Tumgik
#Data Kasus Campak
pamekasanhebat · 1 year
Text
Data Kasus Campak Selama 2022 di Madura
PAMEKASAN – Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menyebutkan, dua kabupaten di Pulau Madura, yakni Kabupaten Sampang dan Kabupaten Sumenep tercatat sebagai kabupaten paling banyak dalam kasus virus campak rubela (MR). Kasus campak di Kabupaten Sampang tercatat sebanyak 57 kasus, sedangkan di Kabupaten Sumenep tercatat sebanyak 55 kasus, lalu Pamekasan sebanyak 25 kasus dan yang paling sedikit…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bitchybreadsandwich · 3 years
Text
Bikin Resah, Ini 5 Mitos Seputar Vaksin yang Perlu Diluruskan Faktanya
Tumblr media
Saat ini, vaksin menjadi salah satu cara paling efektif untuk mencegah tertularnya berbagai penyakit berbahaya. Bahkan, di beberapa negara, vaksin menjadi sebuah keharusan bagi warganya.
Sayangnya, masih ada segelintir orang yang mengkhawatirkan keamanan vaksin, bahkan hal ini telah mengembangkan berbagai mitos dan kesalahpahaman tentang vaksinasi. Akhirnya, ini membuat sejumlah orang cenderung menolak vaksinasi. Padahal, vaksinasi bukan hanya penting bagi individu tapi juga bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan negara.
Supaya kamu tidak terpengaruh oleh mitos yang berkembang seputar vaksinasi, yuk kita kupas tuntas berbagai mitos seputar vaksin dan fakta yang sebenarnya
1. Mitos: Kekebalan alami lebih baik daripada kekebalan yang didapat dari vaksin
Tumblr media
Dalam beberapa kasus, kekebalan alami, yang berasal saat individu benar-benar tertular penyakit dan jatuh sakit, dapat menghasilkan kekebalan yang lebih kuat terhadap penyakit daripada vaksinasi. Kendati demikian, risiko dari pendekatan ini jauh lebih besar daripada manfaat relatifnya.
Melansir dari https://neaman-bond.com/. Misalnya, jika kamu ingin mendapatkan kekebalan terhadap campak dengan tertular penyakit, kamu akan menghadapi 1 dari 500 kemungkinan kematian akibat penyakit ini, menurut badan kesehatan CDC. Sebaliknya, jumlah individu yang mengalami reaksi alergi parah akibat vaksin MMR, kurang dari satu dari satu juta.
2. Mitos: Kebersihan dan sanitasi yang lebih baiklah sebenarnya yang bertanggung jawab atas penurunan infeksi, bukannya vaksin
Tumblr media
Sanitasi yang lebih baik, nutrisi, dan pengembangan antibiotik memang banyak membantu mengurangi tingkat penyebaran penyakit. Tetapi, peran vaksin tetap tidak dapat disangkal.
Salah satu contohnya adalah campak di Amerika Serikat. Menurut data CDC, ketika vaksin campak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963, tingkat infeksi kala itu ada di angka sekitar 400 ribu kasus setahun. Pada tahun 1970, tingkat infeksi campak menurun drastis di angka sekitar 25 ribu kasus, meskipun kebiasaan higienis dan sanitasi tidak banyak berubah.
Contoh lain adalah penyakit Hib. Menurut data CDC, tingkat kejadian penyakit ini turun drastis dari 20.000 pada tahun 1990 menjadi sekitar 1.500 pada tahun 1993, setelah pengenalan vaksin.
3. Mitos: Alih-alih mencegah penyakit, vaksin justru dapat menginfeksi individu dengan penyakit
Tumblr media
Setelah pemberian vaksin, individu memang dapat mengalami gejala ringan yang menyerupai gejala penyakit yang ingin mereka cegah. Sayangnya, masih banyak orang yang salah paham dan mengira bahwa gejala ini menandakan infeksi. Tapi yang sebenarnya adalah, penerima vaksin mengalami respons kekebalan tubuh terhadap vaksin.
Memang, menurut WHO, pernah tercatat satu kasus di mana vaksin pernah menyebabkan penyakit. Ini adalah oral polio vaccine (OPV) yang tidak lagi digunakan di Amerika Serikat. Sejak saat itu, vaksin telah digunakan dengan aman selama beberapa dekade dan mengikuti peraturan ketat badan pengawas obat dan makanan di berbagai negara.
4. Mitos: Vaksin mengandung bahan kimia yang bersifat racun yang tidak aman
Tumblr media
Banyak isu tentang penggunaan formaldehida, merkuri, atau aluminium dalam vaksin yang membuat banyak orang mengkhawatirkan keamanan vaksin, bahkan hingga menolak vaksinasi. Memang benar bahwa bahan kimia ini bersifat toksis bagi tubuh manusia pada tingkat tertentu. Akan tetapi, komposisi senyawa tersebut dalam vaksin jumlahnya sangatlah sedikit dan tentunya sudah melewati pengujian dan pengawasan yang ketat.
Bahkan, FDA mengungkapkan fakta bahwa sistem metabolisme kita sendiri memproduksi formaldehida pada tingkat yang lebih tinggi dan tidak ada bukti ilmiah bahwa merkuri, formaldehida, maupun aluminium dalam vaksin dapat berbahaya.
5. Mitos: Vaksin menyebabkan autisme
Tumblr media
Menurut situs kesehatan Public Health, kekhawatiran yang meluas bahwa vaksin meningkatkan risiko autisme berawal dari penelitian tahun 1997 yang diterbitkan di jurnal The Lancet, yang menyatakan bahwa vaksin campak, gondok, rubella (MMR) meningkatkan autisme pada anak-anak di Inggris.
Akan tetapi, makalah ini sepenuhnya didiskreditkan karena kesalahan prosedural yang serius, konflik kepentingan keuangan yang tidak diungkapkan, dan pelanggaran etika. Akhirnya, peneliti yang bertanggung jawab atas publikasi tersebut kehilangan lisensi medisnya dan papernya ditarik dari The Lancet.
Sayangnya, hipotesis tersebut terlanjur ditanggapi dengan serius oleh masyarakat. Bahkan, beberapa studi besar lainnya telah dilakukan dan tak satu pun yang dapat membuktikan hubungan antara vaksin apa pun dan kemungkinan mengembangkan autisme.
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi gejala autisme pada anak jauh sebelum mereka menerima vaksin MMR. Bahkan, penelitian yang lebih baru memberikan bukti bahwa autisme berkembang di dalam rahim, jauh sebelum bayi lahir atau menerima vaksinasi.
.
0 notes
Text
Kasus Campak Meningkat 3 Kali Lipat Tahun 2019 di Dunia
Kasus Campak Meningkat 3 Kali Lipat Tahun 2019 di Dunia
Tumblr media
Kali ini Jumlah kasus campak tiga bulan pertama tahun 2019 di seluruh dunia dilaporkan meningkat tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO mengungkapkan bahwa angka sebenarnya bisa jadi lebih besar, karena secara global, hanya satu dari 10 kasus yang dilaporkan.
Campak merupakan penyakit virus yang sangat menular…
View On WordPress
0 notes
roliyan · 4 years
Quote
Beberapa waktu lalu beredar cerita lewat Whatsapp tentang "Vaksin Penyebab Autisme", yang isinya seolah curhatan seorang ibu tentang anaknya Joey, 27 bulan, yang menderita autisme yang (katanya) disebabkan vaksin. Cukup menghebohkan bagi pembaca awam, tapi bagi kami kabar tersebut hanya propaganda lawas & murahan dari pegiat antivaksin. Bila ditelisik, latar waktu 'curhatan' tersebut kurang lebih terjadi pada tahun 2003. Awal tahun 2000an, vaksin dan autisme menjadi trending topic dunia, vaksin dituduh sebagai penyebab autisme. Hal tersebut dipicu karena ulah penelitian sesat Wakefield. Tahun 1998, Andrew Wakefield, seorang ahli bedah di Inggris, mempublikasikan penelitiannya bahwasanya vaksin MMR berhubungan dengan munculnya gejala autisme dan gangguan pada usus anak (1). Wakefield mengemukakan bahwa penelitiannya mendukung teori "Autism enterocolitis" atau "Leaky Gut Syndrome", dimana vaksin MMR menyebabkan peradangan dan kerusakan pada usus, sehingga protein-protein berbahaya beredar dalam darah sampai ke otak dan menyebabkan autisme. Berita tersebut kemudian dipropagandakan oleh pegiat anti vaksin ke seluruh Inggris, Eropa, Amerika dan seluruh dunia. Orangtua menjadi panik dan takut dengan vaksinasi, angka cakupan vaksinasi pada anak-anak anjlok, dan akibatnya mulai tahun 2005, penyakit campak, gondong kembali mewabah di negara-negara tersebut (2,3,4). Dokter, peneliti, dan tenaga kesehatan bereaksi terhadap hasil penelitian Wakefield tersebut. Penelitian-penelitian besar diadakan untuk membuktikan apakah benar vaksin MMR menyebabkan autisme, dengan data yang lebih banyak dan metode yang lebih akurat. Hasilnya ternyata tidak ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa vaksin dapat menyebabkan autisme (5,6,7,8,9,10). Bagaimanapun, kebohongan tak akan dapat selamanya ditutupi. Penelitian Wakefield tersebut kemudian ternyata terbukti penuh rekayasa dan manipulasi data. Wakefield rupanya dibayar oleh pengacara dan orangtua anak-anak autis yang ia teliti untuk menyusun "bukti ilmiah" bahwa vaksin menyebabkan autisme, agar dapat memenangkan tuntutan ganti rugi di pengadilan terhadap pabrik vaksin. Wakefield kemudian disidangkan di konsil kedokteran Inggris, publikasi penelitiannya ditarik dari jurnal Lancet, dan ia dipecat dari jabatan dokternya. (11,12). Begitu besar efek isu vaksin & autisme karena kebohongan Wakefield yang menyebabkan wabah campak kembali muncul di Eropa dan Amerika, sehingga dijuluki "the most damaging medical hoax of the last 100 years" Pegiat anti vaksin di Eropa dan Amerika umumnya adalah orang-orang yang mendapat keuntungan finansial atau popularitas dari isu bahaya vaksin. Melihat propaganda MMR dan autisme runtuh oleh penelitian-penelitian, dan terbongkarnya skandal penelitian abal-abal Wakefield, mereka tak mau kehilangan argumen untuk tetap mengkaitkan vaksin dengan autisme (karena autisme merupakan penyakit yang sedang populer saat ini, jumlah penderitanya terus meningkat, dan sangat mencemaskan bagi orang tua). Agar tidak kehilangan peminat, pegiat antivaksin beralih argumen (shifting hypotesis) bahwa merkuri (Hg) dalam vaksin dapat menyebabkan autisme, argumen lain dengan alasan yang dibuat-buat bahwa secara medis gejala keracunan metil merkuri dosis tinggi mirip dengan gejala autisme. (13) Thimerosal, senyawa yang mengandung etilmerkuri (bukan metilmerkuri), digunakan sebagai bahan pencegah kontaminasi bakteri dan jamur, terutama pada vaksin multidosis (vaksin yang setiap satu kemasannya dapat digunakan untuk memvaksin beberapa anak)(14). Kemasan multidosis banyak digunakan pada negara miskin dan berkembang karena biayanya murah, dan lebih tahan pada sistem transportasi dan penyimpanan vaksin yang kurang baik. Semua zat di alam, tak terkecuali, memiliki batas kadar racun bila kita terpapar dalam jumlah besar. Natrium, bila masuk dalam tubuh dalam jumlah besar dapat menyebabkan kematian, namun dalam dosis kecil setiap hari kita konsumsi sebagai NaCl (garam dapur). Merkuripun demikian, telah diperhitungkan dengan cermat untuk ditambahkan pada vaksin dengan kadar yang sangat rendah dalam bentuk thimerosal (etilmerkuri) yang lebih cepat didegradasi dari tubuh sehingga tidak mudah terakumulasi (15,16). Sekedar pembanding, merkuri juga ditemukan dalam air susu ibu/ASI (17), bayi yang mendapat ASI eksklusif akan mendapat merkuri lebih dari dua kali kadar merkuri dalam vaksin, namun tentu saja tetap aman karena secara keseluruhan kadarnya rendah dan tidak berbahaya (18). Meskipun demikian, pegiat antivaksin menyebarkan hasutan bahwa merkuri dalam vaksin berdosis tinggi, sangat beracun, dan menyebabkan autisme, sehingga mengakibatkan orangtua takut memvaksinasi anaknya. Bulan Juli 1999, Food & Drug Administration (FDA), American Academy of Pediatrics (AAP) dan Public Health Service (PHS; dari Dept Kesehatan Amerika Serikat) memutuskan thimerosal tidak dipergunakan lagi pada vaksin di Amerika, bukan karena thimerosal pada vaksin menyebabkan autisme, namun merupakan bagian upaya promosi pengurangan paparan merkuri pada anak di negara tersebut (19,20). Pabrik-pabrik di Amerika dan dunia masih banyak yang menggunakan merkuri (dalam berbagai bentuk senyawa berbahaya) dan pembuangan limbah merkuri mencemari biota laut. Akibatnya, paparan merkuri non-vaksin (metilmerkuri, terutama dari konsumsi ikan pemangsa berukuran besar) dapat meningkatkan akumulasi merkuri dalam tubuh (21). Keputusan FDA, AAP & PHS tersebut rupanya terkait pula untuk merespon hasutan pegiat antivaksin di atas: penarikan thimerosal dalam vaksin memberi kesempatan para peneliti untuk menjawab propaganda pegiat antivaksin tersebut secara ilmiah dengan penelitian-penelitian yang akurat. Dan hasilnya sangat meyakinkan, bahwa thimerosal pada vaksin sama sekali tidak ada hubungannya dengan autisme (22,23,24,25,26). Jawaban ilmiah ini dikuatkan dengan fakta bahwa meskipun thimerosal telah ditarik dari vaksin di Amerika, hingga saat ini jumlah penderita autisme di Amerika tidak turun, namun tetap meningkat (27). Sebuah fakta mudah yang tak dapat disanggah yang membuktikan pada orang awam bahwa vaksin benar-benar tidak berhubungan dengan autisme Jacquelyn McCandless (almarhum) adalah salah seorang dokter pengobat alternatif di California, Amerika serikat. Awalnya ia membuka praktik untuk gangguan kejiwaan dan seks terapi, dengan metode alternatif, namun setelah cucunya menderita autisme pada tahun 1996, ia beralih mendalami pengobatan autisme alternatif tanpa dasar ilmiah yang jelas. McCandless mempropagandakan bahwa merkuri adalah penyebab autisme dan paham Wakefield tentang "Leaky Gut Syndrom", termasuk segala metode alternatif berbasis bukti ilmiah abal-abal yang ia tulis dalam bukunya "Children with Starving Brain". Mengaku telah menyembuhkan ratusan pasien autisme, McCandless mendapat keuntungan dari program terapi kelasi dengan program diet dan suplemen bagi penderita autisme yang datang kepadanya (28,29). Terapi kelasi McCandless mendasarkan pada teori (yang terbukti salah) bahwa autisme disebabkan karena merkuri dari vaksin, sehingga harus diberikan terapi zat pengikat logam (kelasi) pada penderita autisme. Terapi kelasi tersebut sama sekali tidak bermanfaat pada penderita autisme (30), justru membahayakan dan dapat menyebabkan kematian (31,32,33). Sangat disayangkan buku sesat Jaquelyn McCandless beredar di Indonesia, sebuah kritik besar bagi penerbit buku tersebut karena telah menyebarkan pembodohan bagi masyarakat. Dari kasus cerita WhatsApp ini kita belajar bagaimana orangtua dan anak-anak penderita autisme seringkali dieksploitasi oleh pegiat anti vaksin dan pengobat alternatif sebagai alat propaganda dan pencari simpati. Anak-anak penderita autisme yang seharusnya mendapat kasih sayang dan stimulasi untuk berkembang seoptimal mungkin justru menjadi bahan coba-coba pengobatan alternatif tak berdasar logika, boros biaya, namun tak berguna. Di sisi lain, orangtua awam yang kurang mengenal literasi ilmiah, akan mudah diperdaya dengan isu bahaya vaksin yang dibumbui isu konspirasi, dibujuk dengan cerita mengharukan, dan ditipu teori ilmiah abal-abal, untuk tidak memvaksin anaknya. Kisah nyata wabah campak yang muncul kembali di Eropa dan Amerika seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk waspada dan tanggap terhadap ulah gerakan anti vaksinasi yang mulai menyesatkan rakyat Indonesia. Sungguh mudah menggunakan media sosial seperti WhatsApp untuk menyebarkan berita menghebohkan, kontroversial, tanpa menganalisis dan meresapinya. Mari bersikap lebih cerdas & bijak dalam menerima dan mengirimkan informasi. Sekian artikel kali ini mengenai "Benarkah Vaksin Menyebabkan Autisme?" Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi sobat sekalian, jangan lupa di Like & Share, dan kunjungi terus ROLIYAN.COM untuk mendapatkan berbagai macam topik dan informasi menarik lainnya !!!
http://www.roliyan.com/2020/01/benarkah-vaksin-menyebabkan-autisme.html
0 notes
anditabagas · 5 years
Text
Jumlah Kasus Campak Meningkat di Seluruh Dunia, WHO Salahkan Penolak Vaksin - JPNN.com
Jumlah Kasus Campak Meningkat di Seluruh Dunia, WHO Salahkan Penolak Vaksin – JPNN.com
Kamis, 29 Agustus 2019 – 22: 45 WIB
jpnn.com– Data terbaru WHO menunjukkan statistik mengkhawatirkan soal penyebaran penyakit campak. Di semua wilayah di dunia, kecuali Amerika, jumlah kasus campak meningkat.
Direktur Departemen Imunisasi, Vaksin, dan Biologi WHO Kate O’Brien menyalahkan sistem kesehatan yang lemah dan informasi yang keliru tentang vaksin.
“Kita mengalami kemunduran, kita…
View On WordPress
0 notes
liputanviral-blog · 5 years
Text
Wabah Campak Menyebar di Filipina, Puluhan Meninggal
Liputanviral - Wabah campak dilaporkan menyebar di Filipina. Bulan ini saja tercatat 25 orang meninggal akibat penyakit itu. Sebagian besar korban meninggal akibat campak adalah anak-anak. Kementerian Kesehatan Filipina menyatakan ada kemungkinan jumlah korban akan bertambah karena wabah itu menyebar dengan sangat cepat. Menurut catatan Kemenkes Filipina, pada 2017 penduduk yang mengidap campak berjumlah 791 orang. Setahun kemudian jumlahnya melonjak berkali-kali lipat hingga mencapai 5,120 orang. Bahkan, pada Januari 2019 tercatat ada 1,813 penduduk Filipina terinfeksi campak. Diduga hal ini erat kaitannya dengan keengganan penduduk melakukan vaksinasi campak. Sebab, program imunisasi demam berdarah pemerintah Filipina terhambat gara-gara vaksin Dengvaxia yang diimpor dari luar negeri disebut-sebut menyebabkan penerimanya malah jatuh sakit. "Vaksinasi campak memang menurun selama lima tahun belakangan. Masalah vaksin Dengvaxia turut menjadi pemicunya," kata Wakil Menteri Kesehatan, Eric Domingo. Menurut data Rumah Sakit San Lazaro, Manila, jumlah pengidap campak yang dirawat dan berobat di sana mencapai 1,500 orang. Bahkan, 50 di antaranya meninggal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menerbitkan peringatan pada November 2018 kasus wabah campak di seluruh dunia meningkat sekitar 30 persen pada 2017. Menurut mereka salah satu faktornya adalah anak-anak tidak melakukan imunisasi. Keengganan penduduk Filipina melakukan imunisasi dipicu masalah vaksin Dengvaxia pada 2017. Saat itu, pemerintah setempat sudah memberi vaksin itu kepada 837 ribu anak-anak. Namun, perusahaan pembuat vaksin, Sanofi, menyatakan mereka menemukan kecenderungan penerima vaksin itu bisa mengalami gejala yang lebih parah di masa kini atau mendatang. Padahal, mereka sebelumnya menyatakan vaksin itu aman. Pemerintah Filipina lantas menghentikan pemberian vaksin. Namun, ribuan orang tua dan anak-anak yang sudah menerima vaksin mengaku khawatir dengan kesehatan mereka. Read the full article
0 notes
inanews-blog1 · 6 years
Text
Menguak Jalan Panjang Fatwa MUI Tentang Vaksin MR
Inanews - Sejarah menunjukkan bahwa setelah 14 tahun Amerika Serikat menyatakan terbebas dari campak, pada 2014 wabah besar campak terjadi di Disneyland, California, AS. Tercatat, sebanyak 84 orang dari 14 negara bagian terinfeksi penyakit itu. Dan hingga 2016, data menunjukkan ada sebanyak 22 kasus di Arizona, AS. Wabah terkini di AS itu ditelusuri bermula di Tempat Tahanan Eloy, Arizona. Sejatinya, mulai 1960 AS telah melakukan langkah preventif demi membasmi potensi penularan campak melalui program vaksinasi. Hanya saja, kemudian penyakit itu kembali muncul lantaran banyaknya penolakan atas pencegahan penyakit tersebut. Padahal diyakini, ketika orang terinfeksi mengadakan kontak dengan populasi tak bervaksin, akibatnya bisa menjadi bencana. Di seluruh dunia, diketahui bahwa campak menghinggapi sebanyak 22 juta orang setiap tahunnya. Di negeri ini, wabah penyakit campak sendiri masih terjadi di Asmat, Papua, pada awal 2018. Menkes Nila F Moeloek ketika itu membeberkan, tim kesehatan terpadu memastikan sudah memeriksa 12.398 anak sejak September 2017 hingga 25 Januari 2018, dan dia mengonfirmasi terdapat 646 anak terkena wabah campak.
Tumblr media
Sementara itu, data Kementerian Kesehatan dalam kurun 2010-2017 mencatat, sebanyak 27.834 kasus Campak dilaporkan. Ancaman wabah campak tak sendirian. Selain itu, terdapat satu lagi penyakit yang perlu diperkenalkan kepada masyarakat, yakni penyakit Rubella. Dampak penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan juga sangat luar biasa. Data Kementerian Kesehatan pada 2013-2017 mencatat, sebanyak 31.449 kasus rubella telah dilaporkan. Selain karena penyakit rubella mudah menular, pemerintah juga berupaya keras mencegah penyakit ini karena adanya efek teratogenik, yakni bila rubella ini menyerang pada wanita hamil terutama pada masa awal kehamilan, infeksi rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan Congenital Rubella Syndrome (CRS). Kelainan akibat rubella dapat berupa ketulian, gangguan penglihatan, bahkan kebutaan, hingga kelainan jantung. "Jadi dampak dari rubella ini sangat luar biasa. Saya kira kita harus memikirkan dampak dan akibat yang terkena apabila kita menolak imunisasi,” tandas Menkes. Bahaya Antivaksin Dewasa ini, dapat dikatakan bahwa penolakan vaksin atau imunisasi telah menjadi sebuah gerakan global, tak terkecuali di Indonesia. Kondisi serupa juga terjadi seiring digelarnya program imunisasi nasional berbasis vaksin MR (Measles Rubella) fase kedua, yang dijadwalkan berlangsung pada kurun Agustus-September 2018. Alhasil, dari target cakupan semula sebesar 95%, baru terealisasi kurang lebih 40%. Ihwal penolakan tersebut setidaknya ada dua isu yang melatarbelakangi. Pertama, berbasis sikap teologi keagamaan yakni perihal haram atau halal berkaitan dengan kandungan vaksin.
Tumblr media
Sedangkan isu kedua, skeptisisme akan efektivitas kerja vaksin untuk menanggulangi penyebaran penyakit. Sekaligus juga munculnya kekhawatiran kuat terhadap keamanan vaksin (per se) bagi kesehatan anak-anak. Baik program imunisasi nasional berbasis vaksin MR (Measles Rubella) fase satu atau dua, yang pelaksanaannya mencakup seluruh wilayah Indonesia, ditujukan untuk mencapai eliminasi campak dan pengendalian rubella/congenital rubella syndrome (CRS), pada 2020. Terkait dua isu yang merebak mengiringi munculnya gerakan antivaksin, sejatinya pada 2016, MUI telah menerbitkan Fatwa MUI 04/2016 tentang Imunisasi. Tak hanya itu, MUI bahkan menerbitkan fatwa berikutnya, terkait imunisasi, khususnya ihwal vaksin MR. Senada dengan fatwa terdahulu, Fatwa MUI 33/2018 tentang Penggunaan Vaksin Masks Rubella (MR) Produksi Serum Institute of India (SII) untuk Imunisasi itu secara substansial menggunakan pendekatan darurat syar’iyyah. Yang sekiranya dapat dimaknai sebagai memperbolehkan penggunaan vaksin yang ada, sekalipun memiliki kandungan tertentu, sampai tersedia vaksin yang berbahan halal. Pasalnya diyakini, imunisasi merupakan cara yang sangat efisien dan efektif karena murah, mudah, dan ampuh untuk mencegah dan menurunkan morbiditas penyakit tertentu dan sekaligus memutus rantai penularannya. Read the full article
0 notes
majalahforbes-blog · 6 years
Text
Lebih dari 100 Ibu di Riau Terkena Campak dan Lahirkan Anak Cacat
Forbes – Sungguh menyedihkan. Data yang baru terhimpun di Riau ada 100 ibu hamil terkena campak. Imbasnya kini mereka memiliki anak-anak yang cacat. "Data yang kita dapatkan baru 100 ibu-ibu hamil terkena campak. Ini kondisinya mereka yang mau membuka diri. Bisa jadi masih ada lagi yang belum mau membuka diri soal anaknya," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir dalam diskusi 'Situasi dan Ancaman Penyakit Campak dan Rubella' di Provinsi Riau, Senin (10/9/2018). Dalam acara ini Dinas Kesehatan Provinsi Riau juga menggandeng, UNICEF, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Riau dan Dinas Kesehatan Pekanbaru. Hadir juga belasan ibu-ibu korban campak yang membawa anak-anaknya kondisi cacat. Mimi mengungkapkan, Riau termasuk dalam endemi campak atau measles dan rubella (MR). Tercatat hingga Juli 2018 ada 972 kasus campak-rubella. "Di Riau jumlahnya tergolong banyak. Makanya kita benar-benar menjalankan pemerintah untuk melakukan vaksin MR pada anak," kata Mimi. Hanya saja, kata Mimi, dalam perjalanannya untuk melakukan vaksin harus tertatih-tatih. Ada sekelompok masyarakat yang menolak vaksin tersebut. Sehingga, sebagian pemerintah kabupaten dan kota ada yang menghentikan sementara suntik vaksin untuk anak-anak. "Pemerintah dalam programnya vaksin MR ini demi masa depan anak-anak bangsa. Dan program ini juga berjalan secara internasional. Tapi memang sandungan di lapangan masih banyak. Kita mengharapkan semua pihak, untuk sama-sama membawa anaknya vaksin MR demi kebaikan bersama," kata Mimi.Di Pekanbaru, kata Mimi, pelaksanaan vaksin MR memang dihentikan sementara. Penghentian ini karena adanya pro dan kontra. Namun demikian, diharapkan Pemkot Pekanbaru untuk dapat kembali melaksanakan program vaksin tersebut. "Perlu kesadaran bersama akan pentingnya vaksin ini untuk kesehatan anak-anak kita," kata Mimi. Khusus kepada ibu yang saat hamil terkena campak, kata Mimi, pihaknya sengaja menghadirkan diacara diskusi. Ini diharapkan, agar wartawan bisa langsung mendapatkan informasi dari para korban. "Untuk mengumpulkan mereka bukan hal yang mudah. Karena belum tentu semua mau terbuka soal ini. Kami mengharapkan dukungan teman-teman media dalam membantu sosialisasi. Ibu-ibu ini kami hadirkan dengan anak-anaknya yang korban campak, sebagai bukti nyata," kata Mimi. Dalam acara ini, para kaum ibu dan suaminya membawa anak-anak mereka yang terkena campak saat dalam kandungan. Pantauan Majalahforbes di acara itu, anak-anak tersebut ada yang mengenakan alat bantu pendengaran. Ada lagi kondisinya harus mengenakan kaca mata yang tebal. Usia mereka dari balita hingga belasan tahun. Pengakuan sejumlah dari orang tua anak korban campak, ada juga yang harus operasi karena jantungnya rusak. Pendengaran mereka rusak. Mata mereka rusak. Kondisi anak-anak yang terkena campak sangat menyedihkan. Read the full article
0 notes
adelzahara-blog · 6 years
Text
Tahun ini Ada 972 Kasus Campak di Riau, Terparah di Siak
Adel Zahara Tahun ini Ada 972 Kasus Campak di Riau, Terparah di Siak Artikel Baru Nih Artikel Tentang Tahun ini Ada 972 Kasus Campak di Riau, Terparah di Siak Pencarian Artikel Tentang Berita Tahun ini Ada 972 Kasus Campak di Riau, Terparah di Siak Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Tahun ini Ada 972 Kasus Campak di Riau, Terparah di Siak Sebagaimana data di Dinas Kesehatan Provinsi Riau ternyata ada 972 Kasus Campak di Provinsi Riau yang tersebar di 12 Kabupaten/Kota. http://www.unikbaca.com
0 notes
suratpembaca · 6 years
Link
Sering kita saksikan di berbagai media tentang anak hitam tinggal tulang dan sangat memprihatinkan. Biasanya kita saksikan itu kejadian di luar negeri seperti di wilayah Afrika. Namun kali ini menimpa saudara kita di ujung Timur Papua tepatnya di Kabupaten Asmad. Kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua banyak merenggut korban jiwa. Puluhan anak-anak di wilayah paling timur Indonesia ini meninggal dunia dan banyak yang masih membutuhkan bantuan. Menyikapi laporan tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) dimana puluhan anak meninggal di Asmat akibat gizi buruk dan wabah penyakit Campak Pangdam XVII/Cendrawasih Mayor Jenderal TNI George Elnadus Supit telah memerintahkan jajarannya membentuk tim penanganan cepat dari Kodam XVII/Cendrawasih dan segera membuat Posko penanganan bencana yang akan dipusatkan di Timika dan di Kab. Asmat. Kodam XVII/Cendrawasih bergerak membantu Pemda di lapangan membantu mengisi ruang-ruang kosong yang tidak mampu dan tidak tersentuh oleh Pemda akibat wabah Campak dan Gizi buruk demi Kemanusiaan. Kodam Cendrawasih menerbangkan Hercules/A-1326 misi Dukungan Tim Bhakti Kesehatan TNI untuk penanganan KLB wabah penyakit di Asmat dengan jumlah 53 orang tim Medis TNI terdiri dari Dokter spesialis dan paramedis dan Alkes 6 ton serta sembako dan kebutuhan pokok warga yang tertimpa bencana akan memperkuat Tim kesehatan Kodam XVII/Cendrawasih. Data yang kami ketahui bahwa hingga pertengahan Januari 2018 data sementara wabah penyakit yang terjadi di Kabupaten Asmat, terdiri dari : 467 anak terkena campak, 487 anak divaksin, 1.052 anak sudah di obati dan mendapat pelayanan medis. Sedangkan laporan dari Asmat Yang meninggal 57 anak yg dirawat di RSUD 12 anak, dengan rincian : Tim distrik Pulau Tiga. Wialyah nakai : campak 63 anak, di vaksinasi 110 anak, dirujuk ke RSUD 4 anak, meninggal karena campak 4 anak. Wilayah kampung Ao: tidak mendapati campak. Mendapat vaksin 93 anak, tidak ada gizi buruk, tidak ada meninggal. Wilayah kampung Kappi : mendapat pengobatan campak 3 anak, mendapat vaksin 105 anak, meninggal karena campak 2 anak. Wilayah kampung As : mendapatkan pengobatan campak 28 anak, mendapat vaksinasi 71 anak, meninggal karena campak 8 anak, 1 anak gizi buruk dan kena campak. Wilayah kampung Atat : mendapat pengobatan campak 53 anak, mendapatkan vaksin 108 anak, meninggal karena campak 23 anak, 2 anak gizi buruk dan terkena campak. Sedangkan wilayah Distrik jetsy dilayani 4 kampung. Total 320 anak mendapat pelayanan. Sakit campak dan diobati 112 anak. Distrik Sirets dilayani 5 kampung. Total 732 anak yang mendapat pelayanan. Kena campak dan mendapat pengobatan 108 anak. Kodam XVII/Cendrawasih beserta seluruh jajarannya turut prihatin dan merasa terpanggil atas bencana kesehatan yang menimpa rakyat khususnya di Kab. Asmat. Kita patut bersyukur dengan adanya kejadian tersebut  pihak TNI melakukan tindakan cepat dangan mampu mengkosolidasikan sejumlah pihak agar segera turun tangan membantu saudara  kita yang  tertimpa masalah kesehatan. Oleh karenanya kepada semua pihak agar turut serta membantu saudara kita yang sedang mengalami musibah dengan menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan warga Kab. Asmat. Bantaun yang diberikan oleh TNI dan elemen lain akan sangat berarti  terutama jika semua pihak ikut memberikan bantaun sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Berapapun yang kita berikan kepada saudara kita yang penting keikhlasan dalam membantu dari sisi kepedulian dan kemanusiaan.  
0 notes
mardisahendra · 6 years
Photo
Tumblr media
Asmat, Provinsi Papua. Informasi Kunci Kronologis Kejadian Waktu Kejadian : Oktober 2017 s/d Januari 2018 Luas Kejadian : 5 distrik (Swator, Fayit, Jetsy, Siret dan Pulau Tiga) Penyebab Kejadian : KLB Campak Berdasarkan informasi dari Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Kabupaten Asmat (dr. Stefanus), di beberapa puskesmas terdapat wabah campak dan sudah ditangani sejak Oktober 2017. Kasus tersebut mulai berkurang tetapi muncul kasus baru di beberapa tempat. SDM Kesehatan yang ada kurang memadai. Hanya ada 9 dokter untuk 23 distrik dan 16 puskesmas. Gambaran Situasi: Tanggal 8 Januari 2018 dilaporkan ada 7 balita yang dirawat karena gizi buruk di RSUD, 5 di antaranya akibat post campak Tangal 8 Januari 2018, diadakan rapat dengan bupati untuk menindaklanjuti hasil kunjungan kerja terkait kasus campak di beberapa kampung di wilayah Kab. Asmat. Bupati memutuskan untuk mengirim tim kesehatan di 4 distrik yakni Pulau Tiga, Sirets, Jetsy, Suator. Pembaharuan Informasi: 9 Januari 2018 dilakukan investigasi oleh Tim Kesehatan di Kampung Nakai Distrik Pulau Tiga kepada hampir semua balita suspect campak (2 anak meninggal). Sweping imunisasi campak di Kota Agats dan ditemukan 12 kasus campak dan 7 kasus gizi buruk. Hasil rekapitulasi data oleh Kepala Bidang P2P Dinkes Asmat disebutkan bahwa di 5 distrik (Swator, Fayit, Jetsy, Siret dan Pulau Tiga) terdapat kenaikan kasus campak pada bulan September s/d Desember 2017 dengan jumlah 568 kasus (rawat jalan 393 kasus dan rawat inap 175 kasus), data meninggal belum dapat diklarifikasi Respon PKPU Human Initiative: 1. Deploy tim reaksi cepat PKPU-HI 2. Koordinasi dengan pihak terkait 3. Bantuan evakuasi warga 4. Pemberian siap saji dan PMT ( Pemberian Makanan Tambahan ) Balita 5. Mengirimkan Bantuan Medis Pkpu HI Sumut (di PKPU Human Initiative Sumatera Utara)
0 notes
Text
Rubella - Gejala, penyebab dan mencegah
Rubella – Gejala, penyebab dan mencegah
Rubella atau campak Jerman adalah infeksi virus yang ditandai dengan ruam merah pada kulit. Rubella umumnya menyerang anak-anak dan remaja. Menurut data WHO, pada tahun 2016 di Indonesia terdapat lebih dari 800 kasus rubella yang sudah terkonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium.
  Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella dan dapat menyebar dengan sangat mudah. Penularan utamanya dapat…
View On WordPress
0 notes
roliyan · 4 years
Quote
Demam merupakan gejala tersering yang ditemui pada anak. Demam sendiri adalah gejala yang sangat umum, dan banyak sekali kemungkinan penyebabnya. Ketika anak demam tinggi, sepanjang hari selama 2-3 hari, tidak ada batuk pilek, "diagnosis" apakah yang harus dipikirkan pertama kali? Ya betul, Demam Berdarah Dengue (DBD). Apakah bisa curiga demam tifoid (tipes)? Jangan pikirkan demam tifoid dulu pada demam yang baru berlangsung beberapa hari. Sehingga pada kondisi yang seperti ini, pemeriksaan untuk memastikan apakah ini demam tifoid atau bukan (tes widal misalnya), tidak perlu dilakukan. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue ini disebabkan oleh vektor nyamuk yang telah membawa virus dengue dari orang yang sudah terinfeksi. Umumnya pada bayi atau anak yang baru pertama kali terkena infeksi primer virus dengue tidak langsung menjadi DBD. Bisa jadi terinfeksi tapi tidak bergejala khas, yang disebut "undifferentiated fever" (demam tidak terdiferensiasi) yang memiliki gejala atau sindroma infeksi virus. Ruam kemerahan pada kulit biasanya di wajah, leher, dada (khas infeksi virus) bersamaan demam, gejala pada saluran nafas dan cerna adalah gejala yang umum ditemui. Demam Dengue (DD), kondisi ini umum ditemui pada anak yang lebih besar. Gejalanya seperti demam yang mendadak tinggi, dengan sakit kepala berat, nyeri perut, nyeri persendian, nafsu makan menurun, mual muntah, susah BAB, diare, ruam kemerahan. Pada pemeriksaan laboratorium bisa ditemui trombosit yang rendah, dan leukosit yang rendah. Sangat jarang ditemui pendarahan, karena itu disebut demam dengue. Demam dengue umumnya adalah kondisi yang ringan dan tidak membahayakan. Demam Berdarah Dengue (DBD) memiliki gejala yang sama seperti demam dengue, dibedakan dengan adanya tanda-tanda pendarahan. Paling mudah diketahui dengan tes torniquet, bisa diuji pada beberapa hari awal demam. Pada kulit bisa temui petekie (bintik-bintik kemerahan), gejala lain seperti mimisan, gusi berdarah. Pada kasus yang berat, bisa terjadi pendarahan pada saluran cerna. Apa yang harus diwaspadai? DBD adalah penyakit yang harus diketahui perjalanan penyakitnya. Umumnya diawali dengan fase demam tinggi (39-40°C) selama 1-3 hari, lalu demam mulai turun. Tapi disinilah terjadi fase selanjutnya yaitu fase kebocoran plasma, inilah Fase Kritis (hari ke 3 - 6 sejak awal demam). Fase ini yang harus ditangani dengan tepat karena bisa mengarah kepada kondisi syok. Tanda dan gejala yang mengawali fase kritis/pre syok ini adalah muntah berulang, nyeri perut, tampak lemas/lelah, dan volume urin yang sedikit. Secara laboratorium, mulainya fase kritis ini ditandai dengan meningkatnya hematokrit dan menurunnya trombosit. Bisa ditemui juga peningkatan SGOT dan SGPT. Apa yang perlu dilakukan? DBD adalah penyakit yang harus dimonitor dan dipantau perjalanan penyakitnya. Demam hari 1-2 bisa jadi fase yang masih agak "longgar". Tapi jika sudah masuk hari ke 3 – 6 demam, harus dipantau ketat. Pemeriksaan laboratorium untuk mengecek hematokrit dan trombosit tidak bisa hanya dilakukan sehari sekali, tapi harus dilakukan minimal per 12 jam/sehari 2 kali. Karena pada "onset" awal fase kritis, nilai trombosit bisa turun drastis dengan tiba-tiba. Perawatan di Rumah Sakit adalah yang umumnya diperlukan untuk penanganan yang tepat. Fase kebocoran plasma bisa diatasi dengan penanganan yang baik, salah satunya pemberian cairan intravena. Setelah melewati 6 hari, umumnya kondisi pasien akan mulai pulih dan membaik. Fase penyakit demam berdarah dengue Pesannya disini adalah, tempatkanlah kecurigaan terhadap penyakit dengan benar. Pada demam tinggi di beberapa hari awal, curigalah kepada DBD sebelum curiga demam tifoid. Tapi, jika disertai batuk pilek, penyakit saluran nafas yang lebih tepat dicurigai. Sebagai tambahan, kemungkinan diagnosis banding lainnya adalah infeksi arbovirus (chikungunya), campak, rubella, virus lain, seperti enterovirus, influenza, hepatitis A, Pesan lainnya, ingat betul kapan anak mulai demam. Sebagian orang tua tidak mengasuh anaknya sendiri, melainkan diserahkan ke pengasuh, kakek atau nenek si anak. Maka ketika ditanya awal demam, jawabannya tidak tepat, tidak yakin. Ini akan mempengaruhi penilaian dokter, sudah sampai di fase mana demam tersebut. Mendapatkan data riwayat penyakit yang tepat, pada DBD khususnya hari awal terjadi demam, bisa membantu dokter memberikan penanganan yang terbaik. Sekian artikel kali ini mengenai "Demam, Demam Berdarah Dengue atau Bukan?" Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi sobat sekalian, jangan lupa di Like & Share, dan kunjungi terus ROLIYAN.COM untuk mendapatkan berbagai macam topik dan informasi menarik lainnya !!!
http://www.roliyan.com/2020/01/demam-berdarah-dengue-atau-bukan.html
0 notes
saatmetime · 6 years
Text
DIREKTUR GIZI KEMENKES: CAMPAK ERAT KAITANNYA DENGAN KURANG GIZI DIPUBLIKASIKAN PADA : KAMIS, 18 JANUARI 2018 00:00:00 Jakarta, 18 Januari 2018 Kementerian Kesehatan terus melakukan pemantauan status gizi (PSG) secara terus menerus pada tahun 2015, 2016, sampai dengan 2017. Pada akhir tahun 2017, Kemenkes melihat bahwa data status gizi di Provinsi Papua secara umum cukup baik, namun secara khusus, data Kabupaten Asmat menunjukkan kenaikan cukup besar untuk persentase under nutition atau kekurangan gizi. Hal ini memperlihatkan hubungan kausal yang jelas antara inadekuat dietary intakes (kurang asupan makanan yang menyebabkan kekurangan gizi) dengan keberadaan penyakit infeksi di wilayah tersebut. Demikian pernyataan Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes RI, Ir. Doddy Izwardy, MA, kepada sejumlah media di Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Rabu siang (17/1). ''Penyakit infeksi yang paling sering terjadi di sini adalah Diare, namun di Papua saat ini yang terjadi bersama ada Campak di sana. Jadi ada hubungan timbal balik, ada campak, ada gizi buruk. Mana yang lebih dulu'', tutur Doddy. Asupan makanan dan penyakit infeksi merupakan faktor penyebab langsung dari status gizi, dimana keduanya merupakan faktor yang saling mempengaruhi. Balita yang akan terkena penyakit infeksi biasanya mengalami perubahan pola makan, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara asupan makanan dan kebutuhan gizi. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang cukup lama maka terjadilah kekurangan gizi. ''Adanya penyakit Campak, si anak sakit sehingga tidak bisa makan (nafsu makan menurun). Campak memperberat anak-anak yang inadekuat dietary intakes (kurus) tadi menjadi lebih buruk gizinya. Diare pun bisa cepat diatasi sebenarnya, tinggal kasih larutan gula garam, tetapi karena ada penyakit infeksi, menjadi lebih berat mengatasinya'', tambahnya. Campak atau yang dikenal dengan nama Measles merupakan salah satu penyakit menular melalui udara yang disebabkan oleh virus golongan paramyxovirus. Penyakit ini dapat menyerang sistem pernapasan dan sistem kekebalan sehingga anak menjadi rentan terhadap berbagai infeksi lainnya, seperti Pneumonia dan Diare. Campak sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Campak bukan penyakit berbahaya jika segera ditangani dengan tepat. Namun jika perawatan yang diberikan kurang baik dan kondisi tubuh penderita lemah (kurang gizi), maka akan mudah terkena infeksi lain atau komplikasi yang bisa berakibat fatal. Komplikasi yang paling umum terjadi pada kasus campak yang fatal adalah diare kronis. Pemberian kekebalan terhadap penyakit Campak telah menjadi salah satu prioritas program imunisasi nasional. Trimester akhir tahun 2017 lalu, pemerintah bahkan telah meningkatkan kekebalan dengan meluncurkan vaksin MR, jenis imunisasi yang mampu melindungi tubuh dari dua penyakit, yaitu measles (campak) dan rubella (campak jerman). Lebih jauh, Doddy juga menerangkan bahwa selain kekurangan zat gizi makro, penelitian membuktikan bahwa campak memiliki hubungan yang erat dengan kekurangan zat gizi mikro, yaitu vitamin A. ''Vitamin A itu bermanfaat mencegah morbiditas pada anak Balita. Kalau anak diberi vitamin A dan dikonsumsi dengan baik, bisa disimpan di dalam organ hatinya selama 4-6 bulan. Itu alasannya mengapa pemerintah memiliki program Bulan Vitamin A dua kali dalam setahun (Februari dan Agustus)'', imbuhnya. Bersamaan dengan pelaksanaan imunisasi massal, seluruh Balita yang ada di wilayah terjadinya KLB Campak perlu diberikan pula vitamin A dengan dosis sesuai usia, yaitu: Bayi
0 notes
cendananews · 6 years
Text
Tingginya Kasus Campak di Papua, Karena Imunisasi Belum Optimal
JAKARTA – Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Oscar Primadi, mengatakan, program imunisasi rutin termasuk campak di Papua, dinilai belum optimal, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kasus penyakit campak di Kabupaten Asmat Papua.
“Saya memang belum pegang data kuantitatif, yang pasti memang belum optimal soal imunisasi ini,” kata Oscar dalam konferensi pers di Kementerian…
View On WordPress
0 notes
ghinash · 6 years
Video
📖 Repost: @dewi.n.aisyah Jazakallahu Khairan ··· WABAH DIFTERI VS VAKSIN . “Being a parent is not about what you think best for yourself. It’s about doing what is best for your child” . Ini adlh adkt coret2 sy menanggapi kasus wabah difteri yg sdg marak di Indonesia. Sebuah konsekuensi, krna minimum cakupan imunisasi tdk terpenuhi. Saya coba paparkan data & penjelasan ilmiah dari sisi epidemiologi, smg dpt mnjawab kegalauan orang tua yg masih ragu untuk mengikuti program imunisasi. . Secara ringkas begini, ada dua jenis imunitas, yaitu memori imunitas/imunitas aktif dan imunitas bawaan/imunitas pasif. Contoh imunitas bawaan adlh ASI. Sbg gambaran agar mudah pemahamannya, analoginya ibarat Allah telah menganugerahkan kemampuan akal pd manusia (imunitas bawaan). Kita bs menguatkan kemampuan otak ini dgn suplemen DHA, EPA dan mkn makanan bergizi sebagaimana multivitamin, herbal, madu dsb. Suplemen ini akn meningkatkan daya ingat otak secara umum, namun tdk spesifik. Sehingga menguatnya daya ingat itu tdk akan menjadikan kemampuan otak kita mampu menjawab soal-soal dlm ujian fisika, kimia atau biologi. Utk menstimulasi otak menguasai pelajaran2 tsb, kita hrs merelakan diri kita ‘terpapar’ kisi2 soal yg akan keluar pd saat ujian. Jika kita latihan dgn soal2 di suatu bidang tertentu, maka saat menghadapi soal ujian betulan, kita sdh siap dan bisa mengerjakan dgn mudah. Dan yg harus diingat, memori ini spesifik, latihan soal ujian fisika misalnya, tdk akn menjadikan kita jd mampu mengerjakan soal biologi. Istilahnya kita hrs rela ‘terpapar’ bljr pd masing2 subyek pelajaran. Demikian juga vaksin, vaksin campak ya untuk melindungi campak, vaksin cacar ya utk cacar. Bkn berarti mrka yg sudah divaksin campak, tdk akan tertular cacar, krna mmg memori imunitas ini haruslah spesifik dlm mengenal virus tertentu. . Melalui tulisan ini, sy hanya ingin mengajak para orang tua utk lebih bijak mengambil keputusan utk anak2 kita. Pilah dan pilih keputusan setelah bertanya kpd yg ahlinya. Bkn krna ngikutin ibu A, bapak B... ⚠ BACA blog . Semoga setelah BACA, ayah-ibu bisa diskusi berkualitas(?) 📖 banyak ilmu bermanfaat 🔎 kita cari+pilih, tentukan KUALITAS 🔬#moveon #grantAPT
0 notes