Tumgik
Text
Footsteps
Aku kembali.
Membuka pintu rumah yang sudah lama tidak disambangi. Terakhir kali menyisakan kelabu. Berdebu akan kenangan lalu yang pilu.
Masih tergambar jelas langkahmu yang menjauh. Setelah pecah tangismu malam itu. Aku hanya bisa diam mendengarkan setiap kata bak sembilu. Satu per satu menancap dalam dada beri goresan yang tertinggal hingga waktu berlalu.
Aku ingat bagaimana diriku tak bisa berbuat banyak selain menerima. Bara yang telah padam dimakan masa. Tersisa asap menyesakkan memaksa kita melangkah tak berarah.
"Kak, aku capek. Kita selesai ya?"
Aku pun pergi. Membawa serta luka dan tanya yang tak sempat mengudara. Membiarkan setiap langkahmu yang menjauh tak terbebani tuntutan menjawab. Selain semua tutur panjangmu malam itu tentang aku dan dunia yang memuakkan.
Jika bisa aku kembali, aku akan memelukmu malam itu. Alih-alih membiarkanmu menutup pintu dan menghilang di antara semu.
Bagaimana gerangan dirimu kini? Apakah dunia masih sama menyakitkannya untukmu setelah aku tak lagi menjadi bagian dari itu? Atau apakah tanpa adanya aku, duniamu lebih baik?
.
.
.
"Kak?"
Satu suara itu tertangkap di rungu. Menyangka halusinasi oleh rindu yang mendominasi hati. Tetapi saat aku berbalik adalah dirinya di ambang pintu rumah ini. Mematung. Menatapku sendu.
Tangannya terkepal seiring langkahku mendekat. Segala emosi yang bergejolak dihatinya ia genggam rapat. Tetapi tak menyurutkan inginku merengkuhnya erat.
"Hey!"
"Aku ke sini karena aku denger ka—KAK?!"
Aku memeluknya. Melepas rindu yang bisa jadi untuk terakhir kalinya. Erat sampai rasanya aku bisa mendengar debaran jantungnya yang semula kencang perlahan teratur seiring kepalan tangannya yang membalas pelukku.
Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang tak berubah. Usapan lembutnya di punggung sampaikan pesan bahwa semua baik-baik saja. Ia baik-baik saja. Sementara 'baik' versiku adalah saat ini. Saat aku dapat memeluknya kembali meski setelah ini tak lagi mungkin.
.
.
.
Entah seberapa benar keputusanku menjual aset ini. Ketika setiap sudut tempat ini dipenuhi kenangan tentang dia.
Dapur yang selalu diinvasi olehnya saat weekend. Ruang tengah tempat berbagi canda tawa sembari menonton tayangan tv. Meja makan tempat berbagi kisah asam manis hidup yang dijalani dalam sehari. Hingga kamar tidur tempat berbagi segala rasa termasuk rindu yang tak berkesudahan.
10 menit lalu aku kembali menatap langkah kakinya menjauh. Ia kemari hanya untuk mengambil beberapa barangnya yang masih disini saat mendengar aku akan menjual tempat ini.
"Makasih ya, Kak." Adalah kalimat terakhirnya yang bermakna luas. Senyumnya terulas manis nan tulus. Senyum yang sudah lama tak pernah kulihat hadirnya. Senyum yang menampilkan 2 garis lurus dari sepasang netranya.
Pada akhirnya cerita itu tak lagi berlanjut. Hanya bersisa kenangan di satu sudut memori untuk cerita di masa depan.
"Jangan lupain kenangan kita, ya?"
Ia menggeleng 2 kali sebelum berbalik dan pergi. Sama seperti malam itu. Ia pergi dan aku tetap disini bersama jejaknya yang tertahan di batin.
.
.
.
"Aku percaya kamu pasti akan dapat pengganti yang lebih baik. Karena kamu baik," katanya.
_end_
Ps. Manip ©️ by twt onix@/orionight_
Tumblr media
1 note · View note
quarterlife-journal · 2 years
Text
*Prolog
Belia tidak pernah menduga hari ini ada. Hari dimana ia kembali bertemu dengan seseorang yang berarti di masa lalunya.
Terlepas dari kedekatan relasi keduanya, tak ada yang pernah betul-betul ingin untuk melihat satu sama lain. Belia pikir begitu, meski tidak dengan Jehan yang akhirnya menyerah.
Dan membiarkan waktu menjawab hingga kembali membawa mereka di sini.
Kabar terakhir Belia? Mungkin 4 atau 5 tahun yang lalu. Sama halnya dengan Belia. Pertemuan terakhir keduanya tidak berakhir cukup bagus. Sama-sama berpegang pada idealisme masing-masing.
Ada yang membuncah di hati Belia. Sama seperti beberapa tahun lalu ketika ia menyaksikan Jehan untuk pertama kali di atas panggung dengan electric guitarnya. Hari ini pun begitu. Ia kembali bertemu dengan Jehan dan electric guitarnya. Seakan takdir memberinya sempat untuk jatuh cinta lagi pada orang yang sama.
Belia terlihat lebih dewasa di pandangan Jehan. Dengan rambut panjangnya yang lurus menutup punggungnya. Binar matanya masih sama. Cantik dan lugu.
Sedangkan Jehan versi lebih dewasa rupanya tetap saja membuat Belia terpikat. Seakan ia memang sudah disihir sejak lahir bahwa hanya Jehan yang membuatnya mendamba.
Penampilan berakhir. Belia hendak buru-buru menyingkir. Berpikir bahwa Jehan tidak mungkin melihatnya apalagi sampai mengejar.
Tidak sampai satu tangan berhasil meraih pergelangan tangan kirinya.
"Bel?"
Belia terpaku. Berbalik untuk kemudian mendapati sepasang netra yang kembali membuat darahnya berdesir. Degup jantungnya tak keruan.
Begitipun Jehan yang setengah mati menahan diri supaya tidak memeluk gadis di hadapannya. Rindu itu memang ada. Dan nyata.
Saat seulas senyum hadir untuk satu sama lain. Saat itulah dunia seakan berhenti. Menyadarkan keduanya bahwa cerita mereka memang belum usai.
---
Dari beribu kota di negeri ini, Belia tidak tahu bahwa ia akan bertemu kembali dengan Jehan disini. Kota tempatnya meneruskan studi, dan kota penempatan kerja Jehan.
Jika bumi diibaratkan dadu, biar Belia kocok lagi dadu itu dalam gelas sehingga mengeluarkan angka berbeda agar ia tidak bertemu lagi dengan Jehan.
Dan jatuh cinta lagi.
Namun kenyataannya disinilah keduanya. 2 jam kemudian setelah Jehan selesai beberes dengan rekan-rekannya, berdua duduk berhadapan di warkop tak jauh dari lokasi car free day.
"Gak kerasa banget kamu—"
"Kabar lo gimana, Kak?"
Dua kalimat berbeda mengudara bersamaan. Kendati kalimat Jehan tidak tuntas karena suara Belia yang tidak terdengar kaku sama sekali.
"Gue baik." Belia mengangguk. Sementara Jehan terlihat ragu untuk berkata.
Hei, logikanya bekerja keras pagi ini. Memaksanya menyusun kata menjadi seuntai kalimat pujian sehingga warna tomat berpindah ke pipi gadis di hadapannya.
"Lo cantik banget rambut panjang."
"Jangan ragukan gen keluarga gue, Kak."
Jawaban setengah fakta setengah gurau itu mengundang tawa keduanya. Suasana perlahan cair begitu saja.
Obrolan terus mengalir dari keduanya. Dari A sampai Z, 1 sampai n. Keduanya sama-sama berpikir sebelumnya bahwa pertemuan ini mungkin akan penuh ketegangan.
Terakhir kali bertemu sebelum Jehan mulai sekolahnya, tak ada titik temu. Problematika khas perpisahan yang tidak akan pernah terselesaikan. Tetapi kali ini, Jehan punya firasat bagus bahwa benang-benang itu siap dirajut.
Tidak sampai waktu Belia pamit. Dan satu sosok yang menunggunya di luar warkop itu tertangkap netra Jehan. Menyambut Belia dengan senyum. Memakaikan helm kepada Belia seperti yang pernah ia lakukan dulu.
Belia tersenyum lebar. Menepuk punggung sang Adam sebelum motornya melenggang pergi. Membawa serta Belia hingga menjadi senyum sepat di raut Jehan.
Barangkali cerita itu memang sudah selesai? Atau masih adakah sedikit celah untuk Jehan mengambil kembali apa yang pernah ia miliki.
0 notes
quarterlife-journal · 2 years
Video
Truth or Dare? We caught up with Stray Kids during the North American leg of their tour to chat about a lot of random things—their childhood memories and favorite spots for alone time, for starters—and ask them to do a few fun dares. 
Celebrate their newly unveiled tour dates by checking out our exclusive Truth or Dare video! 🥳
6K notes · View notes