Tumgik
endahharuhi · 1 year
Text
Keluarga Asing
“Mbak Dina, kayaknya kerannya udah beres. Boleh dicoba dulu mbak?”, tanya Jojo, tukang servis andalan di seantero pasar.
“Sebentar Jo”, jawab perempuan cantik yang wajahnya mirip bule itu. Ia mencoba membuka keran di wastafel. “Wah mantab. Airnya udah nggak muncrat kemana-mana lagi. Makasih ya Jo”.
“Sama-sama mbak. Kalau gitu saya pamit dulu ya mbak”, balasnya tersenyum sambil membereskan perkakas miliknya.
Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh. Kios Lavender memang belum buka, tapi sepagi ini perempuan itu sudah menyiapkan bahan masakan untuk buka toko nanti siang. 
Sejak pindah ke kota ini tujuh tahun lalu, Dina memutuskan untuk membuka kios makan khas Eropa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta anaknya, Sela.
“Kerannya udah bener Mbak?”, tanya Mona yang tiba-tiba datang mengagetkan. Ia membawa keranjang yang penuh sayuran.
“Udah”, jawabnya tersenyum.
Mona pun langsung meletakkan barang belanjaannya di atas meja. Dia segera membuka kulkas dan mengambil air minum, ditegaknya air itu dengan tergesa.
“Mbak, mbak itu ya mau-maunya dikibulin sama Pak Mamad”, kata Mona menggerutu. “Motor bekas yang kemarin mbak beli itu, harganya nggak sampai tujuh juta mbak. Tahun lalu Pak Mamad beli cuma empat juta. Rugi mbak, rugi”.
Dina hanya merenges. “Ya gimana Mon, udah terlanjur. Mbak cuma pengen kios kita ada layanan pesan antarnya, biar makin laris. Motornya bisa untuk nganter Sela sekolah juga kan”, jelasnya panjang lebar.
Mona pun hanya geleng-geleng kepala. Hampir setahun ia bekerja untuk Dina, tetap saja ia tak habis pikir. Bagaimana orang sepolos Dina bisa menjalani hidup dengan selamat sampai saat ini.
Dina, Ibu satu anak ini memang terlampau polos. Dia ramah kepada semua orang. Meskipun begitu, terkadang keramahannya itu dimanfaatkan oleh banyak orang.
***
Mona sedang merokok di ujung gang saat gawainya berbunyi. Ia tak mau mengangkat telepon itu. Namun dering telpon tak kunjung berhenti, dia terpaksa mengangkatnya.
“Heh. Kamu dimana jalang?!”, seru seorang pria melalui telepon. “Jangan kira kamu bisa kabur setelah mengambil uangku ya Mon. Kamu kira delapan puluh juta itu sedikit? Hah?!”
Mona langsung menutup telpon dan mematikan gawainya. Dia sudah tak berminat lagi untuk merokok. Diinjak-injaknya rokok miliknya yang masih tersisa setengah.
“Ini”, kata Dina yang tiba-tiba datang menyodorkan es krim.
Mona terkejut, namun ia tetap mengambil es krim itu dan memakannya tanpa basa-basi. Mereka berdua berjongkok di ujung gang sambil menjilati es krim. Selama beberapa saat, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari keduanya.
“Hmm... Mbak, kenapa mbak nggak pernah tanya sama sekali?”, tanya Mona memulai pembicaraan..
Dina berhenti menjilati es krimnya. Ia memandang Mona lekat, “Kenapa mbak harus tanya?”
“Mbak nggak penasaran? Nggak pengen tau? Mbak sama sekali nggak pernah tanya asal-usulku”, kata Mona. “Tahun lalu aku tiba-tiba datang ke mbak buat minta kerjaan dan mbak terima-terima aja! Mbak nggak takut sama aku? Mbak nggak pernah mikir aku tuh orang jahat?”.
Dina diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Sejujurnya Mon, mbak juga pengen tahu. Mbak juga penasaran tentang kehidupanmu, tapi kalau dipikir-pikir lagi, mbak nggak harus tau semuanya kan?”, jawab Dina. “Yang mbak tau, kamu orang baik Mon. Selama kerja sama mbak, semuanya lancar-lancar aja. Walau kadang-kadang mbak repot juga kalau kamu bertengkar sama pelanggan”, tambah Dina sambil terkikik.
Mona hanya tersenyum simpul. Seumur hidupnya, ia tak pernah diperlakukan layaknya manusia. Selama ini, ia tak pernah merasa dimengerti tanpa banyak caci. Baginya, Dina memberikan kehangatan layaknya keluarga.
“Kenapa kamu baik banget sih mbak?!”, kata Mona kesal sendiri. 
***
“Mbak, kalau kamu mandi, gelangnya kamu lepas nggak?”, tanya Nadia sambil menunjuk tangan milik Dina. Terkadang pertanyaan gadis berusia dua puluh tujuh itu sangat random. 
Malam ini Nadia sedang mampir di Kios Lavender selepas pulang kerja. Senin malam begini biasanya tempat ini memang tidak terlalu ramai oleh pelanggan.
“Kulepas Nad, kadang-kadang kucuci juga. Gelang makrame gini, kalau basah biasanya jadi bau”, kata Dina menjelaskan.
“Itu mbak bikin gelangnya sendiri? Aku mau dong dibuatin”, kata Nadia manja. Dia sudah menganggap Dina sebagai kakaknya sendiri.
Mona yang sedang mengupas kentang pun menyahut. “Bikin sendiri lah Nad. Gampang tauk”. Nadia hanya menggelengkan kepala. Dia merasa bahwa pekerjaan itu bukan hal cocok untuknya. Saat duduk di bangku SMA, dia pernah mendapatkan tugas merajut, pusing kepalanya berhadapan dengan benang-benang. Dia lebih memilih menghancurkan batu bata daripada bergelut dengan keruwetan benang.
“Enggak dek. Gelang ini dibeliin almarhum suamiku”, jawab Dina tersenyum. “Mungkin kapan-kapan kita bisa buat bareng Nad?”.
Nadia pun langsung menolak tawaran itu. “Enggak ah mbak, makasih. Baru bayangin aja, aku udah capek. Hahaha”, jawab Nadia sambil merenges. 
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dina segera mengunci pintu kios sebelum akhirnya berjalan pulang ditemani Mona dan Nadia. Mereka banyak bercengkrama di jalan pulang. Maklum, Kota Mulya ini kecil, sehingga semua warganya tinggal bersebelahan.
7 notes · View notes
endahharuhi · 1 year
Text
Chapter 6
Chapter 6
Semua warga di Kota Mulya dikejutkan dengan kabar yang muncul di berita televisi. “Mayat wanita yang diperkirakan berusia tiga-puluh tahunan ditemukan di Danau Mulya sore ini dengan pesan pembunuh berantai tujuh tahun lalu. Korban adalah wanita yang bekerja di restoran lokal. Penyebab kematiannya belum terungkap. Namun, polisi akan menyelidiki kemungkinan pembunuhan berantai, efek peniruan, atau pembunuhan balas dendam”. Begitulah headline beritanya.
Mona ditemukan mengapung di Danau Mulya beberapa hari kemudian, lengkap dengan helm di kepalanya. 
***
“Apa? Kakakku? Bilang padanya kalau uangnya sudah terpakai untuk pernikahanku. Itu kewajibannya sebagai kakak untuk membiayaiku. Aku tak mau membayar hutang-hutangnya!”, teriak seorang lelaki.
“Maaf, kami bukan ingin menagih hutang. Kami memiliki kabar terkait nona Wanda”, kata polisi diujung telepon.
“Bagaimana kamu nama itu? Itu nama kakakku dahulu”, kata lelaki itu tercekat.
“Dua KTP ditemukan di antara barang-barangnya. Dia sudah meninggal”.
***
Dina tak kuasa menahan tangis saat masuk ke ruang investigasi. Dia melihat barang-barang yang malam itu dipakai Mona telah tertata rapi di atas meja. Dia menangis memanggil-manggil nama Mona.
Dari luar, terdengar suara marah milik Nadia. “Kenapa kalian menyuruhnya memeriksa barang-barangnya? Tak punya hati nurani!”. Umpatnya kepada rekan kerjanya.
Nadia membuka pintu. Dilihatnya Dina sedang menangis sampai berlutut. Dipeluknya wanita yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu.
“Mbak. Mbak nggak harus ngeliat semua ini”, kata Nadia mengelus-elus punggungnya mencoba menenangkan. Tangis Dina mengeras.
Setelah kira-kira setengah jam, Dina mulai tenang. Nadia pun mengajaknya duduk di kursi yang ada di pojok ruangan.
“Kenapa malam itu dia bersikeras mengantar pesanan itu? Harusnya aku”, kata Dina mencoba mengelap air matanya.
“Mbak, nggak boleh gitu. Kematian Mona adalah kesalahan pembunuhnya! Bukan kesalahan mbak! Ini bukan waktunya menyalahkan diri sendiri, tugas kita adalah menangkap pembunuhnya. Mbak tau kan?”, kata Nadia.
Dina mengangguk lesu. “Nad, Mbak nggak begitu yakin soal yang lain, tapi mbak masih ingat dengan jelas bentuk mata pembunuh Mbak Mega dulu, saat aku mengintip di balik lubang pintu. Kalau pembunuhnya sama dan mbak bisa melihatnya sekali lagi, aku pasti akan mengenalinya”, tambahnya sambil sesenggukan.
***
“Dia menikamnya sekali di leher, lukanya cukup lebar, sepertinya memang kapak. Namun tak ada luka perlawanan. Ini adalah serangan mendadak yang tidak diduga oleh korban”, kata dokter forensik saat Nadia dan Pak Jarot memeriksa mayat Mona di ruang otopsi. “Oh iya aku menemukan benda aneh di tenggorokannya. Benda sebesar kelereng berwarna kuning terang”, tambahnya.
“Kuning terang?”, tanya Nadia.
“Bentuknya tidak jelas tapi warnanya terang”, katanya sambil mengangguk. “Aku tak tahu benda apa itu”.
“Kenapa pembunuh memasukkan benda itu ke mulutnya?”, Nadia bertanya lagi.
“Bukan, bukan pembunuhnya yang memasukkan ke mulutnya. Namun korban menelannya sendiri”.
“Apa?”, kata Nadia terbelalak.
“Benda kuning itu ada ditenggorokannya. Untuk sampai di sana, butuh tekanan lebih dalam”, dokter itu kembali menjelaskan. “Ini menunjukkan korban sengaja menelannya sebelum mati”.
“Jadi Mona masih hidup saat itu?”
“Jika arteri teriris, dia pasti langsung mati. Namun hanya venanya yang teriris. Jadi darah dia keluar perlahan. Dia masih hidup sekitar 30 menit”.
“Kenapa Mona menelannya?”, Nadia bergumam.
“Mungkin dia ingin meninggalkan pesan untuk kita”, jawab Pak Jarot.
***
Nadia mendorong papan tulis ke dalam ruang rapat. Ia mulai menempel foto-foto bukti sebagai petunjuk penyelidikan di papan tersebut dengan rapi.
“Apa yang bisa disimpulkan dari bukti-bukti ini?”, tanya Pak Jarot.
“Pembunuhan ini jelas terencana. Pelaku memesan spaghetti untuk diantar ke pondok di samping danau. Ia membunuh dengan menghujamkan kapak ke leher korban, setelah itu pelaku membuang korban ke danau lengkap dengan helm, motor, serta kertas kecil di saku kiri korban sebagai pesan dari pelaku. Pelakunya diduga lelaki dengan ukuran sepatu 260 mm. Kejahatan terjadi pada tanggal 14 antara pukul 20.30 sampai 22.30”.
“Kira-kira apa motif pelaku membunuh Mona?”
“Hutang? Pak Jarot ingat,  beberapa hari yang lalu ada laki-laki yang membuat keributan untuk menagih hutang ke Mbak Mona? Dia punya motif”.
“Menurutmu dia Joker? Atau peniru Joker?”
“Hmm… Entahlah. Bisa keduanya Pak. Tapi sepertinya pelaku sangat mengenal Kios Lavender. Dia hanya memesan satu porsi. Tak banyak kios yang menerima pesan antar hanya untuk satu porsi. Selain itu, CCTV di kios Mbak Dina sempat diputus kabelnya oleh seseorang”.
“Ohiya, bukannya kemarin Dina sudah datang ke kantor pusat untuk pembuatan sketsa wajah pelaku?, tanya Pak Jarot. “Dia satu-satunya orang yang pernah bertemu dengan Joker”. Pak Jarot menyalakan komputer.
“Pak, kenapa dulu saat kasus Klinik Kecantikan Mega, Mbak Dina bisa selamat?, tanya Nadia penasaran. “Di berkas saksi hanya tertulis bahwa Mbak Dina pingsan setelah melihat wajah pelaku dari lubang pintu”.
“Itu adalah keberuntungan Nad. Saat itu di ruko sebelah klinik terjadi kebakaran, sehingga orang-orang menelpon 113, dan pemadam kebakaran pun datang”.
Nadia hanya terdiam mendengar penjelasan itu.
“Nad, menurutmu benda apa yang ditelan Mona sampai ke tenggorokannya? Aku benar-benar penasaran tentang benda itu”.
“Sebenarnya aku familiar dengan benda terang itu Pak. Warnanya unik, seperti stabilo kuning. Tak banyak benda-benda yang punya warna itu”, kata Nadia.
“Menurutmu berapa banyak orang yang biasa menggunakan kapak di kota ini?”, tanya Pak Jarot menunjukkan sketsa wajah pelaku yang ada di komputer.
Mendengar pertanyaan itu, Nadia langsung bangkit dari tempat duduknya. Tiba-tiba ia teringat Pak Mamad yang membeli kapak beberapa hari yang lalu. Setelah itu, dia segera pergi dari kantor polisi.
***
Nadia segera bergegas lari ke sebuah tempat. Toko Perkakas. Jojo menyapanya ramah, tapi Nadia langsung masuk ke toko yang menyambung dengan rumah itu. Semua teka-teki tiba-tiba terhubung menjadi satu.
Toko ini adalah satu-satunya tempat yang menjual kapak di daerah sini, di warung Bu Ani pun tak ada. Joker yang kembali setelah tujuh tahun. Benda kuning terang seukuran kelereng. Jejak sepatu berukuran 260 mm. Sketsa wajah dengan mata tajam. Semua petunjuk itu seperti terkoneksi menjadi satu.
Nadia membuka semua pintu di rumah yang tak memiliki jam dinding ini. Tak ada siapapun. Sampai akhirnya dia membuka ruangan yang ada di ujung. Kamar itu gelap. Terlihat seorang lelaki tua duduk di kasur, di ujung tempat tidurnya terdapat kursi roda yang sudah mulai berdebu.
Saat dia berada dalam kegelapan selama tujuh tahun,  semua orang sudah melupakannya, menyingkirkannya selamanya. 
Lelaki tua itu melihatku sambil tersenyum licik. “Akhirnya kau datang juga. Kau kemari untuk menahanku?”
Tiba-tiba Jojo menyusul masuk ke dalam kamar. Ia berkata terbata-bata, “Nad… Nad… Aku, Aku bisa bertanggung jawab untuk semuanya. Tolong Nad!”
Nadia tak menghiraukannya. Dia menatap lelaki tua yang menggunakan penyumpal suara berwarna kuning terang di telinganya. Dulu, ia sering melihat benda itu. “Pak. Ayo ikut dengan saya”, kata Nadia dengan kemarahan yang ditahan.
Jojo mengguncang-guncang badannya. “Nad, Nad, please. Ayahku, ayahku adalah satu-satunya yang kupunya Nad.”
Nadia melepaskan tangan Jojo yang mencengkramnya. “Pak, Silahkan bangun dan ikut saya ke kantor polisi”, kata Nadia.
Lelaki itu pun bangkit.
Tujuh tahun lalu, semua orang tahu bahwa lelaki itu tak bisa bergerak. Dia lumpuh setelah jatuh saat bekerja membetulkan atap.
***
“Putramu akan pergi dari Kota Mulya”, kata Nadia kepada Ayah Jojo di ruang interogasi. “Kenapa dia harus menderita padahal kamu pembunuhnya?”.
Lelaki itu memandang Nadia dengan wajah datar. Tak ada ekspresi di wajahnya. “Apa orang-orang menuduhnya sebagai anak pembunuh?”  Sudut bibirnya terangkat.
Nadia menghela nafas. “Kau tahu Pak, meski begitu Jojo masih menganggapmu sebagai ayah. Padahal ayahnya berusaha menjebak putranya, tapi ia ingin memberikan pesan sampai jumpa padamu”.
“Dia bukan komplotanku”, jawabnya sinis.
“Sementara kau duduk diam di sini, detail pribadi Jojo tersebar luas, dan dia sudah dikucilkan. Seharusnya kamu memikirkannya, dan membayar kejahatanmu seperti seorang ayah”.
Nadia bangkit dari duduknya hendak pergi ketika lelaki itu tiba-tiba berteriak, “Mereka semua berisik. Mereka memandangku rendah. Mereka semua sialan”.
Lelaki itu memegang telinganya, “Mereka tak bisa memperbaiki toiletnya sendiri. Wanita-wanita idiot terus-terusan mencariku bahkan saat gasnya mati. Tapi mereka sombong dan berisik, jadi aku tak tahan. Wanita-wanita itu sama saja seperti istriku dulu. Kupikir aku bisa membunuh mereka, jadi aku membunuh mereka”.
“Karena itukah kau membunuh semua wanita itu?”
“Raut wajah mereka selalu seperti mengejekku miskin. Telingaku selalu berdengung setiap kali aku marah hilang kendali. Aku tak bisa hidup dengan dengung itu, kan? Aku bahkan tak tahan mendengar suara jam”.
“Lalu, kenapa kau membunuh Mona?”
Lelaki itu tersenyum sinis, “Kalau itu karena aku mengira dia adalah jalang yang satunya lagi. Kenapa dia yang harus datang mengantar makanannya? Dia bahkan memakai gelang milik Dina”.
“Kau membunuh Mona di pondok dekat danau, setelah itu menceburkannya ke dalam danau, kan?
Joker hanya tersenyum. “Kau tau nak, orang sepertiku akan selalu ada”.
“Lebih banyak orang seperti mu atau seperti ku? Orang jahat hanya satu dari seratus, tapi orang baik akan terus berkembang. Bahkan dalam setiap kejahatan, polisi akan memastikan mereka selalu datang berkelompok dan kalian — penjahat, akan selalu kalah dalam jumlah. Itu hukum angka dan setiap kejahatan pasti akan terungkap!”
***
EPILOG
Kring… Kring…
Suara telepon berbunyi. “Halo, dengan Kios Lavender”, jawab Dina. Ia mendengarkan dengan seksama, kemudian membelalakkan mata dan menutup mulut dengan satu tangannya. Ia terkejut mendengarkan penjelasan di ujung telepon. 
Telepon itu dari perusahaan asuransi, katanya Dina tercatat sebagai tertanggung dari asuransi jiwa milik Mona. Uang pertanggungan atas kematian  Mona akan diberikan kepadanya sebesar seratus juta. 
“Mon, hutangmu pun kamu lunasi sepeninggalanmu! Kamu benar-benar orang baik.”
[Tamat]
16 notes · View notes
endahharuhi · 1 year
Text
Chapter 5
Flashback
Sore itu cuaca agak sedikit panas, Dina sedang mengepang rambut Mona di Kios Lavender yang sepi. 
“Rambutmu udah panjang ya Mon”, kata Dina mengambil  ikat rambut.
“Iya. Sejak pindah ke sini, udah nggak pernah kupotong mbak”, jawab Mona.
Dina tersenyum.
“Mbak, aku selalu penasaran. Kenapa dulu mbak langsung nerima aku buat kerja di sini?”, tanya Mona. “Mbak tahu jelas kalau aku bohong soal usia, nama, dan pengalaman”.
“Hmmm… Kenapa ya? Waktu datang malam itu, kamu kelihatan seperti nggak punya tujuan Mon”, jawabnya sambil mengikat kepangan rambut yang terakhir.
Mona tersenyum kecil “Kamu orang pertama yang sadar kalau aku nggak punya tujuan mbak”. Lalu ia menghela nafas, “Hah, hidup kita sama-sama sial, tapi kenapa cuma kamu yang baik sih mbak?”.
“Hush, sembarangan”, kata Dina menimpali sambil merapikan rambut Mona sekali lagi. “Oh iya Mon, bulan depan mbak bakal naikin gajimu, jadi kamu harus nabung sebisamu ya”.
Mona bangkit dari tempat duduknya sambil berkata, “Apa kenaikan gajinya bisa untuk kubeli rumah dan keluarga mbak?”.
***
Setelah Jojo memperbaiki CCTV di Kios Lavender kemarin sore, hari ini Nadia mulai mengecek rekaman yang ada di dalamnya. Tak banyak video yang bisa dilihat karena kabel CCTV itu ternyata sudah diputus sejak beberapa hari yang lalu. Nadia tak menemukan adanya video yang mencurigakan, sampai dilihatnya rekaman kemarin malam.
“Mbak, hari ini Mbak Mona nggak masuk kerja?”, tanya Nadia.
“Iya, dia nggak ada kabar dari tadi pagi. Kenapa Nad?”, jawab Dina yang sedang mengelap piring.
“Coba deh liat ini mbak”, kata Nadia sambil menunjukkan sebuah rekaman CCTV. Video itu terekam saat tengah malam, ketika tiba-tiba Mona masuk ke dalam kios. Dia terlihat lama sekali berdiri di depan kulkas sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah kotak tupperware besar.
Dina terkejut melihat video tersebut. Ia langsung mengecek kulkasnya. “Hilang Nad”, kata Dina membelalakkan mata. “Uang yang udah mbak kumpulin bertahun-tahun hilang”. Ia sangat terkejut, ia tak menyangka Mona akan mengkhianatinya. 
***
Walaupun perasaannya berkecamuk, Dina tetap membuka kiosnya hari ini. Ia terus mencoba untuk berpikir positif tentang Mona, sampai tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Waktunya beberes sebelum kios ditutup.
Kring… Kring…
Suara telepon berbunyi. “Halo, dengan Kios Lavender”, jawab Dina. “Sebenarnya kiosnya sudah mau tutup. Hmmm, tak apa. Aku akan mengantarkannya untukmu. Satu spaghetti aglio olio. Baik. Alamatnya dimana?”. Dia pun mencatatnya di sebuah kertas. “Baik, sampai jumpa”. 
“Semangat Din, kamu tetap harus menyelesaikan pekerjaanmu”, kata Dina menyemangati diri sendiri.
***
Mona sedang berjalan mendorong koper kecilnya saat ia melihat Dina kesusahan menghidupkan motor bebek berwarna merah. Motor bekas yang dibeli dari Pak Mamad. Berkali-kali Dina mengengkol motor butut itu, sayangnya motornya tak berhasil hidup juga.
Mona segera mendekati Dina. “Astaga. Minggir mbak, biar aku aja!”, gerutunya. “Kenapa mbak tetep ngelayanin pesan antar sih padahal ngidupin motor aja nggak bisa?”.
Dina terdiam melihat Mona, “Kamu seharian ini dari mana Mon? Kamu mau pergi?”, tanya Dina.
“Mbak, mulai saat ini, minta mereka memesan minimal dua porsi. Ya ampun, ini cuma satu porsi”, kata Mona melirik plastik kresek yang digantung di motor. “Pesan antar macam apa yang ngelayanin satu porsi tanpa ongkos kirim. Rugi di bensin mbak. Rugi”, tambahnya. Mona memang mengatakannya dengan nada yang galak, namun matanya berkaca-kaca. Ia merasa bersalah.
Dina menyilangkan tangan di depan dadanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Orang yang tinggal sendirian juga berhak makan spaghetti kan Mon?”.
“Mbak ngapain mikirin orang lain sampai kaya gitu? Nanti mbak dapat untung dari mana?”, kata Mona menunduk. Air matanya hampir menetes.
Melihat hal itu, Dina mendekati Mona dengan perasaan khawatir. “Mon, kamu nangis?”.
“Mbak, please. Apa mbak bener-bener bodoh?”, kata Mona tetap menunduk.
Dina melihatnya sambil menghela nafas. “Ya ampun, siapa yang bodoh Mon?”. Dielusnya punggung Mona sambil berkata, “Kamu bahkan nggak bisa kabur dengan uang delapan puluh juta”.
“Mbak, seharusnya sekarang kamu menghajarku mbak”, isak Mona yang tak bisa lagi membendung air mata. “Kenapa mbak terus-terusan mempermalukan aku seperti ini? Hidup kita berdua sial. Tapi kenapa kamu selalu…”, Mona tak kuasa melanjutkan kata-katanya. “Kenapa kamu selalu begitu baik?”.
Dina mencoba memeluknya, “Wah wah, selama ini kamu memperlakukanku seakan-akan aku lebih tua darimu. Kamu sebenernya lebih tua, kan Mon?”, ditepuk-tepuknya punggung Mona.
Mona makin terisak. “Mbak, kita sama-sama nggak punya orang tua, kamu bahkan ditinggal mati suamimu, dunia nggak pernah baik padamu. Kenapa kamu selalu murah hati mbak? Kenapa kamu selalu berhati besar?, kata Mona sambil mengusap air matanya.
Dipegangnya tangan Mona. “Kamu pakai gelangnya Mon?”, tanya Dina saat melihat Mona memakai gelang makrame buatannya. “Katanya kemarin nggak mau dipakai karena nggak bernilai?”, tambahnya. Ia ingin mengalihkan pembicaraan.
“Aku pengen terus mengingatmu mbak, makanya gelangnya kupakai”, kata Mona sambil memegang gelangnya. Dia menghela nafas. Mencoba untuk tak menangis lagi. “Nama kios ini cocok untukmu mbak. Hidupmu akan lebih baik berkat makna lavender”.
Dina pun mengusap air matanya yang hampir jatuh, “Bukannya semua bunga punya makna bagus?”.
“Ada juga bunga yang maknanya kemalangan. Kamu tahu arti bunga forget-me-not mbak?”.
“Bunga forget-me-not?”, tanya Dina.
“Artinya jangan lupakan aku”, kata Mona sambil melihat Dina dengan tatapan hangat. “Kamu jangan lupakan aku ya mbak”, katanya sambil menghela nafas. “Aku ditinggalkan ibu dan adikku, tapi aku ingin kamu mengingatku mbak. Setidaknya itu akan memberi makna pada hidupku”. Air matanya kembali makin mengalir deras.
Dina mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Mona. “Ada apa, Mon? Apa terjadi sesuatu? Ada masalah apa? Kamu nggak biasanya kayak gini”.
Mona melepaskan pelukan Dina. “Aku akan antar pesanan ini mbak. Tunggu aku. Setelah ini, aku akan bekerja keras. Aku akan berusaha membayarmu sampai lunas”, katanya sambil menyalakan motor dengan mudahnya.
Mona segera menggunakan helm full face berwarna merah yang dibeli sepaket dengan motor butut itu. Kemudian ia berpamitan dan melambaikan tangannya sebelum berangkat mengantar pesanan. Dina pun membalas lambaian tangan itu sampai Mona berbelok di ujung jalan, tak terlihat lagi.
Malam itu, Dina menunggu Mona di kiosnya lama sekali. Ia sudah mempersiapkan krim sup hangat. Sayangnya Mona tak kunjung kembali.
“Kenapa dia lama sekali? Apa dia tersesat?”.
Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat telepon di kiosnya berbunyi. Dina mengangkat telepon itu, “Halo, dengan Kios Lavender”.
“Kau mengantar pesanan?”, tanya suara diujung telepon”.
“Pesanan?”, kata Dina sambil melirik jam.
“Apa kau yang akan datang kali ini?”, tanya penelpon tersebut.
“Maaf, kami sudah tutup”, jawab Dina.
Sambungan telepon itu kemudian terputus.
***
Malam itu, mereka berjumpa untuk terakhir kalinya.
2 notes · View notes
endahharuhi · 1 year
Text
Chapter 4
Chapter 4
“Permisi”, kata seorang wanita yang rambutnya basah karena kehujanan. Ia datang membawa koper kecil dan banyak sekali tas tentengan. “Kulihat Anda membutuhkan pramusaji paruh waktu. Apa aku boleh bekerja di sini? Namaku Mona”.
Pemilik kios itu pun melihatnya dengan seksama, lalu tersenyum dan menjawab, “Ya, boleh. Kamu boleh bekerja di sini”. Pemilik itu bangkit dari tempat duduknya. “Mona, kamu sudah makan?”. Ia bergegas ke dapur membuatkan makanan untuk pegawai barunya.
Seorang anak kecil berusia delapan tahun mendekatinya sambil menyodorkan sebuah handuk, “Tante, ini untuk ngeringin rambut tante”.
Pemilik kios itu kembali dari dapur dengan membawa nampan yang berisi tiga porsi makanan. “Yuk, makan dulu. Kita makan bareng”, ajaknya sambil tersenyum hangat.
Pegawai baru itu hanya diam di tempat. Ia berkata, “Kamu ingin aku ikut makan bersama kalian?”. Matanya berkaca-kaca. Baginya, ini pertama kali ada orang yang mau menerimanya. 
***
Nadia sedang asyik menikmati es krim coklatnya sambil menemani Mona merokok di ujung gang. Dia terkejut ketika tiba-tiba Mona bertanya, “Kalau kamu punya hutang delapan puluh juta, kamu bakal ngapain Nad?”.
“Mbak punya hutang sebanyak itu?”, Nadia balas bertanya.
“Menurutmu pesta pernikahan dengan biaya delapan puluh juta, bakalan semewah apa Nad?”
“Mbak mau nikah?”, tanya Nadia lagi tak mengerti.
“Ah, kamu ini. Nggak asik banget sih Nad. Katanya detektif?”, kata Mon memadamkan puntung rokoknya.
“Jadi, mbak punya hutang delapan puluh juta untuk bikin pesta pernikahan? Pernikahan siapa mbak? Pernikahan Mbak Mona atau saudara mbak?”, tanya Nadia balik.
Mona pun pergi sambil tersenyum mengacak rambut detektif itu.
***
Brak. Tiba-tiba Mona terpelanting ke lantai. Seorang lelaki dengan tato hitam di tangan kanannya sedang memegang kerah baju yang dipakai Mona. Kios Lavender benar-benar kacau balau. Para pelanggan berteriak histeris melarikan diri. Lelaki itu melayangkan tangan hendak memukul Mona lagi, tapi untungya ditangkis oleh Nadia yang tiba-tiba datang. 
Nadia segera mencengkram pergelangan tangan lelaki itu, diremasnya kuat hingga lelaki itu melepaskan Mona. Mereka berdua baku hantam. Walaupun badannya kecil, Nadia tak kalah dengan lelaki yang perawakannya seperti preman itu. Dia segera memukul tengkuk lelaki itu sebelum akhirnya memiting tangannya. Lelaki itu berteriak kesakitan dan minta uangnya dikembalikan.
Mona yang sedang menenangkan diri berkata lirih “Sialan. Orang seperti ini lah yang membuatku tetap menjadi diriku”.
***
Lelaki itu kemudian diseret ke kantor polisi. Ia dimintai keterangan atas kelakuannya terhadap Mona. Ia berkata bahwa Mona telah menipu dan mengambil uangnya, tapi sayangnya ia tak memiliki bukti. Ia melacak dengan GPS saat Mona mengangkat teleponnya beberapa hari yang lalu. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke kota ini demi mencari Mona.
Nadia tidak ikut ke kantor polisi, ia segera mengabadikan bukti kerusakan yang terjadi di Kios Lavender. Saat ia mencoba mengambil bukti melalui kamera CCTV, ia terkejut lantaran tidak ada satu pun video yang terekam.
“Mbak, waktu kemarin Jojo pasang CCTV, mbak ngecek kameranya nggak?”, tanya Nadia.
“Ngecek Nad. Kenapa? Rusak kah?”, tanya Dina balik.
“Ini. Aku cek file CCTV-nya, tapi nggak ada rekamannya sama sekali. Apa kameranya rusak ya?”
“Masa sih? Baru pekan lalu lho kameranya dipasang”, jawab Dina tidak percaya.
Nadia langsung mendorong meja ke arah pojok kios. Dipanjatnya meja itu agar dia dapat menjangkau CCTV.
“Mbak, coba lihat ini”, kata Nadia memanggil Dina sambil menunjuk kabel yang menjuntai.
“Kenapa Nad?”
“Kabelnya putus mbak. Kalau dilihat dari potongannya yang rapi, jelas-jelas ada orang yang sengaja memotong kabel CCTV ini”, kata Nadia menyelidik. “Apa ada orang yang pernah deket-deket kamera ini mbak?”
“Hah? Seriusan Nad? Jangan nakut-nakutin deh kamu”, kata Dina terkejut. “Sejak kejadian Joker waktu itu, mbak sekalian renovasi banyak hal Nad. Ada banyak orang yang dateng”.
“Mbak, jangan-jangan ini kelakuan Joker mbak. Berarti Joker pernah ke sini!”.
Dina pun hanya bisa menutup mulut dengan tangan karena terkejut dengan fakta yang terlontar dari mulut Nadia.
“Kita harus segera memperbaiki ini mbak, aku ke tempat Jojo dulu”.
***
“Permisi. Permisi”, kata Nadia memanggil-manggil Jojo di sebuah toko perkakas.
Beberapa saat kemudian Jojo datang dari arah luar. “Ada apa mbak?”, tanya Jojo.
“Jo, waktu kamu pasang CCTV di kios Mbak Dina pekan lalu, kameranya berfungsi kan?”, tanya Dina memastikan.
“Berfungsi kok mbak. Sebelum aku pulang, Mbak Dina juga udah ngecek. Bukannya Mbak Nadia ada di situ juga waktu aku masang kameranya? Emangnya kenapa Mbak? Rusak?”, tanya Jojo sambil menjelaskan panjang lebar.
“Iya Jo, rusak. Kamu bisa bantu betulin lagi?”
“Hmm… Sekarang mbak?, tanya Jojo yang dijawab dengan anggukan oleh Nadia. “Bentar ya mba, aku barusan beli lauk. Aku nyiapin makan untuk bapak dulu”.
“Oke, ku tunggu di sini nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa mbak”. Jojo pun langsung masuk ke rumahnya.
Sambil menunggu, Nadia berkeliling melihat melihat-lihat isi toko. Toko perkakas yang letaknya di garasi rumah itu cukup lengkap. Maklum, toko ini sudah buka sejak Nadia kecil. Seingatnya, toko ini awalnya dibuka oleh ayahnya Jojo, namun beberapa tahun lalu ayahnya Jojo jatuh dari tangga sehingga Jojo yang meneruskan usahanya.
“Nad, ngapain kamu di sini?”, tanya Pak Mamad yang baru saja datang.
“Lagi nungguin Jojo pak, mau minta tolong servisin kamera di kios Mbak Dina”, jawab Nadia. “Pak Mamad mau beli apa?”
“Mau beli kapak Nad. Pohon-pohon yang ada di terminal udah terlalu besar, minta dipotong”, jawab Pak Mamad.
Setelah Jojo melayani Pak Mamad, ia segera mendatangi Nadia dengan peralatan servisnya. “Maaf mbak, nunggu lama ya?”
“Nggak kok, tenang aja”, jawab Nadia sambil tersenyum. “Ohiya, sekarang jam berapa Jo?”
Jojo mengambil gawai di sakunya, “Wah, hape ku mati mbak. Di rumahku juga nggak ada jam. Mbak nggak bawa hape?”.
“Enggak, ketinggalan di kios”.
Mereka pun segera pergi ke Kios Lavender.
***
Malam harinya, Mona berdiri di depan kulkas Kios Lavender. Ia menutup matanya, menghela nafas sebentar sebelum akhirnya membuka kulkas itu. Ia mengambil kotak besar yang ada di bagian bawah. Dikeluarkannya isinya, dan dimasukkannya beberapa uang ke dalam saku jaketnya.
Matanya berlinang. “Ini semua salah Mbak Dina. Kenapa dia meninggalkan uang di dalam kulkas? Kenapa dia memungut sampah sepertiku?”.
0 notes
endahharuhi · 4 years
Quote
Aku ingin sekali untuk bisa membaca isi hatimu. Tetapi aku tidak tahu apakah aku bisa untuk menerima jika ternyata bukan aku yang berada di dalamnya.
Would I be able to handle the truth? // A.W.
Jakarta, 31 Juli 2018.
(via surat-pendek)
1K notes · View notes
endahharuhi · 4 years
Quote
Kapan pertama kali kamu jatuh cinta?
Apakah cinta itu terbalaskan olehnya?
Apakah dia masih berada di hidupmu sampai sekarang?
A.W.
Jakarta, 25 Desember 2018.
(via surat-pendek)
659 notes · View notes
endahharuhi · 4 years
Text
Bahkan jika kamu simpan di dalam hati, Allah sudah lebih dulu mendengarnya sebelum sempat kamu utarakan.
—Taufik Aulia
2K notes · View notes
endahharuhi · 4 years
Text
“What if… ” - the two words that linger in my mind when I’m with you.
2K notes · View notes
endahharuhi · 4 years
Quote
Aku tidak membencimu. Aku hanya membenci diri sendiri yang ternyata setelah sekian lama berpisah, nyatanya aku masih diam-diam memiliki rasa untukmu. Dan aku juga benci bahwa ternyata diam-diam aku masih menyimpan harap jika kelak kita akan mempunyai sebuah kesempatan lagi.
(via mbeeer)
2K notes · View notes
endahharuhi · 4 years
Quote
It's not so much on how you started, but how you end
endah_haruhi 2020
0 notes
endahharuhi · 4 years
Quote
Aku tahu betul bagaimana seharusnya perlakuan seorang teman laki-laki kepada temannya dan kamu tidak memperlakukanku seperti itu. Kita berteman tetapi terkadang hal-hal yang kita lakukan membuat garis di antara teman dan sesuatu yang lebih itu menjadi kabur.
And friends don’t treat me like you do. - Ed Sheeran // A.W.
Bandung, 20 November 2017.
(via surat-pendek)
1K notes · View notes
endahharuhi · 4 years
Text
Mental Health
I've just finished online halaqah. Today we talked about mental health effects during this social-distancing time, because my teacher is a PhD-student at Copenhagen University. This lockdown time can lead us to feel stress, lonely, or even depressed. However Alhamdulillah none of us felt that way. Especially in my case, I'm okay to be alone, I don't feel bored, I'm good. Yet if I could throwback to the time when I just started my master studies, it makes me reminisce. During that time, I was alone -in the true meaning-. I lived in one-room-dormitory, I'm the only foreigner in my class, I didn’t speak their language well, I didn’t have any friends, I knew no one in town. I was the real loner. The bad thing, I'm an introvert. My mental health problem was worse. I could live without speak to people 24/7. I was in a really bad state. But now, I'm good. I'm used to being alone. I'm good during this Covid-19 battle.
0 notes
endahharuhi · 4 years
Video
youtube
Today is the 14th day of coronavirus lockdown in Poland. I’m doing well, but this morning I felt achy all over my body maybe because I kept lying on my bed without doing any exercise. All gyms are close and I couldn’t run in the park tho, while I found my yoga mat. Hahaha. So I decided to it. Wish me luck with 30 days of yoga. Today was my 1st.
0 notes
endahharuhi · 4 years
Quote
There are things that you can see clearly when you are alone. And it's not so bad to learn from loneliness. The less you expect, the calmer your days are. It's painful to genuinely want something. But I'm not without desires.
I’ll see you when the weather is nice
1 note · View note
endahharuhi · 4 years
Text
Warmhearted drama
I’ve just finished watching the 8th eps of I’ll Find You When The Weather is Nice. It’s such a romantic-warm Korean drama. I love this type of genre. When the male lead has long-term love for the girl since high school, but he kept hiding it. The male lead is an introvert-calm person who loves to read and own a bookstore in the countryside. While the female is a cellist who backs to her grand mother’s home town. The story began with a slow plot, but heartwarming. Kind a pure love line. I love the way he acts, like a tsundere. Not showing to the girl how much he loves her, but always be by her side. It types of drama that makes me want to make hot tea or coffee while watching it. 
0 notes
endahharuhi · 4 years
Video
youtube
I’ve never known that Paul Kim’s song is this deep. The title is Me After You. I could say that it’s a sweet song. It’s about happiness, gratefulness after he met her. Their affection is somehow cute. He knows that they meant each other. It’s kind of adult-mature-relationship, which I hope someday I can have one.
Also, what I love about Paul Kim is that he also made the sign language with this song. That’s so damn cool tho. 
This is the video of Paul Kim sings with sign language :)
https://www.youtube.com/watch?v=oKy2bCpQzCI
English Translation lyrics:
After I met you I've been happy with small changes In the dazzling morning I open my eyes by thinking of you I sit face to face with you at the table I ask about your day Or my day was pretty good I want to answer with smile When we understand each other about little things I was surprised with the fact that we got used to each other I love you Just like now when it's peaceful I want to be with you forever I thought that as I was looking at you I was so happy after meeting you I was able to love you so much Because you embraced and understood My young and immature mind warmly When we hurt each other with nonchalant tones I can't bear our distant relationship So I'm sorry Even now when I'm anxious I want to be with you forever I thought that as I was looking at you I was so happy after meeting you I was able to love you so much Because you embraced and understood My young and immature mind warmly After the hot summer With the sound of rain that I'll miss When I blush as I get shy I'll kiss your eyes as you'll have a lot in your mind Let's walk forward together Are you happy after meeting me, too? I'm sorry that I have more that I couldn't give you I'm selfish and unstable But I wanted to treat you well I think I found a perfect love That I've waiting for a long time Because you held me and gave me energy Because you hugged me by being considerate lovingly After I met you
0 notes
endahharuhi · 4 years
Text
Remembering you
It’s almost midnight, but I keep remembering you. Spotify keeps playing my favorite music of you. I don’t know why I feel so sentimental tonight. I also changed my desktop wallpaper -a photo of mine that you took last summer-. Ah, too many memories we shared last summer. It’s all about you. My very best friend whom I've never known that it will feel more than a friend. 
0 notes