Tumgik
dynstory · 1 year
Text
Menembus Waktu (6)
“Irma tidak mau menikah, Pak. Irma masih ingin sekolah” setelah seminggu dari obrolan waktu itu bersama Arina, akhirnya Irma memberanikan diri mengatakan yang sejujurnya tentang apa yang dia inginkan. Arina yang meyakinkan Irma untuk berani memilih masa depannya sendiri.
Mata Ayah Irma terbelalak, segelas kopi yang tadinya ingin ia minum, diletakkan kembali di atas meja “Maksudmu piye? Kok teko ra gelem rabi?” nada suara ayahnya meninggi.
“Nggeh kulo mboten saged kalih Mas Herman, Pak. Kulo tasih pengen sekolah” nada suara Irma bergetar, dia menunduk tidak berani menatap wajah ayahnya.
“Kowe nek wani karo bapakmu. Ora bakal bapak gelem bayar sekolahmu” ayahnya meradang. Dia berdiri di depan Irma, menggebrak meja makan.
Ibu Irma yang ada di ruang makan itu, berusaha menenangkan ayahnya “Wis tho, Pak. Nek pancen bocahe ora gelem rabi yoh ojo dipekso”
“Kowe kok malah bela anakmu, Bu? Kok malah ra bela aku? Anakmu kae arep ajar bangkang karo wong tuane” kini giliran ibu Irma yang terkena ledakan emosi ayahnya. Ibu Irma yang sudah mengenal tabiat suaminya, hanya terdiam. Dia memberi kode kepada Irma untuk masuk kamar.
Irma segera masuk ke dalam kamar. Air mata membasahi pipi Irma. Di dalam kamar, Arina bisa mendengar semuanya, ia menguping di balik pintu kamar itu.
Arina melihat seorang perempuan memakai dress putih dengan beberapa aksen bunga, masuk ke dalam kamar dengan mata sembab. Dia kemudian menghampiri Arina yang sedang duduk di ranjang tempat tidur Irma. Dari dalam masih terdengar suara Pak Budi yang marah-marah, entah apa saja yang diucapkan Pak Budi untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya karena putri satu-satunya tidak mau menuruti perintahnya.
“Aku bener tho,Rin?” Irma masih mengusap air matanya yang sesekali membasahi pipinya.
“Iya bener kok, Ma. Kamu berhak memilih apa yang kamu inginkan”
Dia menunduk, suaranya terdengar lirih, “Tapi sekarang bapak marah sama aku, Rin”
“Ma, ya wajar kalau bapakmu marah. Bapakmu pasti merasa sakit hati karena anaknya menolak permintaannya. Tapi Ma, kamu juga berhak memilih untuk masa depanku. Kamu harus buktikan kepada bapakmu bahwa pilihanmu itu tepat. Kamu harus buktikan itu dengan semangat belajar, raih nilai bagus, dan kejar cita-cita yang kamu inginkan” Arina memegang bahu Irma berusaha menguatkannya.
“Bapakmu juga suatu saat akan mengerti, Ma. Dia juga tidak mungkin marah lama dengan anaknya sendiri. Kamu kana nak kesayangan bapakmu” ucap Arina sembari tersenyum di hadapan Irma.
Irma teringat kejadian tiga hari lalu. Saat Mas Herman datang berkunjung ke rumah dan Irma menjelaskan apa alasan dia membatalkan pernikahan mereka dan tanpa perdebatan panjang, Mas Herman mengiyakan permintaan Irma.
“Tidak apa kalau kamu belum siap menikah denganku. Kamu juga masih sangat muda, aku pun sebenarnya ragu karena kuliahku belum selesai. Jadi, selesaikan saja sekolahmu dan kejar apa yang menjadi mimpimu, Ma. Perkara jodoh, kalau memang kita berjodoh juga pasti akan bertemu lagi” jawaban Mas Herman yang bijaksana cukup membuat Irma tenang.
Hal itu yang membuat Irma mantap untuk akhirnya membicarakan hal ini kepada ayahnya. Sudah saatnya Irma memilih sendiri jalur hidup apa yang dia inginkan.
“Masa muda cuma sekali, Ma. Wajar kalau kamu ingin memilih yang terbaik untuk hidupmu. Jangan ragu lagi. Buktikan kepada semua orang” Arina memeluk Irma.
“Makasih ya, Rin”
Semua terjadi di hadapan Arina. Melihat orang tuanya membatalkan pernikahan mereka. Mendengar jawaban ayahnya yang ternyata sangat “legowo” menerima keputusan ibunya. Arina sangat merindukan almarhum ayahnya, melihat masa muda ayahnya adalah hal yang sangat Arina syukuri. Meskipun rasanya Arina ingin memeluk ayahnya tetapi jelas itu tidak mungkin, Arina hanya memperkenalkan diri sebagai teman Irma. Itu saja.
Mereka melepaskan pelukannya.
“Terimakasih karena Ibu lebih memilih masa muda Ibu. Terimakasih karena Ibu lebih yakin untuk mengejar cita-cita Ibu. Terimakasih karena Ibu lebih berani untuk menyuarakan keinginan Ibu meskipun itu artinya harus mendengarkan kemarahan kakek. Terimakasih ya, bu. Ibu harus selalu bahagia karena Arina bahagia bisa menjadi anak Ibu. Mungkin setelah ini akan ada hal yang berubah tapi semoga Arina tetap bisa menjadi anak Ibu di masa depan” air mata haru membasahi pipi Arina. Ia mengucapkan semua itu tanpa jeda hingga Irma yang ada di depan Arina merasakan kebingungan.
“Maksudnya apa, Rin?” Irma menatap Arina.
Arina tersenyum sembari melambaikan tangan kepada Irma. Terlihat cahaya putih berpendar di sekujur tubuh Arina dan kemudian Arina menghilang. Tepat di hadapan Irma, Arina menghilang. Belum sempat Arina menjawab kebingungan Irma tapi Arina menghilang begitu saja. Irma bingung, tidak mengerti tapi satu hal yang pasti. Ada rasa sedih menyeruak di hati Irma. Irma menangis, menangisi kepergian Arina.
***
Sebuah mobil Alphard dengan nopol B 4312 HJ itu berhenti di sebuah lobi salah satu gedung tinggi di Jakarta. Perempuan berusia 36 tahun turun dari mobil itu, tubuhnya sedikit berisi, badannya cukup tinggi, dengan mengenakan jilbab berwarna biru dengan beberapa corak abstrak, blazer warna hitam menutupi bahunya beserta celana bahan yang membalut kaki jenjangnya dan heels warna biru tua membuat tampilan perempuan ini terlihat classy dan elegan.
“Selamat pagi, Bu Irma” setiap orang dalam gedung itu menyapa perempuan ini.
Perempuan ini menaiki lift menuju ruangannya yang ada di lantai 26. Ada dua orang asisten pribadi yang berdiri di belakangnya dan mengikuti setiap langkahnya. Langkahnya terhenti di salah satu ruangan yang ada di depan lift tersebut.
Perempuan itu duduk di kursi kerjanya yang empuk dengan bantalan kursi di bagian kepala. Ruangannya sangat luas, ada beberapa rak buku berjejer rapi, ada Televisi besar terpampang menempel di dinding ruangan ini, sofa empuk berwarna coklat dengan bahan kulit juga ada di ruangan perempuan ini. Di atas meja kerjanya, ada beberapa dokumen yang menumpuk beserta laptop. Dia mengecek beberapa dokumen yang ada di mejanya.
“Triing” terdengar suara ponselnya berbunyi menandakan ada whatsapp baru masuk.
“Nanti kamu pulang awal kan? Aku juga pulang jam 5 dari kantor. Ingat, kita ada janji dengan anak-anak” itulah pesan yang muncul di aplikasi whatsapp perempuan itu.
“Iya, sayangku. Siap” perempuan itu mengetik balasan di ponselnya dan mengirimkan ke salah satu kontak di ponselnya yang ia beri nama “Ayahnya anak-anak”
Perempuan tersebut tersenyum sambil memandangi wallpaper ponselnya. Terlihat ada foto mereka berempat yang terpasang di layar depan ponselnya.
5 notes · View notes
dynstory · 1 year
Text
Menembus Waktu (5)
Sebuah mobil Toyota Kijang Kapsul berwarna putih melaju melewati jalanan aspal yang terkadang ada lubang di beberapa titiknya, ada juga tambalan aspal yang membuat jalan tersebut terasa tidak mulus, sedikit bergelombang. Di sebelah kanan dan kiri jalan tersebut terlihat persawahan yang berjejer terlihat hijau dan asri. Gunung-gunung juga terlihat gagah dengan semburat-semburat awan biru bercampur orange dan matahari yang semakin berjalan ke arah barat.
“Jadi, kamu itu yatim piatu? Dan hari ini adalah hari pertama kamu masuk sekolah Mangun Karsa untuk mengurus kepindahanmu dari sekolah lama?” Irma menoleh ke kursi jok belakang.
“Ee-m i-ya, Irma. ” jawab Arina. Mata Arina yang sedari tadi terbius oleh pemandangan jalan yang indah kemudian reflek memandang ke arah jok bagian depan.
“Kamu memang sengaja pindah di akhir semester pertama sebelum liburan sekolah?”
“Iya benar biar lebih enak mengikuti pelajaran di sekolah baru langsung saat semester dua dimulai”
Sejak keluar rumah sakit tadi dan ayah Irma yaitu Pak Budi yang tak lain adalah kakek Arina sendiri berniat untuk bertanya mengenai alamat rumah Arina. Hall itu yang menyebabkan Arina untuk berpikir keras membuat cerita karangan yang masih terasa masuk akal hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Irma dan ayahnya, tentang asal-usul Arina. Timeline waktu di masa tempat Arina berada juga sama dengan masa Arina berada di tahun 2023 yaitu akhir pelajaran semester satu. Setelah mendengar cerita Arina, Irma dan ayahnya berniat memberikan tumpangan sementara bagi Arina. Dan kini, Arina bersama Irma dan ayahnya menaiki mobil ini untuk menuju ke rumah mereka. Iya, rumah yang tentu Arina juga mengenalnya.
Mobil Kijang ini melaju dengan cukup kencang melewati jalanan yang rasanya sangat Arina kenal namun dengan suasana yang agak berbeda. Jalan terlihat lebih kecil dengan aspal yang kasar. Beberapa mobil yang lalu lalang juga sangat sedikit, tidak seperti di zaman Arina di masa depan. Meskipun Arina masih kebingungan mengapa semua ini terjadi, tapi Arina menikmati perjalanan menjelajah waktu ini. Arina bisa melihat almarhum kakeknya kembali.
“Berarti aku bisa bertemu ayah lagi? Ini masa dimana ibu dan ayah dijodohkan kah? Atau jauh sebelumn mengenal ayah?” banyak pertanyaan terbesit di benak Arina.
Ada suasana haru ketika membayangkan hal itu. Bahkan bisa melihat almarhum kakeknya sekarang ada di jok kemudi bersama Arina itu juga terasa seperti mimpi.
Mobil berhenti di sebuah rumah dengan bangunan bertingkat dua lanntai. Halaman rumah itu terlihat sangat luas dengan garasi yang muat sekitar tiga mobil di samping rumah tersebut. Untuk ukuran rumah di zaman ini, rumah ini terlihat lebih mewah dibandingkan rumah lainnya di desa ini. Arina memang sangat mengenal rumah ini, rumah kakeknya. Keluarga ibu Arina memang cukup berada, kakeknya memiliki usaha peternakan ayam sementara neneknya berjualan ayam potong di pasar yang sama dengan tempat ibu Arina berjualan.
Mereka turun dari mobil dan mempersilahkan Arina untuk masuk ke dalam rumah. Rumah kakeknya ternyata tidak terlalu berubah dibandingkan dengan rumah kakeknya di masa depan tempat Arina berada. Hanya perabot-perabot dan alat-alat elektronik saja yang berbeda tetapi bangunan dan letak semuanya masih terlihat sama. Alat-alat elektronik itu terasa aneh di mata Arina, seperti TV yang berbentuk seperti tabung, speaker yang bentuknya tinggi dan cukup besar, dan masih ada DVD player. Sangat berbeda dengan zaman masa depan tempat Arina berasal.
Arina duduk di sebuah ruang tamu dengan berbagai pajangan foto ada di dinding-dinding rumah ini. Terlihat foto ibu Arina saat masih kecil dan beberapa foto adik ibu Arina. Iya, ibu Arina memiliki dua adik laki-laki kembar.  Arina sering memanggil mereka dengan sebutan Om Ardi dan Om Arda.
Beberapa saat kemudian, dua orang anak laki-laki yang masih memakai seragam SMP masuk ke dalam ruang tamu membawakan setoples rengginang dan yang satunya membawa nampan dengan dua gelas teh manis diatasnya dan meletakkan di atas meja yang ada di depan Arina.
“Ardi, Arda salim dulu ke tamu mbak Irma” ucap Irma yang muncul dari belakang mereka.
Mereka mengikuti apa yang kakaknya perintahkan dan kemudian berjalan ke belakang.
Benar. Usia adik-adik Ibu Arina tidak terpaut jauh, sama seperti Arina dan Irsyam yang hanya selisih tiga tahun.
“Ayo diminum, Rin. Seadanya saja”
Arina mengangguk, meneguk teh hangat yang dihidangkan. Mereka berdua kemudian bercerita tentang sekolah, guru-guru dan bahkan teman-teman yang ada di sekolah mereka. Tentu Arina hanya lebih banyak diam dan mendengarkan. Arina takut keceplosan dan malah salah bicara tentu akan menjadi masalah bagi Arina. Sesekali mereka tertawa bersama mendengarkan cerita-cerita lucu Irma. Mereka berdua sangat menikmati waktu kebersamaan ini. Apalagi bagi Arina, ini adalah hal yang langka. Ibunya yang terlalu sibuk mencari nafkah untuk Arina dan adiknya, serta untuk melunasi hutang-hutang peninggalan ayahnya membuat Arina jarang memiliki waktu bersama ibunya. Wajah ibunya yang sekarang ada di hadapan Arina dengan senyum dan tawa mengembang membuat Arina menyadari ternyata ibunya sangat penuh semangat dan sebahagia ini.
Berbeda.
Itu yang dapat Arina simpulkan ketika melihat ibunya yang Arina temui di masa depan dan masa tempat Arina berada sekarang. Bukan berarti di masa depan, ibu Arina terlihat sedih terus menerus tetapi Arina tidak melihat binar mata yang penuh semangat dengan aura kebahagiaan jelas terpancar di wajah ibu Arina saat ini. Arina tidak melihat itu.
“Nok, nanti malam Nak Herman mau main kesini lho ya. Jangan lupa kamu siap-siap dandan yang rapi. Suruh ibumu menyiapkan cemilan pisang goreng atau apa gitu ” suara Pak Budi memecah obrolan Irma dan Arina,
“Bapak pergi dulu ya ada urusan di kandang”.
Irma dan Arina mengangguk, melihat Pak Budi berjalan meninggalkan mereka.
“Padahal kita baru kenal ya, Rin. Tapi kok aku merasa nyambung banget sama kamu”
“Hahahaha. Iya yah, Ma. Aku juga merasa demikian”
“Pokoknya nanti semoga kamu pindah ke kelasku ya. Kamu IPS juga tho, Rin”
“Iyaaa… semoga kita bisa satu kelas” jawab Arina
“Hmmm…tapi mungkin saja kita tidak bisa sekelas, Rin” nada Irma berubah terasa lebih sendu.
“Kenapa?” tanya Arina penasaran.
“Aku mungkin akan menikah dua bulan lagi”
Benar dugaan Arina. Ini adalah masa-masa orang tuanya dijodohkan. Ini adalah masa dimana ibunya berhenti melanjutkan sekolahnya dan akhirnya memulai perjalanan pernikahan bersama ayah Arina. Pernikahan yang di mata Arina seperti merenggut masa muda ibunya.
Irma kemudian menceritakan semuanya dari awal dia bisa berkenalan dengan Herman hingga ayahnya memaksa Irma agar segera menikah dan tidak perlu menyelesaikan sekolahnya.
“Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi toh ujungnya juga sama saja. Lihat ibu dan bapakmu sekarang, Irma. Kami tidak sekolah pun bisa sukses seperti ini” itulah kata-kata yang sering Irma dengar dari mulut ayahnya.
 “Jadi? Kamu mau menikah dengan orang itu, Ma?” tanya Arina pada Irma yang duduk di hadapannya. Ada raut kesedihan di wajah Irma ketika bercerita mengenai hal ini. “Orang itu” orang yang Arina sebut dengan panggilan itu tidak lain adalah ayahnya sendiri, Herman.
 “Sebenarnya aku tidak mau menikah muda, aku masih ingin sekolah, bermain bersama teman-temanku, lulus sekolah dan bisa mewujudkan cita-citaku” Irma menunduk, air matanya menetes.
Hati Arina hancur melihat Irma seperti ini. Sosok wanita kuat yang ia kenal ini sekarang ada di hadapannya, sedang mencurahkan semua isi hatinya yang jarang Arina dengar sebelumnya. Arina mendekati perempuan itu dan memeluk perempuan ini sambil mengusap bahunya untuk menenangkan perempuan ini.
“Kenapa kamu tidak menolak perjodohan ini, Ma? Kalau kamu memang tidak ingin menikah, coba bicarakan dengan kedua orang tuamu”
“Aa-ku takut, Rin. Bapakku orang yang sangat keras, Rin. Aku takut” tangis Irma semakin deras.
 Arina masih memeluk Irma. Irma yang usianya sama dengan Arina. Irma yang tak lain adalah ibunya di masa depan. Arina juga merasakan kesedihan yang sama ketika melihat ibunya seperti ini, ia hanya menahan air matanya agar tidak ikut menetes.
 “Apakah ini sebabnya aku kembali ke tahun 2004? Apakah aku harus membatalkan pernikahan mereka? Tapi bagaimana caranya?” pikiran-pikiran itu terbesit di kepala Arina.
0 notes
dynstory · 1 year
Text
Menembus Impian (4)
“Alhamdulillah kamu sudah sadar”, ucap perempuan yang ada di hadapan Arina, “tadi kami menemukan kamu pingsan di jalan raya depan sekolah. Ada luka kecil di pelipis sebelah kiri kamu tapi kata dokter sih aman”.
Arina terdiam, kebingungan menatap wajah perempuan itu. Wajah perempuan ini sangat tidak asing bagi Arina tetapi juga tidak seperti yang biasa ia kenal. Seorang pria paruh baya masuk ke dalam ruangan mengenakan kaos hitam corak abstrak yang masuk rapi ke dalam celana lengkap dengan sabuk yang terpasang di pinggang.
Pria itu berjalan mendekat, berdiri di depan perempuan yang sedari tadi ada di samping ranjang Arina dan berkata “Loh, koncomu wis sadar tho, Nok”
Kakek. Jelas wajah sosok pria yang sekarang ada di hadapan Arina adalah Almarhum kakeknya yang sudah meninggal empat tahun lalu. Tetapi mengapa kakek ada disini?. Mengapa kakek terlihat lebih muda?. Dan wajah perempuan tadi sangat mirip dengan ibunya? Tapi kenapa ibu Arina memakai seragam sekolah? Badannya juga terlihat lebih kurus dan kecil tidak seperti ibu Arina yang sering ia lihat. Sebenarnya apa yang terjadi sekarang?. Semua pikiran itu berkecamuk di dalam kepala Arina.
“Apakah aku bermimpi? Atau aku sudah mati?” batin Arina.
Arina mencubit tangan kanannya, “Awww” rintih Arina.
Ternyata dia bisa merasakan rasa sakit. Lalu sebenarnya ada apa ini?
Perempuan dan pria itu juga kebingungan melihat tingkah Arina. Dia mengambil segelas air putih yang ada di meja sebelah tempat tidur dan menawarkan kepada Arina, “Kamu mau minum?”.
Arina mengangguk. Pria paruh baya itu dengan sigap menaikkan bagian ranjang atas yang menopang kepala Arina dengan memutar katrol yang ada dibelakang ranjang.
“Segini cukup, Nak?” tanya pria itu.
“Cukup”
Posisi kepala Arina saat ini menjadi lebih tinggi dibanding badannya sehingga memudahkan Arina untuk minum. Dia mengambil gelas berisi air putih dari perempuan itu dan meminumnya secara perlahan.
Arina meletakkan gelas itu di meja sebelah kirinya. Tiba-tiba mata Arina tertuju pada sebuah kalender yang ada diatas meja.
“TAHUN 2004”
Arina mengambil kalender itu dengan tangan kirinya dan bertanya kepada dua orang yang ada di hadapannya, “Kenapa ada kalender ini di meja?”
“Ya mungkin agar pasien tahu sekarang tanggal berapa” ucap perempuan itu santai sambil tersenyum ke arah Arina.
“Tulilit…Tulilit...Tulilit…Tulilit”
Terdengar suara seperti dering handphone. Ada sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang yang terlihat menyala berkedip-kedip dari saku baju pria paruh baya itu. Dia lalu mengeluarkan benda itu kemudian keluar ruangan, meninggalkan Arina dan perempuan itu diruangan ini.
“Tapi kalender ini kan sudah lama” ucap Arina sambil membuka tiap halaman kalender itu.
Perempuan itu bingung dengan kalimat Arina, “Ini kan kalender tahun ini. Tahun 2004”.
“Hah? Tahun ini? Tahun 2004?”
“Iya benar. Kamu lupa ya? Atau jangan-jangan kamu jadi amnesia? Kok kamu seperti kaget begitu”
Deg. Arina shock. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang dialami sekarang. Kenapa bisa sekarang tahun 2004?.  Jadi perempuan yang ada di hadapannya…
“Namaku Irma. Kalau kamu?” perempuan itu mengulurkan tangannya.
Ketika mendengar nama perempuan itu, Arina ingin tidak percaya tapi semua kejadiannya nyata terjadi di hadapan Arina. Tentang wajah perempuan ini mirip dengan ibunya. Tentang sosok pria paruh baya yang terlihat mirip seperti wajah almarhum kakeknya. Tentang kalender tahun 2004 yang ada di meja. Dan yang terakhir nama perempuan ini adalah Irma, persis seperti nama ibunya.
“Apakah aku kembali ke masa lalu?” pikir Arina. Terdengar konyol tetapi alasan logis apa yang bisa menjelaskan keadaan saat ini selain melewati mesin waktu. Bahkan alasan ini pun sebenarnya sulit diterima akal sehat Arina.
Arina dengan canggung menjawab pertanyaan Irma, “Aku Arina…”
“Oh salam kenal Arina, tapi sebenarnya aku penasaran tadi kamu kok bisa pingsan di tengah jalan? Ada apa?”
Arina bingung. Dia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan Irma. Tidak mungkin dia menjelaskan bahwa dia berpindah tempat atau semacam masuk mesin waktu. Tentu hal itu tidak mungkin bisa dipercaya Irma. Arina berpikir sejenak, merangkai jawaban apa yang seharusnya dia katakan kepada Irma.
“Hmmm… aku hanya ingat tadi sedang menyebrang jalan dan tiba-tiba terbangun di ruangan ini” Arina menjawab dengan gugup.
Setidaknya memang benar itulah ingatan terakhir Arina. Dia berjalan menyusul teman-temannya yang sedang duduk lesehan di depan warung mi ayam favorit mereka. Itu saja yang ada di ingatan Arina.
Arina melirik seragam sekolah yang dipakai Irma. Ada badge yang terpasang di lengan baju sebelah kanan dan tertulis “SMA Mangun Karsa”.
Arina teringat dahulu ibu Arina juga bersekolah di SMA yang sama dengan Arina.
“Owalah gitu tho. Tapi kok aku merasa ndak pernah lihat kamu ya di sekolah. Memang kamu kelas berapa, Rin?”
“Aa-ku kelas XII”
“Hah? Kelas XII? Kok akeh men tekan kelas XII kan mung ono kelas 1,2,3”
“Ooh…emm maksudku kelas 3”
“Loh … aku juga kelas 3 tapi kok ndak pernah ketemu ya”
Pembicaraan mereka terhenti karena kehadiran pria paruh baya yang tadi sempat keluar, kembali masuk ke dalam ruangan. Sekarang Arina bisa sangat yakin bahwa pria tersebut adalah kakek Arina.
“Rin, ini bapakku. Tadi aku dan bapak yang membawa kamu ke rumah sakit ini”
“Oh yoh, nduk. Kenalke nama bapak Pak Budi, bapak’e Irma” ucap Pak Budi dengan nada ramah.
“Tadi bapak sudah ketemu dengan dokter di depan. Katanya kamu boleh pulang kalau infusnya sudah habis. Mungkin sekitar 30 menit lagi. Nok, bantuin beres-beres barang temanmu tadi.”
“Siap, Pak”
Tidak banyak yang perlu Irma bereskan. Karena hanya ada sebuah tas ransel warna biru muda, barang satu-satunya yang Arina miliki. Tas ransel itu terlihat kusut, ada bercak-bercak debu yang menempel karena Arina jatuh tadi.
Infus yang terpasang di tangan kanan Arina terlihat sudah habis. Seorang suster dengan setelan warna putih, masuk ke dalam ruangan.
“Saya lepas ya, dek. Tahan sedikit mungkin akan terasa sakit” suster tersebut mencabut dengan perlahan jarum suntik yang menempel di tangan Arina.
Arina meringis menahan sakit. Setelah infus terlepas, Arina bersiap turun dari ranjang. Irma dengan sigap mengambilkan sepatu Arina dan memakaikan sepatu itu ke kedua kaki Arina. Arina turun perlahan dari ranjangnya, dan Irma memapah tubuh Arina.
“Hati-hati ya, Rin” tangan Irma merangkul badan Arina
“Semua biaya rumah sakit sudah bapak bereskan. Nanti biar bapak antar kamu pulang ke rumahmu. Alamat rumahmu mana, Nduk?”.
 Kebingungan kembali menyergap pikiran Arina. Bagaimana Arina menjawab pertanyaan kakeknya sendiri?. Apa yang harus Arina katakan?. Semuanya memang masih membingungkan. Haruskah Arina berkata yang sebenarnya bahwa Arina adalah anak Irma dan cucu Pak Budi?. Bagaimana mungkin mereka bisa percaya?.
0 notes
dynstory · 1 year
Text
Menembus Waktu (3)
Semester pertama untuk tahun ajaran ini telah berakhir. Murid-murid SMA Mangun Karsa sudah tidak ada kegiatan mengikuti pembelajaran di kelas. Mereka masih masuk sekolah untuk mengikuti kegiatan classmeeting yang diadakan oleh OSIS sekolah tersebut. Banyak kegiatan yang bisa diikuti oleh murid-murid SMA Mangun Karsa. Ada berbagai perlombaan olahraga seperti voli, basket, sepakbola bahkan ada pentas musik yang diselenggarakan jam 1 siang nanti. Suasana sekolah terlihat ramai, sorak-sorai suara pendukung pertandingan basket yang sedang berlangsung antara kelas XII IPS 1 dan kelas XI IPA 2 terdengar hingga ruang kelas Arina. Ruang kelas itu terlihat sepi hanya ada empat orang siswi yang sedang duduk berdempetan dengan posisi kepala menghadap ke satu titik yang sama yaitu laptop yang sedang menyala. Keempat siswi itu adalah Arina, Tia, Mita dan Rani.  Arina beserta ketiga sahabatnya memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton film di Disney Hotstar menggunakan laptop ASUS milik Mita.
“Hah? Jadi ending cerita filmnya seperti ini? Bapak Rini juga ikut sekte pengabdi setan?” tanya Rani setelah film Pengabdi Setan 2 yang mereka putar berakhir.
Mita menurunkan jaket yang sedari tadi menutupi wajahnya  “Aku sih enggak tau, Ran”.
“Yeeee…. Kowe awit mau pancen ora nonton film, Mit” Tia menyenggol bahu Mita yang duduk disebelahnya.
“Lah piye yoh film e medeni tenan. Aku wedi”.
“Hahahahahahaha…..” Rani dan Arina tertawa  mendengar jawaban Mita.
Diantara mereka berempat memang hanya Mita yang takut menonton film horror. Dari awal film Pengabdi Setan 2 diputar, Mita hanya menutup wajahnya dengan jaket hingga film usai. Sesekali dia mengintip dan bertanya kepada teman-temannya tentang alur cerita film tersebut.
Mita mematikan laptop dan memasukkan ke dalam tas ransel miliknya. Jam sudah menunjukkan setengah dua belas siang. Mereka berempat masih asyik mengobrol sembari makan keripik pisang coklat yang tadi Arina beli dari kantin sekolah.
“Makan yuk? Laper nih” ajak Rani kepada ketiga sahabatnya.
“Makan dimana, Ran?” timpal Arina.
Rani sejenak berpikir. Terbayang mi ayam ceker dengan kuah coklat kental favoritnya ditambah sambal cabai rawit rebus sehingga menghasilkan perpaduan rasa pedas dan manis yang menggugah selera. Rani menelan ludah membayangkan semangkok mi ayam itu.
Tiba-tiba terdengar suara celetukan Tia “Gimana kalau kita makan mi ayam ceker Pak Manto?”.
“Ayooookkk…” ketiganya menjawab dengan kompak tanda mengiyakan ajakan Tia.
Rani berkata sembari membuat tanda saranghae dengan jarinya “Aku tadi lagi mikirin mi ayam ceker itu juga loh, Ti. Hahahah ternyata kita memang sehati”.
Mereka berempat mengemas barang-barang, memasukkan ke dalam tas ranselnya dan berjalan beriringan menuju keluar kelas. Melewati koridor sekolah yang penuh dengan siswa-siswi duduk di bangku-bangku panjang yang ada di setiap depan ruang kelas. Dari kejauhan terlihat lapangan sepakbola yang masih ramai dengan penonton, menandakan pertandingan tersebut belum selesai.
Mereka berempat telah sampai di depan gerbang sekolah. Persis di sebrang jalan tempat mereka berdiri, terlihat sebuah bangunan dengan cat warna biru. Ukuran bangunan tersebut tidak terlalu luas dan terpampang sebuah papan nama “Mi Ayam Ceker Pak Manto”. Warung mi ayam tersebut terlihat penuh dengan pengunjung yang juga berseragam putih abu-abu. Ada juga beberapa orang yang memilih makan mi ayam di depan warung dengan beralaskan tikar karena di dalam sudah tidak ada lagi tempat duduk.
Jalan raya di depan SMA Mangun Karsa tidak terlalu padat tetapi lumayan ada beberapa motor dan mobil berseliweran. Arina, Tia, Mita dan Rani bergandengan tangan, bersiap untuk menyebrang jalan tersebut.
“Arin, iku tali sepatumu ucul” Tia menunjuk ke arah sepatu Arina.
Arina melepaskan gandengan tangan Tia dan buru-buru jongkok untuk membetulkan tali sepatunya yang terlepas.
“Kalian nyebrang duluan aja. Aku benerin tali sepatuku dulu” ucap Arina.
Ketiga temannya akhirnya menyebrang jalan terlebih dulu sesuai permintaan Arina.
“Riiiiiiinnnnnn, nggon mu nganggo sawi ora?” teriak Rani dari sebrang jalan.
Arina menjawab dengan anggukan kepala.
Jalanan terlihat lengang, Arina bersiap melangkahkan kakinya untuk menyebrang ke arah warung mi ayam. Terlihat tiga temannya duduk lesehan di depan warung itu, Arina berjalan perlahan sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
“Braaaakkkkkkkkkkk” terdengar suara benturan yang cukup keras.
Sebuah motor melaju dengan cukup kencang dan tanpa sempat Arina menghindar, tubuhnya terhempas oleh motor itu hingga Arina jatuh tidak sadarkan diri.
Ketiga sahabatnya reflek langsung berteriak “Arinaaaaaaaaaa”
 ****
Arina perlahan membuka matanya. Dia memperhatikan sekelilingnya, terlihat tirai berwarna abu-abu mengelilingi tempat tidurnya. Ada infus yang terpasang di tangan kanannya. Kepala Arina terasa nyeri, dia memegang pelipisnya dan terasa ada perban yang menempel di area itu. Mata Arina tertuju pada sosok perempuan yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku di sebelah ranjangnya. Wajah perempuan itu tidak asing bagi Arina.
“Ibu…” Ucap Arina
Perempuan berseragam putih abu-abu itu terkejut mendengar suara Arina. Dia bangun dari kursi dan mendekati ranjang Arina.
“Ibu….” Arina kembali mengucapkan kata itu sambil menatap wajah perempuan yang ada dihadapannya. Wajah perempuan tersebut terlihat kebingungan mendengar Arina memanggilnya demikian.
0 notes
dynstory · 1 year
Text
Menembus Waktu (2)
Semua terekam dalam memori Arina. Bagaimana dia menghabiskan masa kecilnya. Bagaimana kedua orang tuanya mendidik dan merawatnya. Dalam memori masa kecil Arina, sosok ayahnya yang biasa dia panggil Bapak adalah orang yang penyayang dan hangat. Bahkan dulu, Arina merasa Bapak lebih penyayang daripada Ibunya. Bagi Arina kecil, Bu Irma adalah sosok yang galak dan lebih menyayangi Irsyam. Itulah gambaran kenangan Arina terhadap kedua orang tuanya. Arina memang lebih dekat dengan ayahnya. Tapi ada memori lain yang terekam oleh Arina kecil yaitu pertengkaran kedua orang tuanya. Orang tua Arina tidak pernah secara langsung bertengkar di depan Arina dan Irsyam.
Namun , malam itu Arina kecil yang masih berusia 9 tahun sedang kebingungan mencari ayahnya. Biasanya setiap malam, ayahnya membantu Arina mengerjakan PR-PR sekolahnya. Tapi kali ini berbeda, sejak selesai sholat isya tadi, Arina tidak menemukan dimana ayahnya. Arina berjalan menyusuri rumahnya, di ruang tamu tidak ada, di area ruang makan tidak ada, lalu dia melihat pintu kamar orang tuanya terbuka dengan lampu kamar yang mati.
“Apa mungkin bapak ada di dalam kamar ya? Tapi kok lampunya mati?” batin Arina.
Arina melangkahkan kaki kecilnya perlahan menuju kamar itu. Saat sudah di depan pintu, kepala Arina melongok ke dalam kamar . Gelap tetapi masih ada berkas-berkas cahaya dari lampu ruangan sebelah yang masuk dari sela-sela jendela kecil di kamar itu.
Tidak ada. Arina tidak menemukan ayahnya. Dia hanya melihat ibunya sedang duduk di atas ranjang. Kedua tangan Bu Irma menutup mulutnya. Meskipun cahaya di kamar itu  temaram, tetapi Arina jelas melihatnya. Arina melihat ibunya sedang menangis. Air mata Bu Irma jatuh membasahi pipinya. Arina terdiam. Dia terkejut melihat apa yang ada dihadapannya. Banyak pikiran-pikiran berkecamuk di dalam otak Arina. Meskipun saat itu usianya masih sembilan tahun, tapi Arina kecil sudah cukup bisa memahami bahwa ada yang terjadi diantara kedua orang tuanya. Di lain waktu, Arina juga melihat kedua orang tuanya tidak saling bertegur sapa dan tidak saling memperhatikan. Kehangatan itu tidak ada. Meskipun ayah Arina tidak pernah marah dan bersikap lembut kepadanya, ibu Arina pun meskipun kadang agak lebih cerewet dan suka mengomel tapi Arina bisa merasakan kehangatan kasih sayang ibunya. Tapi kehangatan ibu dan ayahnya sebagai suami istri, itu yang tidak Arina rasakan. Seolah mereka berdua hanya tinggal di satu tempat yang sama tetapi tanpa menyamakan tujuan.
“Tidak, Ibu tidak menyesal menikah muda karena dijodohkan” jawaban Bu Irma menyadarkan Arina dari lamunannya.
Arina bangun dan kembali duduk di sebelah Bu Irma. Sesaat suasana muncul suasana hening diantara mereka berdua.
“Kalau menikah dengan bapak? Apa ibu pernah menyesal?”
“Pernah”
Arina tidak kaget mendengar jawaban itu keluar dari mulut ibunya. Ingatannya kembali menerawang. Iya Arina ingat, puncaknya saat dia duduk di kelas 5 SD.
Usia Arina saat itu 10 tahun, sedangkan Irsyam masih 7 tahun. Minggu sore seperti biasa, saat Arina dan Irsyam sedang asik menonton acara televisi kesukaan mereka. Bu Irma pulang dari pasar. Sendirian. Arina heran melihat ibunya pulang sendirian tanpa ayahnya. Hingga matahari mulai terbenam dan langit mulai gelap, ayahnya belum juga pulang. Arina yang merasa bingung kemudian bertanya kepada Bu Irma yang sedang duduk bersila di karpet sembari menghitung uang penghasilan kios hari ini.
“Ibu, kok bapak belum pulang? Biasanya ibu dan bapak pulang bersama”
Bu Irma terdiam, tangannya berhenti merapikan lembaran-lembaran uang yang masih ada diatas karpet. Dia memeluk anaknya.
“Arin… Untuk sementara Bapak tidak pulang ke rumah ini dulu. Arina dan Irsyam masih bisa ketemu bapak. Tapi di rumah ini, sekarang kita bertiga dulu ya, Nduk” suara Bu Irma gemetar.
Air matanya pecah, dia memeluk Arina lebih erat. Arina menangis di dalam pelukan Bu Irma, sesekali dia berteriak memanggil ayahnya.
Di minggu-minggu berikutnya setelah kejadian itu, setiap hari minggu Arina dan Irsyam bertemu dengan ayah mereka. Ayah Arina kembali ke rumah orang tuanya. Di rumah Mbah nya itulah, Arina dan Irsyam menghabiskan waktu bersama ayah mereka. Hari Minggu menjadi hari yang berharga bagi Arina dan Irsyam karena saat itulah dari pagi hingga sore, mereka bisa bertemu dengan ayah mereka. Dan setiap kali harus berpisah dengan Ayahnya, Arina merasa sangat sedih. Terkadang dalam hatinya bertanya-tanya mengapa keluarganya menjadi seperti ini. Iya, benar. Ingatan masa kecil itu kembali.
“Dulu…. Sebelum kejadian bapak dan ibu pisah rumah. Ibu sempat menyesal menikah dengan bapak. Ibu merasa kecewa dengan bapak. Ibu juga marah dengan kakekmu yang dulu menjodohkan kami berdua.  Saat itu usia ibu 17 tahun dan bapak berusia 22 tahun. Saat itu bapak masih kuliah di Jogjakarta, sudah semester akhir. Ibu harus berhenti sekolah karena kakek memaksa ibu untuk segera menikah dengan bapak”
“Lalu…?” Arina bertanya dengan nada penasaran seolah tidak sabar mendengarkan kelanjutan kisah orangtuanya.
“Awal menikah bapak dan ibu LDR, bapak melanjutkan kuliahnya di Jogja, ibu berhenti sekolah dan meneruskan kios nenek kamu. Karena ibu sudah menikah, jadi nenek memberi ibu modal sebuah kios itu yang sampai sekarang alhamdulillah makin berkembang.”
“Jadi? Dari awal menikah ibu cari uang sendiri? Bapak tidak menafkahi ibu?”
“Iya, Nduk. Ibu sudah terbiasa mencari uang sendiri sejak menikah. Hmmm.. bapak tidak pernah menafkahi ibu. Kuliah bapak juga tidak selesai. Akhirnya bapak pulang ke Magelang, beberapa kali mencoba untuk berbisnis tetapi selalu gagal”. Bu Risma menghela napas terlihat raut kesedihan di wajahnya.
Sebenarnya Arina pernah mendengar cerita ini. Beberapa kali saat ibunya sedang mengobrol dengan nenek Arina yang sering Arina panggil “Mak’e”, terkadang Bu Risma menceritakan hal ini. Tentang ayahnya yang tidak menafkahi, tentang ayahnya yang pemalas tidak mau bekerja, cuek terhadap istrinya bahkan ayah Arina sering tidak jujur masalah finansial. Itulah penyebab mereka pisah rumah kala itu. Bu Risma tidak pernah terang-terangan berbicara keburukan tentang Pak Herman yaitu ayah Arina di depan anak-anaknya. Tapi pada akhirnya Arina mendengar dan mengetahui sendiri cerita tentang ayahnya.
“Tapi…. Setelah kejadian pisah rumah yang membuat bapak dan ibu rujuk kembali. Bapak kamu benar-benar berubah, Rin” senyum Bu Risma mulai mengembang di wajahnya.
“Berubah bagaimana bu?”
“Semuanya benar benar berubah. Bapak menjadi lebih perhatian dengan ibu. Bapak juga menjadi rajin bekerja membantu ibu mengurus kios. Masa-masa itu benar-benar membuat ibu bahagia, Rin. Selama 15 tahun pernikahan kami, tiga tahun terakhir sebelum bapak pergi. Itu adalah masa terindah menurut ibu, Rin” mata Bu Risma berkaca-kaca. Semua ingatan tentang suaminya memenuhi ruang-ruang pikiran dan hatinya.
Iya benar. Ayah Arina, Pak Herman telah meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan.
Arina memandangi wajah ibunya yang sedang tertegun bersama kenangan-kenangan pahit manis pernikahannya. Wanita terkuat yang Arina kenal dalam hidupnya. Wanita mandiri yang berjuang sendiri untuk kebahagiaan anak-anaknya. Wanita yang sabar dalam penantian dan kekecewaannya menunggu suaminya berubah.
“Tapi kenapa hanya tiga tahun? Tiga tahun saja ibu merasakan menjadi istri dan memiliki suami seutuhnya? Kenapa hanya tiga tahun Ya Allah?” batin Arina sembari memeluk ibunya.
Televisi yang sedari tadi masih menyala, tidak mereka berdua hiraukan. Ibu dan anak ini seolah terlarut kedalam kenangan-kenangan yang tiba-tiba muncul satu persatu.
Setelah percakapan panjang malam ini, Arina semakin kagum dengan sosok ibunya. Arina merasa bangga dan terharu mendengar semua perjuangan yang telah ibunya lalui hingga detik ini. Bagi Arina, sosok ibunya adalah anak yang penurut, rela melepaskan kesenangan masa muda nya untuk mengikuti perintah orang tuanya. Ikhlas menanggung semua penderitaan pernikahannya tanpa sedikitpun mengeluh ataupun menyerah. Dan ketika masa kebahagiaan itu datang, tiba-tiba Allah mengambilnya dan sekali lagi Bu Risma harus belajar arti ikhlas.
“Pasti tidak mudah ya, bu melewati ini semua” Arina masih memeluk erat ibunya.
“Andai waktu bisa diputar kembali….” Ucap Arina lirih.
2 notes · View notes
dynstory · 1 year
Text
Menembus Waktu (1)
“Arin…. Pulang sekolah kita nongkrong yuk? Di kafe  daerah Kebondalem itu loh, Rin” suara Mita berbisik sambil merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas nya.
“Sssstt… nanti dulu bahasnya Mit. Kita berdoa dulu” Arina menundukkan kepala setelah mendengar aba-aba dari ketua kelas mereka untuk berdoa sebelum pulang.
Beberapa saat kemudian Bu Imas Guru Matematika Ekonomi yang mengajar di jam terakhir mengucapkan salam  sebagai tanda kelas siang ini terlah berakhir. Anak-anak SMA berseragam putih abu-abu itu pun segera berhamburan keluar kelas. Arina dan Mita juga terlihat berjalan beriringan di koridor sekolah.
“Ayok, Rin? Kamu bisa kannn?” Mita berdiri di depan Arina sehingga langkah Arina pun terhenti.
“Please?’ ucap Mita memelas sambil menempelkan kedua telapak tangannya seolah seperti memohon.
 “Aku ngga bisa, Mita. Aku harus bantu ibuku” Arina tersenyum sambil berusaha mendorong pelan bahu  Mita.
“Yah… Arin, sesekali aja kan nggak apa tho” Mita melanjutkan langkah kakinya meskipun dengan wajah yang cemberut. Mereka berdua berjalan menuju parkiran motor yang ada di samping mushola sekolah mereka.
 “Arinnnn, Mitaaaa” teriak seorang anak perempuan yang berseragam sama dengan mereka setelah melihat sosok Arina dan Mita dari kejauhan. Ada dua anak perempuan yang sedang menunggu mereka diparkiran motor itu. Mereka berdua berambut panjang dengan rambut ikal tergerai, tetapi salah satunya memakai bando berwarna maroon dengan pita kecil di rambutnya.
“Tiaaaa…… Raniii….” Teriak Mita sambil berlari ke arah mereka yang duduk di motor Scoppy berwarna merah. Wajah Mita terlihat lesu dan langsung memeluk perempuan berbando merah itu yang ternyata bernama Tia. Sementara Arina masih tertinggal di belakang Mita dengan menaruh kedua tangannya di kening untuk menghindari hawa panas terik siang ini. Arina mempercepat langkahnya agar segera sampai di parkiran motor yang beratap seng itu.
“Kenapa, Ta? Mukamu lemes amat” Tia menepuk-nepuk bahu Mita yang masih memeluknya. Mita melepas pelukannya dan memasang wajah cemberut.
“Itu tuh Arina… ngga bisa ikut kita kumpul” Mita menunjuk Arina yang sudah ada di depan mereka bertiga.
“Iyaaa… maaf ya. Aku ngga bisa, aku harus bantu ibu. Ada karyawan ibu yang libur hari ini”
“Jangan ngambek ya, Mit… “ Arina mencubit pipi Mita yang sedari tadi masih cemberut.
“Iya udah deh Queen of Drama kitaa… udahlah kita nongkrong bertiga aja dulu. Kasian Arina harus bantu ibunya dulu” Rani menyenggol bahu Mita sambil tersenyum.
“Aku bukan Queen of Drama heyyyy…” Mulut Mita manyun sambil tangan kirinya mencubit bahu Rani.
Kemudian terdengar gelak tawa mereka yang saling mengejek satu sama lain untuk bahan bercandaan. Arina, Mita, Rani dan Tia. Mereka berempat telah berteman sejak awal masuk SMA hingga sekarang mereka sudah ada di kelas XII bahkan beda kelas dan jurusan. Tia dan Rani berada di jurusan IPA, mereka berdua kelas XII IPA 2. Sedangkan Arina dan Mita juga berada di kelas yang sama yaitu XII IPS 1. Persahabatan mereka awet hingga saat ini. Terkadang apabila akhir pekan, mereka berempat juga sering berkumpul dan menginap di rumah salah satu dari mereka.
Arina berjalan mendekati motornya. Dia memakai helm warna orange miliknya dan menaiki Honda Vario warna hitam yang dibelikan ibunya dari awal dia masuk SMA.
“Enjoy yaaa kalian bertiga. Aku pulang duluan yaaa” Arina menyalakan mesin motornya dan berpamitan dengan ketiga sahabatnya itu.
Motor Arina melaju menembus jalanan aspal yang terasa panas karena cuaca hari ini memang cukup terik. Dalam hatinya, Arina juga ingin bisa bermain bersama teman-temannya. Tetapi Arina harus membantu ibunya. Dia tidak bisa membiarkan ibunya bekerja keras seharian di toko, sementara dia malah bersenang-senang dengan teman-temannya. Terkadang ada rasa tidak enak dalam diri Arina.
Arina sampai di perempatan jalan dan memilih belok kiri ke arah barat kemudian motornya berhenti di sebuah pasar dengan bangunan modern dan memiliki tiga lantai. Terpampang tulisan besar yang menempel dengan bangunan itu 
“PASAR SERUNI”.
Arina turun dari motornya sambil membawa tas ransel yang ada di punggungnya. Arina berjalan masuk ke pasar tersebut, menaiki tangga pasar yang ada di bagian depan bangunan kemudian berjalan lurus melewati kios-kios pedagang sayuran. Di sepanjang perjalanan, sesekali ada beberapa ibu-ibu pedagang yang menyapa Arina.
“Nembe wangsul nopo, Mbak Arin” sapa Bu Mun penjual pisang yang kiosnya dilewati oleh Arina.
“Njih, bu” Arina tersenyum ramah sambil berjalan menuju kios ibunya.
“KIOS KELONTONG BU IRMA”
Arina menghentikan langkahnya lalu masuk ke dalam kios itu. Arina menaruh tasnya di salah satu etalase. Terlihat Bu Irma, Ibu Arina sedang sibuk melayani beberapa pembeli. Arina langsung sigap bergegas membantu ibunya.
“Badhe ngersakke nopo bu?” Ucap Arina dengan logat Bahasa jawa halus dan tersenyum kepada seorang ibu-ibu berdaster hijau dengan corak batik yang berdiri di depan kiosnya.
“Oya dek, nyuwun gendhis sekilo kalih gandum dua kilo nggeh. Gendhise sik pethak nggeh dek” mendengar ucapan ibu tersebut, Arina segera mengambil barang-barang sesuai permintaan ibu tersebut.
Begitulah rutinitas Arina sepulang sekolah datang ke kios dan membantu ibunya. Kios Kelontong Bu Irma, ukuran kios ini lebih besar apabila dibandingkan dengan kios lain yang ada di dalam pasar. Bu Irma, ibu Arina berusia 36 tahun. Tubuhnya sedikit gemuk berisi dengan kulit putih bersih. Gamis berwarna biru tua dan jilbab warna senada dengan celemek warna hitam yang menempel di badannya. Dari tadi beliau terus saja sibuk melayani pembeli yang datang. Mbak Saroh, karyawan Bu Irma yang memakai kaos merah dan jilbab instan juga sama sibuknya. Hari ini, mereka hanya berdua saja karena  Mas Roni karyawan laki-laki  satu-satunya di kios ini ijin tidak masuk kerja. Alhasil semua pekerjaan kios dari pagi hingga siang sebelum Arina datang, hanya dikerjakan mereka berdua saja. Mbak Saroh meskipun perempuan tetapi tenaganya tidak kalah dengan laki-laki, pekerjaanya gesit dan cekatan.
Kios ini sudah berdiri hampir 18 tahun. Bu Irma memulai berdagang di kios ini sejak awal menikah. Hingga saat ini, kios inilah sumber penghasilan utama bagi keluarga Bu Irma. Awalnya, kios ini hanya sepetak kecil saja seperti kios lainnya. Namun seiring berjalannya waktu dan omzet penjualan juga semakin meningkat, Bu Irma mulai memperluas kiosnya hingga seperti saat ini. Kios ini sebenarnya terdiri dari 4 petak bangunan yang dijadikan satu.
Jam yang terpasang di dinding kios menunjukkan pukul lima sore. Beberapa kios lain mulai menutup lapaknya, pembeli pun sudah mulai sepi. Arina masih sibuk mengemas beberapa pasta gigi dan menatanya ke dalam etalase.
“Nduk, pulang dulu saja. Sebentar lagi ibu juga sudah mau tutup” Bu Irma memandangi anaknya yang masih memakai seragam sekolah.
“Tuh baju seragam kamu jadi kotor kena tepung terigu tho” Bu Irma menepuk rok anaknya agar noda tepung itu hilang.
“Hehehehe iya tadi ngga sengaja, bu… “ Arina tersenyum simpul. Dia bergegas mengambil tas ranselnya dan berpamitan untuk pulang lebih dulu.
****
Udara malam terasa dingin. Daerah rumah Arina termasuk pedesaan, masih banyak daerah hijau di sekitar rumah Arina. Itulah sebabnya udara di sekitar rumahnya apabila siang hari terasa sejuk dan jika malam hari seperti ini terasa lebih dingin. Arina memakai jaket warna abu-abu untuk mengurangi rasa dingin di tubuhnya. Arina sudah selesai menata buku untuk jadwal pelajaran besok. Dia berjalan menuju kamar Irsyam. Irsyam adalah adik laki-laki Arina, usianya tiga tahun lebih muda darinya.
“Wis tho nek dolanan game. Mbok yoh leren ngono loh” Arina menegur adiknya yang sedang rebahan di tempat tidur sambil sibuk bermain game online di handphonenya.
“Opo sih mbak. Wis ojo ganggu aku” adiknya masih sibuk menatap layar handphone tanpa memperdulikan Arina.
Niat jail Arina pun muncul. Arina mengambil guling yang ada di samping Irsyam dan melemparkannya ke muka Irsyam kemudian Arina langsung mematikan lampu kamar Irsyam dan berlari ke arah ruang keluarga sambil tertawa terkekeh kekeh.
“Mbak Arinnnnnnn…” terdengar teriakan Irsyam dari kamarnya.
Arina tertawa puas karena niat jailnya terlaksana.
“Ada apa sih, Rin? Kok Irsyam sampai teriak gitu?” Bu Irma heran melihat Arina yang tertawa di hadapannya
“Hahahaha… mboten nopo buk” Arina duduk di sofa cokelat itu persis di sebelah Ibunya yang sedang sibuk menonton sinetron kesukaanya.
“Buk…” Arina memandangi wajah ibunya. Sosok wanita kuat yang paling Arina kenal. Wanita inilah yang selalu berjuang sekuat tenaga untuk kebahagiaan Arina dan Irsyam.
“Hmmmm? Kenapa, Nduk?” Bu Irma menoleh ke arah Arina.
“Capek ya buk?” Arina merebahkan kepalanya di paha ibunya.
“Ya capek, Nduk. Seharian di pasar” ucap Bu Irma sambil tertawa dan mengusap kepala anaknya.
“Bukan itu… Ibu capek ya selama ini harus berjuang sendirian untuk Arin dan Irsyam?” Arina menatap lekat ibunya.
“Ya ndak lah…. Ibu yoh ndak capek justru kalian lah penyemangat ibu” senyum Bu Irma sembari mencubit pipi anak perempuannya.
“Apakah ada penyesalan di hati ibu karena harus menikah muda dan dijodohkan?”
Ada perasaan sedih yang menyeruak dari dalam hati Arina ketika mengucapkan hal ini. Tiba-tiba semua hal yang Arina alami hingga saat ini seolah muncul di hadapannya seperti putaran film.
#5CC #5CCDay16 #cerpenCareerClass #BentangPustaka
2 notes · View notes
dynstory · 2 years
Quote
Aku bukan merindukan dia, tetapi aku merindukan dia saat bersamaku.. dia yang sekarang jelas berbeda dengan dia lima tahun lalu... saat pertama kali kami bertemu
idadiyan
0 notes
dynstory · 2 years
Text
Hello Insomnia
Jumat, 3.43 sambil menunggu waktu subuh
Jam tidur yang terkadang berantakan, setelah pulang kerja rasanya energi sudah habis padahal tidak melakukan apa-apa di kantor wkkwkkw
Ya, saya bisa tertidur semudah itu
Biasa setelah habis isya sambil main handphone atau laptop, tiba-tiba saya sudah tertidur. Ya mungkin sekitar jam 8 malam lah, tapi jika saya tertidur seperti itu, saya pasti akan terbangun lagi mungkin sekitar jam 11 malam? Dan anehnya terkadang setelah terbangun, saya bisa melanjutkan hal yang saya lakukan sebelum ketiduran.
Misalnya sebelum ketiduran, saya masih bermain game di laptop saya dan saat terbangun jam 11 malam itu berarti laptop saya masih dalam keadaan menyala dan otomatis saat terbangun saya langsung melanjutkan main game tadi dan mungkin hanya sekitar 5 -10 menit terbangun, saya melanjutkan tidur lagi wkkwkwkw. Ini juga berlaku ketika saya chatting dengan teman saya, tiba-tiba balas chat dan tiba-tiba ketiduran lagi. Pokoknya apapun kegiatan yang sedang saya lakukan saat sebelum ketiduran, itu juga yang akan saya lanjutkan saat terbangun sebentar. Bahkan beberapa hari ini, karena saya sedang suka belajar bahasa inggris melalui aplikasi online seperti duolingo dan elsaspeak, ketika ketiduran dan terbangun sebentar otomatis saya langsung mengerjakan soal bahasa inggris yang ada disitu dan beberapa saat kemudian saya tertidur lagi wkwkwkkw. 
Polanya sering sama, jam 8 malam ketiduran kemudian terbangun jam 10 atau 11 malam sekitar 5-10 menit kemudian tertidur lagi dan terbangun kembali mungkin sekitar jam 1 atau jam 2 pagi. Nah di waktu-waktu ini saya sudah susah untuk tertidur lagi, mata rasanya ingin melek terus tapi nanti setelah lewat jam 3 menuju jam 4 disitu mata saya mulai mengantuk tetapi kalau saya lanjut tidur jam segitu takut telat sholat subuh seperti saat saya mengetik tulisan ini. Mau tidur tapi jam nya nanggung, mau melek tapi mata dan kepala cenderung sudah merasa pusing. Dan kadang dicoba untuk merem pun, tapi pikiran saya terlalu berisik hingga susah untuk merem. Saat tidur pada jam-jam itu juga saya sering sekali mengalami mimpi buruk atau bahkan ketindihan, kadang rasanya lama banget ketindihannya tapi pas bangun dan cek jam di handphone ternyata hanya 5 menit saya terlelap.
Ya begitulah cerita insomnia saya yang random ini, atau bisa dibilang bukan insomnia ya? wwkwkwkw atau part time insomnia? Intinya rasa badan ngga enak kalau kayak gini
Udah ah segitu dulu, nanti saya cerita lagi lah kalau ada yang bisa saya ceritain meskipun ngga ada yang baca juga ngga apa.
Buat arsip cerita kehidupan receh saya aja yang kadang tertawa tapi banyak galaunya wkwkwk 
0 notes
dynstory · 2 years
Text
Hai?
Meskipun tidak ada yang membaca tumblr ku, tapi sepertinya aku ingin rajin menulis disini 
0 notes
dynstory · 2 years
Text
Mencoba Menemukan
Aku pernah patah hingga rasanya sulit untuk berpindah..
Rasanya hanya ingin terdiam di tempat yang sama, meskipun seseorang yang telah mematahkannya pun telah hilang dari hadapan..
Namun, beberapa bulan silam...
Aku kembali mencoba menemukan..
Mencoba menemukan serpihan serpihan yang sudah patah dan mungkin bisa kembali disatukan meskipun dengan seseorang yang berbeda...
Dan memang benar, kala itu aku merasa pertemuanku dengan seseorang ini adalah jawaban..
Jawaban dari doa-doa yang setiap hari aku panjatkan...
Jawaban dari penantian panjang dan merasa bisa dipersatukan..
Memang benar, awal mengenalnya rasanya semua terasa meyakinkan..
Aku sempat berfikir “sepertinya ini yang aku nantikan”
Meskipun aku belajar dari pengalaman, tak mau terlalu dalam menyimpan harapan..
Tapi setidaknya dalam beberapa hal, aku merasa dia lah orang yang aku pikir bisa menemaniku dalam perjalanan panjang yang bernama kehidupan...
Banyak hal yang telah aku diskusikan, dan ya aku menarik satu kesimpulan bahwa ya sepertinya memang ini jawaban..
Akan tetapi sekali lagi dalam kehidupan, aku tak pernah tau mana yang baik dan benar untuk aku jalankan..
Serta melihat dari pengalaman, dulu aku yang jarang melibatkan Allah dalam setiap pilihan...
Maka nama laki-laki ini, selalu aku pertanyakan kepada Sang Pencipta, Pemilik Hati setiap insan..
Apakah benar, dia adalah jawaban yang aku nantikan?
Dan perlahan, Sang Pemilik Hati kembali memberi jawaban “bukan yang ini, da”
Lalu aku terdiam, tidak jatuh maupun hancur seperti sebelumnya...
Belajar dari pengalaman, karena dulu aku pernah menaruh hatiku terlalu dalam kepada seseorang..
Mengenal orang baru ini, aku tak seperti demikian... hanya selalu terus aku bawa dalam setiap sujud dan doa doa setiap malam...
Dan ketika Allah memberi jawaban, aku pun terdiam dan mengikuti segala hal yang sudah menjadi jawaban...
Kecewa? Tidak sebegitunya...
Sekali lagi Allah menunjukkan bahwa aku memang hanyalah makhluk biasa yang penuh keterbatasan.. 
Yang tidak tau apa yang baik dan buruk untuk kehidupanku yang aku impikan untuk bisa mendekat terus kepadaNya...
Maka dalam setiap halnya aku bersyukur, dan selalu bersyukur serta keyakinan yang terus bertambah... memang hanya Allah pemilik cerita terbaik, pemilik takdir terbaik... dan aku hanya akan berpasrah kepadaNya..
Mengikuti segala hal yang memang harus aku lakukan... dan yang terpenting aku tak pernah kehilanganNya dalam setiap detik waktuku di dunia..
Aku hanya ingin bersamaNya dan saling menemukan karena cintaNya...
Terimakasih Ya Rabb untuk sekian kali pembelajaran hidup yang Engkau berikan.. untuk terus menaruh yakin hanya kepadaMu tanpa ragu dan tanpa tapi...
Terimakasih untuk seseorang yang pernah aku coba untuk menemukan tapi ternyata memang bukan dan memang beginilah garis takdir berjalan...
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
0 notes
dynstory · 3 years
Photo
Tumblr media
Seringnya, muara dari kebingungan-kebingungan saat menjadi manusia dewasa berawal dari minimnya pengetahuan/ilmu. Dengan dalih kesibukan yang seolah tak ada habisnya, kita tidak menyediakan waktu untuk belajar. Belajar banyak hal, hal-hal yang ingin kita tahu, bahkan ketika belajar kadang kita menemukan ternyata ada hal yang selama ini tidak kita tahu kalau itu ada.
Menjadi manusia dewasa, saat kita harus membuat keputusan untuk diri kita sendiri. Beban yang sebenarnya ringan bisa jadi sangat berat karena kita tidak tahu cara membawanya. Masalah yang mudah bisa jadi menjadi rumit karena kita tidak bisa melihat semua alternatif jalan keluarnya.  Dan betapa tidak menyenangkannya menjadi dewasa dalam kondisi demikian. Saat kita diselimuti begitu banyak kebingungan, clueless, tidak tahu kepada siapa harus bertanya, bahkan kita tidak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang kita hadapi sehingga kita salah mengambil kesimpulan, berakhir pada salah membuat keputusan. Bukannya masalah kita selesai, tapi justru menambah masalah. Luangkanlah waktu untuk belajar. Ilmu adalah lentera yang bisa menerangi langkah-langkah kita berikutnya. Jangan dikira belajar kita selesai, ketika kita telah selesai sekolah :)
729 notes · View notes
dynstory · 3 years
Text
Saat mendengar kabar itu...
Aku menangis seharian...
Benar benar seharian..
Sampai aku lelah...
Tetapi hari setelah itu?
Aku baik baik saja...
Tidak lagi menangis untuknya...
Heran?
Memang sumber kekuatan Allah luar biasa...
Berpasrah, ikhlas dan lepaskan semuanya
0 notes
dynstory · 3 years
Text
"Kita lebih sering memilih pilihan yang mudah kita jalani meskipun bukan yang kita inginkan"
-Kurniawan Gunadi-
0 notes
dynstory · 3 years
Text
Mentorku pernah berkata "Kalau pilihan yang kamu jalani saat ini, tidak mendekatkanmu dengan tujuan tujuan hidupmu... Maka mungkin kamu perlu mencari jalan lain yang lebih mendekatkanmu dengan tujuan hidupmu"
0 notes
dynstory · 3 years
Text
Karena prinsipku melupakan bukan dengan membenci...
Tetapi menyadari semua momen yang pernah terjadi, lalu mendoakan kebaikan untuk seseorang yang pernah hadir di masa lalu...
0 notes
dynstory · 3 years
Text
Dear Lelaki Baik
Selamat ya... Semoga semua prosesnya dilancarkan...
Aku tidak mungkin mengirimkan ucapan kepadamu...
Biarlah aku jadikan notes di tumblr ku...
Aku ikut berbahagia untuk kebahagiaanmu..
Bukan.. Tentu saja aku hanya membual kalau aku berkata aku baik baik saja mendengar kabar itu...
Aku memang tidak baik baik saja.. Tapi bukan berarti aku tak bisa turut berbahagia...
Hanya saja tak mungkin bagiku untuk membuka percakapan denganmu...
Untuk apa?
Untuk menunjukkan bahwa aku sudah pura pura kuat dihadapanmu?
Ah tidak... Menurutku itu tidak perlu...
Aku hanya akan menuliskannya disini dan sesekali dalam doaku, terselip doa untuk kebahagiaanmu dan pasanganmu...
Lelaki baik, kabar ini justru memberi kelegaan untukku...
Karena aku tak perlu cemas, kapan waktu ini akan tiba...
Dan kini, ketika saat itu datang...
Aku sedih tapi juga ikut berbahagia...
Lelaki baik, aku selalu menyebutmu lelaki baik bukan berarti kamu sempurna tanpa cela...
Tetapi setidaknya menurutku, hingga saat ini...
Kamu adalah lelaki baik...
Selamat ya lelaki baik...
Berbahagia selalu dengan perempuan pilihanmu, yang bukan lagi tentang aku ...
Aku tutup cerita ini... Aku pun akan melangkah lebih cepat untuk bertemu lelaki baik lainnya yang telah Allah siapkan untukku..
Tentu sudah tak ada lagi bayang bayangmu ...
Lelaki baik, terimakasih pernah menjadi secuil kisah laluku...
Terimakasih karena semua yang terjadi membawa kekuatan tersendiri untukku...
Terimakasih lelaki baik....
0 notes
dynstory · 3 years
Text
Bulan Juni
Bulan Juni
Bulan yang pernah menjadi special di tahun tahun sebelum tahun ini…
Bulan dimana pertama kali aku mengenal sosok laki laki baik, sederhana namun ketulusannya tak perlu dipertanyakan lagi..
Bulan dimana pertama kali aku bertemu laki laki yang memandangku dengan padangan tak biasa hingga aku merasa bahagia “oh ternyata seperti ini rasanya bahagia”
Dan bulan ini, adalah bulan dimana laki laki special ini dilahirkan dari seorang ibu yang luar biasa hebatnya..
Laki laki ini, laki laki yang aku sudah tak tau bagaimana kabarnya lagi..
Laki laki ini, adalah laki laki yang mungkin juga sudah lupa bahwa ada perempuan yang masih menuliskan sosoknya dalam berbagai media sosialnya…
Meskipun samar, meskipun tidak terjelaskan tetapi berbagai tulisan memang mungkin benar laki laki ini inspirasi untuk si perempuan..
Rasanya ingin menarik nafas panjang ketika menceritakan sosoknya…
Laki laki baik, iya memang benar menurutku kamu adalah laki laki baik..
Bukan, tentu bukan…
Bukan sempurna seperti malaikat, tapi setidaknya terlalu banyak hal membahagiakan yang dijalankan bersamanya…
Aku sangat paham, hubungan yang dijalani kala itu memang tidak benar..
Tetapi bila boleh sedikit aku bercerita…
Aku bahagia pernah bertemu dengannya ..
Laki laki pertama dalam hidup, yang berani datang ke rumah dan meminta izin kepada ibu..
Bagaimana bisa aku lupa akan hal itu?
Dalam anganku, seringkali muncul “beruntung lah perempuan yang memilikimu”
Karena aku tau, sangat tau…
Bagaimana perjuanganmu untuk membahagiakan perempuan yang kamu cintai…
Dulu, terkadang ketika melihat wajahmu, dalam hatiku berkata “Terimakasih karena laki laki baik ini hadir dalam hidupku”
Iya, karena saat itu.. dan seperti yang selalu ada dalam bayanganku dan dirimu
Kita berdua akan menikah, mempunyai anak, dan hidup bahagia menua bersama…
Lalu kenapa akhirnya begini….?
Tidak ada yang salah dengan yang terjadi saat ini, tidak ada sama sekali …
Hanya takdir memang berkata begini..
Karena Allah menuliskan garis ini…
Aku patah, memang sangat patah…
Di bulan bulan pertama, bahkan rasanya aku ingin marah kenapa hal ini terjadi demikian adanya..
Aku sudah berusaha sangat keras, aku dan kamu sudah berjuang agar semuanya bisa berjalan sesuai angan…
Tapi, ternyata tidak demikian…
Kamu meninggalkanku, menghapuskan seluruh impian yang kita bangun bersama..
Kamu meninggalkanku, hingga saat itu rasanya aku kehilangan arah dan tujuan…
Aku tau bahkan pilihan meninggalkanku bukanlah hal mudah bagimu..
Bahkan saat itu pun, kamu menangisi perpisahan ini….
Tujuh bulan telah berlalu, mungkin kamu sudah lupa siapa aku..
Mungkin tidak ada lagi kesedihan yang tersisa ketika mengingatku….
Mungkin kamu telah menemukan “rumah baru” yang lebih indah daripada saat bersamaku…
Sedih, ternyata aku masih sedih jika mengingat kenyataan ini…
Tetapi hidup tetaplah harus berjalan…
Kamu adalah pelajaran yang Allah kirimkan agar aku belajar dimana sebaiknya aku menaruh harapan..
Bukan, tidak… bukan lagi kepada manusia..
Kini, aku belajar untuk bersandar hanya kepada Rabb ku saja..
Lelaki baik, semoga setiap langkah hidupmu selalu diberkahi oleh Allah..
Lelaki baik pasti Allah mempertemukan mu dengan perempuan baik, jodoh dunia akhiratmu…
Begitu juga aku, mungkin saat ini lelaki baik lainnya belum Allah hadirkan dalam hidupku..
Tapi aku yakin, lelaki baik itu juga telah Allah siapkan untukku..
Mari berbahagia menurut versi Allah saja karena pasti itu yang akan membahagiakan dan menenangkan…
Lelaki baik, ucapan doa di hari ulang tahunmu ini mungkin tak akan sampai kamu baca…
Tetapi tetap saja aku ingin menuliskannya disini…
Semoga Allah selalu memberkahimu dan keluargamu serta orang orang yang kamu sayangi…
 Dari aku, perempuan yang pernah menaruh harap untuk menjadi masa depanmu
Ternyata setelah hampir tujuh bulan dari perpisahan kala itu…
0 notes