Tumgik
kodokbeku · 7 years
Text
Bagian Kecil: 212
Saya adalah bagian kecil dari bocah-bocah pengajian yang semangatnya dalam melangkah melebihi orang dewasa.
Saya adalah bagian kecil dari bapak-bapak yang menyiapkan sendal jepit kedua untuk kafilah dari luar kota.
Saya adalah bagian kecil dari ibu-ibu yang memasak makanan untuk mereka yang datang minim perbekalan.
Saya adalah bagian kecil dari mereka yang menginginkan persatuan; mereka yang setiap hari mengajak kebaikan; mereka yang mengedepankan persaudaraan; mereka yang bergetar hatinya ketika nama-Nya dikumandangkan; mereka yang sakit hatinya ketika agamanya dihinakan.
Meski hanya menjadi bagian kecil, posisi saya jelas; di sini saya berdiri.
302 notes · View notes
kodokbeku · 8 years
Text
Sedikit Catatan tentang Hari Ibu
Orang Jawa menyebutnya ibu, orang Betawi memanggilnya enyak. Aceh, Minang, Sunda, Bali, Dayak sampai ke Batanta di Merauke sana memiliki sebutan berbeda untuk perempuan yang telah melahirkan mereka ke dunia, dunia yang tersekat-sekat dalam batas-batas yang mereka buat. Negara berganti. Mata uang berganti. Bahasa bendera berganti. Kebangsaan berganti. kebanggaan, sejarah, semua berganti. Nama, sebutan, panggilan untuk Ibu pun berganti. Namun sekat-sekat itu nyatanya tak pernah menggantikan sosok ibu atau apapun orang lain menyebutnya atas segala pengorbanan yang telah ia buat, dan hari ini semua manusia dari berbagai negeri sepakat bahwa seorang ibu adalah figur yang wajib dihormati.
Maka tidak aneh pula jika sebuah negeri dipersonifikan sebagai seorang ibu. Ibu pertiwi. Motherland. Sebab dia lah yang melahirkan sejarah, jati diri, kebanggaan, bangsa, bahasa, negara yang kemudian melekat dalam benak manusia-manusia yang keluar dari rahim ibu manusia. Kemerdekaan negeri ini memang dipelopori oleh perjuangan Soekarno cs yang meletakan batu pertama bangunan politik sebuah negara sekaligus sebagai founding father yang menggantikan nama Nusantara menjadi Indonesia. Namun sejarah, jati diri, kebanggaan, bangsa, bahasa, negara sebagai bahan pembentuk kemerdekaan itu sendiri sudah dari jauh-jauh hari telah disiapkan oleh sang Ibu pertiwi.
Selain ungkapan ibu pertiwi, kita juga mengenal frasa lain seperti: ibu kota, ibu jari, ibu suri, ibu negara, dan beberapa frasa lain yang agak kurang dikenal: ibu akar, ibu ayam, ibu panah, ibu pasir, ibu sungai, ibu susu, ibu tangan, ibu tangga. Benar-benar sebuah kosa kata yang begitu menghormati sosok ibu. Ungkapan seperti itu barangkali hanya bisa lahir dari sebuah peradaban yang sudah berdiri dari semenjak dulu kala yang telah matang membentuk diri untuk menjalani segala bentuk kehidupan.
Penghormatan pada ibu barangkali memang baru muncul 56 tahun yang lalu lewat dekrit presiden Soekarno di tahun 1959 untuk mengenang peristiwa Kongres Perempuan pertama[1]. Namun embrio penghormatan tadi telah tertuang dalam bentuk ekspresi paling dasar dari manusia, bahasa. Sebab bahasa memang bukan semata alat komunikasi. Ia juga salah satu alat berekspresi paling dasar yang menjadi cerminan alam pikiran dari masyarakat penuturnya. Boleh dibilang (dalam opini saya) penggunaan kata ibu dalam frasa-frasa yang kita kenal hingga sekarang bukan tanpa alasan, melainkan ingin menunjukkan sekaligus mengingatkan jati diri para manusia keturunan negeri Nusantara yang selalu menghormati para ibunya. Penghormatan ini bukan tanpa alasan, dalam sejarah Majapahit ada satu sosok perempuan yang dianggap sentral dan memainkan peran dalam kebesaran Majapahit, dialah Gayatri Rajapatni[2].
Siapa sangka di balik imperium yang terkenal seantero dunia ini, ada sosok perempuan yang menjadi penentu dan pengendali kesuksesannya. Dalam kitab Nagarakrtagama, perempuan ini digambarkan sebagai sosok yang berpengetahuan tinggi—dalam setiap keputusan pribadi dan politiknya ia selalu berpijak pada hukum yang berlaku, berakal budi luhur dan berjiwa penyayang. Kontras dengan anggapan sebagain besar orang yang menyatakan bahwa di semua peradaban besar dunia hampir selalu ditemukan perempuan selalu mendapat posisi ke dua setelah pria. Sekali lagi ini hanya sekedar opini.
Peringatan hari ibu bukan saja sebuah ritual tahunan dengan mengungkapkan rasa sayang terhadap ibunda tercinta, sebab ternyata kata ibu lebih luas dari pada itu. Di Indonesia, panggilan ibu mengekspresikan kedewasaan yang dimiliki perempuan. Sedangkan panggilan khusus bagi status perkawinan perempuan lebih mengarah pada kata nyonya ataupun nona, meskipun dalam praktiknya dalam kehidupan penggunaan kata ibu jauh lebih dominan dibandingkan nona ataupun nyonya.
Maka atas dasar pemahaman ini, peringatan hari ibu harus diperluas maknanya menjadi memaknai perjuangan kaum perempuan dari masa yang sudah lalu hingga masa yang akan datang, sebab garis sejarah perjalanan bangsa ini lewat kiprah perempuan di dalamnya yang mengambil bagian dalam memajukan berbagai bidang kehidupan tidak bisa dilupakan begitu saja. Kalingga memiliki Ratu Sima. Sriwijaya mempunyai Sri Sanggamawijayatunggawarman. Majapahit besar berkat Gayatri Rajapatni. Dan tak lupa Laksamana Keumalahayati, pemimpin armada laut yang membawahi 100 kapal perang dan 400 lebih pasukan yang kemudian hari berhasil mengalahkan Cornelis de Houtman, pemimpin armada kerajaan Belanda. Merekalah para ibu—merujuk pada ekspresi kedewasaan yang dimiliki perempuan—yang berhasil membuktikan pada dunia atas cita rasa kualitas seorang perempuan.
Maka di zaman sekarang ini takkala marwah, martabat, kehormatan tidak  lagi dibangun dengan bahasa kekerasan dan perang ataupun dalam dimensi kekuatan fisik dan keperkasaan, seharusnya akan lebih mudah untuk para perempuan menggapai gelar ibu—baik sebagai nona maupun nyonya. Pertanyaannya adalah: dengan kemudahan seperti sekarang ini mampukah para perempuan era reformasi mampu menandingi pencapaian-pencapaian nenek moyangnya?
*Selamat Hari Ibu, meski sudah lewat dua hari yang lalu
----------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama dengan tujuan untuk mewadahi dan mempersatukan visi demi memajukan para kaum perempuan Indonesia. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap antara lain persatuan perempuan Nusantara, terlibatnya perempuan dalam perjuangan melawan penjajah, terlibatnya perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, serta pernikahan usia dini bagi perempuan.
[2]Dyah Prajnaparamita atau Gayatri Sri Rajapatni adalah isteri keempat Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), yang merupakan Raja Majapahit pertama. Gayatri juga merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang membawa kerajaan Majapahit meraih masa gemilangnya. Gayatri melahirkan generasi raja-raja dan ratu ternama di Tanah Jawa. Perempuan agung inilah tokoh sentral si balik imperium Majapahit.
0 notes
kodokbeku · 8 years
Text
Semangkok Soto dan Fantasi Sebuah Pernikahan
Sore tadi, bersama hujan yang mengguyur sepi jalanan jogja saya mampir sebentar di kedai pinggir jalan, numpang berteduh sambil menghangatkan tubuh dengan semangkok soto hangat. Kedai lumayan sepi, hanya ada saya yang duduk di meja paling ujung sambil memandangi gerimis hujan dan tiga orang mahasiswa yang sedang antusias berbincang topik obrolan mengenai pernikahan, sepertinya salah satu diantara mereka akan melangsungkannya dalam waktu dekat sedekat jarak bangku saya dan tiga mahasiswa tersebut yang hanya terpaut 4 bangku, yang tiap satu bangkunya dihitung sebagai satu minggu. Empat minggu lagi berarti.
Garis takdir memang berjalan sesuai dengan jalurnya masing-masing, saya dan ketiga orang tadi memang memesan soto hangat yang sama namun memiliki jalan hidup yang berlainan pun juga semangkuk soto yang terhidang di hadapan kami, memiliki takdir berbeda sesuai kehendak empu yang memakannya, yang suka pedas akan menambahkannya dengan bersendok-sendok sambel, yang kurang dengan satu piring nasi akan pesan sepiring nasi lagi, yang suka kuah-kuah bernuansa asam segar tentu juga akan menghiasi mangkok soto mereka dengan takdir peresan jeruk nipis. Begitulah garis takdir semangkuk soto dituliskan sebelum ia dan jutaan saudaranya yang lain akan berakhir dalam lambung-lambung para manusia. Saya jadi membayangkan, apa jadinya jika para soto-soto itu memberontak? Menjadi soto yang begitu rasis misalnya yang hanya mau masuk ke dalam lambung-lambung kaum bangsawan, atau bagi soto yang bercita rasa keadilan mungkinkah ia akan menghukum para kriminal-kriminal negeri ini dengan hukuman sakit perut sampai mampus? Kepala saya mulai dibayangi dengan fantasi-fantasi absurd tentang soto dan manusia yang bertukar tempat, di mana manusia dihidangkan dalam mangkuk-mangkuk berkuah dan hanya pasrah dikecapi, diberi sambal, dibubuhi peresan jeruk nipis sebelum disantap oleh makhluk bernama soto yang sedang serius membicarakan tentang persiapan pernikahan mereka yang tinggal empat minggu lagi. Hehe.
Hujan mulai reda, kedai mulai ramai oleh manusia-manusia berwajah lapar wajah yang sama dengan yang saya miliki dua puluh menit yang lalu. Saya berjalan menuju ibu penjual melewati tiga mahasiswa tadi yang masih duduk dengan formasi yang sama, melanjutkan obrolan seputar pernikahan barangkali. Sambil menyerahkan uang ke ibu penjual saya membayangkan tentang obrolan tiga mahasiswa tadi mengenai pernikahan. Apa itu pernikahan? Bagi saya sendiri pernikahan hanyalah sebuah garis perbatasan yang memisahkan dua dunia berbeda, dunia para manusia yang masih sendiri dan dunia para manusia yang memutuskan untuk bersama. Semua orang bisa melewati garis perbatasan ini tentu dengan segudang birokrasi yang harus dijalani, harus dipersiapkan. Tidak ada yang spesial, sebab yang kita lakukan hanyalah menyebrang dan lalu melanjutkan perjalanan, bedanya jika dulu perjalanan itu dilakukan seorang diri maka kini perjalan ini tentu ada yang menemani.
Lalu jika makna sebuah pernikahan tidak begitu spesial kenapa orang-orang di luar sana rela menghabiskan berjam-jam waktunya untuk mengobrol ngalor ngidul tentang perkara ini?? Jawabannya adalah imajinasi. Pernikahan bukanlah hal yang spesial bahkan untuk beberapa orang itu disebut mimpi buruk—kisah siti nurbaya adalah salah satunya, yang membuat pernikahan menjadi hal spesial adalah bumbu-bumbu fantasi yang dibubuhi oleh manusia dari dunia para perjaka dan perawan yang mencoba meraba-raba kehidupan di seberang perbatasan sana, sebuah kehidupan rumah tangga impian. Ah, begitu indahnya sebuah impian namun realitas hidup mungkin berjalan tidak demikian.
Mimpi orang yang masih sendiri adalah pernikahan, karena pernikahan menghadiahi hidup dengan kebersamaan yang berbalut romantisme cinta. Lalu, apa mimpi orang yang sudah menikah? Mereka yang berada di puncak dari segala mimpi, mungkinkah bermimpi tentang kehidupan mereka ketika masih berstatus bujang dan perawan? Sebuah pertanyaan yang akan terjawab nanti, ketika saya telah memutuskan diri telah siap berjalan menembus perbatasan, menuju tempat impian saya dan ribuan pemuda-pemudi yang saat ini masih sendiri.
0 notes
kodokbeku · 8 years
Text
Sebuah Pembatas dari Sebuah Restu
Tumblr media
Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri. Sebab garis-garis yang kau lihat di atas peta bukan hanya menunjukkan perbedaan wilayah, perbedaan waktu, namun juga menunjukkan banyak perbedaan lain yang tak kasat mata seperti perbedaan etnis, bahasa, budaya, suku, ras, dan agama.
Dalam beberapa kondisi dan situasi garis batas ini akan begitu terasa jelas, seperti saat kompromi masalah pernikahan.
Banyak orang tua yang disatu sisi menginginkan anak mereka bahagia, namun disisi lain justru menciptakan belenggu terhadap kebahagian anaknya sendiri dengan aturan-aturan tak logis seperti orang jawa harus menikah dengan sesama jawa, bahkan dalam perspektif mereka sunda sudah bukan lagi masuk dalam teritori jawa. Dan itulah yang dialami oleh salah satu kawan saya, restunya kandas oleh perbedaan teritori. Ini hanya satu kasus.
Maka bukan tidak mungkin jika suatu saat saya juga harus dihadapkan dengan pertarungan ideologi antara saya dengan ibu-bapak saya hanya untuk mendapatkan acc bahwa wilayah restu untuk saya bisa melabuhkan cinta bukan hanya sebatas wilayah dalam perjanjian linggar jati, sebab bisa saja saya menjatuhkan hati pada wanita dari negeri setandus timur tengah, atau dari bangsa suku aria, atau suku-suku indian dari daratan amerika sana.
Sebab, jarak adalah sebuah garis batas, tetapi jalinan perasaan adalah penembusnya.
*Terinspirasi dari tulisan Agutinus Wibowo dalam buku Garis Batas
1 note · View note
kodokbeku · 8 years
Photo
Tumblr media
Pada akhirnya saya harus menerima, bahwa pertumbuhan sebuah kota tidak bisa tidak untuk tetap berhubungan dengan semangat mengejar sebuah kemajuan, modernitas, keberadaban, atau sebutan keren lainnya sebagai lambang dari kesuksesan sebuah kota atas awal ia tercipta. Bahwa ia bisa maju karena ia telah mampu menumbuhkan gedung dari akar bumi, gedung yang tinggi, kuat, dan besar.
Apakah perlu begitu?? Apakah kemajuan sebuah dari kota itu harus diukur dari citra tinggi, kuat, dan besar?? Dan dalam konteks Jogja, mestikah ia harus membangun dirinya pada citra gedung-gedung yang tinggi, kuat, dan besar itu?? Hanya sekedar untuk menunjukkan diri dengan pernyataan, “Ini lho saya, kota yang maju, yang sukses”.
Namun apa daya, kini Jogja tengah membangun dirinya dengan sederet hotel-hotelnya yang maha tinggi, mall-mall yang maha mewah, dan para wisatawannya yang maha kuasa.
Jogja oh Jogja… Kepada kota manakah kau akan mengacu?? Kepada peradaban macam apakah kau akan terpengaruh?? Kepada falsafah macam apakah orang-orangmu akan berkiblat?? Kepada citra kemajuan seperti apakah kau akan diarahkan?? Kepada yang tinggi, besar, dan kuat tetapi mengundang kecemburuan?? Ataukah kepada kerendahan hati yang damai dan menenangkan?? Jogja oh Jogja… Entahlah kau sudah tak se-istimewa dulu… Seperti saat pertamakali aku datang mengunjungimu…
*tulisan ini terinspirasi dari tulisan: Antara New York dan Jakarta (Seno Gumira Ajidarma)
0 notes
kodokbeku · 9 years
Conversation
Obrolan Pasca Gempa
A: Eh bro lu tadi ngerasain gempa kagak?
B: Iya nih, mana lumayan lama juga durasinya. Mana tetangga pada keluar rumah tadi.
A: Ngeri emang. Sumber gempanya dari mana yak datangnya kira-kira?
B: Hmm... *masang muka mikir* Jawabnya ada di ujung langit... minta ke sana dengan seorang anak, anak yang tangkas dan juga pemberani...
A+B : Bertarunglah Dragon Ball...
0 notes
kodokbeku · 9 years
Text
Adil...
Bersikap dan berpikir adil itu mirip kayak naik motor yang gak cuma sekedar naikin nurunin gas sama masukin gigi thok, butuh latihan karena ia memang bukan semata perkara rasionalitas. Hmm.
1 note · View note
kodokbeku · 9 years
Text
Tulisan tentang Pulosari dari Pojok Kamar Mandi
Pada awal-awal saya tiba di Desa Pulosari, saya sudah merasakan ada yang kurang di sini, Desa ini terasa... mm.. Kurang panas alias terlalu dingin. Wajar, mengingat wilayah Desa yang saya tempati untuk KKN ini tepat berada di bawah kaki gunung tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, gunung yang katanya selalu membawa keslametan. Namun bagi saya yang terbiasa tinggal di lingkungan yang bersuhu hangat udara dingin di sini bukanlah sebuah sambutan yang bersahabat, setidaknya butuh hingga 2 minggu di sini untuk saya bisa berdamai dengan suasana dingin dan bekunya Pulosari.
Yang paling lekas tertangkap sebagai kesan tak bersahabat dari dinginnya udara di Pulosari ada pada momen pagi harinya. Ini bukan momen pagi yang sehangat Jogja, di mana saya bisa langsung merasakan segarnya air dalam bak mandi sambil melakukan ritual sakral saya, melamun dalam kamar mandi sambil mensyukuri kenikmatan yang Tuhan berikan lewat bongkahan-bongkahan abstrak yang keluar dari lubang pantat saya, Tai. Merekalah bukti dari berjalanannya sebuah roda kehidupan, tanda bahwa proses pencernaan kita tidak bermasalah dan memegang peranan penting dalam keseimbangan alam dalam diri manusia, yakni kebahagiaan. Bahwa sesukses apapun manusia jika dia tidak sukses mengeluarkan Tai yang mereka miliki maka dia tergolong manusia yang tidak bahagia, yang harus rela menjalani perawatan rumah sakit dengan aturan ini-itu hanya untuk memaksa sang Tai untuk angkat kaki dari lubang keluarnya. Namun berbicara masalah Tai kadang saya sering tertawa sendiri, yakni saat ada manusia-manusia yang tanpa malu mengeluarkan sang Tai bukan pada kodratnya, justru keluar lewat mulut-mulut yang mereka banggakan: “Ah... Tai Lu”.
Dengan situasi udara dingin Pulosari yang tidak bersahabat maka ritual sakral pagi yang biasa saya lakukan di jogja praktis tidak bisa saya lakukan di sini. Pernah saya mencoba melakukan ritual tersebut di hari pertama saya tinggal di Pulosari, dan berakhir dengan kepala saya yang pusing dan badan masuk angin, mandi pagi memang tidak cocok dilakukan di sini dan setelah itu saya cuti mandi berhari-hari, lebih tepatnya 4 hari, itulah rekor terbaik dalam pencapaian tidak mandinya saya selama setahun terakhir, mengalahkan pencapaian sebelumnya ketika ada kegiatan bakti sosial di daerah Gunung Kidul di mana saya tidak mandi selama 3 hari alasannya sederhana, penghematan air.
Belakangan baru saya tahu bahwa Pulosari tak jauh beda dengan Gunung Kidul, air menjadi suatu hal yang langka di sini, memang tidak sampai segaring Gunung Kidul namun tetap untuk mendapatkan air di sini cukup sulit (terutama kalau musim kemarau tiba) harus ngantri dulu harus beli dulu, sesulit mendapatkan hatimu, heheu. Situasi ini tentu saja mempengaruhi akan banyak hal, termasuk membentuk karakter orang-orang Pulosari menjadi kaum yang berpikiran keras, pandangan ini saya dapatkan dari interaksi saya dengan para pemuda di dekat pondokan KKN sub unit kami tinggal, para pemuda Cimandex. Bagi saya, mereka adalah orang-orang yang mencintai tawuran tetapi tetap menomorsatukan kedamaian, kedamaian untuk desanya tentu saja.
Pernah mereka bersitegang dengan salah seorang lelaki entah dari mana asalnya yang datang ngapel ke rumah pacarnya hingga tengah malam tanpa izin ketua RT setempat, sebagai warga desa yang tak mau desanya kenapa-kenapa maka digerebeklah rumah sang wanita tersebut oleh para pemuda Cimandex, hasilnya sang pemuda tersebut pergi dan kembali dengan satu pleton tentara (katanya begitu), ternyata lelaki tersebut adalah seorang tentara (kalau tidak salah), cerita selanjutnya saya tidak tahu, tapi intinya bagi para pemuda Cimandex tidak ada yang mereka cintai selain dari desa mereka sendiri dan tentu para gadis-gadis yang tinggal di dalamnya, heheu.
Ini baru satu kisah, kisah lain terjadi takkala pihak desa mengadakan kegiatan karnaval untuk memperingati hari kemerdekaan negeri ini, Republik Indonesia. Saya melihat sendiri bagaimana pemuda Cimandex begitu serius menyiapkan properti karnaval dengan segala pernak perniknya, bukan untuk mengejar kemenangan tapi demi menyuarakan suara hati mereka, menyampaikan uneg-uneg mereka terhadap kinerja pemerintahan desa. Untungnya selama berjalannya karnaval tidak ada adegan penangkapan, para aparat desa di sini masih waras dan bisa memahami bahwa kritik bukanlah wujud sebuah kebencian tapi dibalik itu semua, dalam menentukan urusan-urusan juara lomba siapa yang bisa menebak?
***
Bagi saya, baru identik dengan kesan menarik. Tempat baru. Teman baru. Tebakan baru. Menarik untuk dicari tahu, maka jelas sudah hari-hari pertama yang saya lakukan di Pulosari adalah berkeliling sambil membiasakan diri dengan situasi dinginnya desa ini, menyapa warga-warganya yang satu dua berpapasan di jalan, mengunjungi pondokan KKN di dukuh sebelah atau sekedar memprovokasi anak-anak kecil di sekitar pondokan untuk bersedia menjadi pemandu jalan-jalan iseng saya, toh mereka juga sangat antusias berkenalan dengan kakak ganteng satu ini, heheu.
Di luar hawa dinginnya yang belum bisa saya toleransi, suasana Pulosari sebenarnya tergolong sejuk dan tenang, terutama bagi mereka yang menyukai suasana pegunungan. Saya jadi teringat dengan ucapan kawan saya yang memang hobi mendaki gunung, dia pernah berkata bahwa semakin tinggi dirimu mendaki maka kau akan semakin tahu kian kecilnya dirimu dihadapan Tuhan. Betapa manusia tiada artinya di hadapan sang pemilik alam. Saya memang tidak terlalu paham mengenai gunung namun bagi saya pribadi hidup di tengah-tengah ketinggian justru membuat saya merasa damai, tenang, dan terasa begitu dekat dengan gerbang spiritual.
Maka sangat masuk akal jika masyarakat negeri-negeri timur menempatkan gunung dan tempat-tempat tinggi lainnya bagi mereka sebagai sebuah tempat yang sakral dan suci, Tibet? Nepal? Di tempat itulah ribuan guru dan pertapa dilahirkan, bagi orang Tibet sendiri Gunung Kailash adalah simbol kesucian, hal serupa dilakukan oleh orang-orang Nepal dan India, gunung adalah tempat yang suci bagi mereka. Bagaimana dengan negeri para nabi dan tradisi samawinya, Timur Tengah? Saya bukan seorang yang paham agama, namun sejauh yang saya tahu Musa a.s. pernah berbicara dengan Tuhan dan itu dilakukan di atas Gunung Sinai, di sanalah tempat Musa menerima wahyu. Ingat kisah Nabi Muhammad? Beliau mendapatkankan wahyu pertama di dalam Goa Hira, di atas Jabal Nur (Gunung Cahaya, kalau diartikan), dan lagi-lagi tempatnya berada di atas gunung, sebuah tempat yang tinggi, suci, sakral.
Lantas di Indonesia sendiri? Masyarakat kita juga tak jauh beda, umumnya orang-orang Nusantara mengganggap gunung sebagai tempat asal mereka yang patut dihormati dan dijaga. Orang Batak menganggap nenek moyangnya turun dari Gunung Pusuk Buhit. Orang-orang Minangkabau percaya mereka berasal dari Gunung Marapi, tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Gunung adalah tempat bertapa, batarak (mendekatkan diri) menuju Yang Kuasa. Gunung pula yang menjadi pasak bagi bumi, menjadi penyeimbang atas berjalannya roda kehidupan, seperti halnya Tai, gunung adalah simbol penyeimbang, jika Tai menyeimbangkan alam dalam diri manusia maka gunung menjadi penyeimbang atas alam raya, alam di luar manusia. Maka gunung memang pantas disucikan seperti halnya Tai yang juga disucikan, bedanya gunung disucikan dengan ritual dan ketundukan sedangkan Tai disucikan dengan air dan cebok dengan tangan kiri.
Bagaimana dengan Pulosari? Dari beberapa obrolan singkat saya dengan orang-orang di sekitar pondokan, setidaknya saya bisa meringkasnya begini: Bagi masyarakat Jawa, Gunung Slamet dan Gunung Lawu adalah pusat spiritual di Tanah Jawa. Maka bisa dipastikan Gunung Slamet bukan hanya suci bagi para penduduknya namun juga sakral, penuh dengan aura mistis yang kental, sekental kuah indomie yang sering saya makan, heheu. Maka tak ayal selama dua bulan menjalani KKN di sini, bukan hanya masyarakat makhluk kasar saja yang lewat menyapa ataupun datang berkunjung, masyarakat dari dunia lain pun tak ketinggalan ingin berkenalan. Merekalah dedemit-dedemit Pulosari. Ngeri? Sudah pasti.
Sebelum insiden kesurupan yang kerap terjadi pada salah satu kawan saya, sebenarnya saya sering bertanya-tanya tentang keberadaan demit, setan, hantu atau terserah orang mau menyebut mereka apa. Apa sih sebenarnya hantu itu? Kenapa manusia begitu takut dengan hantu? Mengalahkan ketakuan manusia akan hukuman neraka, buktinya banyak manusia yang tidak jera untuk berbuat dosa, mungkin visualisasi tentang ngerinya neraka tidak sebanding dengan imajinasi manusia terhadap sosok hantu.
Barangkali alasan dibalik ketakutan manusia akan hantu sesungguhnya hanyalah wujud dari apa yang di sebut sebagai xenophobia. Rasa takut akan sesuatu yang asing, yang tidak kita kenal, yang tidak bisa kita gambarkan secara pasti, lalu menggila saat imajinasi mulai mengambil alih, menciptakan sosok-sosok tak nyata yang begitu mengerikan.
Hantu adalah sosok asing, singkatnya demikian dan manusia dari jaman apapun mereka hidup sesungguhya takut akan hal asing, lalu apakah neraka bukan hal asing bagi manusia? Bisa jadi alasannya karena neraka dianggap terlalu omong kosong, atau sekedar bualan para orang tua kepada para anaknya, saya tidak bercanda ada beberapa kenalan saya yang berkata demikian saat saya tanya mengenai adanya surga dan neraka.
Hantu memang mengerikan, ia sudah lebih dari cukup untuk membuat orang-orang mendadak patuh, sangat mungkin mitos mengenai pohon keramat jauh lebih didengar dibandingkan isu pemanasan global. Orang akan lebih takut kuwalat karena menebang pohon keramat dibandingkan takut dengan perubahan iklim karena menebang pohon seenak hati, dari sini orang-orang dengan kepentingan tertentu memunculkan sebuah gagasan baru, dengan mengangkat hantu-hantu dari dunia gaib masuk menuju dunia politik. Maka di negeri ini para penguasa berlomba-lomba membangun kekuasaan mereka dengan menciptakan hantu-hantu versi mereka sendiri, lebih ngeri dari hantu-hantu yang gentayangan di malam Jum'at ataupun demit-demit yang kami temui di Pulosari. Mau bukti? Lihatlah bagaimana manusia-manusia negeri ini begitu paranoid dengan atribut berwujud jenggot, celana cingkrang, dan jilbab lebar, itulah salah satu hantu yang diciptakan negeri ini.
Hantu lain yang diciptakan adalah komunisme, bagaimanapun negara ini begitu sangat rajin mendoktrin warga negaranya dalam segala usia mengenai kengerian, kekejaman dan betapa tidak manusiawinya orang-orang komunis itu, perlu diingat sejarah dituliskan oleh mereka yang menang. Maka jika kamu nanti berkesempatan menemukan orang-orang di luar sana yang dengan mudahnya menuduh-nuduh orang lain (tanpa pernah memakai logika yang mereka punya ataupun hanya mendengar dari kabar-kabar burung tanpa mau mencari bukti kebenarannya dulu) sebagai orang anti-demokrasi yang berusaha mengubah ideologi negara, ataupun setan-setan kejam berwujud manusia yang tak segan menghabisi siapapun yang menghalanginya mengejar ambisi, dan sekarang mulai bangkit untuk memulai revolusinya lagi. Bisa jadi dia sedang kesurupan, kesurupan demit-demit dari istana, heheu.
***
Sepanjang dua bulan saya numpang be’ol di Pulosari, saya dapat menyimpulkan bahwa orang-orang Pulosari adalah jenis manusia yang hangat dan ramah di luar dari karakter mereka yang keras mereka tetaplah para manusia yang senang membantu, senang bercanda, dan baik kepada siapa saja, contohnya ketika saya tidak sengaja melewati sebuah Madrasah Ibtida’iyah (MI) yang sedang dalam proses pembangunan, di sana saya melihat nuansa gotong royong sangat kental sekali, inilah yang saya sukai dari karakter masyarakat pedesaan mereka adalah contoh orang-orang yang tak kehilangan karakter manusia yang mereka miliki, bandingkan dengan kehidupan masyarakat kota, dalam contoh kasus yang sama maka saya bertaruh pengerjaan MI di atas akan sepenuhnya diserahkan pada pihak berwenang saja, sedang partisipasi orang-orang di sekitarnya tak lebih hanya sekedar melihat dari dekat untuk kemudian ber-selfi-selfi ria dan bermuara pada sosial media. Shakespeare pernah mengatakan, “What is the city, but its the people?”. Kota adalah cerminan para penghuninya, seperti halnya analogi kamar mandi yang mencerminkan kebersihan dari pemilik rumah. Makanya saya jadi sangsi, dalam khusyu’nya saya njengking di kamar mandi, saya jadi bertanya-tanya betulkah ‘masyarakat maju’ semacam ini yang kita cari? Coba tanyakan pada Tai yang disiram. Dududu.
1 note · View note
kodokbeku · 9 years
Text
Dilarang Kentut Sembarangan...
Setiap orang berhak mengklaim kekecewaan atas apapun yang mereka alam-i, mau mengekspresikan rasa kecewa itu dalam bentuk apapun juga gak dilarang karena pada dasarnya kecewa adalah hak dasar kita sebagai manusia yang setara dengan hak kentut, hak buang air (besar-kecil), hak ngupil, tapi sebagai manusia waras tentunya kita akan paham untuk tidak kentut sembarangan, buang air semaunya sendiri, apalagi ngupil pake jarinya orang sebelah. Jadi buat kita-kita ini (termasuk saya) yang masih sering merasa dikecewakan oleh orang-orang di sekitar kita, oleh petinggi elit di kursi atas sana, dan sebagainya, ingatlah bahwa kalo ngentut sembarangan itu bikin malu sebagai mana pula buang air dan ngupil sembarangan, kecuali bagi mereka yang gak tau malu. Sampe goblok-goblokan di sosmed karena debat gak mutu atas sebuah obrolan.
0 notes
kodokbeku · 9 years
Photo
Sebaik-baik pemegang janji :D
Tumblr media
4K notes · View notes
kodokbeku · 9 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kumpulan Doa
3K notes · View notes
kodokbeku · 9 years
Text
Sulitnya Berpikir Adil
Barangkali kita memang terlalu terpaku pada satu-dua perspektif, yang menyebabkan kita malas untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda, dari sisi yang asing dari kita atau yang bersebrangan dengan sisi yang sedang kita pakai. Sayangnya kadang tidak berhenti sampai situ tapi berlanjut pada aksi yang lebih kongkrit seperti mulai menjauhi mereka yang berbeda dengan kita, bersuudzon terhadap tindak tanduk mereka yang sudah kita 'tandai' dan segenap usaha lain. Iya, ya. Berpikir adil sejak dalam pikiran memang susahnya minta ampun, apalagi kalo banyak hantu-hantu yang sengaja di tebar di sekitar kita buat nakut-nakutin kita-kita ini. Hihihi.
0 notes
kodokbeku · 9 years
Text
Nisa yang Lagi Sakit :(
Saya punya teman namanya Nisa, nama panjangnya Indonisa. Suatu hari dia sakit, dan sering kambung sakitnya.Kata dokter bulan September lalu dia udah bisa sehat eh gak taunya malah drop sampe sekarang. Kasian kasian kasian
0 notes
kodokbeku · 9 years
Text
Kebebasan Memilih Makanan
Bagi saya, Jogja adalah surga kuliner terlebih ketika malam, ada banyak lapak dadakan yang digelar di pinggir-pinggir jalan dengan aneka bau masakan, sungguh menggiurkan.
Sayangnya, kebebasan dalam memilih makanan tidak serta merta benar-benar bebas seperti namanya. Saya perlu melihat kantong dompet dulu untuk melihat berapa rupiah uang yang tersisa di dalam sana sebelum memutuskan mau makan apa, terlebih kalo sedang masa tanggal tua dan peralihannya. Seperti sekarang ini, saya terpaksa mengisi perut dengan 2 bungkus mie instan dan segelas kopi hangat, yang saya habiskan bersama sunyinya suasana kontrakan. Benar-benar sunyi.
Lalu tiba-tiba salah seorang teman mengirimkan pesan sms, menanyakan tentang flu saya dan semacamnya, menyarankan untuk beli vitamin C atau suplemen lain. Kemudian saya cek lagi dompet usang saya melihat rupiah yang nangkring disana, ternyata rupiah kembali melemah, tak habis pikir setahun ini pemimpin saya ngapain saja. Haha. Mungkin saja dia mirip saya, yang kudu liat ‘dompet’ dulu baru bisa bikin keputusan, begitulah kalo uang yang jadi majikan, apalgi uangnya buah ngunduh dari negara seberang. Mbehehe
0 notes
kodokbeku · 9 years
Text
Negara Jual Beli
Bagi saya, Indonesia laksana surga, ada banyak sumber-sumber kebahagiaan yang bisa di gali dari berbagai sisi. Itulah yang sering diceritakan kakek saya dulu, sayangnya negeri ini tak sama seperti dulu, tak kala uang dari negeri seberang sudah mulai ditagih untuk minta dikembalikan. Mbehehe  
0 notes
kodokbeku · 9 years
Text
Menemukan Jodoh
Suatu sore kawan saya bertanya, di manakah dia bisa menemukan jodohnya? Lalu saya buka tas saya, mengeluarkan sebuah kamus dan saya sodorkan kamus itu ke kawan saya ini, kemudian saya perintahkan dia untuk mencari alfapet ke-sepuluh. Kau bisa temukan di halaman ke seratus dua puluh lima, jawab saya. Kawan saya hanya menghela nafas lalu bergumam bahwa dia bertanya pada orang yang salah. Saya hanya terkekeh.
0 notes
kodokbeku · 9 years
Text
Katakan lewat bunga, itulah yang pernah saya dengar dari kawan saya. Kala itu saya hanya tertawa. Maka takkala tadi sore saya mendapatkan sebuah bunga dari seorang gadis, saya menjadi bertanya-tanya. Ya, sore ini saya belajar satu bahasa bunga, dari seorang gadis di lampu merah yang memberikan saya satu tangkai mawar merah, 2000 rupiah artinya. Namun saya tawar setengahnya. Dia kembali pergi, sungguh wanita memang susah untuk dimengerti.
0 notes