Tumgik
rmdhnali · 4 years
Text
Mbeling 2021 (Revisi)
Kita menerka pana 
Jadi 
Arah 
Ke titik paling sundal 
Yang rekah 
Jadi batas-batas kesabaran 
Yang ambangnya boleh jadi hanya kita yang tahu 
.
Kita berkelana dalam alam 
Yang lepas dari sila-sila perkasihan 
Namun, kau pun sama denganku 
Lupa kalau waktu lebih baik jadi kawan 
 Lupa kalau yang tatih takmesti letih 
Yang dekat taktentu tamat 
Yang yakin belum juga amin 
Dan kamu kupandang dari dekat 
Dari jauh 
Sama saja 
Tak berujung.
0 notes
rmdhnali · 4 years
Text
Pendidikan itu Blablabla
Pendidikan mestinya bukan jadi hal menyebalkan di ruang kelas. Bentukannya takperlu diratakan kanan kiri. Cukup.dibiarkan begitu saja. Kecerdasan juga mestinya bukan pandangan lurus ke depan lembar soal yang digamangi jawabannya. Kita mesti pergi beranjak dari kotak-kotak itu. Belajar pada akhirnya menjadi keterpaksaan, melelahkan tanpa arti. Belajar hanya ada di kotak-kotak terbatas. Padahal tidak, ia udara di mana-mana. Takperlu banyak atraksi. Kita akan terdidik pada akhirnya.
2 notes · View notes
rmdhnali · 5 years
Quote
Beberapa simpulan sudah terpatri di benak kita sejak lama. Kita tak lekas menyadarinya karena kecurigaan kita pada banyak hal. Kita adalah penimbang ulung. Kita menimbang kepastian dan meyakini kerancuan. Beberapa hal mesti dilalui dengan janggal. Beberapa orang lain tak mau mengaku kalah dan salah. Beberapa lainnya tetap gelisah dalam kemenangan. Catatan ini saya tulis dengan kesadaran yang tak keruan. Meski jam menunjukkan jarum pendeknya ke angka dua, saya tak beranjak menatapnya. Saya takut ditinggalnya. Saya mau membersamainya. Seterusnya.
Mentari yang empat lima jam lagi beraksi
0 notes
rmdhnali · 5 years
Text
Ayo main tumblr lagi.
Sekarang sudah tidak diblokir.
0 notes
rmdhnali · 6 years
Quote
Hola tumblr!
Kembali. Namun tidak dari mana-mana.
0 notes
rmdhnali · 6 years
Text
Asmat
Asmat akhir-akhir ini jadi lebih terkenal dibanding Dangdut Academy. Sayang, namanya terkenal dalam konteks yang menyedihkan. Namun, apa dikata, manusia Indonesia suka sekali dengan kisah-kisah miris nan menyedihkan yang dibalur drama kelas rebon. Di satu sisi, hal tersebut baik diprakarsai jadi antidepresan, tapi efek sampingnya justru buruk: pikiran kita disudahi sampai rasa kasihan saja. Lantas salah siapa? Rating? Cih. Bukan itu akarnya. Mari tengok Asmat dengan segala usaha teknis yang mengeroyokinya. Entah oleh pemerintah, NGO, Parpol, mahasiswa, dan lain-lain. Rasanya muak melihat sesama penolong ingin memperlihatkan batang institusinya masing-masing, seraya berkata "Wahai rakyat Asmat! Kalian enggak ingat aku? Aku itu loh yang dulu mengobati kalian! Iya, pas tahun 2018 itu! Iya! Yang sudah telat berbulan-bulan itu. Ya, meski sudah telat ratusan jiwa, bukannya itu lebih baik dari pada tidak sama sekali?" Dan seterusnya, dan seterusnya. Dan media menjadi wadah saling menyalahkan. Saling sirik, dengki, iri, dan curiga. Semua pihak bicara, termasuk saya. Tapi, setidaknya saya bangga tidak ikut-ikut mengaduk lumpur di dalam air yang jernih, itu kontribusi saya. Asmat, akan terkenang sebagai sesuatu yang lekat dengan wabah, dengki, politik, kemanusiaan, keterlambatan, kepentingan, penyakit, dan kebobrokan dalam salah satu laci memori semantis otak kita. Tapi Asmat juga akan dikenang sebagai sesuatu yang lekat dengan semangat, kepedulian, kebersamaan, usaha, kerja nyata, perubahan, kejujuran, dan nasionalisme dalam hati kita. Segalanya kembali ke dalam diri kita masing-masing. Mau di mana kita memendam Asmat dalam diri ini. Menggantung di pikiran, atau bersemayam dalam hati.
1 note · View note
rmdhnali · 6 years
Text
Sartre dalam Karyanya
Sartre, dalam "Eksistensialisme dan Humanisme" seperti anak umur lima tahun yang terlalu banyak tahu dan suka melawan. Rinciannya mengenai 'eksistensi' mendahului 'esensi' terbaca menyebalkan. Ia merocos tanpa jengah dan tanpa mengindahkan lawan bicaranya. Mau tak mau kita menyebutnya di atas rata-rata. Meski begitu, layaknya anak umur lima tahun yang dengan kepolosannya membaca dunia, segala jurus yang dikeluarkan Sartre yang pada awalnya terbaca arogan, penuh dengan emosi subjektif, akhirnya justru menjadi kritik bagi kita: betapa kita telah kehilangan banyak sisi lembut sebagai manusia. Sartre dengan cakap menyebut setiap manusia bertanggung jawab satu sama lain. Contohnya? Bila tak sudi diludahi, maka jangan meludahi. Sederhana. Lantas, mengapa eksistensialisme yang diraungkannya justru melipir menjadi seruan humanistik? Ia sendiri menyebut eksistensialisme adalah filsafat paling optimis. Dalam eksistensialisme yang dituturkannya, kehidupan didasarkan pada kekosongan, tujuan-tujuan manusia yang hidup di dalamnyalah yang membuatnya ada. Eksistensialisme Sartre merebahkan diri pada moral dan kebebasan. Apapun yang dilakukan manusia, aturan apapun yang mengikatnya, ia tetap bebas memilih. Ia selalu bebas pada hakikatnya. Keadaan yang menimpanya hanya medan-medan yang berbeda. Bukan pembatas ataupun penghalang. Sartre percaya bahwa manusia pada hakikatnya baik. Namun, manusia bebas memilih berbagai jalan yang ingin ditempuhnya. Membaca Sartre adalah membaca diri sendiri. Pak tua kecil ini seperti kyai atheis yang sangat menyayangi seluruh umat manusia. Ia teguh memegang prinsipnya, membeberkan ketidaksetujuannya soal banyak ketimpangan hak dan kewajiban. Ia menyayangi peradaban dan mengobati koreng-koreng yang menempel padanya.
0 notes
rmdhnali · 6 years
Text
Terima kasih atas ketepatan Anda dan keterwakilan saya dalam tulisan ini.
Kamar
Pada mulanya adalah kamar lalu oleh waktu disepuh perlahan menjadi kamera. Mungkin orang-orang Portugis yang memperkenalkan kata itu kepada orang-orang Melayu. Sementara kata kamera tentu kita sudah tahu sama tahu sejak era Orde Baru bangsa mana yang begitu dermawan menyumbangkan diksinya untuk kita.
Di zaman Ibn Haytham yang tersohor itu benda bernama kamera memang sebesar kamar. Orang-orang masa itu menyebutnya Camera Obscura, Kamar Gelap. Suatu bilik pekat yang diberi lubang sedemikian kecil sehingga hanya lewat lubang itu sajalah cahaya yang membawa refleksi benda di luar kamar bisa masuk. Jika ingin melihat gambaran benda ini dengan cara yang agak dramatis lagi sendu silakan menonton “Wonder”. Auggie bersama Tom membuat benda itu untuk tugas musim panas mereka.
Syahdan, ketika Ibn Haytham menunjukkan benda ini kepada khalifah, khalifah senang bukan kepalang. Ia unta yang ada di luar kamar menembus masuk dan tertempel di dinding seberang lubang dalam bentuk dua dimensi dan terbalik, masya Allah. Bahkan hingga saat ini kamera memang tak pernah dimaksudkan realita secara paripurna, ia dipertahankan untuk menangkap momen sesuai batas-batas alias “framing” yang dipilih oleh pemotretnya. Di sinilah kelemahan penikmat hasil kamera bahkan setelah berabad benda ini ditemukan: menganggap bahwa foto, gambar, film, adalah realitas. “No pict, hoax” kata kita beramai-ramai, padahal belakangan kita semakin sering dihantam “pict” yang memang benar-benar ada tetapi diambil dengan “angle” tertentu ditambah “caption” yang aduhai, level “hoax”-nya malah makin bikin merinding, subhanallah.
Lalu kita berakhir pada kamar yang lain, echo chamber effect. Saya lalu teringat The Chamber of Secrets. Kamar Rahasia yang dibuat oleh Salazar Slytherin saat ia bersitegang pendapat dengan ketiga pendiri Hogwart dan memilih pergi menyendiri ketimbang mencari titik temu.
Dulu orang-orang mengurung dirinya sendiri dalam kamar bernama memilih koran Republika atau Kompas, membaca Tempo atau Gatra. Belakangan kamar itu bergeser menjadi menonton TVOne atau MetroTV. Kemudian berlanjut pada akun sosial media siapa yang dipilih di twitter, yang Islamnya Liberal atau yang Islamnya anti Islam Liberal, yang pro Jokowi atau Prabowo, yang ngefans sama Ahok atau yang anti sama apapun yang bercorak kotak. Belakangan ditambah lagi menonton dan subscribe kanal Khalid Basalamah atau Adi Hidayat atau Abdul Somad.
Kitalah sendiri yang memilih kamar, masuk, dan menguncinya. Hal ini diam-diam disempurnakan oleh Google dan Facebook yang membuntuti tingkah laku berinternet kita dan kemudian menyajikan lini masa, suggestion people, video tertentu, yang sesuai jejak digital kita. Kita makin dalam terperangkap dalam kamar gaung kita tadi. Kita lalu menganggap kita baik-baik saja karena toh semua yang kita tonton, yang kita baca, berita yang lalu lalang, sama belaka dengan kepercayaan yang kita anut. Tak ada tempat untuk disonansi kognitif.
Hingga kita lupa, Kamar Rahasia yang dibuat oleh Salazar Slytherin menyimpan monster bernama Basilisk. Berapa lama lagi kita akan terpukau dan lengah, untuk kemudian dilahap bulat-bulat oleh makhluk tadi.
Semoga tidak.
Selamat merawat akal sehat
37 notes · View notes
rmdhnali · 6 years
Text
Sekilas Soal Makrifat
Malam ini saya melakukan kilas balik, menengok tulisan-tulisan yang pernah saya muat dalam berbagai gaya, konteks, mood, dan kebutuhan yag berbeda-beda. Entah, dalam beberapa tulisan saya, ada perasaan mendalam di setiap rangkainya. Rasanya sikap moody saya terejawentahkan dalam tulisan-tulisan tersebut. Saya ingat sekali, Pak Rasyid, dosen pengampu mata kuliah bahasa Indonesia akademik kami, pernah mengatakan dengan lembut dan yakin bahwa tulisan adalah bentuk aktualisasi nyata dari diri kita. Ya! Malam ini rasanya saya mau peluk dia, mencium keningnya sembari memegang bagian samping kepalanya, sehinga telinganya bisa merasakan hangatnya kedua telapak tangan saya. Lantas dengan mata berbinar, saya akan bilang, “Pak, asu sampeyan.” Lantas mencium keningnya dan meninggalkannya dengan beribu rasa yang membuncah di pikirannya. Ya, asu. Anjing. Kata itu kiranya yang paling mendekati perasaan saya. Belum ada partikel lain yang tepat untuk mewakilinya sedekat asu. Saya merasa pengetahuan yang telah menjiwa ini, kesadaran ini, membuat saya bergidik gemas memikirkannya. Pak Rasyid pun saya kira tak akan tersinggung, ia pasti akan mulai meneteskan air mata saat sadar betapa indahnya ilmu pengetahuan saat saya berkata asu secara lembut di depan wajahnya. Meminjam pengetahuan Haidar Bagir, saya sebut ini makrifat unik bagi saya. Sebuah kesadaran yang datang langsung dari tuhan. Biasa disebut “inspirasi” oleh pekarya, dan “ide” oleh Spongebob, seperti kutipannya saat Tuan Krab tak mau mendengarkan suara sember “Tuan Krab, aku punya ide~” miliknya. Ya, saya merasakan itu semua, dan hal tersebut kembali menyadarkan saya: dunia ini adalah bangunan besar ilmu pengetahuan. Sederhana, saya ingin katakan betapa beruntungnya saya dapat meninjau diri sendiri sejauh ini. Menilai sejauh mana saya tertinggal dari kebanyakan orang yang mengenyam pendidikan setara dengan saya, membuat saya malam ini hanya bisa menggaruk perut tanda linglung. Semoga saya lekas berhenti menggaruk perut, bangkit, ambil handuk, lalu mandi. Ah saya lupa, ini hampir tengah malam. Jadi saya urungkan harapan saya untuk mandi sekarang juga. Satu hal yang ingin saya sampaikan, menjadi berguna bagi sesama adalah cita-cita terbaik bagi saya. Jadi tak perlu muluk-muluk mengejar dirimu sendiri. Mari berjalan bersama.
0 notes
rmdhnali · 6 years
Text
Debu
Dunia ini meranggas. Dinamikanya meresidukan debu kering yang makin lama makin menumpuk dan membuat manusia makin gerah. Alih-alih menyingkirkan debu-debu itu, manusia justru lebih suka tertimbun di dalamnya. Ya, mereka sadar konstelasi sosial yang begitu lekas bergegas menyisakan selapang ruang hampa di hati mereka. Namun mereka tetap nyaman. Merasa resah tanpa mau tahu dari bagian mana rasa itu berasal. Ya tentu, masih banyak manusia yang tak tertimbun debu-debu peradaban. Sebab debu-debu itu hanya ada di jalan-jalan arteri peradaban. Di kota-kota yang riuh, gedung-gedung kokoh yang dingin, dan di persimpangan-persimpangan jalan. Sejauh apapun peradaban manusia membangun jalan-jalan arteri, yakinlah, beberapa bagian alam eksklusif bagi Yang Maha Tinggi. Bukan karena Dia melarang manusia memasuki area tersebut. Namun ada kalanya sejauh apapun kita berusaha, ada kalanya kita mesti berkaca, siapa dan sejauh mana kemampuan kita. Bukan pesimis atau realistis. Justru batas itulah yang melegitimasi diri kita masih dilabeli manusia: kerdil di mata semesta. Beberapa orang memilih menepi di jalan-jalan arteri tersebut. Ada yang berteduh, lapar dan haus, juga ada yang menengok kebelakang untuk mengukur sejauh apa jalan yang telah ditempuhnya. Yang lain, sengaja tak memasang rem pada kendaraannya karena dianggap tak relevan dengan pola kapital yang sukses membangun tatanan dunia modern hari ini. Ada pula yang tak pernah menyentuh kerasnya aspal jalan-jalam arteri. Lama kelamaan, rasa penasaran yang menjadi fitrahnya hilang digerogoti waktu. Ini juga tak baik, ia melupakan hakikat manusia sebagai pengendara yang mesti terus bergerak dengan "kendaraan"-nya masing-masing. Bagaimana dengan saya? Saya sedang mengantre. Di depan saya ada sebuah jalur putar balik. Beberapa orang di depan saya terpaksa melewati jalur ini sebab kendaraannya mogok dan rusak. Lain halnya dengan saya. Saya masuk jalur putar balik ini untuk menjemput seseorang yang karena kesamaan tujuan dengan saya, harusnya saya tumpangi sampai tempat tujuannya--yang sama dengan saya.
0 notes
rmdhnali · 6 years
Quote
Kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari pelbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasi tuntutan serikat pekerja, kelangsungan lingkungan hidup, dan daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.
Dewan, Nirwanto.Tempo. "Seni, Pluralisme, Kapitalisme, dan Kita". 8 Januari 1994. Dalam Kalam 01 (1994)
0 notes
rmdhnali · 6 years
Quote
Ikan laut percaya semua air di dunia itu asin, ikan air tawar percaya semua air di dunia ini tawar. Salahkah?
Bahkan kebebasan tak mampu menyentuh batas-batas kemanusiaan
0 notes
rmdhnali · 6 years
Quote
Saya sudah lama tak terjerembab; saya mulai lagi dari awal
Ketika hati dan pikiran bertemu pada dimensi yang tak dikehendaki
0 notes
rmdhnali · 6 years
Text
Lucid Dream
Yang nyata itu semesta! Yang maya itu stagnansi. Di suatu waktu, entah di mana, manusia akan tiba-tiba sendiri. Bersama akal dan kemanusiaannya ia melengking. Dari nada paling primitif menuju batas intelegensi, lalu turun lagi menuju awal. Begitu seterusnya, hingga bisa diukur di mana titik tengahnya sehingga dari sana ia bisa menamai dirinya apa. Gugus galaksi itu sederhana bila dibanding semesta neuron di kepalamu. Sebab dalam kepalamu, jarak antarneuron tak masuk dalam hitungan ruang-waktu, bahkan dimensi apapun. Hanya ada neuron yang satu dan yang lainnya. Di antaranya tidak terdefinisikan. Dan manusia berpayah-payahan berbondong-bondong melemahkan dirinya. Mencipta semu yang sifatnya temporer. Bukannya menikmati keleluasaan yang tak perlu lagi diperjuangkan. Ya, kita memang lahir dari kumpulan kemampuan yang tiada dua. Jadi mengapa kita masih mencari? Sesungguhnya kita tak mencari, hanya saja menyalurkan apa yang telah kita memiliki, atau lebih tepatnya "menghamburkan". Sebuah siklus dapat diketahui bentuknya saat kita sadar telah melewati titik yang sama. Entah dalam bentuk yang benar-benar sama, sama, atau mirip. Namun ada kalanya kita terpejam saat mengitarinya; kita tak sadar telah melewati bagian yang sama jutaan kali. Tak pernah tahu kadang lebih indah dari memahami. Kita bisa saja berhenti karena kita tahu bahwa tak akan ada gunanya bergerak sekecil apapun. Setiap jengkalnya telah dirasakan, telah dipahami. Maka boleh jadi berhenti dan tidak melakukan apa-apa adalah kemampuan terakhir yang harus kita miliki.
0 notes
rmdhnali · 6 years
Text
Awalun
Subuh itu selalu magis. Ia rekat dengan awal dan akhir. Tergantung bagi siapa ia berpihak. Subuh selalu lekat bagi jiwa-jiwa yang terlalu malam atau terlalu pagi. Ia tegas, tak setengah-setengah. Ia penguji prinsip.
0 notes
rmdhnali · 7 years
Text
Iqra
Peradaban kita rasanya terlelap dalam tidur panjang. Di dalamnya tatanan dunia fantasi semacam Meikarta bermunculan sebagai mimpi. Saat kita terbangun, kita lalu sadar bahwa kita kembali ke awal. Peradaban kita terbuai teknologi. Nilai-nilai menjadi barang langka, sebab secara materil, ia tak tampak kasat. Dan peradaban kita tak menghargai hal semacam itu. Kemajuan selalu dianggap siam dengan indikator teknologi secara definitifl;teknologi yang membuai, bukan teknologi yang merangsang. Hasilnya kita jadi babi-babi di Spirited Away-nya Ghibli.
internet dan sosialitas adalah dua hal yang saling menggendong satu-sama lain. Kolaborasi keduanya sukses memberikan 'bumi' baru bagi pelakonnya. Oleh sebab itu, kita perlu mempertimbangkan untuk merekonstruksi ulang soal mana yang "nyata" dan "maya" di zaman digital ini. Ya, seluruh retak sisir pada diri manusia ini bisa jadi adalah efek samping perubahan. Siapa tak siap, maka menyingkir. Internet ini merambah seperti helm Chumbucket-nya Plankton; membudaki dan mengangkangi akal kita. Sayang, kita tak pernah sadar.
Saya pun begitu, selalu menggila dibuai teknologi. Mungkin hanya ada satu-dua orang gila (red: waras) yang menyadarinya. Bahwa kita, menyadur dari seseorang, "menaruh akal kita jauh di bawah telapak kaki."
Di sisi lain, saya bergumam, bahwa keadaan peradaban kita adalah sebuah pembuktian teori besar.  Teori bahwa seluruh molekul, apapun bentuk dan jenisnya ada dalam sebuah siklus. Dalam siklus, tak ada depan atau belakang. Semuanya memudar.
Atau sebenarnya saya salah. Kita hanya tak mampu menahan percepatan. Kita tak pernah ada dalam siklus kalau tak mau disebut terlempar.
0 notes
rmdhnali · 7 years
Quote
Internet itu keran bocor yang dialiri air keruh. Dan kita, bersyukur selagi punya air.
KONSUMENTIL
0 notes