Tumgik
ekategaa · 4 years
Text
Forgiveness Project #2: Meleburkan Dendam, Meninggikan Pemaafan
Tumblr media
Pernahkah kamu terbangun pada suatu pagi dan memulai hari dengan rasa tidak enak hati? Aku pernah, dan itu bukan hanya satu kali. Lama-lama, aku jadi bisa menebak kapan hal itu akan terjadi, yaitu jika di malam sebelumnya aku menutup hari dengan perasaan yang gusar dan pikiran yang kacau sebab ada dendam-dendam yang belum mampu kuredakan. Mencoba menyelesaikan dendam dengan memejamkan mata nyatanya tidak pernah menjadi solusi yang sebenarnya, hanya sementara. Namun, entah mengapa, terkadang aku merasa tidak memiliki pilihan lainnya.
Kamu tahu? Jika harus ada perasaan yang tak pernah ingin aku kenal, barangkali perasaan itu bernama dendam. Pun jika aku boleh meminta kepada-Nya untuk menghilangkan satu saja jenis perasaan yang ada, aku ingin meminta-Nya untuk menghilangkan dendam. Tidak hanya dari dadaku, namun juga dari dada-dada setiap manusia.
Bagiku, dendam adalah perasaan yang sangat merepotkan. Lebih rumit dari cinta, lebih berat dari sedih. Betapa tidak, saat malam sedang gelap-gelapnya, dendam bisa mengubah pikiranku menjadi tempat yang paling rumit sekaligus paling berbahaya. Kehadirannya di ruang pikirku membuat aku jadi harus membayangkan wajah-wajah yang lalu-lalang sembarangan, yang tentu saja sebenarnya tidak aku inginkan. Lalu, semua seolah menjadi bertambah rumit sebab setiap wajah yang terbayang itu membawa serta perasaan-perasaan yang kacau, yang … sudahlah, tak perlu kujelaskan.
Suatu hari, aku pernah bertanya-tanya tentang mengapa ada perasaan bernama dendam di dunia? Namun, sejurus kemudian, tanya itu kemudian bertemu dengan jawaban paling sederhana dari dalam kepala, bahwa barangkali inilah yang menjadi pemanis sekaligus pengantar hikmah diantara interaksi antarmanusia. Jika aku tidak pernah merasakan dendam, tulisan ini tak hadir, bukan?
Berkawan dengan dendam tak pernah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Rasanya seperti kita pergi berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer jauhnya, namun tangan kita menggenggam pisau yang tajam hingga darah-darah kita berceceran di sepanjangnya. Aku tak harus menceritakan bagaimana rasanya, kan? Kamu tahu apa yang paling menenangkan dari semua itu? Adalah ketika kita memilih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri, lalu mencabut pisaunya, meredakan darahnya, hingga memilih untuk berani mengobati luka-lukanya. Apakah ini sama dengan memaafkan? Ya, tentu saja!
Adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sosok teladan yang pernah mengajari kita dengan sempurna tentang meleburkan dendam dan meninggikan pemaafan. Saat itu, sesuatu yang besar lagi pelik sedang menimpa putrinya yang juga merupakan isteri yang disayangi oleh Rasulullah: ‘Aisyah. Seorang bernama Abdullah bin Ubay bin Salul menyebarkan sebuah berita yang berisi tuduhan bohong bahwa kehormatan ‘Aisyah telah ternoda. Berita itu membuat banyak orang menjadi terpedaya. ‘Aisyah pun sampai jatuh sakit seraya merasa kehilangan kelembutan dari sikap Rasulullah terhadapnya. Singkat cerita, hal ini membuat keluarga Abu Bakar berada di masa-masa yang sulitnya tiada terkira.
Aisyah tidak mampu membela dirinya sendiri, namun Allahlah yang membela dan membebaskannya. Kesuciannya diumumkan dari tujuh lapis langit melalui pesan cinta-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu …” QS. An-Nur : 11
Ketika kabar tentang ‘Aisyah itu turun, Abu Bakar Ash-Siddiq yang biasa menyantuni Misthah bin Utsatsah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan pernah menyantuni lagi Misthah, karena dia terpengaruh dan ikut menuduh ‘Aisyah.” Ada secuplik gambaran dendam dalam kalimat itu, bukan? Ah, tentu saja perasaan seorang ayah yang seperti ini tidak sulit untuk kita pahami. Lalu apa yang terjadi? Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bila Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” - QS. An-Nur : 22
Ayat ini mampu meleburkan dendam di hati Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga ia pun meninggikan dan mendahulukan pemaafan. Ya, ia memaafkan Misthah dan berkata, “Tentu, demi Allah. Aku lebih menyukai bila Allah mengampuniku.” Sejak itulah ia menarik sumpahnya Kembali dan menyantuni Misthah seperti biasanya. Tidak hanya itu, ia bahkan berkata lagi, “Demi Allah, selama-lamanya aku tidak akan pernah mencabut santunanku kepadanya.”
Belajar dari sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq, luluhlah perasaan dan merunduklah sikap diri sebab taat pada apa yang disampaikan-Nya. Maka, atas dendam kepada (si)apapun yang saat ini masih ada di hati kita, semoga Allah meluluhkan kita untuk kemudian memaafkannya. 
Sumber Ide: Al-Mishri, Mahmud. 2018. 35 Sirah Shahabiyah. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Ummat
___
Picture: Pinterest
200 notes · View notes
ekategaa · 4 years
Text
Tiap-tiap insan memiliki rasa yang seringkali harus dibagi..
Entah lewat tulisan, pun lewat tempat-tempat yang disinggahi.
0 notes
ekategaa · 4 years
Text
Untuk semua marah, kecewa, pun luka. Selain memberinya senyum, amunisi terbaik adalah meninggalkannya di belakang.
.
Kemudian saat mereka tetap mencari cacat dipunggungmu, engkau telah melangkah jauh di depannya.
0 notes
ekategaa · 4 years
Text
Dulu sekali, pernah hadir seorang teman yang hatinya masih terasa dekat hingga kini, meski raganya tak lagi dapat disentuh, tak lagi dapat menemani-sejak lima tahun lalu Allah memanggilnya kembali.
Ia salah satu teman terbaik yang Allah hadiahkan dalam hidup. Pemahaman literasinya sangat tinggi, seringkali membuat iri hati, namun tak berhenti disana, justru kedekatan membuat Ia menularkan hal-hal berarti.
Ia berbeda, tiap kali kesempatan datang (tak peduli sekecil apa), Ia habiskan untuk membaca, memahami bahasa, meluaskan pemikiran-pemikiran di kepala. Tiap kali uang saku tersisa (yang sering kali disengaja), Ia akan menuju satu tempat yang paling disukainya-gr*medi*. Dan, tak jarang ia meminjamkan bahkan memberikan buku-buku terbaik yang Ia punya sekaligus dengan pemahaman mendalam yang siap disampaika lewat kalimat-kalimat panjangnya. Dan yang begitu berbeda darinya adalah, Ia tidak pernah menyodorkan buku yang masih tersampul plastik, Ia akan pastikan isi buku berpindah ke kepalanya, barulah Ia akan meminta untuk membacanya, selanjutnya siapkan saja amunisi untuk diskusi-diskusi panjang dengannya, yang bisa saja kami lakukan sambil lari sore di lapangan bola, di tangga sekolah sambil menatap lalu lalang mereka, di pojokan ruangan yang paling jarang dikunjungi anak-anak lain di sekolah-pustaka, ataupun di balkon kamarnya sembari menghabiskan senja.
Buku-buku, tulisan-tulisan, juga pemikiran-pemikiran hebatnya masih tersimpan hingga kini. Sebagian dalam rak-rak buku, sebagian dalam helai-helai kertas binder, sebagian yang lain tersimpan jauh dalam relung hati. Mereka kerap dihadirkan kembali, saat kerinduan menghampiri, saat hati disapa sepi, saat keinginan mengunjungi makamnya tak juga berani terealisasi.
Dan kini, tiap kali menyentuh satu bagian rumah ini agar buku-buku itu tetap tertata rapi, Ia satu diantara banyak hal yang terkenang di hati.
Buku-buku pemberiannya pun yang pernah kita bincangkan bersama tetap berjejer dalam barisan yang ada, meski tidak lagi bertengger di tingkat pertama.
Diwaktu mendatang, saat Allah kumpulkan kembali semua manusia, semoga ada kesempatan untuk kembali bersua, di tempat terbaikNya.
.
.
0 notes
ekategaa · 4 years
Text
"Pilu = menatap langsung bercak sedih di mata Ibu"
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Percayalah, Nak..
Perjalanan kali ini, bukan tentang mengajarkan anak² sejak kecil betapa indahnya berbagi, betapa indah merasa cukup, betapa indah bekerja keras kemudian bersyukur apapun hasilnya. Namun, perjalanan kali justru Allah putar balik posisinya. Tentang seorang 'dewasa' (sebut saja si Ibu) yang belajar dari anak²nya. Perihal berpura juga menutup lara, si Ibu bisa jadi juaranya, namun lagi² ada hal² yang justru lebih melegakan untuk diingat selain dengan berpura—ialah keikhlasan menerima liku hidup yang Allah takdirkan, dan inilah pelajaran terbaik kali ini.
Tentang kehilangan orang terkasih yang merapuhkan, namun tak membiarkan hatinya patah.
Tentang merawat rindu yang memilukan, namun membuatnya melantunkan do'a yang kian merdu.
Tentang kerelaan melepas dan menunggu kembali yang melelahkan, namun meyakinkannya akan kebahagiaan yang terasa utuh kemudian.
Belum lagi tentang keluasan hati menyematkan satu nama baru di baris kedua setelah nama Ummi. Sungguh, cantik sekali kalian melakukannya Nak.
Karenanyalah, setelah perjalanan itu usai, setelah si Ibu mampu menyeka keringat yang luruh dari matanya untuk kesekian kalinya, melangitkan harapan adalah sedu sedan yang Ia nanti²kan.
Maka tiap kali Ia menengadahkan tangan dalam do'a, tak pernah alpa Ia sebut nama anak²nya bersanding bersama semua pinta. Apa² yang Ia panjatkan untuk dirinya, selalu pula Ia mohonkan untuk anak²nya.
Tumblr media
Untuk esok lusa Nak, jika rindu itu kembali membuncah, ingatlah bahwa ada bahu yang siap menampung tangismu yang pecah, ada hati yang tak akan membiarkanmu sendirian gundah.
Sungguh, percayalah..!
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Mungkin benar bahwa istimewanya seseorang, tidak dapat diukur dari seberapa kuatnya ia.
Namun, lebih pada seperti apa ia mampu kembali tegap berdiri tiap kali terjatuh.
Seperti apa ia mampu lebih cepat berlari tiap kali dijatuhkan.
Seperti apa ia mampu menahan balas atas kata pun laku yang tak pantas.
Tumblr media
Hei... tujuan di depan sana tak lantas berubah hanya karena kau dipandang menyedihkan.
Bahkan lebih dari itu pernah kau menangkan bukan?
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Dia dalam Semoga
Sebab jika lewat do'a, semua akan terkabarkan dengan bijaksana.
Tentang riuh riak hari yang terkubur dalam tenangnya.
Tentang resah gelisah yang terkikis sebab hangatnya.
Pun perihal pengharapan yang kan terlantun pada bait-bait para pecintanya..
Tumblr media
Semoga, debar debar halus tetap terjaga kala meniti waktu-waktu bersamanya..
Semoga, rangkai-rangkai kata tetap mendekatkan hati para pemiliknya..
Dan semoga, pilinan do'a kan memberi jawab, "Dia baik-baik saja."
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Bapak
Menjelang subuh pagi itu, gigil tubuhnya selepas turun dari kereta terkalahkan buncah campur aduk rasa tiap kali menapakkan kaki di kota itu.
Kota yang tumbuh menjalar liar pada keningnya—dengan penghuninya adalah wajah wajah membatu yang kerap dirindu.
Sayangnya lagi lagi Ia kembali tersesat pada banyak tanya yang membuat kakinya melangkah lambat. Entah rindu, entah dendam. Yang pasti sejak pertemuan tetakhir bertahun lalu, ia demam.
Subuh itu.. Lagi lagi tanpa persetujuan kepala, hati membawanya datang (atau juga pergi) tanpa peta, kompas, ataupun kenangan, berhenti di stasiun yang entah keberapa ini. Mencari-cari.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi, gigil tubuhnya kian menjadi, berteman dengan dinginnya bangku bangku stasiun yang turut membeku. Bisu.
Satu yang sempat samar terdengar dari lirih gumamnya, "Bapak tak akan datang menjemput."
—Di Stasiun Tugu aku kerap menunggu—dulu
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Pae
Beginilah mampuku.
Hanya berani menuliskan tentangmu, pada bait-bait dalam buku. Yang nantinya akan ditutup, kemudian berdebu..
Karena, tiap kali ingin menyebutmu, bahkan dalam do'a penuh rindu, bibir ini masih saja kelu.
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Sahabat Baik?
"Kita adalah sahabat baik," katamu.
Lalu kita meneriakkan mimpi, menyiapkan hati dan coba berlari mengejarnya bersama.
Kemudian, saat aku terjatuh sebab kerikil yg engkau mainkan mengenai kakiku, engkau memilih berbelok arah dan meninggalkanku di persimpangan tanpa menoleh bahkan setelah berkali-kali aku memintamu kembali.
Dan saat engkau terhenti dari larimu, saat aku hanya mampu berdiri termangu jauh di belakangmu, engkau teriakkan pada semua yg menatapmu, bahwa akulah penyebab lelah dan hancurmu.
.
.
Siapa yang harusnya terluka, aku ataukah engkau?
1 note · View note
ekategaa · 5 years
Text
Langkah yang hampir menyerah
Ia hanyalah raga berkaki dengan langkah-langkah yang hampir menyerah. Namun juga pewaris kepala yang tak menyisakan ruang untuk sebuah kata kalah.
Kabar baiknya adalah, saat sesuatu yang menjadi tempatnya berpijak dirasa tak lagi indah, Ia justru menemukan kunci untuk sebuah pintu yang harus dibukanya lebar-lebar. Dan sedetik sebelum hatinya kembali patah, guruh jiwanya lebih dulu menemukan tempatnya berlabuh—Allah.
Kemudian, peran Allahnya Yang Maha Baik itulah yang merubah Ia begitu banyak, lewat pertengkaran-pertengkaran pelik pada dirinya sendiri yang justru sering kali tak mampu Ia menangkan.
Satu hal yang begitu Ia syukuri hari ini—matanya tak lagi berteriak marah pada sesuatu yang tersimpan di balik rongga dadanya tiap kali tangannya tak mampu menggapai angan di kepala. Ia berteman baik dengan kata rela, setelah pertengkaran hebat yang menguras begitu banyak air dari telaga matanya.
Pada akhirnya, Ia hanya semakin lega ketika perjalanan waktu mampu mengantarkannya pada sebuah kesimpulan, bahwa masa kecil yang mulanya terasa begitu menyakitkan, masih layak dikenang tanpa harus dihapuskan. Masih bisa diputar sesekali tanpa harus merasa sakit lagi. Masih bisa kembali dikisahkan tanpa harus beriring dengan ratapan.
Ia hanya sedang belajar mengambil pelajaran.
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
_
Untuk hari-hari sesak yang bisa jadi membersitkan rasa kecewa pun marah, tugas hati adalah mengingatkan kepala untuk sejenak berhenti kemudian melihat kembali waktu yang sudah-sudah.
Sebab dalam langkah-langkah yang terjalani, tidak peduli benar ataupun salah yang berkali-kali, Allah tidaklah pernah menihilkan hikmah pada tiap jengkal jarak yang terlewati, bahkan pada ribuan menit khilaf yang kerap kali disesali sampai kini.
Maka berbaik sangkalah, berupayalah untuk sebuah kelembutan hati, juga penerimaan tanpa tapi..💕
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Rindu?
Gerimis yang kembali menyapa ketika aku sampai—lagi, seperti perintah langit untuk memperolok orang² yang kerap tersesat pada jalannya sendiri.
Rintiknya berbisik lirih, "Selamat datang kembali, benamkanlah seluruh lukamu di belakang, buatlah sepimu menyerah, luruh, kalah!" Namun tetap saja, riuh di kepala semakin liar dan tak sedikitpun ingin beranjak barang sejenak.
Malam semakin matang, dan bandara ini semakin sunyi terasa. Yang terdengar hanya gema jerit mereka untuk dapat tidur segera.
Aku?
Masih saja disibukkan dengan buncah campur aduk rasa yang tertinggal jauh di sana.
Terakhir kali, kuperiksa ranselku sekali lagi. Hasilnya, masih ransel dengan model dan berat yang sama, ransel yang tak berubah warna, juga isi ransel yang tak ada beda.
Namun, kurasa ada satu yang berbeda dari sebelumnya.
Rindu!
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Ianya..
"Terimakasih, satu bentuk sederhana untuk rasa syukur atas tiap-tiap penciptaan yang Allah hadirkan berpasangan, termasuk kemudahan setelah kesulitan, perpisahan juga pertemuan (kembali)." Begitulah kiranya pesan singkat yang Ia terima beberapa waktu lalu. Terhadapnya, Ia kerap membaca ulang pesan ini kemudian berupaya memaknai. Dan ketika mata terlalu banyak melihat, telinga terlanjur banyak mendengar, saat hati terasa begitu terlukai, ada simpul simpul mati yang mulai dihidupkan kembali—keinginan melembutkan hati itu sendiri.
Ianya membaca kembali pesan tadi, untuk perulangan yang tak terhitung lagi. Hingga Ia mulai percaya pada satu kalimat yang hampir dilupanya, "Allah menegur umatNya dengan banyak cara. Dengan banyak cara pula Dia mengetuk kekerasan hati mereka dan meminta untuk memaafkan satu sama lain," seketika luruhlah kecewanya pada mereka yang kerap dan sedang berprasangka tanpa mengajak bicara siempu perkara. Kala itu jua tersadarlah Ia, "Bertahan dan teruslah berlaku lebih baik atas perlakuan menyakitkan dari siapapun dia," yang jelas jelas telah Rabbnya perintahkan.
Maka kemudian Ianya hanya sanggup berucap dalam dua sandi—Istighfar untuk tiap tiap prasangka dari maupun terhadapnya yang semoga segera Allah jauhkan, serta Hamdalah untuk rasa syukur atas pengingat yang telah Allah kirimkan meski lewat hal hal memilukan. Pelajaran hebatnya adalah ketika Ianya semakin paham bahwa kelapangan hati dalam perbaikan diri adalah buah kasih istimewa yang perlu diupayakan, bukan sekedar diangankan.
Kini, Ianya begitu ingin berterimakasih, pada mereka atas tiap bulir prasangka (pada waktu waktu yang dihabiskan untuk memikirkan dan membicarakannya). Terlebih pada si pengirim pesan pun perantaranya (untuk seluas cinta dalam bentuk bukti nyata), juga pengirim sebelumnya, pun pengirim setelahnya, terpenting pada isi yang dikirimkan, "Pribadi elegan adalah hati hati yang mampu bertahan—pada buncah risau pun dalamnya puncak rindu. Atas riuhnya caci para pembenci juga untuk tidak membalas kembali."
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
Kau tak pernah tau!
Nada dering di ujung sana, terdengar layaknya jeritan pilu Ibu muda yang kehilangan anaknya—panjang dan mengosongkan kepala.
Kau tau, ini bukan pertama kalinya Ia mencoba. Menjadi 'orang lain' yang seolah hatinya baik-baik saja—menjadi seperti anak perempuan yang beranjak remaja sedang merengek pada bapaknya, agar diberi izin pergi ke bioskop bersama teman-temannya.
Kau tau, setelah panggilan ke tujuhbelas siang itu, beribu pucuk tawa pupus ketika kau tetap saja 'diam'—membiarkan panggilan itu berhenti dengan sendirinya, tanpa kau berniat menjawabnya.
Kau tau, setelah sekian lama, Ia hanya ingin menyampai kabar, tentang satu waktu yang mungkin kau lupa merencanakannya dulu—bersama Dia.
Yaa, benar saja, kau tidak akan tau apa apa yang pernah menjadi harapnya, juga apa apa yang sampai kini Ia rasa. Sebab, kau dan Ia bukanlah siapa-siapa, adalah beda yang tak akan menjadi sama.
Maka sudahlah, karena ini bukanlah kali pertama, Ia sungguh telah begitu akrab dengan ragam kecewa yang terus kau lukiskan. Untuk berikutnya, mungkin ini yang terakhir kalinya—tak akan pernah ada lagi.
Satu hal yang membuatnya lega, Ia tak lagi mampu mengingat raut tatap yang pernah kau hujankan, meski kau paling kuasa—piawai membuatnya lara!
0 notes
ekategaa · 5 years
Text
"Menuliskan tentangmu adalah cara terbaikku melarikan diri. Sejak kepala tak lagi sanggup menghidupkanmu di dalam hati"
—Pae
0 notes