Tumgik
#artikeljahe
mir-magazine · 7 months
Text
Diplomasi dan Filosofi Wedang Jahe
Tumblr media
MIRMAGZ.com - Siapa yang tidak tahu jahe? Rasanya, hampir tidak mungkin jika orang Indonesia tak tahu rempah temu-temuan yang satu ini. Melansir Wikipedia, nama rempah jahe pertama kali ditulis oleh Kong Hu Cu dalam buku Analek Konfusius pada 557–479 SM. Di sana diterangkan bahwa dia selalu mengonsumsi makanan dengan jahe. Sejarawan kuliner Fadly Rahman menjelaskan bahwa jahe merupakan sambal pertama bagi rakyat Nusantara. Mengutip Kompas.com, meski rempah, jahe digunakan sebagai pemedas makanan. Hal itu termaktub dalam prasasti kuno yang diteliti pakar arkeolog dan ditemukannya kata ‘sambal’. Akan tetapi, kata ‘sambal’ tidak merujuk pada cabai seperti saat ini melainkan penggunaan jahe sebagai bahan utamanya. Di berbagai daerah, nama jahe sendiri bervariasi. Jahe lazim didengar di tanah Sunda, sementara orang Jawa dan Bali menyebutnya jae. Agak berbeda dengan masyarakat di Aceh yang menyebutnya halia, dan orang-orang Bugis yang menyebutnya pase. Jahe sangat dekat dalam keseharian masyarakat kita, khususnya orang Jawa. Kedekatan orang Jawa dengan tumbuhan khususnya rempah-rempah memang sudah lama terjalin dan tampak empiris dalam dunia obat-obatan atau jamu. Hampir seluruh obat tradisional yang digunakan di Jawa diperoleh dari khasiat tumbuhan. Itulah alasan mengapa empon-empon (jahe, temu lawak, temu giring, kunir, kencur) kerap ditanam oleh masyarakat Jawa (Santosa, 2017:7). Jahe khususnya, tak hanya dijadikan empon-empon untuk bahan memasak seperti aneka soto. Rempah aromatik yang mampu melegakan tenggorokan ini hampir setiap hari dikonsumsi dalam bentuk minuman yang akrab disebut ‘wedang jahe’. Wedang dalam bahasa Jawa artinya minuman. Dengan begitu, wedang jahe berarti minuman yang bahan utamanya adalah jahe. Biasanya, wedang jahe hadir pada setiap hik (angkringan) dan menjadi favorit orang-orang Jawa di kala musim penghujan atau ketika iklim sedang sejuk-sejuknya. Kebiasaan itu kian meningkat, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini. Banyak orang Jawa percaya bahwa dengan rutin mengonsumsi empon-empon termasuk jahe baik dalam bentuk wedang, atau diparut dan diambil sarinya, mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Tumbuhan jahe atau Zingiber officinale konon memiliki filosofi yang sederhana namun penuh makna. Istri Wali Kota Bogor Bima Arya, Yane Ardian pernah menyampaikan salah satu filosofi dari tanaman jahe. Dikutip dari laman Bogor Update, Yane mengatakan bahwa meski daun jahe tumbuh ke atas, manfaat yang dapat diambil (jahe) berada di bawah tanah. Itu artinya, jahe mengajarkan bagaimana seseorang harusnya tetap bisa memberi manfaat tanpa perlu menunjukkan jati dirinya. Jahe dikatakan hanya berada di bawah tanah namun manfaatnya bisa dirasakan banyak orang. Hal ini selaras dengan filosofi tuwuhan atau tumbuhan dalam laku hidup orang Jawa. Masyarakat Jawa menjadikan tumbuhan sebagai sedulur sinarawedi yang artinya sebagai perlambang kekuatan, kesabaran, kejujuran, keikhlasan dan kesetiaan. Perlambang itu memuat ajaran bahwa manusia harusnya bertindak selaras dengan alam yang tak punya pamrih dalam melayani makhluk hidup (Santosa, 2017:9). Jika diselisik dari sejarah masa kuno, jahe beserta rempah-rempah lainnya secara umum memang sudah sangat masyhur. Rempah-rempah di masa kuno memang menyimbolkan eksotisme yang sarat akan kesakralan. Menurut filsuf Theophrastus, rempah-rempah bahkan lebih banyak digunakan para tabib daripada juru masak (Turner, 2011:59). Rempah-rempah berdasarkan literatur Alkitab juga pernah dihargai setara dengan emas ketika abad ke-10 SM Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon di Yerusalem dan menghadiahinya emas dan rempah-rempah juga batu permata (Czarra, 2009). Tak hanya itu, rempah-rempah khususnya jahe, bawang merah dan bawang putih bahkan disebut di dalam ayat Alquran. Jahe, disebut sekali di dalam Alquran dalam Surah Al-Insan (76) ayat 17 sebagai campuran minuman para penduduk surga. Ayat tersebut bermakna “Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe”. Meski begitu, ada beberapa pendapat yang berbeda tentang kata jahe dalam bahasa Arab, ‘zanjabila’ pada ayat tersebut. Mengutip kesimpulan dari sebuah skripsi berjudul “Tafsir Ayat-ayat tentang Rempah”, kata jahe dalam ayat tersebut hakikatnya berbeda dengan jahe yang ada di dunia. Namun, menurut seorang ahli tafsir Mesir, Thanthawi Jauhari, jahe dikatakan merupakan salah satu sifat dari mata air yang ada di dalam surga, yang disebut Alquran sebagai ‘Salsabila’. Meski begitu, ada sedikit perbedaan dengan tafsir yang diungkapkan Profesor Quraish Shihab. Menurut mufassir Indonesia itu, kata ‘zanjabila’ bermakna mata air di dalam surga yang memiliki sifat Salsabil (mudah mengalir di tenggorokan). Walau terdapat sedikit perbedaan penafsiran, setidaknya kata ‘zanjabil’ mewakili sebuah sifat yang selama ini kita ketahui dari rempah jahe; melegakan tenggorokan. Ketika jahe diracik menjadi minuman hangat, dia tidak hanya sekadar lewat di tenggorokan namun memberikan sensasi hangat dan melegakan. Bahkan, melansir Alodokter, bagi ibu hamil yang tengah mual, flu, pilek atau batuk, minuman dengan racikan bahan utama jahe sangatlah aman dikonsumsi dibanding obat kimia dengan dosis aman sekitar 1.000 s.d 1.500 mg per hari. Dengan beragam manfaat, latar belakang, filosofi dan kekayaan sejarahnya, wedang jahe tentu berpotensi menjadi salah satu alat diplomasi pemerintah Indonesia. Sebagai produsen jahe terbesar di dunia dan sudah mengekspor ke berbagai negara seperti Singapura, Uni Emirat Arab, Inggris, Hong Kong, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Malaysia dan Korea, Indonesia punya peluang besar untuk lebih berfokus memasarkan jahe ke pasar internasional (Astaman, 2016). Mungkin, jika ekspor bahan bakunya sudah biasa, racikan minumannya akan tampak lebih istimewa. Sedikit cerita, saya pernah bekerja dengan salah seorang anggota keluarga. Bibi saya seorang praktisi farmasi yang sudah mengembangkan kemampuan di industri minuman herbal dan kecantikan. Salah satu minuman herbal andalannya telah terjual sampai Malaysia dan Korea Selatan, dan minuman tersebut mengandung jahe. Ketika kami melakukan pameran di Jakarta Convention Center pada 12-14 Oktober 2016 silam, banyak pengunjung mancanegara yang tertarik membeli, mencicipi dan memesan produk herbal berbahan jahe kepada kami. Antusiasme para pengunjung saat itu sangat tinggi dan mayoritas menanyakan tentang jahe. Hal itu memberikan aspirasi kepada saya tentang pentingnya gagasan diplomasi wedang jahe. Pada akhir Agustus 2018 lalu, Presiden RI Joko Widodo sendiri juga pernah menjamu Perdana Menteri Australia Scott Morrison dengan wedang jahe madu sebagai salah satu hidangan. Dengan sifat jahe pada minuman yang mampu melegakan tenggorokan serta membuat badan hangat, wedang jahe jelas tepat dijadikan ‘alat’ untuk berdiplomasi. Rasa hangat dan melegakan dari wedang jahe bisa saja menurunkan tensi atau membuat suasana perbincangan menjadi lebih kekeluargaan. Diplomasi semacam itu termasuk ke dalam istilah diplomasi kuliner atau gastrodiplomasi. Penyuguhan wedang jahe terhadap tamu negara asing tidak hanya memberikan pengalaman kuliner yang lezat namun juga bisa menjadi ‘perantara’ yang membuat lawan bicara tenang dan bisa diajak bekerja sama. Lebih jauh, Paul Rockower dalam The Gastrodiplomacy Cookbook mengatakan bahwa gastrodiplomasi adalah “cara terbaik untuk memenangkan hati dan pikiran melalui perut.”. Implementasi gastrodiplomasi secara formal dan khusus bahkan bisa ditujukan sebagai diplomasi suatu negara terhadap negara lain. Hal itu jelas bertujuan untuk lebih dari sekadar mengajak masyarakat asing dalam mencicipi kuliner khas negara kita, dalam hal ini wedang jahe. Namun juga bertujuan “agar mencintai suatu negara melalui kuliner”. Sesuatu yang bisa membumikan kekayaan Nusantara meski hanya melalui secangkir wedang jahe!   Sumber bacaan: Astaman, Made. 2016. Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Czarra, Fred. 2009. Spices: a Global History. London: Reaktion Books. Fadly Rahman. 2019. Negeri Rempah-rempah dari Masa Bersemi hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-rempah. Jurnal Patanjala. Nur Aziza, Ulfa. 2017. Tafsir Ayat-ayat tentang Rempah (Studi Komparatif Tafsir Ilmi). Jakarta: Institut Ilmu Alquran. Santosa, Iman Budhi. 2017. Suta Naya Dhadhap Waru (Manusia Jawa dan Tumbuhan). Yogyakarta:Interlude. Turner, Jack. 2004. The history of a Temptation. New York: vintage books. Read the full article
0 notes
jaheazwa-blog · 4 years
Link
Artikel Jahe Merah
www.jaheazwa.com selalu berusaha untuk memberikan deskripsi produk seakurat mungkin. Tetapi kami tidak dapat 100% menjamin bahwa seluruh deskripsi atau konten yang terdapat di dalam website adalah akurat, lengkap, terbaru, atau bebas error. Jika produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang tertera dalam deskripsi produk, maka Anda dapat mengembalikannya dalam keadaan belum terpakai / buka segel.
0 notes