Tumgik
#5cc11
truegreys · 1 year
Text
Menu Sarapan dalam Bertahan Hidup: Episode Satu
Aku tak berniat kabur, tapi setelah kulewati hari-hari sepi setelah berhenti dari pekerjaan yang kujalani setengah hati, aku merasa baiknya memang begitu.
Kutelusur lagi hidupku yang carut-marut. Apakah semua dimulai dari bagaimana bapak memaksaku menapaki jalan yang sebenarnya tak kusuka. Atau karena orang yang kukira bisa kusandarkan bebanku padanya, ternyata masih membawa sekoper masa lampau yang membuatku terluka? Atau aku saja yang begitu tidak kompeten?
Ya. Barangkali itu.
Pagi itu perutku bergemuruh. Warung nasi hanya berbeda beberapa gang dari kosanku. Aku ingin berhemat, tapi terlalu lelah mencuci beras, menanak nasi, bahkan memikirkan teman makannya. Kudatangi warung nasi itu. Ada yang tak biasa dari hari-hari sebelumnya. Tertulis, ‘Hari ini jual bubur’. Ganjil, tapi tetap kudatangi. Kududuk di hadapan etalase yang memisahkanku dengan Ibu Warung Nasi.
“Kenapa jadi jual bubur, Bu?” tanyaku.
“Ini, loh, suamiku masak nasi terus kebanyakan airnya. Daripada dibuang, ya, dijual saja.” Jelasnya dengan nada antusias. Hebat sekali dia, antusias tiap kali berhapan dengan pelanggan dan mengubah hal yang bukan keinginannya menjadi hal yang lebih berharga. Kuharap aku menjadi dia.
Semangkok bubur itu tersaji di hadapanku. Nasi yang sudah menjadi bubur, harfiah, bukan hanya peribahasa. Berbagai topping tergeletak begitu saja di permukaan bubur. Kutambahkan beberapa keping kerupuk di atasnya. Kubanjiri dengan kecap karena bagiku rasanya akan lebih luhur. Tak kuaduk, tentu saja. Kubiarkan beberapa saat meski perutku sudah cukup keroncongan. Tak mau kubakar lidahku dengan bubur panas.
Waktu sesaat itu berubah menjadi waktu penuh tanya. Apa aku adalah bubur ini? Tak lagi aku bisa memutar waktu, sudah terlanjur, dan hanya perlu dibumbui? Mungkin, ditambah beberapa hiasan agar lebih menggugah selera? Apakah hidupku bisa lebih mudah jika aku menjadi bubur ini?
“Makasih, Bu, buburnya gak dibuang.” Ujarku kepada Ibu Warung Nasi. 
Kulahap suap demi suap hingga tandas sambil kuusap air asin di pipiku yang mengalir saat kuucapkan terima kasih.
Ibu Warung Nasi–barangkali karena melihatku menangis–menaruh sekotak tisu di hadapanku sambil memberikan surat selebaran dengan tulisan merah metalik yang cukup menarik perhatianku.
Bersambung.....
76 notes · View notes
Text
Perjalanan pertama
Saat itu tepat di penghujung akhir tahun tepatnya di awal bulan November statusku resmi menjadi alumnus di salah satu kampus di kotaku
Hari itu mungkin menjadi hari yang sangat membanggakan untuk ibu dan bapak, yang sudah sangat bersemangat berangkat H-1 sebelum acara ke ibukota tempat dimana lokasi kampusku.
Untukku sendiri hari itu hari yang sangat mencemaskan karena itu hari terakhirku menjadi seorang mahasiswi. Dimana keadaan menuntutku dewasa lebih tepatnya bertanggung jawab dengan diri sendiri.
Dunia kerja itu kejam kata salah satu cerita senior kampus yang pernah ku dengar.
Setelah acara selebrasi itu berjalan dengan lancar. Malamnya menjadi ajang perenungan untukku.
"Setelah ini aku akan melanjutkan hidup bagaimana ya? Ada gak ya instansi yang akan menerimaku dalam waktu dekat ini." Bisingnya saat itu pikiranku.
Rasanya dulu fikiranku tidak sekelumit ini, setelah sd udah tau mau lanjut ke smp dan seterusnya sampai ke jenjang perkuliahan.
Tapi sekarang rasanya dunia menuntutku lebih bekerja keras lagi.
Malam itu pencarian social mediaku penuh dengan history akun-akun lowongan kerja. Dan ditutup dengan sebuah pengharapan semoga hari esok ada kabar baik.
8 notes · View notes
devvyapriani · 1 year
Text
Metafora #1
Sebuah cerita bersambung tentang #quarterlifecrisis
Tumblr media
#1 Banting Tulang
Rupanya senja sudah menyapaku, sinarnya menyirami sepeda motorku yang sedari tadi terparkir di sana. Kukira hari ini bumi lambat berputar, hingga hariku berjalan lebih lama. Harusnya aku sudah tiba di kostku sejak tadi. Meski sebenarnya aku hanya menjalani hari seperti biasa, ditambah melamun di sepanjang jalan, pun mengobrol dengan beberapa teman. Ditambah lagi salah arah jalan, kaukira lampu merah ini cuma satu dan menuntunku ke arah yang hanya itu? Hingga aku harus putar balik sambil meracau hingga lupa diri.
Bagiku menyenangkan sekali bisa meracau sendiri sambil berkendara di jalanan kota besar ini. Tapi ampun, aku masih kalah dengan panas yang disajikannya. Jaket yang kukenakan sepertinya tidak mampu lagi menahan sinar UV yang sepertinya bukan hanya A dan B, tapi sudah sampai Z. Ini panas, bukan hanya dari atas, juga dari bawah! Pun bukan hanya gerah, tapi aku ingin marah. 
Kuberhentikan motorku di depan warung makan sederhana ini. Seperti biasa, aku lupa makan. Bukan hanya karena banyak pikiran, tapi selera makanku juga berantakan. Belum lagi berat badan yang mengalami penurunan, bukan mau kurus— ini aku saja yang tidak bisa menggendut! Selalu itu alasanku ketika teman-teman bertanya pola diet yang kujalani. Mungkin salah satu penyebabnya  adalah ini yang hampir maghrib aku baru ingat mengisi perut, ini makan siang tau buka puasa? 
“Bu, bebek gorengnya satu ya!” Pintaku pada Bu Yanti, langganan makan siangku oh maaf ini sudah sore. 
“Oke, mbak.” Tangan bu Yanti langsung cekatan mempersiapkan menu untukku. “Tumben baru datang jam segini mbak? Puasa toh?” Bu Yanti sangat perhatian sampai hapal jadwal makanku. 
“Kebetulan lembur bu, sambil tersesat tadi.” Jawabku. 
“Bisa tersesat juga ya mbak, kan udah 5 tahun di sini.” Ujarnya lagi. 
“Lampu merah bu! Aku salah arah, belum lagi aku sambil melamun.” Tambahku. 
“Waduh, mikirin apa mbak? Jodoh?” Tanyanya penasaran. 
“Sedikit sih Bu. Banyakan mikirin hari ini aku hidupnya gini-gini aja. Bosen bu.” Akhirnya sepiring bebek sudah di depanku. 
“Iya ya mbak. Aku sih juga kadang gitu. Bosen. Tapi kalau mau dituruti bosennya, aku ya nggak bisa hidup juga mbak. Jadi ingat anak di rumah, biar semangat banting tulangnya, biar nggak bosen.” Ujarnya lagi sambil terus menerus menggoreng. Ya, aku hampir tidak pernah menyapanya dalam kegiatan lain, selain menggoreng.
Sambil mencerna bebek di hadapanku, kata-kata bu Yanti pun tercerna dengan perlahan. Jadi, harus punya alasan agar tidak bosan? Harus ada semangat agar kuat banting tulang? Bagaimana jika aku tidak memiliki keduanya?
Dan… sejak kapan bosan bisa membunuh seseorang? Aku tercekat. Jangan-jangan aku sedang di fase ini.
Bersambung.....
9 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ep. 1
"Makasih banyak bu."
Kalimat ini terdengar berganti-gantian. Para mahasiswa yang menunjukkan rasa berterima kasih atas ilmu yang diberikan dosennya. Setelah Bu Inggrid keluar kelas, mahasiswa pun bergiliran meninggalkan kelas.
Aku pun ikut berdiri dan berjalan mendekati pintu.
Selama Bu Inggrid mengajar, pikiranku terbang kemana-mana. Dua tahun kuliah disini bagaikan air mengalir yang mengikuti arusnya. Mengapa setelah dua tahun belajarpun, aku merasa tidak semangat mempelajari ilmu ini. Aku tidak penasaran dan tidak ingin tau. Aku memikirkan apakah aku menyukai ilmu tumbuhan ini? Ketimbang mempelajari bagaimana benang sari dan putik bertemu, aku rasa aku lebih menyukai bagaimana sperma dan ovum bertemu.
Aku menyusuri koridor kelas seperti orang yang kehilangan arah. Tenggelam dalam pikiran. Suara-suara mahasiswa yang memenuhi ruang seakan tidak ada.
"Apakah ini yang benar-benar aku mau?", "Apa yang mau aku lakukan setelah lulus dari sini?", aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Tak terasa berjalan, aku sudah keluar dari pintu besar fakultas.
Oiya, aku mau ke kantin tadi.
Aku membalikkan tubuh dan berjalan menuju kantin.
Setelah memesan makanan dan duduk di meja, 'Ting'  ada dering bel terdengar dari ponselku. Aku membuka password ponselku dan membuka pesan yang masuk.
"Dimana?"
Aku membalasnya, "Kantin".
"Oke, aku kesana ya."
Setelah membaca pesan darinya, aku memperhatikan sekitar. Suatu kelompok mahasiswa mendekat dan menduduki meja sebelah kananku. Para mahasiswa itu ada yang memakai jas putih dan ada yang memakai baju setelan dengan warna biru langit.
"Tadi gue ketemu pasien anak 5 tahun yang dateng karena RHD. Sedih banget ngeliat anaknya ngalamin chest pain. Abis dr. Vina confirm dia RHD, beliau nyuruh masukin antibiotik dan antikoagulan. Katanya kayaknya bakal mau di valvuloplasty kalo udah dapet consent." ujar salah satu mahasiswa.
"Kalo gue tadi di jaga UGD, ada pasien 23 tahun trauma karena tabrakan motor. Pas masuk UGD pasiennya masih sadar tapi tiba-tiba collapse. dr. Rani langsung periksa circulation-nya, ternyata CA, jadi langsung CPR dan dr. Ivan intubasi. Gue kagum sama teamwork mereka." jawab mahasiswa lainnya.
Aku yang mendengar mereka berdiskusi, langsung menyalakan kembali ponselku dan googling, mencari tau apa itu RHD dan apa itu CA.
RHD (rheumatic heart disease) adalah kondisi ketika katup jantung rusak dalam jangka panjang karena demam reumatik.
CA atau cardiac arrest adalah kondisi dimana jantung berhenti berdetak. 
Ooh. Ini ya.
Tidak berhenti rasa penasaranku, aku melanjutkan pencarian apa itu demam rheumatik, gejala, dan perawatannya.
Seakan di kantin ini hanya ada aku dan sekelompok mahasiswa itu, suara bincang orang-orang lainnya tidak masuk ke dalam telingaku. Tak sadar aku larut dalam pencarian ini. Setiap ada istilah asing yang keluar dari mulut mereka, jariku sibuk mengetiknya dan mencari tau di google ponselku.
"Hey", tiba-tiba terdengar suara lelaki, aku tersentak.
Bersambung.
7 notes · View notes
salmatamimah · 1 year
Photo
Tumblr media
[Gagal] Pagi itu kuangkat dering telfon dari seorang kawan perjuangan dengan perasaan tak menentu, karena kutau dia tak mungkin menghubungi jika tak terjadi sesuatu, apalagi di tengah posisiku yang harap-harap cemas menungggu sebuah kabar. "Halo Raa, kudengar aku, kamu, Septi, ga lulus tahun ini" begitu katanya. Mendengar itu aku bak orang Takikardi, denyut jantung berdetak kencang, nafasku terhimpit, dan sesak. Begitu juga dengan lawan bicaraku, terdengar hembusan nafas tak beraturan dari seberang sana. Rupanya dia sama shocknya denganku. Setelah kita akhiri pembicaraan kami, ku periksa satu per satu pesan yang masuk, ada sebuah pengumuman masuk dan yap, benar akulah salah satu diantara yang tak beruntung itu. Aku sudah tau kabar itu, aku sudah bisa menebaknya. Tapi gimana perasaanku ? Aku ga tau, perasaanku ga pernah berbicara. Aku tak menangis, tapi kutumpahkan semua cairan dalam lambungku, seluruh tubuhku menegang, tension type headache ku kumat,dan isi kepalaku berlarian. Terbayang wajah kecewa emak bapakku di kampung sana yang menungguku pulang, terbayang rencana masa depanku yang mulai mengabur, dan terbayang wajah kekecewaan dari kawan, dosen, institusi, dan orang-orang di sekitarku. Hftt kenapa kegagalan kali ini rasanya beda ? Kakiku berputar mondar mandir dengan isi pikiran yang ga berhenti berlari tanpa arah, satu persatu rencana aku pikirkan, tapi semuanya buntu tanpa arah "Ya Allah, apa yang harus kulakukan ?" --------------‐--------‐--------------- Cek ombak, kalau rame part 2 lanjut #flashfiction #5CC #5CCday11 #5cc11 #CareerClassQLC #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CqBl7HPSuPq/?igshid=NGJjMDIxMWI=
4 notes · View notes
nurkhanifah · 1 year
Text
Kejutan untuk Awan ( Part 1 )
"Maaf mba kantor kami sedang tidak menerima berkas lamaran,!”  ucap satpam dikantor tersebut. “Yang bener pak?” Tanyaku memastikan. “Bener mba, kalo ada lowongan pasti di infokan terlebih dahulu,!”  ujarnya meyakinkan. “Baik pak terimakasih infonya, saya pamit dulu,!”
Rasanya sudah tak terhitung aku melamar dan hasilnya pun masih sama, aku kira sehabis mendapat gelar sarjana  akan lebih mudah mendapatkan suatu pekerjaan nyatanya pun masih sulit bahkan semesta juga seolah tak mendukung jerih payahku. 2 tahun berlalu sejak wisuda dan aku masih dikota ini, dibilik kos yang sama dan dengan rutinitas yang sama.
Menjadi anak tunggal seharusnya bisa membuatku aman, damai, sentosa dan sejahtera, tapi tidak dengan nasibku yang selalu harus berjuang sendiri sesuai dengan namaku, Awan Tunggalia. Aneh, tapi memang begitulah namaku dan aku tak pernah tahu alasan bapak ibu memberi nama itu. Akupun tak pernah mau tahu layaknya mereka yang tak pernah mau tahu dan peduli tentang hidup anak gadis semata wayangnya. Bahkan aku tak pernah tahu bapak ibu dimana sekarang, hidupku hanya mengandalkan belas kasihan tante dari ibuku juga teman-teman asramaku dulu. Belas kasihan yang harus kubayar dengan balas budi suatu hari nanti, karena aku meyakini tak ada makan siang gratis di jaman sekarang.
Sebenarnya Ibu sesekali meneleponku, meski bukan untuk menanyakan kabarku, melainkan mengintimadisiku, layaknya sekarang.
“Udah diterima kerja dimana? masih jualan online? Mbok ya ngelamar di perusahaan benefit dipakai ijazahnya, percuma kuliah kalo cuma jadi admin olshop,! Percuma juga ibu biayai asrama mu dulu,! sekarang rasain ngurus biaya diri sendiri aja sulit kan? Aku hanya diam dan tak bermaksud menjawab setiap pertanyaan yang ibu lontarkan sampai sambungan telepon tersebut terputus.
Masih di jam dan hari yang sama, tanpa ada jeda untuk batin dan fisik ku beristirat sebentar, kejutan kembali hadir untuk ku
Drttt Drdrt…
“Awan aku udah coba bicara ke mama, tapi mama keberatan dengan hubungan kita,” “Karena latar belakang keluargaku Dim?" “Sorry Wan, memang lebih baik kita berakhir!” Tuutt...
Sungguh aku hanya berulang tahun sekali dalam setahun tapi kejutan demi kejutan selalu datang menghampiriku, kejutan tentang kehidupan yang menyakitkan.
To be continued…….
3 notes · View notes
chocohazel · 1 year
Text
Cerita Sendu
Entah sejak kapan, aku tidak lagi mau membaca buku-buku motivasi. Bagiku semuanya hanyalah omong kosong. Kesabaran yang pasti menang, waktu tepat yang pasti datang, kisah bahwa semua orang pasti berjuang, semua hanyalah kebohongan yang diulang-ulang. Rasanya seperti hanya aku sendiri yang kesulitan, padahal aku sudah mencoba menjalankan hidup sebaik yang kumampu. Namun tetap saja, hidup seolah tidak pernah berpihak padaku. Bak pemain sirkus, hidupku hanya tentang melalui satu rintangan ke rintangan lain. Aku bahkan khawatir jika hidupku berjalan baik, sebab pada hidup yang serupa laut, tenang adalah masa sekejap sebelum badai datang.
Jika ditanya kutipan apa yang paling membuatku muak dan selamanya tidak ingin kudengar tentu saja, "nama adalah doa." Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana diskusi kedua orangtuaku berlangsung sebelum mereka akhirnya sepakat menamai satu-satunya anak yang mereka punya dengan nama Sendu. Beberapa kali aku melayangkan protes, namun jawaban orangtuaku rasanya tidak pernah tepat. Aku tidak pernah merasa puas dan terhibur saat mendengar penjelasan mereka.
Masa-masa sekolahku menyebalkan, diantara beberapa sebab, salah satu yang tidak bisa kuubah adalah mereka mengejekku karena namaku. Karena namaku mereka seolah sepakat merasa berkewajiban untuk menjadikan hidupku sejalan dengan nama. Sepanjang dua belas tahun bersekolah, temanku hanya dua. Nala dan Anja. Lalu, ada Laut.
Namaku Sendu, usiaku dua puluh delapan tahun. Tentu saja aku belum menikah. Aku bahkan belum berani membayangkan pernikahan. Pengalamanku dekat dengan seseorang terhenti di kelas tiga SMA, sepuluh tahun lalu sudah. Laki-laki itu namanya Laut dia adalah yang pertama dan satu-satunya. Kupikir hubunganku dan Laut akan berhasil, Laut seolah mampu memahami segala yang kurasa tanpa perlu repot-repot kujelaskan. Hanya lewat kerlingan mata, kami bisa langsung serentak tertawa. Semuanya bahagia. Kupikir Laut adalah hadiah yang pantas kuterima setelah segala hal menyebalkan dalam hidupku.
Namun ternyata salah.
5 notes · View notes
syafitrisudibyo · 1 year
Text
Damar
Dinginnya Subuh ini membuatku enggan untuk beranjak. Sambil mengucek mata dan mengumpulkan niat untuk bangun, aku melihat semuanya nampak sibuk, Bulik Ani sedang membangunkan anaknya yang sedang tertidur pulas, Om Reno sedang memanasi mobil di depan rumah, Bude Rima sedang sibuk menuangkan teh panas dan mempersiapkan sarapan untuk kami. Ruang tengah terlihat sesak, ada Biyung dan Bapak sedang mempersiapkan pakaian, tak lupa ada Mas Damar yang terlihat sedang membawa kertas sesekali nampak rasa cemas di rautnya.
“sudah hafal Mas? Jangan gugup, hati-hati kepleset lidah lho” ledekku kepada Mas Damar.
Hari ini akan menjadi hari bahagia Mas Damar, mempersunting sosok perempuan terbaik versinya. Kakak iparku akan sangat beruntung memiliki Mas Damar, lelaki bersahaja, sederhana dan berwawasan luas. Kebahagiaan dan kehangatan menyelimuti suasana rumah, mengalahkan sejuknya Wonosobo pagi ini. Senyum lebar dan candaan keluarga besar seperti inilah yang selalu aku rindukan saat kembali ke ibu kota. Kehangatan dan kerukunan dibalut dengan rasa ketulusan keluarga, menenangkan. Tentram.
Sejenak mataku berkeliling menatap setiap sudut kamar ini, masih apik dan tertata rapih. Tak nampak usang meski sudah lama ku tinggal. Aku tersenyum, melihat foto aku dan Mas Damar diatas meja belajar, kudapati tulisan tangan Biyung dibalik foto ini, “Damar Wulan, 19 Maret 2009” dengan usiaku yang saat itu masih SMP dan Mas Damar lulus SMK. Satu-satunya foto masa kecil yang kita miliki, ialah potret kenang-kenangan dari hasil jepretan Om Reno yang waktu itu dapat pinjaman kamera dari tempatnya bekerja sebagai tukang foto.
Menatap foto ini, pikiranku melayang ke suasana itu dan semuanya berawal dari sini, bilik kamar yang kecil dan sangat sederhana. Mas Damar adalah kakak laki-laki yang sempurna di mataku. Sesuai namanya, damar berartikan cahaya yang menerangi kegelapan dan memberikan kehangatan. Layaknya tata surya, bulan tidak akan bercahaya tanpa adanya sinar yang meneranginya, begitulah kiranya aku dan Mas Damar, tanpa Mas Damar aku tidaklah bisa menjadi aku yang sekarang ini.
“Dek, kamu mau ngga janji sama aku?”
“Janji apa Mas?”
“Kamu sekolah yang rajin nanti ajak Mas Damar ke kota yooo, soalnya Mas Damar ngga sepinter kamu, pliiiissss”
Percakapan masa kecil menjelang tidur itu selalu terngiang ketika aku pulang ke rumah ini. Berangkat dari percakapan sederhana dan mimpi Mas Damar, petualanganku dimulai. Entah mengapa, aku ingin sekali mewujudkan harapan Mas Damar pergi ke kota kala itu. Keinginan menjadi makin tidak terbendung saat melihat Biyung dan Bapak sangat antusias menonton TV yang menayangkan gedung-gedung tinggi Jakarta dan Biyung terheran-heran bagaimana cara membangunnya. Aku ingin mengajak mereka menikmati pemandangan kota, mengajak makan enak dan mengunjungi hotel untuk sekedar merasakan dinginnya AC dan empuknya sofa.
Biyung, Bapak dan Mas Damar adalah pemantik semangatku untuk terus maju dan berusaha keras menaklukan dunia. Aku tumbuh dari keluarga yang sangat sederhana, Biyung bekerja sebagai tukang sayur dan Bapak menggarap sawah milik orang dengan gaji harian sedangkan Mas Damar, lulusan SMK yang melanjutkan bekerja sebagai montir sepeda motor, yaaah sesekali menjadi kondektur bus.
“Dek, pokoknya kamu harus sekolah tinggi, Mas Damar selalu mendukungmu”
“Mas, apa mungkin?”
“Dek, ingat mimpi-mimpi kamu kan dan janji yang kamu sampaikan ke Mas Damar?”
Percakapan 14 tahun lalu itu kembali menyelinap di telinga dan pikiranku. Ajaibnya, aku seperti terhipnotis saat Mas Damar mengatakan demikian. Saat aku rapuh dan menyerah, selalu ada Mas Damar yang mendukungku sedemikian rupa. Tak jarang saat aku berada di kepayahan, Mas Damar datang dengan pena dan kertasnya, lalu ia membuatkan semacam peta konsep untuk mengejawantahkan masalah dan memberikan pilihan solusi.
Aku akui, pendidikan Mas Damar memang hanya SMK tapi aku berani taruhan Mas Damar memiliki wawasan yang luas. Selama ada Mas Damar aku merasa tenang dan selalu percaya dengan apa yang Mas Damar sampaikan, termasuk tekad mendaftar ke perguruan tinggi waktu itu. Jika orang lain bertanya, darimanakah ide gilaku ini datang? Jawabannya adalah Mas Damar.
“Mas, aku ketrimo beasiswa Mas, Biyuuuuuung, Bapaaaaaaaak, Wulan kuliaaaah”
Kala itu, keputusan melanjutkan kuliah adalah keputusan sepihak antara aku dan Mas Damar. Terlihat raut muka Biyung dan Bapak mengernyitkan kening, bingung, Bapak hanya berlalu tanpa sepatah katapun. Aku mendengar Bapak bergumam sendiri di teras rumah sambil melanjutkan memotong bambu untuk pagar rumah kami, “nduk nduk, Bapak uripe wes susah kok yo kuliah, duit darimana to nduk”, gumamnya sambil menyeka keringat yang mengucur di wajah.
Aku melangkah menghampiri Biyung di dapur dan aku mendapatinya sedang menyeka air mata sambil berkata, “nduk, sudah Biyung sampaikan kan, kerjo sek nduk ojo kuliah, Wulan kan wedok toh nantinya kewajiban Wulan ngurus dapur dan menikah”. Kalimat Biyung membuat aku merasa tidak ada dukungan, sedangkan apa yang disampaikan Biyung juga bukan mimpi yang selama ini kurajut dan aku susun bersama Mas Damar.
Mas Damar menghampiriku dan mengatakan, “lanjutkan langkahmu, ada mas”
Saat itu, hanya omongan Mas Damar yang benar-benar bisa aku pegang. Aku sangat berharap dengan Mas Damar, aku percaya dengan segala mimpi yang aku rancang bersama Mas Damar.
“Mas, rewangi Wulan”
“Pamit sama Biyung dan Bapak, lusa Mas Damar temani Wulan ke Semarang”
Aku memeluk Mas Damar lekat, menangis di bahu Mas Damar sejadinya saat itu. Aku mengikuti apa kata Mas Damar, pamit dan memohon ridho kepada Biyung dan Bapak untuk tetap melanjutkan mimpi ini. Aku sampaikan pelan-pelan maksud dan cita-citaku kepada Biyung dan Bapak. Sambil menangis, Biyung terpaksa memberikan izin namun tidak dengan Bapak.
Hingga hari keberangkatanku ke Semarang, Bapak masih dengan pendiriannya untuk memintaku tidak melanjutkan kuliah karena tidak adanya biaya, namun lagi-lagi Mas Damar, ia menarikku untuk pergi. Terlihat Bapak berlari mengejar kami yang sudah duduk di angkot dan sayup terdengar teriakan Bapak dari kejauhan,
"Wulaaaaan, kok kamu sekarang enggak nuruuuuuut sama Bapaaaaak to nduuuuk”.
Aku menatap Mas Damar lekat sambil menahan tangis, ada rasa takut dan khawatir berkecamuk di pikiran, akupun berbisik kepada Mas Damar,
“mas, apa jalan kita benar?”
------------------------------------------
(Bersambung.....)
Tumblr media
Nantikan kisah selanjutnya yang akan di update setiap malam di instagram @syafitrisudibyo dan blog syafitrisudibyo.blogpot.com .
Stay tuned teman-teman..
2 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Cache (Part 1)
Retno termenung memegang undangan baru dalam plastik, berwarna krem muda berornamen bunga-bunga. Sampulnya terkunci lelehan lilin coklat tua bertuliskan huruf inisial nama. Masih rapat, sama sekali belum dibuka. Tertulis disana : Minggu, 23 April 2023. Ia berulang kali membaca nama di sampulnya. Dan, benar, memang itu ditujukan untuknya. "Kenapa aku harus menerimanya jika itu artinya hanya pura-pura ikut bahagia. Tak adakah yang memahami perasaanku sedikit saja. Aku muak dengan diriku. Rasanya ingin menghilang dari dunia." Retno berbisik dalam hatinya yang sudah hampir genap sebulan gelap gulita. "Fuhhhhh". Pelan ia menghela nafas. Tidak. Ia tidak sedang patah hati. Hanya ada rasa sedih, pedih dan sedikit sesak di dalamnya. Mendapati sahabat terbaik satu-satunya juga akan mengikat janji suci, setelah beberapa orang dalam lingkar pertemanannya mendahului. Padahal secara usia, Retno tak patut untuk dilangkahi. "No', kok diem e, kamu nggak bahagia apa aku mau nikah? Pokoknya kamu harus nyempetin dateng di hari bahagia aku lho ya." Sore itu, Nindi, teman seperjuangan Retno dari jaman SD, menghampirinya sepulang kerja untuk mengantarkan undangan langsung padanya. Mereka selalu bersama hingga SMA, sebelum akhirnya pilihan universitas dan kesempatan kerja memisahkan mereka. Lelah. Sesak. Tapi ia harus terlihat ceria menyambut kabar bahagia dari sahabatnya. "Ya pasti dateng to ya. Mosok yo ora." Retno memasang wajah ceria yang ia buat-buat sedemikian rupa. Ia tertawa, hanya bibirnya. Tidak dengan hati dan matanya. "Ya Allah Nin, akhire ora galau-galau meneh. Seneng aku ndelok koncoku akhire rabi. Ojo-ojo bar rabi malah kowe lali karo aku huhu". "Yo ora to besti. Wong rumahe bojoku lho juga cuma disitu. Yowis aku duluan ya mau lanjut muter ke tetangga". Nindi menunjuk gang sebelah rumah Retno. Lalu ia pergi. Menyisakan Retno dengan segala rasa lelah dan hampa, tanpa arah. Sulit untuk mengenalinya, entah apa yang sedang berkecamuk di dalam dada. Di atas dipan yang sudah menemaninya selama 30 tahun belakangan, ia ingin menangis. Tapi tak sedikitpun air mata membasahi pipinya. Matanya kering. Menatap kosong langit-langit kamar penuh sarang laba-laba. Terlalu sulit mengungkapkannya. Inikah sedih, hampa atau sebuah nestapa. Seperti melayang di luar angkasa. "Seharusnya dulu aku tak menyia-nyiakan lamaran Rama. Kalau aku mampu meyakinkan diriku sedikit saja, mungkin aku bisa merubah sikapnya yang tak aku suka. Tapi bukankah sekarang ia juga telah bahagia dengan wanita pilihannya? Kenapa dulu ia tak berusaha memperjuangkanku lebih keras lagi, sedikit saja? Semudah itukah ia beralih? Atau memang ia tak benar-benar mencintaiku saat itu?” Pekat kesedihan seketika memenuhi rongga hatinya. Beribu tanya berperang dalam kepala. Sesak. Hingga tangisnya tak bersuara. “Masih adakah seseorang yang mau benar-benar memperjuangkanku? Atau memang seburuk itukah aku?" Bersambung...
3 notes · View notes
mellyniaainur · 1 year
Text
Pencarian Jati Diri
Episode 1
“Udah gede yo gendok, kuliahe wes semester piro?” 
Tiba-tiba pertanyaan budhe nya beberapa hari lalu terlintas di pikiran perempuan mungil yang sedang duduk termenung menikmati indahnya langit malam dari teras belakang kamarnya. Bulan sabit yang elok semakin menambah keindahan langit malam, namun keindahan itu tak menenangkan pikirannya yang berisik di kepala. 
Angin kencang malam itu memutuskan dia beranjak dari duduknya dan masuk ke kamarnya. Suasana kamar yang sepi semakin mendukung dia meratapi umurnya yang sudah di angka 23. Bukan umur yang muda lagi, sudah berkepala dua yang akan ditanya berbagai pertanyaan, dimana pertanyaannya tidak bisa dia jawab saat itu juga. Air mata tanpa izin menetes begitu saja, dia mengingat percakapan singkat bersama budhe nya di Bandara kala itu, dimana isinya kebanyakan nasihat. Rasa cemas, takut, sedih bercampur menjadi satu tak karuan. 
“Ternyata aku sedang di tahap mendewasakan diri ya, berat juga ya, tak seindah yang dibayangkan” Dia bermonolog sambil menatap dinding langit kamarnya.
“Ya Allah beri hamba kekuatan menjalankan fase ini, hanya kepadamu aku bebas bercerita dan berkeluh kesah tanpa malu” Dia berdoa kepada penciptanya.
Semakin mengingat keluarganya di rumah, tangisnya semakin keras. Ada orang tua yang menunggu kesuksesannya, dia harus semangat memperjuangkan masa depan yang tak jelas akan kemana bermuara.
Drrttt suara dering handphone berbunyi, dia lihat siapa yang meneleponnya selarut ini. Kaget, ekspresi pertama pada raut wajahnya terlihat. Seketika bingung haruskah diangkat atau tidak. Karena dia tidak mau si penelepon tau kondisinya saat ini.
"Aduhh gimana ini?" Dia mondar-mandir dalam kamarnya seperti setrikaan. Dia hapus air matanya, dia kondisikan suasana hatinya.
"Aaaaaaa iiiiiii uuuuuuu eeeeeee oooooo" Dia sedang tes suara, tapi masih kentara kalau dia habis nangis.
"Aaaarrrgghh apa yang harus aku lakukan?"
bersambung
6 notes · View notes
chrmngman · 1 year
Text
Lejar episode 1// Bapak
"Dinda kemana sih bu? Masa jam segini belum pulang?" Aku sedari tadi gelisah. Memang baru jam 8 malam dan belum begitu larut. Namun mengingat sedang banyak kasus kekerasan dan pembegalan di kota ini, wajar saja sebagai ayah aku cemas. "Tenang pak. Mungkin Dinda sehabis lembur. Biasanya juga kalau jam segini belum pulang kan dia lembur." "Haduuh itu anak kerjaan nya lembuuur terus. Kan bapak udah sering bilang daripada kerja dari pagi sampai malam gaji segitu-gitu aja, mending jadi PNS. Penghasilan enak, pekerjaan normal, pensiunan dapat. Kasih tau lah Dinda itu Bu. Jangan terus bikin pening kepala bapak" Ibu hanya mengangguk pelan sambil terus menonton tv. Aku yang makin pening memutuskan untuk merokok dulu sambil duduk di teras. Baru saja kunyalakan rokokku, Dinda pun tiba membuka pagar dengan muka lesu. Kasihan anak gadisku. "Kamu lembur lagi?" "Iya, pak" Dinda mencium tanganku dengan lemas. Menyentuhkan tanganku ke dahinya lebih tepatnya. "Buka WA-mu. Bapak kirim info tes PNS barusan" Dinda hanya mengangguk tak tertarik. Aku kembali menghisap rokokku. Percikan api berdecak saat kuhisap rokoknya dalam dalam. Kupejamkan mataku. "Kenapa Dinda gamau ikutin jejak bapaknya jadi PNS? Apa susahnya sih nurut sama orang tua." tanyaku dalam hati sambil kuhembuskan gumpalan asap abu tipis perlahan-lahan. Aku terus memikirkan alasannya dengan keras lagi dan lagi. Isapan demi isapan. Hembusan demi hembusan. Sampai tak sadar rokokku sudah mau habis. Aku menancapkan puntungnya dalam-dalam di asbak kayuku. Saat aku baru saja akan menyalakan batang rokok kedua, aku mendengar suara gedebuk keras dari dalam rumah. "BAPAK, TOLONG PAK!" Bersambung.
2 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan
Episode 1
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
6 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #1
Semester 12
Ringgo, untuk kesekian kalinya menghela nafas. Dia berada ditengah-tengah lobi, duduk sambil menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong dan awut-awutan. Mengamati orang-orang yang lalu lalang. Tidak ada satupun wajah yang dikenal Ringgo. Yang ia temui seharian ini hanyalah wajah-wajah baru. Wajah-wajah mahasiswa yang sumringah, penuh ambisi dan optimisme. Tidak seperti dirinya. Bagaikan alien yang turun ke bumi. Siapapun yang melihat Ringgo, pasti tau bahwa dia adalah MABA: Mahasiswa Bangkotan.
Hari ini adalah hari pertama Ringgo kembali ke kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out, dia sudah membebani dosen pembimbingnya terlalu lama dan sekarang terancam menjadi momok yang akan merusak citra serta akreditasi jurusan paling bergengsi di kampusnya.
"Maaf Pak, saya Ringgo. Satu tahun yang lalu saya ambil cuti. Saya udah menyelesaikan pembayaran untuk memulai semester baru. Bisa minta bantuannya untuk mengaktifkan akun saya dan mengisi KRS, Pak?"
"Oh ya, tentu saja bisa Mas. Berarti sekarang semester berapa?"
Ringgo berhenti sejenak, dia bahkan tidak ingat. Terakhir kali ke kampus dia diterror judul skripsi oleh dosbingnya karena tidak pernah nampak batang hidungnya di kantor dosen, bahkan di seantero kampus. Tidak ada yang bisa menemukan keberadaannya. Jangankan pesan dosen, tidak satupun telfon dari temannya yang ia gubris. Ia raib, ghaib.
"Kalau dilihat dari penampilan kamu, pasti semester 12 ya?"
"Sial. Jadi gini ya rasanya dapet body shaming," batin Ringgo.
"Seingat saya iya Pak, sekarang masuk semester 12."
Jawab Ringgo sambil berpikir keras, menghitung dengan jari-jemarinya.
"Oalah Mas, sudah masuk injury time ini. Sisa satu semester doang. Dari mana saja?"
"Dari rumah lah Pak. Masa dari Mekkah, emangnya habis Haji?!" balas Ringgo kesal, tentu saja hanya dalam hati.
"Dulu sudah sempat bimbingan selama satu semester. Tapi ya begitulah Pak. Ada-ada saja cobaannya menjelang lulus."
"Berarti sudah ada judul skripsi? Tinggal menyelesaikannya ya Mas?"
"Betul Pak."
"Dosbingnya siapa?"
"Bu Reva."
"Oalah. Kayanya saya tau kamu, Mas. Dulu sempat ada mahasiswa yang dicariin Bu Reva kemana-mana. Teman-temanmu juga nyariin tho Mas? Akhirnya comeback juga ya"
"Boyband kali pakai comeback segala," Ringgo mulai emosi dengan omongan si bapak. Apalah daya, dia cuma berani ngedumel aja.
"Ehehe, iya Pak. Ini nomor mahasiswa saya. Tolong dibantu diaktifkan kembali ya Pak."
Ringgo buru-buru menyerahkan map yang sedari tadi dia bawa kemana-mana. Ia ingin segera pergi. Tidak sedikit adik tingkat yang melirik dan memperhatikannya gara-gara omongan barusan. Terlepas dari penampilannya yang semrawut hari ini, dia tidak ingin terlihat memalukan, setidaknya di hadapan juniornya.
"Sini Mas. Saya sudah aktifkan kembali akunnya. KRS juga sudah beres. Minggu depan Mas sudah bisa kuliah dan bimbingan lagi. Jangan disia-siakan ya Mas, sisa waktunya."
"Baik Pak, terima kasih banyak."
Ringgo menunduk dan berpamitan. Dia berjalan secepat kilat keluar dari ruang administrasi. Saat keluar, dia melihat seseorang yang begitu familiar sedang berjalan menuju ke arahnya. Wajah lama yang begitu dia kenal, sekaligus dia rindukan. Marsha, sahabat sekaligus gadis pujaan hatinya. Niat hati Ringgo ingin menyapanya dengan melambaikan tangan ke arahnya. Namun, dibelakangnya tampak satu sosok yang mengikuti langkah Marsha. Dari penampakannya saja sudah membuat telapak tangan Ringgo berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi, bulu kuduknya merinding. Ringgo berbalik, bersiap untuk segera kabur dari sana. Dia belum siap untuk bertempur dan menghadapi kemurkaannya.
"Ringgooo!"
Terlambat. Suara lengkingan itu. Dia sudah menangkap basah Ringgo.
TO BE CONTINUED
3 notes · View notes
afvrionaersa · 1 year
Text
Tumblr media
Lastri duduk di kursi shofa dengan bahan kulit. Saking empuknya sofa itu, lastri sampai tertidur. Bukan hanya sofa empuk yang buat dia tertidur, segelas alkohol yang beberapa menit dia teguk penyebab utamanya.
Lastri dengar, ada suara laki laki di sampingnya. Entah suara itu berucap apa, tapi suaranya lebut sekali di telinga. Peelahan dia merasakan kancing bajunya terbuka. Lastri merasakan bajunya mulai terbuka, dadanya tersentuh tangan yang entah itu tangan siapa. Lastri merasakannya, namun tak bisa berbuat apa apa.
Tubuhnya lemas, lastri merasakan sakit di bagian vaginanya. Tapi Lagi lagi lastri tak mampu bergerak. Lastri mencoba membuka mata, menggoyangkan tangannya, bahkan mencoba berteriak. Namun hasilnya nihil.
Lastri tak tahu apa yang terjadi, yang lastri rasakan hanya sakit yang dia pun menikmatinya...
Lastri mulai merasakan sesak.dadanya terasa tergencet sesuatu yang besar. Kakinya tiba tiba tertarik kearah bawah. Makin lama makin kuat tarikannya hingga tubuhnya tergeser beberapa centimeter.
BRAAAAKKKK
"Mbak, lia lo nangis terus. Aku gerebeken ngerungokno e. Njaluk susu paling" ucap suara yang memang tak asing bagi lastri.
Itu suara sulis, adik lastri.
"Ya allah lis, mbok yo seng temen ae nek nggungah"
"Mbak lo angel gugahane. Yo wes aku tak budhal ngaji sek. Assalamualaikum"
Lastri perlahan bangun, mendudukan tubuhnya di ranjang, yang diatasnya terdengar suara tangis sangat nyaring seorang bayi.
"Cup cup cup, sepurane yo nak, ibuk keturon. Luwe yo pean" ucap lastri lembut kepada anak sematawayangnya...
Sambil memberi asi lia, lastri sadar bahwa barusan ia mimpi buruk. Mimpi yang berulang kali muncul selama 2 pekan ini. Mimpi yang muncul ketika lastri mendeklarasikan dirinya ingin meninggalkan rumah dan merantau ke jakarta.
Bersambung.......
@kurniawangunadi @careerclass @bentangpustaka-blog
2 notes · View notes
ariekdimas · 1 year
Text
Cerita Pradipta: Hilang Arah (1)
Tumblr media
Namaku Pradipta, seorang laki-laki biasa yang hidup merantau di sebuah kota besar. Saat ini Aku merasa ketika memasuki usia dewasa kenapa ya waktu melaju sangat cepat. Tanpa sadar, lima tahun belalu begitu saja bagaikan angin lewat.
Padahal ketika masih anak-anak dulu, waktu terasa begitu lambat, seakan kita dapat berpetualang selamanya disana. Kala itu kita bisa berperan dan berpetualang jadi apa saja yang kita inginkan.    
Namun sekarang, hidupku terasa masih gini-gini aja. Mengikuti arus, tidak sebanding dengan waktu yang berjalan. Keraguan pun sering kali muncul dalam kepala.
“Apakah jalan hidup yang Aku jalani saat ini sudah tepat?”
“Atau mungkin selama ini Aku salah melangkah?”.
BERSAMBUNG
© Ariek Dimas
6 notes · View notes
nurmareliana · 1 year
Text
Bia 1/4 Baya - Episode 1 [Bangun Datar]
Tumblr media
Semenjak wisuda enam bulan lalu, Sabia Maharani memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halaman. Perempuan yang biasa disapa Bia itu berusaha untuk mencari pekerjaan. Keliling kota berseragam hitam putih dan membawa amplop coklat adalah aktivitas Bia setiap harinya, kecuali akhir pekan dan hari libur nasional. Bia menitipkan amplop coklat di pos satpam dari kantor satu ke kantor lainnya, dari pabrik satu ke pabrik lainnya. Seringkali disambut baik, namun tak jarang juga disambut dengan penolakan yang kasar. Tak hanya itu, Bia juga mengirim lamaran pekerjaan dan curriculum vitae melalui surat elektronik ke banyak perusahaan incarannya. Namun satu pun tidak ada yang lolos, sedangkan uang di dompetnya sudah menipis.
“Aaaaakkkhhhhh.” 
Teriak Bia sambil melempar amplop-amplop coklat ke pojok kamar kosan dan merebahkan badan di kasur tipis dengan sprei yang belum dicuci selama sebulan. 
Memandangi langit-langit kosan dengan mata berkaca-kaca meratapi nasib yang tidak tau akan kemana arahnya. Sarjana matematika tak kunjung dapat kerja. Apa harus pulang kampung? tapi apa kata orang tua? Apa kata teman-temannya? Apa kata orang di kampungnya? Hingga tak disadari Bia terlelap dalam tanya.
07.45 WIB
“Klunting.” Suara notifikasi masuk di ponsel Bia. 
“Siapa sih pagi-pagi ngirim pesan.” 
Gerutu Bia yang masih rebahan dan malas-malasan. Sekedar menggerakkan tangan meraih ponsel di meja yang jaraknya tidak sampai satu meter itu saja dia tidak berdaya. Dengan malas, Bia memaksa tangannya untuk meraih ponsel itu dan perlahan membaca pesan. Matanya terbelalak, seketika senyum merekah terlihat di bibir Bia. Semua rasa malasnya runtuh entah jatuh kemana. Rupanya dia tengah berbahagia lantaran diterima di salah satu dari ratusan lowongan pekerjaan yang telah dilamarnya. Akhirnya usaha yang dilakukan berbuah juga. Meskipun bukan pekerjaan impiannya, setidaknya dia bekerja dan bisa mewujudkan keinginannya untuk hidup mandiri di perantauan dan tidak merepotkan orang tua dikampung halaman.
Bia menyampaikan kabar bahagia itu kepada Jo, kekasihnya. Jo pun turut bahagia dan memberikan ucapan selamat kepada Bia.
Tak lupa, Bia juga menyampaikan kabar baik itu kepada ayah dan ibunya. 
“Alhamdulillah.” 
Terdengar suara di ujung telpon. Suara itu tidak terdengar bahagia, datar-datar saja. Ayah dan ibu Bia menganggap pekerjaan Bia seperti bangun datar, memiliki keliling dan luas, tetapi tidak memiliki volume. Bia mendapat pekerjaan di perusahaan besar yang memungkinkan Bia untuk banyak belajar, namun hal itu tidak membuat ayah dan ibunya merasa bangga, karena pekerjaan Bia dinilai tidak menaikkan harga diri orang tua, tidak seperti kakaknya, kak Qudwah, yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara.
Bersambung …
@nurmareliana​ | 19 Maret 2023
3 notes · View notes