Tumgik
#5cc3
khoridohidayat · 1 year
Text
Hai, ini ada undangan untuk acara nikahanku, barangkali bisa datang yaa.
Aku membaca pesan WA sederhana dari sahabat dekatku, Gio. Dulu kami adalah anak yang biasa nge cafe bareng, kerjain skripsi bareng, dan galau bareng soal akan diselesaikan kapan ini skripsi. hehe.
Hari ini aku mendapatkan undangan untuk acara bahagianya. Dia akan menggenapkan agamanya. Tentu, sebagai seorang teman, aku adalah salah satu orang pertama yang juga bahagia mendengar kabar itu. Tapi, kalau boleh jujur, ternyata kabar ini juga mentriggerku untuk mulai mempertanyakan diri sendiri. Kapan aku menikah? Kapan aku akan menemukan seseorang yang tepat? Kapan aku bisa yakin kepada satu wanita kemudian berkomitmen mengarungi suka dan dukanya hidup?
Bukankah dulu kita sama-sama susah?
Bukankah kita dulu sama-sama mengerjakan tugas bersama?
Namun kenapa dia sudah menemukan sesorang yang tepat sedangkan aku belum?
Satu per satu pertanyaan ganas mencekoki pikiranku.
Ya, tidak ada orang yang lebih jahat dari pikiran kita sendiri, kan? Beruntung aku tak sampai menyalahkan takdir.
Namun beberapa pertanyaan memang masih menghantui.
Apakah aku harus menurunkan standar?
Atau aku perlu meluaskan sabarku?
Atau mungkin aku yang perlu memantaskan diri lebih jauh lagi?
Berbagai pertanyaan itu masuk secara berbarengan, memuat syaraf otakku kelimpungan mencerna satu per satu.
Astaga, aku harus kembali kepada realita. Here and now.
Aku jawab pesan singkatnya
”wahh, congratulations ya Gio. Semoga dimudahkan dan semoga aku bisa dateng di acara bahagiamu.”
@langitlangit.yk @careerclass @bentangpustaka-blog
5 notes · View notes
dwinoviantari · 1 year
Text
Bukan Sepasang
Pernah kau hitung jumlah alas kaki pada rak sapatu milikmu? Milikku lebih dari jumlah hari pada sepekan. Tidak heran, memang begitu yang sering dilakukan banyak orang.
Pernah kau total semua pakaianmu yang terlipat dan tergantung di lemari? Aku tak tahu persis berapa banyak yang kupunya. Tapi kupastikan sebanyak apapun mereka, aku tetap pusing memilih bahkan satu baju untuk sekadar ke luar rumah.
Aku mengganggap lumrah kepemilikan barang melebihi batas normal. Batas yang sesungguhnya tak punya standar hitungan. Menumpuk banyak. Menganggap semua adalah hak diri. Toh, aku membelinya dengan uangku dan aku menyukainya. Aku terus melakukan itu, hingga saat momentum kekhawatiran datang. Aku terus memikirkan apa yang telah menjadi kebiasaanku bukanlah hal yang benar.
Sendal dan sepatu yang kupunya tidak bertugas dengan pantas. Untuk dibawa ke luar dari raknya, aku harus menunggu momentum. Pergi makan di luar. Pergi ke resepsi pernikahan kawan. Aku merasa nelangsa pada rupa menawan mereka yang hanya kubiarkan mengisi kotaknya. Sepatu dalam kotak asalnya berderat pada deretan rak sepatu di rumah. Meski benar ia milikku tak benar-benar ia adalah sepasang denganku.
Baju, gamis, dan pakaian milikku ada yang masih bersampul plastik belum pernah kukenakan barang sedetik. Aku menyimpan itu karena belum menemukan momentum yang tepat untuk memakainya. Satu-dua baju juga hanya kupakai sekali waktu pada momentum yang kuanggap tepat. Saat kutenggok wujud cantik mereka di lemari ada semburat rasa bersedih. Aku dan baju yang kupunya memang bukan sepasang yang pas.
Pelangi dengan tujuh warna cantiknya saja sudah bisa kukalahkan dengan jumlah warna jilbab di lemariku. Aku turut berduka pada kekhawatiranku dalam berlebih-lebihan tapi esoknya masih menumpuk satu barang karena terlihat lucu.
Akhir-akhir ini aku mulai mengkhawatirkan diri pada kata berlebih-lebihan. Menumpuk pada jumlah tanpa batas. Memiliki yang tak bisa diberi hak pasti. Aku tak sedang bicara minimalis. Meski beberapa buku soal itu sudah kubaca, aku masih kesulitan untuk bergabung di dalamnya. Semisal kujejer semua barang yang kupunya dan memegangnya satu persatu kurasa akan tetap menyulitkan untuk memilih beberapa saja. Aku menanyai diri tentang bagaimana bisa begitu tenang dengan menumpuk dan memiliki barang yang tidak sepasang dengan diri.
Aku tidak ingin mencari pembenaran dengan yang lumrah orang lakukan. Aku juga tidak ingin menanyakan bagaimana keadaan orang lain dengan barang-barangnya. Pun mencari analogi barang dengan hal lainnya sebagai usaha diri keluar dari rasa bersalah tidak akan kulakukan. Saat kesadaran tentang pemahaman berlebihan sampai padaku, aku tidak ingin membandingkannya dengan orang lain. Aku ingin keluar dari rasa bersalahku dengan barang-barang tidak dengan pendapat orang lain. Sebab jika mereka menyatakan normal, aku akan tetap berkemelut dengan diri sendiri.  Ini adalah hal yang harus kuselesaikan segera.
6 notes · View notes
inesyafr-blog · 1 year
Text
HEAR YOURSELF : “Kali Ini, Tujuan Tak Akan Diubah, Pintu Yang Diketuk Akan Lebih Banyak, Biarkan Petunjuk Dzat Maha Pemelihara Yang Bekerja Dengan Prasangka Baik”
Hari menuju minggu, minggu yang sudah menjadi bulan, bulan yang telah berjamak. Target itu sudah dibidik. Kepayahan sudah dijalani. Koin demi koin sudah dikuras dari lumbung tabungan. Tapi titik hasil itu belum nian nampak. Nafas dalam mulai sering terdengar. Keraguan akan jalan dan titik awal sudah mulai sering melambai. Evaluasi satu titik ke pos pos lain masih terus dilakukan. Sesi sesi informal untuk pengetahuan akan terus diusahakan. Pundi-Pundi akan terus diatur.
Namun, apa ini? Kenapa tiba-tiba ketidakmungkinan itu terasa membesar? Apa yang salah ? kemana arah harus dikerahkan? Apakah target ini tidak direstui? Apakah usaha ini melawan keridhoan hati manusia? Apakah harus arah kompas digeser? Lagi? Bolehkah yang kali ini, ditemui hasil yang diinginkan? Ataukah memang kepala yang kosong akan masa depan ini harus lebih cepat lagi untuk berlari merengek ke pada Pemilik Orbit Siang  Malam? Bagaimana kalo terus aku ketuk pintu-pintu lain dengan tujuan yang sama? Akankah berbuah manis?
Tidak. Tidak lagi. Tidak lagi akan berhenti. Tidak, tidak lagi akan merasa tiada jalan. Tidak, tidak akan lagi mengizinkan prasangka buruk menguasai. Perang itu tidak akan berhenti hingga prasangka baik menjadi habit selama hari baru masih terus dizinkan untuk ditemui. “Rabbighfir li, wa li walidayya, warham huma kama rabbayani shaghira.” Doa-Doa akan terus mengutuk pintu-pintu tingkatan langit hingga ke langit tertinggi. Jalan ini adalah jalan dimana penyesalan tak akan mampu datang, karena usaha optimal itu sudah pernah ada, terbesar yang dipunya.
3 notes · View notes
Text
Surat ketiga dibulan Maret
Hi apa kabar?
Masih tetap bertahan di bulan ke tiga 2023 kan?
Gimana evaluasi nya kamu termasuk produktif atau hanya sibuk dengan segala ketidakteraturan yang kamu buat.
Masih mau dilanjutin pola hidup yang tidak sehatnya? Dengan jadwal yang masih berantakan. Dengan segudang resolusi yang ntah akan dieksekusi atau sekedar wacana sampai akhir tahun nanti.
Hi kamu, orang yang paling aku sayang. Yuk mulai bebenah kediri sendiri dulu. Rapiin jadwal harian kamu, tentuin 3 hal yang menjadi goals kamu tahun ini.
Jangan tanya waktu terbaiknya kapan buat memulai. Karena waktu terbaik adalah hari ini, semakin cepat perubahan itu dimulai, semakin cepat hasilnya akan kita lihat.
Jangan lupa selalu berdoa setiap ingin melakukan suatu pekerjaan, agar Allah sertai selalu dengan keberkahan.
#5CC #5CC3 #bentangpustaka #Writingcareerclass
4 notes · View notes
kurniaristi · 1 year
Text
IBU
Meskipun usiaku sudah tidak bisa dibilang anak-anak lagi tapi ibuku selalu memperlakukanku seperti putri kecilnya, ,
Membuatkan sarapan dan teh hangat setiap pagi
Menyiapkan air hangat untuk mandi ketika aku pulang larut malam
Selalu terjaga dan memastikan aku masuk kamar baru beliau bisa tidur
Kau tau apa yang paling bikin aku menangis?
Ialah doa ibuku yang selalu ia pajatkan untukku, doa ibuku disepertiga malam meminta dengan penuh pengharapan agar aku dipermudah jalan hidupnya.
Dan aku pun yakin setiap kemudahan - kemudahan dalam hidupku pasti karna doa doanya yang tidak pernah putus ia panjatkanku. Doanya lah yang selalu menyelamatkanku.
Terimakasih ibuk
Maafkan anakmu ini yang walaupun sudah besar tapi masih saja bergantung padamu ❤
2 notes · View notes
mellyniaainur · 1 year
Text
Terimakasih Sayang
"Sayang, aku boleh minta tolong?"
"Sayang, besok kamu ada agenda kah?"
Awal percakapanku dengannya dua hari lalu.
Setiap kami butuh bantuan tak lupa kata 'tolong' yang pertama kami utarakan. Menurutku hal itu bentuk kami saling menghargai sebagai pasangan.
Dia balik bertanya "Kenapa sayang? Besok aku gk ada agenda kok"
Akupun mengutarakan rencanaku besok kalau akan ke Bandara Juanda Internasional untuk menemui Ibu yang sedang mengantar Budhe kembali ke Malaysia.
Sebenarnya aku tipe orang yang tidak enak meminta bantuan selama aku bisa melakukannya sendiri.
Tapi kali ini berbeda. Suatu hari aku mendapatkan pesan dari seorang teman, dia berkata "Sebagai sepasang kekasih, seorang laki-laki merasa dihargai jika dia dibutuhkan oleh perempuannya".
Akhirnya aku mengikuti saran temanku ini. Aku mencoba memposisikan diriku disaat aku bersamanya, disaat aku memang butuh bantuan.
Dia sempat ragu dan bertanya-tanya "Memangnya boleh sayang kalau aku ikut kamu ke Bandara bertemu dengan keluargamu?"
Yapss benar, sebelumnya dia belum pernah bertemu keluargaku. Sebenarnya disisi lain dia senang, karena sebelumnya dia punya rencana bermain kerumah, tapi takdir berkata lain. Kala itu, aku yang bertemu lebih dulu dengan pihak keluarganya dalam rangka takziah karena ayahnya meninggal. Innalillahi wa innailaihi roji'un
Aku sempat ragu, dipikiranku bertanya "Boleh tidak ya?"
Sehingga aku mengirim pesan ke Ibu untuk bertanya "Apa boleh kalau aku mengajak dia, karena sebelumnya dia pernah ke Bandara?" Dan Ibu membolehkan.
Singkat cerita hari itu tiba, aku menjemput ibu ke Bandara bersamanya.
Dan hari itu pertama kalinya dia bertemu dengan ibuku dan beberapa saudaraku. Campur aduk rasanya, antara senang, takut, dan gelisah.
Terimakasih kamu yang sudah mau menemaniku seharian menyambut keluargaku di tempat rantau ini. Mungkin aku tak sanggup jika melakukan sendiri dengan berbagai keriwehan itu.
Memang masih banyak kegelisahan dibenakku akan hubungan ini, tapi aku hanya mau bilang kalau aku bersyukur bertemu denganmu. Kamu sosok orang yang memberikan pelajaran di part hidupku. Sekali lagi terimakasih sayang, semoga Tuhan berkehendak akan hubungan kita dan jika tidak, semoga kamu tidak menyesal mengenalku.
2 notes · View notes
rumaisyahw · 1 year
Text
Untuk apa yang harus aku hadapi, siapa takut?
Dengan segala kesulitan yang sedikit kuceritakan kemarin, siapa yang menyangka ternyata seiring bertambah usia semakin banyak hal yang terjadi di dunia ini. 
Walaupun kadang kita ga pernah tau, akhir perjalanan yang kita jalani akan membawa kita kemana dan seperti apa. Tapi, menyadari adanya tanggung jawab yang besar, pertimbangan yang harus difikirkan, tugas yang perlu diselesaikan, sedangkan masalah pun masih datang silih berganti ITU SERU!
Seru, karena dalam kesulitannya aku lebih memahami apa yang ada dalam diriku sendiri. Memahami artinya bisa menurunkan ego untuk mengejar banyak hal serta menerima apa yang kujalani saat ini, memahami apa kebutuhan diri dan mengatur keinginan yang muncul tiba-tiba. Menantang sih, ternyata seni hidup menjadi dewasa seperti main lego, susun-runtuh-bangun-ulangi.
Dewasa bukan sesuatu yang menakutkan. Untuk apa yang harus aku hadapi, siapa takut?
@kurniawangunadi @bentangpustaka-blog @careerclass
2 notes · View notes
chocohazel · 1 year
Text
Takut Menjadi Tua dan Sakit
Orangtuaku dengan segala lebih dan kurangnya adalah orangtua yang menurutku sangat sempurna. Mereka memberikan segala yang terbaik yang mereka mampu upayakan bagi anak-anaknya. Jika bicara luka pengasuhan apa yang mereka tinggalkan, aku cukup percaya diri untuk mengatakan tidak ada. Di keluarga kami, semua orang punya suara. Bebas asal bertanggungjawab. Maka semarah-marahnya, ibuku hanya akan bilang bahwa beliau sedang marah dan mengoreksi apa yang salah, itu saja. Tanpa ekspresi yang mengintimidasi, tanpa suara yang meninggi dan tentu saja tanpa hukuman fisik. Bapak Ibuku membersamai pertumbuhan kami dengan nilai-nilai moderat yang bahkan bisa jadi tetap relevan hingga saat ini.
Namun, tiada manusia yang tanpa cela. Aku lahir ketika kedua orangtuaku hampir berusia empat puluh tahun. Seingatku saat kelas empat SD, bapakku mulai beberapa kali dilarikan ke rumah sakit, diabetes katanya. Pikiran anak-anak membuatku takut untuk mencari tahu lebih banyak. Aku hanya bertanya apakah Bapak akan segera meninggal? Semua orang bilang tidak. Yasudah, aman, yang penting itu saja.
Lalu setelah Bapak sembuh, tiga tahun kemudian gantian Ibu yang sakit. Aku sudah lebih besar, 12 tahun saat itu. Ibu yang sejak muda merupakan penderita hipertensi diuji dengan penyakit paling menyebalkan seantero bumi—stroke.
Ibuku kehilangan banyak fungsi di tubuhnya, hampir semua, termasuk ia tidak lagi bisa bicara—bahkan hingga beliau tutup usia. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu bahwa dunia bisa berubah sedrastis itu. Kupikir hidupku akan selalu nyaman dan aman saja. Rupanya tidak, takdir buruk bisa menimpamu kapan saja dan yang bisa kau lakukan hanyalah menerimanya.
Waktu berlalu, kemudian tiba masanya aku lulus SMA. Semua orang mulai berencana membangun masa depan melalui keluwesan belajar dan berjejaring di perantauan. Aku yang sejak awal perlu benar-benar sadar diri, bahkan tidak sampai hati mengkhayalkan bagaimana kiranya hidup di rantau. Pilihanku terbatas, amat terbatas. Walau orangtuaku sebenarnya menentang batasan yang seolah kuciptakan sendiri dan membebaskanku untuk berkembang seluas-luasnya, aku tetap harus sadar bahwa di rumahku, kehadiranku lebih dibutuhkan dibanding apapun yang nanti perantauan mampu beri.
Sejak saat itu, aku sadar bahwa memiliki orangtua yang sehat dan masih muda adalah privilege yang luar biasa. Maka ketika memulai khayalan tentang menjadi Ibu dan membangun keluarga, ketakutan terbesarku adalah menjadi tua dan sakit.
Aku takut jika akan ada seorang anak lagi yang harus mendewasa sebelum waktunya.
Aku takut jika akan ada seorang anak lagi yang merasa perlu sadar diri dan mengubur dalam mimpi-mimpinya.
Aku takut jika akan ada seorang anak lagi yang tumbuh dan mendewasa sendirian dan merasa kesepian setelah kutinggalkan.
Aku takut jika akan ada seorang anak lagi yang merasakan apa yang kurasa.
Aku sayang Ibuku, aku selalu menyayanginya. Dia adalah semesta dan idola pertamaku sejak dulu dan hingga selamanya. Aku akan menjadi Ibu yang seperti dia. Baiknya, cantiknya, cerdasnya, pengertiannya, sabarnya, teduhnya, hangatnya, semuanya; tapi tidak tua dan sakit.
6 notes · View notes
adindaka · 1 year
Text
Sangat Disayangkan
Hari ini aku mulai mengalami kendala dalam menulis. Belum pernah sebelumnya aku menulis selama tiga hari berturut-turut dan langsung mempublikasikannya. Meskipun selama ini sebenarnya aku cukup suka menulis, mayoritas tulisanku hanya berakhir di draft. Aku tidak berani mempublikasikannya. Aku terlalu takut dengan respon orang lain. Aku sering teringat sebuah kejadian ketika aku cukup sering mempublikasikan tulisanku. Pahit rasanya. Tapi, saat ini dengan bangga aku katakan bahwa untuk pertama kalinya aku berhasil mencoba memberanikan diri untuk menulis lagi di sini.
Dalam kekosongan ide hari ini, aku mencoba mencari ide dengan membuka blog-blog lamaku. Ya, aku punya banyak sekali situs blog. Mungkin ada sekitar enam atau lebih domain blog di berbagai platform yang berbeda. Ada blogspot, tumblr, multiply, wordpress, myspace, dan lain-lain. Di blogspot saja aku memiliki tiga blog, di tumblr juga sama, belum di platform lainnya, jadi entah ada berapa totalnya. Tapi saat ini aku hanya bisa mengakses tumblr dan blogspot karena yah, masalah sejuta umat, lupa passwordnya.
Aku mulai dengan membuka akun tumblrku. Aku langsung menuju blog yang bukan blog utamaku untuk membaca-baca postingan dan draft lama agar bisa membangkitkan ide. Isinya tidak terlalu banyak. Rata-rata berisi tentang keluarga, teman, sahabat, dan keluh kesah selama kuliah.
Merasa masih belum menemukan ide, aku memutuskan berpindah ke platform yang dulu menjadi favoritku, blogspot. Aku langsung menuju draft karena aku ingat dengan jelas ada banyak tulisanku yang pernah kubuat dan publikasikan berakhir aku arsipkan lagi di draft karena satu dan lain hal. Dan benar saja, ada sekitar dua puluhan tulisan di sana. Ada yang menggunakan tulisan penuh simbol dan emotikon, ada juga yang menggunakan bahasa normal.
Aku membaca beberapa mahakaryaku. Beberapa di antaranya membuatku terpingkal, tidak sedikit pula yang membuatku merasa illfeel, tapi ada juga yang berhasil membuatku takjub sendiri. Aku langsung berpikir, wow, ternyata aku dulu bisa menulis lumayan bagus ya? Sayang sekali aku tidak berani mempublikasikannya. Iya, sangat disayangkan.
Sangat disayangkan, aku pernah memilih untuk mengubur hal yang dulu aku sukai hanya karena takut dengan respon orang lain. Sangat disayangkan, aku lebih memilih tidak mengekspresikan diri sendiri hanya karena tidak ingin menjadi bahan olok-olok yang bahkan belum terjadi.
Memang sangat disayangkan tapi itu sudah terjadi. Apapun yang terjadi, aku tetap mencoba menyukainya dan tidak menyesalinya. Semuanya menjadi pelajaran penting untukku. Aku juga bersyukur dulu memilih untuk menyimpan segala sesuatu di draft, sehingga aku bisa membuat tulisan seperti ini berdasarkan draft yang dulu aku simpan. Terima kasih diriku, terima kasih juga semua yang dulu pernah terlibat. Terima kasih ✨
3 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Jalan terbaik
Putih abu-abu adalah simbol dari anak SMA.
Rasa tertekan, terbebani, lelah fisik dan mental.
Hati saya terpenuhi dengan rasa ini.
Terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Yang bisa saya lakukan hanya berusaha dan berdoa.
Ketika hasil itu diumumkan, ternyata bukan pintu jalan yang saya inginkan.
Tapi pintu jalan yang terbaik untuk saya.
Hanya Dia yang tau saat itu.
3 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Untuk yang Masih Berdetak
Bagaimana pagimu hari ini? Masihkah terasa berat beranjak dari ranjang? Apakah rasa enggan terus mengikat tubuh dan jiwamu?
🎶 Untuk hati yang terluka, tenanglah kau tak sendiri. Untuk jiwa yang teriris, tenang, ku kan temani. 🎶
Sayap-sayapmu telah lama patah. Hidup yang kamu harapkan diruntuhkan kenyataan sejak dalam angan. Tiada lagi gairah seperti dulu. Kamu tak tahu mesti ke mana mencari. Dunia telah lama berpaling. Tepatnya mereka.
Hari-hari berjalan se-apa-adanya dengan kerapuhan dalam dirimu. Bersyukur jika tidak ada yang mengguncang tatanan jiwamu. Sedikit saja ada yang mengusikmu, buyarlah sudah. Pikiran-pikiran kelam cepat hinggap. Duniamu yang baru saja mekar kembali layu.
Kamu sudah lelah berlayar. Kapalmu karam. Mereka memaksamu bertahan. Tapi kerap kali juga menjatuhkanmu. Lantas kembali menuntutmu menghadapi dunia. Dunia yang seperti apa? Hidup yang bagaimana? Hidupku rasanya seperti bukan milikku, katamu.
Kamu ingin merajut mimpi-mimpi itu, satu per satu. Dengan luka-luka tak kasat mata, kamu mencoba menata puing-puing yang runtuh. Belum genap utuh satu pijakan, angin kencang menyapu, kembali berserakan. Kenapa jalanku begitu terjal? Aku juga ingin apa yang kulakukan berjalan mulus.
Aku...aku ingin mengatakannya padamu, kamu berharga. Kamu boleh tidak percaya. Tapi bagiku begitu adanya.
Dan terima kasih telah bertahan. Pastilah sesak menahan sendirian. Untuk luka-luka yang kamu sembuyikan, mari kita sembuhkan. Mungkin akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Melawan dunia sendirian tidak mudah, tapi ada kawan bersamamu.
Tak apa belum sekarang, perlahan-lahan dulu. Tak usah banyak dengarkan suara sumbang. Jika harus melawan, lawanlah! Kata hatimu utamakan.
Mulailah bergerak membuat memori baik saat ini untuk menumpuk memori buruk masa lalu. Ia tidak bisa kamu hapus, tapi setidaknya kamu memiliki amunisi baru untuk melawannya.
Bertahanlah. Percayalah.
Jika masih ada yang percaya padamu, mengapa kamu tidak?
Pictures from Pinterest
@careerclass
4 notes · View notes
truegreys · 1 year
Photo
Tumblr media
50:50
“Mau di mana?” Ujar rekan saya yang beberapa waktu lalu saya ajak bertemu. Biasanya memang sayalah yang menetukan tempat ngobrol yang ‘enakeun’. Instagramable, kalau beruntung.
“Ada cafe baru di Cihapit. Di situ aja.” Saya kemudian mengirimkan nama dan lokasinya lengkap dengan waktu perkiraan saya sampai di sana.
Saya dan rekan saya itu punya cerita yang berbeda, tapi punya satu titik di mana kami berdua harus merasa ‘tenggelam tapi tidak bisa mati’. Sebuah fase hidup di mana akhirnya kami beruda menyatutkan tanda semikolon di hidup kami. Bukan titik, bukan akhir, tapi kami memilih untuk melanjutkan kembali kehidupan.
“Gak nyangka kita bisa ngelewatin fase itu, ya.” katanya. Saya tersenyum pahit.
“Pernah, gak, sih, kamu mikir kalau mungkin di waktu mendatang fase itu muncul lagi, struggling lagi, tenggelam lagi tapi gak bisa mati, terus hampir sekarat lagi?” Pertanyaan saya berhambur setelah saya seruput minuman pahit lekat berwarna kecoklatan yang sejak awal pembicaraan tersedia di hadapan saya.
“Pernah. Banget. Jatuhnya gak akan bisa dihindari, sih, fase kayak gitu. Kata dokter, asalkan kita atur persepsi, kita pasti bisa laluin. Justru, aku merasa kalau fase itu udah bisa aku lewati, aku pasti bisa melewati apapun di hadapanku, sesulit apapun itu. Hahaha. Jumawa, ya?” Katanya. Saya tanggapi pernyataannya dengan tawa ringan. Lucu sekali memang cara hidup bekerja. Semua hal buruk dan semua hal baik pasti akan terjadi. Masalahnya, seringkali saya hanya terpaku pada hal buruk. Padahal masih ada hal baik yang bisa saya pilih untuk diingat dan dijadikan memori jangka panjang.
“Tapi bagiku, kalau misal fase hidup yang buruk itu datang lagi dengan bentuk yang baru, justru aku gak tahu apakah aku bisa ngehadepin dengan baik, atau bahakn ngelewatin dengan selamat atau nggak.” Jawabku.
#5CC #5CC3 #bentangpustaka #writtingcareerclass https://www.instagram.com/p/Cpb2TGpvCch/?igshid=NGJjMDIxMWI=
2 notes · View notes
nydaafsari · 1 year
Text
DIALOG DIRI [MEMVALIDASI]
"Di tengah riuhnya isi pikiranmu dan apa yang orang lain katakan padamu, seberapa mampu kau memberikan validasi kepada dirimu sendiri?"
"Masih bergantungkah dirimu pada validasi dari orang lain?"
"Seberapa berani dirimu untuk tegas mengatakan bahwa apa yang orang lain sampaikan itu tidak sepenuhnya benar atau bahkan tidak benar?"
-----------
Pagi hari, hari hujan, rintiknya terdengar jatuh di atap rumah. Rupanya dia menyadari bahwa perkara memberikan validasi kepada dirinya sendiri bukan hal yang mudah. Ia terlalu rapuh untuk mengatakan dengan lantang bahwa diri ini begitu berharga. Tak peduli sudah berapa banyak upaya yang ia lakukan untuk dirinya dan orang lain, apresiasipun tak pernah lengkap diterimanya. Justru olokan yang paling banyak didengarnya.
Kadang ia bingung, hingga muncul pertanyaan baru yang membuatnya sulit terlelap.
"Apakah benar seburuk itu dirinya?"
0 notes
nqamariah · 1 year
Text
[EKSISTENSI]
“Media hanya butuh sensasi. Sensasi untuk menjaga eksistensi dan kehidupannya di tengah persaingan keras.” -Hanum Salsabila Rais-
Sebagian mau dikenal sebagai manusia biasa saja. Sebagian mau dikenal sebagai manusia penuh pencapaian. Sebagian mau dikenal sebagai manusia yang ahli di satu bidang. Sebagian mau dikenal sebagai manusia yang punya banyak kenalan. Sebagian mau dikenal sebagai manusia yang berpengaruh. Sebagian mau dikenal sebagai manusia yang bisa bersaing dengan yang lain. Bahkan ada juga yang kalau bisa tidak perlu dikenal sebagai orang yang punya ciri khas, cukup menjalani hidup sendiri tanpa memusingkan manusia lainnya.
“Eh tapi sekali kamu punya nama atau identitas berarti sudah eksis kecuali menghilang dari muka bumi baru eksistensimu kemungkinan bisa berhenti. Api eksistensi akan tetap hadir selama kamu tetap menghirup oksigen di muka bumi”, katanya
_________________________________________
0 notes
roqfahshere · 1 year
Text
Skenario Dramatis
Tumblr media
Entah sejak kapan, aku mulai menyadari bahwa diri ini sering membiarkan pikirannya berimajinasi untuk membuat skenario dramatis yang mungkin menimpa.
Mungkin, skenario itu sengaja kubuat dengan maksud agar lebih waspada seandainya kemungkinan buruk yang kutakuti benar-benar terjadi. Namun ternyata skenario tersebut malah membuatku semakin takut dan cemas, bahkan menyesakkan dadaku sendiri.
Di fase peralihan menuju dewasa, aku kira pikiran penuh sesak merupakan hal lumrah karena mereka yang lebih dahulu dewasa sering berkata begitu.
Hingga akhirnya aku menyadari bahwa ada yang keliru dalam menyikapi pikiran yang sesak ini. 
Karena seharusnya, keributan dalam pikiran ini jangan diberikan tempat untuk menetap, bahkan hanya sekedar untuk membukakannya pintu. 
Oleh karenanya, ketika menyadari pikiran seperti itu mulai menguasai, aku mencoba menghela nafas untuk menenangkan diri. 
Kemudian bertanya kepadanya, apa sebenarnya yang ditakuti? Apa perlu ditakuti sebesar itu? Atau mungkin hanya imajinasiku saja yang berlebihan padahal tidak ada yang perlu ditakuti?
Aku belajar untuk mengendalikan pikiranku sendiri. Tentu bukanlah hal mudah, bahkan bisa kubilang sulit karena pikiran liar itu selalu saja muncul tanpa kuminta. 
Namun setidaknya, inilah caraku untuk memastikan agar pikiran liar tidak menggerogotiku dengan semena-mena lagi.
8 Maret 2023
Sumber foto: Pinterest
0 notes
fajarrpriyambada · 1 year
Text
BIAS
“Jadi orang itu jangan malas-malas, bangun pagi, bersih-bersih kamar. Tuh lihat kakakmu!! Kamarnya selalu rapi, jam segini sudah bantuin ibu masak.”
“Kenapa sih kamu gak kayak kakakmu gitu? Kalau dikasih tahu, selalu membantah!!”
BERISIK!! Pikiranku rasanya penuh dengan kalimat yang itu-itu terus! Berulang kali ku mendengar mereka melihatku hanya sebagai bias dari orang-orang terdekatku. Seakan-akan aku ini sebuah cermin yang harus selalu sama dengan mereka. Dulu, aku rasa ini wajar-wajar saja, menjadikan orang lain sebagai “role model”, mungkin begini caranya hidup di dunia. Sampai di suatu ketika, aku sadar, aku tak nyaman dengan semua ini. Aku bahkan tak tahu apa “life goals” ku sebenarnya. Setiap langkahku, selalu ku samakan dengan kakakku. Kakakku kuliah, aku juga harus kuliah. Padahal aku sebenarnya tahu kemampuanku saat ini, aku masih belum mampu untuk masuk kuliah di jurusan yang sesuai keinginanku. Asal masuk kuliah saja, tidak peduli jurusannya apa, kampusnya apa.
Beberapa hari ini, aku merenungi diriku. Bodoh sekali keputusanku waktu itu, tapi lebih bodoh lagi kalau aku terus berandai-andai waktu bisa kuputar kembali. Aku memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku masih ragu untuk mengambil keputusan sendiri, sedari kecil terbiasa diatur oleh orang tua, bahkan untuk urusan aku keluar pakai baju yang mana pun harus sesuai kemauan mereka. Setiap keputusanku butuh validasi orang lain, sebelum melangkah ke arah selanjutnya.
“Benarkah aku sudah menjadi manusia seutuhnya?”
“Bagaimana bisa aku dikatakan merdeka, kalau aku tak bisa membuat keputusan atas kemauanku sendiri?”
AARRGGHHH!! Rasanya ingin sekali keluar dalam lingkungan yang sekarang. Menemukan teman baru, yang bisa menemaniku tumbuh bersama. Sampai nantinya aku bisa menjadi manusia seutuhnya, yang merdeka.
0 notes