Tumgik
fransiskawuri · 4 years
Text
It’s Okay to Start Talk to Psychiatrist
Course Certificate IV saya sudah lama berakhir, dan sudah hampir tiga minggu ini saya masuk semester baru yaitu Diploma of Human Resource Management. Tiap Senin dan Selasa saya ada kewajiban ‘setor muka’ untuk ikut zoom class. Namun karena situasi di Melbourne sekarang lagi lockdown 2.0, otak rasanya ga bisa konsen gitu, antara mau ikut kelas atau mau tahu perkembangan situasi saat ini.
Ada banyak distraksi sehingga untuk term ini saya rasanya susah banget buat konsentrasi. Di tengah mendengarkan kuliah dari dosen yang boring banget, jam 11 itu biasanya ada press conference dari Daniel Andrews atau Scoot Morison. Belum lagi update dari grup-grup di Whassapp yang isinya ya kurang lebih mirip dengan yang saya baca di sosial media, tanggapan dari anggota grup yang kadang panik, parno, bertanya-tanya, kebingungan dll. Alhasil, dalam tiga pekan pertama, berturut-turut saya cabut dari zoom class itu, sign out dari soslal media, dan lebih memilih mengerjakan hal lain.
Selain berbicara kepada pasangan, yang tak lain suami saya Made, kami juga suka main monopoli kartu satu lawan satu. Kegiatan ini adalah satu dua hal yang bisa kami lakukan untuk meredam stres. Selain itu, karena pandemik ini saya jadi makin demen mandi. Biasanya ya, bisa dua hari sekali baru mandi. Tapi belakangan (terutama sejak lockdown 2.0) saya bisa mandi dua kali sehari, atau ya minimal sehari sekali. Rasanya shower pakai air panas enak banget, ubun-ubun jadinya enteng, badan rasanya ringan dan rileks.
Belakangan saya bilang sama Made, kayaknya mau mulai nulis lagi deh. Pakai media apa ya? Teman saya Rani juga menganjurkan pakai blogspot atau tumblr. Eng ing eng, jadilah halaman ini, jadi tempat saya berkeluh kesah.
Kadang saya bertanya-tanya sendiri, selain ngeblog untuk meredam stres, kalau misalnya curhat ke psikolog atau psikiatris itu gimana ya? Kalau dibilang punya masalah, ya ada aja sih, cuman apa ngga lebay ya, kan masalah saya ngga gede-gede amat? Pikiran itu terus bergumul, sampai suatu waktu saya mencoba mengakses https://www.beyondblue.org.au/. Alamak, kenapa saya baru akses website ini sekarang! 
Beyond Blue adalah salah satu program dari pemerintah Australia yang bergerak soal isu kesehatan mental (mental health). Baru saya selami sebentar website ini, ternyata makin tahu kalau saya beneran ngga sendiri. Setiap orang punya masalah. Banyak orang yang khawatir, cemas, stres, bingung, dsb. 
Di dalam website Beyond Blue saya menemukan banyak online forum, diskusi, curhat ke psikolog 24 jam sehari 7 hari seminggu, ikut donasi, jadi volunteer, jadi pendengar, dan saling support satu sama lain. Ada bagian dari website ini yang khusus membicarakan soal COVID-19, misalnya how to deal the stress, worried, and overwhelmed. 
Makin saya masuk ke forum dan diskusi itu, makin saya kenal banyak orang (ada yang pakai nama asli ataupun anonim), dan masalah-masalah yang mereka hadapi di kala pandemik ini. Kita juga bisa chat dengan live team (bukan mesin bot) atau menelepon ke call center yang tersedia untuk menceritakan masalah-masalah kita. Tentunya free of charge atau tanpa biaya.
Online forumnya juga sangat hidup, interaktif, dan real time. Siapa saja bisa komentar (tentunya setelah ijin dari admin) atau membuat thread atau topik pembicaraan yang baru dengan menyepakati rules yang ada.
Pengalaman yang baru ini mengubah pandangan saya loh. Saya pikir kita baru ke psikolog atau ke psikiater ya kalau udah gawat banget masalahnya. Oh ternyata nggak. Dan nggak semenakutkan itu, ngga peduli juga sih kalau orang tahu kita ke psikolog atau ke psikiater. Mental yang sehat itu penting, jaga kewarasan itu juga penting. Beyond Blue membuka mata dan pikiran saya kalau saya ngga sendiri. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meredam rasa marah, kecewa, stres, dan lainnya. Punya beban hidup juga bukan hal yang memalukan, kita kan manusia juga, sangat normal kok!
Semoga pembaca yang budiman juga ngga lupa self care ya, jangan ragu untuk mengontak anggota keluarga, teman, saudara, bahkan psikolog untuk mencurahkan isi hati. Boleh sekali mampir ke Beyond Blue ini, karena banyak ilmu dan cerita-cerita menggugah hati yang bisa kalian dapat. Cheers!
Tumblr media
0 notes
fransiskawuri · 4 years
Text
Winter Blues Tahun Ketiga di Melbourne Australia
Seriously, dari 4 musim yang ada di Australia, saya paling ngga demen sama winter atau musim dingin. Apalagi winter tahun ini ada pandemik. 
Saya tiba di Melbourne pertama kali untuk work and holiday pada tahun 2017. Saat itu winter ada di ujung jalan, musim semi sudah menyapa kian dekat. Matahari memancar dengan terik, namun angin masih sembribit, ya tahulah tipikal angin dinginnya Melbourne yang bikin masuk angin. Jadilah saya harus bawa Tolak Angin ke mana-mana. 
Tahun 2018, saya merasakan not-so-winter at all di Australia, karena saat itu pada bulan Juli-Oktober saya terbang dari Melbourne ke Queensland untuk  regional 2nd year work & holiday di kota kecil bernama Townsville. Queensland ini ya winter aja suhunya 22-24 derajat. Saat di pesawat menuju Queensland saya masih pakai jaket tebal dan beanie, sesampainya di Cairns dan lanjut perjalanan ke Townsville saya kegerahan.
Lalu 2019 saya tentu sudah balik ke Melbourne, winternya cukup dingin lah buat saya yang emang ga tahan dingin, tapi jujur saat itu rasanya menyenangkan. Pada musim dingin di Melbourne yang tentunya tidak bersalju, banyak acara seperti midnight sale di pusat CBD, dan kami bisa jalan-jalan malam menonton White Night Melbourne. 
Winter yang sekarang gimana? Hello, 2020?
Saya dan Made di rumah aja. Lockdown 2.0 tentunya bikin pusat kota Melbourne sangat sepi, bisa dibilang mati suri. Ga ada busker atau penyanyi/seniman jalanan, ngga ada sale karena ga boleh ada kerumunan, dan ga ada hal-hal normal yang bisa dilihat dan dinikmati kalau ke Melbourne saat musim dingin saat biasanya.
Sudah dingin, sepi lagi. Ini parah banget. Bisa dibayangin kan, kalau winter itu, petang menjadi lebih lama, karena matahari mulai terbit sekitar pukul 7.30 AM dan terbenam saat pukul 4.30 PM. 
Di winter tahun ini kami harus menutup jendela lebih rapat, entah kenapa ya dinginnya berasa dua kali lipat. Memakai kaos kaki di dalam rumah, piyama, jaket atau hoodie, dan bikin minuman dan makanan hangat. Kami jadi agak mager ke mana-mana, tentunya karena lockdown juga sih. Heater atau mesin penghangat ruangan tidak kami pakai karena tagihan listrik bisa jebol. Cukup selimut listrik aja yang kami pakai, itupun kami nyalakan maksimal 2 jam sebelum waktu tidur.
Ada Persiapan Khusus?
Tentunya logistik di rumah harus penuh. Karena lockdown juga kan, jadinya kami mengurangi intensitas keluar rumah untuk belanja. Jadi sekalinya keluar ya sekalian nyetok bahan makanan yang bisa tahan lama, atau yang dirasa enak disantap saat suhu dingin, kaya ramen lah contohnya, atau sup jagung ayam. Selain itu, winter blues tahun ini bikin jadi homesick dan cepat stres karena jauh dari rumah. Maka ya kami jadi sering video call dengan keluarga di rumah, sekalian membunuh waktu gitu, selain dengan acara masak-masak atau makan-makan itu tadi. 
It Won’t Last Forever
I know, makanya emang kudu extra sabar sih ini. Mengobati winter blues aja udah susah, ditambah lockdown dan pressure nya, cukup pedihlah. Biar suasana asik, kami putar lagu-lagu favorit kami aja sih. Lagu-lagu nostalgia saat jaman SMA dulu, lagu-lagunya Coldplay biar ingat jaman dulu nonton konser mereka di Brisbane, lagu-lagu soundtrack Korean Drama (Hospital Playlist dan Reply 1988 tentunya), playlist yang biasanya kami dengerin saat di pesawat saat mau trip, dan masih banyak lagi.
Pandemik + Winter Blues + Homesick = Combo. Nah itu aja sih yang biasanya kami lakukan biar combo maut ini bisa lebih enteng dirasainnya, dan ngga jadi beban hidup banget. Kalau kamu, ada tips lain untuk mengobati Winter Blues?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Foto-foto di atas diambil H-1 sebelum Melbourne lockdown kembali untuk kedua kalinya. Lokasi di Carlton Garden, North Melbourne. Saat itu kami memutuskan keluar rumah sebentar untuk melihat yang ijo-ijo atau yang seger-seger biar ngga stres sama winter blues.
0 notes
fransiskawuri · 4 years
Text
Alasan Mengapa Kami Menikah Sipil di Melbourne Australia
Sejujurnya tiada alasan lain pada waktu itu kami menikah di Australia pada 21 Februari 2019, selain karena kebutuhan visa. Ya, visa atau ijin tinggal di Australia. 
Saat itu saya masih mengantongi work and holiday visa hingga November 2019 sementara Made student visanya akan segera berakhir pada bulan Agustus 2019. Bulan Februari kami pilih, karena pada saat visa Made berakhir, dan saya apply menjadi student visa, paling tidak ada jarak atau rentang waktu. Aneh kan, kalau nikahnya mepet saat apply visa dependant, bisa jadi Australian Government mengira hubungan kami tidak otentik, dan bisa jadi aplikasi kami untuk sekolah dan tinggal lebih lama di sini malah dibatalkan.
Tapi sejujurnya selain tujuan itu, alasan lainnya kenapa menikah di Melbourne itu adalah satu: nggak ribet!
Kami tidak punya persiapan khusus menjelang hari H. Tanggal pernikahan juga dipilih karena saat itu weekday (hari biasa), di mana nikah sipil di sini lebih murah ketimbang saat weekend (akhir pekan). Baju kebaya a la Bali itupun modal pinjem ke Mba Evi, salah satu kawan yang bekerja sebagai flight attendant yang suka bolak-balik Bali-Melbourne untuk perjalanan dinas. Hair styles dan make up untuk saya pun dibantu oleh kawan baik juga bernama Stella dan adiknya Cindy yang hobinya dandan. Bunga dan cincin beli aja yang dekat rumah. As simple as that! 
Pernikahan kami berlangsung di Old Treasury Building sekitar pukul 3 sore. Lokasinya sangat dekat dengan unit kami, kurang lebih 7 menit naik tram dan jalan kaki. Karena memilih saat hari kerja, kami hanya membayar AU$300 untuk selebrant (semacam penghulu) dan termasuk ruangan dengan kapasitas maksimal 10 orang (termasuk pasangan dan selebrant). Soal registrasi atau pendaftarannya bisa dicek ke sini ya, https://www.bdm.vic.gov.au/marry , siapin passport aja udah! Gampang kok. Bayar AU$300 itu juga saat daftar, dan misalnya mau ganti tanggal atau hari dikasih waktu 1x. Kalau nggak dateng dianggap hangus.
Waktu itu nggak ada rasa deg-degan gimana sih, malah sambil menunggu giliran masuk (sebelumnya tentu ada pasangan lain yang menikah) kami malah ketawa dan bercanda. Teman-teman yang lain juga datang: Adi dan Yuyu yang menjadi saksi, Calvin dan Shannon, Gaby, Annete, dan Nesti. 
Di pernikahan ini kami juga tidak menyiapkan janji suci / sumpah, karena sudah disediakan oleh selebrant memakai buku kecil. Tapi boleh aja sih kalau mau bikin sendiri. Sama juga soal cincin atau perhiasan, bentuknya tidak wajib, boleh ada dan tidak. Yang wajib hanya 2 saksi, bisa dari keluarga atau teman. 
Lalu gimana persyaratan yang lain? Nih ya, nikah di Australia itu ngga akan ditanya agamanya apa, jenis kelaminnya apa, orientasi seksnya gimana, orang tuanya mana. Yang jelas yang ga boleh menikah atau dinikahi yang usianya di bawah 18 tahun, bukan satu darah (masih ada hubungan keluarga), dan saat pernikahannya ngga boleh tebar-tebar bunga, beras, atau hal lain yang bisa mengotori gedung.
Seusai selebrant bilang SAAAH, gitu ya sederhananya, langsung deh dua saksi tanda tangan, dan saya dan Made (yang menikah) juga tanda tangan. Surat boleh langsung dibawa pulang, tapi yang versi aslinya bisa diambil sekitar satu bulan kemudian. Hip! Hip! Hurray!
Apa ngga sedih nikah ga ada keluarga?
Ya sedihlah dikit, tapi ini kan pertimbangannya lebih ke waktu, tenaga, dan dana. Mengundang keluarga ke Melbourne kan mahal ya buk.. trus kalau acaranya di Indonesia dulu..Kebayang ga sih kalau nikah di Indonesia, apalagi kami beda agama, trus ngurus surat-suratnya, lalu translate suratnya ke Bahasa Inggris untuk pengajuan visa. Keluarga saat itu tetep nonton pakai IG LIVE, jadi mereka so much fine dan oke-oke aja. 
Habis kelar foto-foto, kami langsung deh meluncur ke Koko Black buat ngopi atau nyoklat sore. Terima kasih teman-teman lain yang kemudian dateng dan memberi kado, dan teman-teman lainnya yang mendoakan dari jauh. Kalau kamu membaca postingan ini, dan kira-kira ada rencana menikah di luar negeri, maka Australia adalah jawabannya. Semoga postingan ini bermanfaat! Kalau masih bingung atau ada pertanyaan silakan, ya! 
P.S: Postingan ini semoga berguna juga buat saya yang selalu pikun sama tanggal nikah. Suka kebalik antara tanggal pergi honeymoon pas ke Jepang :p
Tumblr media
Beli bunganya di pagi hari sebelum acara. Sampai sekarang buket bunga (yang sudah mengering) masih saya simpan.
Tumblr media
Terima kasih Cindy & Stella atas bantuannya untuk make up saat itu. Foto ini diambil saat gladi resik make up H-2.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Adi dan Yuyu yang jadi saksi, yang paling kanan adalah selebrant atau penghulu yang menikahkan kami.
Tumblr media
Yeay!
Tumblr media
Yeay lagi!
Tumblr media
Couple session di Treasury Garden sebelahan sama Old Treasury Building.
Tumblr media Tumblr media
0 notes
fransiskawuri · 4 years
Text
Sebenarnya Saya Lebih Suka Minum Teh Daripada Kopi
Hobi minum teh ini diturunkan oleh Ibu. 
Ibu bisa minum dan membuat teh lebih dari 3 kali sehari. Sarapan, makan siang, ngeteh sore, setelah makan malam, saat ada tamu, saat pening, saat tidak bisa tidur, saat haus, dan masih banyak lagi.
Kebiasaan minum teh ini menurun pada saya. Saya tahu ada banyak manfaat dan akibat dari minum teh, tapi ya gimana dong! Minum teh apalagi tanpa gula itu enak banget. Apalagi di saat siang-siang terik, nasgithel, panas legi kenthel itu udah jawaranya!
Nah, saat pindah ke Melbourne, jujur di sini ada begitu banyak pilihan brand teh di supermarket. Mau yang artisan ada, mau yang dari India atau dari UK banyak, mau yang berbahan dasar bunga pun ada. Pokoknya kalau ada uang, bisa pilih aneka teh apa saja. Tapi jujur ya, yang cuman enak menurutku ya teh Jawa ini, entah itu Poci, Dandang, Bandulan, dll
Saat itu liburan bulan Januari 2020, kami sempat berlibur sebentar ke Solo. Di Pasar Gedhe itulah kami memborong banyak teh Jawa untuk kami bawa ke Melbourne. Lumayan buat stock. Harganya juga murah banget, dan soal rasa tentu jaminan mutu.
Teh inilah yang sedikit banyak mengobati kerinduan saya akan rumah, ibu, keluarga, dan sore yang hangat bersama mereka.
Nah, sayangnya nih saat beli teh Jawa ini kok ya lupa, kenapa ga sekalian beli gula batunya! 
Kalau kopi itu gimana ya, saya ga demen-demen banget minum kopi. Kebetulan jadi hobi karena di sini gampang banget cari susu yang enak. Mau yang full cream, skinny, almond, soy, bahkan susu dari oat pun ada. Jadi kopi hitam + susu + coklat = mocha. Kalau minum kopi pahit aja saya ga demen. Minum teh aja udah yang paling bener, tapi kalau dikasih soy mocha hmmm... ini jadi agak susah sih milihnya. Kalau kamu suka minum apa, teh atau kopi?
Tumblr media
0 notes
fransiskawuri · 4 years
Text
Berlangganan Hello Fresh di Australia Secara Gratis*
Okay ini yang jelas bukan postingan berbayar. Murni dari pengalaman sendiri, memakai sendiri, dan merasakannya sendiri. 
Jadi, waktu itu saya sedang muter otak agar gimana caranya biaya groceries seperti sayur, daging, dan bumbu-bumbu itu bisa kami tekan. Maklum ya kan, emak-emak, pusing bangetlah ini mengatur uang belanja sehari-hari.
Di banyak kesempatan jauh sebelum ini, saya terkena terpaan iklan Hello Fresh. Apa itu Hello Fresh? Hello Fresh ini singkatnya adalah start up penyedia makanan seperti sayur, daging, bumbu dll yang sudah mereka kemas dalam bentuk menu. Sederhananya promosi mereka waktu itu, buy 6 meals for 2 persons cuman bayar AU$9.96. Jadi di website Hello Fresh, kita bisa pilih minggu depan mau menu apa dan untuk berapa orang. Lalu kita pakai kode promosinya, hasilnya cuman jadi bayar segitu aja udah termasuk ongkos kirimnya, dan bisa cancel anytime. 
Wah jiwa emak-emak saya langsung memberontak dong. Menarik juga ini, cuman bayar kurang lebih 10 dollar udah dapat bahan makanan yang siap dimasak untuk seminggu.
Singkat cerita, saya mendapatkan code potongan itu dari Facebook Marketplace, dari stranger yang mempromosikan Hello Fresh di listingnya. Ok saya register memakai code dari dia, pilih menu, bayar pakai debit card AU$9.96, dan menunggu paket yang saya pilih untuk di antar minggu depan, dengan jam atau tanggal yang bisa disesuaikan. Nah kode ini sayangnya hanya bisa dipakai sekali ya, dan new customer only. But, it’s okay!
Minggu depannya, saat paket itu datang, wah saya gembira sekali. Sayur dan dagingnya fresh, packagingnya bagus, dan dilengkapi dengan menu, nutrition table, how to cooking, dll. Sayangnya untuk kemudian berlangganan untuk kedua kali dan seterusnya harganya sangat mahal. Bayangkan, jika tanpa kode promosi, saya harus membayar AU$70-AU$90 dari jumalh menu dan porsi yang sama. Oh betapa ya first box murah meriah ini sungguh berharga.
Saya muter otak lagi dong, gimana ya biar tetep bisa menikmati bunch of goodness ini. Maka, setelah cancel subsribtion di akun saya, saya minta Made mendaftar / membuat akun sebagai new customer dengan code dari saya tentunya hehe.. saya dapet AU$50 credit dan dia order first box AU$9.96 seperti yang pertama saya lakukan. Minggu berikutnya, box kedua datang dari akun pesanan Made, senang! 
*sampai saat ini kami ga ngerti kenapa Hello Fresh tidak menyadari bahwa kami berasal dari satu alamat rumah yang sama. Well...
Okay, saya muter otak lagi nih, gimana ya tetep bisa langganan Hello Fresh dan makan enak untuk seterusnya dengan bayar segini-gini aja? Yo wislah, saya pun kemudian rajin nyebarin link-link Hello Fresh ke Whassapp Group teman-teman, dan tentunya di Facebook Marketplace itu sendiri. Dengan berdoa semoga ada yang berminat pakai Hello Fresh, sehingga mereka pakai kode saya dan saya dapet credit untuk belanja.
Akibat dari sharing promotional code di FB Marketplace inilah, banyak banget orang-orang yang direct message dan menanyakan kode potongan saya ini. Hasilnya, lumayan bikin syok, credit di Hello Fresh saya langsung berisi AU$780, yang artinya ada sekitar 16 orang atau 16 akun di luar sana yang memakai kode saya ini. Sayangnya credit senilai AU$700 ini ngga bisa saya uangkan, tapi saya bisa pakai untuk 10-15 Hello Fresh Boxes. Waw, ngga menyangka ternyata sistem marketing ala ala ini berhasil!
Kami mulai pakai Hello Fresh ini pada bulan Juni dan sampai tulisan ini dibuat kami masih setia berlangganan dengan bayar AU$ 9.96 aja tiap minggu. Lumayan banget bisa berhemat dan tetep bisa makan enak! Hehe. Semoga postingan ini bermanfaat!
0 notes
fransiskawuri · 4 years
Text
Berburu Buku Murah di Melbourne Australia
Kalau sedang geje atau ga ada kerjaan, saya dan Made biasanya jalan-jalan keluar rumah. Yang paling sering kalau nggak nongkrong untuk minum kopi, ke opportunity shop atau toko barang bekas, ya apalagi kalau bukan ke toko buku.
Selama tinggal di Melbourne CBD, ada banyak banget toko buku favorit kami, mulai dari toko buku yang dimiliki perusahaan seperti Dymocks Australia (ini semacam Gramedia-nya Indonesia), atau toko buku yang dimiliki perseorangan seperti Reading Bookshop, The Metropolis yang lokasinya di lantai 5 sebuah bangunan tua nyeni di pusat kota, The Paperback Bookshop, The Hill of Content, dan masih banyak lagi. Tiap kali kami menyambangi tempat-tempat ini, uh rasanya dompet harus dijaga benar, karena kalau khilaf bisa jebol isi kantong.
Kalau ke toko buku, tentu section favorit saya adalah travel dan kids book. Di area ini saya bisa betah berlama-lama, tentunya sambil membayangkan ya, kalau bisa traveling mau ke mana, ngapain, dll. Kalau buku anak-anak tentu karena cover dan isinya bagus banget dan unik. Sebagai orang dewasa saya suka banget baca buku anak-anak! Pokoknya menarik! Kalau Made sih demennya selalu di buku fotografi. Di situ aja terus dia, sampai saya udah muter-muter, dia masih juga nongkrong di situ.
Kadang ada rasa, “Ih mahal banget deh, tapi emang bagus banget” momen saat melihat-lihat buku-buku di sana. Sebenernya ga ada yang salah sih, membeli buku yang dipingini. Saya juga lebih demen buku fisik sih daripada baca dari kindle. Trus ya, misalnya beli di toko buku yang self-owned gitu juga sekaligus berkontribusi untuk warga lokal. Tapi tahu sendiri kan, saya di sini kan cuman mahasiswa biasa, kerja part-time pula, pasti tentu cari yang murah.
Terus, gimana dong? Masuk ke toko buku tapi ngga beli gitu?
Nah, biasanya yang saya lakukan, tetep masuk ke toko buku, lalu coba baca sedikit samplenya dan saat sampai rumah cek harganya online.
Setelah riset itu tadi, saya meluncur ke website Booktopia.com.au untuk membelinya secara online. Dengan kondisi buku baru, kadang dapat promo  Australia Wide free shipping, dan jauuuuuh lebih murah, Booktopia saya jadikan jalan ninjaku.
Kedua, kalau cari buku yang sudah lama rilisnya, dengan harga yang sangat miring, kondisi buku secondhand, saya biasa meluncur ke Brotherhoodbooks.org.au. Di sini harga buku bekasnya murah banget mulai dari AU$2, dan promosi dari mereka adalah beli 3 buku maka dapat gratis pengiriman. Murah banget kan! Jangan lupa bandingkan juga harganya dengan di Amazon Australia. Kalau kamu subscribe Amazon Prime, beli barang apa aja di website ini juga bisa dapat free shipping tanpa minimum pembelanjaan.
Terakhir, tips dari saya, untuk cari buku kualitas bagus dengan harga miring ya apalagi kalau bukan ke Opportunity Shop atau Charity Shop. Bukunya memang bekas, tapi kadang bisa aja dapet loh yang masih segel atau unused. Tapi ini butuh faktor L ya, Lucky. Kadang nemu aja sih!
Hasil dari semua beli-beli dan belanja buku-buku selama di Australia 3 tahun ini membuat ruangan dan rak buku kami penuh!
Gimana, kamu tertarik belanja buku di Australia?
1 note · View note
fransiskawuri · 4 years
Text
Salahin 2020
Kamu nggak salah, cuman saya aja yang males. Tapi yang paling bisa disalahin dari semua ini tentu tahun 2020. Nggak usah kita bahas ya gimana tahun ini itu tahun yang paling merepotkan. Oke, jadi gini banyak orang udah mulai bikin vlog dan Youtube channel, tapi saya malah baru tertarik bikin blog. Selamat datang, pembaca sekalian! Saya akan berusaha sebaik mungkin mengisi blog ini dengan banyak cuap-cuap. Isinya kurang lebih tentang pergumulan hidup, mengapa saya ada di sini, Australia, cerita yang seru menurut saya, tapi mungkin tidak seru buat kamu, dan hal-hal remeh temeh yang saya kira layak untuk dikenang bila nanti saya mungkin tidak lagi berada di negara ini. Well, COVID-19 masih ada di mana-mana, jadi untuk sekarang jangan ke mana-mana, mari baca kisah hidup saya dari Southern Hemisphere dulu, ya!
1 note · View note