Tumgik
rievinska · 4 months
Text
2024
OMG! Hey, Tumblr!
I know everyone has been moving to their new platforms. Me too, actually, for the past 5 years!
Ahaha, the last time I wrote in here was 5 years ago!
Although I have my own domain now, suddenly, this morning, I remembered this space of mine that have been abandoned for years and I really want to write again in here (And I also forgot which emails that I use to login, lol!)
Tumblr media
So, hello! It's me again.
I first started Tumblr-ing around 14 years ago. And here I am, welcoming my 30 soon!
How time flies!
And yep, here's to a wonderful 2024!!!
0 notes
rievinska · 4 years
Text
Seraut Srikandi
Terlalu cantik untuk menjadi pria, namun terlalu tampan untuk jadi wanita. Ah, sebetulnya dia itu siapa? Srikandi?
Aku tak mau dianggap gila karena memandanginya terus-terusan, seperti gadis-gadis pendamba pangeran. Tapi wajahnya seperti memiliki magnet yang membuatku enggan melepas lekatan pandangan. Dia cantik, namun tampan. Manusia macam apa itu?
Dan kalau tingkahku yang memandanginya terus itu belum cukup sinting, biar kutambahkan satu hal lagi: Dia lebih muda 6 tahun dariku. Saat dia baru lahir, aku sudah berlari-larian di jam istirahat memakai seragam merah-putih. Sekarang? Aku seperti tante-tante yang terpikat pada berondong muda. Astaga!
Dia mendongak, pandangan kami bertubrukan. Cepat aku melempar tatapanku ke layar laptop, kembali membaca sebuah artikel yang sejak setengah jam lalu masih kubaca di kalimat yang itu-itu saja. Berkutat pada keinginan untuk terus memandangi seraut wajah cantik yang tampan itu, dan berperang pada diri sendiri karena di satu sisi aku memang ingin memandanginya terus, tapi di sisi lain, segumpal kewarasan menghantam-hantam: Dasar gila! Dia masih bocah!
Ugh, sebetulnya dia bukan lagi bocah. Tapi dibanding diriku, jelas dia bocah!
Aku tahu namanya, namun dia tidak tahu namaku. Tentu saja aku tahu dia (Informanku di mana-mana!), walau kami hanya sesekali bertemu dan berpapasan di ruang duduk. Kalau dia ada, segala konsentrasiku buyar karena otakku terlalu bising, ingin terus menatapnya sambil merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya wanita seumuranmu curi-curi pandang pada anak muda itu!
Ah, dunia sinting. Aku sinting.
Atau mungkin,
lebih tepatnya,
aku terlalu lama terkungkung sepi?
Makanya jadi sinting.
BSD,
4 Desember 2019
6 notes · View notes
rievinska · 5 years
Text
Mendewasa
Pantai Burung Mandi, Belitung Timur.
Aku menenggelamkan setengah kakiku bibir pantai berhias ombak. Pantai itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak kecil dan seorang bapak yang menikmati dinginnya air laut Belitung Timur. Senja mulai menyebarkan gradasi warna indahnya, dan aku mendongak ke arah langit yang melukiskan gurat-gurat warna merah muda-biru-oranye pada gumpalan awan-awan putih.
Aku sadar, dalam hidup ini, manusia yang beruntung adalah manusia yang mampu mengetahui siapa dirinya. Aku? Belum. Tapi setiap harinya, aku melangkah di jalan itu, jalan yang mengantarku menuju diriku sendiri.
Aku yang manja, egois, tidak pengertian, dan haus perhatian. Dulu aku adalah orang yang menuntut agar orang lain mau memahamiku, dan tak mau pusing-pusing melakukan hal yang sama terhadap mereka. Kini, aku sadar penuh akan kebrengsekanku itu. Dan Tuhan menempatkanku di lingkungan yang—walaupun semua keluargaku mencintaiku—bukan berisi orang-orang sesuai yang kuharapkan dalam hal memahami siapa aku. Aku hanya punya diriku sendiri untuk betul-betul memahamiku. Bahkan untuk hal ini, orangtuaku pun tidak bisa melakukannya secara sempurna.
Tapi aku juga tak akan pernah bisa menjadi anak yang sempurna bagi mereka, kan?
Aku hanya punya diriku sendiri di dunia ini untuk mencapai apa-apa yang kuinginkan. Pun orang lain juga hanya punya diri mereka sendiri. Bagiku, pencapaian tertinggi individu dalam mengenal siapa dirinya hanya bisa didapatkan lewat langkah kaki masing-masing. Orang lain hanya bisa membantu, bukan memberikan jawaban.
Aku jelas berproses setiap harinya. Aku tak peduli jika orang lain hanya mementingkan hasil dari perkembangan emosionalku. Aku yang menjalankan hidupku dan akulah yang patut menghargai segala proses yang terjadi dalam kehidupanku ini.
Dulu aku adalah anak yang sangat tidak sabaran. Mimpiku tinggi, tapi aku tidak menikmati proses. Aku hanya ingin hasil. Aku kehilangan kebijaksanaan yang hanya bisa didapat apabila kita menghargai sebuah proses pemahaman. Dan itu semua mengakibatkan aku jadi anak dungu yang kosong, hanya mau terima instan.
Lalu Tuhan mengubahku lewat segala takdirnya, lewat impian-impian yang dikandaskan karena aku terlalu terburu-buru. Lewat cinta yang tak terbalaskan karena keegoisanku. Lewat kefrustrasian yang kudapatkan karena tak adanya kebijaksanaan dalam diriku. Lewat ketidakbahagiaan yang kudapatkan karena aku selalu membandingkan orang lain dengan diriku...
Aku tahu hanya tekad baja yang mampu membuatku bertahan menghadapi semua gempuran ini. Aku harus merubah diriku untuk bisa mengubah takdirku. Mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Tapi, aku memang tak punya pilihan lain, kan?
Simfoni ombak yang berbaur dengan lagu pilihanku di ponsel kembali membuatku terlarut. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan dengan diriku sendiri. Dan pikiranku masih melanglang buana, kembali pada cinta yang kandas...
Melupakan orang yang mengisi hati selama beberapa tahun bukanlah hal yang mudah. Aku bisa membedakan mana perasaan suka karena kagum dan perasaan betul-betul cinta. Aku mencintainya, walau aku tahu keadaan memustahilkanku untuk bisa bersamanya. Tapi tak mudah untuk berhenti mencintainya. Bukan berarti aku tak pernah melakukan apa-apa untuk berusaha lupa. Berusaha membencinya, mencari orang lain untuk kucintai, berusaha mengikhlaskan, berusaha menuangkan semuanya lewat tulisan...
Sampai akhirnya aku menyerah. Aku memang masih benar-benar mencintainya.
Namun kuhapus segala harap karena aku tahu keadaan tak memungkinkanku untuk menginginkan hal yang lebih tinggi dari sekedar pungguk merindukan bulan. Mungkin ada beberapa orang yang berpikir bahwa mustahil kita mencintai tanpa berharap memiliki.
Aku hanya bisa tersenyum miris. Aku adalah bukti nyata dari seseorang yang masih mencintai namun tak lagi (tepatnya, tak berani) berharap memiliki...
Kudengar ia sudah punya kekasih. Kuduga, dalam waktu dekat mereka akan mengikat janji. Entahlah.
Tapi aku tahu, punggungku kuat.
Mungkin akan ada saatnya dimana cinta ini tak lagi mengakar sebegitu kuatnya. Mungkin ada titik dimana aku akhirnya bisa menemukan cinta sejatiku yang sebenarnya. Entah itu dalam sosok pria lain, entah itu dalam pekerjaan yang kuimpikan, atau malah aku akan jatuh cinta luar biasa pada kehidupan itu sendiri. Aku tidak tahu. Seperti air yang terus mengalir, aku hanya mengikuti arus dalam menemukan apa itu cinta.
Air mataku mendesak.
Ah, tapi untuk sekarang, aku masih mencintainya.
Laut, tempat kami terakhir berdiri bersandingan, dan kini semua memori itu merasuk. Membuatku rindu. Tapi aku sudah tak bisa melakukan apa-apa...
Kucurahkan semua perasaanku pada alam.
Biar mereka menyimpankannya untukku.
Nanti, saat kutemukan cinta sejati,
mungkin aku akan menengok kembali hari ini,
lalu tersenyum.
Terima kasih sudah mendewasakanku.
Belitung Timur, 23 Juni 2018
***
Hehehe tulisan lama, belum ada ide lagi mau nulis apa.
1 note · View note
rievinska · 5 years
Text
I am Back!
Well, hi, Tumblr!
It has been years since the last time I wrote in here. 
I was beyond happy when the government finally decided to no longer ban this site that has stored hundreds of my writings. But unfortunately, I have been attacked by this writer’s block thingy that turned me into hiatus mode for months.
But now, here I am, back again. Try to be more productive in writing.
After being busy for a couple of months, I didn’t even get the energy to write as much as I did when I was still a college student. I guess that every people that turns into an adult will get to the phase when everything seems so overwhelming that she can’t even do something she used to like before.
But a hard time will not last forever, right? I think I need to get up and push myself to write, no matter how hard it is to start it all over again. I was just looking back at my writings several months ago, which was left unfinished. I don’t even remember when and how did I write that, thanks to so many things that I needed to get done.
Maybe I’ll post it here after I give the ending to that story. Something that involves a dragon, not literally a dragon, but a dragon. Haha, I don’t know how to put it right.. So, we’ll see later then. Lol.
And now, there’s no excuse to procrastinate writing since I made several moves that somehow clear up my mind for a while so that I can focus to do what I really like: Writing.
Okay, enough with all these babblings. 
I am so happy that finally, I have enough time to write again.
See you on my next posts, Peeps!
Love,
-Evin-
.
Depok,
June 21, 2019
0 notes
rievinska · 5 years
Text
Terhatur doa buat ibumu, Nes. Beliau teladan yang luar biasa.
Jangan Takut Berbagi: Teladan dari Ibuk
“Kalau nunggu kaya, kita ndak akan segera berbagi, Ndhuk. Kita ndak bisa tahu sampai kapan usia kita. Selagi bisa, sebaiknya kita kerjakan,” kata almarhumah ibuk kepadaku.
Sejak aku kecil, almarhumah ibuk selalu memberikan teladan kepedulian kepada sesama lewat berbagi di keseharian beliau. Pernah suatu ketika aku pulang sekolah, di depan rumah sudah ada pedagang kerupuk yang mengalami keterbelakangan mental. Ibuk membeli kerupuknya dan sekaligus memberi makan siang untuk beliau. Ada pula suatu waktu, buruh tukang tambal ban di desa kami sedang berjalan menuju toko melewati rumah kami, ibuk memanggilnya dan menawarinya makan. Anak mantan lurah tahun 90-an yang mengalami keterbelakangan mental sering ke rumah kami dan ibuk melayaninya dengan sepenuh hati. Ibuk sangat dekat dengan orang-orang kecil seperti kami.
Almarhumah ibuk tak pernah sekalipun terbersit pikiran bahwa berbagi yang ada padanya akan membuatnya semakin miskin. Di saat kondisi keluarga kami sedang berkekurangan sekalipun, almarhumah ibuk berbagi beras kepada tetangga yang datang ke rumah untuk berhutang. Karena kami hanya memiliki beras dan ternyata tetangga tadi membutuhkan beras, Ibuk membagikan sebagian berasnya. Selepas tetangga pulang, aku pun bertanya kepada almarhumah ibuk.
“Ibuk, padahal itu beras kita bulan ini. Nanti kita gimana?”
“Tenang saja Ndhuk, kita masih punya Gusti Allah. Ndak perlu khawatir, selagi kita tetap mau berupaya menjemput rizki. Barangkali memang ada rezeki beliau yang dititipkan Gusti Allah ke kita sehingga kita sudah selayaknya menyampaikannya.”
Dan aku hanya bisa mengiyakan apa yang disampaikan ibuk. Karena jika dicerna lebih dalam, memang benar apa yang disampaikan beliau.
Ketika sedang berlimpah rezeki, almarhumah ibuk tak menikmatinya seorang diri. Misalnya, ketika bapak pulang dari nyopir bus dan membawa tiga kardus buah manggis. Dengan izin dari bapak sebelumnya, beliau membagikannya kepada para tetangga.
Aku yang pelit bertanya kepada ibuk,” Buk, kenapa buahnya dibagi-bagikan? Padahal enak, Buk. Untuk kita saja.”
“Ndhuk, tiga buah kardus terlalu banyak untuk kita. Daripada keburu terlalu matang dan busuk, akan lebih bermanfaat jika kita membagikannya. Beberapa tetangga kita juga belum tentu bisa menikmati buah tersebut untuk saat ini. Mereka bingung untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Berbahagialah Ndhuk, kita masih bisa berbagi dan barangkali bisa membuat mereka senang.”
Suatu ketika ada juga tetangga yang sedang berduka karena suaminya meninggal. Karena almarhumah ibuk sedang tak mempunyai uang untuk membantunya, beliau memberi gula yang dipunya dan membantu sepanjang hari untuk mempersiapkan doa bersama. Di lain waktu, ada tetangga yang anaknya kesulitan mengerjakan tugas sekolah dari gurunya. Almarhumah ibuk bersedia mengajarinya dengan meluangkan waktu dan pikirannya.  
Almarhumah ibuk adalah teladan luar biasa tentang arti berbagi kepada sesama. Berbagi bisa dengan apa saja yang dititipkan Allah kepada kita. Harta, waktu, tenaga, pikiran. Berbagi itu membahagiakan. Berbagi itu tak akan membuat pelakunya menjadi kekurangan. Barangkali, aku bisa bersekolah hingga perguruan tinggi adalah anugerah dari keikhlasan ibuk berbagi kepada sesama dan doa-doa dari mereka yang ibuk kasihi secara tulus. Karena rasanya jika secara logika, mustahil mengumpulkan biaya sebanyak itu untuk berkuliah di perguruan tinggi favorit di Indonesia dan hidup jauh dari orang tua. Terima kasih buk, atas teladan yang luar biasa ini. Salam kangen dari putrimu di dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
 “Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”
Ayo berbagi bersama donasi.dompetdhuafa.org ! Mudah, lengkap, dan amanah.
#JanganTakutBerbagi #SayaBerbagiSayaBahagia
422 notes · View notes
rievinska · 6 years
Text
Pria Kecilku
“Tante, Bunda mana?”
Anak bermata bening polos, berpipi putih tembam bagai bakpau isi ayam, dan berbadan mungil yang tingginya hanya sampai setengah pahaku itu melontarkan sepotong kalimat tanya sederhana yang membuat senyumku membeku.
Sayang…
Kenapa melontarkan tanya yang tak sanggup kujawab?
***
“Tadi belajar apa di sekolah?”
“Menggambar.”
“Oh ya? Kamu gambar apa?”
“Bunda!”
Hening beberapa saat.
Seulas senyum susah payah kusungging kembali.
“Mana? Tante mau lihat!”
Gambar sesosok wanita bersayap malaikat disodorkannya ke bawah hidungku.
“Ini Bunda di surga…”
***
Bocah itu tertidur di pelukanku. Bulu mata panjangnya yang menyentuh pipi, membuatku iri, bahkan aku yang perempuan saja tidak memiliki bulu mata seindah itu. Napasnya terdengar teratur. Ia terlihat lelah sejak sebelumnya puas berlarian di rerumputan lembut di kaki gunung ini. Tempat favoritku. Yang kukenalkan padanya sejak dini, dengan harapan semoga tempat ini dapat menjadi favoritnya juga.
Aku memeluknya erat. Lirik lagu Sore di Tugu Pancoran yang dinyanyikan oleh idolaku sepanjang masa, Iwan Fals, terngiang dalam benakku…
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu…
Ah, anak di dekapanku memang bukan Si Budi Kecil yang kuyup menggigil. Tapi anak di dekapanku ini juga menanggung beban yang bahkan aku saja tak kuat membayangkannya. Bunda yang jasadnya terkubur di belakang rumah kakek dan neneknya di kampung, ayah yang… entahlah. Aku tidak peduli kemana perginya lelaki itu. 
Tanganku mengelus rambutnya. Aku tahu aku takkan bisa menggantikan posisi sang ibunda untuknya. Aku tahu hatinya akan selalu menganga dengan lubang yang seharusnya diisi oleh seorang ayah. Tapi aku ingin ia tahu, bahwa ia tak akan pernah kekurangan kasih sayang. Akan selalu ada yang mencintainya. Aku mencintainya, walau ia tidak kulahirkan dari rahimku sendiri. Tak ada kata yang mampu menggambarkan perasaan kasih dan sayang ini. Aku hanya berharap hati kecilnya tahu…
“Capek ya nemenin dia lari-larian?”
Aku menggeleng menatap wanita tua yang mendatangiku dan makhluk mungil dalam dekapanku ini. Neneknya. Tanteku. 
“Nggak. Udah biasa lari. Apalagi dari kenyataan. Hehehe.” aku menjawab sambil berkelakar. 
Tanteku itu menggeleng-gelengkan kepala, “Dasar! Makan dulu sana, biar dia Tante pegang dulu.”
Agak tak rela, kuserahkan kembali ia pada neneknya. Tapi apa daya, menemani seorang bocah bermain di taman seluas ini menguras energiku. Aku butuh makan.
Kuhampiri ibu dan ayahku yang sedari tadi menunggui kami bermain di kedai yang terletak di sudut taman. Pamanku, kakek bocah itu, juga ada disana. 
“Sudah cocok kayaknya kamu punya anak sendiri!” ujar pamanku sambil terkekeh.
Aku hanya tersenyum, “Nanti aja, Om! Hilal penanda munculnya bapak anak-anakku aja belum kelihatan.”
Ketiga orang gaek itu tertawa. “Jangan lama-lama, lihat itu Papa dan Mama kamu sudah ngebet gendong cucu!”
“Kan ada Amran!” sahutku sambil menyeruput teh hangat milik ibu.
“Haaah… kamu, ada aja jawabannya kalau soal ini!” paman geleng-geleng kepala, sementara ayah dan ibuku tampak santai saja, tahu watak anak perempuannya yang selalu berkelit bila diajak bicara mengenai hal seperti anak, jodoh, dan sejenisnya.
“Tapi nggak apa-apa, Nak. Yang penting carilah lelaki yang benar-benar tulus sama kamu. Sudah cukup ibunya Amran saja yang disakiti lelaki…” nadanya menurun, matanya menerawang jauh ke tempat dimana istrinya terlihat berjalan sambil menggendong sang cucu ke arah kami berempat duduk.
Aku hanya bisa mengangguk, tak bisa menjawab apapun. Anak sekecil Amran dengan segala pelik kehidupan yang harus dihadapinya nanti… hatiku rasanya teriris. Terbayang wajah ibunda Amran, kakak sepupuku yang meninggalkan kami semua tepat dua tahun yang lalu. 
Amran menggeliat di pelukan neneknya, gerakan sang nenek yang menggendongnya lalu berjalan mengusik bocah itu. Tak lama, matanya terbuka dan mulutnya berkata, “Tante…”
“Disini, Sayang!”
Anak kecil itu meronta turun dari pelukan neneknya, berusaha menghampiriku.
“Eh, Tantenya mau makan dulu, Amran!” sang Nenek mencoba menghentikan Amran yang akan menghampiriku.
“Nggak apa-apa, aku bisa makan bareng Amran.” aku menjawab sambil merentangkan tangan menyambut Amran. Memangkunya.
“Amran sayang Tante!”
Aku terperangah, begitu juga dengan orangtua, paman, dan bibiku. Ucapan polos seorang bocah mungil itu menghangatkan hatiku. Sangat.
Aku tahu, aku tak akan bisa menggantikan posisi ibundanya. Tapi aku ingin dia tahu bahwa aku mencintainya, sekarang dan selamanya.
Kamu tak akan kekurangan cinta, Sayangku! Aku tahu kamu akan menjadi orang kuat yang mampu berpijak pada kedua kakimu sendiri. Dan aku akan mengiringi langkahmu menuju impianmu.
Tante sayang Amran!
***
Depok, 9 Januari 2018
AN: HALOHA! Akhirnya saya menulis lagi, selesai jam 1:52 dini hari dan besok masih harus menganalisis pengeluaran kantor bulan kemarin HA HA HA. Doakan saya nggak jatuh tepar ya saat memandangi excel.
Hm, sudah 2018 dan akhirnya saya memaksa diri untuk tidak kalah sama si WB. Jadilah ini. Spontan. Saya teringat keponakan yang amat saya rindukan.
Ya, ini memang based on true story walau nama disamarkan. Paragraf pertama betul-betul kejadian, sementara yang lain adalah cerita yang terinspirasi dari semua itu. 
Saya hanya ingin dia mengerti satu hal: Saya amat sangat menyayanginya. Semoga dia tumbuh jadi anak soleh yang senantiasa mendoakan ibunya di surga!
1 note · View note
rievinska · 6 years
Text
11/25
Ah, halo!
(Bersihin sarang laba-laba)
Tumblr masih dikunjungi netizen gak sih?
Atau sudah jadi fosil menyusul friendster?
Eh, amit-amit sih.
Hehehe.
Ya ampun, sudah berbulan-bulan saya kepikiran untuk menulis lagi disini, tapi semua hanya angan belaka. 
Yes, saya writer’s block (lagi dan lagi). 
Entah kenapa saya sulit sekali menyusun kata-kata belakangan ini. Mungkin otak saya sudah terkontaminasi angka-angka excel (cari aja alesan terus, Viiin).
Tapi pikiran saya masih seaktif dan selompat-lompat sebelumnya, cuma emang mungkin karena sayanya malas untuk meluangkan waktu menulis (pulang kerja rutinitas saya hanya berlari menyongsong kasur, main hp, lalu bubu syantique. Sungguh tiada sehat hidupku ini), ya... jadinya pikiran saya hanya terpendam saja tanpa tersalurkan lewat kata-kata.
Saya juga sering mikir, saya mau membawa rievinskafirsty.tumblr.com ini kemana sih? Ke personal blog yang isinya lebih berfaedah, traveling blog, atau ya sudah, kayak dulu-dulu saja, penampung segala kerandoman pikiran ini?
Dan masih belum ada jawabnya. Hahaha.
Sebetulnya saya mau banget nulis tentang cerita perjalanan, tapi sedihnya belakangan ini jalanan yang saya telusuri hanya Depok-KRL-Kuningan. Yang sejujurnya jutaan manusia lain juga menelusur di “jalanan” seperti ini.
Atau nulis cerita perjalanan saya yang lalu-lalu?
Tapi saya sudah banyak lupa. Ya sedih.
Tuh kan, saya cari-cari alasan lagi. He he.
Beberapa hari ini sebetulnya saya lagi banyak berkontemplasi juga sih. Sambil berdiri di KRL, sambil duduk di Go-jek, sambil nyetir, bahkan sambil diam makan.
Atau mungkin saya tulis tentang itu ya?
Hmmm...
Oke, kita lihat nanti!
:)
Jakarta,
25 November 2017 
0 notes
rievinska · 7 years
Quote
I wish nothing but a longer Saturday
me
2 notes · View notes
rievinska · 7 years
Text
Hei, Yuk Jalan!
Dalam hidup yang dipenuhi oleh orang-orang ini, saya pernah menemukan seseorang yang ingin sekali saya ajak jalan-jalan, menyusuri segala detail-detail kehidupan yang seringkali luput terhalang rutinitas orang dewasa yang membuat jenuh.
Saya ingin ‘menyeretnya’ ke tempat-tempat random yang biasa saya kunjungi. Sekedar minum teh susu hangat di Cibodas atau menelusuri punggung bukit di Sukabumi. Meskipun saya tahu, kesukaan saya akan hal-hal random ini pernah diledek olehnya.
Tapi saya hanya ingin dia tahu, ada banyak hal sederhana di dunia ini yang bisa dijadikan pelarian dari rutinitas. Sesederhana teh susu hangat di kaki gunung yang dingin. Sederhana. Namun hangat. Dan segar. Terima kasih pada sapuan angin gunungnya.
Oh, jangan kamu anggap ini modusan wanita ya! Tidak. Pernahkah kamu menemukan orang yang ingin kamu ajak keluar dari kehidupan menjemukan? Kalau pernah, kamu pasti mengerti. Kalau belum, ya silakan saja membaca ini dengan interpretasimu sendiri. Tapi satu hal yang pasti: Saya ingin berbagi.
Saya bukan orang hebat sepertinya. Belum. Tapi saya tahu ada sesuatu dalam diri saya yang tak dimiliki olehnya. Saya tahu cara bersenang-senang menikmati kehidupan, bahkan lewat hal-hal yang seringkali terabaikan.
Karena saya senang sekali berjalan-jalan, maka saya ingin juga membagi kebahagiaan lewat perjalanan pada sesama manusia yang mampu memanggil jiwa saya untuk menengok dan mengulurkan tangan,
“Hei, yuk nikmati kehidupan!”
Lewat jalan-jalan!
Depok, 22 Agustus 2017
3 notes · View notes
rievinska · 7 years
Text
Weekend
Saya senang akhir pekan. Saat dimana saya bisa jalan-jalan sesuka hati, atau hanya sekedar tiduran di rumah sambil scrolling instagram atau twitter, lalu dilanjut tidur, atau makan. Bahagia itu sederhana. Hahaha. Saya adalah orang yang suka membaca, tapi ada saat dimana akhir pekan saya hanya diisi tidur, internet, dan tidur lagi. Ada saat dimana otak saya rasanya capek berpikir sehingga saya hanya ingin membego saja sambil melihat gosip-gosip internet (yang kemudian saya sesali karena sudah mencekokkan otak dengan hal-hal tidak penting, tapi selalu diulangi lagi). Ah, weekend. Porsinya memang pas. Dua hari dalam seminggu. Karena kalau lebih dari itu, kayaknya saya bakal bego beneran, mengingat kebanyakan weekend saya ya memang digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan tidur, santai, dan makan, bukan hal yang meningkatkan produktivitas atau mengasah otak. Haha. Who doesn't love weekend? Depok, 20 Agustus 2016
0 notes
rievinska · 7 years
Text
Boleh?
Gelas itu tinggal setengah.
Aku berdeguk,
lalu tertawa.
Ha ha,
puas rasanya
memecundangi diri sendiri
Seteguk lagi
Tenggorokanku panas
eh, atau terbakar?
Aku tak peduli
hei Setan, lihat,
minumanmu kuminum
.
Hei
Aku
Lelah
Boleh sebentar saja aku lupa segala?
***
18 Agustus 2017
0 notes
rievinska · 7 years
Quote
Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa kau tidak bisa menulis, padahal sejatinya setiap hari pikiranmu sendiri terdiri dari untaian kata-kata?
Me
2 notes · View notes
rievinska · 7 years
Text
Susu Jahe
Detik berlalu, uap panas memudar, namun aroma jahe masih mengambang di sekitarku. Kenapa jadi susu jahe? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kamarku remang karena aku hanya menyalakan lampu tidur dengan watt rendah. Namun suasana yang gelap serta susu jahe hangat yang kupegang tak kunjung menghadirkan kantuk di jam yang normalnya orang akan tidur ini. Aku menunduk menatap gelas yang kupegang dengan kedua tanganku, susu jahe itu sudah kuminum seperempatnya. Aku semakin bingung. Kenapa jadi susu jahe? Aku bertanya-tanya lagi sambil kembali menyesap isi gelas. Ah, hangat. Tapi kantuk tak kunjung datang, hanya rasa heran yang masih menggayut. Aku dulu benci susu jahe. Aromanya. Rasa jahenya yang kuat. Bagiku dulu, susu ya susu saja. Kenapa harus dicampur rempah segala? Rasanya jadi acak-acakkan, kan! Tapi sekarang, aku malah menggenggamnya erat. Astaga, aku menyukainya. Aroma ini, rasa ini, yang dulunya aku kutuk habis-habisan karena merusak rasa susu original yang menjadi favoritku. Belakangan ini memang aku menjadi aneh. Aku banyak menyukai hal yang dulunya aku benci habis-habisan; makanan pedas, mencuci piring, beres-beres rumah. Dan sekarang... susu jahe. Ah, kenapa ya? Semuanya datang secara tiba-tiba saja. Tiba-tiba aku jadi selalu menambahkan sambal ke segala menu gurih yang kupesan, tiba-tiba aku jadi rajin mencuci piring-piring kotor di rumah, tiba-tiba aku rutin membereskan segala macam ketidakrapian di rumah, dan tiba-tiba aku rela berjalan malam-malam demi membeli susu jahe di depan komplek rumah. Aku meneguk lagi gelasku hingga tandas. Hangat memenuhi sekujur tubuhku. Lagi. Hm... Tampaknya tak semua 'kenapa' perlu jawab. Aku dan kebiasaan baru (anehku) akhir-akhir ini. Yang jelas, aku nyengir, tampaknya kita tidak boleh membenci sesuatu sampai sebegitunya karena bisa saja tiba-tiba di masa depan nanti kita malah berbalik menyukainya, kan? Seperti aku padamu, susu jahe!
1 note · View note
rievinska · 7 years
Quote
Cause the wound that he once made is so deep, it won’t be completely healed. That is why I give up on any kind of romantic feelings. No, I will not wait for a prince charming to come and cure me. It will not be happened. But I know, God gives me people around me so I can feel the beauty of love, forever. Maybe not in a romantic way, but love comes in so many ways, right? And it is still love :)
Me
0 notes
rievinska · 7 years
Text
Hidup dan Badainya: Stay Alive!
Belakangan ini media seringkali dipenuhi oleh berita orang-orang yang bunuh diri.
Saya nggak bohong kalau saya prihatin dengan fenomena ini.
Tanpa bermaksud menghakimi mereka yang sudah pergi atau bermaksud menjadi ahli jiwa dadakan, saya ingin sedikit berbagi.
Umur saya di tahun 2017 ini sudah 23. Sudah banyak kejadian yang saya lewati selama perjalanan hidup saya sampai hari ini. Salah satunya adalah badai luar biasa yang menerpa saya dan keluarga di tahun 2015 lalu, saat saya berumur 21 tahun dan masih polos soal dunia, jati diri juga masih entah dimana.
Well, sekarang juga masih belum sepenuhnya menemukan jati diri sih, tapi paling tidak saya tidak se-clueless dua tahun yang lalu.
Di 2015, keluarga kecil saya mengalami badai finansial luar biasa yang menyebabkan masalah seolah datang dari segala arah. Depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah. Bisnis ayah saya bangkrut dan seperti lazimnya bisnis bangkrut, kami terlibat masalah dengan banyak orang. Salah satu mobil saya diambil untuk melunasi hutang. Dan itu berlanjut sampai 2016, dimana mobil satu-satunya yang tersisa terpaksa digadai selama 6 bulan, lagi-lagi untuk melunasi hutang.
Saya yang masih kaget dengan cobaan itu, harus siap menjadi tampungan curhat ibu saya yang juga sama stresnya. Beliau menopang seluruh masalah finansial keluarga kami sendirian, karena ayah saya berkali-kali gagal merintis usahanya kembali setelah kebangkrutannya di 2015. Belum lagi harus menghadapi tagihan banyak orang.
Saya kesal. Saya marah pada keadaan. Marah pada ayah saya yang saya anggap menyusahkan keluarga. Bahkan, saya yang mengajukan agar orangtua saya berpisah saja saat itu.
Iya memang kurang ajar, tapi saat itu saya sudah putus asa. Kenapa tiba-tiba badai besar menghajar keluarga kami tanpa ampun? Sementara di tahun 2014 hidup saya begiu nikmatnya. Kemana-mana gampang, uang rasanya amat sangat mudah didapatkan saat itu, termasuk dari ayah saya ketika beliau belum bangkrut.
Seolah semua belum cukup, di tahun yang sama, saya patah hati. Kalau itu belum cukup lagi, saya harus terima kenyataan bahwa saya banyak dibicarakan di belakang, apalagi setelah saya diangkat menjadi Treasurer di BEM. Meskipun saya berusaha sebisa mungkin untuk membuktikan bahwa omongan di belakang itu salah, tapi setahun kepengurusan saya di BEM 2015 adalah the worst time ever dalam segi perasaan nyaman dan senang saya selama tiga tahun nge-BEM. Tanpa anak-anak saya di Biro Project, tampaknya saya tak akan sanggup bertahan di BEM yang saat itu sebetulnya amat sangat membuat saya sakit.
Soal patah hati, tidak ada yang mau mengerti. Dengan entengnya orang-orang berkata, “Elah lebay lo, lupain aja sih! Pacaran juga nggak, sok-sok patah hati. Emang itu orang pernah bilang suka sama lo?”
Ya enggak sih. Tapi kalau kamu tiba-tiba dijauhi oleh sebab-sebab yang membuat kamu sakit hati luar biasa oleh orang yang sebelumnya kamu cintai, mau kamu pacaran atau enggak, saya bertaruh pasti rasanya sakit sekali.
Iya. Perasaan saya digampangkan karena memang saya nggak pacaran.
Soal omongan orang di belakang, saat saya curhat dengan sahabat saya, dia malah membeberkan list kesalahan saya selama setahun terakhir. Itu kejadiannya di hari ulang tahun saya, inget banget, haha. Saat itu, walaupun sakit, saya mencoba berbesar hati. Oke, saya pikir, mungkin emang dosa gue segudang sama banyak orang. Walau mostly yang ngomongin saya memang orang yang tidak kenal personal dengan saya. Hanya melihat saya di permukaan saja. Tapi ya, saya akui bahwa apa yang ditampilkan di permukaan juga tak kalah pentingnya dalam pergaulan.
Soal stres di BEM, semua Pengurus Inti juga capek, juga punya bebannya masing-masing. Dan saya harus mendapatkan kritik pedas apabila saya mengeluh. “Yang capek bukan cuma lo doang!”
Iya, tapi batin aku sakit karena kamu :)
Ahahaha. Oke fokus lagi. Saya tak pernah menunjukkan ini pada anak-anak saya karena tak pantas seorang supervisor terlihat lemah di mata anak-anaknya. Tapi alhamdulillah, mereka selalu bisa membuat saya semangat, tersenyum, dan tertawa lepas saat saya harus menghadapi badai di rumah, di kuliah, dan di sesama Pengurus Inti.
Dulu saya sempat terpikir, rasanya mau mati aja.
Tapi matinya gimana ya? Ngiris nadi, sakit coy! Minum racun, gak berani. Gantung diri, mau nali dimana juga?
Ternyata saya meskipun stres, rupanya masih takut mati.
Saya memang belum bisa dibilang depresi (atau malah sudah depresi ringan tapi saya tidak sadar?), tapi kondisi saya juga bukan kondisi yang baik saat itu. Saya yang tak punya riwayat rambut rontok, jadi rontok habis-habisan sampai menyumbat saluran kamar mandi. Saya susah tidur malam, sering sakit kepala. Saya hilang semangat kuliah. Nilai saya kebakaran (siapa yang kepikiran belajar Analisis Sekuritas dkk saat keadaan keluarga sedang kacau-kacaunya?). Tubuh saya berbulan-bulan gatal dan memerah tanpa sebab setiap pagi (bahkan dokter nggak tahu kenapa!). Saya bahkan batuk tak sembuh-sembuh. Saya sering nangis sendirian tengah malam meratapi nasib yang sepanjang tahun itu tak kunjung membaik.
Sungguh, sebuah keadaan yang nggak banget.
Saya tak bisa cerita pada orang-orang karena semua juga sedang hectic dengan urusan masing-masing. Apalagi soal masalah keluarga, baru sekarang saja saya ekspos (dengan harapan bisa berbagi dengan kalian yang membaca). Dulu, saya tutupi mati-matian karena saya malu dengan kondisi finansial orangtua saya yang jomplang sekali dengan hedonisme saya tahun 2014.
Tapi seperti seorang Tante baik pernah bilang pada saya, “Semua cobaan itu menimpa kamu agar kamu terasah menghadapi hidup ini, lalu bersinar terang bagai berlian.”
Stres, capek, tubuh berontak, tanpa teman yang bisa diajak berbagi (apalagi soal patah hati. Saya sebal sekali kalau perasaan saya digampangin), saya belajar untuk menjadi manusia dewasa.
Hidup saya tak serta merta bagai kisah indah tentang pelangi yang datang setelah badai. Bahkan di tahun 2016 semua badai masih berlanjut dan saya juga pakai acara telat lulus. Sampai sekarang pun saya juga masih berjuang mengejar banyak ketertinggalan dan mimpi-mimpi yang masih saya untai.
Alhamdulillah keadaan membaik dua tahun setelahnya. Ayah saya hijrah ke Surabaya untuk bisnis baru dan (Allah Maha Pengasih dan Penyayang) alhamdulillah performanya paling baik dibandingkan rekan-rekannya yang lain. Ya, keluarga saya memang jadi LDR, tapi saya percaya hijrahnya ayah saya adalah yang terbaik untuk keluarga kami. Saya semakin respek dan cinta luar biasa pada ayah saya dan amat sangat menyesal dulu meminta ibu saya bercerai saja. Saya juga mendapatkan pelajaran luar biasa dari ibu saya yang cintanya pada ayah saya sudah menyelamatkan keluarga kami. Ibu saya yang kepercayaannya pada ayah saya tak tergadai oleh apapun juga, yang sudah mempertahankan perkawinan mereka dari badai maha besar yang sebetulnya saya rasa bisa saja dulu ibu saya menyerah saja. Tapi bahkan beliau lebih kuat dari Wonder Woman :)
Soal hati? Baca postingan sebelumnya deh. Saya sudah tak peduli. Dulu saya tak rela jika dia bukan the one buat saya. Sekarang? Ya udah sih, I have so many things to think about. Saya sampai detik ini tak lagi bertegur sapa dengan orang itu, lebih karena saya menghormati perasaannya yang pasti akan risih kalau berbicara lagi dengan saya.
Saya bisa menyalurkan rasa cinta saya untuk banyak hal lain :)
Dan karena saya didewasakan si badai kehidupan, saya sadar bahwa sahabat terdekat kita adalah diri sendiri. Bukan berarti kita tak butuh orang lain, tapi kita harus paham bahwa orang lain punya bebannya masing-masing. Jangan sampai beban kita jadi membebani mereka juga. Dan jangan 100% menggantungkan hidup kita pada orang lain karena kamu masih punya suara hati paling murni yang mampu mengarahkan kamu untuk bagaimana ke depannya menjalani hidup.
Lantas apa hikmahnya kamu membeberkan semua ini di platform publik Vin?
Saya hanya ingin berkata, setiap manusia dikaruniai kemampuan self healing. Dalam kasus saya, saya memang menghadapi semuanya sendirian, tanpa bantuan profesional. Pernah sih saya mencoba ke psikolog UI yang tarifnya mencekik kantong. Tapi rupanya saya tidak cocok dengan beliau karena beliau malah menghakimi ayah saya, saat saya sebetulnya butuh seseorang yang membantu saya mengembalikan respek kepada ayah saya sendiri. Saya nggak paham ilmu yang dia gunakan, tapi saya hanya cukup sekali bertemu dengannya. Sudah. Tidak dilanjut. Mahal juga lagian.
Saya menulis, saya ketemu anak-anak saya di BEM, saya cari hiburan di sana-sini (yang tidak mengeluarkan banyak uang tentunya) supaya saya melupakan rasa sakit yang menghantam dimana-mana. Ya, memang orang lain berperan penting dalam penyembuhan rasa sakit batin kita. Tapi tak harus selalu dengan cara kita curhat. Kita bercanda aja sejujurnya sudah sangat menghibur batin yang lagi perih-perihnya.
Kalau memang kamu sudah di titik dimana kamu tidak bisa lagi self healing, temukanlah minimal satuuu saja orang yang kamu percaya. Ceritakan bahwa kamu mengalami rasa sakit batin tak tertahankan yang kamu rasa akan berbahaya sehingga pikiran untuk mengakhiri hidup sudah sering melintas di benakmu.
Bisa sahabat, keluarga, psikolog, atau bahkan hotline anti bunuh diri yang kini marak disebar.
Paling tidak itu bisa membantumu, apa solusi paling feasible untuk kamu lakukan. To get rid of those suicidal thoughts.
Karena oh karena kawan, kita semua punya masalah dengan kadarnya masing-masing. Masalah saya di atas mungkin terlihat sepele jika dibandingkan dengan masalah beberapa orang yang jauh lebih berat. Tapi saya yakin, kita punya jalan masing-masing untuk bisa going through the storm. Dan mengakhiri hidupmu sendiri bukanlah solusi. Sama sekali bukan.
Iya, saya bukan ahli kejiwaan, saya hanya bisa berpegang pada keyakinan luar biasa bahwa semua cobaan di hidup ini ada jalan keluarnya. Saya hanya ingin agar semua yang berbaik hati membaca tulisan ini sadar bahwa sejujurnya kamu mampu untuk menghadapi semua badai yang diberikan pada kamu. Apapun caranya. Asalkan kamu tetap memilih untuk hidup.
All in all…
Ya, seni hidup adalah bersabar. Saya termasuk orang yang tak sabaran saat menghadapi cobaan sehingga saya lemah saat ada badai menerpa. Tapi toh hidup kita tidak selamanya badai. Ada banyak orang yang memang ditakdirkan untuk jadi bad cops dalam hidup, tapi kalau nuranimu mau mencari, good cops pun banyak di sekitarmu. Kamu hanya perlu membuka hati saja. Dan untuk bisa membuka hati, kamu harus bertahan hidup, kan? :)
Stay alive guys! Much love, Evin.
PS: Saya senang berteman. Tulisan saya Agustus lalu di line yang di share ribuan orang membuat saya mendapatkan beberapa teman baru. Asyik juga. Hehe. So, kalau ada yang ingin di share karena kalian sedang mengalami masalah yang kurang lebih sama dengan saya sepanjang 2015 kemarin, sila kirim ke [email protected]. Saya memang bukan orang yang memiliki latar belakang psikologi or stuffs like that, tapi saya senang kalau bisa sedikit meredakan beban siapapun yang sedang butuh tempat cerita :-)
Depok, 30 Juli 2017
(Depok lagi dingin banget btw)
3 notes · View notes
rievinska · 7 years
Text
Paham
“Aku sangat tidak suka apabila aku sudah menjauhi seseorang, dan dia masih berusaha untuk mendekatiku lagi. Apa dia tidak bisa melihat bahwa aku sudah tak mau lagi berbicara atau berbasa-basi dengannya? Tak tahu malu sekali, jelas-jelas aku sudah menunjukkan bahwa aku terganggu dengannya!” aku kembali meneguk air putih untuk membasahi tenggorokan. Di depanku teronggok dua buah kue lezat dengan rasa campuran keju dan bluberi.
Sosok di hadapanku terdiam, seperti memikirkan sesuatu.
“Tapi,” aku melanjutkan lagi, “dengan perasaan sebal dan jijikku terhadap orang itu, aku jadi paham mengapa aku juga diperlakukan sama seperti aku memperlakukan orang yang mengejar-ngejarku itu, oleh dia yang selalu aku ceritakan padamu.”
Sahabatku itu menatapku, “Itu yang tadi mau kukatakan! Apakah pria itu menyikapi dirimu sama seperti kau menyikapi stalkermu itu?”
Aku mengangkat bahu. Suasana restoran di salah satu hotel berbintang di Jakarta ini terlalu indah untuk kuhapus dengan kilasan-kilasan kenangan buruk. Tentang cinta. Tentang hati yang patah.
“Kalaupun iya,” aku menyolek kue keju bluberi itu dengan sendok kecil, “aku sudah tak peduli. Urusannya mau memandang dan memperlakukanku seperti apa. Dan urusanku untuk move on dan tak lagi peduli pada segala kenangan buruk yang sudah tercipta.”
Aku memakan kue lezat itu.
Aku memang sudah lupa dan tidak peduli kok.
Tapi aku paham alasan dibalik perlakuan dia terhadapku.
Karena aku juga baru saja mengalaminya.
Dan tidak pernah menghubunginya lagi adalah caraku menghormati perasaannya.
Hidupku, hidupku. Dan hidupmu, hidupmu.
Semoga kita selalu berbahagia dengan jalan hidup masing-masing.
***
Hotel Raffles Jakarta,
28 Juli 2017
0 notes
rievinska · 7 years
Text
Pintu
Saya punya kecenderungan untuk selalu mengunci pintu setiap ruangan yang saya masuki di rumah, saat saya berada sendirian di ruangan itu. Entah itu kamar saya sendiri, kamar orang tua, atau kamar adik. Yang dua terakhir ini selalu menyebabkan saya sering diomeli. Ya iyalah, kamar orang kok main dikunci-kunci. Haha.
Tapi ya, saya adalah tipikal orang yang merasa mengunci pintu kamar adalah semacam ritual wajib, bahkan di siang hari (kalau malam memang pastinya kamar-kamar di rumah dikunci). Saya selalu merasa tidak nyaman bila tidak mengunci pintu. Rasanya bila ada orang yang tiba-tiba membuka pintu, seolah orang yang membuka pintu kamar itu seperti membuka pula isi pikiran saya. Dan meskipun mereka tidak bermaksud membuka isi pikiran saya hanya dengan membuka pintu kamar, tapi saya adalah tipe orang yang benci kalau orang lain berusaha untuk tahu apa yang saya pikirkan, jadi ya sugesti itu terbawa juga saat saya sendirian di kamar.
Sebetulnya di dalam kamar juga saya nggak melakukan apapun yang membuat saya malu atau awkward kalau dilihat orang. Saya jarang jejingkrakan mengikuti irama lagu (jarang ya, bukan gak pernah hehe) yang bisa bikin malu kalau tiba-tiba pintu kamar terbuka, saya jarang pula melakukan hal-hal memalukan (kalau dilihat orang) lainnya. Intinya, yang saya lakukan di kamar kalau nggak main hape, baca, nulis, ya… merenung.
Ini sih. Merenung. Saya paling benci saat saya sedang merenung, tiba-tiba ada orang masuk. Rasanya kayak kekhusyukan saya diacak-acak, apalagi kalau masuk hanya untuk bertanya, “Vin, liat (insert nama barang here) gak?”
Pasti saya langsung bete.
Yap, sebagai orang bawel dan ceria yang tampaknya tak punya rahasia di dunia ini, saya sebetulnya punya sisi tertutup yang besar pula.
Saya ambivert. Energi saya dapatkan dari kesendirian, dan energi itu saya salurkan di keramaian. Saya mencintai spotlight sama banyaknya dengan saya mencintai kesendirian.
Jadi, mengunci pintu kamar adalah suatu prosesi keramat saat saya ingin mendapatkan energi yang bisa saya gunakan saat saya harus menjalani kegiatan sehari-hari, yang pastinya akan bertemu dengan banyak orang.
Karena bagi saya, pintu kamar saat saya sedang melakukan segala hal yang berhubungan dengan mengisi energi diri lewat kesendirian, sama perannya seperti pintu hati. Kalau dia diusik dengan dibuka orang, saya merasa ruang hati saya juga diusik. Haha, lebay ya? Tapi begitulah adanya.
Jadi…
Ada ambivert di luar sana yang begini juga? Secinta itu dengan kesendiriannya sehingga tak sudi diganggu orang lain, bahkan hanya lewat membuka pintu kamar?
:)
Depok, 24 Juli 2017
3 notes · View notes