Tumgik
lamuide · 6 days
Text
Bagaimana Jika Ceritanya Begini
Agama dan ketakutan (dan juga kebodohan) adalah dua hal yang senantiasa berkawan. Ketakutan berasal dari ketidaktahuan dan melahirkan ketidaktahuan tingkat lanjut. Di saat seperti itulah manusia membutuhkan agama. Jika agama sering melanggengkan ketakutan (dan juga kebodohan), maka barangkali memang hanya dengan seperti itu, agama bisa bertahan hidup.
Saat ketakutan melanda, agama datang memberikan harapan. Tapi, bukankah itu aneh? Agama sendiri yang memendarkan ketakutan lalu agama datang menjajakan harapan. Itu seperti dukun yang menyebarkan penyakit lalu dukun itu sendiri yang manawarkan obatnya. Mungkin juga mirip pemuka agama yang senantiasa menebarkan ketakutan tentang penderitaan dunia serta akhirat yang disebabkan oleh pembangkangan manusia untuk beribadah. Lalu pemuka agama itu hadir dengan khotbah-khotbahnya yang berisi harapan. Lalu, apakah manusia menjadi selamat karenanya? Belum tentu. Yang pasti pemuka agama itu hidup nyaman dari bayaran atas khotbah-khotbahnya.
Salah satu yang menjadi tawaran agama adalah perdamaian manusia, tapi berapa abad dari usia manusia yang harus berisi pertumpahan darah atas nama agama? Sepuluh abad? Lebih dan masing berlangsung! Lihatlah Israel vs Palestina! Itu bukti betapa dustanya khotbah-khotbah para pemuka agama. Sebuah pembelaan klasik dan hampir-hampir basi pasti terlintas di benak. “Itu bukan karena agamanya, tetapi karena pemeluknya.” Jangan-jangan, seandainya tidak ada agama, maka puluhan abad dari usia manusia tidak harus diisi oleh pertumpahan darah.
Perang suci hanyalah bentuk paling mutakhir dan paling bertahan dari dampak agama. Agama-agama yang hampir setua peradaban manusia sudah biasa mengorbankan manusia demi untuk memuaskan tuhan-tuhan mereka. Darah segar serta jantung masih berdegup dalam keadaan luka adalah persembahan paling mulia sebelum kurban-kurban itu mati dalam kesakitan yang amat sangat. Belakangan, darah manusia diganti dengan darah binatang. Tetap saja agama memerlukan darah. Kini darah yang dipersembahkan adalah darah segar orang-orang kafir sebagai tumbal kebahagiaan di nirwana.
Imajinasi bisa membawa kepada agama yang mendaku diri sebagai agama paling benar hingga semua manusia harus menganut agama itu untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Setiap agama yang datang belakangan menjadi pengganti bagi agama yang datang lebih dahulu dan otomatis keliru selamanya. Tanpa bisa diragukan lagi, pemikiran seperti itu pasti melahirkan perang tiada henti. Korbannya bukan hanya laki-laki dewasa, tetapi juga anak-anak dan perempuan. Mungkinkah agama berhenti berfikir seperti itu? Sepertinya mustahil. Sepertinya agama memang terlahir untuk seperti itu.[]
0 notes
lamuide · 10 days
Text
Mengapa Nabi Muhammad Saw Diutus?
Tentu saja sudah menjadi kehendak Allah SWT bahwa Nabi Muhammad Saw diutus ke muka bumi untuk membawa ajaran bernama Islam. Namun, pertanyaan tentang mengapa Nabi Muhammad Saw diutus tetap saja sesuatu yang layak diajukan. Jika mengingat bahwa setiap sesuatu pasti ada sebab dan sejarah yang mengakibatkan kehadirannya, maka ada kemungkinan pengutusan Nabi Muhammad Saw juga ada sebabnya. Paling tidak ada sebuah konteks sebelum dan pada waktu Nabi Muhammad Saw diutus yang layak dianggap sebagai latar belakang Nabi Muhammad Saw diutus.
Salah satu jawaban yang sering disampaikan adalah bahwa Nabi Muhammad Saw diutus dalam konteks teologis. Maksudnya, keyakinan masyarakat sekita Nabi Muhammad Saw mengalami degradasi yang sangat parah hingga mereka kembali menyembah berhala, padahal para nabi sebelumnya sudah memperjuangkan hilangnya berhala dari kehidupan masyarakat, terutama yang terkenal adalah Nabi Ibrahmi as yang disebut-sebut sebagai Bapak Monoteisme karena menjadi kakek moyang dari penyeru agama monoteis terkenal seperti Yahudi, Nasrani, hingga Islam. Tidak tanggung-tanggung, pemberhalaan itu terjadi di tempat yang paling suci yang justru didirikan oleh Nabi Ibrahim as sendiri, yaitu Makkah dan sekitarnya. Sampai-sampai di sekitar Ka’bah disebutkan ada hingga 360 patung berhala dari berbagai umat dan dalam berbagai bentuk.
Jawaban lain yang juga sering disampaikan—dan juga masin dalam konteks teologis—adalah kenyataan degradasi yang terjadi pada dua agama monoteis sebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani. Kabarnya, Yahudi dan Nasrani tidak lagi mengikuti ajaran sesungguhnya dari nabi yang membawanya yaitu Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Telah terjadi banyak perubahan-perubahan di dalam kedua agama tersebut yang dilakukan oleh umatnya sendiri. Karena itulah Nabi Muhammad Saw diutus.
Selain jawaban teologis, ada pula jawaban yang lebih bersifat moral dan cenderung personal. Maksudnya, Islam lahir karena kegelisahan moral dan personal seorang Nabi Muhammad Saw yang membuatnya bermenung di sebuah tempat sepi hingga turun Al-Qur`an sebagai hasil dari permenungan tersebut untuk menjadi pedoman Nabi Muhammad Saw dalam upaya memberantas problem moral yang menurut Nabi Muhammad Saw tidak beres.
Ketidakberesan moral yang dianggap ada oleh Nabi Muhammad Saw pada masyarakat Makkah adalah perbudakan, ketimpangan ekonomi, pelecehan terhadap perempuan serta janda-janda, hingga ketidakpedulian terhadap anak yatim. Perbudakan dan ketimpangan ekonomi adalah dua hal yang berkaitan karena perbudakan dilestarikan adalah demi kepentingan ekonomi yaitu agar ada pihak yang terus-menerus dieksploitasi dan dipekerjakan tanpa harus diberi upah yang layak agar tidak mengganggu tumpukan harta yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Nabi Muhammad Saw memang bukan budak tetapi beliau termasuk yang secara ekonomi lemah.
Pelecehan terhadap perempuan serta janda-janda juga berkaitan dengan perbudakan dan ekonomi karena perempuan tanpa kekuatan ekonomi mengalami ketidakadilan yang hampir sama dengan yang dialami oleh para budak. Dalam hal-hal tertentu, budak lebih berguna bagi masyarakat Makkah pada waktu itu daripada perempuan karena paling tidak budak laki-laki bisa dijadikan pasukan perang, sedangkan perempuan tidak mungkin. Masa itu adalah masa ketika pertempuran antarsuku masih sangat sering terjadi. Nabi Muhammad Saw tentu saja bukan perempuan tetapi kelemahan ekonomi membuatnya bisa saja setara dengan kelemahan posisi perempuan.
Adapun tentang ketidakpedulian terhadap anak yatim, maka itu sepertinya cukup personal bagi Nabi Muhammad Saw karena beliau termasuk di dalamnya. Diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw lahir saat ayahnya telah tiada. Dalam usia yang sangat belia, ibunya pun wafat hingga harus ikut kepada kakeknya. Belum cukup dewasa, sang kakek pun wafat sehingga harus ikut pamannya. Kenyataan itu cukup menggambarkan betapa tidak nyamannya Nabi Muhammad Saw sebagai seorang anak yatim.
Dua penjelasan tentang mengapa Nabi Muhammad Saw diutus di atas menyebutkan dua yang bersifat teologis dan satu yang bersifat moral-personal. Penjelasan pertama memberikan pesan bahwa tidak boleh ada penyembahan kepada sesama makhluk dan itu berkaitan dengan penjelasan ketiga yang bersifat moral-personal yaitu tidak boleh ada perbudakan. Perbudakan adalah bentuk lain dari penyembahan kepada sesama makhluk. Karena itulah, bahasa Arab untuk budak adalah عبد yang berarti “hamba”. Tegasnya, pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa tidak boleh makhluk memperhamba/memperbudak makhluk lain dan tidak boleh makhluk menghambakan/memperbudak diri di hadapan makhluk lain karena pada dasarnya seluruh makhluk setara.
Penjelasan kedua tentang Yahudi-Nasrani juga memberikan sebuah pesan bahwa tidak boleh ada perubahan pada ajaran Islam yang telah ada. Bukan berarti dinamika dan upaya untuk menyesuaikan dengan zaman tidak boleh, tetapi jika sudah terlampau jauh hingga berubah dari menyembah Allah SWT kepada menyembah selain-Nya, maka itu tidak boleh. Sesungguhnya hal ini lebih kepada wilayah batin daripada lahir. Salah satu contohnya adalah di dalam bahasa Bugis, Tuhan disebut dengan “Puang” atau lebih lengkapnya “Puang Allah Ta’ala”. Bahasa Bugis untuk untuk orang yang dihormati, salah satunya adalah juga sebutan “Puang”. Meski sama dalam penyebutan, tetapi sudah pasti orang Bugis tidak akan berubah menjadi penyembah berhala atau mengubah ajaran Islam hanya karena itu karena pada batinnya orang Bugis, tetapi saja “Puang” yang pertama dengan “Puang” yang kedua berbeda meskipun secara lahirnya mirip.
Jadi pesan yang hendak disampaikan lewat kritik terhadap ajaran Yahudi-Nasrani yang telah berubah itu bukanlah untuk mengubah Yahudi-Nasrani kepada bentuk asalnya karena itu urusan penganut dua agama itu sendiri dan bukan urusan umat lain termasuk umat Islam. Pesan yang hendak disampaikan pelajaran tentang tidak bolehnya ajaran agama diubah, misalnya berubah menjadi menyembah Tuhan selain Allah SWT. Penjelasan tentang mengapa Nabi Muhammad Saw diutus yang sempat ditulis pada tulisan ini hanya tiga. Tidak tertutup kemungkinan ada penjelasan-penjelasan lain yang lebih mudah dipahami atau lebih akurat.[]
0 notes
lamuide · 12 days
Text
Apa Itu Pengalaman Spiritual?
Definisi yang Selalu Gagal
Pengalaman mistik atau pengalaman spiritual tidak pernah sama antara satu orang dengan orang lain atau antara satu keyakinan dengan keyakinan lain atau paling tidak tidak ada kemungkinan untuk mengonfirmasi kesamaannya atau juga perbedaannya. Penyebabnya adalah pengalaman tersebut non indrawi hingga tidak ada standar baku tentang persamaannya dan perbedaannya dengan pengalaman orang lain. Karena itu, juga tidak mungkin mengukur kekeliruan atau kebenarannya.
Contoh pengalaman spiritual adalah pengalaman “menyatu dengan Tuhan” atau “menyatu dengan alam semesta”. Menyatu tidak mesti berarti ada “penggabungan” dua entitas atau “penyerapan” satu entitas oleh entitas lain. Bisa saja menyatu itu lebih merupakan sebuah “kontak” sehingga hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan sebagai entitas yang tidak menyatu, hanya berhubungan secara intensif.
Karena melampaui pengalaman indrawi, maka pengalaman spiritual tidak mudah didefinisikan. Objek (jika bisa disebut begitu) dari pengalaman spiritual memang juga bukan objek indrawi biasa. Pengalamannya tidak indrawi dan objeknya juga tidak indrawi, namun hasil dari sebuah pengalaman spiritual adalah sebuah pengetahuan. Tentu saja pengetahuan di sini bukan pengetahuan indrawi pula karena realitas yang menjadi “objek” juga tidak dapat diakses melalui persepsi indra biasa.
Pengalaman spiritual benar-benar personal sehingga bahkan mereka yang mengakui bahwa pengalaman seperti memang ada pun tetap mengalami pengalaman spiritual yang tidak sama satu sama lain. Meski demikian, bisa saja sebuah definisi disepakati bersama dengan catatan bahwa pengalaman masing-masing orang tetap tidak pernah sama.  
Saking personalnya sebuah pengalaman spiritual, maka bahkan terjadi tanpa media apapun. Indra sesungguhnya adalah media yang mengantarai antara “subjek” yang mengalami dan “objek” yang dialami. Pengandaiannya adalah bahwa jika ada semacam media sebagai alat, maka alat tersebut bisa dipakai juga oleh orang lain dank arena itu, bisa didiskusikan kebenarannya. Karena pengalaman spiritual adalah tanpa media, maka sering pula disebut “pengetahuan melalui partisipasi” dan juga “pengetahuan melalui kehadiran”.
Salah satu bentuk pengalaman spiritual adalah kesadaran (subjek) akan (objek) Tuhan yang menghasilkan kesadaran lanjutan tentang ketergantungan subjek sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam hal ini, tampak ada dua entitas, yaitu subjek dan objek. Namun bisa juga ada bentuk berbeda yaitu kesadaran subjek sebagai entitas yang tidak kekal. Pada yang kedua ini, yang ada hanya subjek dan tidak ada objek.
Kisah Pengalaman yang Juga Selalu Gagal
Setelah terjadi pengalaman spiritual, ada semacam problem tersendiri bagi yang mengalami dan hendak memberikan semacam konseptualisasi atau pengisahakan atas pengalamannya tersebut. Sekali lagi, problem itu ada karena pengalaman tersebut tidak indrawi dan “objek”-nya pun tidak indrawi. Bagaimana tidak menjadi problem tersendiri jika sebuah pengalaman yang melampaui indra hendak dikisahkan dalam bentuk yang harus tunduk kepada indera seperti bahasa, kosa kata, dan ungkapan yang seluruhnya hanya bisa dipahami jika direlasikan dengan realitas indrawi.
Agama biasanya didefinisikan lewat teologinya yang memang selain dihadirkan untuk menjelaskan agama itu sendiri juga dihadirkan untuk membedakan satu agama dengan agama lain. Bahkan pembedaan adalah inti dari setiap agama dan persamaan adalah nista bagi agama. Tentu yang dimaksud adalah teologinya, juga ritualnya. Pembedaan terus-menerus dihembuskan dengan alasan untuk menghindari kekafiran karena persamaan berarti kekafiran.
Pengalaman spiritual tidak terlalu hendak membedakan dirinya dengan yang lain karena pengalaman spiritual memahami bahwa memang tidak mungkin ada pengalaman yang sama karena pengalaman selalu personal. Bagaimana mungkin pengalaman yang personal disamakan dan juga bagaimana mungkin dibedakan?
Pengalaman spiritual sesungguhnya adalah pencapaian yang tidak hanya tentang kesadaran semata, tetapi juga tentang bagaimana cara hidup dipengaruhi olehnya. Pengalaman spiritual bukan hanya peristiwa sesaat tetapi berlangsung secara kontinyu dalam kehidupan sehari-hari dan berpengaruh terhadapnya. Pengalaman spiritual selalu menekankan kepada kesadaran “ketergantungan mutlak”. Bukankah itu bukan teologi? Bukankah itu menjadi inti agama-agama?[]
0 notes
lamuide · 26 days
Text
Jangan-jangan Tuhan adalah Individu
“Mengenal” Tuhan adalah Problem
Kata “mengenal” adalah problem tersendiri jika yang dikenal adalah Tuhan. Di situ sisi akal tidak dapat dibendung agar tidak berfikir tentang Tuhan dalam upaya mengenal-Nya, tetapi di sisi lain ada keyakinan bahwa Tuhan selalu lebih besar daripada jangkauan fikiran manusia. Lalu, hasil fikiran manusia pastilah melahirkan rumusan-rumusan tentang Tuhan padahal rumusan tersebut pastilah “membatasi” Tuhan itu sendiri yang di sisi lain diyakini tidak terbatas.
Hasil-hasil dari rumusan tentang Tuhan pun sering menjadi problem tersendiri. Misalnya, Tuhan Maha Pengasih dan juga Maha Adil. Saat seseorang berdosa, apakah Maha Kasih Tuhan yang berlaku sehingga orang tersebut diampuni atau Maha Adil Tuhan yang Berjaya sehingga sang pendosa dimasukkan neraka? Jadi, “mengenal” Tuhan adalah problem.
Barangkali problem “mengenal” Tuhan disadari oleh beberapa pihak sehingga muncul berbagai rumusan tentang Tuhan yang kira-kira bisa terlepas dari problem. Salah satunya adalah pemahaman tentang Tuhan sebagai causa prima atau penggerak yang tidak bergerak yang memanga tampak tidak lagi dipusingkan oleh kontradiksi pada rumusan-rumusan tentang Tuhan. Tapi, bagi yang memahami Tuhan sebagai sesuatu yang aktif memengaruhi jalannya kehidupan dan bisa disapa dalam setiap doa, pemahaman Tuhan sebagai causa prima terasa kurang karena mengandung indikasi Tuhan tidak berbuat apa-apa.
Kemungkinan Tuhan Sebagai Individu
Gambaran Al-Qur`an tentang Tuhan senantiasa mengesankan bahwa Tuhan adalah individu. Tuhan menciptakan, memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan, menjadi hakim pada Hari Perhitungan, mengampuni yang bertaubat, Maha Hidup, Maha Aktif, menghidupkan, mematikan, hingga menjawab doa-doa. Individualitas Tuhan begitu jelas di dalam QS. Al-Ikhlas/112, “Dia”, “Esa”, dan “Satu” adalah ungkapan yang mau tidak mau membawa kepada kesan individualitas-Nya.
Invidualitas Tuhan dalam QS. Al-Ikhlas/112 memuncak dalam kata “Dia”, tetapi ada yang lebih puncak daripada itu adalah kata “Engkau” yang menjadi kata yang paling akrab bagi mereka yang berdoa kepada-Nya kala yang ada hanya pendoa dengan dirinya sendiri dan Tuhan dengan diri-Nya sendiri pula. Kata “Dia” mungkin masih mencakup pemahaman tentang Tuhan sebagai causa prima, tetapi kata “Engkau” tidak mencakup itu. Individualitas “Engkau” lebih kuat daripada “Dia”.
Namun, bagaimana mendamaikan antara individualitas Tuhan dengan ketakterbatasan-Nya? Individualitas Tuhan adalah unik, sempurna, dan sejati. Individualitas selain Tuhan memang mengalami problem keterbatasan karena individualitasnya memang hadir untuk membatasi dirinya sendiri, bukan untuk membebaskan. Berbeda dengan individualitas Tuhan yang justru hadir untuk membebaskan diri-Nya. Individualitas Tuhan membuat tidak ada selain-Nya yang berhak menyatakan diri sebagai individu. Individualitas Tuhan membuat selain-Nya bukan individu, bahkan bukan eksistensi.[]
1 note · View note
lamuide · 2 months
Text
Jangankan Manusia, Allah SWT pun Membaca Basmalah
Tentu saja Allah SWT tidak mungkin ditiru oleh manusia karena Allah SWT bersifat Laysa Kamitslihii Syai`, tidak sesuatupun menyerupai-Nya. Namun, dalam hal tertentu, Allah SWT malah memerintahkan manusia untuk mengikuti perbuatannya.
Salah satu contoh perbuatan Allah SWT yang dianjurkan sendiri oleh-Nya untuk diikuti adalah membaca Basmalah. Bacaan ini menjadi penting karena Allah SWT sendiri membacanya, yaitu ketika Allah SWT menurunkan Al-Qur`an, Dia memulainya dengan membaca Basmalah. Dengan membacanya, Allah SWT membuat Basmalah menjadi bacaan yang sakral. Lalu, nama-nama-Nya sendiri yang ada di dalam Basmalah juga menjadi sakral, yaitu ada tiga nama: Allaah, Ar-Rahmaan, dan Ar-Rahiim.
Karena Allah SWT memerintahkannya, maka Nabi Muhammad Saw pun melaksanakan. Lalu, umat Islam juga melakukannya. Sakralitas Basmalah menjadi semakin tegas karena bukan hanya karena Allah SWT telah memerintahkannya tetapi karena dilakukan oleh Nabi-Nya dan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam.
Mengapa pembacaan Basmalah tidak hanya berlaku ketika membaca Al-Qur`an, tetapi juga untuk seluruh perbuatan lainnya?
Allah SWT menurunkan Al-Qur`an dan memulai pembacaannya dengan Basmalah. Turunnya Al-Qur`an dan Al-Qur`an itu sendiri adalah hal yang sangat penting dan karena itu, dimulai dengan Basmalah. Karena itu, seluruh perbuatan yang dianggap penting oleh manusia, maka seharusnya juga dimulai dengan Basmalah.
Ketika Allah SWT seakan-akan berkata: Aku menurunkan Al-Qur`an dengan Bismillah, maka sebaiknya apapun yang dilakukan manusia juga dengan Bismillah. Misalnya, Aku berdiri dengan Bismillah, Aku duduk dengan Bismillah, Aku makan dan minum dengan Bismillah, dan seterusnya.
Dengan menyertakan nama Allah SWT di setiap aktivitas, maka itu minimal bermakna dua hal: pertama, pengakuan bahwa segala yang terjadi hanya mungkin terjadi dengan izin Allah SWT karena semuanya adalah ciptaan-Nya. Kedua, pengharapan bahwa setiap aktivitas mendapatkan rahmat dan dari Allah SWT.[]
1 note · View note
lamuide · 3 months
Text
Tentang Epistemologi Islam
Seyyed Hossein Nasr menyebut istilah tokoh universal yang disematkan kepada orang-orang yang penguasaan dan kontribusinya menjangkau sangat banyak bidang ilmu pengetahuan. Menurutnya, kini sudah sangat sulit lahir orang-orang seperti itu karena ilmu telah terkotak-kotak, bahkan ada kotak ilmu agama dan ilmu bukan agama. Istilah lain untuk tokoh universal itu adalah doktor universal. Penyebab lain sulit atau mustahilnya hadir kembali tokoh universal adalah karena setiap bidang ilmu telah mempertajam spesialisasinya sehingga seseorang hanya mungkin dapat menguasai dengan baik satu bidang ilmu saja. Usia seseorang, sepanjang apapun, tidak lagi menyediakan waktu yang cukup untuk pendalaman spesialisasi yang lain.
Kenyataan bahwa kehidupan semakin kompleks sehingga memaksa pembagian kerja yang berakibat pembagian keahlian tertentu untuk dikuasi juga memberikan andil bagi kenyataan tidak mungkinnya lagi hadir tokoh universal. Kehidupan kini sudah laksana mesin raksasa yang tersusun dari baut, sekrup, gigi, roda, dan organ lainnya, di mana orang harus memilih menjadi apa dengan fungsi tertentu dan tidak bisa menjadi yang lain dengan fungsi berbeda.
Meski kecenderungan spesialisasi ilmu pengetahuan semakin dominan, ada kecenderungan baru yang hendak memberi ruang kerjasama antarilmu pengetahuan. Kenyataan bahwa problem kehidupan juga semakin kompleks dan tidak hanya bisa diselesaikan lewat hanya satu bidang ilmu pengetahuan saja memaksa kerja sama itu. Misalnya, saat ada wabah, maka itu bukan semata-mata urusan dokter karena itu juga menjadi pemikiran para ekonom, sosiolog, agamawan, dan seterusnya. Tetapi, yang menjadi catatan adalah bahwa kerja sama itu tidak menghilangkan spesialisasi, bahkan meneguhkannya karena kerja sama yang baik hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang memang benar-benar spesialis di bidangnya masing-masing. Boleh dikata bahwa spesialisasi ilmu pengetahuan adalah pembicaraan yang telah lewat. Kini, yang lebih penting adalah pembicaraan tentang kerja sama antarilmu pengetahuan dan bagaimana cara kerjanya.
Cara kerja ilmu pengetahuan dibahas di dalam disiplin filsafat ilmu dan hanya filsafat ilmu lah yang bisa mengurai perdebatan dan memberikan perspektif terhadap spesialisasi ilmu pengetahuan dan juga kerja sama antarilmu pengetahuan dan juga terhadap dinamika ilmu pengetahuan secara umum. Perdebatan dan perspektif yang dimaksud di sini adalah persoalan bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan dipraktikkan, bagaimana jika ilmu pengetahuan mulai bersinggungan dengan etika, bagaimana ilmu pengetahuan dibangun, dan persoalan-persoalan lain yang sejenis, yang oleh spesialisasi ilmu pengetahuan itu sendiri tidak diberikan perhatian.
Satu yang khas dari filsafat ilmu adalah kemampuannya menjelaskan kerangka logika ilmu pengetahuan, misalnya tentang apakah pengetahuan berasal dari prinsip-prinsip logis yang a priori atau berasal dari pengalaman manusia atau gabungan antara keduanya? Dengan begitu saja, filsafat ilmu tidak lagi deskriptif tetapi sudah bersifat normatif kritis. Maksudnya, norma-norma dasar ilmu pengetahuan harus mendapatkan penjelasan terlebih dahulu lalu tinjauan kritis terhadapnya bisa dilakukan. Semua itu berjalan di atas landasan prinsip kebenaran dan kebebasan ilmu pengetahuan.
Yang disebut dengan ilmu pengetahuan adalah hasil dari refleksi dan penelitian secara rasional dan empiris yang dilakukan terus-menerus terhadap pengetahuan yang sudah ada sehingga tingkat kebenarannya sangat tinggi. Uniknya, meskipun tingkat kebenarannya sangat tinggi karena telah direfleksi dan diteliti sepanjang sejarah kemanusiaan, ilmu pengetahuan tetap masih bisa berubah karena memang naturalnya, ilmu pengetahuan harus bisa terus-menerus direfleksi dan diteliti tanpa akhir.
Mengapa harus ada refleksi dan penelitian tanpa akhir? Itu karena ilmu pengetahuan terdiri dari proposisi-proposisi atau pernyataan-pernyataan yang harus tunduk di bawah aturan kebenaran. Jika sebuah proposisi sudah tidak benar karena bertentangan dengan hasil refleksi dan penelitian terbaru, maka proposisi tersebut harus berganti dengan proposisi yang baru. Begitulah seterusnya. Sekali lagi, tanpa akhir.
Tingkat kebenaran yang sangat tinggi itu melahirkan optimisme kemanusiaan bahwa ilmu pengetahuan pasti bisa membawa manusia kepada masa depan yang sangat cerah. Kenyataannya, memang ilmu pengetahuan memudahkan pekerjaan, mempercepat penyelesaikan masalah, dan membuat kehidupan manusia lebih berwarna-warni. Salah satu kejaiban ilmu pengetahuan adalah kenyataan yang dialami oleh manusia masa kini yaitu kenyataan yang bahkan jauh melampaui mimpi-mimpi terliar manusia lampau 20 tahun atau lebih dari sekarang.
Dampak lain dari tingkat kebenaran ilmu pengetahuan yang tinggi adalah terpinggirkannya peran agama dan mitologi yang sebelumnya sangat memengaruhi kehidupan manusia. Agama dan mitologi sebelumnya berfungsi sebagai penjelas bagi sebagian besar kenyataan kehidupan dan juga pemberi makna bagi peristiwa-peristiwa kehidupan, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Karena itu, agama dan mitologi memberikan aturan-aturan tertentu untuk kehidupan yang lebih baik.
Dengan hadirnya ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan lah kini yang menjadi pemberi aturan bagi kehidupan yang lebih baik untuk segala aspek, dari yang paling sederhana hingga yang paling pelik sekalipun. Memang belum sepenuhnya ilmu pengetahuan menggantikan agama dan mitologi, tetapi wilayah-wilayah yang masih belum tertantikan itu kini menjadi wilayah rebutan pengaruh antara ketiganya. Salah satu solusi dari perebutan pengaruh itu adalah pembagian wilayah kekuasaan, misalnya ilmu pengetahuan menguasai bidang-bidang tertentu dan agama serta mitologi menguasai bidang-bidang yang telah ditentukan lainnya. Lalu terjadi gencatan senjata.
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan adalah ketegangan antara konsep dan pengalaman. Konsep bisa saja lahir secara a priori dan bisa juga lahir dari pengalaman. Namun, konsep akan tetap bertahan jika pengalaman lain bisa mengonfirmasi kebenarannya. Jika tidak, konsep lain telah tersedia untuk menggantikannya. Dari sini tampak bahwa pengalaman lah yang menjadi hakim untuk menentukan bertahan tidaknya sebuah konsep, namun pengalaman yang dimaksud di sini adalah yang melampaui apa yang dapat dilihat secara langsung dan menembus hingga apa yang tidak bisa dilihat secara langsung. Jadi, bukan pengalaman sederhana.
Pertanyaannya kini, apakah pengalaman sederhana itu tidak memengaruhi pengalaman yang lebih dalam yang disebut sebagai melampaui pengalaman sederhana itu? Jika berpengaruh, maka sesungguhnya pengalaman sederhana itulah yang menentukan kebenaran. Jika tidak berpengaruh, maka pengalaman yang melampaui apa yang dilihat itulah yang menentukan kebenaran. Karakter dua hal ini memang berbeda. Pengalaman sederhana sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu tertentu dan mengabaikan dimensi universalitas. Adapun pengalaman yang lebih mendalam hendak menjangkau yang universal itu. Itulah inti perdebatannya.
Pengalaman sederhana bersifat langsung sehingga memiliki ilmu pengetahuan dengan tingkat kebenaran yang faktual, namun parsial. Adapun pengalaman yang tidak sederhana memiliki kebenaran yang tidak faktual, namun universal. Ilmu pengetahuan dari pengalaman sederhana tidak bisa ditularkan kepada orang lain karena masing-masing orang memiliki pengalaman sederhana yang berbeda. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bersifat universal, dia bisa ditularkan kepada orang lain.
Ilmu pengetahuan yang bersifat universal mendapatkan gugatan sepanjang sejarah yang belakangan melahirkan modernitas. Inti gugatannya adalah bahwa ilmu pengetahuan harus berdasarkan kepada fakta. Namun ada kritikan balik, apakah ada jaminan bahwa ada kepastian ilmu pengetahuan jika ilmu pengetahuan hanya berdasarkan fakta? Jawabannya, tidak ada. Karena itu, ilmu pengetahuan yang universal juga tidak dapat diabaikan, meski penyakitnya juga sama, yaitu tidak bisa sampai kepada kepastian ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, tingginya tingkat kebenaran ilmu pengetahuan bukan berarti telah sampai kepada tahap kepastian. Tahap tertingginya adalah kemungkinan kebenaran yang lebih besar yang kemudian bisa dijadikan landasan bangunan argumentasi lebih lanjut. Agar tidak mudah runtuh, sebuah ilmu pengetahuan harus berdasar kepada obeservasi hati-hati dan berulang-ulang dalam terang teori-teori. Problem mutakhir bagi ilmu pengetahuan adalah hadirnya ilmu pengetahuan yang tidak sungguh-sungguh ilmu pengetahuan namun dianggap ilmu pengetahuan. Persoalnnya, ilmu pengetahuan begitu melimpah hingga hampir-hampir tidak ada waktu bagi observasi hati-hati dan berulang dalam terang teori-teori hingga yang bukan sungguh-sungguh pengetahuan tetap merajalela tanpa verifikasi. Persoalan yang lebih parah adalah penentu kebenaran adalah massa mayoritas, termasuk massa maya, yang tidak peduli kepada otoritas ilmu pengetahuan, baik kepada otoritas tokohnya maupun kepada otoritas sistemnya. Jadi, bukan hanya matinya kepakaran, tetapi juga matinya sistem ilmu pengetahuan.[]
Pernah dimuat di ibihtafsir.id
1 note · View note
lamuide · 3 months
Text
Keraguan Sebagai Awal bagi Pengetahuan
Salah satu yang sangat penting di dalam perdebatan tentang ilmu pengetahuan adalah hal keraguan. Manusia adalah makhluk terbatas sehingga apapun yang berasal darinya juga penuh keterbatasan, termasuk ilmu pengetahuan. Tidak heran jika ada penolakan kuat terhadap ilmu pengetahuan manusiawi yang dianggap tidak akan pernah sampai kepada kebenaran sejati. Skeptisisme pun seakan-akan tidak bisa dilawan dan semua tenggelam di dalam keraguan. Namun, tidak semua pihak membiarkan kenyataan keraguan menggelayuti pengetahuan manusia. Seseorang harus bertindak untuk memberikan kepastian untuk ilmu pengetahuan. Orang itu adalah Rene Descartes.
Penolakan terhadap skeptisisme absolut adalah keharusan jika manusia hendak sampai kepada pengetahuan karena dengan demikian, tidak ada lagi penghalang untuk mencapai kebenaran. Namun, sekeptisisme tetap harus dijaga untuk tidak terjebak di dalam kubangan kebenaran palsu. Itu disebut skeptisisme moderat yang berarti tidak meragukan segalanya secara absolut, tetapi menyeleksi mana yang layak dianggap pengetahuan dan mana yang tidak atau yang disebut oleh Rene Descartes sebagai keraguan untuk mengatasi keraguan.[1]
Manusia sudah pasti mampu mengetahui banyak hal dengan akal, indra, dan hati yang dimilikiknya. Persoalannya, tidak semua pengetahuannya itu benar. Hantu kekeliruan selalu membayangi setiap pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Banyak faktor yang bisa membuat pengetahuan menjadi keliru, seperti kecurigaan, kengkuhan, kehendak diri, kelelahan, keras kepala, ketergesaan, dan seterusnya.[2] Skeptisisme penting untuk mengatasi semua keadaan tersebut.
Descartes memanfaatkan skeptisisme untuk menghancurkan skeptisisme. Caranya, skepstisisme dibiarkan untuk meragukan segala hal hingga titik terjauhnya sampai tidak ada satupun yang bisa diragukannya lagi. Sebuah pertanyataan keraguan yang masyhur adalah: Apakah ada kepastian semua yang sedang kita alami adalah bukan mimpin? Jangan-jangan semua ini mimpi dan suatu saat kita pasti tersadar dan menyadari bahwa kita sebelumnya sedang bermimpi. Mimpi di sini bukanlah yang dimaksud mimpi kala tertidur, tetapi lebih kepada keadaan pengalaman yang bisa saja keliru karena adanya kemungkinan pengalaman lain yang lebih benar.
Pada titik di mana tidak ada lagi yang tidak diragukan, skeptisisme pun sampai pada sebuah keyakinan bahwa semuanya diragukan. Itu pasti. Lalu, keraguan itu dilakukan oleh sebuah subjek. Itu pun pasti. Terakhir, bagaimana sang subjek bisa meragukan segala hal? Itu terjadi karena dia berfikir. Itu juga pasti. Jadi, paling tidak sudah ada tiga kepastian dan keyakinan di dalam skeptisisme, yaitu keyakinan semuanya telah diragukan, keyakinan bahwa ada subjek yang sedang meragukan segala hal, dan keyakinan bahwa keraguan subjek adalah karena dia berfikir. Sejak itu, pembangunan ilmu pengetahuan bisa dilaksanakan. Dengan cara berfikir. Menurut, P. Hadono Hadi, berfikir di sini bukan semata-mata kerja otak, tetapi segala hal seperti melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, dan apapun yang termasuk dalam kerangka kesadaran termasuk dalam lingkup berfikir.[3]
Kepastian subjek berfikir melahirkan sebuah problem yaitu keteguhan subjek dan hilangnya objek. Dampaknya adalah hilangnya pengetahuan itu sendiri karena pengetahuan berasal dari pengalaman yang meniscayakan hadirnya objek, bukan dari subjek itu sendiri. Jadi, seandainya objek tidak ada dan yang ada hanya subjek, maka pengetahuan tetap ada. Itu adalah pengandaian dari kepastian subjek berfikir ala Descartes dan bukankah itu problem yang sangat serius? Kesadaran ala Descartes adalah kesadaran tentang diri subjek sendiri, bukan tentang sesuatu di luar subjek. Pengetahuan yang benar adalah pengakuan terhadap adanya sesuatu di luar subjek yang selaras dengan subjek itu sendiri. Lalu, bagaimana pengetahuan bisa dikatakan benar jika sesuatu di luar subjek itu tidak benar-benar ada?
Problem ini bisa dipecahkan lewat sebuah cara. Kepastian subjek berfikir memberikan keyakinan yang kuat bahwa subjek berfikir itu pasti ada. Kala subjek ini melihat, maka penglihatan yang terjadi bukanlah semata-mata keinginan subjek untuk melihat sesuatu hingga melahirkan penglihatan tertentu, tetapi juga terjadi karena objek yang terlihat memaksakan dirinya untuk dilihat oleh subjek.[4] Jika sebuah objek mangga terlihat oleh subjek, maka subjek tidak memaksa itu manggis meskipun dirinya adalah subjek. Jadi, objek memiliki eksistensinya sendiri yang tidak bisa diintervensi oleh subjek.
Berdasar kepada kepastian subjek berfikir, seharusnya apapun yang dihasilkan oleh berfikir juga menjadi kepastian. Salah satu hasil pemikiran yang unik adalah gagasan yang jelas dan terang tentang wujud yang sempurna. Tapi, bagaimana gagasan tentang wujud yang sempurna itu bisa hadir dari manusia yang sesungguhnya tidak sempurna? Bukankah sesuatu yang tidak sempurna diragukan mampu melahirkan sesuatu yang sempurna? Karena itu, gagasan tentang wujud yang sempurna pasti tidak berasal dari manusia, tetapi berasal dari selain manusia. Lalu, dari mana? Seharusnya berasal dari Sang Sempurna itu sendiri. Itulah Tuhan.[5] Jadi, gagasan tentang wujud yang sempurna bukanlah bukti Tuhan itu ada, tetapi justru asal dari gagasan tentang wujud yang sempurnya itulah bukti Tuhan itu ada. Penjelasan tentang eksistensi Tuhan yang merupakan salah satu contoh sekaligus cara kerja dalam perjalanan dari keraguan menuju kepastian terlihat sebagai perjalanan yang semata-mata rasional, bukan empiris. Contoh keraguan atas pengalaman yang bisa saja mimpi juga adalah penegasan supremasi rasio. Mimpi yang dimaksud di situ adalah pengalaman indrawi terhadap segala sesuatu yang berarti pengalaman empiris. Lebih tegasnya, pengalaman indrawi tidak lebih daripada mimpi, bukan kenyataan. Ini adalah serangan telak kepada empirisme.[]
[1] P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 28.
[2] P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, hal. 34.
[3] P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, hal. 30.
[4] P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, hal. 30.
[5] Jostein Gaarder, Sunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung: Mizan, 2010, hal. 374.
1 note · View note
lamuide · 3 months
Text
Kerangupan dan Kepaganan Epistemologi
Bermula dari Rasa Kagum
Menurut Plato, filsafat dan pengetahuan dimulai dengan rasa kagum.[1] Ungkapan lain dari itu adalah rasa heran atau mungkin rasa terkesima. Rasa kagum bukan rasa ingin tahu. Rasa kagum jauh lebih dahulu daripada rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu lebih berarti misalnya seseorang melihat sebuah perangkat canggih lalu penasaran bagaimana perangkat tersebut bekerja. Rasa ingin tahu tidak pada semua orang ada. Ia hanya ada pada orang yang sebelumnya sudah memiliki pengetahuan yang hendak melanjutkan pengetahuannya. Rasa kagum dimiliki oleh semua orang dan biasanya terhadap hal-hal yang tampak sederhana. Rasa kagum membuat yang sederhana itu menjadi mengagumkan dan tidak sesederhana penampakannya.
Rasa kagum lalu memberikan semacam rasa tahu terhadap sesuatu. Setelah rasa tahu itulah muncul rasa ingin tahu. Jadi, rasa ingin tahu tidak terjadi karena seseorang sama sekali tidak tahu, justru karena ada pengetahuan awal yang memicu rasa ingin tahu karena tidak mungkin rasa ingin tahu muncul jika sama sekali tidak ada rasa tahu sebelumnya. Misalnya, tidak akan ada rasa ingin tahu seseorang terhadap Gunung Merapi jika tidak pernah tahu tentang Gunung Merapi, paling tidak lewat mendengarnya, melihatnya dalam gambar, dan lain-lain.
Rasa tahu adalah semacam “pengetahuan umum setiap orantg” tetang suatu hal; sedangkan rasa ingin tahu adalah menganggap diri tidak “setahu setiap orang” sehingga seakan-akan orang yang memiliki rasa ingin tahu merasa tidak mengetahui apa-apa tentang hal tersebut atau menganggap pengetahuannya selama ini tidak lengkap atau bahkan tidak benar sama sekali. Rasa kagum menggerakkan rasa ingin tahu tersebut untuk berhadapan dengan suatu hal yang di satu sisi menyembulkan diri untuk diketahui tetapi di sisi lain menyembunyikan dirinya untuk diketahui lebih lanjut.
Rasa ingin tahu bisa saja bernilai saintifik dan bisa pula filosofis. Jika bernilai saintifik, maka rasa ingin tahu merupakan usaha untuk menemukan seperangkat jawaban yang dirangkai menjadi rumusan-rumusan tertentu. Adapun jika bernilai filosofis, maka rasa ingin tahu membawa masuk kepada suatu hal sebagai kesadaran baru terhadap hal tersebut, kesadaran yang keluar dari “pengetahuan umum setiap orang” tanpa kehilangan rasa kagum terhadap hal itu. Bedanya, rasa ingin tahu saintifik menghilangkan rasa kagum dan rasa ingin tahu filosofis mempertahankan rasa kagum.
Dari Rasa Kagum ke Epistemologi
Pengetahuan tentang sesuatu terdiri dari dua hal, yaitu pengetahuan itu sendiri dan sesuatu itu sendiri. Keduanya tidak sama dan tidak terpisahkan. Sesuatu dibicarakan lewat pengetahuan terhadapnya, namun pembicaraan tidak hanya tentang sesuatu tersebut tetapi juga tentang pengetahuan tentang sesuatu itu. Pembicaraan tentang pengetahuan tentang sesuatu itulah yang disebut epistemologi.
Rasa kagum terhadap sesuatu memang melahirkan pengetahuan tentang sesuatu itu sendiri tetapi filsafat tidak hanya berbicara tentang sesuatu itu sendiri tetapi juga tentang pengetahuan terhadap pengetahuan terhadap sesuatu tersebut. Dalam hal itu juga ada rasa kagum tersendiri sehingga melahirkan berbagai macam petanyaan seperti: bagaimana manusia bisa mengetahui? Bagaimana manusia bisa mempertanyakan sesuatu? Mungkinkah pengetahuan bisa disebut benar? Bagaimana jika ternyata pengetahuan tidak sama dengan kenyataan? Apakah pengetahuan bersifat universal dan absolut atau temporal dan lokalitas? Bisakah sesuatu diketahui hingga hakikatnya atau hanya sampai pada penampakannya? Apakah ada batas-batas bagi pengetahuan? Jadi, epistemologi tidak hanya memahami bagaiman sebuah pengetahuan bisa hadir tetapi juga bisa sampai kepada memferivikasi mana pengetahuan yang benar dan mana yang tidak benar hingga menghilangkan keraguan terhadap pengetahuan.
Epistemologi itu sendiri telah mengandaikan bahwa ada pengetahuan yang benar tentang sesuatu hal, meskipun juga mengandaikan ada pengetahuan yang keliru. Namun ada sebuah warna di dalam epistemologi yang lebih mengedepankan pengetahuan yang keliru daripada yang benar dan sampai kepada kesimpulan bahwa pengetahuan pastilah tidak pernah benar atau paling tidak tidak mampu sampai kepada pengetahuan yang sejati. Sebutlah itu sebagai skeptisisme.
Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya bahwa asal dari pengetahuan rasa kagum yang berubah menjadi rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu sesungguhnya adalah pengakuan terhadap adanya ketidaktahuan dan juga keraguan terhadap pengetahuan yang sebelumnya sudah ada atau diketahui oleh semua orang. Pada hal itu, skeptisisme memiliki tempatnya. Memang, pengetahuan selalu menempel dengan keraguan. Setiap pengetahuan memang harus dibenturkan dengan kenyataan untuk menguji validitasnya. Pengetahuan juga harus bersedia menerima kebenaran yang berbeda dengan dirinya dan mengakui jika akhirnya terbukti dia salah dan harus diganti dengan kebenaran lain.
Skeptisisme juga mengingatkan adanya keterbatasan manusia, termasuk keterbatasan pengetahuannya. Pengetahuan manusia yang senantiasa berkembang menjadi bukti bahwa pengetahuan manusia terbatas dan kerena itu, berkembang. Berkembang berarti pengetahuan manusia tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu sehingga pengetahuan manusia sampai pada titik tertentu dan melangkah ke titik lain di waktu dan ruang yang berbeda di masa datang.
Skeptisisme mulai kehilangan tempat ketika tujuannya berakhir kepada segala sesuatu hingga kebenaran benar-benar tidak ada sehingga skeptisisme sendiri kehilangan pijakan kebenaran yang membuatnya menjadi tidak benar. Skeptisisme juga kehilangan tempat ketika meragukan segala landasan bagi berdirinya kebenaran karena itu berarti skeptisisme meragukan landasan bagi dirinya sendiri untuk menyatakan dirinya benar. Saat skeptisisme meragukan segala hal, paling tidak dia tidak sedang meragukan dirinya sendiri dan saat itulah dia tidak lagi skeptis.
Keberadaan manusia adalah keberadaan yang terbatas dan dari sanalah keraguan berasal. Keberadaan manusia hadir bersama ketiadaan. Saat manusia mengaku ada, maka saat itu pula muncul keraguan bahwa jangan-jangan dia tidak benar-benar ada dan kalaupun ada, maka mungkin ada dalam mimpi atau ada yang tidak sejati karena dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya. Keberadaan manusia yang dihantui oleh ketiadaan terbukti dengan peranan kematian, waktu, perpisahan, kesepian, kegagalan, pertentangan terhadap kehendak, dosa, keputusasaan, dan lain-lain.[2] Semua itu membuat manusia seperti berada di wilayah antara ada dan tiada.
Pada wilayah antara dan tiada sebagaimana disebutkan di atas itulah pengetahuan manusia hadir. Manusia menggantungkan beradanya pada pengetahuan yang tidak pernah henti dihantui oleh ketiadaan. Karena itula, keberadaan manusia tidak pernah selesai; selalu dalam masa pembentukan yang diancam oleh kehancuran. Eksistensi manusia selalu berada di dalam pertanyaan, pertanyaan terhadap eksistensinya yang justru merupakan pertanyaan yang diajukan oleh manusia sendiri. Setiap manusia mencapai sebuah pengetahuan, maka saat itu dia menemukan dirinya, namun sejak saat itu pula, pertanyaan datang menyergap dan menggugat pengetahuan yang telah dicapai, lalu semua berantakan. Namun, pengetahuan kembali datang setelah pertanyaan dan manusia kembali memenuhi dirinya. Jadi, pemenuhan diri manusia senantiasa terjadi sebagaimana kehancurannya juga tidak pernah henti terjadi.[]
[1] P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 16.
[2] P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, hal. 22.
Tumblr media
2 notes · View notes