Tumgik
#konversasi
lamyaasfaraini · 4 months
Text
Tumblr media
Konversasi random pasutri random, setelah istri lelah lari jadi ketiduran abis mandi. Sementara suaminya nyuci baju..
Istri: yang.. Cintai aku secara ugal-ugalan dooongggg~
Suami: motor kali ah ugal-ugalan
Istri: ihhhhhh ngga asek
Suami: *bingung dengan bahasa gen Z* *hanya bisa tersenyum melihat istrinya ketularan bahasa twitter*
Istri: mau yang seger2 atuh yang, seger dingin dan seger pedes. Liat ini siang hari gini enaknya makan kek gituan
Suami: ya apa? Bilang apa, sebut!
Istri: gamau mikir, ah masa aku mikir terus
Suami: yeeeehh, ngga.. Mikir buru!
Istri: gataulahhhhh
Suami: yaudah seblak ahhh
Istri: akukan kureng suka
Suami: dah diem aku nyari dulu
Keluar rumah lah tu berdua, anak ayah sukanya nyari cemilan berdua, nyari makan berdua. Jajan mulu lah tu berdua.
Akhirnya beli seblak mamah nabil di deket SD kresna yg kata mama kembar dan umi ana enak cenah, aku ngga begitu penasaran kan bukan seblak lovers. Suamiku pecinta seblak bgt dasar mulut buibu. Seblak tuh diidam2kan gitu..
Dibeliin lah 1 porsi ewang padahal akumah maunya cobain aja tp kami beda selera, suami sukanya pedes bgt kalo aku pedesnya biasa aja. Dahlah pasrah yaa nyobain. Kita liat dulu isinya, ada mie, ceker, telor, kangkung (wow ini baru tau seblak pake kangkung, kewl), batagor kering. Naaaah pas semua tuh pilihannya gapake kerupuk ay layk. Dan rasanya ihhhhh ngonaaaaahhhhh dong ukuran aku yg gabegitu suka amat sm seblak. Keknya bakal repurchase inimah huahahaha. Minumnya dibeliin we drink, nemo pasti beli es krim matcha dan beli rotinya pgn pake roti tawar cenah haha dicipta2 bgt wey..
3 notes · View notes
endahretnonw · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media
Konversasi pertama tentang saling validasi emosi yang terekam jejak whatsapp :)
Sudah lama tidak sesenggukan seperti kemarin lantaran sebuah ujaran. Kalau diingat-ingat, saat itu otak saya berputar-putar menanyakan hal yang sama berkali-kali:
“ini gue yang lebay apa gimana sih? kok rasanya cekit cekit banget”
segala cara diusahakan supaya sesenggukannya mereda, dari pindah menyendiri ke ruangan lain, selftalk nangis sambil ngaca, ganti posisi jadi tiduran, ambil wudhu dan sholat, makan es krim, makan omelette… lalu diakhiri dengan minta tolong ditemani seseorang sambil nyeruput green tea. Total waktu semuanya 3 jam.
Di satu jam terakhir, bisa jadi keadaannya gak begitu membaik kalau saja notif pesan dari rekan saya yang tadi gak saya terima. Pesannya berisi validasi banyak hal yang meruntut kronologinya, saya respon dengan konfirmasi apa saja yang membuat kurang nyaman dan kami sama-sama memperjelas situasi.
Disini saya jadi belajar sekaligus mempraktikan secara sadar tentang kendali emosi itu sendiri. Proses pengenalannya tentu tidak dengan waktu yang singkat, dan komunikasi yang stabil jadi salah satu kuncinya.
Poin-poin yang bisa saya runut dari proses konflik tadi ialah
Apa yang kita rasakan di dalam dada merupakan hal diluar kendali kita, fokus dengan apa yang bisa kita kendalikan terhadap rasa yang muncul. Dalam hal ini saya mencoba memulihkan dengan berpindah ke ruangan lain untuk menenangkan diri.
Setelah kita menyendiri, terima dulu perasaannya, lisankan apa yang sedang dirasa… jangan kayak saya yang malah menghakimi diri sendiri “lebay”. Lalu mulai untuk bertanya ke diri sendiri 1. apa penyebab perasaan itu muncul 2. sekarang fokusnya mau release supaya lega aja atau gimana? Cara yang kedua ini sedikit lebih sulit dari poin pertama, butuh waktu untuk dilatih.
Setelah tenang dan emosinya mereda, fikirkan apa yang mau dilakukan selanjutnya. Dan beruntungnya disini saya ketemu dengan orang yang sadar untuk menyelesaikan konflik sampai tuntas.
Gak ada yang sempurna dari proses penyelesaian konflik, yang ada adalah usaha maksimal untuk memperbaiki keadaan. Semoga ke depannya saya bisa dengan selalu sadar melalui konflik apapun yang sedang terjadi :)
3 notes · View notes
naoshikinka · 6 days
Text
pria yang gagal dalam konstruksinya
acapkali aku tak sadar begitu canggungnya ia meniti tiap langkah kakinya. konversasi berbobot usai—pasca satu jam berlalu—tanpa orientasi bahkan konklusi. supra x 125 tak ia naiki, ia tuntun ke bibir aspal tanpa menoleh ke belakang—enggan menyaksikan air mata yang lagi-lagi terjun menghantam bumi. sukmanya sukses terguncang manakala kuletakkan serendah mungkin puncak diriku tanpa syarat di atas selembar kain. manakala gendang telingaku sudah menyapa nadi di lehernya. dingin dan cemas aku mendengar denyut nyawanya untuk terakhir kalinya sebelum berhalangan dengan kilometer. malam itu sayangnya aku sendiri yang membuat bapak terlihat konyol di depan banyak kepala. pria yang gagal dalam konstruksinya pikir mereka? tiap kepala menggaungkan keras-keras perkara ketidakbecusanmu.
persetan perkara kegagalanmu dalam konstruksimu, aku lebih berambisi perihal bagaimana wujud konstruksi bahumu. bagaimana itu bisa menjadi begitu kokoh, tahan ambruk, seakan sudah khatam perihal bagaimana dunia berlomba-lomba menyalahkanmu berkat kecerobohanku.
bapakku bersahabat dengan neraka
bapak, aku sempat bersisian dengan kematian. rasanya mencekik. itu berlangsung selama 10 menit sebelum sekujur torsoku menegang dan kertas bertuliskan pin ATM dan pesan terakhir untukmu menyapa dasar lantai. jerat sepanjang sepuluh meter yang mengendur menembus mundur isi kepalaku
menimbang segala peruntungan terkait apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak ceroboh, jika aku tidak berantakan, jika aku tidak rusak, jika aku tumbuh tanpa patah.
bapak, aku mendamba sebuah perayaan tanpa usai—’perayaan’ yang kupikir kurang pantas bersandingan dengan namaku dalam satu kalimat. tapi seringkali entitasmu menyeret setumpuk tanya perihal bagaimana engkau memaknai rongsokan sebagai eksistensi yang mewah. tentang bagaimana engkau tetap menegakkan bahu bahkan ketika membuka mata pertama kali manakala hari berganti. tentang bagaimana engkau terbiasa terseok untuk tak membiarkan air mataku menyapa bumi. tentang bagaimana engkau bersepakat pada semesta perihal patah yang tak patuh. meski demikian, sesuatu tentang bagaimana kau tetap akan pulang pasca ditarik raib dari hidupku sudah lebih dari cukup untuk membuatku hidup kembali dan tetap hidup. lebih dari cukup untukku merayakan hidup kembali.
1 note · View note
neptunoise · 2 months
Text
Kairosclerosis
“Where are we heading, Bianca?"
Samar musik yang teredam derasnya hujan mengisi keheningan dalam sedan hitam yang dikendarai Jevian. Tangan kanannya kokoh menggenggam kemudi, sementara tangan kirinya menepuk pelan pucuk kepala Bianca yang tertunduk berbalut hoodie putih, memberikan gestur sederhana pada yang lebih muda.
Jam digital di speedometer menunjukan pukul 23:22, cukup larut khususnya bagi Bianca untuk beraktivitas. Kendaraannya Jevian arahkan membelah jalanan ibukota yang berhias siraman lampu jalan, menuju arah tol lingkar dalam, entah kemana ia akan membawa insan muda si bungsu Natanegara bersamanya, yang jelas akan ia bawa sesuai pintanya. 
“Jangan nunduk terus, liat deh citylights-nya bagus.”
Yang lebih muda pun menuruti, mengarahkan pandangannya keluar jendela di sebelah kiri, disambut rintikan hujan yang membasahi kaca, mengaburkan temaram lampu dari jendela gedung pencakar langit, menjulang tinggi secara bangga, menaungi keseharian mahluk kecil sepertinya.
“Why have you never told me that Jakarta lives the prettiest at night?” Lirih Bianca yang masih memfokuskan pandangannya pada pemandangan di luar, mencoba memuat setiap inci lukisan yang tersaji di hadapan, sementara otaknya ia paksa untuk mengingat setiap detik yang ia lalui. Musik yang ia dengar, suasana yang ia rasakan, harum mobil Jevian yang merasuk dalam pernapasan. Kapan terakhir kali Bianca bisa duduk setenang ini, ia pun sangsi.
“Well, have I ever told you that Jakarta also feels lonely and cruel without you around?” Jevian membalas ucapan Bianca dengan senyum jenaka, sementara tangan kirinya berpindah untuk menggerakkan persneling, melajukan mobilnya lebih cepat ketika jalanan yang lengang tersaji di depannya.
“I’m trying my best, Ian.” Suara kecilnya memutus konversasi mereka, menggantung kalimat yang hendak terlontar nantinya, membiarkan Jevian fokus berkendara, dan Bianca kembali tenggelam pada pikirannya.
“Ini lagu kesukaan Nara, kalo aku ga salah kan ya?” Lagi-lagi Jevian memecah keheningan singkat yang sempat mencuat, menarik Bianca meninggalkan lingkup imajinasinya, dan membalas pertanyaan yang lebih tua.
“Bukan, ini lagu favorit Kenzie,” ucapnya lepas memfokuskan pendengaran pada melodi asing yang berirama memasuki gendang telinga. Nara dan Kenzie, keduanya memiliki selera musik yang bertolak belakang, dan Bianca berusaha sekeras mungkin mengingat kesukaan masing-masing orang di sekitarnya, ingin menghargai perasaan mereka, dan menjadi orang baiknya.
“Kalo lagu kesukaan ku, masih inget gak?” Ekor matanya sesekali melirik Bianca, yang masih memerah hidungnya, sejak ia jemput dari kediaman keluarga Natanegara secara diam-diam.
“Fake Divine by Hyde, and Courtesy Call if I’m not mistaken?” Bianca menjawab sedikit ragu, takut jika ia salah, takut jika Jevian kecewa, takut–
“PINTER BANGET??? Kok bisa ya Lembayung ku sehebat ini?” Apresiasi yang terlontar dengan lancar dan spontan dari lisan Jevian disertai kontak mata singkat –karena ia perlu kembali fokus pada jalur kendaraannya, membuat Bianca salah tingkah.
“Lembayung ku.”
Sudah berapa lama nama itu terkubur bersamanya?
“sehebat ini?”
Hal hebat apanya?
“Aku serius deh, Courtesy Call lagunya seenak itu! Pokoknya hampir setiap hari aku harus denger lagu ini at least sekali! Tapi sedih sih TFK udah hiatus lumayan lama." Jevian berceloteh panjang yang langsung diiyakan oleh Bianca. Bukan karena ia kesal dan ingin Jevian segera berhenti berbicara, namun karena ia terhanyut pada pembawaan energik insan di sampingnya.
“Anyway, kamu udah tau mau kemana? Or do you mind paying me a visit?” Jevian menawarkan, dan buru-buru menambahkan kalimatnya sebelum Bianca sempat menjawab. “Only with your consent and if you want to! I would never–”
“Your place it is, Jevian.” Bianca menjawab yakin, memotong racauan lawan bicaranya membuat Jevian bersemangat memutar roda kemudinya dan melaju ke bangunan bertingkat yang telah ia tinggali hampir empat tahun lamanya.
Sebuah unit apartemen duplex dengan unsur beige, berpadu dengan aksen hitam yang elegan menyambut kedatangan kedua anak Adam itu. Jevian dengan cekatan menyalakan lampu yang memancarkan cahaya keemasan, memberikan kesan hangat bagi tamunya. Tak lupa ia menyalakan AC dan memasak air di ketel mungilnya yang berwarna biru muda.
“Don’t bother Ian, I’m doing totally fine.” Bianca mendudukan diri di pojok kasur setelah melepas hoodie dan kaos kakinya.
“Aren't you cold? Hidungmu merah dari tadi,” Jevian menampakkan wajah bingung, dan masih memegangi cangkir hijau zaitun di tangannya.
“It is indeed cold, Jevian. But I’m not sure if a cup of tea could warm me up,” Bianca terkekeh kecil di akhir kalimatnya.
“Oh!” Jevian tersentak dan merasa bahwa ia mendapat ide cemerlang. “Brandy mau?”
Bianca simply flabbergasted real quick there and then.
***
"How's Paris?" Jevian kembali memulai percakapan setelah memastikan tamunya duduk dalam posisi nyaman. Keduanya bersandar menghadap balkon yang dibuka lebar-lebar jendelanya, dua single sofa dihadapkan keluar, dibatasi meja kecil yang menopang kudapan mereka malam itu.
Dua cangkir teh, sepiring cookies, dan sekotak lintingan tembakau yang bersanding dengan asbak cantik di sebelahnya, berdampingan untuk saling melengkapi, ketika yang satu terbakar habis, dan yang lain menerima kepingan terkecil abu yang sudah padam, meskipun itu mengotori dirinya sendiri.
Bianca, alih-alih menjawab Jevian yang tengah mengepulkan asap rokoknya, justru bertanya balik seraya mengapit puntungan baru dibalik kedua jemari, lantas membakar ujungnya. "How's Jakarta when I'm not around?"
Nikotin yang menjadi nafasnya, Jevian hirup dalam merasuki paru-paru, mengganti paksa tugas oksigen yang mengalirkan darah, disubstitusikan dengan dopamin liar yang melingkupi pusat berpikirnya dalam rengkuhan hangat.  
"Too violent." Jevian menjeda ucapannya sejenak, membiarkan kepulan asapnya membaur bersama helaan nafas Bianca yang jauh lebih pekat.
"It's just simply too cruel, when I'm not certain where my home is, Lembayung."
"So does, Paris." 
Bianca memberi jawaban singkat, yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Jevian membuat lawan bicaranya terkekeh.
Keduanya kembali terdiam, membiarkan puntungan mereka terbakar perlahan, dengan asap tipis yang menari bebas di ujung yang jauh seakan mengejek, memamerkan kebebasannya dengan jumawa.
"Kenapa menangis tadi?" Jevian mengalihkan topik, menanyakan hal yang mengganjal sejak mereka bertolak dari kediaman Natanegara.
"I've failed them, Jevian." Bianca menyesap rokoknya sekali lagi, menahannya sebentar dalam paru-paru, dan menengadahkan kepala guna menghembuskan asap yang membumbung tinggi, menggauli langit-langit apartemen Jevian sebelum sirna pada akhirnya.
"I think I've tried my best, tapi hasilnya gak sesuai ekspektasi mereka. They expect me to try harder, they push me to the extent I don't even know where my limit is," suara Bianca mengalir, beriringan dengan dua bulir air mata yang turun membasahi pipinya, lagi.
"And I don't think I'm good enough for my parents, doesn't matter how hard I try. I'm useless, fragile, I'm not resilient. They say I can't even compete with my sisters," rokoknya ia ketukkan dua kali di atas asbak, menjatuhkan abu yang mulai rapuh, sama sepertinya. 
Jevian meletakkan puntung yang telah terbakar habis di dalam asbak, lantas bangkit dan duduk bersimpuh di hadapan Bianca. Tangannya ia tautkan pada jemari Bianca yang bebas, membagikan kecupan ringan secara adil pada setiap ruasnya, merasakan harum tembakau yang tertinggal, sebelum menarik seluruh atensi si cantik padanya.
"The 'Bianca' I know would never let himself down just because of those words."
"Those kinds of words never hurt me, Jev. The person who said it did."
Tangan keduanya saling bertautan erat, Bianca yang menahan tetes air mata berikutnya agar tidak jatuh, pun Jevian yang menyangga ruas rapuh Bianca.
“I have never asked them for anything, Ian. I just–” suara Bianca tersendat di tenggorokan, pun pikirannya yang buntu. Selama ini apa yang ia inginkan? Apa yang ia tuju? Apa impiannya di ujung jalan yang gelap pun Bianca tidak pernah tau.
Ia terlanjur hidup dalam kendali orangtuanya, melanjutkan nama Natanegara, hidupnya harus tanpa cela, ditumpui ribuan topeng yang menutupi kekurangannya, hingga akhirnya Bianca pun tidak pernah tau bagaimana rupa wajahnya sendiri.
Sebenarnya apa yang ia minta pada semesta? Hidup bergelimang harta? Terlahir dari keluarga bersahaja? Atau berjalan di atas karpet merah yang terbentang permata? Bianca hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Bianca hanya ingin rumah untuk pulang, ia hanya butuh lengan untuk menyangganya ketika terjatuh, dan ia pun akan sangat berbahagia jika lengannya bisa diulurkan untuk merengkuh rumahnya.
"I'm not supposed to cry, aren't I?" Bianca mengutarakan pertanyaan retoris diiringi tawa remeh, mencela dirinya bagaimana ia bisa berdiri dengan begitu berantakan rupanya.
Jevian mengulurkan lengannya, melingkari pinggang ramping Bianca yang ia tarik dengan mudah untuk jatuh ke pelukan, yang jelas disambut si bungsu Natanegara dengan berkalung di leher Jevian. Lepas memastikan pelukannya cukup erat, Jevian membawa tubuh yang lebih muda ke dalam rengkuhannya, bersandar pada kursi yang semula ia duduki, lantas menuntun kepala Bianca untuk bersembunyi di ceruk lehernya yang hangat.
Tangannya yang berhias goresan tinta hitam menepuk lembut punggung Bianca, pun juga pucuk kepalanya, "It's totally fine for Lembayung to let his tears out. Jevian cries like a kid too sometimes."
Seketika segalanya menjadi sunyi, selain detak jantung dan nafasnya sendiri.
Hiruk pikuk ibukota yang tetap bergelora di malam hari teredam sepenuhnya, bersamaan dengan kalut yang bergema di kepala. Segalanya seakan menjadi lambat, ketika Bianca menarik nafas dalam, masih berada di dalam pelukan Jevian, mengosongkan isi hatinya, bertumpah kepada rumah yang kerap menopang lukanya.
"Why would you fix me, Jevian?" Bianca mengangkat kepalanya, mengusap hidung yang memerah dengan jemari yang terkepal, meminta penjelasan yang lebih tua, tentang mengapa ia secara sukarela menyatukan kembali jiwa yang berantakan sepenuhnya.
"Fix you? I never did, Lembayung. I could never fix something that had never been broken in the first place." Jevian merapikan helai rambut yang jatuh di dahi kekasihnya. Membubuhkan ciuman kupu-kupu yang manis di kedua belah pipi, menggumamkan seberapa dalam ia jatuh kepada sang terkasih.
"Khansa dan aku, terlahir dari nama yang sama, pada akhirnya tumbuh menjadi dua orang yang bertolak belakang," Jevian memulai ceritanya, tentang ia dan si sepupu lucu, yang Bianca kenal jelas dalam hidupnya.
"Aku tumbuh jadi pribadi bebas, dan Khansa seorang penurut yang sedikit culas," jedanya ia gunakan untuk mendekap Bianca sedikit lebih erat. 
"Aku selalu diharapkan untuk sama sepertinya, tapi aku bukan Khansa. Sama sepertimu, kamu bukan Suzanne atau Irene, kamu adalah Bianca," menepuk punggung si Natanegara yang mulai tenang, Jevian kembali menuturkan pintanya.
"I want you to love yourself, not because of how hard you work, or how hard your struggle is, nor your beauty. I want you to love yourself for you.”
Desir angin malam dari arah balkon menyapa keduanya, mengingatkan dingin tengah malam yang menusuk. Namun bagi Bianca, pelukan hangat Jevian sudah lebih dari cukup. Seakan bersandar menikmati terpaan hangatnya matahari sore, yang berpendar indah menyinari lapangnya nirwana yang tenang. Hembusan angin ia perintahkan membawa bebannya pergi, sehingga hanya Jevian yang ada dalam relungnya.
Keduanya berharap jika waktu bisa berhenti sejenak, membiarkan mereka tenggelam dalam bahagia untuk satu sama lain. Yang saling percaya bahwa yang seharusnya mereka buat bahagia adalah dirinya, bukan ekspektasi diluar nalar realita.
Selama ini Jevian selalu berdiri sendirian, yakin bahwa ia tidak membutuhkan rumah untuk pulang, percaya bahwa kakinya kuat untuk menopang tanpa sandaran. Namun pada akhirnya, di penghujung hari yang sepi, ada seseorang yang membutuhkan rumah untuk kembali. Kenyataannya, Jevian yang menjadi rumah bagi Bianca, dan Bianca lah yang akan merawat rumah itu, agar mereka dapat bernaung dan membangun dunia khusus untuk mereka tempati.
0 notes
jaemirani · 3 months
Text
Tumblr media
Letters written but never sent.
Bermodal video tutorial dan titah dari sang Mama lewat panggilan video, Salazar berhasil buatkan sup sayur dan nasi merah untuk Wave Joelian. Bermodal internet juga ia pilihkan menu makan siang untuk Wave yang katanya bagus untuk dikonsumsi oleh orang pengidap gerd dan asam lambung. Dan syukurnya, pemuda kecil tak banyak protes saat ia sodorkan menu sederhana yang ia buat dengan penuh usaha. Mungkin karena setiap suapnya akan dihadiahi usapan lembut di kepala, pun apresiasi yang ia bubuhi tak kalah banyaknya dari semangkuk nasi.
Usainya, setelah habiskan makan siang dan lewati banyak konversasi di meja makan, Salazar beri pelukan hangat yang sudah ia janjikan, sertakan juga usapan-usapan lembut dan menenangkan di punggung juga surai. Memangku tubuh yang lebih kecil selagi lengan itu melingkar di sekitar lehernya. Pundak Salazar juga bermain peran, menjadi tumpuan untuk kepala yang dijatuhkan kala kantuk mulai rayapi kelopak mata si kecil dalam pelukan.
Ia tak pernah bubungkan harap akan terjadinya semua peristiwa hari ini. Tak pernah ia berharap akan pangku Wave bak anak koala yang sedang manja, tak pula berharap akan hadapi sisi lain dari teman masa kecilnya. Ia tak kuat. Perasaannya membuncah, meletup-letup saat akhirnya ia dengar Wave sebut dirinya aku dan panggil ia dengan kamu. Padahal sebelumnya juga begitu, saat mereka masih sama-sama dahulu kala sekali, saat jarak belum pisahkan mereka berdua. Namun, entah kenapa, kali ini rasanya berbeda.
Ada desiran aneh yang ia rasa, kala manisnya ucap juga kalimat yang keluar dari bilah bibir yang lebih kecil ditujukan untuk dirinya. Ia ingin asumsikan ini sebagai rasa cinta, namun, rasanya seperti ada yang salah. Ia takut dengan fakta. Ia takut mengetahui bahwa ia pikul rasa itu sendirian, tanpa orang kedua.
Gerakan kecil dari pemuda dalam pelukan lantas buat matanya yang sempat terpejam kembali terbuka. Tangannya yang sempat terhenti beri usapan, kini kembali bekerja, tak ingin pemuda kecil terganggu tidurnya.
“Usapnya jangan berhenti...”
Ah, ia beri protesan.
“Iya, ini diusap lagi.”
Namun, tiba-tiba Wave tegakkan diri, lepaskan kalungan lengan pada leher Salazar. “Aku mau tiduran di kasur aja.”
“Kenapa?”
“Takut, nanti paha kamu kesemutan.”
Pemuda tinggi beri ulasan, “Gak apa-apa, semut gak bakal berani deketin, kok.” Padahal aslinya, paha itu sudah kram dan mati rasa. Namun, pemuda kecil kukuh, lantas langsung tarik diri dari pelukan sang pemuda tinggi.
Selimutnya ditarik untuk kemudian tutupi sebagian diri, kembali pejamkan mata; berusaha temui kembali alam bawah sadarnya. Sedang yang di sana masih sandarkan diri di kepala kasur milik yang tengah tidur, merekam bagaimana pemuda kecil rebahkan diri dengan posisi menghadap tempatnya duduk sekarang.
Lengan, paha, dan dada yang sempat beri dekapan masih sisakan panas, pun degup jantung yang tak normal itu masih bekerja layaknya dipacu dengan kencang. Ia benar-benar tengah jatuh, ya? Jatuh pada teman masa kecilnya. Jatuh cinta, namanya, kalau ia tak salah duga.
Tumblr media
Lembayung senja diluar sana datang mengintip dari celah jendela, kala si pemilik kamar masih pulas dalam tidurnya. Nyawa lain di dalam sana lantas sigap tutup jendela juga tirai untuk halau jingga yang berniat bangunkan pemuda yang masih terbaring di atas kasurnya.
Tak ia sadari sudah seharian ia berada di kediaman Wave, temani putra tunggal Hansen yang tengah sakit. Sampai pukul lima sore pun, sang wanita yang titipkan anaknya pada dirinya belum juga pulang ke rumah, kiranya masih sibuk dengan jam kerjanya.
Setelah cukup lama rekam langit jingga di luar sana, kini matanya beralih pada satu kardus berukuran sedang yang ditaruh di atas meja belajar. Ia bukan orang yang kepoan, namun melihat kardus dengan untaian kata berbunyi “memori kita” di atasnya, buat ia dilanda jutaan ton rasa penasaran. Lantas tanpa pikir panjang, ia dudukkan diri pada kursi, kalakian, dibukanya kotak persegi.
Ia tercekat.
Tumpukan surat dengan kertas yang menguning, juga lembar sisa kertas yang disobek asal; penuhi kotak yang ia buka dengan tangan yang bergetar. Ia temukan beberapa bungkus permen warna-warni di dalam sana, juga satu permen cincin yang masih terbungkus plastik bening.
Diambilnya sebagian surat. Tertulis namanya di sana, dengan alamat rumah yang hanya tertera; Australia. Kalakian, dengan tergesa jemarinya buka amplop yang bungkus satu lembar kertas kekuningan. Terukir banyak kalimat di atas sana, dibubuhkan melalui tinta hitam dengan tulisan tangan tak terlalu rapi. Entah tahun berapa surat ini dibuat, namun yang pasti, itu adalah saat mereka dipisah dengan jarak tiga ribu kilometer lebih.
Tumblr media Tumblr media
Ia sejenak berhenti usai buka dua surat yang secara garis besar, isinya pertanyakan kapan ia kembali. Atur napas yang semakin tak karuan. Ia mana tahu. Ia mana tahu teman masa kecilnya itu juga buatkan ia surat, namun tak pernah dikirim ke tujuan. Ia tak pernah terpikir untuk beri alamat rumahnya di negeri kanguru kala ia pamit pada Wave waktu itu. Ia mana tahu, kepindahannya akan bangkitkan berjuta rasa rindu.
Ia tak pernah tahu, mereka pikul perasaan itu dengan jarak beribu-ribu.
Jemarinya kembali bergerak, sentuh surat-surat lain di dalam sana, dan berakhir ambil dua amplop yang kemudian ia buka. Tulisan di atas lembar kertas itu cukup berbeda dari surat-surat sebelumnya; yang dua ini jauh lebih rapi. Jauh lebih banyak pula kalimat yang ditorehkan di atas sana.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Tangisnya tumpah. Tak tertampung, usai ia baca dua surat terakhir. Ia bagai disiksa. Penyesalan serang dirinya bersama sesak yang berburu.
Ia menyesal tak banyak usaha untuk bisa hubungi Wave saat mereka berpisah, menyesal hanya kalut dalam pikiran buruk bahwa Wave tak menginginkan ia dan pertemanan mereka. Ia menyesal tak cari cara dan malah berpasrah kala kewarasannya hampir dibunuh oleh rasa rindu.
Sesenggukan ia menangis, selagi tangan genggam lembar surat yang hampir basah oleh air mata. Fakta bahwa perkataan Simon tentang Wave, surat, dan puisi-puisinya ternyata benar adanya. Ia seperti menggila, menyesali semuanya, padahal segala sesuatu sekarang sudah baik-baik saja. Namun, ada sisi dalam dirinya yang belum bisa ia maafkan, sebab pernah abaikan Wave dan percaya pada pikiran buruknya.
“Umh, Salaz...”
Rengekan halus itu berasal dari pemuda yang baru saja terjaga dari tidurnya. Menyingkap selimut, lantas tegakkan diri selagi punggung tangan usap mata yang agaknya bengkak usai tidur berjam-jam. Ia berdiri, hampiri Salazar yang duduk belakangi tempat tidurnya. Kalakian, ia berhenti, membeku beberapa sekon usai mata tangkap pemuda tinggi tengah tangisi isi kotak persegi. Sebelum akhirnya, dengan sigap ia sambar kotak serta surat-surat di dalam genggaman Salazar, marah atas lancangnya pemuda itu sentuh sesuatu yang tak seharusnya ia tahu.
Tubuhnya gemetar. Tanpa sadar, ia cengkram surat-surat itu hingga kertasnya berantakan. Ia benar-benar lupa untuk singkirkan kotak itu dari tempat yang mungkin akan tertangkap pandangan Salazar. Ia tak tahu kenapa dirinya setakut ini, ia tak mengerti sama sekali.
“Kenapa diambil? Kamu takut aku baca surat-suratnya?”
Salazar berdiri di hadapan Wave, sisa tangisnya masih ada, pipinya yang basah dibiarkan begitu saja. “Aku udah baca setengahnya.”
Pemuda kecil menengadah, tatap wajah kacau pemuda tinggi. Ia tak tahu, tapi dirinya kesal. “Lu lancang!”
Yang lebih tinggi agaknya tak mengerti kala tatapan tajam miliknya ia lempar, ada nyawa lain yang merasa diintimidasi. Ia tiba-tiba ikut kesal, sesak yang berkali-kali hantam dadanya tak dipedulikan, ia tak bisa kendalikan semua perasaan yang serang dirinya hari ini.
“Kenapa gak kirim semua surat itu ke aku? Kenapa disimpan buat diri sendiri?”
“Alamat lu aja gue gak punya, gimana bisa kirim surat ke lu!”
Ia usap wajahnya dengan kasar, “then at least, biarin aku baca semua suratnya.”
“Enggak!”
Tangan pemuda tinggi terangkat, dengan lancangnya raih kotak dalam dekapan Wave, namun sang pemilik lebih dulu beri dorongan agar ia menjauh.
“Lu tuh sadar gak sih, Sal? Selama ini lu gak pernah usaha buat hubungin gue. Lu gak pernah kirim surat ke gue, padahal lu jelas tau alamat rumah ini.”
“Kata siapa?! Kata siapa gue gak pernah usaha?!” Bentakan itu akhirnya lolos juga. Kiranya, ia benar-benar kesulitan untuk kendalikan semua perasaan yang membuncah.
“Gue selalu coba buat kirim surat ke lu, tapi Papa gak suka. Dia selalu berusaha buat ganti alamatnya, dan akhirnya surat-surat gue gak pernah sampe. Gue udah usaha selama ini, Wave! Gue udah coba cari lu lewat sosmed. Facebook, instagram, twitter, di semua platform udah pernah gue cari, tapi akun lu gak ada! Terus lu masih salahin gue juga?! Kalo lu mau komunikasi kita lancar waktu itu, seharusnya lu juga usaha buat hubungin gue lewat apapun. Tapi ternyata lu, enggak, kan? Usaha lu cuma sampe nulis surat doang!”
BUGH!
Wave daratkan pukulan, tepat pada tulang pipi Salazar. Buat kewarasan pemuda tinggi terkumpul kembali setelah beberapa sekon menghilang. Buat ia tersadar telah bentak dan teriaki Wave hingga buat pemuda itu menangis.
“Lu gak ngerti..! Lu gak pernah tau apa aja yang gue lewati selama ini!”
Perasaan Salazar mencelos. Melihat bagaimana Wave menangis karena perkataannya; hal yang tak akan pernah bisa dimaafkan oleh dirinya sendiri. Ia bak orang gila, diselimuti amarah atas rasa sesal yang dirasa, dan dengan bodohnya ia malah limpahkan semuanya kepada pemuda yang presensinya sungguh ia jaga untuk tak lagi dibuat terluka.
Ia sungguh sudah gila.
“It was all my fault. Aku gak bermaksud buat bentak-bentak kamu, Wave, maaf...” Ditangkupnya pipi berisi itu, diberi usapan lembut kala pemuda kecil ingin berontak. Tatapan keduanya bertemu, bersabung lama dengan sisa-sisa bulir jernih di ujung mata. Sebelum akhirnya pemuda tinggi muntahkan untaian bunyi bahasa dengan sangat lembutnya.
“Aku emang gak pernah tau semuanya, Wave, aku clueless soal semuanya semenjak kita pisah. Aku pengen tau semuanya dari sudut pandang kamu, aku pengen tau apa yang bikin kita gak pernah bisa komunikasi selama enam tahun itu.”
Pemuda kecil tak beri protesan, kiranya usapan di pipi itu berhasil tenangkannya yang juga sempat dikuasai amarah tak berarti.
“So, please, tell me everything. Aku perlu tau, aku gak mau kita terus-terusan salah paham. Ceritain semuanya, ya? Pelan-pelan aja. Apapun itu, aku gak akan hakimi kamu.”
Lantas kala pemuda di hadapannya beri anggukan, ia ulas senyuman, sertakan usapan lembut di pipi pemuda kecil. Kembali beri nyawa atas hilangnya sejenak akal sehat mereka berdua.
0 notes
hellomelodynia · 3 months
Text
Tumblr media Tumblr media
Semua ini berawal dari konversasi soal jadwal kajian. Aku nanya ke dia biasanya kalo kajian yang rutin ada di daerah mana. Dia bilang di sini sini, itu dan itu. Aku bilang aja kalo aku mau keluar rumah lagi setelah sekian lama jiaakh wkwkwkw. Pengen liat dunia luar lagi, hirup udara luar lagi. Tercetuslah, buat main ke rumah dia. Jujur aku terharu, di kehidupan era ini, aku berusaha paham orang-orang yang ngga nerima tamu di rumahnya. Dan dia justru ngundang aku, nangis dah tuh karena akhirnya dari sekian banyak orang yang aku kenal, ada dia yang rumahnya bersedia aku datengin hehehhe. Alhamdulillah.
Aku jadwalin, nyari tanggal. Menuju hari H, aku riset (?) nyari tau rute transpostasi umum arah rumah dia. Setelah dia kasih tau, aku nontonin vlog soal stasiun MRT dan LRT. Aku anggarin dana buat sehari itu keluar rumah. Ngisi saldo KMT, saldo ojol, uang makan, dll. Ga mau aku sebut semua buat apa aja wkwkwk.
Hari itu cerah setelah sehari sebelumnya hujan dan mendung seharian. Alhamdulillah aku senyum terus. Beneran berasa ringan banget perasaanku.
Sepanjang perjalanan, melewati jalan yang udah pernah aku lewati, ingatanku selalu kembali ke masa lampau. "oh dulu aku pernah naik angkot dari sini", "oh dulu aku pernah janjian sama temen deket situ", dan kejadian-kejadian lainnnya. terasa hangat. dan aku suka dengan perasaan semacam itu.
Fisik boleh cape karena seharian di luar rumah dan interaksi sama orang. tapi karena dia bukan sekedar "orang", aku merasa nyaman dan tenang. dia adalah teman yang alhamdulillah masih Allah hadirkan buat aku (?). terima kasih atas undanganya, terima kasih atas jamuannya, terima kasih udah hidup dengan baik dan bahagia. Im happy for your happiness. bahagia terus yaah, sehat-sehat buat kamu dan keluarga.
Sepulang dari sana, balik lagi bersama kesepianku heheheh. hanya keheningan yang menyambutku di rumah. aku tersenyum singkat, menyadari kalau hari cerahku sudah selesai. selamat malam kehidupanku. sampai jumpa besok.
0 notes
lautberaksara · 4 months
Text
ー lebih jauh tentang laut.
Tumblr media
bagai lautan yang menyimpan misteri, kira-kira begitulah kalimat yang dapat mendeskripsikan aksara laut. namun, jangan risau karena sebagian darinya akan kita bedah dalam narasi ini.
namanya aksara laut, kalau dalam kbbi, aksara berarti huruf atau sistem tanda grafis yang digunakan untuk berkomunikasi. maka dari itu melalui pribadi aksara laut, ia ingin berkomunikasi menggunakan tanda yang disebut cinta dengan orang-orang yang disayang. dengan presensinya, laut berharap bisa setidaknya mengurangi sedikit kesepian yang sedang melanda yang terkasih.
laut merupakan seorang gender fluid, yang berarti ia bisa menjadi salah satu dari kedua gender. laut juga merupakan bagian dari komunitas queer, jadi bagi si kasih yang juga teman sesama komunitas jangan khawatir. laut adalah tempat yang aman dan nyaman bagi semua orang.
bagaimana kepribadian laut?
pribadi yang supel dan mudah akrab dengan cepat. handal dalam membangun dan mempertahankan konversasi agar tetap menyenangkan nan nyaman. selain itu, laut sedikit jahil dan senang mengirim meme atau stiker jelek saat bertukar pesan. sedikit spoiler, laut hampir 80% introvert jadi jangan heran kalau ia lebih senang mengumpulkan energinya saat sendiri.
laut adalah orang yang ekspresif dan bawel. cita-citanya membuat orang-orang di sekitarnya nyaman dengan presensi yang ia bawa. maka dari itu laut senang ketika seseorang memujinya bahwa ia mudah didekati atau approachable.
meskipun begitu, kadang kesibukan laut membuat energinya merosot dengan tajam. sehingga diharapkan pengertian dari yang tercinta kalau laut lebih condong terhadap relasi yang low-maintenance. namun tentu saja sebisa mungkin laut akan menemani dan membalas dengan cepat, agar si kasih tidak menahan rindu yang membuncah.
cara laut mencinta?
cinta laut sejatinya adalah cinta yang hangat dan lembut. memelukmu saat sepi dan yang selama ini kamu cari. laut senang memberi banyak afirmasi positif kala si kasih sedang gundah. tidak terlalu suka banyak pertengkaran, tapi tidak masalah dengan kejahilan-kejahilan kecil.
laut senang apabila yang terkasih ingin mencoba salah satu trope dengannya, entah itu childhood friends to lovers, best friends to lovers, lovey-dovey, hingga backstreet ataupun hts sekalipun. namun sayang sekali, laut kurang pandai dan kurang nyaman dalam trope seperti love-hate atau enemies to lovers.
cinta laut seperti deburan ombak yang menggelitik telapak kaki, sederhana dan penuh tawa. ia percaya jika yang terkasih banyak tertawa saat bersamanya, maka tugasnya untuk menemanimu tuntas sudah.
laut sangat menjunjung tinggi waktu yang berkualitas dalam relasi romantik atau platonik. karena menurutnya yang terkasih berhak diberi waktu untuk merasa dirayakan.
setelah membaca deskripsi singkat mengenai laut, apakah kalian bersedia untuk membangun cerita-cerita baru bersamanya?
laut dalam berbagai rupa
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
berbagai rupa dari laut
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
summerin12 · 4 months
Text
Tentang lelaki hampir gila, Jeremiah.
Sore itu di persimpangan jalan, kulihat samar lelaki dengan langkah yang elegan. Seolah semesta berada dalam genggaman. Sosoknya sederhana, pesonanya luar biasa. Sore itu, aku si lelaki yang sedang menggila, merasa bahagia karena telah temukan dunianya. Sore itu, persimpangan jalan menjadi titik temu, antara lelaki gila ini dengan dunianya.
Hari kedua di persimpangan, kali ini sedikit berbeda. Hari ini si lelaki gila ini bertekad menjalin konversasi, pun menggali informasi. Kakinya melangkah pasti, mendekati si elegan yang sedang sendiri. Sekon demi sekon berlalu, bait konversasi pun terjalin. Seiring langkah dua jiwa yang kini menjadi teman. Haha, Lelaki gila ini senang. Akhirnya ia dapatkan nama si elegan. Arjuna, Si elegan yang ia temui di persimpangan. Hari demi hari, mereka kian rapat, dekat. Bak bulan dan matahari, keduanya bersinar. Membuat iri jiwa-jiwa sekitar. Sayang, definisi rapat bagi sekitar berbeda dengan definisi rapat bagi keduanya.
Hubungan itu perlu kejelasan, maka disini Jeremiah beri kejelasan. Untuk dia, si elegan. Tidak riuh, tidak ramai. Hanya mereka, terduduk di tepi sungai. Dengan tangan yang menggengam dan mulut yang utarakan rasa. Malam itu saat menyatunya dua jiwa yang sama, keduanya abai sejenak pada norma. Hanya peduli pada bahagia. Jeremiah, si lelaki yang menggila ini hanya peduli pada Arjuna, si elegan yang ia temui di persimpangan.
Filsuf berkata, jangan bermain dengan semesta, apalagi mencoba sembunyi darinya. Karena semesta punya cara untuk ungkap segala rahasia. Layaknya dua anak adam yang sama terdiamnya dibawah kuasa semesta. Keduanya hilang harapan, mati keyakinan. Entah, segalanya terasa salah. Padahal mereka hanya mencinta, bukan meminta semesta bertekuk pada mereka.
Sang filsuf menambahkan, Semesta itu pandai bercanda dan suka membolak-balik keadaan. Di detik 44 sedang saling menggenggam, kemudian di detik 58 keduanya harus berpisah jalan. Arjuna dan Jeremiah, keduanya sedang dipermainkan. Yang semula baik-baik saja, akhirnya harus hancur di bawah kuasa semesta.
0 notes
Text
Aku mencari kamu disela hening dan syahdu malam, namun kau tak kunjung datang
Aku mencari kamu di antara ramai suara mesin tik dan konversasi formalitas figur di sekitarku, namun tak juga kudapati wujudmu ada
Aku mencari kamu di desau angin dan dingin sisa hujan semalam, tak jua kudengar sapamu
Aku terus mencarimu, menerka-nerka kapan tiba waktunya kau kujumpai lagi,
Meski jelas kutahu dimana ragamu kini,
Tentu saja tidak disini.
Serakah kah aku jika masih mengingini hadirmu mengiringi?
Tidak banyak, aku tidak akan menuntut yang lain
Tapi mungkin, inginku terlalu besar, ya?
Tak apa,
Aku paham.
Semoga kita bisa ketemu di lain waktu.
0 notes
kisah-lara · 8 months
Text
SISTEM
wajib diaplikasikan saat misi utama berlangsung, sistem pertarungan di sini mengadopsi dari Reverse 1999 dan TTRPG FATE dengan menggunakan 4 dadu sebagai wadah. masing-masing karakter mendapat 3 refresher.
( BNTR DLU )
strength (STR)​
menentukan seberapa kuat karakter kalian jika menilik dari segi fisik. semakin besar total poin yang diberi, maka semakin besar pula dampak serangan yang diberikan maupun intensitas berat suatu benda yang bisa dipikul. umum bila karakter yang merupakan petarung jarak dekat memiliki poin/modifier besar disini.
dexterity (DEX)
menentukan kelincahan, presisi, dan keseimbangan suatu karakter dari segi fisik. beberapa fokus yang bisa diterapkan adalah seberapa tangkas karakter mampu menghindar dari serangan maupun jebakan, pun, bisa digunakan jika karakter kalian merupakan petarung jarak jauh; biasa memiliki jumlah poin/modifier banyak disini
constitution (CONS)
menentukan seberapa besar resistansi karakter dalam menerima suatu serangan maupun apapun, baik itu fisik dan magis. resistansi ini mempengaruhi jumlah maksimal HP karakter.  terkhusus untuk karakter yang dibuat tidak memiliki rupa fisik/makhluk hidup, maka poin/modifier minimalnya adalah +1.
intelligence (INT)
menentukan seberapa banyak kapasitas informasi yang bisa diserap dan dipahami. karakter yang memiliki poin/modifier yang banyak disini biasanya memiliki proses berpikir secara logis yang tinggi, mengetahui ragam fakta tentang banyak hal, dan handal dalam teka-teki maupun serupanya. dalam keadaan bertarung, berguna pada karakter menggunakan magis elemental dan yang mendekati.
wisdom (WIS)
menentukan seberapa banyak pemahaman suatu karakter dengan keadaan di sekitarnya. karakter dengan jumlah poin/modifier yang besar disini umumnya memiliki intuisi, daya tanggap, maupun empati tinggi, sampai membaca bahasa tubuh. dalam keadaan bertarung, digunakan untuk karakter yang handal untuk mendukung performa dalam bertarung sekutu, hingga melakukan konversasi pada hewan, dan bertahan hidup. 
charisma (CHA)
menentukan seberapa mampu karakter kalian berinteraksi dengan efektif pada orang lain dengan percaya diri. karakter dengan jumlah poin/modifier tinggi disini umumnya memiliki presensi yang menyenangkan ketika bercengkrama secara sosial dalam perseorangan maupun khalayak umum, mampu mengelabui orang, bahkan sampai untuk hal sederhana serupa menarik perhatian. bisa digunakan pada karakter yang tipikal bertarungnya memakai kemampuan yang berhubungan dengan pikiran seperti telepati, hipnotis, dan membaca pikiran.
TIPE KARAKTER
venator
tipe karakter ini lebih mengutamakan serangan yang kuat saat menyerang musuh, baik dari dekat maupun jauh. walau pun kemampuan bertahan jauh lebih kurang, namun beberapa karakter dengan venator sebagai cara bertarungnya biasa memiliki tubuh yang gesit, pun, tidak sedikit yang mampu mendukung performa bertarung. pada umumnya, karakteristik yang sesuai untuk tipe karakter ini adalah sebagai berikut:​
  ◈┊  jika karakter memiliki dominan serangan yang kuat dengan kemampuan fisiknya maupun memakai senjata, baik secara jarak dekat maupun jauh, jumlah poin/modifier statistik karakter terbesar terdapat pada  STR.    ◈┊  jika karakter memiliki dominan serangan yang kuat dengan kemampuan magisnya, baik secara jarak dekat maupun jauh, jumlah poin/modifier statistik karakter terbesar terdapat pada INT. walau pun, memakai acuan dari kisah masing-masing karakter, statistik CHA dan WIS bisa dipakai.   ◈┊   salah satu ciri khas karakter tipe ini adalah memiliki tubuh yang lincah dan gesit. Maka, umumnya jumlah DEX (yang juga digunakan untuk melakukan serangan menggunakan senjata/alat) tergolong tinggi.   ◈┊   diperbolehkan adanya variasi lain, asalkan tidak melenceng dari klasifikasi karakter yang ditujukan.
extinguo
tipe karakter extinguo ini memiliki persamaan dengan grup sebelumnya dalam melakukan serangan tinggi kepada musuh, bagaimanapun jarak mereka. hanya saja, kemampuan utama mereka juga dapat dinilai dari resistansi yang kuat bila musuh menyerang. bahkan, bisa pula melakukan aggro (menarik perhatian musuh) dalam pertarungan. beberapa ciri lain dapat dilihat di bawah ini:
  ◈┊  jika karakter memiliki dominan pertahanan yang kuat dengan kemampuan fisiknya maupun memakai senjata, baik secara jarak dekat maupun jauh, jumlah poin/modifier statistik karakter terbesar terdapat pada CONS.    ◈┊  jika karakter memiliki dominan pertahanan yang kuat dengan kemampuan magisnya, baik secara jarak dekat maupun jauh, jumlah poin/modifier statistik terbesar terdapat pada INT/WIS/CHA.   ◈┊  salah satu ciri khas karakter adalah memiliki kemampuan menyerang dan bertahan yang baik. INT/WIS/CHA.   ◈┊  diperbolehkan adanya variasi lain, asalkan tidak melenceng dari klasifikasi karakter yang ditujukan.
​​
auxillium
​tipe karakter ini merupakan karakter yang bertujuan untuk mendukung performa dalam bertarung. bisa meningkatkan performa bertarung kawan, maupun menurunkan performa milik lawan. umumnya memakai kekuatan magis dan serupanya, walau jika memakai kemampuan lain, bisa
CARA BERTARUNG
y bentar y bihun bngt
0 notes
lamyaasfaraini · 5 months
Text
Day 20 - What makes you laugh every time you see/hear/think about it?
30 days gratitude challenge
Waduuuh apayah? Yang kepikiran saat ini kayanya yg bikin aku ketawa kalo pas liat/denger/mikirin itu series Friends deh kayanya. Secara udah di rewatch brp kali, jadi saat liat atau nonton ya pasti ketawa lah, ataupun cuma denger doang konversasi humor2 the gengs, atau tiba2 mikirin eps tertentu yg lucu ya bikinku at least senyum2 sih yaa. Kalo nonton baru deh tuh ketawa wkwk.
Melihat candaan suami dan anak juga sih hiburan bgt, ada aja tingkah laku mereka tuh tiap harinya. Yg ngga diduga2 bikin ketawa weeeh. Kirain ibuknya doang yg kek pelawak, anak ayahnya jg bodorannya ada bgt yah. Walapun tetep paling lucu sih ibu yaa. Eey~
Persepupuan yg sefrekuensi itu sih bukan skedar ketawa lg bisa sampe bengek. Cuma di grup chat aja dah lucu mreka tuh. Apalagi kalo ngobrol lsg tanpa gangguan bocil2, bengek dan gigi garing saking ketawa mulu.
Kengkawan2 juga, saking udah jrg jadi lupa mreka tuh lucu2 bgt wkwk. Jaman kuliah udah terdebest kalo ngumpul saling hina adalah saling sayang, saling ejek adalah lucu aja gt. Kita gabisa menunjukkan kasih sayang yg saling memuji satu sama lain bikin geli deh ah, tp dgn mulut jahanam kita saling menyayangi wkwkwk tobaaattttt
3 notes · View notes
meratsaki · 8 months
Text
DIKOYAK REALITA
Gelanggang sandiwara Barmawi Larang dan Praduta Sadajiwa tahun 2033.
‘Tak seperti biasa, Barmawi Larang pulang tepat waktu dengan segala urusan pekerjaan sudah diselesaikan lebih dulu. Merasa bahwa hari ini begitu melelahkan bahkan ia tidak bisa fokus pada banyak hal.
Belum lagi, Mama acapkali agih teror pesan padanya. Buat ia betul-betul muak sendiri. Rasa-rasanya jika ditunda terus menerus akan semakin gencar teror pesan padanya.
Pun, ia sendiri sudah lejar menangisi realita. Rebah jimpa di atas resbang dan biarkan penat itu hilang dengan sendirinya. Sebelum melanjutkan istirahat sejenak ini, ia akan mengirimkan pesan kepada suaminya.
𝙒𝙃𝘼𝙏𝙎𝘼𝙋𝙋 : Suamiku.
— Online ( @drunkardazed )
: Sayang.
: Kamu pulang apa nggak?
━─────────┈
Lelah. Pekerjaan Praduta di hari itu terasa jauh lebih melelahkan dari biasanya. 𝘔𝘦𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨, 𝘱𝘩𝘰𝘵𝘰𝘴𝘩𝘰𝘰𝘵, kembali 𝘮𝘦𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨, sampai dengan 𝘧𝘪𝘭𝘮 𝘴𝘩𝘰𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 yang menjadi penutup hari kerjanya.
Yang diinginkannya saat itu hanya satu, pulang kepada Barmawi. Barmawi Larang, istrinya tersayang. Memikirkannya saja sudah membuat Praduta tersenyum sendiri, tidak peduli mendapat tatapan aneh dari 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘨𝘦𝘳-nya, yang pasti sudah tahu apa yang ada di kepalanya.
Sebelum mendengar komentar tidak berguna dari sang 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘨𝘦𝘳, Praduta keluarkan gawainya, hendak menelepon Barmawi yang pasti sedang menunggunya untuk pulang. Namun, sesaat sebelum melakukan panggilan tersebut, terlihat pesan yang baru saja masuk dari sang istri.
𝙒𝙃𝘼𝙏𝙎𝘼𝙋𝙋 : Istriku.
— Online ( @Meratsaki )
: Ini sedang dalam perjalanan pulang.
: Ada apa, sayang?
: Tumben, kamu tanya begini.
━─────────┈
Rehat singkat ini agaknya sudah tercukupi begitu pesan masuk dari suami. Nihil raut bahagia manakala bersamai pesan masuk dari Ibu mertua. Memang pesan dari orang tua Praduta acap ia abaikan sebab tengah sibuk dengan pekerjaan.
Namun, vibrasi gawai agaknya jadi mengganggu untuknya. Lagi-lagi, ia memilih abai dengan pesan tersebut dan Mawi sudah kepalang hafal maksud dari sang ibu mertua, yakni 𝘬𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘮𝘰𝘮𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯?
Barmawi alami tekanan dari berbagai arah. Belum lagi dengan ia yang menyimpan rahasia besar selama berbulan-bulan. Senantiasa ia masih ingin menyimpan itu dengan sendiri.
𝙒𝙃𝘼𝙏𝙎𝘼𝙋𝙋 : Suamiku.
— Online
: Nggak apa-apa, sayang.
: Aku mau berduaan sama kamu.
Sejatinya, maksud daripada pesan ia adalah ingin berbicara dengan @drunkardazed. Boleh jadi, akan menggiring konversasi mengarah yang agak sensitif dan jarang ia singgung juga. Daripada memikirkan terus, ada baiknya ia bebersih diri dulu.
━─────────┈
Balasan dari sang istri buat Praduta senang bukan main. Jarang sekali Barmawi bertingkah sejujur itu dan Praduta sangat menyukainya. Biasanya, sang istri seperti itu saat Praduta harus bekerja di luar kota atau bahkan luar negeri.
Sebentar. Benar juga. Ada yang sedikit aneh dari pesan tersebut. Apa Barmawi memang hanya sedang merindukan Praduta atau ada hal yang mengganggu pikirannya sehingga membuatnya bertingkah seperti itu?
𝙒𝙃𝘼𝙏𝙎𝘼𝙋𝙋 : Istriku.
— Online
: Sekitar 30 menit lagi sampai.
: Tunggu aku, ya, sayang?
: Aku sayang kamu.
Ah, mungkin hanya pikiran Praduta saja yang terlalu jauh. Harinya memang begitu melelahkan. Ingin sekali ia berpikir seperti itu, rapi tetap saja hatinya yang gelisah tidak dapat berbohong. Praduta tidak sabar untuk memastikan sendiri bagaimana keadaan istrinya.
Praduta menatap sang 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘨𝘦𝘳 yang duduk di bangku depan. "Bro, agak ngebut sedikit, ya. Darurat." Sang 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘨𝘦𝘳 tidak berkata banyak dan hanya mengiyakan permintaan sang aktor. Semoga @Meratsaki baik-baik saja.
━─────────┈
Bahkan, manakala mandi saja ia banyak memikirkan apa yang harus diucapkan nanti. Memang untuk yang ini jauh lebih berhati-hati musabab Mawi tidak ingin menjadi 𝘣𝘰𝘰𝘮𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨️️ ️️untuk diri sendiri.
Mendaratkan jisim di sofa lagi sembari intip adakah balasan pesan dari Praduta. Rupa-rupanya ada dan pesan itu datang sudah dari beberapa menit lalu. Tidak lama lagi akan segera tiba.
Ada sejumput sesal hinggap sudah mengirim pesan demikian. Kepulangan Praduta kali ini membuat ia betul-betul kelesah. Sampai ia hilir-mudik ‘ntah minum air atau sekadar keliling.
Kelesah itu acap mengoyak perlahan, namun ia berusaha tenang. Pun degup jantung serasa ingin keluar. Sungguh @drunkardazed, jangan tiba lebih cepat dari perkiraan. Ia belum ada kesiapan.
━─────────┈
0 notes
putudani · 2 years
Text
Masih jelas banget ingatan konversasi tentang rencana Ibukota Negara baru sama konsultan (background planologi) orang sini pas lagi workshop di Balikpapan.
A: Semoga Kalbar yang kepilih jadi lokasi baru
B: Iya soalnya kan ada rencana pemekaran blablabla blibli (kagak jelas)
Saya: Kayaknya ngga mungkin deh bu, soalnya kita liat aja di Balikpapan secara infrastrukturnya lebih maju. Kaltim lebih rame.
Bukan lulusan planologi, cukup pake logika sehat😛
0 notes
anarawata · 2 years
Text
Germa Kalengka.
⠀⠀ ⠀
Tersebutlah dengan nama yang melekat, Germa Kalengka. Si mahasiswa biasa yang kerap habiskan waktu istirahat di kantin dengan bakwan dan es teh sebagai menu andalan yang hadir di atas meja.
Germa menduga hidupnya hanyalah satu kesatuan dari kata monoton, yang aktivitasnya selalu berulang itu dan itu saja. Seolah tak mengizinkan barang baru sedetikpun hadir.
Untuk perkara asmara layaknya kawan sebaya pun rupanya belum ada hinggap dalam isi kepala. Saat ini tengah sibuk memikirkan bagaimana caranya lulus tanpa bersinggungan dengan yang namanya skripsi.
Ia pun kerap menghabiskan waktu lengang bersama ketiga kawan dengan nasib yang serupa di salah satu pondok tempat mereka melabuhkan tempat berkumpul bersama.
Apabila telah tiba di kediaman, ia seolah menggilir sistematisasi personalitas yang sebelumnya berada pada SIM 1 ke SIM 2. Menjadi sosok yang pendiam dan irit bicara. Bukan apa-apa, ia hanya malas untuk sekedar buka suara apabila bertemu wanita setengah paruh baya, yaitu Mama. Hanya suara dari denting sendok yang beradu yang tertangkap dan napas dari kedua sosok yang berbeda generasi tersebut.
Entah mulai kapan, atau mungkin bisa dikatakan sedari kepergian sang ayah membuat hubungan keduanya mulai bercelah dan kini seolah tengah terjadi perang dingin. Baik dari keduanya pun belum ada yang hendak merintis percakapan.
Canggung dan mencekam yang memayungi apalagi keduanya berada dalam satu ruangan. Kendati demikian, baik Germa ataupun sang Ibu tetap bubuh satu atau dua konversasi walau dapat balasan tak sejalan dengan apa yang ada di dalam minda.
⠀⠀ ⠀
⠀⠀ ⠀
Tumblr media
⠀⠀ ⠀
⠀⠀ ⠀
Nama Lengkap: Germa Kalengka
Panggilan: Germa
Tempat Lahir: Cipayung, Jakarta Timur
Tanggal Lahir: 20 April 2001
Tinggi Berat: 178 cm
Berat Badan: 59 kg
Golongan Darah: AB Rhesus positif
Pekerjaan: Mahasiswa
Kewarganegaraan: Indonesia
⠀⠀ ⠀
⠀⠀ ⠀
0 notes
jaemirani · 5 months
Text
Tumblr media
“Lu berhak tau.”
Salazar tak mengerti kenapa ia harus menuruti kemauan Simon untuk berjumpa siang ini di jam istirahat kedua. Namun di sinilah ia sekarang, berdiri menghadap Simon yang tengah bersandar pada tembok gudang dengan jarak dua meter di depan. Lelaki itu menegakkan kepalanya kala Salazar berhasil pijakkan kaki di sana.
Salazar hanya ingin tahu apa yang akan Simon bahas mengenai Wave kepada dirinya, juga sesuatu apa yang akan Simon berikan padanya seperti yang lelaki itu janjikan dalam pesannya. Dan Salazar berharap kali ini Simon serius alih-alih menantangnya untuk kembali bertengkar.
“Lu mau bahas apa?”
Bahasa bernada dingin itu lantas mengudara, buat lawan bicara di depan sana menoleh, kemudian tegakkan tubuh menghadap ke arahnya.
“Lu sampe sekarang belum inget sama Wave?”
Pertanyaan itu kemudian menjadi pembuka konversasi mereka. Salazar yang ditanya lempar tatapan pada sepasang manik jelaga milik Simon di depan sana, selaras dahinya yang mengkerut curiga.
“Tau soal ini dari Wave juga?”
“Dari base. Lu famous bahkan dari pertama lu pindah, dari sana juga gue tau kalo lu amnesia.”
Oh, benar juga. Salazar lupa bahwa dirinya pernah menghebohkan beberapa siswa kala dirinya pertama kali pindah ke sini. Ia ingat ada beberapa anak yang membahas soal amnesia-nya dan kejadian beberapa bulan silam.
“Terus kenapa kemaren lu ributin soal Wave ke gue, kalo lu tau gue amnesia dan sama sekali gak inget sama Wave?”
Tatapan Salazar berubah tajam, seiring mulut lantunkan bahasa bernada sinis yang ditujukan untuk satu-satunya manusia di sana selain dirinya.
“Gue gak ada niatan jahat ke Wave sampe lu harus ikut campur kayak gini. I became friends with him again because I like how excited he is when he talks to me, that's all. Tapi lu kayak gini seolah lu gak suka gue temenan lagi sama dia, padahal lu gak ada hak larang Wave buat temenan sama siapa aja.”
Rahang Simon mengeras usai rentet panjang itu mengudara, lantas menghujam dadanya. “Gue bukannya gak suka, gue cuma kesel liat lu perlakuin Wave seenaknya. Gue gak suka liat Wave dibikin nangis sama orang kayak lu.”
Kerutan samar pada dahi Salazar kini kembali muncul, memberi isyarat bahwa lelaki itu lagi-lagi kebingungan. Dan ternyata Simon berhasil tangkap ekspresi itu.
“Waktu lu sama Wave ribut di koridor kemaren sore itu, gue ada di sana sama Harrol. Gue liat Wave pulang sambil nangis.”
Salazar bungkam. Ia mulai mengerti kenapa Simon menerornya akhir-akhir ini. Ia tahu, tak seharusnya ia lontarkan tiap kalimat jelek itu kepada Wave hingga buat Simon dan Harrol harus turun tangan hadapi sikapnya yang mungkin kurang ajar sudah lewati batasan.
“Sekarang jujur-jujuran aja, dah, Sal, apa alasan gue segininya ikut campur urusan lu sama Wave.” Simon beringsut dari tempatnya berdiri, hampiri Salazar yang berdiri belakangi sinar matahari.
Netra keduanya bertemu, saling lempar tatap tajam layaknya musuh, sebelum akhirnya Simon ambil tarikan napas, lantas kembali berucap.
“Gue suka sama Wave as a brother. Dia udah gue anggap kayak adik sendiri. And even though gue sama dia udah gak sedeket dulu, tapi gue masih peduli sama dia, asal lu tau.”
“Waktu gue bilang Wave suka cerita soal lu ke gue itu, gue sama sekali gak bohong. He likes to tell little things about you. Lu sukanya apa, lu sering ngapain aja, lu sama dia suka main di mana, lu pernah ngomong gini, lu pernah ngomong gitu—semuanya pernah Wave ceritain ke gue.”
Ada jeda di sana. Salazar tak menyela, diam dengarkan tiap bunyi bahasa yang keluar dari mulut lelaki di depannya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lantas saat Simon usai atur napasnya yang mulai terasa berat, ia kembali lanjutkan kalimatnya yang belum sepenuhnya selesai.
“Kalo lu ngira semua cerita itu sisi jelek yang lu punya, lu salah besar, Sal. Wave itu terlalu memuja sosok Salaz yang dia kenal dari TK. Dia masih anggap lu temen deketnya bahkan setelah lu pindah bertahun-tahun lalu tanpa ngasih kabar sama sekali ke dia.”
“Dan setelah gue ketemu lu—yang selama ini cuma gue denger dari cerita-cerita Wave dulu—gue akhirnya tau kalo lu ternyata gak beda jauh dari temen-temen bangsatnya itu.”
Gigi Salazar bergemeretak, tak senang kala kata bangsat meluncur dari bilah bibir Simon yang ditujukan untuk labeli dirinya. Namun belum sempat dirinya menyela, lelaki di depannya kembali luncurkan kata.
“Lu gak berhak dapet perlakuan istimewa dari Wave sampe harus dibikinin puisi satu buku penuh.”
Dan kalimat terakhir itu ternyata sukses buat pening tiba-tiba mendera. Tiap rentet kalimat yang sudah Salazar rangkai sedemikian rupa lantas kembali ia telan dengan paksa. Satu fakta yang diucap tanpa jeda buat ia kehilangan seluruh fokusnya.
“Wave bikin puisi buat gue?”
“Iya. Dan dia gak pernah izinin orang lain buat baca puisinya. Gue cuma tau kalo dia suka bikin puisi tiap kali dia kangen sama lu. He said it had become a habit for him, mungkin karena dia udah lakuin itu dari bulan pertama lu pindah ke Australia.”
Sial, kenapa ia harus rasakan semua perasaan ini dalam satu waktu? Rasa kesal, ingin marah, kemudian sedih, lantas dibuat kembali merasa bersalah. Simon sukses bangkitkan perasaan emosional dalam dirinya yang sudah lama hilang entah ke mana.
Namun, kala bibir lagi-lagi ingin bersuara, nyaring suara bel tanda berakhirnya istirahat kedua menggema sampai ke tempat di mana mereka berpijak sekarang.
Kalakian Simon maju, keluarkan sesuatu dari dalam saku. Kertas lembaran buku yang tampak sudah lapuk kekuningan—yang bentuknya seperti amplop kecil itu—lantas disodorkannya tepat di dada kiri Salazar dengan sedikit dorongan, buat Salazar cengkram kertas itu tanpa ragu.
“Itu mungkin satu dari banyaknya kata-kata yang Wave tulis buat lu. Niatnya pengen gue buang atas perintah Wave waktu itu, tapi kayaknya lu berhak tau. Biar lu sadar kalo dari dulu sampe sekarang, Wave selalu nungguin lu.”
Setelahnya lelaki itu beranjak pergi, tinggalkan Salazar dengan tangan yang genggam kertas kecil itu dengan kencang. Buat Salazar membeku dengan mata yang memanas tatap amplop dari bekas halaman buku itu.
0 notes
oddscribbles · 2 years
Text
harun and puan — harun suka merokok.
pukul sepuluh pagi, aku mampir pada toserba untuk membeli kopi sebab rasanya kelas sebentar lagi dimulai tapi kantukku justru datang untuk merusak konsentrasi yang sudah aku bangun selama berjam-jam. dan di sana, aku melihat harun membuka pintu dengan langkah tergesa-gesa.
“mbak, marlboro merah satu.”
harun suka merokok. atau itu hanya hipotesa karena aku baru melihatnya pertama kali membeli barang yang berisi nikotin tersebut. pandangannya terlihat gusar dan—terlihat tidak baik-baik saja.
selepas mengambil dua roti dengan isian coklat dan keju, lalu sekaleng kopi pada mesin pendingin yang berjejer, aku membuat langkah menuju kasir. tepat di belakang harun yang sedang menunggu jumlah dari satu bungkus rokok dan satu buah korek api. seakan peka dengan eksistensi seseorang, harun menengok ke belakang.
“beli itu aja, puan?”
“iya, run. buat ganjel perut.” aku tersenyum maklum. ia kemudian berbalik untuk membayar kemudian berjalan keluar.
aku pun tidak ambil pusing. membayar belanjaan kemudian keluar dari minimarket. berencana untuk kembali ke kelas lalu mempelajari mata kuliah yang akan dilaksanakan sekitar tiga puluh menit lagi.
rupanya harun masih di sana. berdiri di samping pintu masuk sembari menatap sepatu converse berwarna biru muda tersebut.
“run. nunggu siapa?” terdengar bodoh dan sangat tidak jelas sebab aku dan harun hanya bertukar sapa terhitung dua kali. selebihnya aku hanya tidak sengaja saling menatap saat di kantin atau pada parkiran fakultas saat kami kebetulan mengambil motor bersama.
“nunggu kamu, puan.”
aku rasa akan sangat wajar jika ekspresi wajahku menampakkan keterkejutan.
“oh, aku bisa bantu apa ya. atau ada sesuatu yang ingin disampaikan?”
harun tersenyum kecil. “habis ini ke kos atau kampus?”
“kampus. bentar lagi ada kelas.”
“bentaran banget?”
“tiga puluh menitan. ada apa sih? aku penasaran banget.”
“mau nebeng boleh?” 
seingatku harun tadi pagi membawa motor, berboncengan dengan temannya yang memiliki gaya berpakaian yang sangat khas dan terlihat keren dimataku. kenapa sekarang tiba-tiba ingin menebeng dengan aku yang berbeda kelas dengannya. perlu dicatat, aku dan harun tidak sedekat itu. memikirkannya saja, buatku bertanya lagi dengan diri sendiri. haruskah? harun masih menjadi orang baru. tapi mengingat jarak kampus dengan minimarket buatku menganggukkan kepala dengan ragu. jika memang skenario paling buruk terjadi, aku bisa melawan dengan benda-benda khusus yang aku gantung pada tas punggungku.
udara pukul sepuluh pagi memang selalu menjadi waktu yang paling menyenangkan untuk dihirup. terlebih harun menjalankan motor dengan pelan, sehingga menikmati suasana jalan raya yang lumayan lengang buatku merasa bahwa kebebasan serasa bisa digenggam.
harun kemudian turun dari motorku setelah memarkirkan dengan baik di depan gedung fakultas. dengan cepat aku mengikutinya sebab harun terlihat sedikit mencurigakan.
aku sampai pada lantai teratas fakultas, yang dimana hanya ada lelaki itu di sana. merokok sembari membaca buku antropologi yang ditulis oleh koentjaraningrat.
mengetahui kehadiranku, harun menutup bukunya kemudian memberi tatapan bertanya begitu melihatkus berdiri tidak jauh dengannya yang membawa satu plastik berisi satu kaleng kopi dan dua buah roti.
akan sangat aneh jika aku meninggalkannya dengan pemikiran yang bertanya-tanya. maka aku pun mendekat dengan langkah pelan dan ragu.
“ngapain di sini, puan? bukannya bentar lagi ada kelas.”
“kamu belum ... berterima kasih?”
harun menepuk pelan keningnya, mendengar gurauanku sepertinya ia bawa dengan serius. sebab setelahnya dia mengucapkan kata terima kasih dengan begitu tulus, bahkan dia ... menawarkan aku sebatang rokok sebagai balas budi, katanya.
“aku udah berhenti merokok, run. tadi juga becanda aja kok, haha.”
tidak ada konversasi setelahnya. aku pun sibuk dengan makanan dan minuman yang sebelumnya sudah kutawarkan pada harun yang kembali fokus dengan kebudayaan yang ditulis secara rinci pada buku yang cukup tebal itu.
terlintas untuk mengajak harun berbicara namun ada sesuatu yang menahan, mungkin karena aku takut mengganggu harun yang tengah fokus membaca dan menghisap sigaret yang mulai habis itu.
“tanya aja, puan. aku akan jawab sebisanya.”
harun dengan kepekaannya terhadap sekitar acap kali buatku merinding. dia sebegitu cepat memahami situasi. dari sini, aku sudah bisa menyimpulkan bahwa dia senang dengan hal mengobservasi lawan bicaranya.
“oh maaf ... aku bingung aja. tadi, pas kamu beli rokok, kamu keliatan—gimana ya bilangnya. agak, gusar? i was just curious ... thats it, hehe.”
harun mematikan rokoknya, kemudian ia menaruh buku yang dibacanya pada tas selempang yang sedari tadi ia pakai. atensinya penuh terhadap pertanyaanku. lantas ia tersenyum kecil, menampilkan kerutan kecil di area matanya.
“merokok bukan suatu hal yang lumrah bagi keluargaku puan. faktanya, bunda tidak terlalu suka aku merokok. tapi mau gimana lagi, kalau sedang gugup atau terlalu bahagia akan sesuatu, rokok adalah satu-satunya hal yang bisa buat kepalaku yang tadinya berisik jadi lebih tenang dan teratur. pemikiran tentang gagal atau pun menang kadang-kadang bikin suara-suara di sini, pengang sekali.” harun menunjuk kepalanya yang dia ketuk pelan sembari bercerita.
“tapi bukan saat itu aja. kalau lagi kumpul sama teman, jadi lupa waktu dan tindakan. tau-tau satu bungkus bisa habis karena asik obrolin tentang keadaan negara, pelajaran, atau sekedar siapa lawan main futsal tiap akhir pekan.”
aku mengangguk pelan. mencoba mencerna kembali cerita panjang lebar yang sebetulnya masih belum bisa menjawab pertanyaanku.
“aku gugup karena presentasi di kelas nanti, materinya belum aku kuasai, puan.”
harun akhirnya memuntahkan apa yang menjadi alasannya merokok dan menjawab pertanyaanku. merasa tidak enak hati sebab terlalu kepo dengan masalah orang lain.
“katamu, kamu sudah berhenti merokok. berarti dulu kamu pernah, puan?”
aku pun mengangguk dengan cepat. “dulu saat masih smp, aku tergiur sebab ayah yang selalu merokok. aku penasaran bagaimana rasanya. sampai aku mulai kecanduan dengan rokok. orang-orang di sekitarku mulai mencemooh. katanya, aku bukan perempuan baik-baik dan segala macam perkataan yang jelek sekali untuk didengar. masuk sma, ibu tahu kalau aku merokok. beliau bilang, bukan masalah stigma masyarakat buatnya khawatir, tapi aku disuruh pelan-pelan untuk berhenti karena takut aku sakit. dengerin hal itu buatku mau berusaha buat berhenti, karena ibu mau liat aku tumbuh dewasa tanpa sakit-sakitan.”
harun menyimak setiap perkataanku. dia lalu mengambil bungkusan rokok pada saku kemejanya, lantas mematahkan sekitar lima batang rokok yang buatku membelalakkan mata. dia hanya menyisakan dua batang saja.
“satu buat nanti malam, satu lagi kalo lagi stress. aku juga mau tumbuh dewasa tanpa sakit-sakitan. biar bisa hidup lebih lama sama ayah bunda. dan siapa tahu, bisa ketemu sama kamu lagi, puan.”
1 note · View note