Tumgik
#anak haram di mata negara lol
selamat-linting · 1 year
Text
okay so, im trying to make my birth certificate and. i just found out today that im legally a bastard son. my parents only get married four months after im born. well, technically they did get married before im conceived but, only in the religious sense. their marriage is not registered by law until im in the picture. which is i guess normal in western society, but im not from the us. out of wedlock kids are still kind of stigmatized.
2 notes · View notes
littlegirloverthere · 7 years
Text
Kita (dulu) Pemimpi Ulung. Bagian I
Lama saya tidak membuka instagram, mungkin sekitar 10 harian karena saat itu lagi healing pikiran dan batin, lebay. Ternyata hidup tanpa intagram tidak enak juga, terasa amat hambar. Kalau ada yang bisa membuat hidup lebih asyik, kenapa malah saya buat hambar? Memang bodoh.
Okelah, saya menyerah dari puasa IG. Saya buka dan pandangi lagi tampilan IG yang penuh dengan manusia - manusia yang haus akan perhatian. Iya saya katakan pehatian karena banyak manusia jaman sekarang dan mungkin saya termasuk, memaksakan untuk mempertontonkan sesuatu di sosial media agar dipandang wow oleh orang lain. Jika ada yang membaca saya menulis seperti ini, mungkin ada yang berkata ‘’kamu hanya iri’’ atau ‘’kamu pasti iri’’ dan orang yang ‘’iri’’ pasti tidak bahagia.  Hmm.. mungkin. Itukan yang dikatan oleh Schopenheur, filsuf Jerman yang selalu kecewa. Menurut Schopenheur, karena tidak bahagia manusia tidak tahan melihat seseorang yang dianggapnya bahagia. Tapi tidak ah, saya tidak separah itu juga. Sudah saya baca the happiness project, dimana menurut Gretchen Rubin bertindak saja seperti yang kita inginkan, maka itulah yang akan terjadi. Jadi saya bertindak saja seolah – olah bahagia, maka jadilah bahagia. Untuk sekarang, kebahagian saya mulai terbentuk lagi . Hehe
Saya tidak ingin berbicara tentang kebahagiaan saat ini, nanti  pembentukan kebahagiaan saya malah rusak. Saya ingin sedikit menceritakan tentang kisah gadis – gadis kecil dari antah berantah yang mimpinya tidak  mampu dijangkau oleh alat pengukur ketinggian manapun. Asik. Ini tentang saya dan kawan seperjuangan saya, namanya Mut.
Sebelum melangkah lebih jauh, mungkin baiknya saya memberikan sedikit definisi apa itu teman seperjuangan. Tidak perlu membuka KBBI, saya telah merumuskan sendiri definisi itu. menurut saya, teman seperjuangan  adalah seorang yang mampu menerima dan mendukung segala kegilaanmu dan yang terpenting, orang itu bersedia untuk berjuang bersama dalam meraih mimpi.  Teman seperjuangan itu lebih dari sahabat, ia juga pendukung, pendebat sekaligus penentang, semualah dicangkup secara simultan.    
Jadi saya memiliki teman seperjuangan yang bernama Mut, yang saya temui di bangku SMK. Saya datang dari SMP yang isinya anak – anak ‘’berandalan’’ sedangkan dia berasal dari SMP yang kurang lebih sama, berandalan juga. Lucu yah, lulusan SMP berandalan justru masuk ke SMK Perbankan.. Syariah. Kalau untuk mut, okelah dia cocok di perbankan syariah, karena pada dasarnya ia memiliki dasar pengetahuan tentang syariat Islam dan ia pun pintar Matematika. Mut menempuh pendidikan dasar di Madura, itulah sebabnya ia memiliki dasar agama yang cukup. Sedang untuk saya, sejak SD Matematika sudah menjadi momok dan pengetahuan tentang syariat islam pun bisa dikatakan nihil.   Saya hanya tahu bahwa bunga itu riba,tapi saya sendiri juga kurang tahu mengapa bisa seperti itu. Lalu kenpaa memilih masuk SMK Perbankan Syariah kalau tidak tahu apapun? Sederhana saja, saya menuruti keinginan orang tua. Mereka, khususnya bapak saya, menginginkan anaknya yang keras kepala ini untuk  bekerja dikantor. Oh ayahanda tercinta, maafkan lah karena bekerja di kantor itu definitely not my cup of tea. Saya agak risih diatur – atur dan suka mengomentari (bagian negatif) seorang yang memiliki kedudukan. Hal tersebut jelas sangat buruk bagi perkembangan karier seorang karyawan yang ‘’baik dan teladan’’. Mengapa saya bisa tahu bahwa kantor bukanlah temapat yang cocok untuk saya? Saat PKL telah saya rasakan tidak enaknya duduk berjam - jam dari jam setengah 9 sampai jam 4 sore. Kebiasaan saya yang suka membatin sendiri  saat melihat seorang kepala kantor cabang perusahaan asuransi negara itu hanya duduk di ruangan nya dengan minum kopi, ngemil dan nonton tv itu membuat saya agak jengkel. 
**
saya dan Mut mulai berkawan sat SMK. Kami adalah teman sekelas namun tidak begitu akrab ditahun pertama, bisasa saja.  Pada tahun kedua lah perkawanan kami mulai intens dan mulai memperbincangkan banyak hal. Seperti yang telah saya katakan, Mut ini adalah seorang yang pintar dalam pelajaran Matematika. Kalau boleh jujur, saya sebenarnya lebih memilih belajar matermatika dari dia ketimbang guru matematika saat SMK dulu. Bagaimana yah, guru MTK saat menjabarkan rumus itu sangat sulit untuk saya tangkap dan saya malu untuk mengaku tidak paham. Lebih baik belajar dari Mut saja, jikalau tidak paham saya minta dia untuk mengulang penjelasan lagi, lagi, dan lagi. Sorry Mut, lol.
Selain menjadi ‘’guru’’ matematika saya, Mut pun jadi sumber pencerahan saya saat ujian MTK. Maksudnya pencerahan disini adalah sumber contekan. Ngaku saja, misalkan ada 100 ujian MTK yang telah dilaksanakan sepanjang SMK, mungkin 80 – 85% nya saya nyontek.  Tidak mencontek sepenuhnya, namun misalkan ada 5 soal MTK yang diujikan, mungkin 2 jawaban dari soal MTK itu saya peroleh dengan cara haram. Untungya Mut bukanlah teman yang suka tiba – tiba conge saat ujian, jadi selamat lah nilai MTK saya walau pas – pasan.
Pernah suatu ketika, nilai ujian MTK saya anjlok parah dibanding kebanyakan teman kelas lainya. Saya dan teman sekelas lain sumber contekan MTK nya sama, dari Mut dan Rosi namun hanya saya yang anjloknya parah. Maka saya bertanya ‘’Mut kok nilaiku rendah betul yah, iniloh sumber contekan nya sama dengan anak – anak yang lain’’.
Kata Mut ‘’Mungkin bu okta tahu itu bukan hasil aslimu fit’’.
Beh, rasanya tiba – tiba setan langsung merasuki jiwa saya. Terjadilah dendam yang membara, dalam hati saya membatin ‘’oh ok, tunggu aja aku akan lebih hebat dari kamu!’’. Guru saya gituin, parah memang saya. selepas itu, jarang lagi saya mencontek saat ujian MTK. Sebelum ujian nasional, hampir tiap sore saya latihan soal MTK.  Dan percaya atau tidak, ujian nasional pun saya tidak mencontek, itu murni hasil jerih payah saya. Bagaimana hasilnya? Hebat, lima koma sekian. Hebat memang.
Sekarang saya sudah tidak lagi menyimpan dendam terhadap Guru MTK di SMK, bahkan saya berterima kasih untuk nilai rendah itu. Jika menghadap ke belakang, saya dapat berbangga nilai lima koma sekian itu memang gambaran kemampuan saya. Bagus juga, jadi saya sadar tidak memiliki kemampuan dalam Matematika. Seandainya saya mendapat nilai MTK 8 atau  9 dari hasil mencontek, barangkali nilai tersebut dapat membutakan mata saya dan akhirnya menggiring pada kesalahan menentukan jurusan yang kelak kan saya ambil di  perguruan tinggi.  Bisa saja nilai itu membuat saya berpikir ‘’ah, nilai MTK ku tinggi, kuliah aku ambil FKIP Matematika atau teknik informatika aja lah’’. Jika hal tersebut terjadi, ini sama halnya seperti bunuh diri. Sudah tidak memiliki kemampuan malah ingin terjun, yah bunuh diri. Tapi ini benar, selepas saya merasa diragukan kemampuan nya, sempat terlintas di pikiran saya untuk kuliah mengambil Matematika. Terlintas sesaat, mungkin beberapa bulan.  
Di kelas 3 SMK, saya dan Mut mulai klik dalam banyak hal, terutama dalam bermimpi dan semua turunan nya. Kami sudah merancang ingin kuliah dimana dan mengambil jurusan apa. semua rencana telah kami susun dan mimpi telah digantung setinggi tingginya. Tinggi sekali, sampai silau mata saya untuk memandangi nya. Setiap kali kami (Saya dan Mut) membicarakan tentang impian dan segala macam plan dalam mewujudkan nya, orang lain yang mendengar pasti melihat kami seperti dua orang dungu bin naif. Mungkin dalam pikiran mereka ‘’ini anak dua gak tau diri’’. Telah bosan telinga saya mendengar nada – nada sumbang seperti itu. Saya memaklumi cara orang lain (teman SMK) yang melihat kami seperti manusia tidak tahu diri, mengingat mimpi itu memang terkesan keberatan, ketinggian, tidak realistis dll sebagainya untuk kondisi kami saat itu. Namanya saya dan Mut saat itu merasa telah jadi seorang ‘’Pemimpi Ulung’’ maka mendengar orang lain berbicara seperti itu kami biasa saja. Justru kami yang memandang mereka aneh, seperti manusia yang tidak punya dorongan hidup. Kami pikir, siapa sih yang mau hidup biasa saja? kalau harus realistis mending tidak perlu bermimpi. Justu bermimpi lah yang tinggi, yang katanya tidak realistis, toh mimpi itu gratis. Disitulah keindahanya bermimpi, ia memang  nampak seperti bayang – bayang namun saat terwujud jutru kitalah yang di ajak terbang melayang.  Ia mungkin tak dapat disentuh, tapi ia seperti sayap saat kaki tak mampu lagi melangkah. Mimpi itu seperti dirimu yang lain di saat dirimu yang satu telah lelah berjuang, ialah yang menjadi pendorong.  Saya pribadi merasakan adanya kekuatan positif saat bermimpi, kekuatan yang membahagiakan. Saya ingat dalam bukunya (yang saya lupa judulnya) Andrea Hirata pernah mengatakan ‘’bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi – mimpimu itu’’. Yakinlah Tuhan bersama orang – orang yang berani bermimpi besar dan berjuang keras dalam mewujudkan nya.    
Saya ingat pernah suatu ketika Mut mengatakan tak ingin menikah sampai ia sanggup mengelilingi dunia. Saya yang mendengar itu kaget juga, tidak mau menikah kalau belum mengelilingi dunia? Yakin mut?. Yang paling saya ingat adalah respon teman sekelas saya, namanya lian, kalau tidak salah dia mengatakan ‘’halah, yaudah jadi perawan tua aja kamu kalau gitu’’
Mut yang saat itu masih pemimpi ulung hanya menjawab ‘’biarin’’’.
in fact, im still working on this story.. hehe ini cerita yg belum selesai. saya publish setengah dulu. 
samarinda, 16 April 2017
0 notes