagai makhluk yang telah dianugerahi kebebasan, hidup adalah proses pengembaraan pada setiap fase kehidupan yang ada dengan segala lika-likunya.
Kehidupan yang berarti pun tidaklah mudah, selama manusia bernafas, tinta hidupnya akan selalu basah diatas kertas dengan coretan-coretan peristiwanya.
Sejauh mana akal manusia menyibak tanda-tanda kehidupan, disitupula mereka dihadapkan dengan kontruksi pemaknaan dan kebenaran yang senantiasa berlainan — melahirkan banyak perspektif.
Terus mengejar kebenaran akan membawa diri kepada ketegangan yang berkelanjutan dan kehidupan yang diwarnai dengan ketidakharmonisan.
Hingga membiarkan kebenaran untuk mendapatkan kebaikan adalah jalan yang mungkin akan membawa manusia mencapai sebuah titik terang.
“Perbedaan pandangan adalah suatu hal yang lumrah dan ketegangan sudah menjadi keniscayaan dalam kehidupan, namun menyerah terhadap keadaan yang mencekam tanpa pengendalian diri dan usaha memperbaiki adalah sebuah tindakan pengerdilan akal budi.”
Selain itu narasi tentang perbedaan sudut pandang dalam memahami hidup sudah menjadi ihwal yang sangat purba dalam proses kehidupan manusia. Perbedaan senantiasa akan menghadirkan pertentangan, pun sebaliknya perbedaan juga kadang menjadi pondasi kekuatan, jika didalamnya disertai dengan penerimaan— ketulusan hati dan kebesaran jiwa.
Ketulusan hati dan kebesaran jiwa menawarkan sukacita, jika suatu hal dapat dipandang dan ditempatkan dengan tepat.
Hal ini dapat ditempuh dengan memadukan pemaknaan personal dengan pandangan-pandangan yang lebih luas dalam kehidupan. Menepis gerogotan ego yang kadang membutakan — jalan pengendalian diri.
Kemudian hal ini tidak hanya akan membuka titik terang dalam gelap kegelisahan, pun juga akan membawa manusia pada sebuah jendela pemahaman.
Tuk menengok ke arah luar, bahwa ternyata di dunia ini, tak ada yang mutlak — tiada kesusahan yang kekal dan tiada kegembiraan yang abadi —tiada kefakiran yang lama dan tiada kemakmuran yang tetap (-Imam Syafi'i).
Sehingga suatu hal tidak selalu hanya diukur dari satu sisi saja (holistik).
"Rapuh bukan berarti selalu berujung pada keputusasaan. Begitupun keteguhan tak selalu menjadi jaminan kekuatan. Tugas kita tak hanya mengumpulkan bekal pemaknaan, tapi juga mengaktualkan penghayatan."
13 notes · View notes
thebirdviews · 3 years
Text
THE DEVIL JUDGE
Malam ini terasa sendu. Mungkin karena sedih liat ending drakor the devil judge. Drakor ini menceritakan seorang hakim yang bertarung dengan negara oligarki. hmm, tepatnya negara oligarki dengan topeng negara demokrasi. Para pengusaha bermain cantik di balik punggung presiden dan punya kendali penuh terhadap negara. Mereka memanfaatkan krisis yang ada untuk terus memperkaya diri sendiri, bahkan menjadikan manusia lain yang mereka pikir gak guna kek barang.
Drakor ini sangat kental menampilkan keserakahan, kemunafikan, dan... kenaifan. Kalo aku berada dalam kondisi negara seperti itu dan menjadi Kim Ga On, sang hakim yang baru mulai kerja, sangat dimungkinkan aku pun menjadi bidak. Bidak yang dibuat bingung dengan mana yang benar dan salah. Akhirnya, secara gak sadar, tindakan dituntun oleh manipulasi ciptaan penguasa. Apa yang terlihat, ternyata bukanlah kebenaran.
Pas nonton drakor ini juga keinget terus salah satu dosen pernah ngomong intinya gini "jadi penting ya mempelajari perilaku agen ekonomi ini.. bahkan ada ahli ekonomi yang bilang kalo kita bisa memprediksi perilaku manusia, kita bisa menguasai pasar". Drama ini banyak banget menampilkan gimana para penguasa dan hakim memprediksi langkah lawan dalam membuat strategi. Bahkan memanfaatkan keinginan manusia sehingga mereka bisa mengendalikan orang tersebut secara sukarela. Tepatnya gimana uang bisa sangat membutakan.
Drama ini juga seperti mencoba menarasikan bagaimana mudahnya manusia menilai seseorang tanpa coba memahami. Menarik kesimpulan dengan bukti yang masih dekat dengan praduga tak bersalah. Membiarkan asumsi dan desas desus mengambil alih pikiran. Dan pada akhirnya berujung pada kesimpulan yang salah, ditemani penyesalan.
Yang paling menarik adalah bagian endingnya, episode 16. Bagaimana sebuah kekuasaan oligarki yang sama sekali tidak berpihak pada kalangan bawah akhirnya berhasil diruntuhkan oleh hakim dengan pengadilan rakyat. Awalnya aku pikir si hakim ketua, Kang Yo Han, sosok yang digambarkan paham banget gimana negara itu berjalan, akan jadi pengganti presiden dan membangun negara yang lebih baik. Kenaifan yang luar biasa.. aku oh aku..
Sutradara ternyata membuat Kang Yo Han menghilang dengan keluarga satu satunya, yaitu eliah, sang keponakan. Mereka memilih menjalani kehidupan mereka dengan damai di luar negeri sembari menyembuhkan kaki eliah. Mereka meninggalkan Kim Ga On di negara tanpa pemimpin itu. Tepatnya negara yang tengah mencari pondasi baru. Mirisnya, dengan tumbangnya kekuasaan oligarki, negara tersebut tidak serta merta menjadi baik. Keserakahan dan kemunafikan itu ternyata hanya berpindah tangan. Gila emang! Sedih liat Kim Ga On, yang niat tulusnya bertarung melawan kejahatan, dah banyak pengorbanan, dan berhasil menang eh ternyata zonk. "Ternyata sama saja" Begitu kata Kim Ga On dalam hati. Kejahatan yang ditebas itu malah tumbuh lagi. Ternyata itu cuma gunung es yang nampak guys. Akarnya banyak. Emang gak sekuat lawan yang udah dikalahin, tapi udah kek jamur. Sedih liat Kim Ga On. Hatinya potek-potek, kecewa.
Setelah dipikir-pikir, aha! ini ternyata maksudnya Kang Yo Han menolak menjadi presiden dan ngomong seolah dia gak mampu memimpin orang-orang itu, yang ternyata di bawah banyak yang parah. Drakor ini secara gamblang memperlihatkan bagaimana negara korup berjalan. Jadi pemimpin yang ideal juga belum tentu bisa buat negara itu jadi baik. Terus keinget kata Taufik Hidayat di YouTubenya om ded corbuzer "Satu bangunan itu emang harus diruntuhin semua, tikusnya udah kebanyakan".
Sendu banget malam ini. Mungkin ini yang dirasain Uju, anak Ikjun di hospital playlist, pas lagi berantem ama Mone. Rasanya pen manyun aja. Kekecewaan Kim Ga On menular. Hati ikutan potek-potek.
FR | Bengkulu, 15 September 2021
Berasa kek naif banget. Tapi gak berarti, apa yang berusaha diubah untuk jadi lebih baik itu adalah hal yang sia-sia. Emang sih kek mustahil gitu kan, tapi itu harusnya gak jadi alasan buat kita "yaudahlah".
Tetep coba perbaiki, mulai dari diri sendiri.
0 notes
iranium · 4 years
Text
BAROKAH ? SERAKAH
Tumblr media
Berjalan melihat mengamati banyak memberikan data kongrit tentang realitas yang ada dan dekat disekitar kita, salah satu nilai lebih dari proses pengamatan secara langsung atau observasi kita bisa secara psikologis merasakan afeksi terhadap apa yang dirasakan tentang perasaan keluh kesah kegelisahan dan kesedihan.
Hal yang demikian membangkitkan kesadaran kita tentang kemunduran keterbelakangan, bahwa hal yang demikian bukan suatu kondisi ilmiah karena realitas yang seharusnya tidak demikian.
Memunculkan pertanyaan dalam diri. Mengapa muncul yang seperti ini? berbeda dengan realitas ditempat lain, serba kecukupan, rumah mewah, lingkungan bersih, tempat tidur empuk, kamar mandi tertutup rapat, nasi sampai tersisa – sisa, baju tidak sobek, sandal gunung model terbaru, televisi tipis menempel dengan tembok, piring dan gelas berkilau ahhh serba berbeda
Layaknya asap yang terbang melayang di udara, pastilah disebabkan nyalanya api terlebih dulu hingga asap tersebut muncul dan ada. Begitu pula dengan realitas keterbelakangan kemunduran yang masih kita jumpai, masih dekat dengan lingkungan hidup kita, masih banyak dijumpai di sekitar kita. Layaknya analogi asap tadi, pastilah ada sebab atas wujud asap yaitu api.
Memunculkan kesadaran atas keadaan ini bisa kita memulai dengan bertanya pada variable penguasaan terhadap ekonomi, dengan hubungan variable ini akan memudahkan pertanyaan atas keresahan realitas keterbelakangan kemunduran yang dialami.
Sebagai tanah berkembang yang masih banyak masalah – masalah tentang kestabilan nasional, ketimpangan sosial, gap antara miskin dan kaya yang jauh. Padahal pemecahan masalah tentang yang demikian banyak refrensinya, begitupula lulusannya. Lantas apakah yang salah?
Beberapa realitas mengajarkan banyak tentang bagaimana sumber – sumber utama penghidupan manusia dikelolah, upaya manajemen tersebut bisa dilihat dari realitas aturan dan realitas kecenderungan mengarahkan.
Kita menjadi tanah yang tergantung, apa memang sudah sejak dulu sering dibuat tergantung. Dalam pandangan logika ketergantungan sebagai ilmu pengetahuan, bisa dijadikan sebagai alat untuk menghabiskan dan eksploitasi kepentingan oligarki tertentu dalam mewujudkan keserakahan. Dengan tujuan yang demikian berdampak kepada pengambilan sumber daya penghidupan umat manusia sebanyak – banyaknya untuk memenuhi keinginan atas keserakahannya. Jika hal ini berlanjut lantas apa yang terjadi? Sumber penghidupan masyarakat hanya dimiliki beberapa individu – kelompok saja, yang selainnya? Masa bodo.
Dengan paradigma dan tujuan yang demikian akan berusaha dan merumuskan cara untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan pilihan cara eksploitasipun akan dijalankan begitulah kira – kira menurut pengamatan dan hemat saya.
Realitas yang demikian sangat dekat dengan hidup kita saat ini, kepekaan rasa afeksi yang kuat akan melahirkan kepekaan terhadap masalah sosial masyarakat, untuk mewujudkan kepekaan afeksi perlulah sekali – sekali melakukan riset untuk menjadi orang yang kelaparan dalam beberapa hari, hingga akhirnya memiliki pengalaman rasa dalam hal itu. Ini hanya contoh, bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi yang melingkupi setiap individu.
Beberapa oligarki serakah akan menggunakan alternative cara apapun yang bisa bertujuan mendapatkan sumber penghidupan masyarakat untuk dimiliki, beberapa contoh cara yang bisa dijadikan sebagai tujuan ketergantungan pertama meminjamkan, kedua memanfaatkan kelompok – kelompok serakah karena memiliki kepentingan yang sama akan berjalan beriringan dan ketiga mempengaruhi pihak yang memiliki otoritas dan kewenangan terkait.
Pinjaman adalah alat instrument yang sangat halus, menggunakan tipu daya pemuas keserakahan hingga akhirnya terjebak dalam lubang sangat dalam dipenuhi lumpur, untuk bisa naik keatas harus menjual semua sumber pemenuhan kebutuhan masyarakatnya kepada si pemberi pinjam, dalam hati pemberi pinjam hanya tersenyum tanpa pernah mau membantunya untuk keluar dari lubang tersebut, fikirnya tidak akan pernah dan jangan harap kau bisa ku keluarkan. Hingga akhirnya mati terkubur ditelan tanah tak ada tercium wangi jasadnya
Pemanfaatan kelompok serakah yang memiliki kepentingan sama, sama – sama serakah. Sangatlah muda, dibujuk dirayu diajak ngopi, dibuat nyaman membicarakan hal yang sama sekali tidak penting dan penting. Akhirnya jadilah kaki tangannya, dijadikan peliharaan yang setia, jika lapar dibelikan tulang dan daging agar tetap kenyang perut dan tidak menggonggong.
Pemanfaatan pihak otoritas, memberikan bagian karena sang serakah memahami bahwa beliau mencari nasi dari pekerjaan yang demikian. Memberikan roti donat untuk mendapatkan toko roti mungkin pikir sang serakah demikian. Habislah sudah donatnya, diabetes dia, makan keseringan donat.
Tak ada yang bisa membendung keserakahan, jika memang yang demikian menjadi kompas dalam hidup, memunculkan kepekaan dan penghayatan terhadap keadaan adalah salah satu jalan menjadi manusia seutuhnya.
0 notes
ilhamf08 · 4 years
Text
Matinya Kepakaran?
Tumblr media
Seantero bumi sedang gempar dan dilanda kecemasan. Serbuan dari entitas mikro yang menjadi musuh tak terlihat berhasil menyerang diam-diam jutaan manusia. Parahnya, entitas ini selain menyerang, turut menumpang dalam tubuh targetnya serta aktivitas yang dilakukannya sehingga menyebabkan populasinya semakin meluas dan tersebar. Istilah "Kami ada, nyata, dan berlipat ganda" barangkali telah berganti dari sekadar chant supporter atau istilah keren-kerenan semata, menjadi ‘motto resmi’ pergerakan Covid-19.
Sayang, ditengah pandemi yang seharusnya tiap orang saling bantu & meringankan beban, kabar-kabar hoax tetap saja bermunculan, yang mana menganggu bahkan bisa meresahkan. Dari hoax yang masih mungkin masuk akal, sampai yang benar-benar tidak masuk akal seperti Donald Trump yang sedang diruqyah karena stres menghadapi Covid-19.
Tumblr media
Sumber: katadata
Mungkin sebagian besar masih cukup bisa berpikir sehat dalam menyortir informasi yang ada, jika momennya berkaitan dengan hal lain. Politik misalnya, layaknya Pilpres kemarin. Karena momennya jelas: untuk kontestasi politik. Antar pihak yang berseteru masih masuk akal untuk bisa saja saling menyewa buzzer agar bisa menjatuhkan lawan, atau dari simpatisan yang bisa jadi sebagai upaya membela pihaknya dengan militan. Namun jika kasusnya seperti ini, jelas tidak habis pikir mengapa masih ada manusia yang tidak punya hati menebar berita bohong, ditengah krisis yang menjangkiti seantero dunia.
Cukup kompleks memang jika ‘why-matter’ penyebaran hoax selalu ada ditelusuri lebih jauh, mulai dari kebutuhan mendapat pengakuan lebih, hal iseng yang disebarluaskan, upaya monetisasi, mendapat kepuasan tersendiri karena berhasil membohongi publik, atau lain sebagainya. Yang jelas, mudahnya penyebaran hoax adalah buah dari kebebasan bicara di era digital, meskipun negatif.
Baru baru ini, sejumlah masyarakat di beberapa daerah melarang jenazah Covid-19 untuk dikebumikan, bahkan sampai melempari petugas kesehatan yang datang agar tidak coba-coba berani menguburkan jenazah di daerahnya. Sebuah ketakutan berlebihan dan tindakan yang merugikan orang lain. Karena sebelumnya, para pakar kesehatan sudah menjelaskan panjang lebar bahwa jenazah yang wafat akibat penyakit tersebut akan aman dan tidak menularkan apapun, selama penanganannya sesuai prosedur. Belum meratanya informasi yang kredibel, rendahnya taraf literasi, serta kesalahan logika yang masih banyak terjadi menjadi penyebabnya, barangkali.
Menyinggung kebebasan bicara di era digital dan ‘melemahnya’ otoritas para pakar untuk didengarkan, mengantarkan kita pada wacana yang cukup populer belakangan ini: Matinya Kepakaran.
Era digital terutama lewat keberadaan medsos, membawa perubahan cara berinteraksi maupun kebebasan mengungkapkan pendapat. Sebelum era medsos, orang-orang memiliki ruang yang lebih terbatas untuk berinteraksi maupun ruang untuk mengungkapkan pendapat. Hari ini, lewat konektivitas di dunia maya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk ‘berbicara’, untuk lebih didengar dan lebih diperhatikan seluruh dunia. Tanpa memandang ia seorang pakar, influencer, maupun pengangguran sekalipun.
Karena kebebasannya, internet dan identitas maya seakan-akan membuat semua bisa fasih menggurui tanpa harus menjadi guru, semua bisa menjadi dokter tanpa perlu bertahun-tahun kuliah kedokteran, semua bisa merasa lebih berilmu dari ulama yang ahli dalam agama. Semua bisa merasa lebih tahu dari para pakar yang kompeten di bidangnya.
Hal ini membuat sebagian orang merasa risau terhadap keadaan masyarakat yang kian hari dirasa makin tenggelam dalam gejala melemahnya otoritas kepakaran. Tom Nichols salah satunya. Dalam bukunya The Death of Expertise (versi bahasa Indonesia: Matinya Kepakaran) yang barangkali sedang cukup trending, beliau menuliskan fakta, indikasi, maupun opini bahwa semakin hari masyarakat dunia cenderung semakin bergerak menuju ‘kebebasan yang kurang terkontrol’. Kebebasan berbicara terlebih di era digital, serta peran internet menurutnya menjadi salah satu penyebab yang hari ini menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Betapa tidak, karena kebebasan ini banyak dan terus bermunculan berita-berita hoax, sebagian orang menjadi kurang memperhatikan lebih baik kata-katanya sebelum ‘diucapkan’ ke laman maya, dan yang terpenting: orang-orang seakan kapabel untuk membentuk opini apa saja, mengambil peran apa saja, bahkan menyangkal informasi yang valid dan menyebarkan opini lain, padahal ia tidak paham betul apalagi ahli pada bidang tersebut.
Tumblr media Tumblr media
Dengan informasi berlimpah di internet yang tinggal klak-klik untuk mengaksesnya, mengapa justru malah muncul banyak orang yang denial dan memilki pandangan keliru layaknya kutipan buku di atas, atau hal lain seperti bumi itu datar, atau bahwa vaksin berbahaya bagi kesehatan? Internet yang sekilas memberi pencerahan lebih baik, ternyata punya sisi buruk. Internet memberi jalan dan bahkan memperkuat kekurangan umat manusia. Nichols menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon:
"90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah."
“Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.” [1]
Jika melihat satu sisi tanpa menelaah lebih dalam, barangkali hampir semua orang akan menganggukkan kepalanya perlahan, menyetujui. Karena saking bebasnya bagi orang-orang untuk tweet, komentar, atau posting tentang apapun, kadang-kadang kita sampai dibuat gusar dan tidak nyaman terhadap keadaan demikian. Wajar, sebagian besar orang termasuk saya pun terkadang demikian, Bung Fiersa juga, hehe. 
Kasarnya: “Kalo kaga tau ya diem, jangan banyak bacot.”
Tumblr media
Di sisi lain, banyak juga yang mengkritisi dan tidak setuju dengan pandangan pertama. Karena bagaimanapun, opini pasti berbeda-beda dan dimiliki oleh setiap orang dan kebebasan menuangkannya dijamin hak asasi serta undang-undang. Dengan internet dan medsos, nilai-nilai demokrasi bisa lebih diterapkan karena masyarakat lebih mendapatkan haknya untuk didengar dan bersuara. Sehingga media publik tidak terbatas hanya ‘dimiliki’ terbatas oleh kalangan yang memiliki akses, namun milik bersama. Menyalahkan medsos dan internet sebagai biang kebodohan publik & melemahnya otoritas para pakar dianggap jauh dari kata relevan, bahkan dinilai sebagai sentimen elitis.
Sekarang, akses untuk meraih keterbacaan pada skala luas bukan hanya monopoli para ‘oligarki pengetahuan’. Seorang tukang ojek bisa. Seorang ibu rumah tangga bisa. Seorang pedagang sambel bisa. Caranya, mereka menciptakan media mereka sendiri, yaitu melalui akun di media sosial. Iklim yang lebih anti-hierarki seperti ini tak ayal berpengaruh juga ke media-media konvensional. Mereka tidak mau terikat pada cara pandang lawas yang hanya memberikan akses hak bersuara kepada segelintir orang. Walhasil, apa yang muncul di media sosial dan tulisan-tulisan yang nongol di media konvensional tak lagi tampak terlalu berbeda. Maka, muncullah apa yang disebut sebagai “orang tanpa latar keahlian tapi bisa bicara macam-macam". [2]
Esais, Iqbal Aji Daryono menganalogikan internet dan media sosial layaknya warung kopi. Disana, semua orang bisa mengobrolkan apapun dari gosip perselingkuhan tetangga, hingga masalah isu-isu politik. Semuanya bebas-bebas saja, karena toh tidak ada peraturan yang menyatakan “Mohon Pengunjung Tidak Berbicara di Luar Bidang Keahliannya".
Lantas, siapa yang paling didengarkan di warung kopi? Tentu saja orang yang paling pintar bicara. Seseorang yang memiliki kepintaran setinggi Monas, tapi kebanyakan diam, menghabiskan waktu dengan ngemil bakwan, dan sekalinya ngobrol sulit dipahami orang-orang, jangan protes jika suaranya kurang didengar.
Internet dan media sosial pun persis demikian. Di medsos, kita sama-sama warga biasa yang bebas bicara apa saja. Mulai pamer makan apa dan dimana, malam tadi pakai skin care apa, hingga membicarakan pasal-pasal dalam RUU yang bermasalah, semua bisa. Membatasi hak bersuara hanya sebatas dalam bidang keahlian masing-masing, justru bisa menjadi represi terhadap hak bersuara dan hak asasi. Lalu, siapa yang paling didengarkan di media sosial? Tentu saja sama persis aturan mainnya dengan warung kopi: siapa saja yang paling pintar berbicara!
Jangan sampai dilupakan bahwa ada kata "sosial" pada istilah media sosial, sehingga mekanisme-mekanisme yang berjalan di sana pun berkarakter sosial. Saya rasa, penganalogian media sosial dengan warung kopi oleh Mas Iqbal tersebut adalah yang paling relevan sekaligus paling simpel.
Selain itu pangkal masalah lain adalah, yang pakar dan awam terkadang sulit menjalin komunikasi efektif dan sulit memahami satu sama lain. Karena mereka semua adalah manusia, yang rentan berbuat salah. Yang merasa pakar kadang terjerumus pada pola pikir yang terlalu ‘melangit’ dan bicara dengan bahasa yang susah dimengerti khalayak, sementara yang merasa awam terkadang bersikap masa bodo dan terlalu nyaman dengan pola pikir yang terlalu ‘membumi’. Juga, baik pakar maupun awam bisa terjebak dalam perangkap yang sama; hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar dan mengingkari fakta dari hal yang mereka tidak sukai. [3]
Agaknya diantara dua pandangan diatas yang saling kontradiktif, saya paling setuju dengan sudut pandang lain. Alih-alih menjadi ‘ekstrimis’ salah satu pandangan, saya pikir sudah waktunya kita harus lebih condong ke pandangan yang jernih dan moderat diantara keduanya. Karena yang paling baik, saya rasa adalah ketika semuanya tidak enggan untuk ngumpul, rehat, dan ngopi  di warung kopi tersebut untuk sama-sama ‘duduk’ bareng, saling mengobrol & mendengarkan satu sama lain.
Yang merasa pakar maupun yang merasa awam harus sama-sama duduk dan belajar. Yang merasa pakar harus coba meninggalkan kebiasaannya makan ‘bakwan Scopus-nya’ sendirian dan pergi ikut ngobrol dengan yang lain, belajar cara untuk bisa berbicara dengan bahasa yang paling egaliter yang paling bisa dimengerti semua orang, maupun belajar cara agar sukses menarik massa dan disukai banyak orang sehingga cuitannya lebih didengarkan. 
Yang merasa awam harus coba meninggalkan kebiasaannya terlalu banyak bicara di berbagai ruang dengan lebih banyak duduk dan banyak menyimak, belajar untuk bisa menyaring informasi yang valid dan kredibel, belajar untuk lebih banyak membaca serta mendengar sebelum berbicara agar kicauannya lebih berbobot.
Karena kemunduran peradaban takkan terjadi selama manusianya tetap merasa haus dan tidak pernah letih, untuk selalu belajar dan memperbaiki diri sendiri.
Bandung, 120420
[1]
Gramedia, "Gramedia Blog," Desember 2018.    [Online]. Available:    https://www.gramedia.com/blog/review-buku-matinya-kepakaran-tom-nicholscermin-perilaku-kita-di-dunia-maya/#gref.
[2]
I. A. Daryono, "Detik," detikcom, 1 Oktober    2019. [Online]. Available: https://news.detik.com/kolom/d-4729455/omong-kosong-matinya-kepakaran.    [Accessed 12 April 2020].
[3]
A. Abidin, "Kompasiana," Kompas, 10 September    2019. [Online]. Available:    https://www.kompasiana.com/azwariainkendari4045/5d7795470d82301d0d535422/konflik-relasi-pakar-awam-ulasan-interpretatif-atas-matinya-kepakaran-oleh-tom-nichols-bagian-satu?page=all.    [Accessed 12 April 2020].
0 notes
ironeaglegothranch · 4 years
Photo
Tumblr media
Oligarki Teori dan kritik Editor : Abdil Mughis Mudhoffir & Coen Husain Pontoh Harga : Rp. 89.000 DM/WA: 085340401991 “Buku ini memuat sejumlah tulisan kritis mengenai politik oligarki dan perkembangan kapitalisme. Hampir setiap artikel menyajikan telaah berguna yang diadaptasi dengan kondisi spesifik Indonesia. Telaah tersebut dikembangkan lewat pergulatan dengan berbagai perdebatan teoretis yang mendasar, tetapi dibarengi pemahaman empiris dan historis yang mendalam. Setuju atau tidak dengan tesis oligarki dan kapitalisme, buku ini mengingatkan kita bahwa analisis tentang banyak masalah kontemporer di negeri ini masih agak sulit mengabaikan berbagai temuan yang dihasilkan lewat tesis tersebut.” — Vedi R. Hadiz, The University of Melbourne, penulis Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia “This book is an important contribution to our debates about oligarchs and oligarchy. The authors present new interpretations that are relevant for Indonesians trying to understand how it is possible that their political system can be both democratic and oligarchic at the same time.” — Jeffrey A. Winters, Northwestern University, penulis Oligarchy “Buku ini menawarkan tinjauan, interpretasi, dan refleksi teoretis untuk memahami kelindan demokrasi dan ekonomi pasar dengan unsur-unsur predatorial yang turut menopang kapitalisme. Kita diingatkan bahwa pembahasan bermakna tentang demokrasi Indonesia tidak akan efektif tanpa pengakuan bahwa oligarki, seperti kapitalisme, tidaklah statis.” — Inaya Rakhmani, Universitas Indonesia, penulis Mainstreaming Islam in Indonesia “An extremely important contribution to the analysis of political power and transformation in Indonesia. It comes at a time when it is increasingly important to understand and explain the rapidly shifting forces and ideas that now confront Indonesia’s democracy.” — Richard Robison, penulis Indonesia: The Rise of Capital “In this new volume, some of Indonesia’s most serious social and political analysts extend and challenge the oligarchy framework, re-examining both its theoretical underpinnings and its empirical implications. This book is a much needed examination of the power of capital in contemporary (di Toko Buku Alfarabi) https://www.instagram.com/p/B8voISvprmr/?igshid=zldiut12cjca
0 notes
Text
Tumblr media
Perspektif
Ini adalah pemandangan UI dari sudut pandang lantai 4 gedung Pusgiwa. Tampak seperti bangunan yang dikelilingi oleh hutan yang lebat. Lihat saja, kita bisa menghitung berapa gedung yang berdiri disana, tapi mungkin kita akan kesulitan untuk menghitung jumlah pohon yang tumbuh disekelilingnya. Setidaknya itulah penilaian yang kita peroleh dari sudut pandang ini.
Saya punya pertanyaan, apakah kita boleh menyimpulkan UI seluruhnya dengan mendasarkan pada sudut pandang ini? Misalnya kita simpulkan kalau UI itu cuma bangunan diantara hutan yang lebat. Boleh? Atau tidak boleh? Saya persilahkan anda untuk memikirkannya seraya membangun argumen untuk menguatkan jawaban anda.
Bagaimana? Sudah menemukan jawaban? Apa jawabannya? Apakah boleh atau tidak boleh? Kalau anda menjawab boleh, maka mohon maaf untuk kali ini saya harus berseberangan dengan pendapat anda, mengapa? Jadi begini:
Belakangan ini situasi politik-sosial sedang kurang stabil, setidaknya hitung-hitungan saya sekitar 6 bulan terakhir telah terjadi suatu kondisi yang mengarah kepada hal-hal yang destruktif; dimulai dari perseteruan pendukung Jokowi dan Prabowo pada pilpres 2019, penyerangan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya, penolakan keras terhadap RUU KUHP dan RUU KPK, gejolak massa di Papua, sampai oligarki batubara yang dinilai berbahaya untuk kehidupan bernegara. Namun untungnya satu demi satu kondisi destruktif itu bisa kita lalui meskipun nampaknya tidak pernah ada penyelesaian yang berarti.
Ada yang menarik dari masalah-masalah diatas, dan saya sudah sampai pada kesimpulan dimana untuk beberapa kasus, penyebab utamanya adalah miskin perspektif. Contoh bagus adalah gelombang aksi mahasiswa untuk menolak RUU KUHP pada September lalu. Kala itu jagat sosial media memanas, semua orang fokus pada pembahasan rancangan undang-undang KUHP yang dinilai ancur sekali dari sisi manapun. Yang menilai ancur ini terdiri dari ragam kalangan; ada awam, aktivis (kalau iya), ada mahasiswa dari berbagai jurusan, ada praktisi hukum, ada selebgram, dan golongan masyarakat lain dari berbagai lapisan tentunya. Dan rata-rata dari mereka bersepakat untuk menolak RUU tersebut. Tidak percaya? Silahkan anda cari dengan hashtag #reformasidikorupsi atau #ruukuhp di media sosial yang anda miliki.
Kenapa? Saat saya tanya kepada beberapa mahasiswa yang ikut aksi; jawaban mereka beragam, tapi nyaris dari semua jawaban yang saya dapatkan, saya tidak mendapatkan jawaban yang komprehensif dan memuaskan. Malah saya mendapatkan kejutan, yang paling menakjubkan sekaligus membuat saya bingung adalah;
Pertama, mereka tidak pernah membaca keseluruhan RUU tersebut, tidak pernah membaca buku I, tidak pernah membaca penjelasannya, tidak pernah membaca landasan fisolofis-sosiologis, tidak pernah membaca latar belakang sejarah dan tidak pernah membaca salah satu elemen paling penting; naskah akademik dari diadakannya rumusan undang-undang ini. Dari sini sebetulnya kita sudah bisa ambil kesimpulan, tapi yasudah lah kita ikutin dulu apa maunya;
Kedua, banyak sekali yang kena hoax. Bukankah ini sesuatu yang menakjubkan bukan? Komplotan mahasiswa--ingat ya 'maha'--yang sering diasosiasikan sebagai golongan intelektual, agen perubahan, mitra kritis pemerintah, cendekiawan-cendekiawan muda ini nyatanya mati kutu dan dikendalikan sepenuhnya oleh penulis berita bohong. Begitu mudah sekali mereka percaya, nampak tak ada proses mencerna isi berita, tidak ada proses untuk mengecek ulang keabsahan sebuah berita, dan ini tentunya sangat memalukan karena nyatanya berita-berita ini seharusnya sangat mudah sekali diidentifikasi sebagai berita bohong. Tak ada tipu muslihat didalamnya, tak ada pula tipuan yang terorganisir dan struktural yang bisa menghipnotis kita. Saat kita membacanya, kita hanya perlu membaca ulang pasal yang sebenarnya, yang mudah sekali kita cari di internet. Itu saja sebetulnya usaha yang perlu kita lakukan agar terhindar dari berita bohong itu, tapi hal mudah itu tidak kita lakukan. Setidaknya 3 mahasiswa mengatakan kepada saya di UNIVERSITAS INDONESIA, kalau ada orang yang sedang duduk lemas begitu di trotoar malam-malam bisa dipidana.. hahaha.
Ketiga, tidak pernah ingin merasakan menjadi orang lain. Padahal ini sangat penting dalam menetapkan suatu keputusan. Sebagian besar mahasiswa hanya ingin menang sendiri, hanya satu hal saja yang menjadi keinginan mereka; tidak mau tahu pokoknya RUU KUHP dibatalkan. Bukankah ini merupakan bentuk dari fasis sesungguhnya? Bukankah ini mengingkari prinsip negara demokrasi? Bukankah ini suatu bentuk kediktatoran ulung? KALAU A YA HARUS A!! Saya hanya ingin mengingatkan, sejarah pernah mencatat bahwa titah Adolf Hitler di Jerman adalah hukum tertinggi yang absolut dan tidak bisa dibantah organisme apapun apalagi hanya manusia. Mahasiswa hanya satu dari sekian banyak elemen yang ada di masyarakat. Ibaratnya suara mereka hanya satu banding sekian ratus atau ribu elemen masyarakat. Jadi apakah hanya kita-kita ini mahasiswa yang paling berhak bersuara di republik ini? Bagaimana dengan suara supir angkot? Suara buruh pabrik? Suara menteri hukum dan ham? Suara pedagang pasar? Suara petani? Suara pengacara? Suara presiden? Suara pegawai korporasi? Dan tolong ya, semuanya hanya dihitung satu-satu, sama seperti saat pemilu, dan itulah sistem demokrasi. Satu lagi yang berkaitan dengan poin ini--namun berbeda konteks--adalah mereka hanya menilai dari perspektif mereka. Saya diberitahu oleh salah seorang mahasiswa kalau dalam RUU ini ada pengaturan yang bisa memenjarakan orang cuma gara-gara hewan ternaknya masuk ke pekarangan orang lain. Begitu puasnya dia mendengar hal ini seraya tertawa terbahak-bahak melihat sebegitu sadisnya kekonyolan yang ada dalam RUU ini. Saya hanya tersenyum dan diam saja, karena itu adalah cara yang baik pada waktu itu. Anda ini mahasiswa dengan ragam privilese untuk bisa tinggal di kota besar (terlebih di ibukota negara) yang lebih beradab (semoga) dan mendapatkan banyak sekali akses terhadap apapun yang anda inginkan. Anda hidup di tempat dimana industri, pasar, dan jasa adalah sektor utama penghidupan masyarakatnya, artinya anda tidak akan menemukan sebuah hamparan padang rumput yang luas berhektar-hektar yang isinya cuma ada sapi, domba, kerbau, ilalang, ular, ayam, bebek, rusa, dan organisme liar lainnya, atau anda tidak akan menemukan tetangga yang secara bersamaan, disebelah kiri beternak ayam dan sebelah kanan punya kebun yang hendak panen. Anda hanya memandang dunia dari perspektif anda dan sialnya anda membuat keputusan dari situ pula. Logika ini tidak akan masuk kepada anda-anda yang tinggal di kota sebagaimana saya sebutkan diatas, tapi logika hukum ini akan sangat masuk akal di tempat dimana penghidupan masyarakatnya adalah pertanian dan peternakan. Dan jangan lupa, sebagian besar mata pencaharian masyarakat kita berada pada sektor ini, dan itulah mengapa kita dijuluki sebagai negara Agraris. Kita itu kecil tapi suka merasa besar. Selama kita masih diintervensi oleh keegoisan kita, selama itu pula kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu yang dinamakan sebagai objektifitas.
Keempat, ini sangat teknis sebetulnya, Sebagian besar yang protes, menyatakan menolak, mencaci maki pembuat RUU KUHP ini (yang isinya DPR, profesor ilmu hukum, praktisi hukum, guru besar hukum pidana, dan ilmuan-ilmuan yang telah saya baca bukunya) adalah mereka yang tidak mengerti ilmu hukum. Saya mengerti, tidak mungkin semua orang bisa paham hukum, ya buat apa juga belajar ilmu hukum, toh bukan bidangnya atau gak punya kepentingan apapun buat belajar hukum, jadi tidak penting juga buat dipelajari atau berusaha memahaminya. Saya tidak menyalahkan siapapun yang tidak mengerti ilmu hukum, tapi saya akan dengan tegas katakan kalau anda tidak mengerti ilmu hukum, tidak pernah mencoba mempelajarinya sedikit, tidak pernah ada usaha riset RUU KUHP, dan mengambil kesimpulan seenak jidat, maka anda adalah sampah. Dan sampah-sampah ini bertebaran sekali, sangat bertebaran di media sosial dan pada waktu aksi di depan gedung DPR September silam. Dan kadang, saya berpikir apakah ini menunjukan kualitas kita dalam memahami teks? Atau konteks? Semoga saja saya salah.
Pada akhirnya, ternyata semua ini tidak sederhana. Ternyata jauh, jauh, jauh lebih kompleks dari yang sebelumnya kita pikirkan. Apa yang saya tulis hanya satu banding milyar dari kompleksitas yang bisa kita bahas tentang perspektif, begitupun perspektif yang bisa kita ambil dari contoh kasus RUU KUHP.
Pada akhirnya saya berkesimpulan; kita tidak bisa menyimpulkan UI hanya dari perspektif ini. Terlalu prematur apabila kita simpulkan UI adalah bangunan diantara hutan yang lebat. Kita butuh perpektif lain yang mungkin bisa kita tinjau dari lantai 4 fakultas hukum, lantai 7 perpustakaan pusat, atau lantai 19 apartemen margonda residence. Banyak perspektif yang bisa kita ambil sebelum akhirnya kita mengambil keputusan.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
rantaiqq396-blog · 5 years
Text
Saat Bermain Pada Paya
Dedi melafalkan Rasul Muhammad SAW memiliki kelebihan. Dedi menurunkan barang bukti bertokoh video nan disimpan dekat dalam flashdisk dalam pemberitaan itu. Uang tunai Rp 60 juta nan disimpan di dalam almari pada gundukan kunci mati, harta tunai Rp 27 yang tersembunyi di kampit biru serta tenggelam. Untuk motifnyapun, maha- beragam, ada varian karpet masjid terbuka maka sekadar pada border pada distribusi tepi atas dengan lagi bawah. Hadirnya TOD dalam gelanggang Klaster Juniper jelas menjadi resolusi tepat nan besar mempermudah rak ahli sepanjang bepergian ke mana kecuali (easy to mobile) tambah sehat, bebas macet, aman, tambahan pula jauh lebih hemat belanja. Indeks pemilih, persegi bicara ketimbang kubus, 7 peti kemas surat suara tercoblos, IT KPU, peladen KPU, ditambah lagi skandal serius KTP elektronik, sekaliannya dicurigai lagi seakan tidak pernah bisa kita selesaikan lagi via kemajuan unggul kita. Demi melindungi kenyamanan pengunjung lain, ia pula memperingatkan Hall buat mendukung anaknya keluar restoran. Untuk melindungi kebugaran alat penglihat, sewajarnya non menyeting langsai komputer pribadi berlebihan tinggi. Overclock melahirkan sebuah kesibukan nan bertujuan selama meningkatkan partikel di clock rate maupun mempraktikkan sebuah faktor demi kesigapan yang lebih tinggi melalui kecergasan pilar nan dimilikinya.
Silakan disiapkan forumnya. Saya banyak menggali ilmu mengenai Kiai Syafii Maarif bagi menjadi ilmuwan yang tidak pengecut. Aliansi Publik Sipil perlu Pemilu Serentak maju ke MK awal Januari 2013. Saat itu belum ada kubu tempelan capres ini lagi itu. Prima, kok pada 2014 serta 2019 ada keinginan memakai dua benteng capres-cawapres sekadar, padahal sebagai matematika bisa mencapai lima setelan? Caranya yakni tinggal membuka pengklasifikasian pengembang yang bisanya letak menunya berada dibagian bawah pada sistematika smartphone android. Sebelumnya, Flynn's Restaurant dekat Queensland, Australia pun berterus terang menolak pengunjung arek kecil berumur 7 tahun ke bawah. Dikutip bermula Mothership (7/5), gerai nan mereka berlakukan pada besar yakni 15%. Tarif bakal dimasukkan dalam eksemplar debit ketika tenaga kerja kafe mendapati bujang kecil yang dibawa pengunjung memekau. Ada tenggat lebih oleh karena 5 tarikh 2 candra menurut menyiapkan kanon pemilu serta manajemen kepemiluan. Buat nan belum menangkap, selaku sederhana dapat dinyatakan: PT merupakan persyaratan bagi menyandang sejumlah pangkat DPR ataupun berbilang suara nasional pada pemilu sebelumnya, barulah rantaiqq dapat mengajukan tempelan capres & cawapres. Agak memuakkan sungguh tapi sapa kesangsian, durian ini sungguh-sungguh diminati.
Untuk rak bangsa tua, dapat mengajak anaknya perlu pergi ke taman maupun ke kalangan latihan jasmani mendapatkan berlaku sepak bal, bola keranjang, badminton, baseball, maka asing sebagainya. Ada jugaCCTV 24 pukul perlu mengikhlaskan kesejukan maka kedamaian bagi langgayan penjaga. Dan terus bakal ada memiliki pada bukti yang tersendiri mengapa Anda hendak layak buat memisah-misahkan pada sepak terjang tersebut. Dalil ini menegaskan bahwa saya namun peduli pada pemeriksaan sistem. Satu, pemilu nasional serentak menyaring presiden, DPR, dengan DPD. Keberadaan keluasan tarbiah saat ini menjadi cela se- petuah krusial bagi warga negara tua dalam menyeleksi hunian yang sedapat sepertinya dekat tambah sekolah atau malahan sebaliknya, renggang tidak menjadi kasus asalkan bayi-penduduk mereka menggali ilmu pada sekolah teristimewa. Dua, pemilu ruang serentak mengambil hulu lingkaran, DPRD tahap 1, DPRD tingkat 2. Jarak antara kedua pemilu serentak ini adalah dobel setengah tarikh. Salah homo- akibat nan terabadikan dalam lingkungan hubungan garis haluan yakni turunnya tajuk kontribusi pada sesi kedua. Bertikai lagi bagi mereka nan sebenarnya semenjak awal sudah ada mempunyai satu destinasi yang parak, lalu tentu belaka pada satu kegagalan ini yaitu sebuah urusan nan mengenai luar biasa menakutkan bagi mereka tentunya.
Dengan berkendaraan pribadi, alam ini mudah dijangkau (easy to reach) serta hanya ditempuh selama 30 menit pada bandara Halim Perdanakusuma. Jangan lupa dalam persidangan yang panjang itu sudah didengarkan segenap kesahihan, bantahan, kemahiran, beserta tanya-jawab karena ahli-ahli melalui DPR, pemerintah, KPU, beserta semua bagian tercantel. Jadi persidangan panjang itu bukan lekuk sunyi kultur antara pengaju uji zat bersama ketua sidang MK, yang bisa sewenang-wenang mengabulkan atau menolaknya. Kebingungan berlangsung semisal elite parpol punya afair-afair tenggak lalu yang bangat bisa menjadi risiko asalkan ia tidak mengimak oligarki kuasa selanjutnya kapital. Dalam petunjuk nan diperoleh detikcom, hingga delapan hari pameran otomotif tahunan itu Mitsubishi berhasil menjual 1.237 perangkat Xpander. Jakarta - Dalam 4 hari etape terutama habis terjual! Saya terus amat frustrasi mengetes memahami simulasi akibat KPU pada lebih pada 300 TPS, namun tidak mengendus setingkat sekali kelelahan wujud yang sampai pada gejala kematian lasat.
Tumblr media
youtube
0 notes
Text
Memahami Dunia Lewat Sepakbola
Bedah buku “Memahami Dunia Lewat Sepak Bola” karya Franklin Foer oleh Muhammad Al Fatih, mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Tumblr media
Ada yang bilang sepakbola adalah olahraga nomor satu di dunia.
Dibalik glamornya kehidupan bintang sepakbola, sepakbola selama ini juga dipakai sebagai alat untuk memenuhi kepentingan-kepentingan orang-orang tertentu.
Betapa tidak, olahraga yang berlangsung 90 menit ini ternyata begitu menyedot emosi dari para pemain maupun penggemarnya.
Kedua buah tim yang masing2nya terdiri dari 11 orang sejak awal pertandingan memang dikondisikan untuk saling beradu, dan ternyata tidak hanya dalam lapangan, tetapi suporter sepakbola juga beradu (fisik) di luar lapangan.
Persaingan inilah yang dimanfaatkan untuk menentukan kalah-menang dan siapa yang berkuasa diatas yang lainnya.
Bahkan, sepakbola pengaruhnya meluas hingga tataran panggung politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Buku ini setidaknya memberikan cuplikan fenomena sepakbola di beberapa negara berbeda dengan kasus yang berbeda-beda, meskipun tidak mendalam.
Bagi yang tahu tentang Liga Italia, pasti tidak asing dengan Juventus. Klub ini juga sempat terkenal dengan skandal calciopolli nya berupa pengaturan skor pertandingan. Italia terkenal akan rahasia umumnya terkait "membayar wasit". Kenapa demikian?
Setelah berakhirnya perang dunia II, Italia dikuasai oleh tokoh-tokoh yg kemudian menjadi oligarki baru yang berbeda-beda. menjadi tempat lahirnya oligarki baru.
Juventus dimiliki oleh Agnelli, sang empunya raksasa otomotif Fiat dan salah satu pemegang saham terbesar di bursa efek milan. Agnelli dalam mengoperasikan itu semua dengan bersembunyi dibalik layar dengan politisi yang dikontrol untuk meregulasi kerajaan bisnis miliknya.
Hal ini juga tercermin dalam klub miliknya Juve, yang tampil mendominasi  di liga italia pasca PD II hingga 1980an. Dominasi itu terbilang aneh karena sering dicurigai atas bantuan wasit.
Hingga muncul AC Milan dengan pemiliknya Silvio Berlusconi. Caranya cukup berbeda dengan Agnelli. Berlusconi sangat dekat dengan Media karena telah membangun kerajaan bisnis berawal dari properti, tv, koran, hingga iklan dan asuransi.
Hingga ia berhasil membangun AC Milan dengan 6 kali juara liga champions-nya, tahun 1994 ia menyatakan, "Kami akan buat Italia seperti AC Milan." Media dan Periklanan miliknya berhasil membawa ia menjadi Perdana Menteri Italia.
Penggunaan Klub Sepakbola sebagai media penguasa efektif dalam menanamkan nilai-nilai kepentingan mereka.
Ideologi, misalnya. Di Serbia, dua klub ibukota Beograd bernama Red Star dan Partizan menjadi tunggangan dua kepentingan. Karena pada dasarnya klub se-kota itu merupakan rival tak terbantahkan, maka landasan ideologi juga bisa diseret menjadi alasan mengapa seorang suporter mendukung klub tersebut.
Red Star milik nasionalis yang menginginkan persatuan Serbia keluar dari bayang-bayang Yugoslavia-nya Uni Soviet. Ultranasionalis, sedangkan Partizan merupakan patron bagi komunis, sehingga disokong oleh tentara yang sebaliknya polisi mendukung Red Star.
Ada hal dibalik perseteruan abadi Real Madrid dengan Barcelona, dimana Barcelona mempunyai latar belakang sejarah panjang bangsa katalunya yang menguasai perekonomian, industri, keindahan seni, tata kota dan bahasa sendiri. Hingga akhirnya Madrid melalui rezim Kastilia ini ingin mempersatukan dengan kerajaan spanyol, termasuk melarang penggunaan bendera dan bahasa Katalunya. Kediktatoran Madrid saat itu pula yang membuat Real Madrid mempunyai pemain-pemain bintang dan menjadi klub yang sukses.
Kemudian dalam perkara agama, kedua klub bisa saling bertikai. Lagi-lagi masih merupakan klub sekota. Di Ibukota Skotlandia Glasgow, terdapat dua klub bernama Celtic dan Rangers. Celtic basis suporternya Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan.
Persaingan ini sangatlah rawan gesekan. Ada yang ditolak bekerja karena dukung tim lawan, ada yg dibunuh karena pakai jersey di lingkungan yang salah. Belum lagi penistaan agama lewat yel-yel suporter. Bisa jadi ini perang yang belum tuntas antara Katolik dan Reformasi Protestan.
Melihat fenomena-fenomena ini, sepakbola bisa dijadikan sebagai sarana untuk melihat konteks geo-politik yang luas.
Karena banyak sekali orang yang menganggap hidupnya hanyalah tentang sepakbola. Siang hingga malam hanya untuk klub yang dicintai, segala pembicaraan dan urusannya hanya terkait dengan sepakbola.
1 note · View note
fatra-htg-blog · 5 years
Text
OLIGARKI
Oligarki sebuah kata yang baru ku dengar. Aku dapatkan kata ini dari sebuah obrolan panjang di kanal youtube channel jakartanicus pembicaranya adalah seorang profesor bule mungkin telah lama tinggal dan menetap di Indonesia namanya Jeffrey A. Winters.
Adalah "Jokowi dalam samudra oligarki" judul dari video yang berdurasi 1 jam 2 menit itu seorang bule profesor dan pandai sekali berbahasa Indonesia mungkin kamu yang membaca tulisan ini tidak paham dan tidak mengerti apa itu oligarki layaknya aku saat pertama mendengar kata oligarki itu. Baiklah, aku mengerti rasa penasaran pembaca. Aku coba jelaskan di sini dengan caraku. Oligarki itu adalah sekelompok elite yang menguasai mayoritas sumber daya alam di dalam sebuah negara dan dapat menentukan ke mana arah sebuah negara berlabuh. Secara sederhana ku katakan oligarki itu segelintir orang dan menguasai miliaran kekayaan alam dan punya wewenang untuk memutuskan berbagai macam kebijakan.
Sebaiknya pembaca ku sarankan juga menonton video itu agar dapat memahami secara utuh seperti apa dan bagaimana kondisi negara kesatuan Republik Indonesia kini.
Mari kita bahas, ribuan hektare tanah di Sumatra adalah milik perusahaan swasta yang di pegang oleh seorang oligark. Perusahaan tambang milik swasta di Kalimantan juga di pegang oligark. Jadi, seperti apa gerangan definisi dari sila ke lima Pancasila itu? Pembaca mungkin sudah tau "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Seluruh rakyat indonesia tanpa terkecuali tanpa memandang suku ras dan agama.
Apa yang kita lihat di realitas kehidupan sehari-hari sangat jauh dari harapan para pendiri bangsa. Di mana seorang purnomo prawiro mampu mempunyai sekian banyak perusahaan namun manusia di tempat lain masih tidur beratap langit berlantai tanah. Atau seorang luhut binsar panjaitan yang punya pt.toba bara sejahtera memiliki miliaran uang di bank namun ada manusia tereksploitasi di sekitar tempat pengoperasian tambang milik pt.toba bara sejahtera tersebut.
Pembaca, mereka inilah yang di sebut oligark.
0 notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Mardigu Wowiek Bongkar Fakta di Balik Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Capai 7 Persen
Tumblr media
 KONTENISLAM.COM - Pengusaha muda Mardigu Wowiek menjelaskan fakta di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meroket hingga mencapai angka tujuh persen. Mardigu Wowiek mulanya mencoba mengkritisi cara memimpin negara yang terkesan membodohi rakyat selama dua dekade terakhir atau tepatnya ketika reformasi bergulir. "Selama 20 tahun ini memang cara memimpin negaranya seakan tidak meminteri rakyatnya tetapi membodohi rakyatnya," kata Mardigu Wowiek sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Bossman Mardigu pada Selasa, 10 Agustus 2021. Mardigu Wowiek tidak menampik bahwa data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut benar-benar akurat. Akan tetapi, dia mempermasalahkan cara pemahaman sebagian masyarakat awam yang tak mengerti makna di balik kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen itu. "Jadi data itu salah naik tujuh persen? Oh bukan salah, data itu benar 100 persen tetapi pemahaman masyarakat yang awam terutama pengagum pejabat-pejabat saat ini salah memahami arti naiknya tujuh persen itu yang memang digiring ke arah tidak paham. Demikian juga oposisi, itulah mengapa new mind tidak impress dengan oposisi, tidak mau gabung dengan oposisi karena memang aneh dan gak paham bernegara semuanya," ujarnya. Di balik rilis pertumbuhan ekonomi yang mencapai tujuh persen itu, Mardigu Wowiek melihat adanya paradoks di kalangan masyarakat kecil yang saat ini dilanda kesulitan ekonomi. Bahkan, kesulitan tersebut semakin terasa karena banyak masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan. "Sementara realita, tetangga seputaran dan orang jauh sebelum PPKM sudah berat ekonominya, sekarang lebih gak muter lagi. Nambah sekarat butuh oksigen, kok gak ada yang naik?," katanya. Mardigu Wowiek kembali menegaskan bahwa tidak ada kesalahan dalam data yang dirilis oleh BPS. Akan tetapi, pihak-pihak tertentu mengemasnya sebagai sebuah pencitraan untuk kepentingan politik mereka. "Jadi data tidak salah, cuma demi populer kayak artis deh gitu, nggak boleh terlihat jelek jadi diambillah mengemas sisi positifnya. Itu tidak salah, yang salah banyak pemahaman orang terus dipolitisasi," ujar dia. Mardigu Wowiek kemudian memberikan akar persoalan di balik meroketnya pertumbuhan ekonomi Indonesia secara year on year (YoY) secara signifikan. Dia menyebut, meroketnya angka pertumbuhan ekonomi tersebut justru ditopang oleh sektor bisnis yang dikendalikan oleh oligarki. "Lalu sektor mana yang naik? Sektor yang dipegang oligarki, yang memang hanya tiga persen itu tapi mereka mengendalikan 70 persen ekonomi," tuturnya. [pikiran-rakyat]
from Konten Islam https://ift.tt/3lZZfbQ via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/08/mardigu-wowiek-bongkar-fakta-di-balik.html
0 notes