Tumgik
Text
29. Mayat Berjalan?
Petugas Kepolisian Timberville berhamburan ke dalam rumah. Cassie tidak ingat nama-nama mereka, kecuali seorang detektif bertubuh tinggi tegap. Orang-orang memanggilnya Detektif Griffin, yang kemudian ia ketahui bahwa nama lengkapnya adalah Hal Griffin.
Rachel dan Molly sebagai saksi sedang dimintai keterangan. Lance menghampiri Cassie yang sedang menyandar di badan mobil sambil melamun.
“Cassie,” Lance menegur. “Kau baik-baik saja?”
Cassie menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku jeans, melakukan peregangan. Kejadian hari ini menguras energi terutama untuk berpikir, “Tentu saja. Kenapa tidak?”
Lance melemparkan pandangannya ke arah orang-orang yang mengawasi dari teras rumah-rumah merah bata. Ia berhehem, “Aneh sekali,” gumamnya..
Cassie mengamati sudut mata Lance, “Apanya?”
Dana menyembulkan kepala di kaca mobil, “Mereka sudah selesai?”
Petugas yang memintai Molly keterangan kemudian undur diri ketika Detektif Griffin memanggilnya.
“Sama-sama, Detektif,” ujar Molly, lalu ia dan Rachel menyingkir dari kesibukan para petugas.
Cassie menyerbu dengan pertanyaan, “Mereka menanyai apa saja?”  
“Nanti kuceritakan di mobil,” ujar Molly seraya membuka pintu mobil.
“Sudah malam. Lebih baik kita mencari penginapan dekat sini,” saran Rachel.
“Tunggu, Miss!” seruan Detektif Griffin menyebabkan kelima remaja tersebut menoleh padanya. “Apakah ini lelucon? Tidak ada mayat sama sekali di dalam rumah ini.”
0 notes
Text
28. Para Kakak Yang Khawatir
Mereka bertiga bukan orang-orang yang saling mengenal satu sama lain, terkecuali Ashley dengan Jess yang pernah punya sejarah bersama. Berkendara dengan Ryan bukan hal yang buruk namun bukan pula hal yang menyenangkan. Ryan berusaha mencairkan suasana, tetapi karena dia masih dongkol atas tuduhan polisi terhadap Molly, detektif itu memilih membungkam mulut selama perjalanan.
Ponsel Ashley bergetar di sebelah Jess. Tertera nama Sean pada layar.
Ashley melirik pada Jess yang sudah membuang muka, lalu mengangkat, “Halo, Sean?”
“Hai, Ashley. Kau dimana?”
Ashley berpikir sebentar, “Aku di Columbus,” ia berbohong. “Ada pertemuan dengan klien. Ada apa?”
Suara Sean terdengar berubah, “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu keadaanmu saja.”
“Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kasusmu? Sepertinya jadi tambah rumit,” Ashley menyelidik.
Jess memasang telinga tajam-tajam.
“Yeah,” Sean terdengar lelah dan bosan, “-tambah rumit. Kami akan membahasnya lagi besok. Rachel?”
Jantung Ashley serasa ditonjok, “Dia di rumah. Aku baru menghubunginya tadi,” bohongnya lagi.
“Baiklah,” senyum Sean terdengar, “Pekerjaanku juga belum selesai. Sampai besok. Bye bye.”
Ashley dilingkupi rasa bersalah. Terlebih lagi, ia harus berbohong di depan Jess yang merupakan mantan Sean dan Ryan seorang polisi. Seolah membaca pikiran Ashley, Ryan menimpali dari balik  kemudi, “Anggap saja aku tidak dengar apa yang kau katakan tadi,” ujarnya santai. “Kalian sudah coba menghubungi Cassie dan Rachel lagi?”
“Sudah empat kali,” ujar Jess. “Masih tidak aktif.”
“Aku juga,” ujar Ashley. “Perjalanan kita masih sangat panjang.”
24502g��+� �
0 notes
Text
27. Penemuan dan Bukti Mencengangkan
Molly sudah lebih dulu tiba di dasar tangga. Tanpa menunggu Rachel yang sedang menyusulnya ke dasar, ia melalang buana dengan bebas. Tidak lama kemudian, Rachel telah mendarat di sebuah lorong gelap panjang.
“Seperti gorong-gorong,” komentarnya pada Molly. Ia baru menyadari ketidakberadaan Molly di bawah sana, “Molly? Kau di mana? Molly? Molly?” ia memanggil panik
“Aku di sini!”
Gema suara Molly memberi petunjuk kemana gadis itu pergi. Penerangan pada senter ponsel Rachel tidak banyak membantu. Permukaan sepatunya menginjak air yang entah mengalir dari mana. Cicitan tikus dan bebauan anyir memperparah firasat buruknya.
Rachel terhenti sejenak saat senternya menerangi punggung Molly dari belakang. Gadis itu berdiri mematung dengan posisi kaku yang menyeramkan, “Apa yang kau lakukan di sana, Molly?” tanyanya takut-takut.
“Sstt.. Ada orang di bawah sini,” bisik Molly tanpa menoleh.
Rachel mengarahkan cahaya senter mengikuti arah pandang Molly seraya bergerak perlahan, “Apa maksudmu?”
Tanpa perlu Molly menjawab, Rachel bisa melihat sendiri pemandangan di hadapannya. Sebuah kasur busa lipat dibiarkan dalam terbentang lebar dengan posisi terhimpit ke dinding.
Molly merabai permukaannya yang kasar bak pasir, mencari sisa-sisa kehangatan dari tubuh manusia.
Rachel menunggu, merinding, “Bagaimana?”
Molly tertegun sejenak, “Hangat. Seperti sering ditiduri,” ia berkesimpulan.
Rachel tertarik, ikut mengamati dari jarak lebih dekat, “Lihat,” ia mengarahkan cahaya senter menelusuri remah-remahan makanan yang diserubungi semut-semut hutan di lantai.
“Menjijikan,” Rachel berkenyit.
“Artinya, memang ada orang tinggal di sini,” Molly mempertahakan analisisnya. “Aku yakin pasti remah makanan. Tapi, aku tidak melihat ada peralatan makan lain.”
“Please, jangan sampai kita menemukan lain-lain. Kalau ada, aku tidak bisa membayangkan ada orang tinggal di tempat sekotor ini. Lagipula, siapa yang mungkin tinggal di bawah kamar Beatrice?”
Molly berpikiran lain, “Bagaimana kalau ternyata Beatrice menyembunyikan seseorang selama ini?”
“Lalu-“ Rachel melanjutkan, “-karena terbongkar, akhirnya dia dibunuh?”
“Tidak menjelaskan mengapa dia harus dibunuh di Zanesville. Karena menurutku, Timberville lebih cocok jadi tempat pembuangan mayat,” Molly bergidik.
“Mungkin-,” Rachel berpikir keras, “-dia memang seharusnya dibunuh di sini. Namun, karena dia terlanjur pindah ke Zanesville, jadi dia dibunuh di sana.”
“Kira-kira siapa yang Beatrice lindungi mati-matian?”
Rachel mengangkat bahu, “Setahuku, hanya kedua orangtuanya dan mungkin Lance,” ia menepuk jidat, “Astaga aku lupa pada Lance. Menurutmu, dia masih di luar sana?”
Molly terkesiap, “Kuharap dia mencari bantuan.”
Rachel mengarahkan telunjuknya, “Molly.”
Molly mundur terbirit-birit.
“Dia sudah mati! Dia sudah mati!” Rachel histeris.
“Perempuan itu sudah mati,” Molly menutup mulutnya menahan jeritan.
 **********
Dana merinding menyaksikan temuan mereka yang berantakan dalam kegelapan. Wig cokelat, lensa kontak, sesetel pakaian wanita berwarna hitam, dan stocking, yang tersimpan dengan baik di dalam lemari tersembunyi. Di sisi lemari lain, Cassie membongkar sebuah kotak penyimpanan yang berisi kartu identitas milik Edna Sanders lengkap dengan dokumen-dokumen kesehatan serta profil keluarga. Disitu tercatat pula bahwa ia sudah menikah dua bulan yang lalu dengan pria seprofesinya, Dr. Scott Parrish.
Entah berapa lama barang-barang itu tersembunyi dengan baik di balik lemari besar dalam sebuah bangunan terbengkalai.
“Kemampuan menyamarnya tidak diragukan lagi. Dia tahu segala hal tentang Edna, Arthur semua yang berhubungan dengan Sanders,” imbuh Cassie, jarinya menelusuri kalimat demi kalimat yang tertera dalam dokumen sembari senternya mengarahkan.
“Dia bukan ahli. Dia hanya beruntung karena kita tidak pernah bertemu langsung dengan Edna sebelumnya,” ujar Dana, mencari-cari hal yang tersembunyi dari laci-laci lemari. “Semua orang di Zanseville tidak pernah bertemu langsung Edna, Lucia atau Lincoln.”  
“Lucas,” ralat Cassie. “Dia memanfaatkan informasi tentang Sanders di Zanesville.”
Dahi Dana mengernyit. Ia menelaah perkataan Cassie lebih lanjut, “Hanya orang Zanesville yang tahu tentang Sanders,” ujarnya mewanti. “Apakah maksudmu pelakunya orang Zanesville?”
Cassie tertegun, menelan ludah sebelum berbicara, “Aku tidak tahu. Mungkin, dia pernah ke Zanesville. Tapi, belum tentu warga Zanesville.”
“Mengapa dia meninggalkan semua ini?”
“Terlupakan,” lalu Cassie menambahkan dengan sarkatis, “Atau sudah tidak diperlukan lagi.”
“Mengapa ia menyamar sebagai Edna?”
“Mungkin di antara keluarga Sanders yang sudah meninggal, ia lebih cocok menyamar sebagai Edna,” Cassie berasumsi. “Atau lebih mudah menjadi dia,”
Dana bergerak risih, melihat ke layar ponselnya yang sudah gelap. Ponselnya mati, “Jam berapa sekarang? Kurasa Jess pasti mencemaskanmu.”
“Astaga,” Cassie terperanjat melihat layar ponsel. “Jam 19.08. Kita tidak mungkin kembali ke Zanesville malam-malam begini. Pasti melelahkan. Bagaimana dengan orangtuamu?”
“Mereka tidak tahu aku sudah kembali ke Zanesville.”
“Bagaimana bisa?” tanya Cassie terkejut.
“Kami bertengkar,” ujar Dana sungkan. “Aku dan Duncan juga bertengkar. Well, pokoknya tidak asik.”
Cassie mengenyakan bibir, “Kupikir kau kembali ke Zanesville karena memang keinginanmu.”
Dana bergeming, “Sudah enam minggu.”
Cassie menyoroti muka Dana, “Kau baik-baik saja?”
“Begitulah,” jawab Dana tidak berminat. “Lagipula, Columbus tidak terlalu mengasyikkan.”
Napas Cassie terdengar lelah. Pada akhirnya menjauhi dari kesibukannya menelisik dokumen-dokumen Edna, membiarkannya tergeletak berantakan, “Tidak ada petunjuk lain. Tapi, info-info di sini semuanya penting. Seperti, lokasi praktek kerja, daftar pasien, nomor kontak-”
“Tunggu. Kenapa ada daftar pasien?” tanya Dana keheranan. Hal yang mereka alami hari ini tidak ada yang masuk akal.
Cassie berkata tanpa menoleh, “Kalau kau berniat mencuri tas milik seseorang, apakah kau akan menyortir isinya lebih dulu?”
Dana mengerti, “Kau benar.”
Cepat-cepat Cassie menimpali, “Tapi, ini hanya pendapatku.”
“Cassie! Dana!”
Cassie menoleh pada Dana, “Kau dengar?”
Dana mengiyakan, “Dari arah pintu. Molly!”
“Kau duluan,” ujar Cassie.
Dana menurut.
Cassie membereskan semua barang-barang temuan mereka sebelum pergi dari sana.
Suara Molly terdengar lemas, “Wanita yang tadi menyamar sebagai Edna sudah mati. Mayatnya ada di dalam rumah.”
Cassie menatap Molly lekat-lekat, “Kau tidak salah lihat?”
Molly tidak sanggup berkata-kata. Dia ketakutan dan stres, “Rachel dan Lance sedang melapor ke polisi setempat.”
Dana mengusap wajah, “Lebih baik kita keluar dari sini,” ia berkata pada Cassie, “Sebaiknya, kita simpan apa yang kita temukan sebelum polisi kemari.”
Cassie tahu apa yang harus dia lakukan. Mereka menyembunyikan dokumen-dokumen Edna beserta barang-barang aneh yang Dana temukan di mobil Molly. Bukti-bukti tersebut tersembunyi secara merata di seluruh interior dalam mobil.
“Semuanya sudah aman,” Dana menghembuskan napas.
0 notes
Text
26. Para Adik yang Menghilang
Polisi menutup jalanan umum tertentu, terutama jalana-jalan yang memiliki hutan-hutan kecil. Akibatnya, mau tidak mau orang-orang harus memilih rute jalan memutar yang lebih jauh. Seluruh awak kepolisian Zanesville berpencar ke segala penjuru, mengerahkan tenaga serta menjalankan strategi yang sudah disusun untuk menemukan mayat-mayat Sanders yang hilang.
Jess tidak peduli dengan jalan-jalan yang ditutup atau apapun yang menghalangi jalan-jalan di Zanesville. Sebelum jam kerjanya berakhir, ia sudah cabut lalu memacu mobil yang ia pinjam dari Ellie menyeberangi Sungai Muskingum menuju kantor polisi. Pernyataan Archer Carlisle membuatnya gundah. Kenyataan bahwa Cassie tidak bisa dihubungi juga menghambat fokus kerjanya. Ia juga gagal menghubungi Molly maupun Dana.
Dengan masih menggunakan seragam kerja, Jess mempercepat langkahnya menuju lift dan memencet tombol angka 4 hingga pintu menutup. Pintu lift terbuka tidak lama kemudian. Ia menenangkan diri sejenak sebelum keluar dari sana. Kedua kakinya melangkah menuju seseorang yang ia harap dapat membantu.
Sean terperanjat, “Jess,” tegurnya. Melihat wajah pucat pasi Jess, ia mencoba menenangkan, “Ada apa?” ia menjauh dari petugas perimeter yang sedang berdiskusi dengannya.
“Kalian menjadikan Cassie sebagai tersangka pembunuhan. Benar begitu, kan?” sembur Jess. Suaranya terdengar sedih dan protes. Air mukanya menunjukkan ketakutan juga kekhawatiran.  
“Benar,” jawab Sean setenang mungkin. “Namun-”
“Kau tidak bisa begitu saja menjadikannya tersangka sebelum menanyai dia,” Jess menyalahkan.
“Kami memang hendak-“
“Tunggu. Biarkan aku bicara,” hardik Jess. “Tidak masalah apa yang kalian tuduhkan. Sekarang, kumohon bantu aku. Aku tidak bisa menghubungi Cassie sejak tadi.“
Jess ragu sejenak, namun tatapan Sean yang dalam dan pembawaannya yang tenang saat menanti responnya, membuatnya percaya pada pria itu, “Aku ingin melaporkan Cassie sebagai orang hilang.”
“Jess, ini belum lebih dari 24 jam sejak kepergian Cassie. Dia belum tentu hilang. Mungkin, ponselnya mati,” ujar Sean. “Kami masih berspekulasi demikian, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Dia tidak pernah pergi dalam keadaan ponsel mati. Dia selalu membawa charger portable. Cassie orang yang selalu memberi kabar kemanapun dia pergi. Kau tahu dia, kan?” Jess sudah tidak bisa mengontrol emosinya.
Sean terpaku.
Belum pernah ia melihat Jess setidak berdaya sekarang. Jess sangat protektif terhadap Cassie sejak kepergian kedua orangtua mereka. Ia akan melakukan apapun demi menjamin keamanan adiknya.
“Ikut aku,” Sean merangkul Jess hati-hati. Yang Jess butuhkan saat ini adalah mengistirahatkan pikiran dari hal-hal yang belum tentu terjadi.
Lantai khusus Divisi Pembunuhan memiliki ruang pantry yang nyaman. Jess mungkin akan heboh mendapati ada mesin espresso di sana kalau pikirannya sedang tidak kalut. Sean memberi kursi yang nyaman untuk Jess, lalu membuatkannya secangkir espresso hangat.
“Minumlah,” ujar Sean, menyodorkan gelas. “Kau terlalu banyak bekerja.”
Dua hari yang lalu mereka bercinta untuk yang pertama kalinya. Hati Sean bergetar jika teringat ulang kejadian malam itu. Matanya tidak mampu berpaling dari Jess seperti sekarang. Bulu matanya yang lentik natural memberi kesan anggun pada paras wajahnya yang lembut. Namun disayangkan, wajah itu sedang bersedih dan Sean tidak menyukai hal itu. Penderitaan gadis itu sudah banyak. Diperparah lagi dengan Cassie yang menjadi tersangka pembunuhan dan sekarang entah berada di ujung dunia mana.
“Serahkan semua pada kami. Padaku,” ujar Sean sungguh-sungguh.
Sekilas tatapan mereka bertemu. Sean luar biasa gagah dan tampan dibalut seragam detektifnya. Namun, Jess sedang tidak ingin berpikir ke arah sana. Dia memikirkan Cassie. Dimana gadis itu? Apa yang sedang dia lakukan bersama teman-temannya? Mengapa mereka belum kembali? Apakah dia dalam bahaya? Apakah ponselnya dicuri seseorang atau mereka dirampok?
“Terimakasih, Sean. Kau selalu baik,” tutur Jess apa adanya.
Sean tersenyum lembut, “Sama-sama. Jangan sungkan-sungkan meminta bantuanku.”
Jess menyeruput minumannya, lalu berkata enggan, “Tentu.”
Sean merasa iba. Mungkin, itulah perasaan sebenarnya dulu, bukan cinta. Rasa iba yang mengalahkan rasa cinta membuatnya selalu ingin memastikan wanita itu aman dalam rengkuhannya setiap hari, seperti yang Jess lakukan pada Cassie.
Mata Sean melembut, “Jika ada hal lain yang ingin kau katakan, maka katakanlah.”
Jess antara menggeleng dan mengangguk, “Kurasa, tidak.”
“Kau yakin?” desak Sean. Ia beranjak dari tempatnya, “Aku akan mengantarmu pulang.”
“Terima kasih. Aku bawa mobil, Sean,” penolakan Jess berhasil menohok Sean.
“Baiklah,” ujar Sean sedikit kecewa, lalu melirik jam di dinding. “Mumpung masih jam 18.40. Kau sebaiknya segera pulang.”
Archer datang ke pantry. Ia menjaga sikap saat melihat Jess ada di sana. “Selamat malam,” salamnya formal.
“Malam, Detektif,” jawab Jess sekenanya. “Sebaiknya aku pergi sekarang. Terimakasih banyak, Detektif Horton,” ujarnya pada Sean kemudian berlalu.
Archer menaikkan alis, bibirnya menyerigai jahil, “Mantanmu, kan? Kukira kalian akan bercinta gila-gilaan di sini.”
“Lupakan saja,” ujar Sean setengah merengut. “Dia menanyakan tentang adiknya.”
Archer duduk setelah membuat espresso, “Dia tidak terima kalau adiknya jadi tersangka pembunuhan.”
“Memang tidak mungkin,” gumam Sean.
“Hey, kau harus bisa objektif atau Decker akan mengeluarkanmu dari kasus,” Archer memperingati. “Kita berpanduan pada bukti-bukti, bukan pada pengalaman berhubungan dengan seseorang. Kau sendiri yang bilang begitu.”
 ***
 Jess menghampiri pintu keluar ketika berpapasan dengan subjek yang menarik perhatiannya belakangan ini, “Ashley?”
Ashley sekejap terkejut dan terpaku bersamaan, “Apa yang kau lakukan di  sini?” Pertanyaannya terdengar menuduh.
“Menemui Detektif Carlisle,” Jess berkelit. “Membahas Cassie.”
“Apakah Cassie menghilang?”
Jess terbelalak, “Mengapa kau bertanya demikian?”
Mimik Ashley berubah serius, “Rachel entah berada di mana karena dia tidak bisa dihubungi seharian.”
Jess memberi isyarat keluar, “Sejak kapan dia menghilang?” ia bertanya setelah keduanya duduk di bangku taman terdekat.
“Dia tidak benar-benar menghilang. Maksudku, aku tahu kemana dia pergi. Terakhir, dia mengatakan bahwa akan pergi ke rumah asli Beatrice. Di Timberville.”
“Timberville?” Jess terpekik. “Virginia?”
“Tenanglah,” Ashley berkata dengan nada tidak suka. Jess selalu melebih-lebihkan hal kecil. Terlepas dari kewajibannya sebagai seorang kakak, Cassie adalah wanita dewasa yang tahu bagaimana melindungi diri. “Lima jam perjalanan, itu bukan masalah. Rachel pergi bersama Molly.”
“Molly justru pergi bersama Cassie dan Dana. Mereka nonton film,” Jess menghela napas. Cassie telah membohonginya, “Setidaknya, itu yang dia katakan padaku tadi pagi. Gila,” ia menyentakkan kepala, “Lebih gila lagi karena Cassie, Molly dan Dana adalah tersangka pembunuhan Beatrice.”
Tersirat kepanikan di wajah Ashley. Ia menyelipkan juntaian rambut di balik telinga, lalu bertanya serius, “Polisi bilang begitu? Tidak mungkin.”
“Aku tahu. Tidak mungkin, kan? Aku tahu siapa adikku,” Jess meluap-luap.
Ashley menyilangkan telunjuknya ke bibir, “Kau bilang Molly juga tersangka, bukan?”
“Ya,” ujar Jess.
“Lihat,” Ashley memberi kode supaya Jess menoleh ke arah yang ia tatap, “Siapa yang pergi di saat polisi sedang mengusut kasus?”
Detektif Ryan Fletcher tergesa-tergesa meninggalkan kantor polisi lalu berbelok di belakang bangunan yang gelap. Wajahnya terlihat masam karena amarah yang tertahan.
Alis Jess terangkat, “Seorang kakak yang khawatir?” ia membaca pikiran Ashley. “Ayo.”
Mereka mengikuti Ryan tanpa bersuara. Pria itu tidak menoleh sedikitpu seolah insting waspadanya tidak lagi berfungsi. Dugaan mereka benar. Ryan menuju mobil pribadinya yang diparkir di belakang gedung. Seragam detektifnya sudah tidak lagi melekat di tubuhnya.
Ashley dan Jess menyerbu, “Hey, Ryan!”
“Ashley? Jess?” balasnya tidak ramah. “Kalian mau apa?”
“Kami menginginkan hal yang sama sepertimu,” tantang Jess. “Kami tahu kau akan membantu kami.”
“Kalau kau ingin Molly kembali, kami tahu dimana dia berada,” Ashley memeras.
Alis Ryan terangkat, “Kalian menculiknya?”
“Please, Ryan,” tegus Jess sengit.
“Dengar, ini bukan urusan kalian,“ tukas Ryan dingin.
“Kau tidak akan bisa menemukannya dengan GPS-,” Jess menyela Ryan. “-karena ponselnya mungkin tidak aktif atau mereka berada di luar jangkauan dan mungkin saja berbahaya.”
“Apakah kau akan diam saja?” Ashley mendesak. “Mereka di Timberville.”
Ryan terkejut, “Mau apa mereka di sana?”
Ashley berpandangan sejenak dengan Jess, “Menurutku, mereka mencoba menyelidiki kematian Beatrice Eastwood. Kita harus pergi, kecuali kau setuju dengan keputusan teman-teman konyolmu bahwa Molly melakukan pembunuhan.”
Jess mendapati sinyal pertahanan Ryan mengendur, “Yang kau yakin itu tidak mungkin.”
Ryan menatap keduanya tidak percaya, “Dengar, Molly hanya pergi nonton dengan-
“-Cassie dan Dana Veenendaal?” terka Jess, “Kau lupa Cassie dan Dana sedang dalam pencarian polisi karena mereka berdua juga menghilang tanpa kabar?”
“Kalau begitu biarkan polisi menemukan mereka,” ujar Ryan tidak peduli. “Aku harus patroli.”
Ashley tidak percaya pada pendengarannya, “Ayolah! Kau pikir aku percaya kau akan patroli dengan pakaian dan kendaraan begini.”
Ryan bergeming.
Ashley menanti jawaban, “Jadi?”
“Baiklah. Kalau tidak mau, maka semakin besar peluang adikmu sebagai pembunuh. Bukankah polisi hanya memberi waktu 2x24 jam sebelum menetapkan mereka sebagai pembunuh? Ayo, Ashley. Kita lakukan sendiri.”
Ryan tidak peduli entah mereka mengancam atau tidak. Yang ia inginkan hanyalah agar adiknya kembali. “Tunggu-“ ia berubah pikiran. “Maukah kalian menuntunku?”
Jess berkata sinis, “Tentu saja, Detektif. Kau tak perlu khawatir.”
���ȕ:�
0 notes
Text
25. Edna? Edna. Edna!
Cassie diliputi perasaan asing berlebihan ketika kembali ke sana. Ruangan di dalam bangunan tersebut terlihat lebih menakutkan pada sore hari dibandingkan saat siang. Barangkali efek pencahayaan yang berkurang menyebabkan dinding kayu di sekeliling mereka terlihat seperti gua gelap yang menyeramkan.
“Pasti di balik sana,” kata Dana antusias. Pandangannya terpaku pada lemari besar yang mereka curigai sejak awal.
Cassie menyilangkan telunjuk di depan bibir, “Kau mendengar sesuatu?”
Dana menajamkan telinga, “Tidak.”
“Tepat. Kita tidak mendengar sesuatu yang kita dengar sebelumnya.”
“Dia pasti sudah memindahkan sesuatu itu,” tebak Dana.
“Pasti ada yang terlewat. Kalau memang dia sudah pergi, dia hanya punya sedikit waktu untuk membereskan apa yang sudah ia lakukan,” ujar Cassie. “Bantu aku.”
Dana mengikuti arahan Cassie dengan patuh. Bobot lemari tersebut tidak sebanding dengan bobot mereka berdua. Dana yang berbadan lebih kurus dibandingkan Cassie mulai kewalahan, “Aku tidak yakin dia sanggup menggeser lemari ini sendirian,” ujarnya dengan napas tersengal.
Cassie mulai putus asa, “Menurutmu dia mendapat bantuan?”
Dana menggunakan seluruh tenaga yang dimiliki, “Aku hanya bilang dia tidak mungkin sanggup sendirian.”
“Sedikit lagi,” seru Cassie. Perlahan-lahan tenaganya berkurang.
Tidak lama kemudian dengan sekali sentakan hebat, lemari tersebut berhasil digeser. Rupanya apa yang mereka curigai sedari awal terbukti benar. Lubang besar tersembunyi di belakang lemari seperti habis dijebol.
“Kira-kira apa di dalamnya?” tanya Dana pada Cassie yang berdiri mematung.
“Ayo cari tahu,” ujarnya Cassie, memimpin di depan.
Dana mengekor di belakang, ragu-ragu, “Semoga kita tidak menemukan yang aneh-aneh.”
Kegelapan menyelubungi lorong nan panjang ketika mereka menjejakkan kaki di dalam. Secuil penerangan yang berasal dari ponsel Cassie tidak cukup membantu, menyebabkan Dana terantuk-antuk sesuatu di sekitarnya. Ia merasa risih dengan benda-benda yang bertebaran, “Apa sih tadi?”
“Sstt..”
“Maaf,” bisik Dana. “Aku menabrak sesuatu terus.”
Cassie menyenteri lantai, “Ugh,” ia merespon jijik.
“Berantakan sekali,” ujar Dana.
Rupanya banyak benda-benda bertebaran di lantai. Daun-daun kering, patahan ranting pohon, bungkus plastik bekas makanan, kaleng minuman yang sudah peyot, kerikil-kerikil, bahkan tali rafia. Untuk apa itu semua ada di sana?
“Bagaimana ini semua ada di sini?” Cassie bertanya pada diri sendiri. Kemudian beralih pada Dana yang tidak melepaskan genggamannya sejak awal, “Menurutmu, apa yang terjadi di sini?”
“Aku tidak mau membayangkan.”
“Menurutku, seseorang tinggal di dalam sini,” bisik Cassie. “Tadinya.”
***
 Molly dan Rachel menerobos ruangan tengah dengan mudah berkat kunci duplikat. Molly enggan menanyakan perihal pada Rachel alasan Beatrice hanya memberikan kunci duplikat padanya, sedangkan dirinya tidak.
Rumah berlantai satu Eastwood yang sederhana seolah nampak lebih besar diselimuti keheningan. Walaupun sudah ditinggalkan, tidak ada yang berubah dari ruangan itu. Posisi benda-benda masih seperti semula. Minuman yang tadi disuguhkan masih tergeletak di meja. Wanita tadi pasti meninggalkan kediaman Eastwood dengan terburu-buru sebelum perbuatannya terbongkar.  
Rachel menunjukkan sebuah foto keluarga yang terletak di perapian sederhana, “Molly, coba lihat.”
Molly yang berada di ujung ruangan segera menghampiri. Kepalanya dipenuhi pikiran bermacam-macam, “Ada apa?”
“Kau lihat gadis ini?” tanya Rachel, ia mengarahkan perhatian Molly pada seorang wanita berusia pertengahan dua puluh. Perawakannya sangat mirip dengan wanita yang sempat mengaku sebagai Edna di awal perjumpaan, “Ini Edna yang asli?”
Otak Molly berpikir keras, “Menurutmu begitu?”
Rachel mengangkat bahu, kedua matanya mengamati dengan seksama, “Aku tidak tahu. Atau mungkin dia bukan Edna? Entahlah. Aku tidak pernah bertemu sekalipun dengan putri-putri Arthur Sanders.”
Semua orang di Zanesville tahu betul siapa Arthur Sanders serta reputasinya. Bukan karena Arthur memperkenalkan diri kepada warga, melainkan salah satu dari belasan pelayannya yang bernama Connie, adalah orang yang suka bergosip di Zanesville. Connie diberitahu tanggung jawab mengurusi keperluan harian seperti belanja persediaan makan, perlengkapan mandi dan sesekali membeli kopi murah di pinggir jalan untuknya.
Kediaman Sanders terletak di Convers Avenue, yang merupakan wilayah tempat tinggal orang-orang kaya Zanesville. Pagar-pagar rumah dipasang tinggi-tinggi untuk menjaga privasi. Sesekali terlihat mobil yang keluar-masuk dari dalam, namun wajah penumpang atau pengemudinya tidak cukup terlihat karena lensa kaca mobil yang terlalu gelap.
Connie pernah menceritakan bahwa mobil tuannya dipasang kaca anti-peluru. Entah benar, entah tidak.
“Menurutku-,” Molly berpendapat, “-ini memang Edna yang asli. Kalau Edna yang asli sudah meninggal seperti yang diberitakan, pasti wanita tadi menyamar.”
“Kalau memang dia menyamar, dia jago sekali. Tapi, kenapa? Semua ini sangat aneh. Kematian Beatrice lalu menghilangnya Tuan dan Nyonya Eastwood.”
“Seolah seseorang menginginkan keluarga Eastwood lenyap,” Molly menimpali.
Wajah Rachel memucat, “Mengerikan. Tapi, kenapa? Tidak ada yang istimewa dengan keluarga Eastwood. Eric dan Norma hanya sepasang suami-istri tukang kebun yang bangkrut, sementara Beatrice juga hanya gadis biasa.”
“Entahlah. Kalau dipikir-pikir, sepertinya aku tidak teralu mengenal Beatrice,” ujar Molly. Kemudian, ia teringat pada kotak penyimpanan yang ia temukan di halaman belakang Sanders, “Apakah Beatrice pernah mengatakan sesuatu padamu? Seperti, ada seseorang yang mengganggunya atau ia merasa terancam?”
“Tidak,” jawab Rachel cepat. “Kenapa?
“Sejujurnya, aku menemukan sesuatu kemarin.”
“Menemukan?” tanya Rachel curiga.
Molly memutar bola mata, “Mengambil, lebih tepatnya.”
Rachel meletakkan foto di tempat semula, menyimak Molly penuh perhatian, “Mengambil apa?”
“Beatrice mengubur sesuatu di belakang pekarangan rumah Sanders. Sebetulnya kejadian tersebut sudah lama, tetapi kemarin aku sedang mencoba menyelidiki dan mendapati benda itu masih terkubur di sana.”
“Benda apa?”
“Kotak penyimpanan. Isinya surat ancaman. Banyak sekali. Dalam bentuk gulungan kertas-kertas kecil.”
Rachel terperanjat, “Kau serius? Tunggu. Bagaimana bisa kau mengambilnya? Bukankah ada banyak polisi di sana?”
Molly tergagap, “Lupakan bagian itu. Yang jelas, kotak tersebut sudah aman sekarang. Kurasa, selama ini Beatrice diteror oleh seseorang.”
“Pantas saja,” ujar Rachel. Ia teringat pada perkataan Lance tentang Beatrice yang mengambil mata kuliah khusus para hacker pemula, “Lance mengatakan bahwa Beatrice belajar meretas selama satu semester. Dia bahkan mengambil mata kuliah yang terkait. Lance tidak tahu mengapa. Yang pasti, sejak saat itu mereka menjadi dekat.”
“Kau yakin? Tidak terdengar seperti Beatrice yang kukenal,” tanggap Molly.
Rachel mengangguk, “Atau yang kukenal.”
Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing.
“Aku sudah melihat sekilas ke dapur tadi. Tidak ada yang aneh,” usul Rachel.
“Kamar Beatrice!” pekik Molly. “Mungkin ada sesuatu di sana,” lanjutnya antusias, secara spontan menarik Rachel menuju kamar tidur Beatrice.
Kamar tidur Beatrice tidak terkunci. Aneh rasanya menjejakkan kaki di kamar orang yang sudah meninggal. Merasa lebih aneh lagi karena menjelajahi rumah yang tak bertuan seolah milik sendiri.
Banyak yang berubah dari kamar Beatrice sejak terakhir kali mereka menghabiskan akhir pekan bersama. Paduan foto-foto hitam-putih dengan ukiran-ukiran warna-warni menghiasi dinding kamar bercat biru kalem, memberikan nuansa cerah pada kamar Beatrice yang gelap.
Molly membongkar-bongkar lemari dan laci-laci meja bersusun, mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan petunjuk. Sementara Rachel meraba-rabai permukaan kasur beserta tumpukan bantal, memastikan tidak ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Ia sampai mengecek ke belakang lemari, hingga ke bawah kolong-kolong tempat tidur, meja dan kursi.
“Kau menemukan sesuatu?” tanya Molly.
“Belum,” ujar Rachel gelisah. “Dimana dia menyimpan barang-barang yang pernah kita kasih?”
Molly menggulung lengan kemejanya, “Entahlah. Aku juga belum melihatnya sama sekali.”
Bunyi derit kayu dari bawah lantai tempat Rachel berpijak, mengejutkan Molly, “Di bawahmu!” ia berseru.
Rachel menjauh dari sana untuk berjongkok di dekat tempatnya berdiri dan menekan-nekan permukaan lantai, “Ada sesuatu di sini,” ia memberitahu.
Berhati-hati Molly menusuk-nusukan kukunya yang tajam di antara urat-urat kayu, “Ketemu,” ujarnya setengah tak percaya ketika kukunya berhasil menembus sebuah celah di antara urat kayu yang tidak beraturan. Ia memasukkan kukunya lebih dalam. Rachel yang berada di sisi lain menahan celah tadi hingga terangkat.
Isinya membuat mereka berpandangan dan berpegangan satu sama lain.
Mereka tidak menyangka bahwa di bawah kamar tidur Beatrice selama ini, terjulur tangga rahasia yang akan menuntun mereka menuju pusat bumi yang gelap.
0 notes
Text
24. Menjadi Tersangka
Kabar mengerikan mencemari udara sore Zanesville. Manajer Paneera’s, begitu pula manajer kedai kopi lokal lain, akhirnya mengijinkan mobil-mobil mengambil bagian lahan kedai mereka sebagai tempat parkir. Alhasil, timbul masalah lain yaitu sampah-sampah cup kertas kopi yang kini berserakan di sepanjang jalanan pinggir kedai-kedai, membuat Jess jengkel bukan main. Orang-orang kota ternyata sangat berantakan dan tidak bisa teratur. Lebih jengkel lagi karena Cassie pasti lupa memberi kabar kalau tidak diingati sebelum dia pergi. Setahu Jess, adiknya pergi nonton dengan Molly dan Dana. Namun, sampai sekarang belum juga ada kabar entah dia sudah selesai nonton atau melanjutkan pergi ke tempat lain atau bermalam di rumah salah satu temannya.
“Biasanya Cassie dan teman-temannya kemari,” ujar Ellie yang cukup sering memperhatikan pelanggan, “Kemana mereka?”
Jess sedang membersihkan tumpahan susu dan air di meja bar, “Mereka pergi nonton,” ujarnya. “Herannya, Cassie bahkan belum memberi kabar.”
“Mungkin saja, mereka pergi nonton ke tempat yang jauh. Anak muda. Kau tahulah seperti apa,” ujar Ellie sepele.
Jess menyerigai nakal, “Seperti kau sudah tua saja.”
“Kau sudah coba menelponnya?”
Jess berpikir sejenak, “Sudah. Tapi, tidak aktif.”
“Mungkin habis baterai.”
“Bukan alasan. Dia bisa mengabari lewat teman-temannya,” jawab Jess.
“Atau dia bertemu cowok seksi dan tampan di tempat lain lalu mereka-“
Jess memberi tatapan menegur, “Cassie bukan perempuan seperti itu,” tukasnya.
“Kau yakin?” Ellie berkedip, “Dia sudah dewasa, Jess. Kau tidak bisa menjaganya 24 jam terus-terusan. Dia tidak bisa selalu aman dari masalah. Cassie harus terlibat dalam suatu masalah sekali sehingga bisa belajar bagaimana mengatasinya. Dia butuh pengalaman dan pendewasaan, bukan perlindungan dari seorang kakak.”
“Konyol,” balas Jess. Percuma debat dengan Ellie. Dia tidak akan mengerti.
“Baiklah,” Ellie merengut lalu berbisik. “Ada pelanggan,” ia memberi kode, lalu menyapa dengan suara ramah. “Selamat datang. Mau pesan apa?”
“Saya Detektif Carlisle. Dari Kepolisian Zanesville,” ujar pria itu seraya menunjukkan lencana tugasnya.  Ellie tidak segera mengenali karena penampilan aslinya lebih muda dibandingkan dengan di TV, “Bisakah saya berbicara dengan Jessica Breslin?”
“Tentu saja,” jawab Ellie kebingungan.
Jess melepas celemeknya, mempersilahkan detektif duduk di area yang jauh dari pelanggan, “Saya Jessica Breslin. Ada keperluan apa, Detektif?”
“Apakah Anda saudari Cassandra Breslin?” Archer membuat klarifikasi.
Bahu Jess menegang. Apakah Cassie akhirnya terlibat masalah besar? Ia bertanya-tanya dalam hati, “Iya, benar. Ada apa, Detektif?”
“Apakah Anda tahu dimana keberadaan Cassandra Breslin, Molly Fletcher dan Dana Veenendaal?”
“Cassie pergi nonton dengan Molly dan Dana. Dia tidak menyebutkan dimana,” ujar Jess ragu-ragu menambahkan, “Tapi, nanti akan kembali,”
“Kami sudah mencoba menghubungi mereka, namun mereka berada di luar jangkauan. Tim IT kami tidak berhasil melacak GPS mereka.“
Jess terperanjat, “Mungkin, ponselnya mati.”
“Jadi, ponsel mereka bertiga mati serempak?” Archer melontarkan pertanyaan menuduh yang membuat Jess merasa tidak nyaman.
Jess meluruskan bahu, menutupi perasaannya, “Untuk apa polisi melacak mereka?”
“Apakah mereka melakukan perjalanan keluar kota?” tanya Archer tanpa menggubris keingintahuan Jess.
“Tidak mungkin,” kata Jess, setengah berteriak. “Kalau saya boleh tahu, Anda memiliki keperluan apa dengan Cassie?”
“Maaf, Nona. Jika ternyata kami mengetahui bahwa Anda menyembunyikan keberadaan mereka, maka kami akan menahan Anda sebagai kaki tangan pembunuhan,” gertak Archer.
“Yang benar saja,” ujar Jess tidak terima. “Apa maksudnya?”
“Cassandra Breslin, Molly Fletcher dan Dana Veenendaal, mereka tersangka pembunuhan Beatrice Eastwood,” ujar Archer Carlisle.
“Tidak mungkin!” hardik Jess tertahan.
Archer mendesah, “Tim kami menemukan sidik jari baru milik Molly Fletcher di pekarangan belakang kediaman Sanders.”
“Lantas?” desak Jess.
“Kami akan menanyai perihal itu lebih lanjut padanya.”
“Kalau itu sidik jari milik Molly Fletcher, apa hubungannya dengan Cassie dan Dana?”
“Saksi mengatakan mereka terlihat pergi bersama sejak pagi,” ujar Archer.
“Siapakah saksi itu, Detektif?” tanya Jess. Ia memberikan penekanan saat mengucapkan kata‘Detektif’.
“Itu bukan urusan, Anda, Nona,” balas Archer dingin. “Permisi.”
  [���<�
0 notes
Text
23. Kembali
Molly memarkir mobil sesampainya di tempat semula. Rachel menyusul tiba di belakangnya. Mereka terburu-buru keluar mobil dan mendapati rumah sudah dalam keadaan kosong. Tidak ada mobil boks Tuan Eastwood. Pagar rumah digerendel dan ditandai tulisan ‘TERJUAL’.
Rachel merampas tulisan tersebut, merobeknya menjadi empat bagian, dan menginjaknya penuh kekesalan, “Terlambat!” geramnya.
“Apa yang harus kita lakukan? Semuanya terlambat,” Molly berputus asa.
“Tidak. Kita masih bisa mencari tahu apa yang mungkin mereka sembunyikan di dalam,” kata Cassie.
“Kita telepon polisi,” seru Lance. “Bagaimana kalau ada orang jahat di dalam sana?”
“Tidak cukup waktu, Lance,” sergah Rachel.
“Ponselku tidak ada sinyal,” ujar Lance.
Cassie mengecek ponselnya dan mendapati hal yang sama, “Punyaku juga.”
“Aku juga,” timpal Rachel kemudian.
Begitupula dengan punya Molly dan Dana.
“Kita seperti di pulau terbuang,” ujar Cassie gusar.
“Kita bisa memanjat,” kata Dana yang segera menaiki pagar berterali besi tanpa basa-basi. “Harus,” ia bersikeras.
“Dana!” seru mereka serempak.
“Bagaimana kalau ada orang jahat di dalam?” tanya Lance khawatir.
“Cassie, kau ingat bangunan di belakang rumah yang kita temui tadi? Aku yakin pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana,” ujar Dana yakin.
Rachel bertanya, “Bangunan apa?”
“Seperti gudang,” tutur Cassie, “Tapi, Edna, atau siapapun dia, lebih dulu menangkap basah kami. Itu artinya-,” ia berlaih pada Dana, “-mungkin kita sudah lebih dekat. Aku akan pergi dengan Dana. Kalian ikut?”
“Ayo, Guys,” ujar Dana tak sabar. Gadis itu sudah menginjakkan kaki di perkarangan rumah Eastwood dengan aman.
“Biar aku yang berjaga-jaga di sini, “ ujar Lance.
Molly menyuruh Rachel naik, “Kau duluan.”
Tak lama berselang, mereka sudah memasuki wilayah pekarangan rumah Beatrice.
Rachel mau tidak mau harus mengesampingkan perasaan tidak suka yang ia pendam pada Cassie. Permasalahan yang terjadi di antara kedua saudari mereka bukan satu-satunya pemicu perselisihan tersebut, melainkan ada hal lain yang membuatnya sulit menyikapi Cassie dengan hangat. Cassie menyadari demikian, justru ia memilih menyikapinya dengan sehat seolah tidak ada yang terjadi secara personal di antara mereka.  
Molly menerobos masuk dengan kunci duplikat yang Rachel bawa, sedangkan Cassie dan Dana menuju bangunan di belakang rumah. Di sisi lain, Lance memantau di luar dengan waspada. Ia mengawasi sesuatu yang terlihat mencurigakan di sekitar lingkungan sepi tersebut. Dua orang pejalan kaki menatapnya dengan tatapan menusuk. Seolah kehadirannya tidak diinginkan di sana. Lance merasa terasingkan berada di tengah-tengah deretan rumah yang bak tak berpenghuni. Rupanya masih ada manusia yang bertahan hidup di lingkungan tidak bersahabat dan mencekam seperti di sana.
Tanpa disadari, ia melipat kedua tangannya di dada sebagai respon perlindungan diri dari rasa tidak nyaman. Jam tangan yang melingkari pergelangannya menunjukkan pukul 15.30. Perutnya keroncongan karena belum sarapan dan melewatkan makan siang.
“Mengapa kau kembali, Anak Muda?”
Lance menyontakkan badan, “Maaf, Tuan?”
“Kau melakukan kesalahan, Nak.”
“Kesalahan?”
“Kesalahanmu adalah datang kemari. Mereka sudah pergi,” ujar pria paruh baya itu dingin.
Lance melirik pria itu takut-takut, “Sesuatu terjadi di Zanesville-”
Pria itu mengacuhkan guyonan Lance, “Aku sering melihat wanita tua itu berkebun di halamannya-”
Lance tertarik, “Norma Eastwood?”
“-kecuali hari ini. Setelah orang-orang itu datang.”
Rasa waspada Lance tergantikan dengan rasa ingin tahu, “Orang-orang apa?”
“Dua wanita dan satu pria. Mereka masih muda-muda,” pria itu menuturkan dengan suara dalam yang membuat Lance segan, “Selanjutnya, yang aku tahu wanita tua tidak terlihat lagi. Pria tua yang tinggal bersamanya juga tidak terlihat lagi-”
“Eric Eastwood?” tanya Lance meyakinkan,
“-sampai kalian datang. Kalian pasti mengacaukan apa yang orang-orang itu rencanakan,” ujarnya mencekam. Matanya menatap nyalang ke dalam bangunan kediaman Eastwood yang mencekam.
“Bagaimana Anda tahu, Tuan?” desak Lance.
Pria paruh baya itu menunjuk salah satu rumah putih di antara deretan lusinan rumah putih, “Rumahku,” ujarnya dingin. “Ketahuilah, Nak. Semua terlihat dari jendela rumahku.”
=M����><�
0 notes
Text
22. Berita Pembunuhan (Lagi)
“Kau butuh bantuan?” tanya Ellie yang melihat Jess sedang repot menanggapi keluhan salah seorang pelanggan. Pelanggan itu masih kekurangan saus karamel pada whip cream-nya, walaupun sudah mendapat tambahan ekstra.
Jess mencibir pada Ellie, lalu tersenyum dibuat-buat pada pelanggan tadi, “Ekstra triple saus karamel. Silahkan menikmati,” ujarnya.
“Triple? Dia mau kena diabetes?” bisik Jess keheranan setelah pelanggan rewel tersebut berlalu, “Hei, lihat!”
Televisi menyiarkan berita kriminal terkini dimana salah seorang dari Kepolisian Zanesville, bernama Detektif William Carlisle, mengemukakan hal yang mengejutkan seisi kedai, “Sampai saat ini, keempat jasad masih dalam pencarian kami. Kami memohon dukungan warga serta berharap agar kasus ini segera tuntas.”
Tayangan menampilkan empat wajah korban yang dimaksud beserta informasi tambahan terkait ciri-ciri fisik serta kondisi terakhir mereka yang terlacak. Para korban merupakan kepala rumah tangga, Arthur Sanders dan istri tercinta, Mildred, beserta seorang putri sulung, Edna dan putra bungsu, Lucas.
Sekali nama Arthur dan Mildred disebut, seisi kedai spontan diramaikan dengan bisik-bisik dan spekulasi yang aneh-aneh. Ellie terpaku menyaksikan keramaian, “Sebentar lagi, kita akan jadi sasaran pertanyaan.”
Dalam sekejap, Zanesville yang semula hanya kota kecil, kini menjadi bintang utama diantara kota-kota besar. Mobil-mobil dari stasiun televisi berbeda berlalu lalang menyesaki jalan, tak lama setelah berita tersebar. Tinggal menunggu waktu hingga tiba saatnya rumah bercat putih di Convers Avenue dibanjiri regu polisi, selusin reporter dan para warga Zanesville yang serba ingin tahu.
 ***
“Sampai saat ini, keempat jasad masih dalam pencarian kami. Kami memohon dukungan warga serta berharap agar kasus ini segera tuntas.”
Dana tersentak dari lamunannya di mobil, “Itu suara Carlisle. Coba keraskan volumenya.”
Molly mengeraskan volume radio, ikut menyimak.
Suara Will digantikan dengan suara pembawa berita di radio, “Polisi telah menemukan empat korban lain terkait kasus pembunuhan Beatrice Eastwood di Zanesville-”
Cassie terbingung, “Ada kaitannya dengan Sanders?”
“Dengarkan,” sela Molly, fokus.
“-mereka terdiri dari kepala rumah tangga, Arthur Sanders, sang istri Mildred Sanders, serta putri sulung dan putra bungsu, Edna dan Lucas Sanders. Keempat jasad yang telah teridentifikasi masih dalam pencarian polisi-“
Dana bergidik, “Ini gila. Benar-benar gila.”
“Astaga,” Molly terdengar syok. “Jika Edna sudah meninggal, lalu siapa yang kita temui tadi? Kita harus kembali!”
“Bagaimana jika-,” Dana berpendapat lain, “-kita menghubungi polisi lalu biarkan mereka menanganinya. Jangan sampai semuanya malah berantakan gara-gara kita terlibat.”
“Mereka tidak punya cukup waktu untuk kembali, Dana-“ bantah Molly, “-mumpung kita masih setengah perjalanan, tidak ada salahnya untuk kembali. Sebelum semuanya terlambat. Aku akan hubungi Rachel.”
Cassie menengok ke belakang pada Dana tanpa berkomentar. Sekelabat bayangan Norma Eastwood menghantui pikirannya disertai rasa bersalah berkepanjangan. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada rumah itu, namun tidak mengambil tindakan segera.
Molly berbicara panik di ponsel, “Rachel, kau sudah dengar kabarnya?”
“Loudspeaker,” pinta Cassie pelan.
Molly menekan tombol pengeras suara sehingga ia bisa menyetir dengan kedua tangannya, “Sudah? Dengar, kurasa kita harus kembali. Ada sesuatu yang tidak beres. Apakah kau mengenal keluarga Eastwood yang lain? Tidak? Aku juga. Buruk sekali.”
“Beberapa meter di depan ada putaran. Kami akan putar balik di sana,” ujar Rachel di telepon. Suaranya terdengar bergetar karena cemas.
“Baiklah. Sampai nanti,” ia memutus pembicaraan terburu-buru, mempercepat laju mobil.
Mereka harus segera kembali. Semoga belum terlambat.
0 notes
Text
21. Dr. Edna Sanders
Untung ada Lance. Kalau tidak, bagaimana mereka mampu mengangkut Tuan Eastwood yang bertubuh berat dan membaringkannya di sofa. Wajar saja kalau tidak ada balasan dari dalam sejak mereka mengetuk. Pria itu pingsan karena penyakit jantungnya kumat.
Wanita yang baru pertama kali mereka lihat terlihat sangat khawatir. Ia menyiapkan minum untuk tamu-tamu yang sudah lancang menerobos, sesekali mengamati Tuan Eastwood dari tempatnya duduk, ”Terimakasih kalian telah menolongku. Maafkan sikapku sebelumnya,” ia bermaksud pada Cassie dan Dana. “Aku Edna. Edna Sanders. Putri pertama Arthur Sanders-,” ia memperkenalkan diri. “-kalau kalian mengenal beliau.”
Tentu saja semua mengenal Arthur Sanders karena reputasinya sebagai orang terkaya di Zanesville.
“Kaukah yang berkuliah di Yunani?” tanya Molly penasaran.
Edna menggeleng, “Itu Lucia, adikku. Aku bekerja di Manhattan sebagai dokter. Ketika mendengar kabar Beatrice meninggal-,” raut wajahnya berubah, “-aku segera menuju kemari.”
Rachel menatap Cassie dan Dana sengit sebelum berbicara, “Kami teman sekampus Beatrice. Kalau boleh kami tahu, apa hubungan kalian?”
“Betapa baiknya kalian sudah datang kemari. Terimakasih,” Edna memuji ramah, bertolak dengan rautnya yang masih berduka. “Kami adalah kerabat dekat, keluarga sebenarnya,” ia menjelaskan. “Sebelum menikah, Norma Eastwood adalah Norma Sanders. Jadi, ayahku adalah paman dari Beatrice dan kakak dari Norma Eastwood.”
Molly dan Rachel berpandangan bingung. Tidak satupun dari mereka mengetahui perihal tersebut ataupun seluk-beluk keluarga Beatrice. Kenyataan bahwa Beatrice adalah keponakan dari saudagar kaya di Zanesville, sangat mengejutkan mereka.
Cassie menjadi lebih penasaran, ia bertanya, “Jadi, apa yang Beatrice lakukan di rumah kalian? Bukankah pada saat itu Tuan Sanders dan keluarga, kecuali kau, ke Yunani?”
Edna meluruskan tubuh, berdehem, “Beatrice, setahuku, memang tinggal di tempat ayahku. Ayahku mengijinkannya. Rumahnya terlalu jauh dari kampus, sehingga ayahku mengusulkan agar ia tinggal dan melakukan beberapa hal.”
“Seperti?” tanya Dana spontan.
“Bersih-bersih rumah. Well-,” Edna cepat-cepat menjelaskan, “-bukan seperti pembantu tentunya. Hanya membantu ibuku melakukan beberapa hal-hal kecil lain seperti berkebun. Pekerjaan berat lainnya tentu saja dilakukan para pelayan yang kami pekerjakan.”
Mereka menoleh ketika mendengar suara derit pintu dibuka lalu tertutup kembali. Gesekan sandal dengan lantai kayu menimbulkan bunyi derit ringan ketika Norma Eastwood mendatangi mereka di ruang keluarga, “Betapa menyenangkannya kedatangan tamu,” ujarnya.
Edna beranjak dari duduk, membantu Nyonya Eastwood berjalan. Cassie mengira suami-istri Eastwood masih seumuran dengan kedua orangtuanya yang masih segar bugar. Dilihat dari kondisi fisik, kemungkinan keduanya telah memasuki usia tujuh puluhan.
“Auntie, darimana saja kau?” tanya Edna khawatir sembari membantu Nyonya Eastwood duduk. “Auntie sering sakit belakangan ini. Aku mengirimi mereka resep harian karena jauh kalau mesti ke New York.”
Lance bertanya, “Bagaimana dengan rumah sakit lokal?”
“Tentu lebih dekat, tetapi ayahku mempercayaiku untuk merawat adiknya,” ia menjelaskan lalu tersenyum hormat pada Norma.
Norma memicingkan mata, “Aku mengingat kalian,” ujarnya pada Molly dan Rachel bergantian.
“Kami teman dekat putrimu. Kami turut berduka atas kehilanganmu,” ujar Molly pahit.
Norma terlihat linglung, “Sepertinya, kalian pernah kemari sebelumnya.”
Rachel dan Molly bertatapan kebingungan.
“Kami pernah kemari. Lumayan sering. Apakah Anda sudah lupa?” tanya Rachel.
Edna berdehem, “Maafkan aku, kalau ini tidak seperti yang kalian harapkan,” ia memohon maklum. “Tetapi, mereka berdua memang tidak sehat,” ia melirik tak tega pada Tuan Eastwood yang masih belum sadarkan diri, “Itulah mengapa ayahku mengusulkan agar Beatrice tinggal bersama kami supaya lebih fokus berkuliah. Permisi sebentar. Mari, Auntie, kuantar kau ke kamar.”
Dana berbisik pada Molly sepeninggalnya Edna dan Norma, “Separah itukah penyakitnya?”
“Aku mendengarmu,” tegur Rachel dingin.
“Aku tidak tahu kalau mereka sakit,” ujar Molly. “Bagaimana denganmu, Rachel?”
Rachel sama terkejutnya, “Aku juga baru tahu. Kau, Lance?”
Lance menggeleng, “Apalagi aku.”
Tidak lama kemudian, Edna kembali, “Kalian ada keperluan lain?”
“Kami hanya ingin menyampaikan duka cita,” ujar Rachel beranjak bangkit, diikuti yang lain. “Sampaikan salam kami pada Tuan Eastwood.”
Edna tersenyum lelah, “Terimakasih telah datang,” ujarnya, mengantar mereka sampai ke depan.
Mereka masuk ke mobil masing-masing. Akan tetapi, mata Cassie seolah melekat pada rumah itu. Sudut matanya menangkap sekelabat bayangan bergerak di jendela rumah paling pojok. Ia bergeming selama beberapa detik sebelum membungkam mulutnya dengan kedua tangan.
Norma Eastwood menempelkan sebuah kertas di jendela berisikan tulisan. TOLONGLAH PUTRIKU.
Edna melongokkan kepalanya pada Cassie di jendela mobil, “Hati-hati di jalan,” ujarnya.
Cassie tergagap membalas ucapan Edna, “Terimakasih, Edna.”
Sesaat mesin mobil dinyalakan, bayangan Norma sudah menghilang dari jendela. Dari kaca spion, Cassie mengamati Edna menunggui hingga mobil berbelok di tikungan.
Firasat Cassie memang benar. Setelah mobil menghilang dari pandangannya, Edna bebicara di telpon pada seseorang, “Pergantian rencana,” ujarnya dingin.
0 notes
Text
20. Bangunan Di Belakang Rumah
Mereka mengira jalan setapak tersebut akan mengantarkan ke pintu belakang rumah, yang mungkin saja tidak terkunci. Namun belum sampai di sana, sebuah bangunan berukuran sedang yang berada cukup jauh dari bangunan rumah mencuri perhatian Dana. Sifatnya yang ceroboh membuatnya menghampiri tanpa ragu-ragu, sementara Cassie mau tidak mau mengikuti dari belakang, memastikan Dana tidak melewati batas kali ini.
Cassie hendak mengajak Dana kembali ketika pintu kayu yang merupakan jalan masuk ke bangunan tersebut tiba-tiba terbuka sedikit karena angin. Mereka belum bisa menerka kegunaan bangunan tersebut, dikarenakan bagian dalamnya terlihat sangat gelap dari luar.
“Kita perlu ke dalam,” usul Dana nekat. “Mereka mungkin di sana.”
Cassie menahan lengan Dana, “Tunggu. Kita beritahu Molly dulu.”
“Kurasa-“ kilah Dana, “-dia tidak perlu tahu. Kau lihat tatapan matanya tadi? Dia seolah enggan berkunjung.”
Cassie menekan dan menarik leher belakangnya ke bawah dengan kedua tangan, kebiasaan yang ia lakukan untuk mengurangi ketegangan, “Aku tidak memperhatikan.”
“Kalau begitu kau tunggu di sini. Biarkan aku masuk,” ia memimpin jalan. “Jika dalam waktu lima menit aku belum kembali, kau baru menyusul.”  
Cassie menyepakati ragu-ragu, “Okay.”
Baru beberapa detik setelah Dana masuk, terdengar suara berisik dari barang-barang berjatuhan di dalam. Cassie mendengus. Sudah takdirnya mengawal Dana, “Dana!”
Cassie terburu-buru menghampiri ketika Dana sedang mengembalikan barang-barang yang ia senggol ke tempat semula, “Ups. Maaf,” katanya. “Lagipula, tidak ada orang kan.”
SREK. SREK.
Cassie memasang kedua telinga dan mata tajam-tajam, “Dana? Kau dengar?”
Raut wajah Dana menunjukkan perubahan, “Suara apa itu?”
“Halo,” teriak Cassie nyaring. “Siapa di sana?” Pertanyaannya menggantung di udara.
“Menurutmu, kita tidak sendiri?” tanya Dana.
Cassie mengitari meja kayu besar yang menghalangi jalan, “Kurasa. Aku mendengar dari sana,” ia mengarahkan pandangannya ke sebuah lemari besar berisi barang-barang tua.  
Jari-jari Dana menyentuh benda-benda dan perabot-perabot tua di sekeliling, “Bersih.”
Cassie merespon Dana seperti kebingungan.
“Maksudku, di sini bersih walau tidak sebersih rumah-rumah umumnya,” jelas Dana. “Bersih seperti berpenghuni,” ujarnya tanpa berpikir. Seolah menyadari ucapannya barusan, ia refleks menyentuh pundak Cassie yang menegang, “Kita keluar saja.”
“Mungkin, memang dibersihkan setiap hari,” jawab Cassie asal.
“Ya? Untuk apa?” tanya Dana kembali.
“Aku tidak yakin,” ujar Cassie tanpa menoleh.
Dana mengawasi Cassie. Kecemasan dan ketakutan menjalari punuk leher yang membuatnya bergidik. Awalnya, ia bermaksud memastikan apakah ada orang di dalam sana, yang mungkin saja sedang sibuk melakukan pekerjaan seperti bersih-bersih. Tapi dalam sekejap justru muncul keraguan dan ketakutan. Kepalanya dikuasai pikiran negatif yang mungkin terjadi pada mereka.
“Bagaimana kalau kita tiba-tiba menemukan mayat.”
Cassie mendelik, “Well, aku tidak menyangka kau bisa berpikiran begitu,” responnya santai. Rasa penasaran terlanjur menguasai dirinya. Terutama ketika suara seperti gesekan kaki yang berasal dari belakang lemari terdengar lagi, “Aku yakin mendengar sesuatu dari balik sana, Dana,” ia bersikeras.
Dana mengupayakan segala hal, “Barangkali tikus. Kita kembali saja.”
Cassie tidak menggubris. Ia mendekati lemari dengan hati-hati. Lemari tersebut sangat berat. Membutuhkan dua orang untuk menggesernya. Mereka bersusah payah mengerahkan seluruh tenaga ketika pintu terhempas kuat.
“Demi tuhan,” wanita itu terkejut bukan main. ”Siapa kalian?!”
��L�"�
0 notes
Text
19. Menerobos Masuk
“Kau duluan,” ujar Cassie blak-blakan yang disetujui Dana dengan mendorong Molly paling depan.
Molly menunjuk ke arah dirinya, “Aku?”
“Kau temannya,” ujar Dana tidak mau tahu.
Molly membasahi rahangnya dari dalam dengan lidah sambil memutar kedua bola mata, pertanda mulai kesal, “Jadi, kalian bukan? Baiklah,” cetusnya.
Cassie dan Dana berpandangan sejenak sebelum mengekori Molly tanpa bersuara.
Kediaman Eastwood tidaklah mewah. Itu sebabnya Cassie dan Dana terkejut, berbeda dengan Molly yang sudah biasa. Beatrice ternyata berasal dari kalangan keluarga kurang mampu. Kondisi rumahnya sangat bertolak belakang dengan penampilannya ketika di kampus. Mereka bahkan tidak memiliki kendaraan yang layak untuk dikendarai, kecuali mobil boks yang terlihat sudah tua dan buruk berlepotan tanah. Sebelum teman-temannya membuka mulut, Molly sudah lebih dulu memberi isyarat untuk diam.
Molly mengetuk pintu, “Nyonya Eastwood, ini aku. Molly.”
Tidak ada jawaban.
Dana berinisiatif mengintip dari jendela. Tirainya terlalu tebal sehingga ia tidak bisa melihat ke dalam dengan jelas, “Coba sekali lagi.”
Molly mengetuk kedua kali dan mendapat respon yang sama.
“Mungkin tidak ada orang di dalam,” Dana berpendapat.
Ketika Molly dan Dana masih bergemelut di halaman depan, Cassie mendapati jalan setapak kecil di sebelah rumah yang mengarah ke suatu jalan berkerikil di belakang rumah. Jalan setapak tersebut agak tersembunyi di balik rimbunan semak-semak yang dipangkas rapi.
“Guys. Sebelah sini.”
Seruan Cassie mengalihkan perhatian mereka.
Molly bertanya setengah berbisik seraya mendekat, “Ada yang salah?”
“Jalan rahasia?” tanya Dana terpukau.
Cassie memandang Molly tak percaya, “Benarkah?”
Molly mencoba mengingat-ingat, “Entahlah. Aku tidak ingat pernah melihat jalan ini.”
“Menurutmu kita bisa lewat sini?” Dana bertanya-tanya.
Molly menimbang-nimbang, “Biar kupikirkan.”
Dana berkata gusar, “Tidak perlu,” ia menaiki sebuah batu lalu tanpa diduga melompati semak-semak setinggi bahu. Dalam sekejap, kedua kakinya sudah menginjak rerumputan yang dikelilingi taman kecil indah.
Cassie setengah berseru, “Dana!”
Dana setengah berjinjit, menyembulkan kepala, “Tidak akan ada yang terjadi,” ia bersikeras, menelusuri setapak tanpa kesepakatan.
“Aku meragukan itu. Kita terkesan tidak sopan,” ujar Molly ragu.
“Seandainya sesuatu terjadi pada Tuan dan Mrs E-,” Dana membela diri. “-kalian akan berterimakasih padaku.”
“Kau bisa menunggu di sini,” Cassie berkata pada Molly akhirnya. “Aku akan mengikutinya.”
“Baiklah,” ujar Molly kemudian.
Cassie ingin memastikan Dana tidak berbuat ceroboh, apalagi nekat.
***
 Sesuai arahan Rachel, Lance harus berbelok ke kiri dua kali sebelum tiba di rumah Beatrice. Ia memperlambat laju mobil ketika rumah Beatrice sudah terlihat. Ada sebuah mobil yang sudah terparkir di depan rumah membuatnya ragu sejenak.
“Mereka kedatangan tamu,” ujar Lance, mengamati dengan jeli. “Sepertinya, aku pernah melihat mobil ini.”
Tidak seperti Lance yang ragu-ragu, Rachel justru cepat-cepat keluar mobil, memasuki pekarangan yang asri, mengintip sekilas dari jendela, “Nyonya Eastwood,” ia mengetuk pintu. “Nyonya Eastwood!”
Lance memarkir mobil Rachel berhadapan dengan mobil yang sudah tiba lebih dulu, “Rachel, aku pernah melihat mobil ini,” ia mengamati plat dan badan mobil dengan seksama.
Rachel menoleh sekilas padanya, “Itu mobil Molly,” ia memberitahu. “Santai saja.”
Lance mengangguk salah tingkah, “Oh, iya.”
“Rachel!”
Lance dan Rachel menoleh bersamaan ke sumber suara.
Rachel mendekat ragu-ragu, “Molly? Apa yang kau lakukan di sini?”
Mereka berpelukan erat.
“Hey, kau baik-baik saja?” tanya Molly. Ada kerinduan dalam nada bicaranya yang sungguh-sungguh.
Rachel mengendurkan pelukannya, “Aku baik saja. Aku turut berduka cita.”
Bibir Molly mengerut, “Ya, aku juga demikian,” ujarnya kemudian menyadari kehadiran Lance dan menyapa cowok itu.
Lance menghampiri sambil melambai, “Kapan kau tiba?”
“Sekitar sepuluh menit yang lalu.”
“Belum lama,” Lance menanggapi ramah.
Rachel mengamati gerak-gerik Molly yang nampak tidak nyaman, “Apa ada yang salah?”
“Orangtua Beatrice sepertinya tidak ada di tempat,” keluh Molly. “Tapi, mobil boks mereka masih ada. Jadi, seharusnya mereka tidak pergi kemana-mana.”
“Seharusnya mereka memang tidak kemana-mana,” Rachel sependapat.  
Lance mengetuk pintu lebih keras, “Tuan Eastwood!”
“Sudah kucoba,“ Molly mengadu pada Rachel. “Aku sedang menunggu kabar dari Cassie dan Dana.”
Rachel melempar tatapan mencari-cari. Rahang wajahnya refleks mengeras, “Mereka disini?” ia bertanya seolah menolak keberadaan mereka.
“Mereka di belakang,” tutur Molly dengan wajah tidak enak.
“Apa?!”
“Ada jalan setapak di sana dan mereka mencoba mencari jalan masuk.”
“Satu-satunya jalan masuk adalah lewat pintu depan, Molly,” Rachel berkata geram. “Mereka bahkan bukan teman Beatrice.”
“Mereka temanku,” bela Molly. Menyadari ucapannya barusan yang kurang tepat, ia menjelaskan dengan sabar, “Mereka disini juga untuk berduka. Tidak ada maksud lain.”
“Sebaiknya begitu,” Rachel menenangkan diri. “Sebenarnya-“ lanjutnya ragu-ragu seraya merogohkan tangannya kedalam saku khaki, “-aku masih menyimpan kunci duplikat Beatrice.”
“Astaga,” pekik Molly terkejut. “Dia memberimu duplikat?”
Ceklek!
Rachel perlahan memutar kenop pintu utama. Wangi ruang depan kediaman Eastwood masih seperti dulu. Perpaduan antara aroma mawar segar yang baru dipetik dengan daun peppermint membuat Lance mengerutkan hidung. Aromanya menyebabkan matanya agak berair. Dia benci wangi peppermint.
“Aku seperti maling,” sesal Rachel, tapi semua sudah terlambat.
“Yeah,” serigai Molly kecut. “Mau bagaimana lagi.”
Molly teringat untuk mengabari teman-temannya. Aneh sekali, kali ini ponselnya justru tidak mendapat sinyal. Sungguh rumah yang sudah tua dan rapuh, tapi nyaman dan bersih untuk ditinggali.
“Mengabari Dana dan Cassie?” Lance memastikan bertanya pada Molly yang menyebabkan Rachel refleks menoleh tidak suka.
“Yup,” jawab Molly singkat. “Tapi, tidak ada sinyal.”
Ekspresi wajah Lance berubah serius, “Biar kucoba.”
“Tersambung?”
“Belum.”
Rachel mengamati mereka berdua dengan wajah tidak suka. Bukan salahnya kalau ia bisa sangat sensitif pada Cassie dan Dana. Terutama Cassie.
Tanpa menunggu Molly ataupun Lance, Rachel menelusuri hingga ke dalam dapur. Mungkin saja Tuan Eastwood tertidur selagi menunggu pesanan bunga. Akan tetapi, Rachel justru mendapati ruangan dapur bak tidak berpenghuni. Meja dapur kering, tempat biasa Nyonya Eastwood meracik bahan-bahan makan malam, terlihat sangat bersih dan kesat saat disentuh. Bekas tumpahan kopi yang dulu menyisakan noda cokelat dan sulit dibersihkan sudah tidak nampak.
Terakhir Rachel berkunjung adalah setahun yang lalu. Tidak ada yang berubah dari depan, kecuali dapur. Seingatnya, meja makan dulu masih terbuat dari kayu, namun sekarang sudah digantikan dengan bahan komposit plastik yang lebih kuat dan modern.
“Nyonya Eastwood.”
Rachel bergeming, memasang telinga lebar-lebar dan kedua mata waspada.
“Tuan Eastwood.”
Rachel menuju bagian belakang rumah yang terpisah dari dapur. lalu menyadari sesuatu ketika mengintip halaman belakang dari jendela. Rumah itu sangat sunyi bahkan tidak terdengar gonggongan Rufus, anjing dobberman kesayangan Tuan Eastwood, yang langsung menyalak-nyalak kalau ada tamu.
Rachel merogoh kunci. Beatrice pernah mengatakan bahwa kunci pintu utama sama dengan kunci pintu belakang. Ia memutar kenop pintu. Ketika pintu sudah terbuka lebar, mulutnya menganga lebar dan kedua matanya mendelik ngeri. Ia berteriak, “Guys, tolong aku!”
0 notes
Text
18. Mendatangi Kediaman Eastwood
“Masih jauh?” tanya Dana dari jok belakang. Mereka telah berkendara selama satu setengah jam dan belum terlihat tanda-tanda akan tiba di kediaman Eastwood.
Molly merespon sekadarnya, “Masih.”
Cassie menengok ke belakang, “Kau menyimpannya di tempat yang aman, kan?”  
Dana mengangguk, “Tenang saja,” ujarnya. Kotak penyimpanan Beatrice sudah aman tersimpan di rumahnya bersama barang-barang pribadinya di suatu tempat yang tak seorangpun tahu selain dirinya.
Mereka bermobil dalam sunyi selama dua puluh menit ke depan. Musik indie pop yang diputar sepanjang perjalanan sekadar melenyapkan kesunyian di dalam mobil, sebab masing-masing terpusat dengan pikirannya sendiri-sendiri. Mereka baru bersuara ketika menepi di minimarket untuk membeli kopi dan makanan ringan sebagai pelengkap perjalanan. Cassie dan Dana turun untuk berbelanja, lalu kembali ke mobil sepuluh menit kemudian dalam diam sebelum Molly menancap gas meninggalkan minimarket.
Cassie belum tahu pasti tujuan mereka berkunjung selain menyampaikan duka cita, yang mungkin lebih mirip seperti basa-basi. Akan tetapi, surat ancaman yang Molly tunjukkan semalam membuatnya susah tidur. Ribuan pertanyaan bermunculan di kepala, membuatnya tidak sabar menanti pergantian hari. Dana sibuk dengan ponselnya karena bosan dan lelah duduk, sementara Molly fokus menyetir.
Molly memacu mobil dengan kecepatan cepat di jalan raya yang tidak terlalu ramai. Kincir-kincir air besar menjulang di antara padang ilalang kecokelatan serta berlatar langit biru cerah, terlihat serasi dengan aspal jalan raya yang kelabu. Pemandangan yang cukup menyejukkan mata. Sayangnya, mereka tidak terlalu memperhatikannya apalagi menikmatinya.
 ***
Rasa marah, sedih dan kelaparan bercampur aduk sepanjang perjalanan. Lance yang sedang menyetir merasa tidak tentram duduk bersebelahan dengan Rachel, terutama gerak-gerik gadis itu terlihat tidak nyaman. Awalnya mereka beramah tamah saat menit-menit awal di mobil, lalu mendadak percakapan terhenti kecuali radio yang menyiarkan info-info terkini seputar dunia selebriti.
Sejujurnya, Lance masih terkejut karena kedatangan mendadak Rachel ke rumahnya pagi-pagi sekali setelah Ashley berangkat kerja. Mereka tidak pernah benar-benar berbicara empat mata di kampus maupun di luar, bahkan Lance tidak tahu bagaimana Rachel menemukan alamat rumahnya. Sedikit terpaksa, Lance menyetujui ajakan Rachel ke rumah Beatrice. Lance akhirnya membuka kartu mengenai hubungan rahasianya dengan Beatrice sebelum gadis itu meninggal.
Sebagai anak kuper penyendiri, tentu harga dirinya sedikit terangkat ketika orang setenar Beatrice mau menjalin hubungan istimewa dengannya walaupun harus sembunyi-sembunyi. Lance bahkan belum pernah berkenalan langsung dengan orangtua Beatrice.
Rachel mengamati Lance dari samping dengan cermat. Cowok itu terlihat masih syok. Dia pantas bersikap begitu. Bagaimana tidak? Dalam sehari, orang-orang sudah menuduhnya yang bukan-bukan sejak polisi terang-terangan menggiringnya di depan banyak orang. Walaupun, alibinya sudah dipastikan namun tetap tidak membuatnya merasa aman. Sekali namanya tercantum dalam daftar tersangka, ia akan selalu diliputi rasa waspada dan terintimidasi seperti sekarang. Rachel memahami perasaan itu, “Lance?”
Lance menoleh sekilas, lalu kembali menghadap jalan.
“Jangan pikirkan perkataan orang. Tapi, kau mungkin masih belum aman,” ujar Rachel dingin. Tatapannya menusuk dan perkataannya terdengar berbahaya
Setengah menyerigai kikuk, Lance membalas, “Kau sedang berusaha menyampaikan sesuatu?”
“Apakah aku terkesan demikian?” tantang Rachel balik.
Lance tidak berani menjawab.
“Beatrice teman dekatku,” Rachel menekankan. “Setidaknya sampai sebelum dia bergabung di klub teater. Tapi, kami masih akrab walau sudah jarang menghabiskan waktu bersama.”
“Aku tahu hal itu. Beatrice juga cerita.”
Rachel menelisik mata hijau Lance yang terselubung di balik kacamata hitam. Cowok itu berkata jujur, “Pasti hubungan kalian sangat dekat.”
“Memang dekat,” ujar Lance. Dia menginginkan pengakuan.
“Aku tidak bermaksud buruk. Maksudku, apakah Beatrice pernah menginginkan sesuatu darimu?”
Kening Lance mengernyit, “Seperti apa?”
“Dia memintamu melakukan sesuatu yang tidak bisa atau mungkin yang tidak ingin orang lain lakukan,” kata Rachel hati-hati.
“Dia bukan tipe seperti itu dan aku bukan tipe yang seperti itu juga,” semprot Lance.
Rachel menghela napas berat, “Kau defensif sekali,” keluhnya. “Bukan itu yang kumaksud. Tapi, kau sepertinya tidak terima. Apakah jauh di dalam hatimu kau merasa dia begitu?”
Lance tidak bersuara.
Rachel mengangkat tangan tidak sabar, “Baiklah. Aku bicara dengan batu.”
“Aku tahu mungkin terdengar mustahil. Dan mungkin tidak. Pertama, Beatrice mau berpacaran denganku. Denganku,” tekan Lance. “Hal yang sangat mustahil, lalu kedua, dia ingin menyembunyikannya dari orang-orang. Kau pikir aku tidak menaruh curiga padanya sejak awal? Tentu, aku curiga. Apalagi gadis-gadis tenar umumnya hanya bisa menyakiti. Jadi, aku mengiyakan saja ketika dia mengajakku pacaran. Aku menunggu sampai kapan dia akan berpura-pura, tapi ternyata sampai ia kinipun tidak ada hal khusus yang ia minta dariku. Dia benar-benar menyukaiku.”
”Kau pasti tersanjung sekali,” ujar Rachel tanpa menghakimi, tapi Lance justru memasang wajah dengan ekspresi yang tidak bisa dideskripsikan, “Aku serius. Kau tidak perlu tersinggung atau berpikiran negatif. Seperti sekarang.”
Lance tersindir, “Jadi, apa yang sebenarnya kau ingin ketahui?”
“Banyak, Lance. Kau tidak akan percaya,” ujar Rachel. “Aku sempat menangkap basah kalian jalan berdua waktu itu. Tapi, ketika kutanya pada Beatrice ada urusan apa ia menemuimu. Beatrice berkata bahwa dia tidak sadar kalau kau ada di sekitarnya dan hanya menyapa karena kebetulan bertemu. Saat itu-,” ia mengingat-ngingat, “-dia terdengar meyakinkan. Entahlah. Seolah seperti, ya, kalian memang hanya berpapasan. Lalu, kedua kalinya. Tapi, kali kedua aku tidak berkomentar. Aku pura-pura tidak tahu saja dan tidak bertanya juga. Begitupula, dengan yang ketiga dan keempat kali sampai kemudian.” Ia menelan ludah yang terasa pahit, “-dia meninggal.”
“Kau mengikutinya?”
“Ya, dia tidak sadar aku mengikutinya. Kupikir kalian bertemu di klub teater. Tapi, ternyata kau bahkan bukan anggota klub.”
“Aku melihat Beatrice di kelas pertama kali sewaktu semester tiga. Kami tidak banyak bicara. Beatrice berteman dengan orang-orang tenar tapi baik. Bukan golongan yang kaya sekali memang, golongan menengah. Aku berteman dengan, ya, teman-temanku yang aneh di mata orang-orang seperti kalian,” kata Lance terus terang, “Aku mengagumi kebaikan hatinya, ketulusannya saat berbicara dan kecantikan alami yang ia miliki. Tapi, saat itu aku sekadar memandanginya dari jauh. Aku bukan tipenya. Itu yang kuyakini pasti saat itu.”
“Lalu, semua berubah?”
“Semua berubah-,” ujar Lance mantap, “-di semester tujuh. Terkejut karena dia masih ingat padaku padahal kami hanya sekelas sekali. Dia duduk di sebelahku karena tidak kenal banyak orang di kelas waktu itu. Sejak itu, kami sering berbicara dan lumayan sering bertukar pesan.”
Rachel memicingkan mata, “Apakah Beatrice tidak cukup terkenal?”
“Beatrice terkenal tapi tidak mengenal orang-orang di sana.”
Tatapan Rachel terpaku pada Lance karena masih belum mengerti.
“Dia mempelajari ilmu hacker. Apakah anak jurusan Sastra perlu belajar demikian?”
Mendadak Rachel terkejut, “Kau yakin?”
“Kurasa, dia mempunyai sisi lain yang agak aneh,” ujar Lance tidak enak.
Entah mengapa Rachel mencium sesuatu yang tidak beres.
%*&&&+�>�
0 notes
Text
17. Penemuan Ryan Fletcher
Archer membaca laporan dengan jeli seraya menyeruput espresso racikannya. Beruntung sekali kantor menyediakan mesin espresso bagi mereka yang membutuhkan tambahan energi sebelum bekerja dan sewaktu lembur. Ketika lift berhenti, Archer melempar tatapan ke sekeliling sebelum melangkah keluar. Timothy dan Kathleen ada di sana sedang berdiskusi. Kathleen sedang menunjukkan sesuatu yang tertera pada sebuah dokumen selagi Timothy menyimak penuh perhatian. Melissa sedang bekerja serius di depan komputer, namun partner-nya, Ryan, tidak terlihat di sana. Kemungkinan pria itu sedang berurusan dengan forensik terkait hasil sidik jari yang ditagih Sean kemarin. Tidak jauh dari mereka di dalam ruangan yang terpisah, Sean terlibat pembicaraan serius dengan Kapten Decker selama dua jam terakhir. Siluet bayangan keduanya terlihat menegang dari balik tirai ruangan.
Archer menyapa Melissa yang berseberangan dengan meja kerjanya, “Kopi?”
Melissa mengangkat tangan singkat, menolak, “Aku sudah menghabiskan gelas pertama.”
“Cepat juga,” puji Archer kemudian Nada bicaranya kemudian berubah, “Kalau kau masih penasaran dengan restauran yang kuceritakan waktu itu-“
“Aha,” respon Melissa dibuat-buat. “Rasa penasaranku sudah terbayar.”
“Oh iya?” tanya Archer, menerka-nerka apakah Melissa berbohong, “Jadi, menu apa yang paling kau suka? Beef wellington di sana sepertinya enak.”
“Terlalu mahal untukku,” ujar Melissa singkat.
“Benarkah? Kupikir mereka memang tidak menyajikan menu tersebut,” senyum penuh kemenangan.
Melissa memasang senyum palsu karena telah mempermalukan diri sendiri, “Hei-“
“Ehem!”
Kedatangan Ryan menyelamatkan Melissa dari kelakuan konyol Archer. Ia bertanya, “Apakah aku mengganggu pagi kalian?”
Cepat-cepat Melissa merespon, “Tidak. Kau dapat sesuatu?”
“Yup.”                                        
Perhatian Archer teralih, “Jadi?”
“Bukan kabar baik. Sean tidak akan suka.”
“Semua tidak akan suka kalau memang seburuk yang kau maksud,” timpal Melissa.
“Ada apa, Fletcher?” desak Archer pada Ryan.
“Forensik menemukan empat DNA dan sidik jari berbeda pada sampel darah yang kuberikan kemarin.”
Archer membelalakan mata, “Benarkah?”
“Darah kering yang menempel di karpet selama dua bulan sulit teridentifikasi.”
“Maksudmu?”
“Intinya, keluarga Sanders tidak benar-benar meninggalkan Zanesville. Mereka sudah menjadi mayat sebelum meninggalkan tempat ini.”
�x��3�!�
0 notes
Text
16. Dihantui Mimpi Buruk
Hari ketiga, 3 Juni 2016
Sosok bertudung hitam mengejarnya dengan teror, memaksa wanita itu terus berlari tergopoh-gopoh mencari perlindungan. Gaun biru indahnya berulangkali tersangkut di bebatuan dan akar pepohonan hingga sobek. Seakan tidak menggubris ketakutan gadis itu, si tudung hitam terus bergerak mempercepat langkahnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah pemukul baseball dimana sebercak darah kering tersisa di sana.
“Kau harus merasakan  akibatnya,” sosok itu berkata dingin. Suara itu belum pernah dikenali sebelumnya, “AKU TELAH MENUNJUKKANNYA PADAMU,” ia menggeram menunjukkan bahwa ia berkuasa.
Teriakan histeris keluar dari mulut wanita itu bersama dengan satu ayunan pukulan yang merenggut nyawanya seketika.
“HENTIKAN!”
Tubuh Sean dibanjiri keringat di sekitar punggung dan dada ketika terbangun di kamar tinggalnya di Spring Street. Kasus-kasus pembunuhan serupa selalu berefek pada dirinya.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Bahu Sean tersentak karena terkejut. Setelah menenangkan dirinya, ia bangkit untuk mengambil jubah tidur dan mendapati pengelola rumah menunggunya di depan pintu.
“Pagi, Raphael,” sapa Sean dengan suara dibuat mantap.
“Kau masih bermimpi itu lagi, nak?” tanya Raphael dengan gaya kebapakannya yang natural. “Jangan terlalu terbebani dengan kasus-kasusmu.”
Sean mengacak-acak rambut, “Aku baik-baik saja,” ujarnya. “Percayalah.”
“Justru sebaliknya. Kau perlu cuti dari pekerjaanmu sementara waktu,” ujar Raphael bersahaja. “Apakah kau teringat pada mereka?”
Sean mendelik.
“Sean?”
Sean tidak kuasa menjawab.
Pria paruh baya itu seolah memahami kondisi Sean, “Baiklah. Aku akan membuatkanmu sarapan. Untuk sementara waktu, hindari kafein.”
Sean mengawasi belakang punggung Raphael hingga pria itu menghilang dari pandangannya. Dia benar. Sean masih belum bisa melupakan kejadian Mary dan Hannah.
Mary Horton ditemukan meninggal dunia saat Sean berusia enam belas tahun. Jasad Mary ditemukan, tepatnya, dibuang di pinggir hutan. Polisi lokal menuturkan bahwa Mary merupakan korban perampokan acak. Kondisinya sungguh mengenaskan. Kepalanya dihantam oleh benda tumpul yang merobohkan dirinya seketika sebelum mereka menikam perut serta membawa lari sejumlah uang.
Sean dan Hannah Horton menjadi yatim piatu sejak kejadian tersebut hingga akhirnya Raphael muncul ke dalam kehidupan mereka. Raphael yang dermawan dan baik hati bersedia menjadi wali serta memperlakukan keduanya seperti anak sendiri. Hari-hari mereka kembali normal seperti biasa walaupun tidak seceria dulu.
Masalah baru muncul ketika Sean berusia dua puluh tahun. Hannah terlibat ke dalam pergaulan berbahaya. Narkoba, pembangkangan dan pengutilan adalah kehidupannya sehari-hari. Raphael mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membebaskan Hannah setiap kali gadis itu masuk-keluar penjara. Sean sebagai kakak merasa gagal, terutama ketika Hannah kabur dari rumah karena tidak tahan dengan cara mendidik Raphael yang ketat.
Satu bulan sejak Hannah melarikan diri, polisi setempat menemukan jasadnya di pinggir hutan. Hannah terbujur kaku dalam balutan gaun biru indah dan riasan wajah mencolok. Tak jauh dari lokasi Hannah ditemukan tewas, polisi menemukan pemukul baseball yang diduga sebagai alat pembunuhan dan jejak boots pria.  Kepergian dua orang yang sangat Sean cintai mengubah tujuan hidupnya. Akhirnya dengan berat hati, Raphael menyetujui keputusan yang sekarang Sean jalani.
Dering ponsel mengembalikan Sean pada realita. Panggilan kerja menyelamatkannya dari mimpi buruk lanjutan, “Baiklah. Aku akan segera ke sana.”
0 notes
Text
15. Canggung
Rachel berdiam diri di kamar. Kalau saja Mom sudah datang, ia punya seseorang untuk berbagi rasa. Rachel merasa Kim dan Sam kurang peka dan sensitif. Mereka bergosip seharian dengan gadis-gadis brengsek lainnnya seolah kematian Beatrice adalah bahan lelucon. Rachel tidak terima karena biar bagaimanapun Beatrice pernah menjadi teman baiknya.
Dulu Rachel dan Beatrice sama-sama pemain cadangan, kemudian mereka bertekad agar terpilih sebagai pemain tetap di tim baseball Ohio State University. Mereka selalu mengikuti latihan rutin yang dijadwalkan. Ketika memasuki minggu-minggu penyeleksian, Rachel diumumkan lolos sedangkan Beatrice tidak. Sejak saat itu, Beatrice mulai mengubah haluan dengan bergabung di klub teater. Rumornya, Beatrice dikenal sebagai penulis naskah sekaligus pengarah akting yang berhasil.
Rachel butuh seseorang yang seperasaan dengannya untuk diajak bicara, tetapi dia ragu apakah Molly akan merasakan kesedihan yang sama. Mereka sudah jarang bicara sejak Rachel semakin rutin latihan, begitupula Molly yang sibuk dengan urusannya sendiri.
Persahabatan mereka dengan Beatrice bisa dibilang cukup aneh. Molly yang sangat akrab dengan Cassie dan Dana bisa berteman baik dengan Beatrice, namun tidak demikian dengan keduanya. Hal yang sama juga ia alami dengan Kimberly dan Samantha. Kim dan Sam tidak terlalu mengenal Beatrice, sebaliknya ia mengenal gadis itu dengan baik.
Rachel menekan sebuah nomor namun masih ragu untuk melakukan panggilan. Jam di dinding menunjukkan pukul 17.28. Ashley seharusnya tiba sebentar lagi kalau tidak mampir dulu ke tempat lain.
Sembari menunggu, Rachel beranjak dari kasur untuk mengambil sesuatu dari dalam lemari pakaian. Ia masih menyimpan beberapa barang pemberian Beatrice dalam sebuah kaleng bekas. Mayoritas berupa pernak-pernik lucu dan aksesoris tangan. Semuanya hasil buatan tangan Beatrice. Rachel sangat menyukai hasil karyanya yang indah dan unik sehingga ia menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Beberapa barang sepertinya masih pantas untuk dikenakan namun ada juga yang tidak. Beatrice pernah memberinya boneka manusia jahe berukuran kecil sebagai hadiah natal dua tahun yang lalu, sementara ia memberi Beatrice lilin kecil memiliki bentuk menyerupai lollipop.beraroma cotton candy.
Itulah gambaran pertemanan mereka dulu sampai kemudian pergantian tahun mengubah segalanya. Rachel mulai mengenal Kimberly dan Samantha, yang keduanya tidak disukai Beatrice. Beatrice sempat memaksakan bergaul dengan mereka berdua, namun seleksi alam membuatnya perlahan memisahkan diri lalu berteman dengan Molly. Akan tetapi, di sisi lain Molly sudah lebih dulu akrab dengan Cassie dan Dana yang sepertinya kurang menyukai Beatrice.
Rachel tidak bisa memutuskan dengan siapa Beatrice akan berteman, tetapi ia juga kurang menyukai beberapa orang yang Beatrice akrabi. Itu merupakan awal pemicu keregangan hubungan mereka bertiga.
“Aku pulang, Rae!”
Suara nyaring Ashley dari pintu depan membuyarkan lamunannya. Dia tiba dengan membawa dua porsi chicken caesar salad dan dua caramel latte hangat ukuran large.
“Kau sudah mulai libur?” Ashley bertanya seraya mencium kening adik kesayangannya, lalu menyiapkan piring dan peralatan makan di dapur.
“Sudah,” Rachel mengangguk mantap. “Aku akan ke rumah Beatrice besok untuk mengucapkan belasungkawa pada orangtuanya,” lanjutnya spontan.
Ekspresi wajah Ashley berubah, “Kau yakin?”
Memang tidak banyak yang tahu kalau ia dan Beatrice sebenarnya cukup akrab, “Tidak apa, kan?”
“Kau pergi sendirian?”
“Yeah. Kenapa?”
“Perjalanannya cukup jauh dengan berkendara,” ujar Ashley agak khawatir. “Apakah kau tidak bisa meminta seseorang untuk menemanimu?” Ia terdengar kurang setuju dengan rencana Rachel sebab butuh waktu lima jam berkendara untuk tiba di sana, “Kau bisa ajak Molly. Mungkin, menginap sehari di suatu tempat sebelum kembali. Anggap saja jalan-jalan.”
Rachel antara setuju dan tidak setuju menerima saran tersebut. Walau mereka bertiga pernah akrab satu sama lain, tapi keadaan sudah berubah sekarang. Ia bisa saja mengajak Molly, tapi itu artinya Dana dan Cassie kemungkinan besar akan ikut. Padahal, mereka tidak pernah menyukai Beatrice.
“Aku akan coba menghubunginya,” ujar Rachel asal. “Ada kemungkinan Sean mampir?”
Ashley tersedak latte, “Dia belum menghubungiku.”
Kedua mata Rachel terbelalak, “Kau serius?”
“Sudahlah,” ujar Ashley sepele, mengibaskan tangan. “Dia sedang sibuk.”
“Saking sibuknya bahkan sampai tidak sempat menghubungimu?” Rachel mewanti-wanti.
“Hey,” tegur Ashley. “Sudahlah. Aku akan menghubunginya setelah makan malam.”
“Yasudah,” respon Rachel, kedua matanya mengawasi Ashley menuangkan air mineral. “Kau bisa menelponnya sekarang,” desak adiknya terus.
Ashley mengerti terkadang Rachel bisa sangat keras kepala kalau sudah peduli dengan suatu hal yang bahkan tidak ada kaitan dengan dirinya. Namun, Ashley tidak mau mengganggu Sean yang sibuk mengusut kasus.
Seolah menjawab keraguan Ashley, Rachel meneruskan, “Sekedar bertanya apakah Sean sudah makan malam, tidak masalah kan?”
Ashley menghembus napas cepat, ia mengambil ponselnya lalu menekan nomor. “Hai,” sapanya ketika telepon tersambung lalu menekan tombol loudspeaker. Di saat bersamaan Rachel mencondongkan badan lebih dekat ke arah Ashley, mengamati kakaknya dari kursi seberang seraya mengunyah.
“Ash, maafkan aku tidak mengabari semalam. Aku sungguh-sungguh meminta maaf.”
Sean terdengar menyesal, tapi Rachel menduga kekasih kakanya itu hanya berbasa-basi. Dia sudah tahu watak aslinya.
Ada jeda cukup lama di antara mereka sebelum Ashley akhirnya bicara, “Tidak masalah. Kau sudah makan malam?”
“Well, ada roti dan kopi di sini. Kurasa itu sudah cukup,” jawab Sean.
“Dimana kau bermalam hari ini? Kau bisa kemari,” ujar Ashley yang dibalas Rachel dengan balik memelototinya sebagai respon tidak setuju.
“Aku bermalam di Spring Street. Rumahku yang dulu.”
“Kau sekarang di Spring Street?”
“Belum, tapi akan. Sebentar lagi,” ujar Sean, sepertinya sedang mengecek jam.
Raut wajah Ashley menunjukkan kekecewaan, “Oh. Baiklah. Aku hanya ingin menanyai kabarmu. Kuharap kasus di Convers Avenue tidak terlalu membebanimu.”
“Terimakasih telah mengkhawatirkanku,” ujar Sean. “Aku ke tempatmu besok malam?”
“Silahkan saja. Kutunggu,” jawab Ashley penuh harap. “Ada kemajuan terkait kasusmu?”
Sepintas terdengar hela napas Sean yang berat, “Kami menginterogasi seorang pemuda, lalu membebaskannya.”
Ashley melirik sekilas pada Rachel yang nampak tidak terkejut, “Oh. Begitu. Dari UPenn?”
“Begitulah,” ujar Sean enggan. “Maaf, Sayang. Aku tidak bisa membicarakannya terlalu detail.”
“Tidak apa, Sayang. Aku mengerti. Itu aturan kantor,” ujar Ashley bijak. “Tapi, kau juga perlu istirahat. Secepatnya kita bertemu?”
“Secepatnya,” ujar Sean mantap.                        
“Love you.”
“Love you too.”
Rachel menyerigai ketika Ashley mematikan ponsel, “Bahkan babi pun bisa lebih romantis daripada kalian. Apa-apaan itu tadi?”
“Maaf ya, aku bukan babi,” sungut Ashley.
“Kau tidak curiga kenapa dia bicara sedikit sekali?”
“Gaya pacaran kami memang begini,” bela Ashley. “Lagipula, dia pasti sedang stress.”
“Dulu kalian tidak begini,” Rachel mendelik.
“Jujur saja. Kau tidak pernah menyukai Sean,” ujar Ashley ketir. “Paling tidak kau bisa berpura-pura mendukungku.”
“Ya, aku tidak menyukainya,” Rachel mengakui tanpa ragu. “Ada aura yang tidak aku sukai dalam dirinya dan aku berusaha sekeras mungkin menjauhkanmu dari dia, Ashley.”
Ashley tidak terima, “Apa maksudmu?”
“Jess bercerita pada Cassie dan Cassie bercerita pada Molly lalu Molly bercerita padaku kalau dulu Sean hanya romantis di awal saja. Kalau ia sudah bosan, bicaranya jadi lebih sedikit,” Rachel menyampaikan dengan nada pahit. “Seandainya saat itu tiba, aku tidak mau kau menjadi korbannya.”
“Jess lagi,” dengus Ashley. “Yang benar saja. Gadis itu suka melebih-lebihkan,” lanjutnya kemudian menghabiskan makan malam tanpa bersuara.
Rachel tidak merespon. Pikirannya teralih pada kejadian di kampus tadi siang. Sepertinya memang ada hubungan antara Lance dengan Beatrice yang perlu ia selidiki.  
  t-in욷��8�
0 notes
Text
14. Suami-Istri Eastwood
Berharap kopi hangat membuatnya lebih fokus pada kasus Beatrice Eastwood, Sean justru dibayangi pikiran-pikiran sensual yang melibatkan dirinya dengan Jess. Sisa-sisa belaian gadis itu semalam membuat kedua matanya memanas. Gejolak gairah membuatnya tidak kuasa menolak tubuh Jess sekalipun pakaian barista menutupi kulitnya yang selembut satin. Terjebak dalam rengkuhan Jess, entah bagaimana bisa membuatnya mengabaikan Ashley seharian. Sejujurnya Sean menyesali keputusannya. Ia mencintai Ashley setulus hati namun godaan Jess semalam sangat kuat.
Beberapa kejadian belakangan membuat Sean sanggup menghabiskan lebih banyak kopi, karena kini ia mulai menghabiskan cup-nya yang keempat. Archer yang mengemudi di sebelahnya merespon, “Hati-hati, Bung. Terlalu banyak bisa membuatmu mati,” ia terkekeh.
Sean menyerigai, “Taruhan kau pasti senang bisa bebas dariku.”
“Siapa yang tidak?” canda Archer. “Kita sudah sampai,” ujarnya kemudian.
Butuh berkendara sejauh dua puluh kilometer untuk tiba di kediaman Eastwood. Tuan Eastwood yang jauh dari kesan ramah menyambut mereka dengan wajah dingin. Sejak kemarin mereka menghindari polisi juga pers untuk dimintai keterangan.
Mereka dipersilahkan duduk oleh sang suami sementara sang istri sudah menunggui kedatangan mereka di sofa ruang tamu dengan posisi duduk yang kaku. Sean dan Archer duduk dengan canggung.
Sean mulai bicara, “Kami dari Kepolisian Zanesville. Saya Detektif Horton dan ini rekan saya, Detektif Carlisle. Kedatangan kami kesini hendak mengklarifikasi beberapa hal.”
“Silahkan, Detektif. Kami akan membantu semampu kami,” ujar Nyonya Eastwood serak. Sean bisa melihat kedua matanya yang sembab sehabis menangis semalaman.
“Apakah Anda mengetahui keberadaan Beatrice di kediaman Sanders selama ini serta apa yang mungkin ia lakukan?”
Tuan Eastwood yang angkat bicara, “Tentu saja. Beatrice dibiayai kuliah oleh Arthur Sanders, yang juga adalah kakak dari istriku,” ia menyentuh pundak istrinya yang tidak merespon, “-ketika Arthur hendak mengunjungi anak perempuannya yang berkuliah di Yunani, beliau menitipkan rumahnya pada kami. Beliau bahkan mengusulkan agar kami menunggui rumah itu selagi mereka pergi, namun kami menolak.”
Sang Istri melanjutkan, “Tapi, tidak dengan Beatrice. Beatrice sangat senang tinggal di rumah Arthur yang mewah dan indah. Selain itu, lokasinya juga lebih dekat dengan kampus.”
“Hampir setiap hari kami menghubungi Beatrice untuk mengecek kondisinya, namun ia jarang menjawab panggilan telpon dari kami. Bukan salahnya memang kalau ia sibuk dengan kuliahnya akhir-akhir ini,” Tuan Eastwood ganti berbicara. “Sampai kemudian, ia benar-benar tidak menjawab telepon kami dua hari yang lalu,” ujarnya pilu.
Air mata mulai menitik dari kedua mata sang istri yang sudah berkerut. “Ternyata saat itu ia sudah tidak bernyawa. Oh, putriku. Malangnya nasibmu.”
Archer mencatat beberapa hal penting, sementara Sean melanjutkan, “Mengapa salah satu dari Anda tidak tinggal dengannya di sana?”
“Terlalu jauh dari tempat kami menjalankan bisnis,” jelas Tuan Eastwood. “Saya menyesal.”
“Bisnis yang kami jalankan juga untuk biaya tambahan kuliahnya,” Nyonya Eastwood menimpali.
“Bisnis apa yang Anda jalankan?”
“Bisnis perkebunan.”
“Ada perkebunan di daerah ini?” Sean bertanya keheranan.
“Tidak, bukan begitu. Kebun yang kami maksud berupa taman bunga di halaman belakang kalau Anda mungkin ingin melihat. Bunga-bunga yang segar kami jual. Memang tidak seberapa untungnya, mengingat kami berdua sudah pensiun sehingga penghasilannya terbilang cukup untuk menghidupi kami sehari-hari dan uang jajan Beatrice.”
“Apakah Beatrice bertingkah aneh belakangan ini?”
“Tidak. Ia periang seperti biasa ditelpon,” ujar sang suami. “Terakhir kami mengontaknya empat hari yang lalu. Ia sedang berlatih drama saat itu. Kalau tidak salah sekitar jam makan siang.”
“Apakah Beatrice baik-baik saja saat Anda menghubunginya?”
Baik Tuan Maupun Nyonya Eastwood mengangguk.
Sean berpikir keras. Tidak banyak petunjuk yang bisa ia peroleh. Ia khawatir mereka menemui jalan buntu.
“Kapan terakhir kali Anda bertemu dengan putri Anda secara langsung? Dan dimana?”
“Lima hari yang lalu di kediaman Sanders. Tepat sehari sebelum kami menghubunginya lagi.”
“Tidak ada yang aneh? Dari gerakan tubuh atau dari caranya memandang Anda?”
Nyonya Eastwood menggeleng, “Tidak sama sekali. Itulah yang membuat kami lengah, karena kami berpikir ia sehat dan baik-baik saja selama ini.”
Jalan buntu, pikir Sean. Dia berharap banyak pada temuan tim-nya yang lain, “Apakah ada seseorang istimewa yang mungkin putri Anda kenal?”
Keduanya memandang ragu, lalu Tuan Eastwood menjawab, “Kami tidak benar-benar tahu, karena Beatrice tidak banyak membicarakan kehidupannya.”
“Beatrice bukan tidak membicarakannya,” Nyonya Eastwood memotong, “-Beatrice seperti mengelak. Seperti merahasiakannya dari kami.”
Sean mulai tertarik, “Ada hal yang membuat Anda berpikir demikian?”
“Tentu saja. Naluri seorang ibu tidak pernah salah,” ujar Nyonya Eastwood ketir.
Y ���FM
0 notes
Text
13. Surat Ancaman
Telepon berdering setibanya Cassie di rumah. “Halo,” ia mengangkat. Ternyata Jess yang menelpon dari kedai. Jess mengklarifikasi terkait interogasi Lance Crawford serta mengungkapkan ketidak percayaannya atas apa yang dituduhkan polisi pada salah satu  pelanggan setia Paneera’s.
Cassie menanggapi dengan opini yang sama pula, lalu keduanya berbicara cukup serius selama dua puluh menit.
“Jam berapa kau akan pulang?”
“Setengah dua belas malam,” jawab Jess dari seberang.
“Kau pulang sendiri, kan?” Cassie mewanti-wanti.
Senyum Jess bersuara di telepon. Ia mengerti maksud Cassie, “Kau tahu. Kuharap semalam terulang lagi.”
Telepon terputus. Cassie mencerna kalimat Jess barusan dengan kening berkerut.
“Ada apa?”
Kemunculan Dana mendadak membuat bahunya tersentak. Berhubung perkuliahan telah berakhir hari ini dan besok adalah hari pertama liburan musim panas, Dana berencana menginap di tempat Cassie.        
“Hanya Jess menelpon,”sahut Cassie singkat. “Dia menanyai Lance.”
“Kenapa?”
Cassie menghela napas, “Lance pelanggan setia Paneera’s.”
“Aku sering melihatnya di sana juga. Bukankah kita lumayan sering bertemu dia disana sendirian?”
Cassie sadar bahwa ternyata dia tidak terlalu memperhatikan lingkungan, berbeda dengan Dana. “Kurasa, iya.”
Dana menyentakkan kepala, “Kau memang tidak peka,” guraunya. “Masih belum bisa menghubungi Molly?”
“Kucoba telpon lagi ya,” ujar Cassie.
“Berapa lama sih waktu yang dia butuhkan untuk menyendiri?” Alih-alih kesal, Dana lebih terdengar khawatir. “Paling tidak ia seharusnya mengirim pesan, kalau memang sedang tidak ingin diganggu. Belum pernah dia begini!”
PRANK!
Dana dan Cassie terperanjat dari sofa. Cassie refleks menyilangkan telunjuknya ke bibir. Sekelabat bayangan nampak sedang bergerak di halaman belakang. Dana mengambil payung dari bawah tangga, lalu mengekori Cassie dari belakang dengan hati-hati.
Kenop pintu yang dikunci berputar secara perlahan, lalu menjadi dobrakan paksa dari luar. “Cassie, ini aku,” suara itu terdengar parau.
Ketegangan di wajah Dana mengendur, “Molly?”
Cassie segera memutar kunci pintu dengan cepat dan membukanya, “Molly!”
“Molly, apa yang baru saja terjadi?” Dana bertanya panik di belakang.
Sepatu kets Molly berlumuran tanah, begitupula dengan hoodie dan jeans hitamnya tak luput dari noda warna cokelat. Gadis itu seperti habis berkubang di lumpur yang mengering.
“Kau tersungkur di suatu tempat?”
Molly menyelonong masuk tanpa menggubris kebingungan teman-temannya. Kedua matanya mengawasi penjuru ruangan dengan waspada. “Tidak di sini,” tukasnya. “Kita ke kamarmu, Cas.”
Seolah sudah hapal dengan denah kediaman Breslin, Molly memimpin di depan sementara Dana dan Cassie yang mengikuti dari belakang saling melempar pandangan penuh tanya. Molly membuka pintu kamar Cassie lebar-lebar lalu menutup dan menguncinya rapat-rapat. Dia juga merapatkan jendela dan menutup tirai-tirai.
Cassie menunggu tidak sabar karena Molly mengulur-ulur waktu, “Sebenarnya ada apa, Molly?”
Dana menyilangkan kedua tangan di depan dada, “Molly? Bisakah kau berhenti?”
Molly duduk di sudut kasur lalu merogohkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie untuk mengambil sesuatu, “Ketika dia masih hidup, dia punya rahasia.”
“Beatrice?” Dana mengklarifikasi.
Molly mengangguk, “Rahasia yang aku bahkan tidak ketahui. Tapi, yang jelas tingkah lakunya mulai berubah belakangan ini,” ragu-ragu ia meneruskan, “-seperti mulai jarang datang latihan teater dan suka menyendiri.”
“Kau bertanya padanya kenapa?”
“Tentu saja, tapi dia mengelak. Hingga suatu hari aku tidak sengaja membuntutinya sampai ke rumah keluarga Sanders. Tepatnya halaman belakang rumah Sanders. Di kandang anjing.”
“Apakah yang ada di tanganmu adalah jawabannya?” Cassie bertanya mendesak.
“Kurasa,” ujar Molly. Raut wajahnya mendingin, “-ini yang membuatnya terbunuh.”
Cassie dan Dana bergerak mendekat. Kedua tangan Molly menggenggam sebuah kotak penyimpanan kecil yang terbuat dari kayu mahoni. Bulu kuduk Dana merinding ketika tangannya perlahan membuka salah satu gulungan kertas kecil di antara setumpuk gulungan lain yang terdapat tulisan:
GADIS MATI TIDAK AKAN BICARA.
“Selama ini dia merahasiakan ancaman pembunuhan,” Molly berkata ngeri.
Cassie mengintip kejauhan dari jendela kamarnya. Atap rumah kediaman Sanders terlihat cukup jelas dari tempatnya berdiri. Semakin lama diperhatikan, pemandangan tersebut membuatnya semakin ngeri sekaligus penasaran.
“Astaga, bagaimana bisa kau menemukannya? Kita harus menyerahkannya pada polisi,” kata Dana.
“Tidak,” tukas Molly. “Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Seperti yang sudah kukatakan, Beatrice tidak mempercayai siapapun.”
“Lantas, apa yang membuatnya mempercayaimu?” Dana bersikeras. “Kau tahu ketika kau mencuri sesuatu dari polisi, kau sebenarnya sedang membahayakan dirimu sendiri.”
“Aku tidak mencuri apapun dari polisi,” kilah Molly.
“Well, Molly. Semua yang ada di rumah Sanders adalah barang bukti. Jadi, ketika kau mengambilnya dari mereka berarti kau mencuri barang bukti.”
Molly tertawa sinis, “Berhenti membuat semuanya seolah terlihat parah.”
“Memang parah,” Dana mulai keras kepala, “Kau ingin kasusnya selesai atau tidak? Maka, sebaiknya serahkan pada polisi.”
“Tidak semudah itu, Dana. Sekali ini saja. Lagipula ini tidak akan berarti apa-apa.”
“Guys,” sela Cassie dengan nada tinggi, “Berhenti berdebat dan mulai berpikir.”
Dana balik bertanya dengan nada tak sabar, “Apa yang harus kita pikirkan?”
“Yang jelas, Molly sudah terlanjur membukanya. Begitupula denganmu, Dana. Itu artinya sidik jari kalian berdua ada di sana. Kalau aku jadi kalian, aku tidak mau ambil resiko.”
Molly bertanya antusias, “Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
Satu per satu gulungan kertas perlahan mereka bukai. Semua isinya sama seperti isi gulungan kertas yang pertama kali terbuka.
GADIS MATI TIDAK AKAN BICARA.
Begitupula dengan gulungan kertas berikutnya dan berikutnya. Susunan kata-kata tersebut terdiri dari huruf kapital yang diketik dengan komputer.
“Susah untuk dilacak,” ujar Molly.
Dana menggumam, “Kalau sehari dia menerima satu kertas, sudah berapa lama dia sebenarnya diancam.”
“Kau benar, Dana,” Cassie menanggapi. “Di tanganku ada 11 kertas.”
“Aku memegang 8 kertas,” kata Dana.
“12 kertas,” Molly menimpali.
“Jadi, total ada 31 kertas. Apakah itu artinya ia menerima teror selama 31 hari?” Dana balik memandang Cassie.  
“Rumit juga,” gumam Cassie. “Kapan pertama kali Beatrice menceritakan tentang teror ini padamu?” ia bertanya pada Molly.
“Dua minggu yang lalu,” ujar Molly. “-tapi secara tersirat. Aku baru benar-benar tahu sekarang kalau teror seperti ini yang dia maksud. Aku hanya membuntutinya waktu itu, tapi tidak benar-benar berani menanyakan padanya. Dia hanya bilang bahwa ada urusan dengan keluarga Sanders. Aku tidak tahu apa dan mengapa, sebab dia pandai sekali menutupinya dengan berpura-pura. Makanya, aku mulai melupakan kejadian hari itu.”
“Apakah Beatrice pernah mengatakan sesuatu tentang Lance Crawford? Dia ditangkap polisi tadi,” ujar Dana.
“Hanya diwawancarai,” Cassie meralat. “Kita semua melihatnya kembali ke kelas lagi kan tadi. Maksudku, aku dan Dana. Kami tidak melihatmu seharian.”
Kening Molly berkerut, “Lance Crawford? Tidak mungkin dia.”
Dana menoleh dengan cepat, “Kenapa?”
“Mereka berpacaran diam-diam,” Molly berkata jujur.
“Kau serius? Lance dengan Beatrice? Kau bercanda,” ujar Dana, tertawa ironi. “Seperti kisah beauty and the beast bedanya Lance tidak mungkin berubah menjadi pangeran.”
Cassie memberi tatapan menegur, “Kita belum mendengarkan keseluruhan cerita.”
“Aku menangkap basah mereka berduaan. Beatrice akhirnya mengakui hubungan mereka. Jujur, Cassie. Aku sama terkejutnya dengan Dana. Bagaimana bisa?”
“Ya. Bagaimana bisa,” Dana sepakat.
Molly menatap Dana dengan pandangan menegur, “Hey.”
Cassie buru-buru menengahi, “Kalau memang kau tahu, sudah berapa lama mereka berkencan?”
“Aku tidak tahu. Tapi, menurut tafsiranku sudah berjalan dua bulan.”
“Jadi, tidak mungkin Lance,” ujar Dana cepat. “Kalau saja aku tahu tadi, pasti aku akan mengamati gerak-geriknya sepanjang kelas.”
Rasa keingintahuan Cassie yang besar membuatnya terus bertanya, “Kau punya info lainnya?”
Molly tidak memiliki petunjuk lain, selain informasi samar dari Beatrice sendiri,”Tidak ada.”
“Bagaimana kau menemukan kotak penyimpanannya di rumah Sanders?” Dana bertanya.
“Aku sudah bilang kan kalau aku pernah mengikutinya sampai ke rumah Sanders. Kalau memang dia bertamu seharusnya dia lewat pintu depan, tetapi dia justru lewat pintu belakang,” ujar Molly, mengingat-ngingat beberapa hal yang terjadi beberapa bulan belakangan ini.  “Makanya, aku tahu kalau ada sesuatu yang salah di halaman belakang. Selain itu, aku pernah menangkap basahnya sedang menggali sesuatu karena anjing piaraan Sanders menggonggong cukup keras waktu itu. Kebetulan aku sedang jogging sore hari.”
“Kau mengintip?”
“Ya, karena aku curiga. Firasatku waktu itu seolah mengatakan bahwa sedang ada yang terjadi di dalam sana. Ternyata benar.”
“Dan taruhan keluarga Sanders sedang tidak ada di tempat,” Dana menebak dengan yakin.
“Mereka ke Yunani,” ujar Molly.
Mereka duduk melingkar di kasur Cassie yang berukuran king. Bantalan kasur yang empuk terasa keras akibat seluruh otot tubuh menegang karena stress dan ketakutan. Kotak penyimpanan tersebut diletakkan di tengah-tengah mereka yang sedang berpikir keras, terutama Molly.
Molly keheranan bagaimana bisa ia melewatkan banyak hal dari Beatrice. Rasanya waktu kebersamaan yang mereka miliki cukup banyak, terutama di klub teater dan di luar jam kuliah. Sudah banyak film klasik yang mereka tonton bersama entah di rumah Molly atau Beatrice serta teater broadway yang mereka kunjungi tiap minggu. Seharusnya itu cukup untuk mengetahui sebagian hal dari diri Beatrice.
“Aku baru sadar kalau aku tidak terlalu mengetahui banyak hal tentang Beatrice sementara dia tahu banyak tentangku,” sesal Molly. “Padahal aku sudah pernah menginap di rumahnya, begitu juga dengan dia.”
Mau tidak mau Dana tersentuh, “Sudahlah, Molly. Kau tidak tahu semua ini akan terjadi.”
Tiba-tiba Cassie terperanjat, “Kau tahu dimana rumahnya?”
Molly memandang Cassie ragu, “Tentu saja. Jauh sekali dari sini.”
Dana seolah membaca pikiran Cassie, “Menurutmu, kita perlu ke sana?”
“Tentu saja. Besok perkuliahan sudah mulai libur. Kurasa, tidak ada salahnya jika kita mengucapkan belasungkawa sebagai seorang teman,” ujar Cassie pahit, lalu berpaling pada Molly dengan ekspresi tidak enak, “Walau hanya kau yang mengenalnya.”
“Tidak masalah,” ujar Molly setelah menimbang-nimbang sejenak. “Kita pergi besok?”
  ->a��)v5�
0 notes