Selalu ada air mata dalam setiap perjalanan hidup dan entah sudah berapa ember yang harus aku siapkan untuk menangisi setiap pikiran intrusif dan bodoh yang aku miliki. Parahnya, aku membiarkan setan negatifku untuk menang, melampaui kekuatan kesadaranku dan menguasai tutur dan tindakku. Memang kalau sudah begini, aku malah menyalahkan setan. Tapi memang setan itu ada dalam diriku, setan yang merusak diriku adalah aku sendiri. Aku memang yang harus bertanggung jawab atas setiap kerusakan yang terjadi.
Bisa-bisanya aku juga menarik seseorang ke dalam segala kerusakan hidupku. Seseorang yang dalam pikirannya hanya sibuk untuk mencari cara agar aku bahagia dan tercukupi. Betapa aku harus sayang dan mengayomi seseorang ini, namun tindakanku malah sebaliknya. Menindas, menyalahi, menuntut, padanya yang sudah berusaha sekuat tenaga menemaniku dari awal hingga akhir kehancuranku.
Aku paham, jika ia lelah dan akhirnya memilih pergi. Dan aku sadar, betapa aku malah semakin menyakitinya untuk dapat ditinggalkan. Lalu ketika segalanya sudah mencapai titik dan usai, aku malah menangis dan mengemis untuk ia kembali, hanya agar terbukti bahwa seberapa hancurnya aku (aku masih pantas untuk dicintai).
Harusnya, dia campakkan aku seperti sekarang ini. Seperti diam yang kini tengah membentang di antara kami. Pantas memang, mencampakkan sesuatu yang tak berguna dan hanya sebabkan sial.
Aku terduduk di depan meja, cukup lama terdiam karena harus meramu diksi tentang cinta. Jelas sekali hati dan pikiran tak saling bekerja sama, karena entah sudah berapa kali jarum pendek jam dinding menyusuri angka-angka yang berbeda. Rupanya aku sudah menjadi mati rasa (hampir) seutuhnya.
Padahal dulu, jari jemari ini seolah memang sudah terukir untuk merapalkan bahasa cinta di atas kertas kosong. Padahal dulu, tersenyum sembari mengutarakan perasaan kasih dengan pena hitam legam sudah jadi makanan setiap hari. Seolah kehilangan percikan tintanya, pena untuk menulis tentang cinta serasa habis dikuras oleh emosi buruk lain yang kutemui seiring bertambahnya usia.
Dengan sedikit marah, aku lemparkan saja pena di tangan sembarangan. Terlalu kesal dengan tubuh tak bercinta ini. Bunyi gemeletak pena yang rusak terdengar dari bawah lantai, alamat aku harus sekali lagi membeli pena baru. Sedikit menunduk, aku meraih pena yang sudah tak bisa gunakan ini. Namun sudut mataku menangkap hal lain.
Buku usang, berdebu, dan hampir kuning seluruhnya. Sebuah saksi bisu dari perjalanan cinta yang pernah aku dan dia jalani selama bertahun-tahun. Perjalanan melelahkan yang tak berbuah hasil apapun, yang hanya sisakan sesal dan amarah. Secarik kertas terlihat seperti hendak meloncat keluar dari tumpukan kertas buku itu, yang membuat jari penasaranku menarik kertas itu keluar.
Foto lama kita berdua, dengan senyuman lebar ala remaja, terpatri di sana. Di bawahnya tertulis sebuah kalimat: sebuah kiblat untuk merindu.
You are each prayer and hope that humankind has whispered
About love and all its wondrous beauty divine. You are each desire and yearning that the soul has dreamed
Of a perfect and eternal love that will ever shine.
Hari ini aku memutuskan untuk tak menulis kebahagiaan. Bukannya tak ingin bahagia atau tak ingin memutar memori indah yang aku miliki, tapi minggu ini terlalu berat dan hatiku terlalu merasa bersalah untuk kembali membohongi diriku sendiri lalu menulis tentang kebahagiaan. Begitu banyak kewajiban dari orang sekitar yang menginginkanku untuk selalu bahagia, seolah lupa bahwa hidup terlalu luas dan besar untuk hanya merasakan satu perasaan. Pun tak ada salahnya menulis tentang kesedihan dan kemalangan. Tren saat ini adalah menjual tentang betapa menyedihkannya hidupmu, cerita cintamu, atau kegagalan yang dulunya hanya bisa disimpan sendiri. Kini sudah menjadi hal lumrah menunjukan kekecewaan. Orang-orang kini sudah lebih jujur terhadap diri mereka sendiri.
Jadi untuk apa lagi menulis tentang kebahagiaan ketika setiap harinya perasaanmu diporak-porandakan gundah? Akui saja bahwa dirimu sedih lalu pergi menangis di sudut gelap toilet. Tak akan ada yang menertawai, malah mungkin saja bisa kau temui kawan senasib yang juga sedang tangisi beratnya kehidupan ibu kota. Aku rasa untuk mencapai kebahagiaan, kita harus mengenal emosi negatif lainnya. Menulis tentang apapun selain kebahagiaan adalah caraku untuk mengenal emosi negatif yang lain.
Aku menolak menulis tentang kebahagiaan hari ini, karena aku sedang merasa sedih setengah hidup. Aku menolak menulis tentang kebahagiaan, agar diriku dapat dengan lapang dada merasakan ketenangan dalam kesedihanku. Aku menolak menulis tentang kebahagiaan, agar perasaanku dapat hidup dan jiwaku dapat terobati.
The Gift of Everything is another brilliant art from Lang Leav, which written in 247 pages long. It contained 236 poems and prose, which 35 of them are the newest poem collection and the rest are selected creation from previous books. The Gift of Everything, according to Lang Leav, is collection of her work during childhood where it evolves around schoolyard. Published in 2023, this book once again evoke a friendly yet nostalgic feeling within myself. The poems are still circulating around love, loss and self empowerment, which made it more easy to feel and read also very relatable.
I've read some title such as Crossroads, A Woman and Rogue Planets and remember them admirably as I found them first in the other books like The Universe of Us, Sea of Strangers and Love & Misadventure.
"So, make up your own rules. Don't be afraid to hurl, to fall, to get dirt on your face. Sweetheart, let this be your one glorious mess because in the end the only person you should answer to is yourself.
After all, you are a woman,
And long before they punish you for what you've done, they will punish you for what you are."
— A Woman by Lang Leav
Nothing drastically change in term of her writing style, which I took note like to make parable to express her feeling in her writing. Her interesting way of thinking and write it down in parable engage the reader to get lost between each words.
"But since you, my life
is less about attainment
and more about holding
to what I already have."
— Attainment by Lang Leav
Lang Leav's strands of word are beautifully chose and arranged by her and it made her every poems are touching and successfully left me in awe although I've read it thousand of times. From this book, I crowned How Much Love on page 191 as my favorite title as this prose summarized this book in only two sentence.
"How much love is a person capable of giving? I thought I knew the answer until I met you."
— How Much Love by Lang Leav