Tumgik
#tematantanganmenulis
jurnalweli · 2 months
Text
Lifelong Learner
Setelah menikah rutinitasku tak lagi sama. Banyak adaptasi baru yang kulakukan sebab tambahnya peran sebagai istri. Mungkin bagi sebagian orang peran perempuan sebelum dan setelah menikah tidak jauh berbeda tapi bagiku aku benar-benar dipaksa oleh keadaan untuk mampu memaksimalkan peran. Misalnya, sebelum menikah aku tidak berteman akrab dan hangat dengan urusan dapur. Jikapun aku membantu ibu, aku hanya membantu sekedarnya dan yang paling mudah. Jikapun aku telah berkali-kali bertanya tentang perbedaan jahe, lengkuas, kunyit, kunci, ketumbar, merica dan meminta untuk ditunjukkan tetap saja besok sudah lupa lagi. Seringkali aku membatin, "Besok kalau aku nikah gimana ya? Aku bisa masak ikan ngga ya? Aku bisa bersihin ayam ngga ya?" Tapi pikiran itu nihil membuatku berteman dengan dapur. Hingga menikah mengubah lebih banyak dari diriku. Iya, aku akhirnya mau tidak mau suka tidak suka secara sadar tetap ingin memaksimalkan peran sebagai istri dan ibu dengan menyediakan makanan bergizi untuk keluargaku sehingga pelan-pelan aku belajar perdapuran. Ini baru satu hal, tapi aku tidak akan membahas ini lebih dalam.
Setelah menikah, menyandang peran sebagai istri dan ibu membuatku banyak merenungi diri. Tentu aku tidak ingin sama seperti ketika masih sendiri. Setelah menikah aku hidup dengan suami dan anak-anakku maka aku ingin tetap aktif dan produktif meski di rumah saja. Aku juga ingin tetap berdaya yang bahagia meski dari rumah saja. Aku resign dari tempat kerjaku sebelum menikah. Lalu, setelah menikah aku merantau ikut suami. Aku sempat bekerja di daerah domisili baruku hanya 1 bulan sebelum keadaan tubuhku melemah. Aku memutuskan resign lagi dengan alasan hamil muda. Sejak saat itu aku menghabiskan banyak waktuku untuk memikirkan jika nantinya bayi ini lahir ke dunia dan menambah peranku sebagai ibu.
Aku ingin menjadi ibu bagaimana dan aku ingin mendidik anakku bagaimana.
Keresahan ini yang menemukan ujungnya bahwa aku ingin belajar. Aku ingin menjadi ibu pembelajar. Aku mencari tempat belajar dan bertemulah dengan salah satu komunitas untuk para perempuan yang digagas oleh Pak Dodik dan Bu Septi. Ibu Profesional, namanya. Di sini aku menemukan banyak wadah dan tema belajar sehingga cukup memudahkan untuk meningkatkan kualitas diri.
Konsekuensi dari mengikuti sebuah komunitas belajar adalah kesungguhan dan komitmen. Terkadang aku menyisipkan jadwal belajar pada daily plan namun tak jarang pula aku sengaja mencari tema tertentu di youtube untuk kudengarkan sendiri meskipun dengan menyambi menyelesaikan domestik.
Aku memiliki cita-cita sebagai ibu pembelajar. Maka, segala hal yang dirasa cocok dengan apa yang ingin aku tahu dan atau yang menjadi keresahan ataupun sesuatu yang aku tertarik aku akan mengambil kesempatan itu, insyaaAllah.
Semoga Allah ridhoi proses belajar ini.
Karena dengan ilmu aku menjadi tenang.
4 notes · View notes
jurnalweli · 3 months
Text
My Role Model, My Superwomen
Aku adalah seorang ibu baru. Sejak Allah amanahkan janin dalam rahimku dan Dia ijinkan merasakan persalinan yang luar biasa, aku jadi banyak belajar hal baru. Dalam menjalani peran sebagai ibu, banyak warna baru yang menghiasi hari-hariku. Semua penuh tantangan dan kejutan.
"Aku sedang mendidik generasi, amanah ini tidak main-main. Ya Allah kuatkan dan mampukan kami, ridhoi ikhtiar kami",
begitu batinku. Menjadi ibu baru yang tinggal jauh dari orangtua seringkali membuatku mengingat segala perjuangan mereka, terutama ibu.
"Aku ingin menjadi ibu seperti ibu, yang selalu kuat di tengah sulit, yang selalu memperjuangkan hak anak sampai titik darah penghabisan, yang tidak pernah mengeluh dan selalu berdiri teguh",
begitu harapku jika kondisiku tak baik-baik saja yang membuatku rindu ibu. Ibuku memang bukan ibu yang sempurna tapi melihat perjuangannya untukku sampai di titik ini sungguh berharga. Setelah aku menjadi ibu, seringkali terlintas, "apakah aku bisa sekuat ibu?"
Aku tidak akan bercerita tentang diriku sebagai ibu dari anakku yang belum ada 1 tahun. Pengalamanku masih sangat minim. Tapi, ijinkan aku melihat kekuatan dari seorang ibu. Tentunya kekuatan ini adalah fitrah perempuan, ada ⬆atas ijin dan kuasaNya.
Pertama. Setelah melewati hamil dan persalinan, aku jadi tahu bahwa proses ini sangatlah tidak mudah. Aku juga jadi tahu mengapa di tempat umum banyak memberikan privilege bagi ibu hamil. Dan benar kata Allah dalam QS Luqman ayat 14, "Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah." Katanya, sakitnya ibu melahirkan ibarat berpuluh-puluh tulang dipatahkan sekaligus. Ah, betapa sakitnya membayangkannya. Bagiku tidak seperti itu, tapi sakit, haha.
Ibu adalah makhluk yang kuat dan Allah yang mampukan ibu melewati lemahnya mengandung dan sakitnya melahirkan.
Super bukan?
Kedua. Belum kudapati sabar, ikhlas, cinta dan kasih sayang yang tulus dari manusia selain ibu.
Jika boleh kuakui, kasih sayang tanpa batas setelah Allah adalah ibu.
Setelah menjadi ibu, aku merasa diuji dengan ini. Jika dulu aku pernah berpikir, "aku bisa sabar ngga ya." Tapi beberapa kali suami bilang, "sabar banget sih". Padahal yang aku rasakan kesabaranku setipis tisu dibagi 2. Membersamai tumbuh kembang anak di bawah 7 tahun memang melelahkan. Tips dari aku pribadi, minta sama Allah agar tetap sadar dan sabar melewatinya sebab tak jarang kita temui dewasa ini ibu berani melakukan hal yang membahayakan buah hati ketika lelah dan emosional. Maka mintalah padaNya. Lagi-lagi aku yakin, sifat ini yg menjadi kelebihan bagi wanita adalah fitrah yang Allah berikan. Super bukan?
Ketiga. Pengorbanan tanpa batas. Pengalamanku menjadi ibu masih sangat minim tapi aku mulai merasakan bahwa prioritasku sekarang bukanlah tentang diriku tapi anak-anakku. Bahkan ketika sedang lelah, jika anakku butuh maka lanjut bismillah. Aku juga belajar banyak dari ibu, semoga aku bisa meneladaninya, menjadi sebaik-baik ibu untuk anak-anakku. Ibuku ikut serta membantu keuangan keluarga. Terkadang akan digunakan untuk membeli bahan makanan, terkadang untuk membayar biaya sekolah. Karena usia ibu telah mencapai batas di sekolah tempatnya bekerja, maka ibu harus terkena PHK sedangkan aku masih kuliah. Singkat cerita, kondisi itu tidak menyurutkan langkah ibu, banyak cara dan ide yang ia lakukan dengan mengembangkan usaha kecil dari rumah. Aku juga sering merenung, "apakah aku bisa seberjuang ini ya di kondisi mepet bahkan sulit?". Dan benar,
seorang ibu tidak sedang berkorban apapun untuk anaknya. Seorang ibu juga tidak meminta dibalas jasanya kembali di hari tua.
Ibuku tidak meminta itu semua. Semoga Allah berkahi usia semua ibu di dunia. Super bukan?
Ibuku adalah salah satu role modelku menjadi ibu karena aku melihat dan merasakan segala kebaikannya untuk anak-anaknya. Menjadi ibu memang luar biasa. Seringkali tak terbayangkan apakah mampu melewatinya. Tapi ternyata demikian fitrah kita dan segala kemudahan serta kekuatan hanyalah karenaNya. Terimakasih Allah, segala puja dan puji hanyalah bagiMu.
3 notes · View notes
jurnalweli · 3 months
Text
Doa Ibu Menembus Batas
"Kenapa sekarang aku nyaman menjadi guru, bukannya dulu aku betul-betul tidak ingin menjadi guru tapi kenapa pilihan, ketertarikan dan arah gerakku tertuju pada guru?", kataku kepada temanku saat itu.
Iya, sejak kecil ketika ditanya tentang cita-cita aku menjawab, guru. Tapi saat itu aku merasa belum paham maksud cita-cita dan belum banyak referensi tentang cita-cita. Beranjak remaja, masih tak jauh berbeda. Aku mulai mengerti tapi tetap belum memiliki pilihan sehingga ketika ada yang bertanya tentang cita-citaku aku belum mampu menjawab dengan tegas. Sampai suatu ketika aku mulai banyak referensi dan tidak memandang guru sebagai cita-cita. Aku juga tidak memiliki keinginan untuk kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.
Ibuku adalah mantan seorang mahasiswa fakultas keguruan. Ibu sempat mendaftar dan diterima namun karena ekonomi keluarga yang kurang dan belum mendapat restu kakek akhirnya keinginan itu perlahan sirna. Ibu tidak jadi melanjutkan pendidikan. Ibu tidak kuliah dan cukup sampai di SMK. Ketika aku akan memasuki gerbang kuliah, ibu memberi pilihan padaku untuk mendaftar fakultas keguruan dengan tanpa memaksa seolah aku harus melanjutkan impiannya yang terkubur. Ibu tetap menyerahkan keputusan pilihan jurusan padaku. Akhirnya, aku lulus sebagai sarjana psikologi.
Seperti sudah alurnya begitu, seusai kuliah aku mencari pekerjaan. Pekerjaan pertamaku adalah guru TK. Pekerjaan yang jauh dari diriku dan keinginanku. Sudah tentu aku tidak mau guru, ditambah aku tidak menyukai anak kecil untuk belajar dan dididik seperti ini. Beda cerita jika anak kecil hanya diajak bermain dan lucu-lucuan, aku akan menikmatinya. Anehnya, ketika ada lowongan tersebut aku bersegera mendaftar.
Jujur, kujalani pekerjaanku dengan cukup bahagia. Mengeluh sedikit, wajar. Tapi tidak menyesal. Lama-lama justru aku lebih bahagia karena bersama anak-anak yang mungkin beban hidupnya belum banyak, ya hehe. Lalu aku resign karena beberapa hal salah satunya aku harus pulang kampung. Di rumah, aku mencari lowongan pekerjaan lagi. Aku mencoba mendaftar di beberapa lowongan yang mendekati dengan latar belakangku sebagai sarjana psikologi dan potensi lain yang aku punya dan yakini. Lagi-lagi aku mendaftar sebagai pendidik. Kali ini di sebuah pondok pesantren usia anak SMA. Aku menyimak hafalan santri dan ikut serta tinggal di asrama. Karena beberapa faktor, aku melepasnya.
Aku kembali merantau di kota kuliahku dulu. Aku mengabdikan diri di pondok pesantren lagi. Sama seperti sebelumnya, aku tinggal di asrama dan menyimak hafalan santri. Kurang lebih 3 kali aku berganti tempat kerja yang ternyata semua sama-sama sebagai pendidik. Betapa dulu aku sangat menolak bercita-cita sebagai guru, tapi dewasa ini aku didekatkan dengan bidang pendidikan sebagai pendidik dan perlahan aku menikmatinya.
"Jangan-jangan ada doa ibuku di sini", begitu pikirku.
Saat itu, ibu memang tidak memaksaku tapi barangkali ada harap dari ibuku yang ia langitkan. Entah hanya sekedar ucapan atau serius dalam doa. Ibu tidak menaruh harap padaku, ia langsung menaruh harap padaNya. Setiap kali aku meminta ijin untuk daftar kerja, ibuku juga tidak pernah berkomentar. Setiap kali aku bercerita jika gaji guru yang terasa kecil, ibuku malah menenangkanku.
Terimakasih, ibu sudah ridho atas segala pilihanku. Terimakasih, ibu untuk doa-doa baikmu. Aku yakin kebaikan dan keberuntunganku saat ini adalah karena doamu.
3 notes · View notes
jurnalweli · 2 months
Text
Lemahnya Mengandung
"Aku jarang banget sakit tapi kenapa ya hamil terasa selemah ini kayak orang sakit padahal ngga ada sakit apa-apa", gerutu seorang perempuan yang tengah hamil muda setelah 3 bulan menikah.
Setelah perempuan ini kontrol kehamilan pertama kali untuk memastikan apakah tespek yang digunakannya benar-benar valid, semua terasa berubah apalagi fisiknya yang tak seoptimal biasanya. Padahal sebelum ia melakukan kontrol, semua terasa biasa saja.
"Ada keluhan, Mba? Mual muntah?", tanya seorang perawat ketika screening awal kontrol kemarin.
"Tidak ada, Mba," jawabnya. Namun ternyata jawaban itu tak bertahan lama. Esoknya semua berkebalikan.
Meski begitu, karena ia masih bekerja di ranah publik di sebuah sekolah dan selama fisiknya masih bisa diajak kerjasama maka ia tetap masuk sekolah meski ia menjadi tidak kuat untuk berdiri lama-lama ketika sedang mengajar. Begitupun dengan teriak, jika ia mengeluarkan volume cukup keras maka akan memicu mual dan pusing. Hingga suatu ketika ia memutuskan resign dari tempat kerjanya karena sempat mengalami pendarahan yang membuatnya cukup panik karena ini adalah kehamilan pertamanya. Bersyukurnya, pendarahan ini hanya sejenak dan ketika esoknya kontrol ke obsgyn masih terbilang aman. Hanya diberi obat penguat kandungan, diminta bedrest dan melakukan pemantauan.
Hari-harinya banyak digunakan di atas kasur untuk meminimalisir segala kemungkinan terburuk. Bersyukurnya lagi, suaminya sangat meminta istrinya untuk istirahat saja. Urusan rumah tangga banyak diambil alih oleh sang suami. Tak jarang sebelum suaminya memasak selalu bertanya terlebih dahulu step by stepnya. Ia lebih senang mendengar resep istrinya daripada resep dari youtube. Sejak saat itu ia mulai mahir memasak hingga memiliki keingan untuk memberi warna baru dari masakannya. Ia mulai nyaman berteman dengan dapur. Sejak merasakan mual dan muntah, Mba Ari yang sedang hamil muda itu lebih menyukai masakan hambar atau yang tidak memiliki rasa yang kuat di lidah. Maka hampir setiap harinya ia dan suaminya makan sop lagi dan lagi.
"Mau makan apa, sayang?", tanya suaminya padanya.
"Kalau sop lagi Aa bosen ngga? Soalnya kayaknya sekarang aku lebih suka yang ngga kuat rasanya. Tumis, santan, balado aku ngga mau", jawabnya sambil memikirkan menu selain sop.
"Enggak, kok. Sayang ngga bosen?"
"Enggak, ngga papa."
Atau kadangkala jika suami tidak memasak, maka mereka akan membeli sayur dan lauk siap makan di warung sekitar rumah. Lagi-lagi tetap dengan syarat yang sama. Rasa yang tidak strong di lidah.
Kalau dihitung, di kehamilan pertama Mba Ari ini ia tidak menyentuh urusan rumah tangga hampir selama trimester pertama hingga awal trimester kedua. Masuk bulan kelima kehamilan barulah ia menyentuh urusan dapur dan mulai memvariasikan masakan selain sop. Ia juga mulai bisa makan dengan nyaman, nikmat dan lahap.
"Ternyata bener ya kata Al Quran yang bilang ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah," Mba Ari berusaha merenungi hikmah kehamilannya agar tak sering berkeluh kesah seolah paling menderita.
Berikut firmanNya pada QS Luqman ayat 14 yang berbunyi
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Akulah kembalimu."
0 notes