Marketplace Guru dalam Tinjauan Prinsip Birokrasi Ideal Max Weber
oleh Devi Ernawati dan Wafa Auliya Insan Gaib
Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan terkait tata kelola guru serta reformasi birokrasi yang tentu berdampak terhadap kualitas pendidikan Indonesia. Tak terhitung banyaknya guru yang hingga sekarang masih mendapatkan gaji di bawah upah minimum regional, atau guru honorer yang tak kunjung mendapatkan kepastian kapan mereka diangkat menjadi ASN. Salah satu masalah guru yang baru-baru ini sedang ramai dibahas adalah terkait rekrutmen guru. Memang benar bahwa sejak lama, permasalahan ketersediaan guru merupakan hal yang cukup memprihatinkan lantaran upaya pemenuhan guru baru tidak selaras dengan jumlah guru yang pensiun (Andina & Arifa, 2021). Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim, berpendapat bahwa permasalahan kekurangan guru di sekolah-sekolah terjadi akibat perekrutan guru yang tidak real time. Guru bisa pindah, pensiun, mengundurkan diri, atau meninggal sewaktu-waktu tetapi sekolah tidak dapat langsung menggantikan mereka karena harus menunggu perekrutan guru ASN yang terpusat (Hikmia, 2023).
Sistem rekrutmen guru ASN yang dilakukan secara terpusat dengan mengikuti pola penerimaan CPNS nyatanya memang menuai banyak masalah. Perekrutan sistem CPNS berfokus pada lulusan baru dengan penggunaan batasan usia sehingga tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang sedang berada di tengah karier namun telah melebihi usia 35 tahun yang berakibat pada guru yang sudah memiliki pengalaman mengajar justru tidak dapat melakukan seleksi CPNS (Andina & Arifa, 2021). Tidak hanya itu, kebutuhan guru yang selalu ada setiap tahunnya tidak diimbangi dengan penyelenggaraan rekrutmen CPNS guru oleh pemerintah daerah sehingga sekolah-sekolah terpaksa merekrut guru honorer yang berakibat pada melonjaknya jumlah guru honorer dan distribusi guru semakin tidak merata. Berangkat dari permasalahan rekrutmen guru ini, Nadiem Makarim kemudian menciptakan terobosan baru yakni marketplace guru.
Studi Kasus
Marketplace guru dicetuskan oleh Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada 24 Mei 2023 sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan rekrutmen guru. Sesuai dengan namanya, sistem marketplace guru sendiri tak ubahnya dengan sistem berbelanja di e-commerce. Marketplace guru merupakan basis data berisi daftar guru yang layak mengajar dan data ini dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia. Melalui basis data ini, sekolah dapat merekrut guru secara langsung sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasi sekolah berdasarkan dengan data guru yang ditampilkan dalam profil. Sistem rekrutmen guru melalui marketplace ini diperuntukkan bagi para guru dengan syarat telah dinyatakan lulus sebagai calon ASN dan/atau merupakan lulusan pendidikan profesi guru yang memenuhi kualifikasi sebagai calon ASN. Perekrutan guru yang sebelumnya dilakukan secara terpusat kini dikembalikan kepada kluster sekolah dengan kepala sekolah sebagai pemegang kendali sehingga sekolah tidak perlu menunggu pemerintah daerah maupun pusat membuka formasi ASN.
Berdasarkan keterangan dari laman Universitas Islam An-Nur Lampung yang termuat dalam portal berita harian Detik.com, sistem operasional rekrutmen guru melalui marketplace ini melalui beberapa tahapan. Pertama adalah penginputan data calon guru ke dalam database yang kemudian akan menampilkan profil lengkap dari para guru. Kedua, profil guru yang ditampilkan dalam database tersebut akan digunakan oleh sekolah-sekolah untuk mengakses informasi terkait kualifikasi dari guru yang dibutuhkan untuk mengisi kekosongan tenaga pengajar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dari sekolah. Ketiga, setelah menemukan kriteria dari calon guru yang sesuai dengan kebutuhan melalui proses seleksi pada marketplace, sekolah dapat langsung melakukan tahapan selanjutnya yakni wawancara sekaligus uji kompetensi yang dilanjutkan dengan keputusan penerimaan dari pihak sekolah. Sistem rekrutmen guru melalui marketplace ini memberikan kuasa penuh kepada sekolah dalam menentukan jalannya proses perekrutan dan penerimaannya di mana pihak sekolah bebas untuk membuat kesepakatan dan menentukan sistem kerja dari guru tersebut apakah sebagai pekerja tetap atau kontrak dengan penentuan insentif berdasarkan performa kinerja serta capaian prestasi yang diraih.
Selain itu, marketplace guru ini juga menawarkan sistem rekrutmen yang lebih fleksibel dalam hal waktu karena memiliki jangka waktu perekrutan yang lebih pendek serta proses rekrutmen yang dilalui calon guru terbilang lebih cepat, lantaran tahapan seleksi yang dilakukan tidak terlalu banyak. Ditambah lagi dengan penggunaan lokasi seleksi yang tersebar serta dapat diakses dimanapun dan kapanpun, memberikan opsi kepada calon guru sebagai tenaga pengajar dan sekolah sebagai perekrut yang dapat dengan mudah melakukan penyesuaian lokasi kerja. Kemudian, rekrutmen pada sistem marketplace guru ini terbuka dan menyasar berbagai kalangan calon guru dengan rentang usia yang lebih beragam lantaran sistem ini tidak memiliki batasan usia tertentu yang menjadi kriteria dari para calon guru yang akan mendaftar. Terakhir, bentuk seleksinya yang bukan berdasarkan pada perolehan hasil tes tertulis dari materi tertentu yang diujikan meminimalisir standarisasi atas nilai sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidaknya calon guru sebagai tenaga pengajar, melainkan lebih pada melihat kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Analisis Teori Berdasarkan Kasus
Kebijakan Nadiem dalam pembentukan sistem marketplace guru sebagai upaya mengatasi masalah rekrutmen guru dalam perspektif Weber masuk ke dalam ranah rasionalitas instrumental yang mencangkup dua hal yaitu tujuan dan alat. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembentukan marketplace guru yakni untuk mengatasi masalah-masalah rekrutmen guru yang tidak dapat terselesaikan lewat rekrutmen CPNS dan PPPK. Sistem rekrutmen lewat CPNS dan PPPK dilakukan secara terpusat sehingga sekolah yang membutuhkan guru harus menunggu hingga CPNS dan PPPK diselenggarakan untuk dapat merekrut guru baru. Berangkat dari permasalahan ini, maka solusi yang ditawarkan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan membuat sebuah sistem rekrutmen secara real time, melalui penyesuaian proses serta pengelolaan tata cara rekrutmen dengan memanfaatkan teknologi agar lebih efektif dan efisien dalam hal kecepatan dan kemudahan layanan perekrutan yang disediakan.
Dalam konteks birokrasi, Weber berpendapat bahwa terdapat lima tipe birokrasi ideal yaitu: (1) standarisasi dan formalisasi; (2) pembagian kerja dan spesialisasi; (3) hierarki otoritas; (4) profesionalisasi; serta (5) dokumentasi tertulis (Weber, 1947). Berdasarkan lima tipe ideal birokrasi menurut Weber, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kebijakan marketplace guru ini, meliputi pertama adalah standarisasi dan formalisasi terkait kebijakan marketplace guru. Robbins dalam (Kadir, 2018) menjelaskan bahwa formalisasi dalam organisasi adalah tingkat standarisasi dari pekerjaan dalam organisasi tersebut serta sejauh mana peraturan, instruksi, komunikasi, dan prosedur ditulis. Pada konteks marketplace guru, diperlukan prosedur yang jelas dalam sistem rekrutmen guru serta landasan hukum yang kuat agar hak-hak guru dapat terpenuhi. Apabila prosedur pengangkatan guru tidak jelas serta tidak ada landasan hukum yang melindungi guru, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pihak sekolah dapat berlaku semena-mena terhadap guru lantaran proses rekrutmen kini dipegang sepenuhnya oleh sekolah.
Prinsip kedua yang harus diperhatikan adalah prinsip pembagian kerja dan spesialisasi. Weber berpendapat bahwa birokrasi yang baik adalah ketika setiap orang memiliki bagian kerja yang sesuai dengan keahliannya. Dalam sistem rekrutmen marketplace guru, pihak sekolah dapat memilih secara langsung guru yang dinilai memiliki kualifikasi sesuai dengan kriteria kebutuhan sekolah. Namun, perlu diingat bahwa guru bukan komoditas yang dapat dipilah-pilih melainkan sebuah pekerjaan yang memiliki hak-hak tersendiri. Untuk itu, sistem marketplace guru perlu memberikan jaminan bahwa guru tetap memiliki hak untuk menerima atau menolak pekerjaan apabila tidak sesuai dengan spesialisasi profesi keguruannya. Hal ini ditujukan agar guru terhindar dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian atau mendapat beban pekerjaan yang terlalu berat.
Ketiga, perlu diperhatikan terkait hierarki otoritas. Dalam marketplace guru, proses rekrutmen tidak lagi dipegang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melainkan oleh pihak sekolah. Untuk itu, kembali pada pembahasan pertama, dibutuhkan prosedur yang jelas serta landasan hukum yang kuat agar kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam rekrutmen guru selalu berdasarkan hukum dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan bukan berdasarkan kepentingan pihak tertentu saja. Terakhir, perlu diperhatikan pula terkait profesionalisasi. Bevir (dalam Kadir 2018) mendefinisikan profesionalisasi sebagai suatu proses yang mendorong dan melindungi kepentingan pemangku jabatan secara profesional. Perlu dipastikan bahwa guru yang terdaftar pada marketplace guru dipilih secara obyektif yang mana pemilihan guru selalu mengutamakan keahlian dan kualifikasi tertentu dan bukan karena alasan lainnya. Hal ini penting dilakukan agar proses rekrutmen guru terhindar dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang dilakukan baik oleh pihak sekolah maupun pihak calon guru.
Kesimpulan
Secara substansial kebijakan marketplace guru ini layak dan patut dilakukan uji coba untuk diaplikasikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa seperti sebuah sistem baru pada umumnya yang masih dalam tahapan awal perencanaan, diperlukan adanya tinjauan kembali sebelum benar-benar diimplementasikan. Evaluasi dan saran yang dapat kami sampaikan adalah pertama dari segi penamaan. Penggunaan istilah “marketplace” hanya sebagai upaya peniruan dan adopsi sistem rekrutmen dari konteks belanja online yang mengedepankan efektifitas, efisiensi, dan fleksibilitas pelaksanaan. Untuk itu, setelah publikasi ide dari sistem marketplace ini dimuat, diperlukan adanya peninjauan kembali dari penggunaan istilah penamaan yang disesuaikan dengan konteks pendidikan.
Kedua, dari segi kebijakan dalam sistem marketplace guru ini, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, diperlukan adanya ketetapan batasan periode waktu tertentu bersifat paten yang nantinya digunakan sebagai patokan dalam hal pengangkatan guru sebagai ASN maupun pemecatan yang didasari hukum. Dengan adanya indeks penetapan waktu, maka menjadi pertimbangan yang jelas dari pihak sekolah guna melakukan pengangkatan berdasarkan evaluasi kerja sebelum berakhirnya periode tersebut dan dari pihak guru terkait kepastian status yang dimilikinya. Kedua, terkait gaji dan tunjangan, perlu dilakukannya standarisasi dengan menetapkan gaji pokok yang diikuti dengan tunjangan yang akan diperoleh sesuai dengan masa kerjanya dimana dapat menggunakan pertimbangan gaji dan tunjangan yang setara dengan ASN. Ketiga, terkait persaingan kerja dari calon guru yang mendaftar untuk diberikan pembatasan dengan skala regional yang digunakan untuk meminimalisir terpusatnya para pendaftar pada satu wilayah saja, dengan begitu tenaga pengajar yang ada dapat disebar di berbagai wilayah tanpa adanya dominasi atas wilayah tertentu terhadap wilayah lainnya.
Daftar Pustaka
Andina, E., & Arifa, F. N. (2021). Problematika Seleksi dan Rekrutmen Guru Pemerintah di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 12(1), 85–105. https://doi.org/10.46807/aspirasi.v12i1.2101
Hikmia, Z. (2023). Mendikburdristek Nadiem Makarim Bakal Lakukan Rekrutmen Guru Lewat Marketplace. Jawa Pos. https://www.jawapos.com/nasional/01685213/mendikbudristek-nadiem-makarim-bakal-lakukan-rekrutmen-guru-lewat-marketplace
Kadir, A. (2018). Prinsip-Prinsip Dasar Rasionalisasi Birokrasi Max Weber Pada Organisasi Perangkat Daerah Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. JAKPP: Jurnal Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik, 40–54.
Admin. (2023). Pro dan Kontra Marketplace Guru. Universitas Islam An Nur Lampung. https://an-nur.ac.id/blog/pro-dan-kontra-marketplace-guru.html
Isnanto, B. A. (2023). Marketplace Guru Adalah: Pengertian, Cara Kerja, dan Pro-Kontra. Detik.Com. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6763110/marketplace-guru-adalah-pengertian-cara-kerja-dan-pro-kontra
Kusuma, S. P. (2023). Menyoal ”Marketplace” Guru. Kompas.Id. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/04/menyoal-marketplace-guru
Mujib, A. (2023). Marketplace Guru, Mewujudkan Solusi Efektif Kesejahteraan dan Ketersediaan Guru. Detik.Com. https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6763676/marketplace-guru-mewujudkan-solusi-efektif-kesejahteraan-dan-ketersediaan-guru
Ragam Info. (2023). Marketplace Guru : Pengertian dan Cara Kerja. Kumparan.Com. https://kumparan.com/ragam-info/marketplace-guru-pengertian-dan-cara-kerja-20Zzmmtz0KN
Utomo, U. (2023). Lokapasar Guru, Solusi atau Ilusi? Jawapos.Com. https://www.jawapos.com/opini/01704997/lokapasar-guru-solusi-atau-ilusi
Weber, M. (1947) From Max Weber: Essays in Sociology. Diedit oleh H. H. Gerth dan C. Wright Mills. New York: Oxford University Press.
Ditulis oleh Devi Ernawati (20512010011103) dan Wafa Auliya Insan Gaib (205120107111011) sebagai tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Hubungan Kerja dan Industrial
8 notes
·
View notes