Tumgik
celotehku · 1 month
Text
THE POWER OF THE 17-SECOND RULE ── ★ ˙ ̟ 🕰 !!
Tumblr media
"Hold a thought for as little as 17 seconds; there's enough attraction power in that consistent thought. If you can get across that 68-second mark, and even beyond, everything else will take care of itself."
Tumblr media
── the 17-second rule states that manifestation process begins once a singular thought has been held for 17 seconds. in other words, law of attraction kicks in after 17 seconds of a sustained singular thought, and the manifestation of that thought begins after 68 seconds.
in case you haven't heard about the 17-second rule, it is a fascinating concept that suggests that just 17 seconds of focused pure thinking can kickstart a process of manifestation. in this post we will explain what this rule is all about and how it can change our lives.
so, what exactly is the 17-second rule? well, it's based on the idea that our thoughts have a powerful influence on our reality, as we already know it. according to this rule, if we can hold onto a pure singular thought for as little as 17 seconds without doubting it or introducing resistance, it starts to attract more positive energy. this initial 17 seconds is like lighting a spark – it ignites the process of manifestation.
but it doesn't stop there. if we can extend our focus to 68 seconds – just a little over a minute – the momentum of that pure thought becomes even stronger. then you've reached a point where your desired outcome begins to materialize.
but what is a pure thought?
one might think that pure thoughts should always be positive and beneficial to everyone. but if we define pure thoughts this way, it doesn't explain why bad things sometimes happen. for instance, getting sick after worrying about getting sick.
a pure thought is simply a single thought about one thing, combined with emotion (ideally), when there are no other distractions.
that pure thought doesn't even have to be strong, it just has to be singular.
this means that when you're trying to make something happen in your life through focused thinking, you need to have complete focus. your thought for those 17 seconds doesn't have to be positive or negative, it just needs to be clear and focused.
"Your vibration doesn't have to be strong, it just has to be pure. You don't have to think about something over and over again, you just have to think about it purely." - Abraham Hicks
according to Hicks, when we focus on a positive thought for 17 seconds, we reach a "combustion point" where the energy of that thought begins to build. by continuing to focus for 68 seconds, we've fully activated the process of manifestation, and our desired outcome starts to materialize in the 3d.
now, you might be thinking, "is this for real?", 'it sounds too good to be true." well, take in a consideration that the average human attention span is only about 8 seconds. so, if we can double that and maintain our focus for 17 seconds, it's already a huge achievement. and if we can push it to 68 seconds, we've accomplished something truly amazing.
in conclusion, the 17-second rule is a simple yet profound idea that reminds us of the immense power we hold within our minds. by harnessing the energy of pure thoughts and maintaining our focus, we can truly transform our reality quickly.
Tumblr media
so... shall we give it a try?
i got my idea from this youtube video. <3
172 notes · View notes
celotehku · 2 months
Text
Ilmu seharusnya menjadikan manusia lebih matang atau "lebih menjadi manusia (wi). "
- Irfan Afifi
0 notes
celotehku · 4 months
Text
Setiap yang hidup, memiliki mantra-mantranya masing-masing
#apa mantramu? 😂
0 notes
celotehku · 9 months
Text
Kita tidak mampu mengatur semua hal di dunia ini sesuai keinginan kita.
Dunia ini ada yang mengatur, mulai dari proses perputaran bumi, sampai hati manusia yang sering terbolak balik.
Maka jangan paksakan semua yang diluar kemampuan kita, tugas kita hanya ikhtiar maksimal, selebihnya ada yang maha mengatur.
Tugas kita adalah bekerja sesempurna mungkin dalam tahap ideal versi manusia, tapi selebihnya ada Allah yang maha mengatur.
Tidak akan ada karya yang sempurna di dunia ini selain apa yang Allah tetapkan. Tidak ada prestasi yang paripurna tanpa cacat kecuali karya Allah semata.
Berlapang dadalah atas semua keadaan, berlapang dadalah atas semua ketidaksempurnaan manusia. Karena memang Allah menciptakan semua makhluk penuh dengan kekurangan.
Jangan iri dengan kelebihan orang lain, jangan abai untuk prioritas memperbaiki diri, dan jangan pernah pelihara penyakit hati yang membuat manusia hidup tercela.
Kesempurnaan hanya milik Allah, berlapang lapang lah dalam bergaul dengan sesama manusia. Jangan berlebih-lebihan dalam mencintai dan membenci.
Peliharalah selalu sikap tawadhu di depan Allah dan di depan manusia, bersabarlah atas perlakuan tidak enak dari orang lain, dan jangan membalas segala keburukan dengan keburukan serupa.
Hindari berkonflik yang tidak perlu, hindari waktu yang mubazir untuk bertengkar, berdebat dengan orang orang awam, dan hindari menghabiskan energi untuk menunjukkan kesempurnaan di depan manusia. Sesungguhnya Itu bukan ranah kita.
-TZU
0 notes
celotehku · 1 year
Text
SUMPAH AMUKTI PALAPA
Tumblr media
Kemarin sempat ramai soal diskusi makna "amukti palapa". Ada yang menerjemahkan bumbu, puasa mutih, dan lain sebagainya. Padahal, andaikata kita mau membaca Sĕrat Pararaton dengan seksama, maka arti kata tersebut dapat kita temukan.
Amukti Palapa disebutkan beberapa kali dalam Sĕrat Pararaton, yaitu :
Yang pertama, saat Gajah Mada berhasil menumpas pemberontakan Kuṭi tahun 1319, di mana ia kembali ke ibu kota bersama Raja, kemudian berhenti dari jabatan bĕkĕl bhayangkara dan "amukti palapa" selama dua bulan. Lalu ia diangkat sebagai patih di Kahuripan.
Yang kedua, saat diangkat menjadi patih amangkubhumi di Majapahit tahun 1334, Gajah Mada mengucapkan sumpah, yaitu jika Nusantara telah ditaklukkan, barulah ia "amukti palapa".
Yang ketiga, sesudah peristiwa Paḍompo dan Pasuṇḍa tahun 1357, Gajah Mada melakukan "mukti palapa".
Ada pendapat yang menafsirkan kata :
AMUKTI = a + mukti = tidak menikmati
PALAPA = bumbu
Jadi, maksud dari Sumpah Palapa adalah : Jika Nusantara belum ditaklukkan, maka Gajah Mada tidak mau menikmati bumbu, alias puasa mutih.
Pendapat semacam ini jelas keliru, karena menafsirkan kalimat berbahasa Jawa menggunakan cara Sanakerta. Ingat, bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno adalah beda! Bahasa Sanskerta asalnya dari India, bukan dari Jawa.
Dalam bahasa Sanskerta, awalan A bermakna "tidak", sedangkan dalam bahasa Jawa, awalan A justru bermakna "membentuk kata kerja".
Mari kita kupas makna Sumpah Palapa secara perkata :
"lamun huwus kalah nuṣantara isun amukti palapa"
Lamun = apabila
Huwus = sudah
Kalah = takluk
Nuṣantara = pulau-pulau di luar Jawa
Isun = aku
Sekarang tinggal kata "amukti palapa".
Amukti = adalah kata kerja yang terbentuk dari :
aN + bhukti, di mana aksara bha mengalami luluh dengan awalan anuswara.
- bhukti artinya "makan"
- amukti artinya "memakan" atau "menikmati".
Palapa artinya apa?
Kita tengok berita sebelumnya, yaitu tahun 1319 setelah penumpasan Kuṭi, Gajah Mada dibebastugaskan dari jabatan bĕkĕl bhayangkara, di mana ia "amukti palapa" selama dua bulan, baru kemudian ia diangkat sebagai patih di Kahuripan, yaitu negeri bawahan Majapahit.
Artinya .... Maharāja Jayanāgara berterima kasih atas jasa Gajah Mada menumpas Kuṭi, sehingga selama dua bulan ia "menikmati palapa", sebelum kemudian menjadi patih Kahuripan.
Palapa di sini dapat ditafsirkan "kenikmatan", "istirahat nyaman", "liburan", "bersenang-senang".
Kemudian kita temukan lagi sesudah peristiwa Pasuṇḍa Bubat, Gajah Mada kembali "mukti palapa".
Sekali lagi saya tegaskan, bahasa Jawa tidak sama dengan bahasa Sanskerta.
Menurut tata bahasa Sanskerta :
"mukti" berlawanan dengan "amukti"
"sura" berlawanan dengan "asura"
"ditya" berlawanan dengan "aditya"
Sementara itu, Pararaton ditulis dalam bahasa Jawa, bukan bahasa Sanskerta.
Menurut tata bahasa Jawa :
"nggawa" sama dengan "anggawa"
"njupuk" sama dengan "anjupuk"
"mukti" sama dengan "amukti"
Jadi, setelah Paḍompo dan Pasuṇḍa, Gajah Mada mendapat hak "mukti palapa = amukti palapa", yaitu "menikmati liburan dan kesenangan".
Kata PALAPA menurut tafsir Zoetmulder berasal dari kata dasar ALAP artinya "ambil" atau "makan". Dialap maknanya "diambil" atau "dilahap". Mungkin itu sebabnya kata "palapa" dalam bahasa Madura bermakna "bumbu" karena berhubungan dengan "makanan".
Sekali lagi saya ulangi, makna Sumpah Palapa :
"Lamun HUWUS kalah Nusantara, isun amukti palapa."
Artinya = Apabila SUDAH takluk Nusantara, saya menikmati kesenangan.
Bukan = Apabila BELUM takluk Nusantara, saya tidak menikmati kesenangan.
Kata "huwus" artinya "sudah".
Jangan diganti jadi "belum" hanya demi menafsir kata "amukti" pakai cara Sanskerta.
Nuwun.
#KutipanNaskahKuno
6 notes · View notes
celotehku · 1 year
Text
PERWUJUDAN RAJA KERTANEGARA
Tumblr media
Menurut legenda patung ini dibuat pada tahun 1211 Caka atau tahun 1289 Masehi di pemakaman Wurarare (Lemahtulis) kediaman Mpu Bharadah atau desa Kedungwulan dekat Nganjuk Jawa Timur. Patung tersebut dibuat untuk menghormati Kertanegara Putra Wisnu Wardhana sebagai raja Singosari pada masa itu. Beliau terkenal karena kebijaksanaannya, pengetahuannya yang luas dalam bidang hukum dan ketaatannya pada agama Budha serta cita-citanya yang ingin mempersatukan wilayah Nusantara.
Legenda lain menyebutkan bahwa Kertanegara membangun patung untuk menghilangkan kutukan Mpu Bharadah yang dapat menggagalkan usahanya mempersatukan kerajaan - kerajaan yang terpisah - pisah pada saat itu. Menurut keterangan Bupati Surabaya (Regent), patung Joko Dolog berasal dari kandang gajah.
Pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu dibawah Residen De Salls memindahkan patung tersebut ke Surabaya dan ditempatkan di Taman Apsari, seringkali dikunjungi orang untuk memberi penghormatan dan mengekspresikan harapan mereka. Berlokasi di jalan Taman Apsari - Surabaya Pusat, bebas dikunjungi dan memiliki areal parkir yang memadai untuk segala kendaraan.
Kertanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Raut mukanya teduh dan tangannya membentuk sikap bhumisparsamudra atau telapak tangan kiri tertutup dan seolah ingin menyentuh bumi. Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka. Pada batur alas sandarannya terdapat serangkaian tulisan Jawa kuno yang disebut prasasti yang disebut Wurare. Prasasti berangka tahun 1211 C atau 1289 M itu memuat beberapa fakta sejarah di jaman kerajaan Singosari. Inti prasasti tersebut adalah :
1 Dahulu kala tanah Jawa dibagi 2 oleh Arrya Bharada dinamakan dengan Jenggala dan Panjalu.
2.Namun pada jaman raja Wisnuwardhana, kedua daerah terpecah itu berhasil disatukan kembali.
3.Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti ditasbihkan sebagai Cri Jnanjaciwabajra dan perwujudannya sebagai Jina Mahasobya.
4.Prosesi pentasbihan tersebut di kburan Wurare. Dalam waktu singkat sang raja berhasil menyatukan daerah-daerah yang terpecah belah.
5.Nada adalah nama pembuat prasasti tersebut.
Dari data-data tersebut terlihat jelas kaitannya dengan proses sejarah Jawa Timur jaman dulu. Raja kerajaan Kahuripan bernama Airlangga memutuskan membagi kerajaannya menjadi 2 bagian untuk kedua anaknya supaya tidak terjadi perang saudara. Bagian timur disebut Jenggala dan bagian barat disebut Panjalu. Tugas tersebut dilakukan oleh Mpu Barada.
Oleh raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singosari beberapa abad selanjutnya, kedua wilayah berseberangan tersebut berhasil disatukan kembali. Dia juga melakukan perkawinan politik dengan mengawinkan anaknya Turuk Bali dengan raja Kediri Jayakatwang untuk menghindari perebutan kekuasaan. Usaha perkawinan politik tersebut dilanjutkan oleh penerus raja Wisnuwardhana, Kertanegara, dengan mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Ardharaja. Selain itu Kertanegara juga berusaha mengesahkan status ke-raja-annya dengan menyebut sebagai anak dari Cri Jayawisnuwarddhana dan Crijayawardhani. Dia juga mengkukuhkan diri sebagai Jina Mahasobhya dengan gelar Crijnanjaciwabajra. Tujuannya adalah untuk menunjukan kekuasan dan kebesaran dirinya.
Disamping itu gelar tersebut juga ternyata mempunyai latar belakang politik karena dia sedang bertikai dengan raja Mongol Kubilai Khan karena menghina utusannya tahun 1211 C / 1289 M. Raja Mongol tersebut dikukuhkan sebagai Jina Mahamitha. Dengan gelar Jina Mahasobhya, Kertanegara ingin disejajarkan dengan raja Mongol. Mahasobhya adalah dewa penguasa angina timur, sedangkan mahamitha adalah Jina penguasa angina barat. Dengan demikian Kertanegara mengkukuhkan diri sebagai penguasa wilayah timur.
Dengan data-data tersebut nampak bahwa arca Mahasobya ini merupakan peruwujudan Kertanegara sendiri. Dan prasasti Wurare merupakan bukti keberanian bangsa kita yang tidak ingin dijajah oleh bangsa lain manapun. Atau mungkin juga sudah semestinya letaknya di Surabaya yang penduduknya terkenal dengan keberanian dan sifat-sifat kepahlawanannya. Demikianlah penggalan kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
1 note · View note
celotehku · 1 year
Text
Catatan Fei Xin Tentang Jawa (1432 M)
Tumblr media
Dalam Xing Cha Sheng Lan (Pemandangan Indah Sepanjang Pelayaran) yang ditulis oleh Fei Xin ditemukan banyak catatan tentang negeri Jawa (Majapahit) yang isinya hampir sama dengan catatan Ma Huan. Fei Xin adalah juru tulis dan juru bahasa Laksamana Cheng Ho yang pernah empat kali ikut dalam pelayaran ke Samudera Barat. Berikut beberapa catatannya:
"Negeri Jawa di zaman purba disebut Du Po, berangkat dari Campa 20 hari bisa sampai. Negerinya luas dan penduduknya padat. Angkatan bersenjatanya kuat. Letak geografinya sangat strategis di antara negeri-negeri vasal. Kabarnya, di zaman purba negeri itu dirajai oleh setan, momok, hantu, siluman, dan ratusan anaknya sering makan daging darah manusia. Itulah negeri setan yang disebut dalam kitab Buddha, di mana manusia hampir habis dimakannya. Pada suatu hari tiba-tiba guntur menggelegar dan batu meretak. Di dalamnya ada seorang duduk bersemayam. Semua orang merasa heran, lalu menjunjungnya sebagai raja dan baginda pun memimpin tentara untuk mengusir semua setan siluman sehingga tidak membahayakan lagi dan seterusnya anak cucunya berkembang biak serta hidupnya aman sentosa. Menurut catatan kitab dimulai dari permulaan Dinasti Han hingga tahun 7 Tahun Xuan De Dinasti Ming (1432 M) negerinya sudah berlangsung 1.376 tahun."
Sudah tentu apa yang diceritakan oleh Fei Xin tentang keadaan negeri Jawa pada zaman purba itu hanya dongeng mitos saja yang diturunkan dari mulut ke mulut. Tampaknya cerita itu berkaitan dengan kisah legenda seorang raja pemakan manusia, Dewata Cengkar dari Medang Kamulan, yang telah diusir dari tempat kedudukannya oleh Ajisaka.
Namun, catatannya mengenai hubungan Jawa dengan Tiongkok bermula pada Dinasti Han pada pokoknya tidak menyimpang jauh dari kenyataan sejarah yang sebenarnya. Memang, dalam Hou Han Shu (Kepustakaan Dinasti Pasca Han) sudah ada catatan pertama bahwa pada tahun 131 M Ye Diao (Jawadwipa) dengan rajanya Diao Bian mengirim utusan untuk mempersembahkan upeti kepada Kaisar Dinasti Han dan hubungan antara Jawa dan Tiongkok berlangsung terus sampai zaman Dinasti Ming. Dikisahkan juga tentang ekspedisi Dinasti Yuan ke Jawa untuk menghukum Krtanagara yang dianggap telah menghina utusan Kubilai Khan. Ma Huan dan Fei Xin dalam karyanya masing-masing mencatatnya, tetapi dijelmakan dalam suatu dongeng mitos. Di bawah ini adalah catatan dari Fei Xin:
"Tuban adalah nama suatu tempat. Di pesisirnya ada sebuah kolam. Airnya tawar dan segar. Boleh diminum. Orang menyebutnya air suci. Konon pada zaman Dinasti Yuan hulubalang Shi Pi dan Gao Xing disuruh memimpin tentara ekspedisi ke negeri itu. Berbulan-bulan lamanya tidak turun hujan. Di kapal sudah kekurangan bahan makanan, prajuritnya kewalahan. Maka, Shi Pi dan Gao Xing pun menyembah Langit dan berdoa, 'Atas titah Kaisar, kami datang untuk menghukum negeri ini. Apabila Langit berkenan menganugerahkan air, maka kami dapat hidup. Kalau tidak, kami pasti mati.'
"Setelah berdoa, mereka menancapkan lembingnya ke tanah pasir laut yang masin dan getir dan air segera membludak keluar, segar dan manis. Prajurit berebutan minum. Hulubalang berkata,' Langit telah membantu kalian! ' Maka semangat juang tentara pun berkobar-kobar, menyerbu sambil berpekik-pekik. Jutaan tentara musuh menderita kekalahan dan mundur melarikan diri..... Kepala negerinya tertawan dan digiring ke Tiongkok. Setelah mengakui kesalahannya, ia pun dilepaskan, kemudian diangkat menjadi Raja Jawa."
0 notes
celotehku · 1 year
Text
BHRE KERTABHUMI TIDAK PERNAH MENJADI RAJA MAJAPAHIT DI TROWULAN
Tumblr media
By Mas Bowo
Di Bagian terakhir serat Pararaton menulis :
“bhre pandan salas anjeneng ing tumapel anuli prabhu i saka brahmana naga kaya tunggal, 1388. prabhu rong tahun, tumuli sah saking kadaton, putranira sang sinagara, bhre koripan, bhre mataram, bhre pamotan, pamungsu bhre kertabhumi. kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka sunya nora yuganing wong, 1400. tumuli guntur pawatu gunung i saka kayambara sagara iku, 1403.”
Terjemahan bebas :
“bhre pandansalas dinobatkan sebagai baginda di tumapel lalu menjadi maharaja majapahit pada tahun saka 1388/1466M. ketika sang prabhu baru bertahta selama dua tahun, anak-anak sang sinagara meninggalkan istana, yaitu bhre kahuripan, bhre mataram, bhre pamotan, dan pamungsu bhre kertabhumi. baginda prabhu ini kapernah atau merupakan paman dari anak-anak sang sinagara. baginda prabhu meninggal di keraton pada tahun saka 1400/1478M. lalu terjadi peristiwa gunung meletus di minggu watugunung tahun saka 1403/1481M.”
Jika Merujuk dari Pararaton, Pada tahun 1468M, Bhre Kertabhmi dan ketiga kakak kandungnya memilih Sah Saking Kedaton ( baca : pergi meninggalkan istana atau Minggat).
Ketiga kakak kandung Bhre Kertabhumi ini masing masing adalah Bhre Kahuripan, Bhre Mataram dan Bhre Pamotan.
Alasan keempat Putra Sinagara itu minggat dari keraton Trowulan karena di duga ada silang sengketa dengan Pamannya Dyah Suraprabawa yg saat itu menjadi Raja Majapahit menggantikan Kakak Kandungnya bernama Girishawardhana.
Menurut sejarawan Nia Solihat Irfan,
Anak anak Sinagara merasa sakit hati karena di telikung oleh Dyah Suraprabawa, sejatinya merekalah yg merasa berhak naik tahta paska wafatnya Girishawardhana. Namun secara sepihak ternyata Suraprabawa malah menasbihkan diri naik tahta menjadi Prabhu / Raja.
Keempat putra Sinagara termasuk Bhre Kertabhumi ( Si bungsu) minggat dengan dengan sakit hati penuh dendam, akhirnya menyusun kekuatan untuk kemudian pada tahun 1478M menyerang ( kudeta) terhadap Dyah Suraprabawa.
Pada penyerangan yg di pimpin langsung oleh putra sulung Sang Sinagara yg berjuluk Sang Munggwing Jinggan ( prasasti Petak), Raja Majapahit Dyah Suraprabawa Mokta Ring Kedaton 1478M ( Pararaton). Kutaraja Trowulan di bumi hangus rata dengan tanah. Sunya Nora Yuganing Wong, yg bisa ditafsirkan Trowulan luluh lantak, dan Majapahit sirna.
Putra putra Sinagara dengan kemenangan gemilang akhirnya mendirikan kerajaan baru yg berpusat di Keling ( Prasasti Jiyu). Mereka secara estafet menjadi raja dan pada akhirnya Si Bungsu Bhre Kertabhuni naik tahta tahun 1486M menggantikan kakaknya Girindrawardhan Dyah Wijayakusuma. Bhre Kertabhumi yg bernama asli Girindrawardhana Dyah Ranawijaya kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Daha
Menurut Tom Pires, Dyah Ranawijaya meiliki sebutan sebagai Batara Wijaya. Seiring berjalannya waktu, Batara Wijaya di sebut kemudian atau di singkat menjadi Brawijaya.
Jadi kesimpulannyakesimpulannya adalah, Bhre Kertabhumi alias Dyah Ranawijaya alias Batara Wijaya alias Brawijaya itu tidak pernah sekalipun menjadi raja di Trowulan. Beliau baru naik tahta tahun 1486M di Daha.
Sumber Bacaan :
Buku Girindra Para raja Tumapel, Siwi Sang
Buku Suma Oriental, catatan Tome Pires
1 note · View note
celotehku · 1 year
Text
MASALAH NAMA TUMAPĔL
Toponimi Tumapel (T + um + apĕl) kata dasar ‘tapĕl’ artinya “batas”. Sementara “Tumapĕl” bermakna “membatasi”. Adapun pengucapan yang tepat tumapĕl, unsur pĕl dibaca menggunakan “e” (pĕpĕt) seperti pada kata: buah apel. Bukan dibaca ê miring seperti pada kata: ketapel. Boleh dikatakan toponimi “Tumapěl”, berdasarkan data tekstual (prasasti) baru muncul di Prasasti Mula-Malurung (1255 Masehi), jika mengacu pada Pararaton maka nama Tumapel itu boleh jadi baru muncul mendekati akhir abad ke-12 Masehi, dimana pemimpinnya bernama Tunggul Ametung. Tentunya saat itu wilayah yang bernama Tumapěl ini diperkirakan hanyalah wilayah kecil.
Menariknya, pada akhir abad ke-12 Masehi, muncul prasasti bernama “Pamotoh/Ukir Negara” (dikeluarkan tanggal 6 Desember 1198 Masehi), justru dari data tertulis itu wilayah/tempat yang kita kenal dengan nama “Malang” ini justru bernama “Pamotoh” bukan “Tumapĕl”. Kita gunakan mesin waktu untuk menarik tuas sejarah ke 4 tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 31 Agustus 1194 Masehi, di wilayah Trenggalek dikeluarkan Prasasti Kamulan. Isinya mengenai mengungsinya Raja Kertajaya, penguasa Kadiri, dari kedatonnya di “Katang-Katang” (kemungkinan lokasinya di Dusun Katang, Desa Sukorejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri sekarang ini) akibat serangan musuh dalam jumlah besar dari “Purwwa (Timur)”. “Timur” yang dimaksud besar kemungkinan ialah “Timur” wilayah Gunung Kawi, sebab Kerajaan Kadiri beserta kedatonnya berada di sebelah barat Gunung Kawi.
Beruntung Raja Kertajaya berhasil memukul mundur bahkan mengalahkan musuh dari Purwwa (Timur) tersebut. Bahkan ia menjuluki dirinya sebagai “Haji Jayapurwwa” (Raja yang Memenangkan Pertempuran di Purwwa/Timur) dalam Prasasti Galunggung (Panjerejo) yang dikeluarkannya pada tanggal 20 April 1200 Masehi. Nama “Purwwa” itu, mengingatkan kita pada tokoh “Mpu Purwwa”, pendeta Buddha Mahayana, ayah dari Ken Dedes dalam Kitab Pararaton. Apakah serangan dari “Purwwa” itu ada kaitan dengan Mpu Purwwa? Silahkan direnungkan sendiri. Yang jelas, baik Prasasti Kamulan dan Prasasti Galunggung sama-sama tidak menyebut nama “Tumapěl” melainkan “Purwwa” untuk wilayah timur Gunung Kawi. Ingat juga kata “Sawetaning Kawi” (Sebelah Timur (Purwwa) dari Gunung Kawi) dalam Pararaton untuk menyebut areal Malang Raya.
Kita tarik lagi tuas sejarah ke belakang tepatnya tanggal 31 Agustus 1161 Masehi, 33 tahun sebelumnya, dimana sebuah prasasti diyemukan di Malang, dan disebut “Prasasti Sukun” dikeluarkan oleh “Sri Maharaja Sri Jayamerta”. Sri Jayamerta ialah seorang raja merdeka yang tidak terkait dengan Kadiri (Pangjalu) dan juga Janggala. Ia memerintah di kerajaannya bernama “Jayamerta (Jayāmŗta)”. Tidak jelas dimana lokasi Jayamerta itu, apakah ada kaitan dengan “Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di Sri Jayamerta” dalam Prasasti Anjukladang (ditemukan di Situs Candi Lor, Dusun Kalangan, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk) yang dikeluarkan Raja Medang Pu Sindok tanggal 10 April 937 Masehi di Nganjuk?
Jika benar maka Kerajaan Jayamerta itu ada di Nganjuk, jika tidak, boleh jadi mungkin berada di Malang (sesuai dengan tempat temuan Prasasti Sukun), ingat di daerah Malang ada kelurahan bernama ‘Kelurahan Merjosari’ dimana ia memiliki Dusun/Lingkungan bernama “Mertajaya/Mertojoyo” dan “Jaya/Joyo” (tempat ini juga sarat akan tinggalan arkeologis) serta dilewati Sungai Merta (Merto/Metro). Jika hal ini dapat diterima, maka pada pertengahan abad ke-12 Masehi itu, wilayah Malang disebut “Jayamerta”. Jika demikian maka terjadi perubahan penyebutan wilayah timur Gunung Kawi ini, dari: (1) Jayamerta → (2) Purwwa → (3) Pamotoh → (4) Tumapel.
Sebenarnya jika kita Tarik tuas lagi jauh ke belakang tahun 904 Masehi dimana Prasasti Rumwiga I (ditemukan di Desa Payak, Kecamatan Srimulyo, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY) dikeluarkan oleh Raja Medang bernama Dyah Balitung, maka disitu kita dapati kalimat pada bagian depan (recto) baris ke-8 yang menyebutkan "Anak Wanua i Tumapal Watak Wintreng" (Penduduk ‘Desa Tumapal’ Wilayah Wintreng). Mungkin ini adalah prasasti tertua yang menyebut nama dengan bunyi lain Tumapěl yakni “Tumapal”. Akan tetapi karena temuan prasasti ini berada di Jawa bagian Tengah, mungkin masalah ini dapat diabaikan.
Terakhir, yang menarik ialah nama Tumapěl tidak tertinggal sebagai toponimi di Malang Raya, alih-alih kita menemukannya di wilayah lain, misal:
1. Desa Tumapel, Kecamatan Duduk Sampeyan, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur.
2. Desa Tumapel, Kecamatan Dlangu, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
3. Dusun Tumapel, Desa Jatirejo, Kecamatan Dlangu, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
4. Dusun Tumapel, Desa Ketajen, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.
Pertanyaannya bagaimana bisa toponimi Tumapěl itu tidak tertinggal di Malang? Malah justru ditemukan di daerah lain? Nyruput kopi dulu sambil mencari petunjuk dalam angan di masa lalu …
Penulis: kopi soda Kopi Soda
1 note · View note
celotehku · 1 year
Text
Raja / Ratu /Rani ?
Tumblr media
Jika dalam bahasa Indonesia modern, RATU identik dengan perempuan, maka pada era Jawa Kuno, tokoh Sañjaya yang laki-laki pun memakai gelar Ratu.
RATU adalah sebutan untuk pemimpin masyarakat Jawa Kuno. Setelah budaya India masuk kemari barulah leluhur kita mengenal sebutan RĀJA yang berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya, sebelum budaya India datang, leluhur Jawa sudah punya peradaban sendiri, sudah punya budaya sendiri, sudah punya bahasa sendiri, sudah punya sistem kemasyarakatan sendiri.
Ratu adalah bahasa Jawa Kuno yang berasal dari dua unsur, yaitu ...
ra = beliau/kata sandang penghormatan
tu = yang ditunjuk
(Mohon koreksi bila salah)
RATU (Jawa Kuno) memiliki makna yang sama dengan ḌATU (Malayu Kuno). Hal ini selaras dengan pertukaran bunyi ḍ & r pada kosakata berikut,
ḍatu = ratu
hiḍung = hirung
pĕḍih = pĕrih
uḍang = urang
dan sebagainya.
Pada zaman sekarang, istilah Ratu kaprah disebut sebagai pasangan Raja. Ada Raja Dangdut, ada Ratu Dangdut. Padahal, dalam bahasa Sanskerta, pasangan RĀJA adalah RĀNĪ.
Dalam bahasa Sanskerta tidak ada kata RATU, yang ada ialah RATŪ, bermakna "ucapan benar" dan menjadi nama untuk sungai Surgawi. Menurut keyakinan Hinduisme, di bumi ada Sungai Ganggā, di surga ada Sungai Ratū. Jadi, Ratū di India bukan pasangan untuk Rāja.
Kesimpulannya ...
Bahasa Sanskerta :
* rāja = king
* rānī = queen
* ratū = true speech, name of celestial river
Bahasa Jawa Kuno :
* ratu = king
Demikian, terima kasih.
Heri Pur
0 notes
celotehku · 1 year
Text
SINGOSARI itu nama kecamatan, bukan nama kerajaan
Kalau nama kerajaan yang tertulis di Nāgarakṛtāgama adalah SIṄHASĀRI. Tapi, saya sendiri lebih sering nulisnya SINGHASARI. Tidak saklek harus pakai huruf n titik atas.
Sedangkan nama raja terakhirnya adalah KṚTANĀGARA, boleh ditulis KERTANAGARA, tapi jangan ditulis KERTANEGARA. Nama orang zaman kuno tidak perlu diganti pakai kosakata zaman modern.
Eh iya, untuk gelar depan yang baku ditulis ŚRĪ. Kalau tidak bisa ngetik huruf diakritik ya boleh ditulis SRI. Mau nulis ÇRĪ juga boleh, tapi huruf Ç tidak termasuk standar IAST (International Alphabet of Sanskrit Transliteration).
Mereka yang salah paham sering keliru menulis ÇRĪ menjadi CRI, padahal beda bunyi. Huruf Ç itu dibaca seperti Syin Arab.
Tumblr media
Itu sebabnya, saya lebih suka pakai huruf Ś yang sesuai standar IAST biar ndak bikin salah paham.
0 notes
celotehku · 1 year
Text
APA IYA PARARATON KARANGAN BELANDA?
Tumblr media
Oleh : Heri Pur
Daftar raja-raja Tumapĕl/Singhasari menurut Sĕrat Pararaton :
- Rajasa Sang Amurwabhumi (Ken Angrok)
- Anusapati
- Tohjaya
- Wiṣṇuwardhana
- Kĕrtanagara
Daftar raja-raja Tumapĕl/Singhasari menurut Kakawin Nāgarakṛtāgama :
- Ranggah Rājasa
- Anusanātha
- Wiṣṇuwardhana
- Kṛtanāgara
Nama Tohjaya ada dalam Pararaton, tetapi tidak ada dalam Nāgarakṛtāgama. Mereka yang meyakini Pararaton sebagai naskah baru buatan Belanda mungkin akan menyimpulkan bahwa Tohjaya adalah tokoh fiktif, karena menyimpang dari Nāgarakṛtāgama. Mereka mungkin menuduh Belanda mengarang nama Tohjaya dan mengisahkannya sebagai raja jahat yang memimpin Tumapĕl, membunuh Anusapati, dan merencanakan pembunuhan terhadap Ranggawuni dan Mahiṣa Campaka.
Akan tetapi, pada tahun 1975 ditemukan prasasti Mula-Malurung di daerah Kediri. Prasasti ini dikeluarkan raja Tumapĕl bernama Narārya Sminingrāt pada tahun 1255. Jika kita kroscek dengan prasasti Maribong tahun 1248, maka Sminingrāt ini adalah nama lain Wiṣṇuwardhana.
Uniknya, nama Tohjaya jelas tertulis dalam prasasti ini, yaitu raja yang memerintah sebelum Sminingrāt. Itu artinya, Tohjaya bukan tokoh fiktif yang hanya terdapat dalam Pararaton, tetapi tokoh sejarah yang benar-benar ada dan tercatat dalam prasasti. Justru yang menjadi pertanyaan, mengapa tokoh ini tidak tertulis dalam Nāgarakṛtāgama? Apakah terlewat atau sengaja dilewati oleh Prapañca?
Yang lebih menarik lagi, Pararaton juga menyebut pembantu Tohjaya bernama Praṇaraja, serta pendukung Wiṣṇuwardhana bernama Pañji Pati-pati. Ternyata kedua nama itu juga tertulis dalam prasasti Mula Malurung. Jika benar Pararaton adalah karangan Belanda, lalu dari mana Belanda dapat ide menciptakan nama Tohjaya, Praṇaraja, dan Pañji Pati-pati, sedangkan prasasti Mula-Malurung baru ditemukan pada masa Orde Baru?
Keterangan :
Pararaton menyebut Tohjaya meninggal tahun 1250.
Prasasti Mula Malurung ditulis pada tahun 1255.
Hanya selisih lima tahun lho.
0 notes
celotehku · 1 year
Text
.
Titik
Butir hujan mengupas luruh
Melewati jalan pikiran lusuh
Mengkoreksi amarah musuh
Bagai menggilas di air keruh
1 note · View note
celotehku · 2 years
Text
Tumblr media
Jejak
Derap kaki melangkah
Melewati butiran debu perjalanan
Menyusuri jejak hipokrit dunia
Cepat pergi ,,!!
Berganti arah
0 notes
celotehku · 2 years
Text
"TERNADINYA PERANG SAUDARA ANTARA KERAJAAN JANGGALA DAN KERAJAAN DAHA ATAU KADIRI SETELAH LENGSERNYA AIRLANGGA".
Sebelum turun tahta pada tahun 964 Saka atau 1042 (seribu empat puluh dua) Masehi, ia dihadapkan pada msalah yang pelik yakni perebutan takhta kekuasaan antara kedua putranya. Maka untuk meredam masalah tersebut ia memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi Kerajaannya (Kahuripan) menjadi dua yang dinamakan Janggala dan Kadiri.
Kejadian ini diperkuat dalam dua prasasti sebut saja. :
1. Prasasti Pucangan.
2. Prasasti Turun Hyang II.
Kemudian masing-masing diberikan kepada putranya. Namun dasarnya sudah tidak cocok per- seteruan itu tetap berlangsung, malah berlanjut jadi sebuah peperangan. Janggala dipimpin olehbrajanya yang bernama Mapanji Garasakan dan Kadiri (sekarang disebut Kediri) juga dipimpin oleh rajanya Sri Samara Wijaya yang bergelar Sri Samara wijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Keduanya tak pernah berhenti melakukan perang, saling berebut kekuasaan, serta saling mengalahkan satu sama lainnya. Inisiatif Airlangga melaksalan pembelahan kerajaan sebelum-ma mangkat terkesan percuma saja alias sia-sia tidak ada gunanya. Ternyata dua putra Airlangga itu tidak berasal dari ibu yang sama, artinya tidak satu kandung. Mapanji Garasakan berasal dari isteri kedua, sementara Sri Samara Wijaya berasal dari isteri pertama (permaisuri).
Adanya unsur nama "Teguh" pada gelar Sri SamaraWijaya itulah yang menunjukkan bahwa ia berasal dan dilahirkan dari isteri pertama*.
*) Sofyan Hadi,"Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa dan Sumatra" (Jakarta, Laksana Triandita, 2007, hlm.44).
Kenyataannya Airlangga pada waktu memerintah Kerajaan Kahuripan diduga memiliki dua orang is- teri, walaupun hal ini tidak tidak diungkapkan da- lam beberapa prasasti. Dan dugaan itu semakin kuat manakala ditemukannya dua patung wanita pada Candi Belahan dilereng Gunung Penanggungan yang diyakini sebagai tempat pendarmaan Airlangga.
Diduga karena berasal dari ibu yang berbeda itulah perang tidak pernah berakhir hingga salah satu ada yang runtuh. Pada mulanya kemenangan di raih pihak Janggala, hal ini dibuktikan dalam pernyatakan Prasasti Turun Hyang. Prasasti ini menyatakan bahwa pada tahun 996 (semby ratus sembilan puluh enam) Saka atau 1044 (seribu emPat puluh empat) Masehi , Mapanji Garasakan menetapkan desa Turun Hyang sebagai wilayah Simaswatantra atau perdikan, karena para pemuka desatersebut setia mengerahkan penduduk untuk membantu Janggala melawan Kadiri.
Delapan tahun kemudian, atau tepatnya pada tahun 974 (sembilan ratus tujuh puluh empat) Saka atau 1052 (seriby lima i dua) Masehi, kemenangan juga diraih pihak Janggala. Hal ini terbukti dengan adanya pernyataan dam Prasasti Malenga, yang mengungkapkan bahwa Mapanji Garasakan memberi anugerah untuk desa Malenga karena sudah membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya, Raja Tanjung yang merupakan bawahan Kadiri.
Kerajaan Janggala berakhir pada mss penerintahan Sri Maharaja Samarotsaha, yang memerintah pada tahun 981 (sembilan ratus delapan puluh satu) Saka atau 1059 (seribu lima puluh sembilan) Masehi dan berakhirnya tidak ada beritanya. Eksistensi Janggala sebagai kerajaan hilang seperti ditelan bumi. Sedangkan Kadiri masih eksis sebagai kerajaan sampai Sri Kertajaya atau Dandang Gendis pada tahun 1222(seribu dua ratus dua puluh dua) Masehi.
Teguh Panji "Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit", Penerbit Laksana, Cetakan Pertama, 2015.
0 notes
celotehku · 2 years
Text
0 notes
celotehku · 2 years
Text
Pemenangnya adalah keberanian Atjeh, keliterasian Minangkabau, kebersahajaan Bajo, kevisian Bugis, dan kesabaran Djawa
Like this
-Yusuf Maulana
0 notes