Tumgik
#Gumam
ayukarima · 1 year
Text
Jalan Yang Jauh, Jangan Lupa Pulang
Tumblr media
“Bagaimana mungkin kamu bisa membuat seseorang menemukan rumahnya, sementara dirimu masih tertatih-tatih mencari jalan pulang?", gumam-mu.
Rumah yang kamu maksud berdefinisi lebih luas. Bukan yang sekedar berbentuk bangunan maupun tanah, kan?
Tempat dimana kamu bisa merasa aman dan nyaman untuk menumpahkan segala rasa dan kejadian yang tengah menerpa.
Tenang, ada yang siap siaga menjadi telinga untuk mendengarkan ceritamu yang meluap-luap. Menyediakan pundak untukmu rehat setelah menyelesaikan senja yang penuh dengan kepenatan.
Barangkali aku mampu menjadi salah satunya? Tentu tanpa penghakiman, tanpa menempeli label hitam. Kamu—diterima seutuhnya, seapa-adanya.
Aku mencoba menelusuri isi kepalamu lewat lagu-lagu yang kamu dengarkan saat tengah malam. Lewat tulisan-tulisan manis yang kamu bagikan melalui sosial mediamu. Foto anak kecil yang kamu potret secara diam-diam. Gurat awan dan gelombang laut yang kamu simpan gambarnya dengan senang.
Melalui waktu yang tak pernah kamu ketahui, aku membaca dirimu dari dekat, dari jauh. Mendapati dirimu tangguh dan rapuh disatu waktu. Bertahan di kota asing yang berisik. Kamu menjelma menjadi sosok yang kuat dan tahan banting. Tapi, disatu waktu yang utuh, aku juga menemukan dirimu tanpa atribut kekuatan yang biasa kamu gemakan.
Kamu yang terbiasa hidup dalam guncangan dan segala ketidakpastian, kini telah menemukan satu rumah yang ramah, kamu merawat dengan hati yang penuh sampai hari ini. Ia hidup dan tumbuh dengan baik, sama sepertimu.
01 April 2023 II 00.20
206 notes · View notes
miftahulfikri · 1 year
Text
Perempuan Yang Kau Patahkan Hatinya Itu.. Tuhan Titipkan Padaku
Aku memang datang di episode kehidupannya yang kesekian dalam angka. Terlambat melindunginya dari sergapan patah hati paling fatal yang tak pernah kuduga, sebab ia datang padaku dengan sembab dan serak yang paling sunyi di dunia. Tanpa banyak alinea, butuh waktu untuk membuka lapis-lapis cerita masa lalunya, yang tentu saja pada bagianmu kau robek entah sengaja atau tak sengaja. 
Kini, perempuan itu bersamaku, meluahkan peluknya yang dulu pernah pecah dan berserak dalam ruang paling hampa. Dengan setitik percaya, ia kumpulkan lagi nadi cinta yang sempat putus harap setelah ditinggalkan oleh kenangannya bersamamu yang penuh ratap. Sial, aku tak sempat meninju wajahmu. Terlalu jauh untuk kusalahkan, terlalu lama untuk kusesalkan. 
Kini, Tuhan menitipkan sosok itu padaku. Mungkin ini episode dimana cinta itu saling menguatkan, bukan? Aku pernah hancur juga, lalu membagi cerita dengannya dengan gumam penuh makna, menyiratkan hidup yang tak pernah sempurna dibelakangnya. Kupahami ternyata, cinta ternyata tak selalu soal “jatuh”, tapi juga “tumbuh” setelah patah berkali-kali. Tuhan paling tahu kenapa alasannya menitipkan perempuan ini padaku, dan aku membiarkan pula Tuhan menuntaskan balasannya atas perbuatanmu. 
Sampai bertemu di lain hari. 
180 notes · View notes
moonlitcanvas-xxv · 3 months
Text
Tumblr media
Hingga tiba masanya, harapan pada saat bintang jatuh itu bekerja dengan sepenuhnya. Sesuatu yang Ale tidak menyangka akan terjadi seperti apa yang diinginkannya.
Alrick menjadi milik Ale.
Euforia kesenangan tak berhenti mengalir dalam darah Ale. Senyuman manis tak luntur dari wajah Ale.
Mulai hari ini, Ale bisa menunjukkan kepada dunia, bahwa Alrick sudah resmi menjadi milik, seutuhnya.
"Ini benar terjadi? Semesta berpihak kembali padaku? Aku benar-benar menjadi milik Alrick?." Gumam Ale ditemani oleh gemetaran dalam sekujur tubuhnya. ( Duh, parah, kan, efek dari Alrick itu. )
"Iya, benar, bawel. Kenapa seperti terkejut sekali, sih? Giliran aku wujudkan keinginanmu malah seperti bertemu setan saja." Jawab Alrick, yang ternyata mendengar gumaman kecil itu dan merasa gemas dengan sosok di hadapannya.
"Aduh, enggak seperti itu, ish!!! Ini tuh namanya terlalu senang, tau!!! Aku cubit, ya, kamu!!!" Ale menyanggah ucapan Alrick sembari mengerucutkan bibirnya, ngambek katanya.
Mereka pun tertawa riang di bawah gemerlap langit yang dipenuhi oleh cahaya bintang-bintang.
Tumblr media
3 notes · View notes
sarasastra · 2 years
Text
Sudah berapa lama aku tak mengakrabiMu?
Ketika sajadah hanya serupa selembar kain untuk menangkap wajah, telapak tangan dan lutut yang sejajar. Rapalan doa jadi sekadar gumam, tak ikut tunduk lisan yang mengucapnya.
Hati berlari ke sana kemari padahal saat itu juga pikir ingin kewajiban segera terlaksana. Menjadi penggugur, bukan pengendur sejenak hasrat duniawi pada urusan yang lebih penting daripada segala isinya.
Dasar aku.
Manusia lalai yang ingat hanya ketika susah.
Dasar aku.
Sejauh apapun inginku soal dunia, sebagus dan sesulit apapun terjemahan takdir yang tertulis soal diriku, lama-lama tetap juga aku ingin kembali memusatkan perhatian besarku pada Pencipta.
Aku tak bisa tak acuh. Aku tak bisa menipu diri. Aku tak bisa lama-lama pergi. Aku ingin kembali khusyuk. Aku ingin kembali 'hidup'. Aku ingin mengakrabiNya lagi.
Tangerang, 20 Juni 2022
73 notes · View notes
ichakhr · 1 year
Text
Khawla
Sombrero, Januari 2016
Terpasang jelas di dinding kamarnya. Sebuah rancangan rumah mewah bergaya American style favoritenya.
Khawla, Gadis kelas tiga SMA yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas dengan cita-citanya menjadi seorang arsitek sukses dimasa yang akan datang. Ia selalu tersenyum tiap kali melihat dinding kamarnya dan juga gambar-gambar arsitektur lainnya yang disimpannya di laci meja belajar. Cita-citanya dirasa makin menguat kala Ia dinyatakan lulus dari SMA dua minggu lalu. Sejumlah jadwal tes masuk Universitas yang sudah Ia mantapkan untuk dipilih dan siap Ia jalani satu-persatu dengan setumpuk buku latihan soal yang sudah bulak-balik ia kerjakan. Ya! Khawla siap menjemput impiannya dengan sungguh-sungguh. Tak jarang Ia sampai tertidur di meja belajarnya karna tanggal ujian sebentar lagi tiba.
Pukul dua dini hari menjadi malam yang menegangkan bagi Khawla
“Khawla…. bangun. Ayo kita harus segera pergi, kemasi baju dan juga barang barangmu yang tidak ingin kau tinggalkan dirumah ini. Cepat Khawla”. Ibu Weli, Mama Khawla terlihat sibuk Manyiapkan beberapa tas.
Dengan mata setengah meram dan bingung luar biasa Khawla bangun dengan setengah nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Melihat Mamanya mengemasi barang ke tas ransel yang cukup besar.
“Mah kita mau kemana malam-malam begini aku ngantuk”
“Pssstt jangan berisik, ikuti saja apa yang Mama katakan, diluar gang sudah ada mobil yang akan menjemput kita. Secepatnya kita akan pergi dari sini. Kita tidak punya banyak waktu!”
“Aku harus bawa apa Mah? Papa kemana?”
“Mama tidak bisa jawab sekarang dimana Papamu. Pokoknya bawa apapun yang kamu ingin bawa. Tapi tinggalkan handphone dan laptop kamu disini karna kita tidak akan kembali kesini”
“Tidak mau! Ini handphone dan laptopku dan ini rumah kita kenapa kita harus pergi meninggalkan semua ini?” Ada bendungan air di mata Khawla.
“Dengar Khawla! Dengarkan Mama, semua ini bukan milik kita, kita tidak bisa tinggal disini, kita harus pergi sejauh mungkin. Kamu akan menyesal kalau kamu tidak dengarkan Mama sekarang”.
Dengan wajah panik dan tangan gemetar serta jantungnya yang ikut berdebar sangat kencang Khawla menuruti perkataan Mamanya dan mulai membereskan baju-bajunya.
Berjalan perlahan. Khawla, Mama dan kedua adiknya, Fasha yang masih berumur delapan bulan dan Hisyam berumur dua tahun  menghampiri mobil kijang hitam didepan gang agak jauh dari rumahnya, didalamya ada lelaki separuh baya memakai topi kupluk dan jaket hitam sudah siap memegang stir mobil.
Sambil melihat ke jendela Khawla menangis memandangi rumahnya yang Ia tinggali selama delapan belas tahun dengan banyak pertanyaan dibenaknya yang tak bisa Ia katakan saat ini.
••• Pelabuhan Simaya menjelang terbitnya Fajar •••
Tak sedikitpun pertanyaan Khawla terjawab, Mamanya sibuk menggendong Fasha beserta dua tas besar dan Khawla membantu menggendong Hisyam yang masih tertidur dan menggendong satu ransel besar berisi baju dan barang pribadinya. Sesekali adiknya terbangun dan menangis karna tidak nyaman. Khawla begitu lelah dengan perjalanan darat hampir empat jam dan untuk pertama kalinya menaiki kapal laut dan tidak bisa tidur karna goyangan kapal laut yang cukup kencang membuat perutnya mual dan ingin muntah. Mukanya pucat pasih tapi Ia tahan sampai di pelabuhan kota tujuan hampir duabelas jam lamanya.
Sesampainya di Pelabuhan Tarari rasanya semua isi perut Khawla keluar, pahit terasa ke seluruh mulutnya, matanya berair dan lemas sekali tapi Ia dan keluarganya harus melanjutkan perjalanan darat dengan bus ke kota tujuan.
“Ini dimana?” Gumam Khawla. Ia benar-benar asing disini dan hanya memperhatikan orang sekitar, tak sanggup bertanya-tanya lagi ke Mamanya karna energinya sudah habis diperjalanan. Ia hanya mengikuti kemana Mamanya melangkah dan baru Ia bisa tidur di bus.
••• Kota Antennae •••
Mamanya membuka kertas kecil berisikan tulisan singkat Jalan Polala IV no. 10 Kecamatan Lininam, Antennae. Mereka sampai disebuah rumah kecil berisi dua kamar, satu kamar mandi yang menyambung dengan dapur, ruang tamu kecil dan teras tanpa pagar. Amat jauh berbeda dengan rumahnya di Sombrero yang bisa dibilang dikawasan komplek mewah.
Mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, Bu Weli membuka pintu rumah kecil itu
“Ini rumah siapa Mah?” Tanyanya heran sambil celingak-celinguk kedalam rumah yang tidak berpenghuni itu.
Karna waktu sudah menunjukkan waktu tengah malam, Khawla merebahkan badannya dan meletakkan semua tasnya di lantai. Mama dan kedua adiknya masuk ke kamar depan.
Aduh! Khawla sedikit menjerit karna kasurnya yang dikira empuk sepertinya dirumahnya dahulu ternyata hanya berbahan kapuk yang cukup keras. Tapi raganya tak mampu lagi berkutik. Ia melihat ke langit-langit rumah yang kini mereka tinggali.
“Oh Tuhan… apa aku sedang bermimpi saat ini? Tolong bangunkan aku sekarang juga.
Mimpi buruk ini sudah terlalu panjang, aku ingin bangun”. Tak sadar Khawla terlelap.
••••
Suara adzan subuh berkumandang, Bu Weli membangunkan Khawla dengan nada yang sama setiap paginya.
Matanya terbuka, masih di kamar  di rumah kecil dengan plafon warna coklat mudah yang sudah sedikit berdebu.
“Jadi aku tidak mimpi yah?”
Seusai solat subuh Khawla sudah melihat situasi diluar rumah. Jarak antar rumah yang cukup jauh tak membuat Khawla khawatir karna di komplek rumah lamanya juga sesepi ini.
“Ini Mama beli kue didepan sana, sarapan dulu. Gimana perutmu sudah baik setelah mabuk laut kemarin?”
“Iya.. sudah lebih baik” Singkat padat dengan wajah yang tak bisa tersenyum ceria seperti biasanya.
“Mana senyummu yang selalu Mama lihat di pagi hari?kok….”
Khawla memegang tangan Mamanya seolah menghentikan omongannya.
“Mama fikir aku bisa tersenyum pada kondisi seperti ini? Dengan rasa bingung,takut,marah. Mama fikir aku masih bisa seperti Khawla yang biasanya?”.
Bu Weli menarik lagi tangannya yang hendak mengambil kue yang dibelinya di tukang kue keliling selepas subuh tadi. Wajah lelahnya seakan menyimpan banyak cerita rahasia.
“Khawla, Papamu bilang Ia melakukan kesalahan yang sangat besar dan harus pergi, Mama pun tidak tau yang pasti jauh dari Sembrero. Dan Papa ingin Mama, Kamu, Hisyam dan juga Fasha juga pergi jauh dari Sombrero agar kita selamat dan Papa hanya berpesan pada Mama untuk segera meninggalkan Sombrero tanpa membawa handphone dan juga laptop”.
“Memangnya Papa berbuat salah apa Mah? Kenapa Papa memilih pergi begitu saja? Kenapa Papa meninggalkan kita semua kenapaa?”.
“Mama juga tidak tahu apa yang Papamu perbuat Nak, sungguh Mama tidak tau”.
Tak percaya sama sekali hal ini terjadi padaku Kugantungkan angan dan citaku di kota Sombrero Seluruh kehidupanku ada disana. Di kota yang ku cintai itu Tapi kini ku harus menelan pahitnya roda hidup yang berputar kebawah Semua harus ku kubur dalam-dalam Dan pelan-pelan harus menerima kota asing bernama Antennae. Lalu bagaimana dengan teman-temanku? dunia ku? dan juga mimpi-mimpiku?
Tangis mereka berdua pecah diruang tamu kecil itu. Sambil menutup mulutnya rapat rapat. Tak ingin kedua adiknya terbangun karna jarak mereka ke kamar tempat adiknya tidur sangat dekat. Khawla merasakan sesak di dadanya, tak ada kata yang bisa terucap hanya tangis yang Ia tahan kuat kuat, air mata yang tak berhenti berlinang, tenggelam dalam kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapinya. Semua jadwal ujian masuk Universitas yang akan segera dijalani seakan lenyap, gambar-gambar arsitektur bangunan tertinggal dikamar bersama kenangan delapan belas tahun hidupnya di kota Sombrero. Kini yang Khawla fikirkan hanyalah bagaimana bertahan hidup di kota ini bersama Mama dan kedua adiknya yang masih kecil sedangkan mereka tak banyak membawa barang dan meninggalkan ATM.
Uang lembaran yang mereka bawa dari Sombrero tidak seberapa. Dalam kesedihan yang mendalam Khawla sudah harus putar otak bagaimana Ia bisa mencari pekerjaan di kota yang baru Ia datangi ini. Tanpa gadget semua terasa sulit, Khawla terbiasa membuka handphone dan laptopnya untuk mencari informasi, tapi kini Ia harus terbiasa tanpa hal itu.
••• Keesokan harinya •••
Mencoba ke pusat kota dengan menggunakan bus, bermodal tanya sana sini sampai juga Khawla di keramaian pusat kota Antennae, hal yang sangat Ia rindukan ketika tinggal di Sombrero dulu.
Langkah demi langkah dan matanya tak berhenti melihat ke kanan dan kiri, apakah ada yang bisa Ia kerjakan dan menghasilkan uang walau Ia tak tau punya keahlian apa. Toko demi toko Ia masuki, memastikan apakah ada lowongan pekerjaan untuknya, bahkan menjadi tukang cuci piring pun tak masalah asal Ia dan keluarganya punya uang tambahan. Sudah setengah hari lebih Khawla berjalan tanpa tau arah pasti apa yang dituju. Perutnya kelaparan dan Ia pun terpaksa berhenti di Bapak tukang siomay pinggir jalan raya, memesan satu porsi siomay tanpa pare dan kol. Sambil mengunyah dengan lahapnya, tanpa sengaja Ia mendengar percakapan dua orang disebelahnya.
“Eh kamu jadi resign kah? Kerjaan yang ini lebih cuan kan?”
“Insya Allah jadi tapi lagi cari pengganti nih, Koh Acoh mau ada pengganti dulu baru aku bisa caw dari tokonya”.
“Oh udah dapet?”
“Belum nih, sepupu ku pada gak mau, mereka juga udah pada kerja soalnya, lagian gajinya gak seberapa memang, tapi pemiliknya baik banget sebenernya walaupun cerewet hahaha”.
Mendengar sebuah informasi berharga ini tanpa fikri panjang Khawla memberanikan diri bertanya ke dua orang yang tidak Ia kenal itu.
“Permisi mba maaf kalau saya lancang, tidak sengaja mendengar percakapan mba tadi, apa mba ini masih mencari orang yang mau bekerja di toko? Kebetulan saya sedang mencari pekerjaan, berapapun upahnya saya mau. Oiya sebelumnya perkenalkan nama saya Khawla”
Kedua mba itu saling bertatapan.
“Oh iya benar saya memang lagi cari orang untuk pengganti. Kamu tinggal dimana? Kamu terlihat muda, masih kuliah yah? Saya Pia”.
Khawla menyerahkan KTP nya ke Mba Pia yang berambut pirang itu.
“Saya sudah lulus SMA tapi belum melanjutkan kuliah karna saya ingin bekerja dulu sambil mengumpulkan uang untuk daftar kuliah”.
“Oh kamu pendatang yah? belum tau banyak daerah sini dong?”
“Iya Mba saya baru saja pindah ke kota Antennae, sebelumnya saya tinggal di kota Sombrero”
“Hoo begitu, oke boleh saya minta nomor handphone mu? Nanti saya infokan kelanjutannya besok yah karna saya harus izin Koh Acoh dulu”
“Maaf handphone saya rusak dalam perjalanan ke kota ini, tapi bisa beri saya alamat tokonya saja? saya pastikan datang di waktu yang diminta besok entah saya diterima atau tidaknya tidak apa-apa saya akan datang. Khawla terpaksa berbohong mengatakan hp nya rusak.
“Hoala okelah kalau begitu, saya tuliskan alamat dan letak tokonya yah”
Setelah mendapatkan kertas berisi tulisan alamat toko sembako di pasar kamis tempat mba Pia bekerja, Khawla tersenyum sumringah sepanjang perjalanan pulang, padahal Ia belum pasti akan bekerja tapi rasanya senang sekali. Tak sabar Ia beri tahu Mamanya dirumah.
“Mah.. lihat ini salah satu toko di Pasar Kamis, besok aku datangi untuk menggantikan Mba Pia yang tadi aku jumpai di tukang siomay, semoga aku bisa diterima, lumayan kita ada uang untuk menyambung hidup.
“Alhamdulillah.. kamu tidak apa kan La?” Mamanya tau ini sangat berat untuk Khawla, sejak kecil Ia hidup berkecukupan, belum pernah mencari uang sendiri tapi Ia tau anaknya juga bukan anak yang manja jadi Ia harus yakin Khawla bisa menghadapi ini meski akan terseok-seok.
“Enggak papa Mah, aku belum tau kerjanya gimana tapi jadi penjaga toko sembako ya paling melayani pembeli gitukan ya Mah? Bisalah aku dikit dikit, aku kan jago berbicara hahaha”
“Mandi dulu sana bau asam! Hahaha nanti Mama buatkan telor ceplok setengah matang kesukaanmu yah”.
Khawla masuk ke kamarnya, dibalik pintu Ia duduk bersandar. Memijit mijit kakinya yang terasa kebas karna berjalan jauh sekali, membiarkan air matanya menetes terus menerus tapi ia pastikan tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, Ia tak mau mmebuat Mamanya sedih.
••• Di Pasar Kamis Toko Jaya Abadi •••
“Koh ini Khawla yang aku ceritakan kemarin di whatsapp, Dia pendatang, baru lulus SMA dan pengen kerja disini, gimana koh?”.
“Eh elu orang masih muda beneran mau kerja disini?”
“Iya Koh, saya siap bekerja apapun karna butuh sekali uang untuk Mama dan adik dirumah”
“Lah Bapak lu kemana emang?”
“Em…”.
Raut wajah Khawla mendadak berubah, campuran rasa sedih, kesal dan marah rasanya ingin Ia ledakkan tapi Ia sadar ini bukan tempatnya dan bukan jawaban yang tepat untuk ia utarakan saat ini.
“Sudah sudah tidak usah lu jawab gue udah bisa baca. Iya lu boleh kerja disini tapi gue coba dua minggu ya kalo lu oke nanti lanjut.
Wajah bingung sekaligus lega dirasakannya bersamaan dan tak lupa Ia pun mengucapkan terima kasih berulang kali ke Mba Pia dan juga Koh Acoh.
“Selamat ya Khawla sekarang resmi jadi anak buah Koh Acoh hahaha”.
Hari-harinya kini disibukkan dengan belajar melayani pembeli dan mencoba menghafal semua harga sembako dan bahan bahan kue di toko yang sudah cukup terkenal di kalangan orang pasar.
Benar ternyata Koh Acoh memang cerewet, si newbie ini benar-benar kelimpungan dengan semua instruksinya, cepat dan selalu penuh gelora semangat macam tak ada jeda Ia berbicara, suaranya juga kencang membuat Khawla mengalami culture shock pertamanya dan sesekali terdengar membentak, tapi tidak. Koh Acoh bukan sedang marah marah, memang nada bicaranya demikian, Khawla mulai terbiasa meski setiap pulang kerumah terasa remuk sekujur tubuh karna ia tidak ingin dinilai lambat dalam penilaian kerjanya di dua minggu pertama ini jadi Ia usahakan bisa mengikuti irama Koh Acoh dan juga pegawai yang lain.
“La, lu kagak punya hp? Kalo nanti sewaktu-waktu gue butuh tanya elu gimaa?”
“Ehm.. kan aku senin sampai sabtu setengah hari kesini koh, tenang aja hehe”
“Heh bukan gitu kalo tiba tiba lu sakit trus gak bisa berangkat kerja gimana coba?
“Tapi aku belum punya uang koh buat beli hp”
“Yaudah gini deh, nih gue ada hp agak jadul sih tapi masih bisa dipake jadi kalo ada urgent lu telfon gue yak, ini udah ada nomornya jadi lu tinggal pake”
“Wah makasih banyak koh makasih”.
“Heh tapi itu gue pinjemin bukan buat elu hak milik ya”
“Siap Koh”.
Nyaris sebulan Khawla tak memegang hp setelah Mamanya minta untuk ditinggalkan dirumah lamanya di Sombrero. Rindu sekali Khawla punya hp lagi, Ia juga rindu dengan teman-temannya, sudah lama Ia pergi tanpa kabar ke teman teman terdekatnya. Tapi ini belum waktunya untuk mellow, Ia harus kembali bekerja karna toko sedang ramai-ramainya.
                                                                       •••
“Mah, lihat aku dipinjami hp sama Koh Acoh untuk komunikasi takut tiba-tiba aku sakit dan gak bisa mengabari koh Acoh”.
Dengan cepat Mamanya mengambil hp pinjamannya itu.
“Khawla, jangan membuka komunikasi dengan siapapun di Sombrero saat ini, kembalikan saja hp ini ke bos mu”. Mamanya terlihat panik sekali.
“Mah ini cuma bisa untuk telfon dan sms aja, Khawla menariknya kembali.
lagian ini sudah diisi kartu dan nomor Koh Acoh, aku tinggal pakai saja dan ini tidak bisa untuk internet kok”.
“Oh Mama fikir... Yasudah kalau tidak urgent tidak usah dipakai, lagi pula itu hp pinjaman kan? Kalau rusak nanti kamu kena ganti loh”.
“Iya siap Ma aku simpan saja”.
Khawla terlihat menuruti permintaan Mamanya tapi nyatanya tidak, Diam-diam Ia sempat mencatat nomor teman dekatnya di Sombrero dan berniat menghubungi mereka saat di pasar nanti dan mencari tau sebenarnya apa yang terjadi pada keluarganya.
Di Sore hari koh Acoh menegur Khawla karna sejak habis makan siang tadi kerjanya tidak fokus, berkali kali pembeli harus mengulang karna Khawla tidak dengar dan ada satu pembeli yang marah-marah karna pesanannya salah terus
“La elu lagi kenapa? Tumben banget lu gak fokus, muka lu pucet begitu lu sakit?” Niat hati ingin menegur Khawla Koh Acoh malah jadi kasian karna melihat muka Khawla tiba-tiba memucat dan seperti orang linglung.
“Gapapa Koh, aku sehat kok cuma tadi tiba-tiba nge blank aja karna kepikiran sesuatu”
“Ayok fokus La fokus nanti pelanggan marah lagi ke gue karna salah mulu pesenannya”
“Iya Koh maaf ya Koh”
Satu jam selepas solat dzuhur tadi rupanya Khawla berhasil menghubungi teman dekatnya di Sombrero, Kasih. Hanya bisa berbicara sebentar saja karna waktu yang diberikan untuk solat, makan dan istirahat tidak banyak.
Selama perjalanan pulang Khawla memilih turun bus lebih jauh dari rumahnya, Ia benar-benar tidak bisa berfikir jernih karna terlalu shock mendengar berita dari Kasih tadi kalau Papanya (Pak Soebandi) diberitakan menjadi terduga kasus korupsi bernilai milyaran rupiah.
Aku memang tidak sedekat itu dengan Papa dan aku tidak tau persis pekerjaan Papa tapi aku benar-benar tidak percaya  kalau Papa melakukan hal yang melanggar hukum Apa sebab itu juga Papa ingin kita pergi jauh dari Sombrero? Apa sebab itu Mama menyembunyikan cerita ini? Mama gak mungkin gak tau kan?atau memang Mama tidak tau? Kalau Mama tau kenapa Mama gak jujur kepadaku? Lalu sekarang Papa dimana? dipenjara? atau…..
Semua pertanyaan dan kenyataan itu benar-benar membuat kepala Khawla rasanya mau pecah.
Sedih, kesal dan marah semua jadi satu di satu waktu dan tanpa sadar Ia meremas remas botol kemasan air mineral yang sudah habis dan melemparnya kearah taman pinggir jalan sambil berteriak.
“Aduuuh”. Ada suara orang dibalik pagar tanaman, botol itu tepat mengenai kepalanya, segera Khawla mendekat ke sumber suara itu.
“Heii kamu yang lempar botol ini? Sakit tau ih.. udah buang sampah sembarangan, kena kepala orang lagi, gerutu laki-laki berumur sekitar tiga tahun lebih tua dari Khawla itu sambil mengusap usap kepalanya.
“Maaf, maaf ya Mas, saya tidak sengaja, benar-benar tidak sengaja”.
Terlihat muka pucat dan linglung Khawla kala itu membuat laki-laki itu merasa iba, lagi ada masalah kali ya nih cewe, gumamnya dalam hati.
“Yaudah lain kali hati-hati Mba, oiya diambil itu sampahnya, buang ketempat sampah”.
“Iya..” tak bicara banyak segera diambilnya sampah botol itu dan pergi meninggalkan laki-laki itu.
Sesampainya dirumah Khawla kaget melihat Adiknya Hisyam sedang muntah-muntah dan Adiknya yang paling kecil, Fasha ikut menangis.
“Maaaahh Hisyam kenapa?” Tanyanya panik.
“Enggak tau tadi habis makan, tidur lalu kebangun dan bilang perutnya sakit trus begini” Mamanya bingung sekali ingin mengurusi Hisyam atau mendiamkan Fasha yang menangis kencang. Segera Khawla menggendong Hisyam dan membawanya ke UGD terdekat sambil meminumkan adiknya air dicampur garam dan gula agar tidak dehidrasi.
Setelah diperiksa dokter, ada kemungkinan Hisyam keracunan makanan karna baru saja Hisyam yang pertama makan nasi dan lauk yang Mamanya beli di warung makan tadi siang.
“Ya Allah maafin Mama nak, harusnya tadi Mama dulu yang makan jadi biar Mama aja yang keracunan bukan kamu”.
“Sudah Mah jangan menyalahkan diri sendiri begitu, insya Allah Hisyam sudah gapapa tadi kata dokter sudah diberi obat dan di infus tadi juga dokter bilang paling tidak dirawat inap dulu satu malam karna perlu observaasi lebih lanjut kalau tidak ada keluhan besok bisa pulang”.
“Syukurlah nak kamu gapapa”. Mamanya mencium kening Hisyam yang sudah tertidur sambil menggendong Fasha.
Tak tega melihat kondisi keluarganya saat ini, Khawla urun untuk menanyakan berita yang Ia dapatkan dari Kasih di Sombrero. Lebih baik aku fokus dulu untuk Hisyam cepat pulih dan balik kerumah nanti baru akan kutanyakan perihal berita Papa di Sombrero pada Mama. Oiya aku harus beri tau Koh Acoh untuk izin kerja besok.
••••
“Biar aku saja yang menjaga Hisyam di rumah sakit, aku sudah izin kerja untuk hari ini, Mama dan Fasha pulang saja kasian Fasha kalau harus ikut menginap disini lagi pula hanya satu orang yang diizinkan menginap menemani pasien, jadi biar Khawla saja ya Mah”.
“Iya.. besok pagi Mama kesini lagi ya”.
Khawla duduk di dibangku samping tempat tidur Hisyam, Ia tidak bisa jauh jauh karna adiknya masih sering menangis dan tidak betah dengan selang infus yang berada ditangannya
Suasana ruang rawat yang sepi semakin membuat isi kepala Khawla makin berkecamuk dan saat ini Ia berfikir ingin cari pekerjaan lain. Karna setiap pagi sampai sore di toko dalam pasar membuat Khawla tidak berkembang, Ia masih ingin sekali berkuliah suatu hari nanti jika uangnya sudah cukup, dan saat Ia mendapat kepastian bagaimana Papanya.
―Kita kembali ke Kota Sombrero. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah mengagendakan pemeriksaan terhadap dua mantan komisaris PT. Manouvol yakni Chiko dan Bagas pada hari ini. Chico dan Bagas dipanggil sebagai saksi kasus dugaan korupsi kegiatan penjualan dan pemasaran PT. Manouvol―
Nama PT yang tidak asing baginya, lalu Ia mendekatkan dirinya ke TV ruang rawat inap yang dipasang diatas mendekati atap. Memastikan apa yang Ia dengar dan lihat adalah benar. Selama hijrah ke kota Antennae, Khawla tidak pernah melihat siaran TV lagi karna dirumahnya sekarang mereka tidak memiliki TV dan di toko seringnya tidak dinyalakan, jadi baru saat ini Khawla melihat TV dan menonton berita lagi.
―Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SP (Soebandi Pratama,47) dan RR (Rachmat Rihardjo,45) yang saat ini masih menjadi buron. Dalam kasus ini SP dan RR diduga telah menerima aliran dana hasil pencairan pembayaran pekerjaan mitra fiktif senilai sembilan puluh tujuh milyar rupiah―
Khawla menjatuhnya dirinya ke samping tempat tidur Hisyam yang sudah tertidur, ternyata benar yang Kasih katakan kalau Papaku menjadi terduga kasus korupsi dan sekarang statusnya adalah buron. Jadi Papaku benar-benar terlibat korupsi? Dan sekarang Papa kabur entah kemana. Berarti aku anak seorang koruptor?
Khawla menutup mukanya rapat rapat sambil menangis , Ia sangat terpukul dengan berita yang baru saja Ia lihat di TV. Dirinya masih ingin percaya kalau apa yang Kasih katakan itu tidaklah benar dan Ia masih ingin tau kebenaran itu dari mulut Papanya sendiri tapi nyatanya Papanya kabur yang kemungkinan besar menandakan dirinya benar benar terlibat kasus ini.
Hancurnya sekali hatinya saat tau Papanya yang selama ini Ia hormati tega berbuat hal seperti ini. Lalu bagaimana kalau yang aku makan selama ini adalah harta haram dan sudah menjadi daging dan darah yang mengalir di tubuh ini? Tega sekali Papa pada kami. Oh Tuhan semoga engkau mengampuni dosa Papaku dan semoga Engkau mengampuni kami yang secara tidak sadar menikmati hasil pekerjaan kotor. Lelah menangis semalaman, Khawla tertidur bersandar besi tempat tidur sampai dibangunkan oleh cleaning service yang bertugas pagi ini untuk pindah ke kursi.
Setelah observasi terakhir, dokter bilang Hisyam sudah boleh pulang siang ini. Suster sudah melepaskan infusannya dan Khawla membereskan barang-barangnya ke dalam tas menunggu Bu Weli dan Fasha datang.
“Alhamdulillah yah dek kamu gak harus menginap disini, Mama sedih lihat kamu di tusuk jarum begini, yuk sekarang kita bisa pulang kerumah”. Khawla bantu dorongkan kursi roda kedepan lobby, mereka memesan taksi dekat RS.
“Kamu baik-baik saja? Semalam bisa tidur?”
“Sedikit” Jawabnya singkat.
Bu Weli melihat raut wajah anaknya yang sangat kusut tapi Ia berfikir Khawla begadang menjaga adiknya sepanjang malam. Dan mereka pun sampai di rumah. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mamanya, hingga larut malam tiba ketika dua adiknya benar benar terlelap, Khawla menarik tangannya dan mengajaknya ke teras depan dan duduk dibangku plastik warna hijau menghadap  jalanan tanpa pagar sebagai penyekat.
“Mama tau apa tentang Papa sampai detik ini? beri tau aku yang Mama ketahui dan Khawla mohon Mama jangan bohongi aku, jangan tutupi apapun dariku lagi”. Khawla mencoba menahan air matanya.
“Aku sudah tau beritanya kalau Papa tersandung kasus korupsi bernilai milyaran rupiah dan status Papa saat ini adalah buronan polisi”.
Bu Weli kaget darimana Khawla tau hal ini padahal selama pindah ke Antennae mereka tidak melihat siaran TV, hp yang dipinjamkan bosnya pun hanya bisa untuk sms dan tellfon
“Aku tau dari berita di TV  ruang rawat saat menemani Hisyam di RS semalam”. Seolah bisa menebak isi hati Mamanya.
“Kenapa Mama gak jujur sejak awal soal ini? Dan kenapa Papa harus kabur? Berarti benar Papa korupsi uang perusahaan?”.
“Maaf kalau kamu harus tau ini lebih cepat sebelum Mama memberitahumu, sama sekali tidak ingin menutupi semua ini darimu, hanya saja kalau kamu tau hal ini dari awal Mama yakin kamu pasti tidak akan mau pergi dari Sombrero”.
“Jelas aku tidak akan mau pergi dan aku juga tidak akan membiarkan Papa kabur dari masalah yang Ia buat sendiri, Papa harus bertanggung jawab dan kita juga harus membantu polisi agar Papa bisa mempertanggungjawabkan kesalahannya Mah, bukan malah kabur menjauh dari sana”.
“Tapi kita tidak membawa apapun dari sana kan nak, kita tidak bawa ATM, uang, eletronik dan apapun, kita tidak salah”.
“Tapi kita salah membiarkan Papa kabur dan kita juga salah menutupi keberadaan Papa saat ini dari tim penyidik”.
“Mama takut Papamu dipenjara, Mama juga tidak siap di cemooh semua orang disana, Mama tidak siap membesarkan kalian seorang diri dengan status istri seorang koruptor”.
“Mau sampai kapan mah? Cepat atau lambat semuanya akan terkuak, mau berapa lama Papa bersembunyi seperti ini? Mama fikir polisi akan berhenti mencari Papa dan kasus ini ditutup dengan kaburnya Papa? tidak Mah!
Bu Weli kali ini menangis sejadi jadinya, sudah lama rasanya Ia ingin meluapkan emosinya seperti ini tapi selalu ditahan karna tidak ingin Khawla dan adik-adiknya tau kalau Papanya seorang koruptor dan menjadi buron. Atas permintaan suaminya juga untuk membawa anaknya pergi jauh dari Sombrero dan memulai hidup baru dengan lingkungan baru di Antennae dan berjanji untuk tidak buka suara perihal keberadaannya. Namun bangkai tetaplah bangkai, mau di tutupi serapat apapun tetap akan tercium juga.
“Sekarang apa yang Mama harapkan dengan menyembunyikan Papa? keutuhan keluarga? yang aslinya tidak pernah utuh? keluarga kita memang terlihat seperti keluarga normal pada umumnya, bahkan mungkin orang lain melihatnya sebagai satu keluarga yang sempurna dengan kepala keluarga yang mempunyai posisi penting di perusahaan besar, berkecukupan bahkan lebih dari cukup, memiliki anak laki-laki dan perempuan. Semuanya terlihat ideal tapi sesungguhnya aku tidak merasakah se hangat itu didalamnya. Papa ya seorang orang tua, orang tua yang dihormati, pemberi segala keputusan dan memenuhi semua kebutuhan sandang pangan dan papan kita tapi apa pernah Papa tau bagaimana anak-anaknya? Kurasa tidak.
Rumah yang bukan ‘rumah’ untukku, Tak dapat lagi menahan beratnya bendungan air mata yang akhirnya dibiarkan jatuh, tak seberat kala merasakan kekecewaan yang teramat sangat pada Papanya sendiri yang sudah benar-benar menghancurkan hatinya dan juga mimpinya.
Malam ini menjadi malam yang paling mendung seumur hidupku. Aku dan Mama masih menangis di teras rumah.
••••
Sesungguhnya Khawla juga kecewa pada keputusan Mamanya yang hingga kini tak juga mau memberi taunya keberadaan Papanya tapi Ia ingin mengesampingkan sedikit masalah hidupnya saat ini mencoba untuk tidak terus berlarut dengan kesedihan yang mendalam. Khawla ingin hidup normal kembali entah bagaimana rencananya kedepan.
Khawla kembali bekerja besok pagi dan yang Ia fikirkan sekarang adalah menghidupi keluarganya dari kedua tangannya yang harus sepuluh kali lebih kuat dari sebelumnya.
―6 bulan kemudian―
Tidak seperti hari biasanya, hari ini Khawla sudah mantap memutuskan tidak lagi bekerja di toko Koh Acoh dan Ia sudah menyiapkan kata-kata pengunduran dirinya. Walau cerewetnya bukan main, tapi koh Acoh bos yang sangat baik dan dia membolehkan Khawla melamar pekerjaan lain tanpa harus mencarikan penggantinya terlebih dahulu karna koh Acoh juga merasa Khawla masih sangat muda, Ia berhak mencari pengalaman diluar sana yang lebih luas lagi. Khawla sudah memiliki cukup uang untuk membeli handphone yang sesuai dengan budgetnya saat ini, dan Ia sudah mengembalikan handphone pinjaman Koh Acoh sebelum pamitan dari toko.
Beberapa hari lalu saat Khawla sedang mengobrol dengan pegawai toko sebelah, Ia mendengar ada toko kue baru yang cukup besar, lokasinya gak jauh dari Pasar Kamis yang sedang buka lowongan pekerjaan. Khawla ingin mencoba melamar disana. Posisi yang dibutuhkan yaitu kitchen prep dan front –of-house. Khawla tertarik di front of house, selain kriteria yang dibutuhkan tak perlu sarjana, Ia juga merasa cukup cakap dalam berbicara dan pengalaman menjadi pegawai toko Jaya Abadi selama hampir setahun membuatnya belajar banyak melayani pelanggan dengan baik. Selang seminggu pengumuman calon pegawai, Khawla dipanggil untuk menjalani test kedua setelah lolos tes administrasi di toko cake and pastry tersebut, dengan semangat Ia datang dengan pakaian hitam putih ala pegawai orientasi. Ada sepuluh orang yang menjalani tes kedua yaitu praktek akan diambil dua orang.
Seminggu kemudian ternyata Khawla lulus sesuai harapannya. Hari pertama Khawla bekerja di toko kue tersebut rasanya membahagiakan sekali, selain harum dari pastry dari kitchen yang menyerbak ke seluruh bagian toko yang bahkan sejak melewati pintu masuk sudah tercium, lingkungannya yang pasti bersih dan yang paling Ia sukai adalah ketika memakai seragam Vimallya’s cake and pastry, terlihat chic dan keren sekali. Seluruh staff baru diajak berkeliling seluruh bagian toko sampai ke dalam kitchen dan office yang terletak di lantai dua untuk berkenalan dengan seluruh bagian di Vimallya dan ada yang membuat Khawla sedikit kaget ketika menyapa salah satu Specialty Chef yang wajahnya tak asing baginya tapi sama sekali tak ingat dimana mereka pernah bertemu. Ketika waktu pulang, tak sengaja Khawla bersinggungan dengan Chef tadi, ekspresi Khawla terlihat sekali memandanginya terus sambil mengerutkan alisnya lalu dengan santainya Chef itu nyeletuk.
“Gimana?masih gak inget pernah ketemu saya dimana? Masa sih gak inget pernah merasa menimpuk kepala saya dengan botol? Hahaha”.
Ah iya, Khawla baru ingat dan rasanya malu sekali karna saat itu dirinya sedang kalut.
“Saya gak sengaja kok Chef saat itu hehe”
“Hahaha iyaa santa. Inikan udah diluar kantor, gak usah panggil Chef segala, panggil aja Kafka”.
Kafka.. nama yang bagus dan tiba-tiba ada senyum ikhlas yang muncul di wajah manis Khawla.
Ah apasi kamu La baru juga kenal hahaha, gumamnya.
Hari demi hari Khawla makin terlihat makin dekat dengan Kafka lebih dari sekedar rekan kerja.
Kafka orang yang sangat humble kepada semua orang, Ia juga dikenal ramah dan sopan.. Buat Khawla, Kafka menjadi orang yang slalu bisa menghiburnya. Ada saja kelakuannya seperti bukan Chef Kafka yang Ia kenal saat bekerja, ada saja yang mereka tertawakan bersama seakan semua hal di dunia ini lucu untuk ditertawai Sebagai seorang Chef, Kafka juga tidak pelit membagi ilmunya kepada Khawla, di akhir jam kerja mereka sering menghabiskan waktu untuk praktek membuat sebuah resep baru dari sisa bahan kue yang sudah tidak dipakai dan dihitung. Bagai saling mengisi, akhirnya mereka menjalin kasih.
Atas saran Kafka juga Khawla mendaftar kuliah jurusan manajemen kuliner atau tata boga untuk jenjang karirnya lebih baik dari sekedar menjadi front-of-house di Vimallya’s cake and pastry.
Kehidupan Khawla dan keluarganya kini lebih baik, dipekerjaan yang lebih baik dan disamping orang yang berhasil menyentuh hatinya dan juga membantunya memperbaiki hidupnya yang semrawut selama dua tahun belakangan. Kepada Kafka juga Khawla menceritakan semua kisah hidupnya dan Papanya yang masih buron hingga detik ini, meski awalnya kaget tapi Kafka menerima semua masa lalu Khawla yang membuatnya justru makin kagum dengannya.
Empat tahun kemudian Khawla dinyatakan lulus sebagai Sarjana Manajemen.  Pada hari bahagia ini, Khawla membuat perayaan kecil-kecilan di suatu Caffe dengan mengajak keluarganya dan juga Kafka makan bersama.
Waiters Caffe mengantarkan pesanan sambil memberikan kartu seukuran A5 dari seseorang dengan isi pesan :
[Selamat ya Khawla kamu sudah lulus kuliah kuliner dan Papa turut bahagia atas pencapaianmu di Vimallya cake and Pastry]
“Papa?”. Khawla mematung membaca surat tersebut.
Ada sesosok laki-laki setengah abad yang berjalan mendekati meja Khawla dan keluarga.
Sungguh mengejutkan ternyata itu Pak Soebandi, Papa Khawla. Pertemuan seorang Ayah dan Istri serta anak-anaknya setelah hampir lima tahun terpisah karna keadaan.
Bu Weli sangat terkejut melihat suaminya kini ada didepan matanya dan langsung memeluk erat suami yang sangat Ia cintai dan rindukan itu. Campur marut perasaan Khawla saat ini, Ia masih diam mematung ditempatnya berdiri dari kursi.
Senang akhirnya Ia bertemu Papanya lagi setelah lima tahun berpisah dengan cara yang paling menyakitkan.
Marah mengingat beberapa tahun silam Ia, Mama dan Adiknya harus hijrah ke Antennae karna ulah Papanya sendiri dan sedih mimpi Khawla saat di Sombrero pupus walau kini Ia sudah merangkak ke mimpinya yang baru.
Sakit menahan luka yang ditorehkan Papa kandungnya sendiri.
Khawla mendekati Papanya perlahan dan Ia mengepalkan tangannya sambal menahan tangis yang pecah begitu saja.
Papanya memeluk putri pertamanya begitu erat
“Maafkan Papa nak”.
Masih menangis dipeluk Papanya, secara tiba-tiba sekelompok Polisi mengepung meja itu
“Pak Soebandi, anda kami tangkap atas dugaan kasus korupsi lima tahun silam” dan polisi langsung memborgol kedua tangannya.
“Pak.. apa ini Pak..” Pak Soebandi sangat terkejut kenapa bisa ada Polisi sebanyak ini disini dan Ia masih mencoba untuk menahan diri untuk tidak ikut ketika dua orang polisi mulai menariknya ke mobil yang berada tepat didepan Caffe itu
“Pahhh..Papaa, Pak Polisi jangan bawa suami saya”. Teriak Bu Weli histeris sambal menangis, Fasha, adik bontot Khawla yang kini berumur lima tahun ikut menangis melihat Mamanya menangis seperti itu. Hisyam memeluk Mamanya dari samping.
Khawla masih menangis sambal menunduk.
Setelah lima tahun lamanya menjadi buronan, didepan mereka semua akhirnya Pak Soebandi telah dibawa oleh pihak yang berwajib untuk mejalani proses hukum sebagaimana mestinya.
Caffe saat itu menjadi ramai karna proses penangkapan Pak Soebandi.
Kafka menggengam tangan Khawla, mencoba menguatkannya.
Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, termasuk Khawla dan Mamanya ikut dimintai keterangan oleh tim penyidik. Setelah melakukan sidang demi sidang, Hakim memutuskan bahwa Pak soebando dijatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun dan juga denda sejumlah uang. Rumah di Sombrero juga sudah disita.
Mereka semua sudah pasrah dan mencoba menguatkan satu sama lain. Mereka tetap tinggal di Antennae, dirumah sederhana itu.
Hari pertama Papanya mendekam di penjara, Pak Soebandi mendapatkan surat pertama dari Anaknya.
――
Untuk Papa yang Aku cintai, Aku tidak tau apa yang Papa rasakan saat ini. Melalui surat ini aku ingin mencurahkan seluruh hatiku kepada Papa. Yang pasti aku sangat marah, sangat sedih dan sangat kecewa atas apa yang Papa lakukan selama lima tahun ini. Kalau saja aku tau hal ini, lima tahun lalu takkan kubiarkan Papa pergi meningalkan kami dan membiarkan kami hijrah ke kota baru dan menjalani hidup disana tanpa Papa, memulai hidup dari nol yang sangat tidak mudah untuk aku jalani sebagai anak yang baru saja lulus dari sekolah menengah. Secara tidak sadar Papa juga telah menghancurkan mimpiku menjadi arsitek, aku gagal mengikuti sejumlah tes Universitas yang telah aku siapkan jauh-jauh hari. Membuatku jauh dari teman temanku di Sombrero dan menjadi orang asing di Antennae. Aku harus bekerja disini, mencari uang demi uang untuk menghidupi Mama dan kedua Adikku. Ya.. mungkin Papa sudah tau semua hal ini dari Mama kan? Tapi aku juga ingin Papa tau juga, Papa tetaplah Papaku bagaimanapun kesalahanmu dimata hukum. Papa yang aku hormati, yang telah membesarkan aku dan juga Adik-adik. Maafkan anakmu ini ya Pah, karna hanya dengan cara ini Khawla baru bisa benar-benar memaafkan Papa setulus hati Khawla dan Khawla akan mencoba ikhlas atas semua yang terjadi pada keluarga kita. Khawla akan terus melanjutkan mimpi-mipi Khawla yang baru di Antennae. Ku harap setelah ini keluarga kita makin membaik ya Pah dan bisa memetik pelajaran dari apa yang sudah kita lewati bersama. Aku ingin tidak ada lagi kebohongan didalamnya, ketidakjujuran dan ketidakterbukaan satu sama lain dikeluarga ini, Aku ingin rumah benar-benar ‘rumah’ yang hangat untukku pulang. Aku tunggu Papa sampai masa tahanan Papa berakhir, dan kita akan berkumpul kembali setelah Papa menebus semua kesalahan yang Papa perbuat. Salam sayang, Khawla Anakmu yang sudah melaporkanmu ke Polisi
――
• Flashback •
Khawla menemukan sejumlah surat dengan nama samaran, tapi Khawla tau persis itu bahasa Mama dan Papa Ketika berbicara. Jadi selama ini mereka saling bertukar kabar melalui surat surat ini? Kok aku tidak tau ya? Gumamnya sambal membaca semua surat secara cepat karna takut ketauan Mamanya.
Khawla segera mencatat alamat alamat yang tertera disitu, dan Ia segera melaporkannya ke Polisi. Tapi tidak mudah karna di semua surat tersebut ternyata ada beberapa alamat berbeda dari pengirim, mungkin Papa berpindah-pindah tempat selama ini. Akhirnya Khawla punya ide untuk memancing Papanya datang melalui Mamanya, Setelah lulus kuliah nanti Khawla ingin membuat perayaan kecil-kecilan dan ingin sekali Papanya ada disitu, dan tepat perkiraan Khawla, Mamanya menyampaikan hal itu kepada Papanya. Khawla mengatur strategi dengan tim kepolisian yang akan menangkap Papanya di Caffe yang sudah Khawla siapkan dan semua berjalan sesuai rencana.
••••
Di suatu sore yang indah di Antennae
Kafka sedang berada diruang tamu rumah Khawla dan berniat untuk melamar Khawla didepan Mamanya dan juga Adik-adiknya. Kafka mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.
“Khawla, bersediakah kamu menjadi teman yang setiap hari ada disampingku? Yang kupanggil dengan sebutan Istri?”. Kafka gugup sekali.
Khawla menengok ke Mamanya meminta persetujuannya, Mamanya mengangguk dengan penuh senyuman. Ia juga bahagia sekali Putri pertamanya sudah dilamar lelaki baik Bernama Kafka.
Yes Chef!!
Semua tawa menyertai keduanya yang insya Allah akan membina hubungan yang lebih serius lagi.
----------TAMAT------------
15 notes · View notes
awan-19 · 10 months
Text
Kapasitas
“Wah tahun baru lagi nih... perasaan baru kemarin sepertinya” gumam seorang anak muda atau boleh di sebut hampir tidak muda lagi. “Target tahun ini apa aja ya? ini sudah atau belum ya yang itu dan lain nya” isi otaknya berdialog dengan jiwanya sendiri, raut mukanya menjadi aneh karena ia mencoba mengingat lagi pencapaian nya satu tahun kebelakang hingga satu pekan ini sampai kegiatan nya kacau. Naik sepeda motor butut nya menuju tempat biasa untuk bengong sendirian dan tak lupa beli es teh manis gula satu sendok sambil lihat orang mancing ikan “sudah jalan 1/4 abad belum banyak yang bisa dilakukan, padahal mimpinya besar sekarang seperti terjebak gini” mengela nafas “atau karena kebanyak mimpim sampai lupa akan kapasitas diri”. Lalu kembali menengok hal hal kebelakang hal apa saja yang sudah dilakukan untuk menaikan kapasitasnya “benar juga mungkin kapasitas masih segini sehingga belum mampu melakukan hal besar ya setidak nya besar bukan dalam artian sempit”. menaik kan kapasita pilihan nya ada dua, pertama dengan menaikan volume untuk menampung isi baru kita atau ke dua dengan mengosongkan volume kita untuk dapat menerima isi yang baru. Kedua pilihan memang bagus namun pilihan pertama memerlukan biaya yang tinggi untuk memperbesar kapasitas sedang pilihan ke dua tidak memerlukan biaya yang tinggi. Terlepas dari itu kedua pilihan yang di pilih, niatan untuk menambah kapasitas merupakan hal yang bagus yang artinya kita mempunyai maksud untuk selalu berkembang dan berproses. 
“Hal yang harus saya garis besarkan selama ini kadang keinginan dan doa kita sangat besar padahal kapasitas kita belum sampai akan level itu, lalu kita larut dalam ego dan menyalahkan hal disekitar”
4 notes · View notes
rrabbyy · 6 months
Text
: Whenever it rains
Tumblr media
Sepatu, tas, serta pakaian Haffa kini basah kuyup karena hujan. Sengaja ia lakukan, setelah urusan di kampusnya selesai Haffa langsung berlari menerobos lebatnya hujan.
Mulai tidak tahan dengan dinginnya angin hujan, Haffa pun memutuskan untuk berteduh sebentar di halte bus terdekat.
Terus ia tatap tetesan air hujan yang tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu sebentar, hingga secara otomatis kenangan dari masa lalu mulai kembali berputar dalam otaknya. “Hujan, ya?” gumam Haffa.
Sudah 1 tahun berlalu setelah kejadian di musim hujan bulan februari lalu.
Dingin dan menyakitkan, itulah yang Haffa rasakan setiap kali mengingatnya.
~🐮🐯~
Waktu itu Yalen adalah murid pindahan di sekolah Haffa. Seolah sudah saling berjanji di kehidupan sebelumnya, Haffa dan Yalen memiliki begitu banyak kesamaan. Mulai dari orang tua mereka yang sama saling bercerai, anak tunggal, kesukaan, dan bahkan cara berpikir mereka pun sama.
Karena hal sederhana itulah mereka akhirnya bisa menjadi teman baik.
Menjalani hari-hari sebagai teman seharusnya sudah cukup bagi Haffa dan Yalen. Namun tanpa sadar keduanya mulai menginginkan hal lebih.
Haffa bagaikan musim hujan yang lembut, kehadirannya selalu membuat Yalen tenang dan merasa nyaman ketika bersamanya.
Dan seperti musim panas. Yalen anak yang manis, ceria, hangat, dan selalu penuh dengan kasih sayang.
Faktanya Haffa dan Yalen memang pasangan yang sempurna.
Begitulah, hanya dalam waktu beberapa bulan. Mereka berdua bisa saling menaruh hati kepada satu sama lain.
~~~
Awal bulan november, musim hujan pertama mereka. Haffa dan Yalen berhasil menjadi sepasang kekasih. Bagi mereka bisa selalu bersama adalah hal membahagiakan yang tidak akan bisa digantikan oleh apapun.
Namun, di musim hujan kedua mereka. Saat itu bulan februari. Ketika Haffa dan Yalen memberanikan diri untuk memberi tahu orang tua mereka tentang hubungan mereka.
Ayah Yalen bisa menerima dengan mudah, tetapi sebaliknya ibu Haffa berteriak tidak terima.
Tepat di hadapan Yalen ibu Haffa mengutarakan begitu banyak kata-kata kasar yang menyakitkan. Terutama ketika di ucapkannya dengan lantang bahwa ia sangat membenci hubungan sesama jenis.
Sesak, juga kecewa. Akan tetapi Yalen tidak bisa menyalahkan siapapun. Membuat ia hanya bisa melarikan diri, sembari menangis di kala hujan lebat Yalen berlari pergi meninggalkan Haffa dan ibunya.
Yalen terlalu kalut dengan perasaannya, hingga ia mencelakakan dirinya sendiri karena menyeberang jalan tanpa hati-hati.
Haffa yang sedari tadi mengejar Yalen dalam hitungan detik tubuhnya langsung di buat lemas, bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata saja rasanya ia sudah tidak mampu.
Mendapati sang kekasih yang sudah tergeletak bersimbah darah di ujung jalan. Kebisingan di sekitar sudah tidak dapat Haffa dengarkan lagi, hanya sebuah dengungan keras yang kini memenuhi telinganya.
Pelan-pelan Haffa hampiri Yalen yang masih dalam keadaan setengah sadar saat itu.
Puluhan kata andai memenuhi isi kepala Haffa. Andai ia tidak membawa Yalen untuk bertemu ibunya, andai ia mengejar Yalen lebih cepat, atau andai.. dari awal mereka menjadi teman baik saja tanpa meminta menjadi lebih.
Haffa menangis tiada suara, sembari mengangkat tubuh Yalen kemudian di peluknya erat. “Maaf..” sebuah kata yang di ucapkan dengan nada teramat rendah dan penuh rasa putus asa. Menjadi kata terakhir yang Haffa ucapkan untuk Yalen pada tahun itu.
~~~
Yalen selamat. Sayangnya kecelakaan membuat ingatannya tentang Haffa, bahkan tentang dirinya sendiri hilang.
Sejak itu pula lah Haffa tidak pernah muncul kehadapan Yalen lagi. Entah karena tidak ingin menyakiti Yalen, atau merasa malu karena telah gagal untuk menjaganya.
Bisa mengetahui bahwa Yalen selamat bagi Haffa itu sudah lebih dari cukup.
Hubungan mereka berakhir tanpa kata putus dan ucapan selamat tinggal. Semuanya berlalu begitu saja, bagaikan angin.
~🐮🐯~
Kembali ke masa kini.
Lelah mengenang kejadian 1 tahun lalu. Haffa beranjak niat meninggalkan halte bus, sial hujan masih tak kunjung henti membuatnya sedikit jengkel.
“Ah! Terobos aja lah” geram Haffa.
Namun sebelum Haffa melangkah, sebuah tangan menarik ujung lengan bajunya. “Nih payung.. kamu udah basah banget. Kalo tetap terobos hujan, mungkin besok bakal sakit”
Deg.. detak jantung Haffa berdetak cepat tidak karuan. Begitu mengetahui siapa orang yang saat ini menawarkannya sebuah payung, spontan Haffa memundurkan kakinya beberapa langkah.
Orang yang selama 1 tahun ini hampir setengah mati ia hindari, sekarang muncul dengan senang hati di hadapannya.
“Yalen..”
“Hm? Ngomong apa?” Yalen sedikit mendekat, karena suara hujan ia tidak dapat mendengar ucapan Haffa.
Haffa hanya bisa menunduk tanpa berani menatap ke arah Yalen. “Aku.. gak perlu payung”
“Ambil aja! Aku kasih” sambil tersenyum Yalen langsung meletakan payungnya di tangan Haffa.
“Kamu gimana?”
Yalen kembali tersenyum. “Rumah pacar aku dekat sini, bentar lagi dia jemput aku”
Haffa bernafas lega mendengar jawaban Yalen, meski sebenarnya ada sedikit rasa tidak terima di hatinya.
Perlahan Haffa mulai mengangkat kepalanya, membuat matanya dan mata Yalen kini bertemu.
Jujur saja, keinginan Haffa untuk menarik Yalen masuk ke dalam pelukannya sangatlah kuat. Rasa rindu yang ia tahan dengan lancang kembali menggerogoti hatinya. Namun dirinya adalah orang yang paling tahu jika di keadaan yang sekarang sudah sangat mustahil untuk kembali.
Haffa gigit bibir bawahnya sebentar, sebelum ia kembali berbicara.
……….
“Aku pernah jatuh cinta sama seseorang..
Ini adalah kisah cinta di musim hujan. Tapi karena aku gagal buat ngelindungin dia..
Di musim hujan itu jugalah aku kehilangan dia”
Hujan mereda, suara tetesan air hujan yang awal seperti mengamuk seketika berubah menjadi lembut.
Tangan Yalen bergerak menyentuh dadanya sendiri. Mendengar setiap kata yang Haffa ucapkan, tiba-tiba membuat dadanya seakan ingin meledak.
“Dan sekarang.. aku cuma bisa berharap supaya dia selalu bahagia. Gak perduli dengan cara apapun, gak perduli sama siapapun, asalkan itu bisa bikin dia senang.. itu artinya harapan aku udah terwujud” tutur Haffa, kemudian ia memberikan senyum terbaiknya kepada Yalen.
Meski Yalen melupakannya, setidaknya Haffa ingin memberitahu Yalen lewat senyumannya. Walau masih sedikit sulit, tapi kini dirinya sudah baik-baik saja.
“Makasih, dan.. selamat tinggal Yalen..” Haffa usap sejenak pucuk kepala Yalen, lalu berlari pergi setelahnya.
Sembari menatap kepergian Haffa, Yalen terus menepuk kuat dadanya. “Sakit..” air mata pun tanpa permisi mulai membasahi pipi Yalen.
Ia masih tidak tahu pasti apa penyebabnya. Namun Yalen percaya, jika seseorang yang barusan berbicara dengannya adalah seseorang yang pernah menjadi bagian terindah dari hidupnya.
Ketika Yalen ingin mengejar Haffa, Jerry pacarnya yang baru tiba dengan cepat menahannya. Begitu menyadari Yalen yang menangis, Jerry segera memeluknya tanpa bertanya.
Perasaan Yalen semakin acak-acakan. Ingatannya memang hilang, tapi hati tidak bisa berbohong.
Perasaan sakit kehilangan seseorang yang pernah menjadi kebahagiaan berharga, mustahil untuk di jelaskan entah dengan cara apapun.
Satu hal yang bisa Yalen lakukan sepertinya hanyalah menangis. Yalen menangis semakin keras di dalam pelukan Jerry, menangis.. dan terus menangis.
Benar.. saling merelakan adalah pilihan yang terbaik untuk keduanya. Memaafkan dan mendo’akan untuk kebahagiaan satu sama lain, begitulah seharusnya.
Hari-hari hangat yang pernah Haffa dan Yelen jalani bersama, sekarang hanya menjadi sebuah kenangan yang dingin.
Dengan mengucapkan selamat tinggal, hubungan Haffa dan Yalen telah benar berakhir.
~~~
Orang bilang cinta adalah sesuatu yang lembut, manis, dan penuh kasih sayang. Akan tetapi bagi Haffa dan Yalen nyatanya semua itu hanyalah omong kosong.
Jatuh cinta kepada seseorang, adalah sesuatu yang jauh lebih kejam dan menyakitkan.
- rra
3 notes · View notes
truegreys · 1 year
Text
Kabar dari Kamar Kecil: Bagian 1
Keputusan Besar yang Kecil
Tumblr media
“Bunda mau ke kamar kecil. Kamu tunggu di sini dulu, ya, Moy.” Kismoyo sangat ingat fragmen masa kecilnya ketika sang Bunda memintanya menunggu untuk buang air. Moy duduk dengan manis menantikan Bundanya keluar dari pintu kamar kecil. Moy tidak begitu paham maksud kamar kecil saat itu. Bunda lalu menjelaskan bahwa kamar kecil adalah sebutan ruangan untuk membuang air kecil dan besar. Moy lalu menyebut akan ke kamar besar saat ia mau buang air besar. Seketika Isma—kakak Moy—dan Bunda tertawa.
“Mana ada kamar besar?” Di sela tawa, Isma mengejek Moy. Moy tak paham mengapa kamar kecil disebut kamar kecil padahal di dalamnya orang tidak hanya melakukan hal-hal kecil, tapi juga hal besar seperti buang air besar. Beberapa tahun setelahnya, saat ia menginjak kelas 5 SD, ia baru paham bahwa sebutan kamar kecil berawal dari ruang terkecil yang ada di dalam rumah yang digunakan untuk buang air. Meski ada sebutan lain seperti WC, toilet, jamban, hingga kamar mandi, kebiasaan Bunda yang menyebut kamar kecil terus Moy pakai hingga ia beranjak dewasa.
Moy memikirkan lagi asal muasal sebutan kamar kecil di umurnya yang sudah 27 tahun. Kali ini ia menunggu orang lain untuk membuka pintu itu, pintu kamar kecil itu. Di balik pintu itu ada istrinya, Tara, yang jadwal menstruasinya telat seminggu. Tara dan Moy langsung berpikir bahwa mungkin Tara hamil. Maka, Tara langsung mengambil testpack di kotak obat. Menurut Moy, sebutan kamar kecil sudah tidak lagi tepat. Kamar kecil di rumah mereka berdua, keluarga kecilnya, bukanlah lagi ruangan terkecil. Ada gudang yang ukurannya lebih kecil dibanding kamar kecil. Lagipula, di masa kini, kamar kecil tak lagi hanya digunakan untuk buang air. Orang-orang kini menggunakan kamar kecil untuk memikirkan hal-hal penting sambil buang air besar, mencari ide, bahkan menangis. Bahkan, bisa saja di dalamnya ada urusan besar yang dapat menentukan hajat besar hidup seseorang, seperti yang Tara lakukan saat ini.
Pintu kamar kecil lalu terbuka. Tara keluar dengan paras agak murung. Moy tahu hasilnya bukanlah hasil yang ia nantikan. 
“Negatif.” Gumam Tara. Moy mengangguk lalu masuk ke kamar kecil untuk mandi dan bersiap berangkat kerja. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut Moy maupun Tara setelahnya.
Sambil mandi, Moy kembali ingat bagaimana ia dan Tara akhirnya menikah. Mereka bertemu lewat aplikasi pencari pasangan. Keduanya tak sama sekali berniat untuk mencari ikatan seserius pernikahan. Mereka hanya agak kesepian dan berada di lingkar pertemanan yang itu-itu saja–tak begitu memungkinkan untuk menjalin hubungan yang menyenangkan. Dunia yang begitu sempit ternyata mempertemukan mereka pada kebetulan-kebetulan hidup seperti fakta bahwa mereka satu universitas dan punya beberapa kenalan yang bisa membantu mereka berdua memvalidasi keberadaan satu sama lain. 
“Siapa ini cantik sekali…” Begitulah kira-kira komentar Bunda saat untuk pertama kalinya Moy mengajak Tara ke rumahnya. Entah angin apa yang membawa Moy mempertemukan Bunda dengan Tara. Moy merasa Tara adalah orang yang cocok dengannya. Moy suka dengan keberadaan Tara di hidupnya. Boleh dibilang, Tara memang pesona yang sulit ditolak. Ia berparas cantik, lemah lembut, pintar, punya wawasan yang luas (setidaknya Moy  tidak perlu sulit mencari-cari topik untuk mengobrol), juga pendengar yang baik. Bagi Moy, Tara tak bercela.
“Nunggu apa lagi? Nikah saja kalian. Lagian udah sama-sama matang, kamu udah cukup mapan, umur kalian juga umur waktu Bunda nikah sama Bapakmu.” Bunda bersikeras mendorong Moy untuk segera menikah. Meski Moy suka dengan kebersamaannya dengan Tara, ia tidak pernah sampai berpikir akan menikah. Lebih tepatnya, Moy tidak begitu yakin menikah adalah apa yang ia inginkan.
“Bunda udah bayangin Mbak Isma, kamu, sama Riris pada punya anak, terus kalau lebaran rumah jadi rame. Bunda pengen banget punya cucu banyak.” dua sampai tiga, bahkan empat kali Bunda berkata demikian kepada Moy. Moy tahu betul kalau Bunda sudah begitu, berarti perlu dan mesti terjadi. Seperti saat ia menginjak kelas sepuluh, Moy ingin masuk jurusan IPS karena sangat suka pelajaran sosiologi. Moy mengurungkan keinginannya karena berkali-kali Bunda bilang kalau jurusan IPA adalah jurusan yang paling menguntungkan karena pilihan kuliahnya akan lebih banyak (anak jurusan IPA dapat memilih jurusan sosial saat kuliah nanti, sedangkan IPS hanya bisa memilih jurusan IPS). Saat Moy lusus SMA, Moy jadi tidak begitu tahu harus memilih jurusan apa karena isi kepalanya penuh dengan materi-materi sains yang tidak mungkin ia relakan begitu saja untuk mengejar jurusan sosiologi di kampus impiannya. 
“Bunda abis ngobrol sama temen Bunda yang dosen. Katanya, ada jurusan baru di kampusnya yang prospek kerjanya bagus.” Akhirnya Moy masuk jurusan IT di salah satu kampus negeri di Bandung.  Begitulah seterusnya sampai akhirnya Moy jungkir-balik mengejar posisi dengan kualifikasi yang ia miliki di salah satu kantor BUMN yang memproduksi vaksin di Kota Bandung. 
“Enak kalau BUMN. Udah jelas dan pasti karirnya. Mirip-mirip PNS-lah tapi duitnya lebih banyak.” Bunda bicara sambil bercanda. tapi Moy tahu bahwa apa yang dikatakan Bunda adalah keputusan yang harus ia ambil. Maka, genap di hari jadi Moy dan Tara yang pertama, mereka menikah.
“Aku udah sering banget telat mens tapi bukan hamil. Kayaknya aku harus ketemu dokter, deh.” di perjalanan ke kantor akhirnya Tara memecah keheningan setelah kejadian negatifnya testpack tapi pagi. Moy langsung membunyikan klakson mobilnya karena mendapati ada motor yang tiba-tiba menyalip dari arah kiri mobilnya. Tara mengucap istigfar karena kaget. Tara sempat berpikir apakah sebenarnya suaminya membunyikan klakson sebagai ketidaksetujuan untuk periksa ke dokter? 
“Maaf, maaf…Boleh. nanti kamu coba cari dokternya mau yang mana, nanti aku coba atur jadwal kerjaku.” Moy menanggapi sambil fokus menyetir. Tara langsung membuka ponsel dan mencari dokter spesialis kandungan yang praktik di hari sabtu. Ada rasa sedikit bersalah yang dirasakannya. Tara dengan jelas melihat paras kecewa dari wajah Moy pagi itu. Dengan mengantongi rasa bersalah, Tara langsung mendaftarkan diri sambil berharap tak ada yang salah dengan dirinya.
Bersambung...
Bagian 2 baca di sini!
9 notes · View notes
juicy-moonrose · 1 year
Text
Tumblr media
Chapter [ 4 ]
2022
Rumah Letta
Letta menuruni anak tangga di rumahnya dengan terburu-buru, saat sampai di bawah dia langsung menuju dapur, dan melihat Nando sang adik, duduk di salah satu kursi pantry yang sedang sibuk dengan Laptop di hadapannya.
“Weekend gini masih sibuk sama kerjaan aja.” Gumam Letta saat melirik layar Laptop Nando yang dilayarnya seperti menampilkan bagan perusahaan, entah lah apa itu Letta tidak begitu mengerti.
“Ayah sama Bunda kemana?” Tanya Letta ketika menyadari tidak ada kehadiran kedua Orang Tuanya.
“Bunda lagi ngurusin catering, Ayah biasa habis anter Bunda main golf sama temen-temennya.” Jawab Nando.
“Mau jalan Kak?” Tanya Nando setelah melihat penampilan Letta yang super duper rapih.
“Ho’oh, kayak biasa.” Jawab Letta.
“Ohh, ngedate sama Mas Dylan?” Tanya Nando tersenyum jahil.
“Apa kata lo Dek!” Kata Letta sambil memutar kedua bola matanya, merasa jengah karena orang-orang terdekatnya selalu berkata seperti itu.
“Lo berdua itu sebenernya kayak gimana sih?” Tanya Nando penasaran. Dia jadi mengalihkan perhatiannya ke Letta, satu-satunya makhluk hidup yang paling jahil dan ga mau kalah dengan dirinya. Tapi jangan salah, Nando sangat menyayangi saudara perempuan satu-satunya ini.
“Kayak gimana apanya?” Letta sebenarnya mengerti arah pertanyaan Nando, tapi dia hanya berpura-pura tidak mengerti.
“Kalian udah temenan lama banget, masa ga ada kemajuan dalam status hubungan?” Lanjut Nando.
“Ga ada ya Nan, Gue sama Dylan cuman sahabatan—” Ucapan Letta terpotong oleh tawa dan ucapan Nando.
“Hahaha cewek-cowok sahabatan, ga mungkin salah satu dari kalian ga ada yang punya perasaan lebih dari sahabat. Apalagi kalian sahabatan udah lama banget, berapa tahun?” ucap Nando.
“Lima Tahun” Jawab Letta singkat.
“Nah!! Lima Tahun bukan waktu yang singkat. Gue sama Aira aja yang tadinya temen berantem, sekarang malah jadian.” Lanjutnya. Setelah berkata seperti itu Nando kembali ke kerjaannya dan hanya melirik Letta, melihat perubahan wajah Letta.
“Puas banget bikin Kak Letta mikir, hahaha.” Gumam Nando dalam hati.
Sebenarnya mereka berdua sama-sama jahil, semakin mereka beranjak dewasa, malah Nando yang makin sering menjahili Letta, ya contoh kecilnya seperti tadi.
Sementara itu Letta hanya terdiam dan memikirkan semua ucapan Nando, tidak lama dari itu terdengar suara mobil. Letta pun mengenali suara mobil tersebut dan beranjak dari dapur sekalian menghindari Nando yang seringkali berkata blak-blakan.
Letta pun membuka pintu kayu rumahnya, saat pintu terbuka ,dan terlihat Dylan yang sedang masuk ke pekarangan rumahnya, kemudian berjalan menuju Letta yang tiba-tiba berdiri terpaku di teras rumahnya.
***
Letta Pov. Start
“Huh Nando ngomong apa sih?” gumam Gue dalam hati.
“Tapi omongan tuh anak ada benernya juga sih. Sial! Gue jadi kepikiran!” Lanjut Gue.
Gue melihat benda cantik yang melingkar di pergelangan tangan Gue, gelang pemberian Dylan. Entah ini barang yang keberapa yang diberikan olehnya, terlalu banyak barang yang dia berikan, “Apa iya Dylan ada perasaan ke Gue? Atau justru Gue?” Gue menggeleng untuk menghilangkan pikiran yang terlintas tadi. Kemudian terdengar suara mobil dari depan rumah, suara mobil yang sangat Gue hapal.
“Dylan!” Gumam Gue senang, Gue pun melangkah keluar untuk menghampirinya, pas Gue udah sampai di pintu depan dan buka pintu, Gue ngeliat Dylan dengan kemeja putihnya yang bergaris-garis hitam berjalan ke arah Gue. Ga tau kenapa Gue jadi terpaku melihat penampilan Dylan yang seperti itu, padahal Gue udah sering ngeliat dia dengan style seperti saat ini.
“Hey, kamu kenapa? Sakit?” Suara Dylan membuyarkan lamunan sesaat Gue tadi.
“Hah— I’m ok.” Jawab Gue setelah sadar kalau Dylan sudah berdiri di hadapan Gue. “Huh! Kenapa tiba-tiba Gue jadi salting gini.” Guman Gue dalam hati.
“Mau langsung?” Tanya Gue untuk mengalihkan ke-saltingan Gue.
“Sebentar ya, mau ketemu Nando dulu. Gapapa kan, nunggu sebentar?” Kata Dylan.
“Gapapa.” Jawab Gue singkat.
Dylan melangkah masuk membelakangi Gue, tapi tiba-tiba dia berbalik dan berjalan mendekat ke Gue.
“Kamu cantik banget hari ini.” Ucap Dylan dengan senyuman khasnya, lalu dia kembali berbalik, dan melangkah menghampiri Nando yang masih ada di dapur.
Ucapan Dylan barusan membuat Gue kembali terpaku. Gue ngerasa muka Gue mulai memanas dan memerah, “Sialan! Gara-gara omongan Nando tadi nih pasti!!” Dumel Gue dalam hati.
Gue mengekori Dylan ke dapur, mengambil segelas air dingin, dan langsung menegaknya hingga habis.
Gue memperhatikan Dylan dan Nando yang sibuk menatap Laptop dihadapan mereka, dan mata Gue berhenti ke sosok Dylan yang berdiri di sebelah Nando.
“Kayak ada yang beda dari Kamu.” Kata Gue dengan mata Gue yang masih ngeliat ke arah Dylan.
“Kamu— cat rambut lagi?” Tanya Gue, ketika menyadari perubahan rambut Dylan kembali menjadi hitam.
“Iya, di tegor Papa. Hehe.” Jawab Dia dan kembali lagi sibuk membantu Nando.
“Lagian udah dikasih tau belagu.” Kata Gue yang masih memperhatikan Dylan.
Kerena merasa bosan, akhirnya Gue meninggalkan mereka berdua, dan menunggu Dylan di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan, urusan para pewaris perusahaan keluarga.
“Udah ngerti?” Samar-samar terdengar suara Dylan yang bertanya ke Nando.
“Udah, makasih Mas, Gue ga tau gimana kalo lo ga bantuin.” Jawab Nando.
“Gue jalan dulu ya.” Kemudian terdengar Dylan pamit ke Nando.
Gue merasakan kehadiran Dylan dibelakang Gue, “Yuk.” Ajak Dylan sambil mengelus pucuk kepala Gue dengan lembut dan Gue merasa ada yang berbeda saat Dylan melakukan hal tersebut.
“Lah malah diem, ayok cantiknya Dylan.” Ucap Dylan, membuat Gue sempat tersipu karena ucapannya.
“Aku tuh emang cantik dari lahir, hohoho.” Kata Gue sambil mengibaskan rambut panjang Gue yang terurai.
“Hahaha, terserah kamu deh Lett,” ucap Dylan tertawa, “ayok, nanti keburu kesiangan.” Ajak Dylan.
***
Gue dan Dylan berangkat menuju ke Toko Furniture langganan Dylan, hari ini Gue bakal bantu Dylan untuk rapih-rapih di apartemen barunya. Yup, mulai minggu depan Dylan akan pindah ke apartemennya sendiri, dia sudah tidak tinggal dirumah Jeff. Begitu pula dengan Jeff, dia juga akan pindah ke apartemennya sendiri yang masih satu gedung dengan Apartemen Dylan.
Jadi, untuk sementara rumah Jeff bakal kosong sampai ada penyewa yang menempatinya. Bakal sepi nih ga ada mereka, apalagi ga ada Dylan yang biasanya kalau weekend pagi selalu ngajak Gue buat jogging.
Gue pun menatap keluar jendela mobil Dylan, menyelam dalam pikiran Gue sendiri, dan tanpa Gue sadari ternyata sejak tadi Dylan memperhatikan Gue.
“Letta, kamu kenapa?” Tanya Dylan khawatir dan membuyarkan lamunan Gue.
Gue menoleh dan tersenyum tipis menatap Dylan, “Aku gapapa.” jawab Gue.
“Yakin? Dari tadi kamu diem aja soalnya, lagi badmood? Apa kita batalin aja rencana hari ini?” Tanya Dylan berkali-kali.
“Yakin, aku lagi ga badmood juga, dan jangan coba-coba batalin rencana hari ini, nanti aku bakal marah sama kamu selama seminggu.” Jawab Gue dan ga tau kenapa, Gue ga mau hari ini kita batal jalan, huhuhu.
“Emang kamu bisa jauh-jauh sama aku selama seminggu?” Ucap Dylan memperlihatkan senyum smirk-nya.
“Hehe ga bisa sih, tapi kamu juga ga bisa jauh-jauh dari aku selama seminggu kan? Ahh jangankan seminggu sehari aja ga bisa, hahaha.” Ucap Gue sambil tertawa lepas.
“AAAWWW!!! Sakit Dylan!!” Gue teriak kesakitan, karena tiba-tiba Dylan mencubit pipi Gue dengan kencang.
“Hahaha, kamu tuh pinter banget ngejawab.” Kata Dylan ga ada rasa bersalahnya sama sekali ke Gue.
“Sakit.” Gumam Gue sambil mengelus pipi Gue dengan tangan sendiri.
“Maaf, kekencengan ya?” Tanya Dylan sambil mengelus pipi Gue dengan lembut.
“Masih nanya lagi,” kata Gue, lalu mengambil tangan Dylan yang mengelus pipi Gue dan menggenggamnya.
Kita berdua emang sedeket ini dan menurut Gue ini adalah hal yang biasa. Tapi ga tau kenapa akhir-akhir ini tatapan, perlakuan, bahkan ucapan Dylan agak berbeda dari biasanya, kalau kata Katty sih dari dulu dia emang gitu, tapi Gue-nya aja yang baru peka dan denial.
Jadi kepikiran lagi sama omongan Nando pas dirumah tadi, Gue menatap Dylan yang sedang berkonsentrasi mengendarai mobil dengan satu tangannya. Gue pun berniat bertanya, tapi dihentikan oleh nada dering handphone Dylan.
Leo Calling…
“Si garong ganggu aje…” Dumel Gue dalam hati.
“Leo tumben nelpon, aku angkat dulu yah.” Ucap Dylan dan melepas genggaman tangan Gue untuk mengangkat telepon dari Leo dengan mode speaker.
“Kenapa bro?” Sapa Dylan setelah panggilannya tersambung.
“Eh bray, nanti habis nge-date sama Letta, Lo langsung mampir ke Cafe—” Kata Leo dari seberang sana dan langsung di potong oleh Dylan. Gue pun langsung menoleh ke Dylan setelah mendengar kalimat dari mulut besar Leo.
“Speaker Leo, ada Letta di sebelah Gue.” Ucap Dylan memotong perkataan Leo dan terlihat telinganya memerah, lalu membuang wajahnya, dan menghindari tatapan Gue, kemudian suasana diantara kita menjadi awkward.
“Oh— sorry sorry, hihihi.” Terdengar suara cekikikan ala Leo.
“Yaa!! Kenapa deh lo nelpon-nelpon, ganggu Dylan lagi nyetir aja!!” Tegur Gue berusaha untuk mencairkan suasana di antara kita berdua.
“Itu— maksud Gue, nanti habis kalian beberes di apart, jangan lupa mampir ke Cafe, mau ada perform band baru disini, udah itu aja.” Kata Leo.
“Itu doang?!” Tanya Gue ke Leo dengan sewot.
“Iya.” Jawab Leo singkat, dia ga tau aja gara-gara mulut besarnya, Gue sama Dylan jadi awkward .
“Lo kan bisa chat aja ke Dylan, ga usah nelpon-nelpon segala garoooong!!!” Ucap Gue.
“Suka-suka Gue Violetta Dara Pramudya, ga usah ngatur-ngatur, emangnya lo siapanya Dylan?” Balas Leo dengan mulut besarnya.
“Leonard Yudhistira Pramudya, bacot lo tolong di kontrol!” Akhirnya Dylan bersuara dan Gue baru denger Dylan manggil nama panjang Leo. Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, Gue pun menatap Dylan tanpa berkedip.
“Jangan dipikirin omongan Leo barusan.” Katanya dan kembali menatap jalanan.
Selama di sisa perjalanan, kita berdua hanya terdiam. Gue baru kali ini liat Dylan marah, selama lima tahun kita temenan, dia ga pernah marah kayak tadi soalnya.
***
Toko Furniture
Akhirnya kita sampai di Toko Furniture langganan Dylan, dia langsung bertemu dengan Ownernya dan melihat-lihat hasil pesanannya yang sudah jadi. Sambil nunggu Dylan, Gue pun berkeliling di dalam toko, melihat-lihat barang yang dijual disana.
Ternyata toko ini ga cuman jualan furniture aja, mereka juga jual hiasan-hiasan unik, ala-ala aesthetic gitu, dan mata Gue tertarik dengan salah satu lampu meja, design-nya itu semacam jeruji besi yang dibentuk kayak botol wine, dan di dalamnya ada lampu bohlamnya. Gue pun cukup lama melihat lampu meja tersebut.
“Buat kado pindahan Dylan kali ya?” pikir Gue, “Dia kan suka banget yang unik-unik kayak gini, pasti dia suka Gue kasih ini.” Pikir Gue lagi.
Akhirnya Gue memutuskan membeli lampu meja tersebut, Gue ngeliat Dylan yang masih sibuk dengan si Owner, diam-diam Gue langsung ambil lampu meja tersebut untuk dibawa ke kasir, dan ga lupa Gue mengambil kotak kado sebagai tempatnya.
Dengan cepat kilat Gue membayar dan meminta staff kasir untuk segera memasukkan ke dalam tas belanja.
“Makasih mba.” Kata Gue tersenyum ke staff kasirnya setelah Gue menyelesaikan transaksi dan kebetulan Dylan sudah selesai dengan urusannya.
“Gimana pesanan kamu?” Tanya Gue ketika Dylan berhadapan dengan Gue.
“Udah bisa langsung diambil, terus langsung dipasang deh.” Ucap Dylan senang. Dia sangat puas dengan hasil pesanannya dan itu membuat mood-nya kembali membaik.
“Kamu beli apa?” Dylan sadar Gue lagi nenteng-nenteng tas belanja dan penasaran dengan apa yang Gue beli.
“Pajangan buat di kamar.” Jawab Gue asal.
“Aku selesaiin sisa pembayaran dulu sama masukin pesanan aku ke mobil, kamu duduk dulu aja di sofa sana.” Kata Dylan sambil menunjuk sofa yang tersedia di Toko tersebut.
“Ok.”
“Gapapa kan nunggu sebentar lagi?” Tanya Dylan.
“Gapapa.” Jawab Gue, Gue pun akhirnya duduk di sofa tersebut.
Sambil nunggu Dylan lagi, Gue membuka handphone dan melihat-lihat Timeline social media Gue. Pas Gue lagi geser-geser layar handphone, tiba-tiba ada notifikasi chat masuk, dan langsung membuka notifikasi tersebut tanpa melihat siapa pengirimnya.
Jonathan Hi!
“Jonathan?” gumam Gue setelah membuka chatnya dan melihat nama yang tertera di sana, sambil mengingat-ingat nama tersebut, nama yang ga asing bagi Gue.
“Ohh Jona festival!” Seru Gue setelah inget cowok nyebelin yang ketemu pas The Rose performance di festival akhir bulan lalu.
“Siapa Jona?” Tanya Dylan yang sudah selesai dengan urusannya tadi dan ternyata langsung nyamperin Gue.
“Nobody,” jawab Gue agak panik, Gue ga tau kenapa jadi panik, “udah selesai?” Tanya Gue untuk mengalihkan perhatian Dylan.
“Udah, oiya ini kan udah mau lunch, kamu mau mampir makan dulu atau pesen delivery aja?” Tanya dia sambil duduk disebelah Gue dan reflek Gue masukin handphone ke dalam tas.
“Pesen delivery aja kayaknya, biar sambil nunggu makanan dateng, kita beres-beres apart kamu.” Jawab Gue.
“Kalau gitu jalan sekarang aja, biar cepet selesai, biar cepet berangkat ke cafe-nya Leo.” Kata Dylan sambil berdiri. Tanpa banyak bicara dia ambil tas belanja Gue, lalu menentengnya, dan ga lupa gandeng tangan Gue.
***
Apartemen Dylan
“Makasih ya Pak, ini ada sedikit ongkos.” Terdengar suara Dylan dari pintu apartemennya ke ruang tengah tempat Gue ngeliat beberapa kardus besar berisi barang-barang Dylan, dia berbicara dengan salah satu satpam gedung Apartemen yang membantunya untuk angkut-angkut barang.
“Barang kamu banyak juga ya.” Kata Gue saat Dylan berjalan ke tempat Gue berdiri.
“Yah ini juga beberapa udah aku loakin, tapi kayaknya masih banyakan barang kamu deh.” Katanya.
“Hahaha bisa aja kamu, kita mulai dari mana nih?” Tanya Gue dan kayaknya Dylan juga bingung mau mulai dari mana.
Akhirnya Dylan memutuskan untuk merakit meja dan kursi terlebih dahulu, merapikan rak yang dia pesan di Toko Furniture tadi, baru membongkar barang-barangnya yang ada di dalam kardus.
Setelah cukup lama kita beberes dan menata barang-barang, akhirnya ruang tersebut terlihat rapi dan lowong, tidak seperti tadi banyak kardus-kardus besar yang menumpuk.
“Laper—” Keluh Gue sambil rebahan di karpet yang ada di lantai dan Dylan mengambil duduk di sebelah Gue yang lagi rebahan.
“Oiya, kita belum pesen makanan ya? Hahaha,” Dylan tertawa dan mengambil handphone-nya untuk memesan makanan, “Mau makan apa Lettanya Dylan?” Tanya dia, ya ini yang Gue maksud ucapan dia yang berbeda, “Cantiknya Dylan,” “Kesayangannya Dylan,” “Lettanya Dylan.” Gue sebenarnya berusaha mengabaikannya, tapi kalau terlalu sering, Gue jadi kepikiran juga, bahkan beberapa kali Gue sempat berharap lebih.
“Hmmm, apa aja deh, yang penting enak dan mahal, hehehe.” Jawab Gue.
“Okk.” Dylan pun sibuk dengan handphone-nya untuk memesan makan siang dan Gue berdiri dengan malas, untuk mengambil handphone Gue yang ada di dalam tas.
Gue pun melihat layar handphone lalu terlihat ada dua chat dan tiga missed call dari orang yang sama, “Jona.” Ucap Gue dalam hati.
“Tadi kayaknya ada yang telepon ke hp kamu, pentingkah sampe tiga kali kalo ga salah?” Tanya Dylan yang masih sibuk memilih makan siang.
“Nothing, paling nawarin credit card. Hehe.” Jawab Gue dan berusaha mengabaikan isi chat Jona.
Jonathan Yuhuu Letta?
Jonathan Kok di read doang?
“Huhh!! Berisik amat nih cowok!! Mana Gue lupa ngedit foto dia lagi, nanti deh Gue balesnya.” Gumam Gue dalam hati.
Setelah selesai cek handphone dan menaruhnya lagi di dalam tas, Gue mengambil tas belanja yang berisi lampu meja yang Gue beli tadi untuk diberikan ke Dylan dan menyerahkannya.
“Nihh buat kamu.” Kata Gue menyodorkan tas belanja tersebut dan mengambil duduk disebelah Dylan.
“Ini bukannya yang kamu beli tadi ?” Tanya Dylan memasang wajah bingungnya.
“Iya, ini aku beli buat kamu, buka deh.” Pinta Gue, dia pun mengambil kotak yang berada di dalam tas belanja tersebut dan membukanya.
“Wow!!” kata Dylan tersenyum memperlihatkan eyes smile-nya, “kamu tau aja aku ngincer lampu ini,” Lanjutnya.
“Jadi, tadi pas kita masuk ke toko, aku udah ngincer ini lampu, tapi sebelum aku ambil, Koh Juna keburu nyamperin aku. Pas selesai ngobrol sama dia, aku langsung balik ke tempat lampu ini, tapi udah ga ada. Ternyata kamu yang beli.” Jelasnya panjang lebar.
“Makasih Lett, suka banget.” Lanjutnya.
“Syukur deh kalau kamu suka.” Ucap Gue lega, Gue sempet takut dia ga suka sama pemberian dari Gue. Dylan melihat-lihat lampu tersebut dengan memasang wajah seperti anak kecil yang baru dapet mainan baru.
“Lucu.” Puji Gue dalam hati.
Raut wajah Dylan berubah saat melihat dasar lampu meja tersebut, Gue pun penasaran dan mendekatinya.
“Kenapa, ada damage?” Tanya Gue.
“Ga kok aman semua.” Jawabnya.
“Terus?”
“Ini masih ada harganya, hahaha.” Kata Dia sambil menunjukkan bagian bawah lampu yang masih tertempel label harga.
“Astaga!! Aku lupa nyopot, sini aku copot dulu.” Tangan Gue langsung meraih lampu meja yang ada di tangan Dylan, tapi ga dapet karena tangan Dylan mengangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian berdiri menghindari Gue.
“Dylaaaannn!!!!” Gue pun ikutan berdiri untuk berusaha meraihnya.
“Udah aku liat juga harganya berapa, hahaha.” Kata Dylan, dia berjinjit dan makin mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat Gue meloncat-loncat kecil untuk meraihnya, tapi masih ga bisa.
Karena ulah Gue, Dylan terpeleset karpet, kemudian terkejut dan menarik pinggang Gue untuk mencegah dirinya tidak jatuh, tapi kita berdua malah jatuh ke atas sofa, dengan posisi setengah badan Gue menindih Dylan.
“Untung ada sofa.” Kata Gue sambil mendongak ke arah Dylan.
Kedua mata Gue sama Dylan saling bertemu dan menatap satu sama lain, Dylan tersenyum dan mendekatkan satu tangannya yang bebas ke depan muka Gue.
“Berat!! Awas!!.” Kata Dylan sambil menoyor jidat Gue.
“Ishh Dylan nyebelin!!” Kata Gue sambil menyingkir dari Dylan dan mengambil posisi duduk, begitu pula dengan Dylan.
Ting ting!! Notifikasi handphone Dylan berbunyi.
“Makanan udah sampe, aku ambil kebawah dulu ya.” Kata Dia sambil berdiri.
“Jadi beli apa?” Tanya Gue.
“Sushi kesukaan kamu.” Jawab Dia dan kemudian keluar Apartemen ninggalin Gue sendirian disini.
Selagi Dylan turun ke bawah untuk mengambil makan siang kita, Gue melihat-lihat sekeliling Apartemennya, dan mengambil lampu meja tadi, dan menaruhnya di meja tinggi dekat jendela Apartemen. Gue pun duduk di kursi, pasangan dari meja tersebut, dan terduduk melamun melihat keluar jendela yang memperlihatkan langit cerah disertai gedung tinggi di sekitar Gedung Apartemen.
“ga mungkin salah satu dari kalian ga ada yang punya perasaan lebih dari sahabat. Apalagi kalian sahabatan udah lama banget,” tiba-tiba terngiang di kuping Gue sepenggal ucapan Nando tadi.
“Lo-nya aja yang ga peka Lett, Dylan itu dari dulu emang udah kayak gitu sama Lo dan menurut Gue dia emang ada rasa sama Lo, tapi Lo masih denial.” ucapan Katty beberapa hari lalu pun terngiang juga di kuping Gue.
“Masa sih?” tanya Gue ke Katty saat itu, Katty mengedikkan bahunya dan berkata, “Menurut Lo aja gimana.”
Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Gue, terlihat Dylan menenteng paper bag berisi makanan. “Yuk makan, habis makan langsung ke cafe-nya Leo.” Ajak Dylan sambil menaruh paper bag tersebut ke atas karpet, lalu duduk di atas karpet tersebut, dan menepuk tempat kosong di sebelahnya, menyuruh Gue untuk duduk disana. Kami pun menikmati makanan tersebut dengan candaan Dylan dan melupakan semua lamunan Gue tadi.
Letta Pov. End
***
Senada Cafe (Cafe Leo)
Setelah menghabiskan makan siang di Apartemen Dylan, mereka berdua langsung berangkat menuju Cafe-nya Leo, dan akhirnya sampai walaupun sedikit telat. Letta pun berjalan cepat dari parkiran mobil menuju Cafe, “Ayo Dylan, itu band-nya udah mulai.” Ucap Letta excited saat mendengar suara musik dari dalam Cafe telah mulai.
“Iya Letta sayang, tapi ini tolong bantuin aku dulu bawa titipan Leo.” Kata Dylan sambil menenteng dua tas belanja isi titipan Leo, tadi mereka sempat mampir ke Supermarket karena Leo tiba-tiba nitip beberapa bahan untuk Cafe-nya,
“bisa-bisanya tuh anak ga cek stok bahan dulu, udah tau malam minggu, apalagi ada band baru di Cafe-nya, pasti bakal rame, nyusahin tuh anak.” Dumel Letta saat di Supermarket tadi. Dylan menenangkan Letta dengan membelikan coklat kesukaannya, setelah itu Letta cukup tenang walaupun masih sedikit mengomel.
“Hahaha, sini satu aku bawain.” Kata Letta ketika melihat Dylan kesusahan membawa dua kantong belanjaan dan Letta mengambil salah satu dari tas belanjaan yang Dylan bawa.
Begitu sampai di depan Cafe, Dylan langsung membuka pintu dan menyuruh Letta masuk duluan, ga lama dia menyusul di belakang Letta.
Di dalam Cafe sudah cukup ramai dan terdengar alunan musik dari band baru tersebut, sekilas Letta melihat ke arah Vokalisnya yang ada di atas panggung.
“Postur badannya kayak ga asing.” Gumamnya dalam hati dan memperlambat langkahnya supaya bisa melihat jelas wajah Vokalis band tersebut, tapi Dylan keburu menggandeng Letta untuk segera berjalan ke dapur dan menaruh belanjaan titipan Leo.
Setelah selesai menaruh kedua tas belanja tadi di dapur, Letta dan Dylan langsung keluar untuk menemui Leo dan yang lain, saat itu juga musik pun berhenti dan terdengar suara dari Vokalis band tersebut memperkenalkan diri dan band-nya.
“Selamat malam, kita dari Onewe yang bakalan menemani malam minggu teman-teman Senada Cafe.” Ucap vokalis tersebut.
“Kok suaranya ga asing di kuping gue?” Gumam Letta.
“Gue Jonathan, kalian bisa panggil Jona. Vokalis dan Leader di Onewe.” Lanjutnya dan kemudian dia memperkenalkan member band lainnya.
Langkah Letta pun terhenti sesaat setelah mendengar Vokalis tersebut menyebutkan namanya dan tanpa sadar tubuhnya berbalik menghadap ke panggung yang sekarang dengan jelas memperlihatkan wajah Vokalis Band tersebut, yaitu Jona.
“Jona—”
—tbc
8 notes · View notes
pramugianiqbal · 1 year
Text
Tumblr media
"Karena sepertinya setiap orang punya standar baiknya masing-masing. Lalu apa kebaikan yang sebenarnya baik?" gumam Rio dalam kepalanya.
ORANG BAIK - 09 - 2023
4 notes · View notes
chojungso · 1 year
Text
JUDUL : 5D “BAB 1 (SEBATAS ITU SAJA)”
"Setelah ini, boleh gua pergi?" tanya Dion pada Dira.
"Apa gua terlalu melelahkan buat lu?" Dira balik bertanya.
"Nggak, ini bukan lelah. Tapi gua adalah orang yang lu butuhin dan setelah gua ngelakuin tugas gua sebagai orang yang lu butuhin. Udah gak ada lagi alasan untuk tinggal," jelas Dion.
"Bukan lelah? Tapi gak ada lagi alasan untuk tinggal? Apa penalaran lu tentang cinta sebatas itu saja? Saat nampak saling peduli? Apa cinta sesederhana itu?" Dion dihujani pertanyaan dari Dira.
"Justru karena sesederhana itu, ini rumit. Rumit karena gua tinggal tanpa pernah tahu bagaimana hati lu," kata Dion.
Dira terdiam mendengar perkataan Dion yang terakhir, ia bungkam seketika tak tahu harus mengatakan apa. Dion adalah sosok yang selalu di sisinya kapan pun ia membutuhkannya, seperti yang dikatakan Dion. Tepat, Dira amat membutuhkannya. Dia merasa bersalah atas kejadian yang kini menimpanya dan Dion, apalagi Dion merasa bertepuk sebelah tangan.
"Elu nggak ngerti, Di," ucap Dira masih memberi pembelaan pada dirinya.
"Ya, gua selalu nggak ngerti, Ra. Yang gua lakuin selalu keliru di mata lu, ya begitu saja," kata Dion yang semakin bingung dengan sikap Dira.
"Oke, terserah lu anggap gua kayak apa. Gua jelasin gimana pun, tapi saat nalar lu milih gak nerima apa yang gua jelasin. Tetap saja semuanya nol," ucap Dira yang makin kebingungan menghadapi Dion.
Tiba-tiba ponsel Dion berbunyi memecah keheningan di antara mereka. Dia pun menerima panggilan yang masuk. Terlihat Dira yang mulai pusing dengan keadaan, tapi ia mencoba menenangkan dirinya.
***
Antrian para pasien semakin dekat menuju ke giliran Dira, ia meminum air mineral agar stresnya berkurang.
"Maaf, Ra," ucap Dion sambil duduk di samping Dira.
"Untuk apa?" tanya Dira.
"Untuk yang tadi, gua nggak seharusnya bahas itu disaat seperti ini," jawab Dion.
Suara otomatis dari pemanggilan nomor antrian terdengar menyebutkan nama "Dira Dyandra Danu", Dion menepuk-nepuk bahunya mengisyaratkan kata semangat untuknya. Dira mencuri pandang kemudian berlalu.
"Gua begitu egois, karena gua terkesan maksa lu untuk natap gua dengan tatapan lain. Lain dari biasanya. Lantas harus kayak apa? Ini nyakitin. Tapi gua bakalan belajar ngepak ini lagi, karena lebih nyakitin ngelihat lu sakit. Gua harap, lu lekas sembuh," gumam Dion.
Beberapa saat kemudian, Dira keluar dari ruangan dokter dan kembali ke tempat di mana Dion duduk. Dion terlihat sedih dan menundukkan kepalanya. Dira hanya duduk dan tak mengatakan apapun.
"Pulang yuk!" ajak Dira, singkat.
"Apa kata dokter, Ra?" tanya Dion
"Nanti gua cerita, Di. Sambil jalan pulang aja," jawab Dira.
"Oke, gua muter mobil dulu. Lu tunggu di gerbang ya." Ketika memasuki mobil, Dira mulai berbicara pada Dion.
"Lain kali gua sendiri aja ya, Di."
"Oke, kalo itu yang bikin lu nyaman."
Dari dalam lubuk hati Dira, ia enggan mengatakan itu pada Dion. Ia sebenarnya kaget karena Dion mengiyakan keinginannya dengan begitu mudah.
"Tuhan, maafin Dira yang udah lakuin ini ke Dion. Tapi ini yang terbaik untuk saat ini, jika terlalu sering bareng lukanya akan semakin dalam. Gua pengen dia gak tahu apapun saat ini, ini yang terbaik," gumam Dira.
Dion melihat Dira yang terdiam begitu saja, namun tak mengatakan apapun padanya malah mengalihkan suasana yang tengah hening.
"Sebelum pulang, kita beli salad buah dulu ya," ucap Dion.
"Oke, gua juga pengen, Di."
"Jadi lu diam karena lu laper, Ra?" ejek Dion.
"Terserahlah anggapan lu apa!" ucap Dira dengan senyum kecilnya.
Dion berhenti tepat di depan penjual salad buah yang di mana biasanya ia membelinya, hanya berselang waktu beberapa menit iapun kembali ke mobil dan kembali berkendara.
"Eh, kata mas itu dia titip salam buat lu, Ra," ejek Dion lagi.
"Emang masnya tahu di mobil ini ada perempuan di mobil ini? Belajar bohong tapi belum tahu tekniknya, sini tak ajarin, Mas." kata Dira membalas Dion.
"Jadi bohong juga butuh teknik ya? Dan yang gilanya pakarnya ternyata ada di sebelah gua," tambah Dion.
"Tentu butuh, tapi gua bukan pakarnya ya. Gua cuman nilai apa yang terjadi tadi dan emang lu kurang yakinin tadi. Masnya aja gak liat dan gak kenal gua kan."
"Iya masnya gak kenal kamu, Ra. Karena gak ada laki-laki yang ngenal kamu lebih dari aku," gumam Dion.
"Kok diem? Udah ngaku kalah? Payah."
"Ah ng .. nggaklah. Gua lagi mikir aja harus lawan lu pake apa."
"Alibi lu kurang kuat, Pak."
"Ya udah, ngalah ajalah sama perempuan."
"Gitu aja? Gak seru, aku berasa gak berjuang tadi."
"Next timelah, gua pulihin kekuatan dulu. Hm, dokternya ngomong apa tadi?"
"Nggak banyak, intinya nyuruh aja minum obat."
"Udah ada perkembangan menuju sembuh?"
"Entahlah, dia cuman bilang kalo gua gak boleh lupa minum obat walau sekalipun."
"Ya baguslah, setidaknya gak semakin parah."
"Iya, Di. Alhamdulillah, hari ini ortu gua balik. Lu ke rumah ya, pasti mereka nanyain lu.
"Oke, tapi gak lama ya. Gua ada kegiatan."
"Iya nggak apa-apa, yang jelasnya kamu nyambut mereka."
Tidak ada alasan bagi Dion untuk menolak permintaan Dira, karena orang tua Dira sudah seperti orang tuanya. Bahkan orang tua Dira menitipkan Dira pada Dion saat mereka ke luar kota maupun ke luar negeri. Ayahnya adalah pimpinan perusahaan ternama.
Sudah bisa dibayangkan sebagai mana dekat Dion dengan orang tua Dira dan tak jarang orang tua menjodohkan anak mereka pada laki-laki yang mereka telah kenal luar dalam.
***
"Berlarilah padaku dan bawa seluruh luka itu . Memang berat untukku , tapi akan lebih berat dan menyesakkan lagi jika harus melihatmu dilukainya lagi dan lagi."
Begitulah yang selalu ada dalam benak Dion, selalu ingin menjadi tempat Dira berlari di tengah lelahnya. Sekeping rasa yang tak tahu kapan akan Dira sambut seperti inginnya. Seperti itulah dunia ini bekerja. Mencintai seseorang dengan sangat, tapi terkadang kita tak tahu hatinya untuk siapa. Dan dicintai oleh seseorang sementara hati kita bukan untuknya.
***
"Diiooon, udah gede banget kamu, Nak. Lama gak ketemu udah segede ini," seru mamah Dira (Eva) sambil memeluk erat Dion.
Semua keheranan melihat Eva, karena lebih dulu memeluk Dion dari Dira. Kemudian berlanjut dengan tawa mereka.
"Mamah juga makin cantik, awet muda banget," puji Dion.
"Aduh, Sayang. Makasih ya. Dion tahu aja maunya Mamah."
"Waduh, Di. Kok muji mamah segitunya sih. Yang ada dia nggak tidur ntar. Aku juga heran kok yang pertama dia peluk kamu, aku malah dilewatin," ujar Dira kemudian diam.
"Sayang, Mamah gak ada maksud lain. Mamah kan udah lama gak ketemu Dion. Sini mamah peluk," seru Eva sambil memeluk Dira.
"Mamah Eva emang cantik kok, Ra. Jadi aku gak salah dalam hal ini," tambah Dion. Dira sama sekali tidak menggubris pernyataan Dion.
"Anakmu lagi manja, Mah. Dion aja dicemburuin," ejek Papah Dira (Danu).
"Aku bercanda kok, Pah. Papah aja yang gak bisa bedain," ucap Dira.
"Udah, Pah. Papah ngalah aja sama perempuan," tambah Dion sambil give five dengan Danu.
Suara ketokan pintu memecah percakapan mereka, Eva mambuka pintu dan terlihat tiga laki-laki gagah yang langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan Eva.
"Sayaaaaang," seru Eva sambil memeluk erat ketiganya.
"Maaf, Mah. Kita baru nyampe sekarang tadi agak macet," jelas David sambil tersenyum.
"Gak apa-apa, Sayang. Makasih banyak loh dah bela-belain nyambut mamah."
"Mamah mudanya gak berkurang," puji Dimas.
"Makasih, Sayang," ucap Eva sambil tersenyum.
"Udah dua yang muji Evaku hari ini," ucap Danu.
Semua tertawa serentak, berbeda dengan Dira ia masih keheranan melihat mereka semua bisa berkumpul dengan lengkap.
"Jadi kalian ngerencanain ini sejak awal?" tanya Dira menyelidik. Suasana seketika menjadi hening.
"Duduk dulu, baru diomongin baik-baik," usul Danu.
"Iya, Sayang. Bener kata papah," tambah Eva.
"Gini, Ra. Kita nggak ngerencanain sedetail yang dipikiran kamu. Kebetulan mamah ngabarin mau pulang dan yang luar biasanya Tuhan karena bertepatan dengan kami pulang," jelas Dimas perlahan.
"Bener, Ra. Kita gak mungkin gak ngabarin kamu kalo kita bakal pulang," tambah David.
"Di? Kamu tahu?" Dira semakin menyelidik.
"Nggak, Ra. Aku juga baru tahu sekarang," jawab Dion.
"Beneran, Ra. Kita gak alibi dan gak ada kerjasama," tambah Dimas.
"Udahlah, Sayang. Mereka dadakan. Makanya gak ngasih tahu kamu, udah nggak sempat," ujar Eva mencoba menenangkan.
"Iya, Ra. Mereka buru-buru cari tiket untuk pulang ke sini," tambah Danu.
"Mah, Pah, selamat istirahat ya! Aku, Dira, dan yang lain mau cari angin dulu," usul David sambil memberi kode pada keduanya.
"Oke Dav, mamah sama papah ke atas dulu ya. Dah semuanya," ucap Eva sambil membawa beberapa kantong kresek.
"Ya udah, kalian hati-hati ya. Jangan lupa bawa makanan, ini terlalu banyak buat ditaroh di rumah," tambah Danu.
***
Mereka semua terdiam seketika melihat ulah David, yang tanpa berpikir panjang berusaha mengelabui keadaan.
"Ayo! Kalian kenapa masih ngeliatin aku? Waktunya kita jalan, antarin Dira ke mobil! Dim, Day, bantu aku bawa makanannya."
Mereka menuju ke mobil tanpa membantah perintah dari David, Dira merasa bahwa mereka sedang merancanakan sesuatu tanpa sepengetahuannya. Termasuk kedatangan mereka. Setelah mereka berada di samping mobil, mereka langsung masuk.
***
Dira hanya diam sejak tadi tanpa berkomentar apapun. Ia hanya mengikuti arus. David memutar lagu Ed-Sheeran - Dive sambil bernyanyi, sedangkan Dion dan Dimas tengah sibuk dengan gadget. Terakhir Dayyan yang tak pernah bicara sepatah kata pun sejak ia datang. Tiba-tiba Dimas menyiku Dion dan memberi isyarat tentang kondisinya Dira. Namun Dion tidak mengerti.
"Apaan?" tanya Dion.
"Gimana kondisinya Dira?" bisik Dimas.
"Aku juga nggak tahu." jawab Dion singkat.
"Kan kamu yang nemanin dia, kok nggak tahu?"
"Aku emang nemanin dia, tapi dia gak cerita detilnya. Kamu tanya dia langsung kalo berani sih, aku persilakan," jelas Dion agak kesal.
"Ya udah, santai aja. Gak pake marah juga kali," kata Dimas mulai berisik.
"Gimana hasilnya, Ra?" Suara itu memecah perdebatan mereka berdua.
"Cuman nyuruh minum obat teratur aja, Day." jawab Dira singkat.
"Kalian berdua terlalu banyak mikir, bertindaknya kelamaan. Diduluangin deh ama yang bernyali," sindir David.
"Ini semua gara-gara Dion, dia kok bisa-bisanya gak tahu kondisinya Dira padahal dia yang pergi," ujar Dimas.
"Kenapa jadi aku?"
"Udah-udah, kalian brisik banget. Dav, kita akan ke mana?"
"Tunggu aja, Ra. Ini buat kamu. Buat nebus kesalahan aku," ucap David.
"Loh kok kamu doang? Kita nggak nih? Ini kan kesalahan bersama Dav," protes Dimas.
"Bercanda doang kali, sensi amat," ejek David.
"Dav, kamu juga sih suka bikin rusuh," kata Dira.
"Gak ada aku gak rame kan, Ra?"
"Iya deh iya."
"Berhenti di depan, Dav," ucap Dayyan. David berhenti tepat di tempat yang dikatakan Dayyan, Dayyan segera turun.
"Dayyan ngapain tuh?" tanya Dimas.
"Gak tahu juga, aku aja bingung tiba-tiba dia nyuruh berhenti," kata David.
"Yang pastinya ada urusanlah," kata Dion.
David dan Dimas menatap Dion bersamaan, dan itu membuat tawa Dira akhirnya lepas. Mereka semuapun tersenyum melihat Dira, dan saat Dira melihat ke arah mereka. Mereka bergegas melihat ke arah lain.
***
Tak ada satu pun dari mereka yang mempertanyakan apa yang Dayyan lakukan di toko kecil tadi di pinggiran jalan meskipun mereka saling bertanya-tanya apa yang Dayyan lakukan tadi. Beberapa menit kemudian mereka pun tiba di tempat yang dikatakan oleh David.
"Laut, Dav?" tanya Dira dengan wajah yang memerah.
"Iya, this is for you," jawab David sambil tersenyum.
"Thank you, Babe," seru Dira sambil berlari ke ayunan di belakang villa.
Perhatian mereka semua tertuju pada Dira yang good moodnya mampu David kembalikan dengan seketika. Mereka ikut senang melihat Dira melupakan kekesalannya pada mereka.
"Salut! lu emang paling bisa kalo soal cewek, Dav," ucap Dimas sambil menepuk bahu David.
"Udah, gua cuman lakuin yang gua anggap Dira butuh. Kalian juga selamat senang-senang brothers," ucap David.
Laut mampu menjadi salah satu alasan suasana hati seseorang membaik. Birunya dan desir ombaknya yang menyapa siapa saja yang menghampirinya, membuat seseorang merasa sedang berbicara dengan seseorang yang ramah. Pada bibir pantainya bisa menjadi tempat berteriak yang sangat baik untuk melepaskan segala sesak dalam dada.
"Di, biarin dia sendiri dulu." David menegur Dion yang akan melangkah ke arah Dira yang sedang menikmati hembusan angin di bibir pantai.
"Kok lu tahu aku pengen nyamperin Dira?" tanya Dion.
"Lu mungkin bisa bohongin semua orang, tapi mata lu nggak bisa bohongin gua."
"Sejelas itu ya?"
"Lu ngaca gih!"
"Gua salah, Dav. Tadi gua sempat nyinggung dia di RS. Gua kebawa suasana tadi. Di, Di, lu kenapa sih?!" Dion gelisah dan menepuk jidatnya.
"Ya udah, kasih dia space dululah. Ngopi gih biar lu gak panik," saran David.
Dion Danendra salah satu anak 5D yang selalu ada untuk Dira, merupakan hal wajar kalau dia terjebak friendzone. Ada hal yang kadang tak bisa kita kontrol di dalam persahabatan, itulah cinta. Meski Dira selalu menunjukkan bahwa hubungan mereka sebatas itu saja, seperti yang Dira rasakan pada anak 5D yang lainnya.
10 notes · View notes
prossabuana · 9 months
Text
TAK INGIN BERBALAS
Aku tak mampu berucap, aku takut pada akhirnya aku yang salah mengartikan. Aku harap kita tetap berada pada kata cukup, tak usah berlebih, hingga saling menyakiti. Pun, kita sama tahu tentang menyelami rasa memang tak selamanya menyenangkan, namun biarkan rasa itu menari kemana mereka suka. Pada akhirnya aku tak henti bernala tentang tak seharusnya menerima, karena katamu tak akan pernah cukup membuat kau dan aku ajek menjadi kita. Aku nampak gumam, tak tahu harus bagaimana. Harap ku hanya sebatas kau dan aku tetap menjadi kita hari ini. Terimakasih, rasanya menyenangkan menyusuri ribuan kata yang kau tulis tentangku.
Tak banyak aku tak ingin mengubah, hanya ingin berada dimana seharusnya aku berada, tak perlu berlebih itu tak baik. 30 di Agustus 2023
2 notes · View notes
suatuharinanti · 1 year
Text
Tumblr media
Mari kita mulai,
Aku menyadari bahwa satu bulan selama masa konseling-pengobatan aku capek banget. Capek secara fisik iya, psikis iya. Kadang kepala sakit, mual, gatal-gatal sih yang paling sering. Jadi kemarin aku mengatakan bahwa saya lelah padahal nggak ngapa-ngapain. Kayaknya kalau ga ke psikiater memilih ke psikolog aku belum terlalu membantu pulih.
Tumblr media
• Lebih banyak energi-kadang aku bisa ngerjain semua pekerjaan rumah dalam sehari tanpa ngomel kenapa aku hanya jadi IRT. Kadang aku banyak ngomong atau rasanya pengin gerak jadi aku ngajak main kucingku lari-lari. Gila. Aku ga pernah merasakan ini. "Belum terbiasa" kata dua orang tempat aku ngeluh sama gejala ini
• Lebih ekspresif-selama ini belasan tahun (mungkin) aku orangnya datar, menekan bagaimana harus berekspresi senang, ga tahu cara apresiasi orang lain
• Pikiranku lebih rasional, aku lebih dengerin orang beberapa hari ini.
Mari mengapresiasi karena kemarin aku makan di luar setelah konseling terus mengobrol lama dengan suami!!! Soalnya aku ga pernah, aku juga lebih dengar perkataan yang relatif sama dengan nasihat psikiater. Dulu kalau lagi ngobrol dalam hati "kamu ga tau apa yang aku rasain" tapi aku sangat bersyukur karena suamiku supportif banget
"kalau kamu merasa hmm sedang sedih atau lelah dengan proses ini kamu bisa ingat perjuangan suami kamu yang rela dan kompromi banget sama kamu."
Aku sangat mengapresiasi diri karena selama ini aku ga pernah malu ngucapin terima kasih dan maaf. Terutama ke orang-orang yang dekat. Aku masih proses memaafkan.
Dua minggu ini juga aku sempat denial "Ah, kayaknya aku mah nggak apa-apa. Sekarang baik-baik aja kok." Tapi ketika pikiran itu hadir aku coba ajak dialog, "Ci, sekarang ini kamu lagi berproses buat pulih. Kamu selama ini lagi nggak baik-baik aja"
• empat pertemuan bersama psikiater kata yang diulang dan selalu sampe "napa sih solusinya ini terus" adalah kontrol diri, "kita hanya bisa mengontrol apa" 🤍 "diri sendiri", "tapi, jangan terlalu memaksakan nanti efeknya ke diri kamu" terus dokternya berkatan "ga apa-apa kita lagi berproses"
• akhir-akhir ini aku pelupa dan linglung. Jadi ada fase yang ekspresif banget ga mau diem. Gumam terus. Ada di fase aku linglung. Aku tanya ke ners "kenapa aku sering lupa dan jadi linglung ya" "bisa jadi karena rasa cemas yang sedang dirasakan.
Hampir selama konseling ini aku merasa cemas. Cemas yang kayak nempel di samping badan, dia ikut terus ke mana pun aku pergi. Tapi aku menyadari selama ini cemas ini aku sangkal, emosi ini aku tekan, kadang sedih dan diam sampai orang rumah di Bogor tuh takut nyapa aku 😂
• aku juga merasa bersalah ke bapakku dan suamiku. Oh, bapakku nggak tahu, jangan sampai tahu dulu karena takut kepikiran nanti gatel-gatelnya kambuuh. Tapi ketika di Bogor aku ngobrol sama tetehku, terutama setelah berziarah ke makam mama.
🤍 : "1964-2005, jadi mama meninggal umur 40 tahun?"
💜: "Iya, sampai dokter nggak tahu mama itu sakit apa, kanker leukimia tapi katanya bisa jadi sakit lain."
🤍: "Ternyata masih muda banget,"
💜: "Iya, tahun itu kan mama mau diangkat jadi kepsek. Tapi tiga tahun belakangan mama sakit."
🤍: "Jadi inget dulu rawat mama, bantuin kalau mau pipis, mau makan, dulu kasurnya di deket jendela. Hahaha kayaknya waktu itu kelas 1 SD. Oh! Pernah dijemput mama sambil marahin ners dan bawa selang infuse karena aku yang masih kelas 1 SD mau masuk ke rumah sakit.
💜: "Iya mama tuh berani, ada pocong atau kuntilanak aja diajak berantem. Tapi ngerasa bersalah sama mama karena pas mama meninggal malah sibuk liqo."
Jadi dulu aku dengar tetehku dimarahin abis-abisan sama bapak karena lebih mentingin liqo dan nyuruh supaya ga percaya sama yang goib. Kata teteh, "dakwah di rumah lebih susaaah daripada di luar, dikatain aliran sesat lagi sama mama bapak dan uwa-uwa" aku ketawa hah
🤍: "Dulu pas kecil sering liat mama ngobatin orang, air minum dibacain dan cari cacing buat diolah jadi obat. Kayaknya rumah hampir setiap hari ada yang dateng buat itu"
💜: "Mama kan juga bisa makan beliiing" dan obrolan kami berlanjut. Mungkin seharusnya 'kemampuan' tersebut diturunkan ke anak-anaknya tapi mama menolak dan berpengaruh pada fisik. Allahualam banget :")
Tapi bagiku yang kehilangan orangtua (ibu) jadi sesuatu yang menyesakkan dan jadi trauma. Ketika mamaku meninggal aku nangis karena aku malah disuruh ngerjain PR MTK sama saudaraku katanya supaya aku ga kepikiran kalau mama waktunya tinggal sedikit. Padahal kan aku tahu mama lagi sakit ga bisa buka mata dan gerak, tuh tadi siang aku tidur di samping mama. Eh ternyata itu kali terakhir kami bareng. Aku ga nangis selama mama meninggal. Aku apa? Bengong dan bingung. Terus dikira ilang lagi sama bapakku karena setelah pemakaman aku tidur di kamar mama yang kehalang lemari. Terus aku mimpi dan nangis tiba-tiba.
Dan yang aku sadari ternyata kesedihan itu aku simpan dalam diam, untukku. Aku denial. Aku jadi sering sedih dan wajahku tuh murung terus. Kehilangan salah satu orangtua tuh patah banget rasanya apalagi iya aku ngerasain pas kecil. Aku kehilangan sosok ibu-"matahari di rumah" kami sedih dan menyimpannya sendiri, kadang suka dikomentarin karena kasian aku kurus dan nggak diurus 🤣 ya gitu kata tetehku, aku jadi sering menepi atau menyendiri (?) Abis pulang rumah sepi ga ada orang, buka tudung saji juga ga ada makanan apa-apa, bapakku yang berusaha bolak-balik kantor dan beli lauk yang udah jadi. Sekarang aku merasakan kalau milih lauk itu susah. Bapakku yang struggling dengan keuangan setelah mama pergi. Bapakku yang nangis kencang sambil meluk teteh sambil bilang maaf maaf setelah mama meninggal
Tapi aku melihat bapakku yang sejak bayi ditinggal ayah-ibunya juga suami yang ditinggal bapaknya. Rasanya entah ini jadi trauma yang overwhelmed banget buatku. Dulu aku harus nyemangatin diri, aku tempel semua kata-kata motivasi, aku tempel semua rangkaian cita-cita, pokoknya aku berprestasi ya karena pengin bapak seneng. Meskipun kami ga pernah ngobrol, tapi aku suka lihat wajah bapak yang seneng. Aku bahagia kalau aku bebas milih jalan. Meskipun jalan yang kulalui salah atau berhenti tengah jalan atau lainnya. Bapak yang pengin lihat aku bisa S2......
Seperti kata dokter, selama ini aku lebih banyak memaksa dan menyangkal. Kalau aku baik-baik aja. Padahal nggak. Kalau aku tuh curhat tapi ya aku simpan semua sendiri. Hehehe dulu ga punya temen tapi aku senang karena bisa nulis. Aku yang terkurung dalam emosi negatif. Aku yang senang "horeee" tapi rumahku dingin.
Lalu semua semakin redup ketika kuliah, kayaknya di asrama aku selalu memakai topengku. Jujur aku pengin keluar dari 6 bulan pertama di sana. Jadi lagi-lagi aku lebih banyak memaksakan diri. Ayo!!!!! Ayo!!! Jadi apapun nasihat rasanya mental
Selasa kemarin aku membawa kertas-kertas 'semangat' atau pesan dari teman-teman. Aku biasanya baca berulang. Mix feeling.
• Katanya aku tuh harus cari hobi baru, misalnya bercocok tanam, yoga, oh aku disuruh belajar ngerajut, pokoknya hobi baru. Aku ga fokus baca buku akhir-akhir ini
• Terus seharusnya aku ngajar terus anaknya cancel. Berusaha mencari uang. Jadi efeknya aku jadi merasa bersalah ke beberapa orang
• Kemarin dokternya buru-buru dan capek jadi aku sebelum keluar minta maaf (?) "Dok maaf aku urutan ke-16 jadi kayaknya dokter udah capek banget ya. Semangat ya dok" wawa akuuuu beranii bicara ini wkwkwkwkkw... Soalnya keliatan capek dan ga fokus. Aku mungkin harus cari waktu atau hari konseling lain.
• kadang aku ga bisa ngegambarin sih aku sedang merasa apa. Kemarin ke periplus dan pengin beli buku tapi sedihnya aku ga punya uang
• "Dua minggu rutin ya journaling *sambil kasih sticky notes contoh journalingnya gimana*" lagi lagi wajah bingung haah. "Kamu kan suka menulis dan penulis ayo nulis lagi. Dari yang mendasar dulu aja" "Oh dokter tahu atau inget kalau aku penulis? "Tauu doong kan saya catat"
Healing journey-living journey.
Kayaknya hari ini aku merasa lelah dengan pikiran yang berisik dan energi-ekspresif yang ampun ga ketulungan dalam hati "bisa berhenti dulu ga siih. Santai aja ga siiih. Gile aku ga suka iniiiii" tapi katanya jangan ditolak tapi di kontrol. 2 nasihat yang diulaang-kontrol diri dan fokus ke masa kini
Jadi aku harus juga belajar sendiri, nanya-nanya dan yaa berusaha. Oh iya aku nanya, sebenarnya aku kenapa, karena diagnosis pertama aku indikasi depresi. Tapi kemarin aku to the point apakah aku anxiety aku ga nanya spesifik anxietynya "Iya" "Penyebabnya apa ya dok?" "Karena ekspektasi yang kita buat terlalu tinggi jadi kamu merasa cemas" deg. Kayaknya abis itu aku diem lama karena ini sama kayak yang dibilang Ijal. Terus keinget dulu atau masa lalu. Waw.
Hm, hfff aku lelah, di titik 0 makanya maaf aku ga suka buka medsos asliku begitupun baca beberapa hal. Karena fisik-psikisku masih kaget jadi mudah banget tertrigger. Tapi "Aku bangga loh sama kemajuan kamu" kata dokternya tapi aku lupa—ih napa sih pikun. Buat nanya kemajuan aku apa. Ya gitu setiap konseling sebelum aku suka siapin list. Tapi ga aku pakai wkwkkw..
Kemarin-2 minggu ke depan aku harus nulis journal di buku pink yang terbengkalai beberapa bulan ini. See you. Terima kasih untuk kamu yang sudah baca sampai sini—singkat cerita dari aku yang sedang berproses
Tumblr media
5 notes · View notes
anantyyrraa · 11 months
Text
Tumblr media
DOA UNTUK AYAH-BUNDA
Malam itu bintang-bintang bertaburan. Bulan sabit seperti alis cahaya yang hanyut di arakan mega-mega. Pada ambang jendela sebuah rumah, Ailin sedang memandangi lukisan mahakarya di angkasa itu.
Sedangkan Kak Alma dan Mas Abi, mereka sedang sibuk menyelesaikan tugas sekolah yang tadi siang diberikan ibu guru.
"Belum tidur, Ailin?"
Ailin menoleh dan menemukan senyum Bunda yang penuh kasih.
"Mas Abi, Kak Alma, tugasnya masih banyak?"
"Sedikit lagi, Bunda..." sahut mereka kompak. Buru-buru mereka menyelesaikan tugas matematika mereka. Beberapa kali Kak Alma yang kesulitan meminta bantuan Mas Abi yang terlihat sudah rampung membereskan buku-bukunya.
"Dulu kala, bulan itu berlayar sendirian," kata Bunda.
Ailin menyusupkan kepalanya ke dada Bunda yang lembut dan hangat. Kak Alma dan Mas Abi yang sudah selesai langsung menghampiri Bunda dan Ailin, turut memandangi bulan.
Ah, kasihan, bulan itu pasti kesepian, pikir mereka.
"Lalu ada tiga anak kecil, kakak beradik-"
"Siapa namanya, Bunda?" potong Alma penasaran
"Menurut kalian?"
"Abi, Alma, sama Ailin kan Bun?" Mas Abi menyengir. Bunda tersenyum lebar sembari mengusap lembut surai Mas Abi. Sepasang matanya berseri-seri seperti kerlip bintang.
"Tiga kakak beradik itu tidur di ranjang yang bertabur ribuan bintang,"
Mata Ailin membulat. "Kenapa?"
"Setiap kali tiga anak itu berdoa bagi orangtuanya sebelum tidur, doa itu berubah menjadi bintang."
Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayyaani shaghiiraa... gumam Kak Alma dalam hati. Mudah sekali. Kak Alma pernah mengucapkan hafalan doa itu didepan kelas.
"Bulan membangunkan ketiga anak itu, lalu mengajak mereka jalan-jalan ke angkasa."
Mas Abi, Kak Alma, dan Ailin sontak terbelalak iri.
"Tiga anak itu sangat gembira. Bulan menaburi mereka dengan cahaya kilauan kecil agar mereka dapat terbang sama sepertinya. Lalu mereka pun terbang di angkasa luas dipandu bulan, diikuti ribuan bintang milik tiga anak itu. Sembari melayang-layang di udara, mereka bertiga bersama bulan bernyanyi merdu penuh sukacita. Malam itu, langit yang bertabur bintang terlihat menakjubkan. "
Ailin melongok ke luar jendela, berharap dapat melihat tiga anak yang tengah terbang bersama bulan sabit.
"Saat meluncur di angkasa, tiba-tiba suasana menjadi gelap. Mereka tengah melewati awan dan langit tanpa bintang. Saat itu, tiga anak ini melihat bagian bumi yang muram.
' Tempat apakah itu, Bulan?' tanya si sulung sambil menunjuk kearah sebuah bangunan besar kelabu.
' Tempat ayah dan bunda yang sudah usang.'
Mereka bertiga tidak mengerti. Bulan pun segera mengajak mereka turun ke tempat itu.
'Aduh!' Si bungsu meringis ketika tubuhnya membentur sebuah papan nama dari kayu tua.
' Maaf,' Si tengah nyengir, merasa bersalah karena tidak sengaja menyenggol tubuh adiknya. Tapi si bungsu tidak mendengarnya. Ia terpukau menatap tulisan yang mulai terkelupas pada papan nama kayu tua itu :
' Tempat Ayah dan Bunda yang Sudah Usang'
Ketiga anak itu tiba-tiba merasa sangat sedih. "
Kak Alma seperti bisa melihat apa yang dilihat ketiga anak itu. Orang-orang tua usang, yang matanya tidak lagi bercahaya seperti bintang. Hati mereka keras dan dingin.
" ' Apa yang terjadi pada orang-orang tua itu, Bulan?' si tengah bertanya.
' Mereka tidak punya seseorang seperti kalian. Mereka tidak punya seseorang yang mengucapkan doa bagi mereka sebelum tidur. Anak mereka, sudah melupakan orangtuanya seperti anak-anak itu melupakan mainan yang usang.'
Ketiga anak itu tertegun. Mereka teringat mainan-mainan mereka yang sudah usang di gudang. Mainan-mainan itu tentu tidak terawat dan tidak pernah tersentuh. Mereka sudah lupa bahwa dulu mainan-mainan itu pernah berjasa, dan mereka pernah sangat menginginkan serta mencintainya. "
Ailin memeluk Bunda lebih erat, begitu juga Kak Alma dan Mas Abi. Mereka turut memeluk lengan Bunda. Mereka tidak ingin kehilangan hangat dan lembut hati Bunda.
" ' Sudah hampir pagi, anak-anak. Kalian harus pulang,' kata Bulan sambil menghimpun ribuan bintang milik mereka dalam tiga gugus cahaya kemilau. Masing-masing diberikan kepada tiga anak itu.
' Tapi kau akan sendirian, Bulan.' ujar si sulung.
Bulan diam saja. Ia mengulurkan tiga gugus cahaya pada anak-anak itu. Mereka tercenung sambil memeluk gugus cahaya itu. Si bungsu menatap kembali ke tempat orangtua-orangtua usang. Ada begitu banyak orang disana, namun mereka terlihat begitu kesepian dibanding bulan yang berlayar sendirian di langit.
' Bulan, biar bintang-bintang ini menemanimu dan juga mereka,' seru si bungsu tiba-tiba. Kedua kakaknya pun turut menyetujuinya.
Bintang-bintang itu seketika berlompatan ke angkasa, membuat langit secantik malam ini," kata Bunda, lalu diam memandang ke angkasa di luar sana.
Kak Alma melihat sebuah bintang jatuh. ' Cerita Bunda belum selesai, ' pikirnya.
"Bintang-bintang itu begitu gembira berada di langit yang luas. Namun, sebagaimana anak-anak itu, mereka juga bisa melihat bagian-bagian bumi yang muram, tempat orangtua-orangtua usang berada..."
"Apakah bintang-bintang itu akan habis, Bunda?" tanya Mas Abi.
" Tidak, Mas Abi. Karena akan ada banyak anak-anak baik seperti ketiga anak itu yang menciptakan lebih banyak bintang."
Mereka lega mendengar akhir kisah Bunda. Bintang-bintang yang berkilauan di langit tampak cantik sekali.
Tapi...
"Bunda, kenapa Bunda selalu menyebut mereka 'ketiga anak ini', 'ketiga anak itu'? Bukankah sudah Mas Abi bilang kalau nama mereka Abi, Alma, dan Ailin?" protes Ailin, diangguki oleh kakak-kakaknya.
Bunda tidak menjawab, ia menatap ketiga anaknya dengan mata bercahaya bintang. Seulas senyum yang terlukis di bibir Bunda menyadarkan mereka pada sesuatu. Mereka sering lupa membaca doa sebelum tidur.
Ketiga kakak-beradik itu tersipu malu.
"Bunda, Ailin sudah mengantuk," rengek si bungsu sambil pura-pura menguap.
" Abi juga,"
"Alma juga sudah mulai mengantuk,"
" Aha! Ayah akan membawa kalian terbang ke negeri awan," seru Ayah yang baru pulang dari bekerja. Ayah menggendong Ailin, mengayun-ayunkannya di udara sebelum menurunkannya di tempat tidur.
Kak Alma dan Mas Abi digandeng Bunda ke kamar menyusul Ayah dan Ailin. Mereka terkekeh gembira.
Kak Alma menatap Ayah yang tengah membetulkan letak selimutnya. Walaupun terlihat lelah, tapi mata Ayah bercahaya seperti bintang. Mereka tidak ingin cahaya bintang di mata Ayah itu meredup.
Mereka bertiga segera memejamkan mata. Mereka pura-pura tertidur sesaat setelah Ayah dan Bunda bergantian mengecup kening mereka. Ketika mendengar pintu kamar ditutup dari luar, dan suara langkah kaki Ayah dan Bunda menjauh, Mas Abi, Kak Alma, dan Ailin segera membuka mata. Dengan dipimpin Mas Abi, mereka berdoa :
Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayyaani shaghiiraa... ' Tuhanku, sayangilah ayah-bundaku, sebagaimana mereka menyayangiku sejak aku masih kecil.'
Malam itu mereka bermimpi, bulan sabit datang dan memberi mereka sebuah bintang.
Sebagaimana ketiga anak dalam dongeng Bunda, Mereka meletakkan bintang itu di langit untuk menemani bulan. Maka malam itu, lukisan mahakarya di angkasa semakin indah dengan tambahan tiga bintang milik Mas Abi, Kak Alma, dan Ailin.
Selamat ulang tahun, Bunda.
3 notes · View notes
reveriescope · 11 months
Text
nicholas wasn't there
Tumblr media
read the previous part here.
Kim Mingyu as Nicholas Wangsa. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
Special Apperance: Cha Hakyeon as Julius Wangsa. Choi Seungcheol as Nayaka Clinton Zhao, Joshua Hong as Agah Martana Kaunang, Xu Minghao as Paris Prabangkara, Chae Hyungwon as Xavier Wangsa.
Special Mention: Bae Yubin as Pingkan Radita Kaunang, Ju Jingyi as Natyara Cordelia Zhao.
---
Hari yang paling ingin dihindari Arabella tiba. Meski berat baginya bangun dari rebah pagi ini, segalanya harus dilewati tanpa cela barang sedikit pun.
"Ingat, kasih kesan baik ke mereka," kata Jadug Alamsyah sebelum meninggalkan ruang rias.
Sambil menarik napas, perempuan itu menyaksikan ayahnya berbalik kemudian menghilang dari pantulan cermin. Setelah mengulas senyum sejenak pada penata rambutnya, Ara menatap pantulan dirinya. 
Arabella tumbuh dengan frasa "harus sempurna" terpatri di kepala. Seumur hidup Ara disetir oleh kesempurnaan, baik untuk dirinya maupun keluarga. Sehingga hanya kalimat pujian dan kebanggaan yang ditujukan pada Ara. 
Sepanjang hidupnya, Ara memahami bahwa pernikahannya akan berdasarkan perjanjian yang sama-sama menguntungkan. Mengingat apa yang akan diwarisi namanya kelak, perempuan itu telah berhati-hati untuk tidak terjebak hubungan tanpa arah. Setelah sebuah kesalahan, Ara memutuskan diam setidaknya sampai saat Jadug menyebutkan nama calon suaminya.
Perjodohan di kalangan atas bukanlah hal aneh. Keluarga Wangsa mengincar putri Alamsyah satu-satunya pastinya bukan tanpa alasan. Ada perjanjian di belakang punggung Arabella yang hanya diketahui setan dan dua kepala keluarga terkait. Perempuan itu hanya diberi tahu bahwa perjodohannya telah diatur dengan Julius Wangsa dan mereka diminta saling mengenal. Apapun itu, Ara memastikan bahwa yang ditawarkan keluarga calon suaminya tidak main-main. 
Dengan kepala penuh asumsi, Ara memilih mengambil ponselnya kemudian melakukan pencarian untuk “Keluarga Wangsa WE Group”. Hasilnya? Tidak banyak terlihat. Hanya putra kedua mereka, Xavier Wangsa yang kerap muncul di artikel-artikel dunia maya. 
Siapapun dari keluarga konglomerat tahu bahwa Xavier berhubungan dekat dengan violinist sekaligus sosialita Natyara Oetomo. Mereka berdua dijodohkan sejak lahir dan pertunangan mereka akan digelar dalam waktu dekat. Keluarga Alamsyah mendapat undangan dari Keluarga Wangsa. 
Menurut yang Arabella dengar, Julius memutuskan tertarik pada perjodohan dan mulai mencari perempuan yang cocok karena pertunangan adiknya. Kabar burung menyebutkan bahwa Julius tidak ingin Xavier menghasilkan penerus lebih dulu. Membayangkan pria asing itu menginginkan seorang anak laki-laki darinya membuat Ara bergidik. 
“Kak, boleh minta yang minimalis aja?” pinta Ara pada penata rias. 
“Non Ara bisa telepati ya?” penata rias yang dikenalnya dengan nama Mbak Jamila itu tertawa. “Muka Non Ara memang nggak perlu lebih banyak permak. Dijamin calonnya nanti kelepek-kelepek.”
Mendengar jawaban semacam itu, Arabella tersenyum kikuk. Saat melihat pantulan dirinya di cermin, sanggul sederhananya tampak begitu cantik dan mempertegas garis lehernya. Arabella ingat, Nicholas bilang dia punya leher indah. 
“Nicholas…,” batin Arabella. “Apa dia akan datang juga malam ini?” 
---
“Pertemuan resminya malam ini.” Suara Clinton seketika terdengar begitu Nicholas memasuki lounge sambil menenteng map berisi laporan. 
“Apa?” Nicholas menyerahkan map di tangannya kepada Clinton sebelum duduk di sofa terdekat. 
“Mawar hitam lo segera dipetik, malam ini mau ketemu pembelinya,” gumam Clinton seraya membuka laporan dari Nicholas. 
“Oh…, calon kakak ipar gue,” kekeh Nicholas. 
“Bawa ke rapat kita lusa.” Clinton meletakkan map terbuka di atas meja sebelum mengentuk kertas laporannya dengan telunjuk, “Semuanya harus tau. Perbanyak.”
Titah Clinton membuat Mega, satu-satunya asisten Tritunggal Arctics bergerak. Perempuan muda itu mengabdi pada Agah, namun jasanya kerap diperlukan yang lain pula.
“Ada pesen dari adik gue,” yang satu ini Agah berbicara. “Arabella memang harus diamankan dari si sulung Wangsa, dia setuju.” 
Sebelum melanjutkan ucapannya, Agah menatap Clinton sebelum melanjutkan, “Tapi tolong jangan bikin dia terluka. Selain gue, Pingkan cuma punya dia. Dan adik kecil gue itu bisa melakukan segalanya demi Arabella.”
Nicholas menanggapi ucapan Agah Kaunang dengan tawa lirih. “Seperti gue yang akan melakukan apapun demi Clinton,” ujarnya. 
---
Acap kali mendengar nama keluarga Wangsa, Nicholas selalu menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Sebagai anak yang lahir di luar pernikahan, ia sudah kenyang dengan perlakuan tidak adil hingga cenderung semena-mena. 
Berbeda dengan Julius dan Xavier, Nicholas lahir dari rahim seorang sekretaris pribadi. Hanya karena jenis kelaminnya laki-laki, Benedict mengambilnya dan membesarkan Nicholas bersama kedua kakak tirinya, Namun semua orang tahu, anak simpanan tidak akan sepenuhnya diterima. 
Sama halnya keluarga konglomerat lain, Wangsa cenderung menjaga lingkar pergaulan terdalamnya tetap kecil. Anak-anak mereka hanya diizinkan bergaul dengan sesamanya. Mereka bahkan mengenyam pendidikan di kelompok belajar yang diciptakan Wangsa turun temurun. 
Anak-anak Zhao, Natyara dan Clinton mulai dikirim ke kediaman Wangsa sejak mereka masih begitu kecil. Saat Nicholas datang, kakak beradik Zhao sudah ada di sana. Yang lebih tua tampak mudah membaur dengan anak-anak lainnya, bisa dibilang Natyara adalah favorit dari kedua bocah lelaki Wang. Sedangkan Clinton menjaga jarak. 
Di mata Nicholas kecil, Clinton adalah sosok kakak sesungguhnya. Meski tidak pernah mengatakannya, Clinton jelas kentara tidak menyukai bocah tertua Wangsa. Bagi orang di luar konflik samar mereka, Nicholas menyadari Julius menemukan sosok pesaing dari diri Clinton yang lima tahun lebih muda daripada dirinya. 
Sama-sama terasing, Nicholas menjadi dekat begitu saja dengan Clinton. Mereka mulai membangun ikatan ketika Clinton menghalangi pukulan bat baseball Julius padanya hingga dahinya bocor. Meski selisih paham dan baku hantam sering kali terjadi, tampaknya Julius menganggap sikap Clinton membangkang. Namun, siapa yang akan tetap bersikap baik terhadap otak di balik pemerkosaan terhadap kakak perempuannya? 
Benar, Nicholas ada di sana ketika para lelaki dewasa itu menjadikan Natyara budak nafsu bejat mereka. Nicholas menyaksikan Clinton dengan putus asa menggedor pintu di mana kakak perempuannya dipermalukan. Bukan iba, Nicholas sama marahnya dengan Clinton kala itu. 
Salah satu alasan Nicholas masih belum ditendang ayahnya karena Natyara juga menyukainya. Selama Yara memperlakukan Nicho dengan baik dan menaruh minat padanya, baik Julius maupun Xavier tidak akan menyentuhnya. Jika ditanya siapa cinta pertama Nicholas, jawabannya adalah Natyara Cordelia Zhao. 
Itulah mengapa Clinton menitahkan Nicholas, bahwa harus dirinya yang mengacaukan perjodohan Julius dan Arabella.
Salah satunya karena… “Nick, Rosa Nera mirip Cece gue, ya?”
Tatkala mendengar ucapan Clinton, Nicholas hampir saja tersedak. Suatu malam di akhir minggu setelah Nicholas pulang dari Paris, mereka membicarakan kemungkinan Arabella bisa direnggut dari cengkeraman Julius. 
“Powerful woman, indeed,” jawab Nicholas enggan. 
“Gue nggak semata-mata nugasin elo karena balas dendam. Kayaknya lo bisa have fun sama yang satu ini sekalian kurangin beban lo dari urusan Arctics. We are bigger now.”
Senyum samar menghiasi wajah Nicholas. Hanya sedikit yang paham mengapa Nicholas setia kepada Clinton, salah satunya karena perhatian seperti barusan. 
“Ya. kita memang makin besar,” gumam Nicholas. “Apalagi Kalantara, he formed his own soldiers.” 
“You’re remarkable, Nicholas. Nggak akan ada yang ragu meskipun lo nambah kaki tangan baru. Paris bisa, lebih dari mampu. Tapi rencana kita panjang, lo semua harus ada di sana saat kita berhasil. Just recruit more people and train them. Lebih banyak yang seperti Megatruh, lebih baik.” 
Clinton berbicara panjang lebar sementara lawannya mendengarkan dengan seksama. 
“Ton, setelah ketemu Arabella in person, gue udah memutuskan lanjut tanpa harus lo yakinin ulang. Cuma, gue akan melakukannya pakai cara gue sendiri.”
---
Meski penyandang nama Alamsyah hanya tinggal dirinya dan sang ayah, kediaman mereka jauh dari kata sepi. Tanpa acara khusus seperti ini saja, si kepala keluarga gemar mengundang koleganya untuk makan malam atau sekadar kumpul-kumpul jika sedang senggang. Malam seperti ini hanyalah salah satunya, walau punya maksud berbeda.
Hubungan antara orangtua dan anak sudah lama sekali renggang. Arabella bahkan lupa kapan terakhir kali bertukar obrolan dari hati ke hati dengan ibunya. Ara sendiri disibukkan dengan kegiatan peagant begitu juga dengan urusan agensi milik keluarganya.Yang kedua sering kali dibuat samar dengan “mengurus pusat pendidikan keluarga”.  
Maka perempuan itu bungkam sementara tinggal menunggu waktu saja dipamerkan di hadapan pria yang ingin mempersuntingnya. Saat memasuki ruang makan kediaman Alamsyah, Arabella senantiasa memamerkan senyuman. Lengkung bibirnya tak jua hilang kala anggota keluarga Wangsa satu per satu diperkenalkan padanya. 
Benedict Wangsa, Harlina Wangsa, Xavier Wangsa, kemudian...
"Arabella, ini Julius. Julius, Arabella." 
Keduanya berjabat tangan sambil bertukar senyum ramah di depan orangtua mereka. 
“Julius.”
“Arabella.” 
Berikutnya, Arabella membalas tatapan langsung Julius dengan ekspresi bersahaja. Detik-detik itu mereka gunakan untuk saling mengamati fitur dan garis wajah satu sama lain. Lebih tepatnya menggali maksud tersembunyi di balik senyuman mereka. Agaknya, keduanya menyadari intensi satu sama lain. 
Arabella bukan tidak menyadari Julius mengubah persepsinya terhadap si gadis kecil Alamsyah. Dari pegangan tangannya, sorot mata, dan garis senyuman Julius kini menunjukkan sedikit kewaspadaan dari semula yang memancarkan kelembutan. 
Sedangkan di mata Julius, Arabella memperlihatkan aura tanpa gentar. Si sulung Wangsa itu tidak melihat sedikit saja tanda terintimidasi. Perempuan ini cukup percaya diri, sosok bunga tangguh yang lama tidak akan merangkak padanya. 
Setelah suasana di sekitar terasa hening dan sorot mata semua orang mengamati mereka, Julius menarik tangan Arabella mendekat ke wajah. Sejurus kemudian, Julius mengecup punggung tangan Arabella.
“Nah, makasih. Akhirnya kita nggak harus kelaparan malam ini,” suara Xavier mendadak memecah keheningan yang kemudian disambut tawa seluruh anggota keluarga. 
---
Alamsyah menyambut Wangsa dengan jamuan Rijsttafel, sebagaimana tradisi gastronomi mereka selama ini. Sementara seluruh anggota keluarga duduk, pelayan silih berganti berjaga di dalam ruang yang sama dan menjalankan tugas. 
Sepanjang makan malam, Arabella menyisir wajah satu per satu keluarga Wangsa. Hanya ada empat orang. Arabella tidak salah dengar, ‘kan? Nama pria yang dijumpainya di Paris adalah Nicholas Wangsa. Namun malam ini, wajah yang dikenalnya tidak ada di sana.  
“Anak saya ini dulu pada nggak mau dijodohkan. Kaget dong saya, habis Xavier bilang mau menikah sama Natyara, nggak lama si sulung minta dicarikan jodoh.”
Benedict bercerita tentang perjodohan yang kini kebanyakan ditentang anak muda, termasuk Julius.Disebutkan juga mereka kesulitan menentukan kandidat yang dikehendaki Julius sebelum mengambil langkah selanjutnya. 
Obrolan dua keluarga bergulir begitu saja. Meski tidak seceria Xavier, Julius juga banyak bicara. Belum banyak hal pribadi yang dipertukarkan. Percakapan di tengah Rijsttafel tidak perlu melibatkan hal yang terlampau pribadi. Alih-alih, mereka membicarakan tentang bisnis keluarga.
“Papaku kebiasaan.” Julius yang duduk di depan Arabella mengatakannya dengan gerak mulut. 
Perempuan itu mengangkat kedua bahunya sebelum lanjut bersantap. Saat ini pikiran Arabella terbagi, bertanya-tanya di mana salah satu keluarga Wangsa lainnya dan mengenai kesannya terhadap Julius begitu juga dengan keluarganya. 
Seseorang yang mengincar Arabella Alamsyah lewat jalur keluarga seperti ini sudah pasti memahami seluk beluk sisi dunia yang tidak banyak dibicarakan. Jika dilihat dari luarnya, Alamsyah bukan hanya bergelut pada perkembangan teknologi, melainkan juga upaya mereka memeratakan pendidikan. Keluarga ini memiliki jaringan lembaga pendidikan swasta yang tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia. 
Selebihnya, di balik itu semua ada Salvatore, sebuah badan sekaligus pelatihan intelijen swasta berbasis Singapura dengan Asia Tenggara sebagai cakupannya. Melatih ribuan agen bekerja di bawahnya, banyak di antara alumni Salvatore telah menyusup ke pemerintah. Agensi, seperti yang dibahasakan keluarga Alamsyah, menerapkan sexpionage untuk pertukaran informasi. Klien mereka beragam, mulai dari pejabat, konglomerat hingga organisasi kriminal. 
Karena yang satu ini tidak boleh lepas dari genggaman garis keturunan Alamsyah, Arabella dibentuk untuk meneruskannya. Karena hak istimewanya, Arabella tidak harus berkelana menebar jebakan madu seperti para agennya. Sambil menerapkan ilmu yang dipelajari, ia hanya perlu mengangkat citra keluarga sambil melakukan hal-hal yang disukainya.
Arabella menduga jika seorang pria sudah diterima ayahnya sampai ke jamuan makan malam pribadi seperti ini, Julius tahu banyak tentangnya. Hal itu bukan tidak mungkin, Nicholas saja bisa menemukan dan menjebaknya di belahan bumi lain. Padahal sepanjang waktu ia selalu berusaha menghindari orang-orang kiriman entah siapa. 
“Arabella, habis makan malam temani Julius jalan-jalan, ya?” Jadug mengusulkan di depan semua orang, mustahil untuk ditolak. 
Sambil mengangguk dan mengulas senyum, Arabella setuju, “Boleh. Ara juga mau tunjukin sesuatu ke Julius.”
Perempuan itu mampu menangkap kilat antusias di mata Julius. “Jadi nggak sabar,” pria itu berkata. 
“Hmm, kamu suka labirin?” 
---
Pertanyaan Arabella rupanya bukanlah basa-basi semata. Kediaman Alamsyah punya taman labirin dengan kolam dangkal dan gazebo di atasnya pada bagian tengah. Salah satu tempat favorit Arabella, meskipun ia lebih menyukai kamarnya atau bengkel seni pribadinya si salah satu paviliun.
Tempat yang punya arti personal ini akhirnya Arabella bagi bersama sosok tak terpikirkan sebelumnya. Saat mendengar Julius menyukai teka-teki termasuk labirin, maka rencana Arabella berakhir sempurna. Perempuan itu hanya ingin menghindari tatapan mata ingin tahu ketika berinteraksi dengan Julius. Baginya, seorang pria akan terlihat aslinya jika ada berdua saja. 
Khusus malam ini, taman labirin diterangi lentera-lentera pada sudut tertentu sehingga memungkinkan mereka untuk tetap menemukan jalan dalam gelap malam. Peraturannya sederhana, siapa yang tiba lebih dulu maka akan mendapat hadiah dari lawannya. Karena Arabella tuan rumah, ia mulai lima menit lebih lambat. Lagipula ada banyak cara untuk tiba di tengah taman, namun jalur utama berupa satu garis lurus sudah ditutup oleh pengurus rumah. 
Baik Julius maupun Arabella akhirnya tiba nyaris bersamaan. Sehingga diputuskan kali berikutnya bertemu, mereka akan bertukar hadiah. 
“Seru juga ya, jadi pengin punya satu di rumah,” komentar Julius ketika mereka tiba di gazebo. 
Mereka duduk berhadapan, tempat ini rupanya sudah dipersiapkan lengkap dengan sampanye, jus, air hingga camilan. Semua orang di rumah ini agaknya paham menemukan jalan keluar labirin cukup menguras tenaga. 
Julius menuang air ke dalam gelas bersih di hadapan Arabella. Perempuan itu tengah mengatur napas sambil mengamati sikap Julius.
“Ya, aku cukup sering main-main di sini. Makasih.” Arabella mengambil gelas yang bagian luarnya sudah berembun. 
“Are you okay to bring me here? Siapa tahu tempat ini terlalu pribadi.”
“Private, indeed. Cuma aku mulai merinding, semua orang mau tau apa yang kita obrolin.”
Mendengar jawaban Arabella, Julius terkekeh. “Oke, kalau gitu aku kasih kesempatan tanya dua kali,” ujarnya.
Arabella mengangkat sebelah alis sebelum balas tertawa, “Irit banget?”
“Disimpen buat ketemu lain kali. Karena, Arabella, kita bakal sering ketemu.”
Ucapan Julius lantas membuat bulu kuduk Arabella meremang. Jika didengar sekilas, kata-kata lawan bicaranya memang tidak terdengar berbahaya. Namun perempuan itu menangkap sedikit getar ancaman dari intonasi Julius. Sengaja ia loloskan tawa untuk mencairkan perasaannya sendiri; mau bagaimana pun ia tidak boleh membiarkan dirinya dengan mudah terbaca.
“Oke, silakan Julius tanya duluan. Sebagai tamu.” Arabella masih mencoba membangun obrolan mereka. 
Berikutnya, pertanyaan Julius benar-benar jauh di luar perkiraan. Lelaki itu menanyakan, “Taruhan, tempat ini bukan sudut rumah paling favorit kamu?”
Sementara tangannya mengambil gelas sampanye dari meja yang sudah terisi, Arabella tersenyum tipis. “Katamu, kita masih banyak waktu buat ketemu. Pelan-pelan, kalau kita beruntung ada ruang-ruang lain yang menunggu.”
“Gadis pintar,” ujar Julius sebelum menyodorkan gelas sampanyenya ke arah Arabella. 
“Makasih,” sahut Arabella disusul dengan denting kaca yang beradu. “Giliranku. Kamu bisa aja nggak menjanjikan pertemuan lain, jadi apa aku sesuai bayanganmu saat kamu minta semua ini diatur?”
Julius menyesap minumannya dengan tatapan terpaku pada Arabella. “Bayanganku…” sengaja ia memberi jeda sambil mengernyit. 
“Biar kita baru dikenalkan, lingkungan ini sempit. Aku selalu bisa dengar, banyak yang bilang Arabella Alamsyah trophy wife material. Bukan berarti kamu nggak pernah berpikir begitu.”
Atas ucapan Arabella, Julius seketika menyadari bahwa perempuan di hadapannya ini tidak akan memakan umpan berupa rayuan. Permainan pikiran dengannya akan jadi sempurna, pikir si sulung Wangsa. 
“Waktu aku minta papa atur pertunangan kita, aku memang butuh istri pajangan. Kurasa seenggaknya penerus Salvatore bukan orang tanpa otak. Sekarang bisa dipahami, reputasimu berbanding lurus dengan nilai dirimu,” terang Julius tenang.
Saat menyimak ucapan Julius, Arabella mengulum bibirnya sambil mengangguk. Pertanda lelaki di hadapannya ini murni tertarik padanya. Hanya sekejap Julius memahami Arabella dan preferensinya saat berkomunikasi.
“Besides, ada satu rumor lagi tentang kamu yang harus kucari kebenarannya sendiri.”
Mendengar “rumor”, Arabella sontak terbelalak sebelum menanggapinya dengan tawa. “Kurasa aku bisa tebak,” gumamnya. 
“Kita lihat nanti.” Julius mengerling usai menjawab. 
“Satu pertanyaan lagi, Julius,” Arabella mengingatkan. 
“Seberapa dekat kamu dengan Pingkan Radita Kaunang?”
Begitu nama sahabatnya disebut, Arabella hening sejenak. “Kami panggil satu sama lain ‘istriku’, kami gede bareng kayak kamu dan teman-temanmu. Hanya saja, kami cuma berdua dan kadang ada kakaknya Pingkan.”
Sejujurnya, Arabella penasaran mengapa Julius menyeret nama Pingkan dalam percakapan mereka. Namun tanda tanya yang muncul dibiarkan mengendap di kepala tanpa dilisankan. 
“Menarik,” ujar Julius. 
Saat tiba di pertanyaan terakhir, Arabella rupanya mampu membuat suasana hangat di sekitar mereka menguap. 
“Di antara Wangsa, siapa itu Nicholas?” 
Satu saja pertanyaan, Arabella berani sumpah jika senyuman Julius memudar seketika perempuan itu menutup mulut. 
Julius mencondongkan tubuhnya ke depan, menghujam Arabella dengan tatapan tajam. “Jadi, adik kecilku itu memperlakukanmu dengan baik, ‘kan, Arabella?” 
Perempuan itu membuang napas pendek lalu memamerkan senyum kemenangan. “Gotcha! Keluar juga aslinya,” batinnya. 
“Dia ramah.” Arabella mengangguk, sebelum kemudian menuang sampanye ke dalam gelas Julius. 
Entah apa yang ada di kepala Julius, hingga tangannya meraih pipi Arabella hingga tubuhnya terlalu condong ke depan. Lelaki itu mendekatkan wajah mereka, hingga tinggal beberapa senti saja. 
“Aku janji, pertemuan kita setelah ini, dia akan ada di sana,” ikrar Julius.
( to be continued )
3 notes · View notes
rrabbyy · 11 months
Text
: Teman pertama
Tumblr media
“Ahh.. sial, sial, sial!” teriak Joffan sambil berlarian di koridor sekolah, tanpa perduli dengan para murid sekitar yang menatapnya heran.
Padahal hari ini adalah hari pertamanya barada di Sekolah Menengah Atas, tapi sudah ada saja hantu menyebalkan yang terus mengganggunya.
~~~
Ketika berumur 10 tahun, Joffan mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia koma selama 2 bulan.
Bahkan pada saat itu, Joffan sudah hampir di nyatakan meninggal dunia. Namun, seolah ada keajaiban, pada bulan kedua Joffan berhasil sadar dari komanya.
Awalnya, Joffan hanyalah anak biasa yang normal seperti anak-anak pada umumnya. Sungguh tidak menguntungkan setelah sadar dari koma Joffan mulai bisa melihat para makhluk gaib yang seharusnya tidak bisa untuk dirinya lihat. Makhluk gaib yang biasa di sebut dengan ‘Hantu’.
Saat Joffan memberanikan diri untuk bercerita kepada kedua orang tuanya, mereka menganggap itu hanyalah halusinasi seorang anak kecil yang tidak perlu di tanggapi serius.
Hingga di umur 12 tahun, Joffan menyerah untuk memberi tahu kedua orang tuanya, dan memutuskan berusaha menerima keadaannya.
Karena hal itulah Joffan berakhir selalu di jauhi oleh anak seusianya, pikir mereka Joffan adalah anak yang menakutkan dan memiliki sikap yang buruk. Mulai dari suka berbicara sendiri, tiba-tiba berteriak, dan berlari ketakutan tanpa kejelasan apa yang membuatnya sangat ketakutan.
Kini Joffan sudah berusia 17 tahun. Tidak ada yang berubah, ia masih bisa melihat para hantu yang menakutkan itu.
~~~
Setelah lelah berlarian, Joffan memutuskan pergi ke rooftop untuk bersembunyi. Sudah lebih dari 10 menit Joffan berada di rooftop, namun belum ada satu hantu pun yang menghampirinya.
“Huhh..” Joffan akhirnya bisa bernafas lega, sepertinya para hantu yang tadi mengejarnya telah kehilangan jejaknya.
Joffan sangat berharap untuk tidak di pertemukan lagi dengan para makhluk menyeramkan yang suka mengganggu itu. Walau sebenarnya harapan seperti itu sangat mustahil baginya, karena selama mata Joffan masih bisa melihat mereka, maka mereka tidak akan menyerah untuk terus berdatangan dengan niat menganggu Joffan.
“Jam pelajaran pertama bolos dulu, ya?” gumam Joffan yang mulai duduk di salah satu kursi rooftop.
Sebenarnya sedari tadi ada satu siswa yang juga berada di atas rooftop lebih dulu darinya, bahkan sekarang siswa itu terus menatap Joffan. Tidak tahu apa maksud dari tatapan itu, mungkin juga menganggapnya sebagai orang aneh? Tapi Joffan sudah tidak perduli, di anggap sebagai orang aneh dan menakutkan bukanlah hal baru lagi bagi dirinya. Sudah biasa.
Jam pelajaran pertama hampir selesai. Sulit di percaya, siswa yang sedari tadi berada di rooftop bersama Joffan masih setia menatapnya.
Sebab merasa risih, Joffan membalas tatapan siswa itu. “Bolos pelajaran juga?” tanya Joffan. Membuat siswa yang di tanya spontan menunjukan ekspresi penuh keterkejutan.
Setelah melihat beberapa tingkah aneh Joffan barusan saat memasuki rooftop, tentu saja siswa yang kini bersamanya juga menganggapnya sebagai orang aneh seperti para siswa lainnya, bahkan mungkin ketakutan? Sebab itu ia terus menatap Joffan.
Seketika Joffan merasa bersalah dan sedikit canggung karena telah mengajaknya berbicara.
“Maaf..” ucap Joffan pelan.
“Iya, aku bolos pelajaran juga” kali ini Joffan yang terkejut, lebih terkejut ketika ia dapati siswa itu kini sedang tersenyum manis ke arahnya.
Ini untuk pertama kalinya setelah 7 tahun, ada anak seusia Joffan yang berbicara padanya dengan nada yang begitu lembut, juga memberikan senyum manisnya yang terasa sangat tulus dan hangat.
Memalukan.. rasanya Joffan ingin menangis.
Siswa itu masih tersenyum sambil mulai bangkit dari duduknya. Kemudian ia ulurkan tanganya ke hadapan Joffan “Nama aku Yoel! Nama kamu siapa?” tanyanya antusias.
“Joffan..” malu-malu Joffan menyambut tangan Yoel.
Tidak seperti senyumnya yang hangat, tangan Yoel terasa dingin, bahkan jika di perhatikan wajahnya tampak pucat.
Joffan bisa saja berpikir bahwa Yoel adalah hantu, tapi menurutnya itu tidak mungkin. Karena hantu yang sering ia temui wujudnya selalu menyeramkan dan menakutkan, sedangkan Yoel tidak begitu. Mungkin Yoel hanya sedang sakit? Begitulah pikir Joffan.
Yoel menarik kursi miliknya, lalu merapatkannya dengan kursi milik Joffan. Membuat mereka kini duduk bersebelahan, sangat dekat.
“Joffan suka apa?” tanya Yoel, sambil menendang-nendang pelan sepatu milik Joffan.
“Tiba-tiba?” aneh memang, baru bertemu tapi sudah bertanya apa yang di sukai. Tapi, karena sedari tadi Yoel tidak henti bertingkah lucu, Joffan tidak bisa mengabaikannya. Seperti saat ini, Yoel hanya memiringkan kepalanya dengan pipi yang sedikit ia kembungkan sambil menunggu jawaban dari Joffan.
“Apa yang aku suka, ya? Gak tahu.. mungkin belum ada” jawab Joffan.
Senyum Yoel kembali semerkah, bahkan kedua matanya hampir tenggelam karena senyumannya. “Mau jadi teman aku? Nanti aku bantu kamu buat nemuin apa hal yang kamu suka” tawar Yoel.
Memiliki seorang ‘Teman’ adalah hal yang sejak lama Joffan impikan. “Jangan pakai kata ‘Teman’ kalau cuma mau bercanda” tegas Joffan.
“Aku serius!”
“Apa untungnya buat kamu?”
“Bisa jadi teman kamu, itu adalah keberuntuang buat aku”
Hari ini Joffan tahu. Jika dirinya adalah orang aneh, maka masih ada orang yang lebih aneh. Yoel contohnya.
“Fine, ayo jadi teman” final Joffan.
~~~
Joffan kira Yoel bercanda ketika mengajak dirinya untuk menjadi teman, namun ternyata itu adalah benar.
Selama di sekolah Yoel terus mengekori kemana pun Joffan pergi, seperti anak bebek dan induknya.
Jika Joffan adalah anak yang pendiam dan hanya sedikit berbicara, maka Yoel adalah sebaliknya. Tingkah Yoel selalu berisik, bicaranya juga banyak. Tetapi itu tidak membuat Joffan lelah untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Ketika Joffan terlambat untuk pergi ke sekolah, karena di perjalanan selalu ada beberapa hantu yang suka mengganggunya. Kini ada Yoel yang setia menunggunya di depan gerbang sekolah bersama senyum manisnya.
Ketika kelas Joffan terlambat untuk istirahat, Yoel akan menunggu sambil mengintip lucu lewat jendela kelas. Tentu saja itu sangat menggemaskan. Membuat Joffan tidak bisa fokus dengan kelasnya, hanya terus memperhatikan Yoel.
Setelah mengenal Yoel hidup Joffan mengalami banyak perubahan. Bagaikan musim salju yang tiba-tiba di sinari oleh cahaya musing semi. Rasanya seperti.. Joffan benar-benar telah di hidupkan kembali usai 7 tahun yang lalu dirinya mengalami koma.
Namun, pertemanan mereka bisa terbilang cukup aneh. Hanya menghabiskan waktu ketika di sekolah. Selalu pergi ke kantin bersama tapi tidak pernah makan bersama. Yoel selalu memiliki beberapa alasan yang membuat dirinya tidak makan.
Mereka juga tidak pernah berangkat atau pulang sekolah bersama, tidak pernah pergi jalan-jalan bersama.
Tetapi Joffan tidak mempermasalahkannya, ia dapat memahami hal itu. Mungkin karena Yoel sedang sakit parah? Makanya Yoel tidak bisa makan sembarangan atau pergi keluar sembarangan.
- BERSAMBUNG..
2 notes · View notes