Tumgik
#5cc10
rhandayani22 · 1 year
Text
Membebaskan Ekspresi Diri
Bolehkah aku membebaskan ekspresi dalam diri?
Bolehkah aku tersenyum?
Bolehkah aku menangis?
Bolehkah aku terbang membawa anganku dalam  hidup ini?
Tidak.
Aku tidak akan tersenyum.
Aku tidak akan menangis.
Aku tidak akan membawa anganku menjelajahi yang katanya hidupku.
Aku akan tetap diam, seperti katamu.
Aku akan tetap menyimpan rapat-rapat, senyumku, tangisku, juga anganku.
Karna ku tau, tak ada lagi yang harus ku percaya.
Jikalau ada, itupun Dia.
Karna ku tau, sejak dulu, Senyumku hanya sesimpul itu.
Tangisku hanya jeritan yang berpacu dalam hatiku.
Dan anganku hanyalah imajinasi di dalam alam bawah sadarku.
Tak bolehkah aku seperti itu?
Membebaskan diri dalam hidupku?
Sekali lagi aku katakan padamu, bolehkah aku membebaskan ekspresiku?
Kau bukanlah penguasa diri yang mampu menikam ekspresi diriku.
Sebab ku tau, ada Dia, Sang Pemilik Segalanya, baik itu hidupku, jiwaku, maupun ragaku.
Dan kau tau, Dia adalah pemilik hidup dan matiku.
6 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Dinda
"Mba Sin, jadi aku mewakili perusahaan mau menyampaikan. Karena dampak COVID ini, maaf banget, kita terpaksa harus nge-cut mba Sinta dulu untuk beberapa waktu. Insyaallah nanti ketika kondisi sudah membaik kita akan panggil mbak lagi. Maaf ya mbak, mau nggak mau saya harus menyampaikan ini." Kau tau apa yang aku rasakan saat itu? Seperti disambar petir di siang bolong. Aku sedang hamil tua anak kedua. Suamiku kerja serabutan dengan gaji seadanya. Aku sebagai tenaga outsourcing, kini diputus kontraknya tiba-tiba. Di rumah masih ada ibu, dan anak kakakku yang masih kecil. Belum lagi cicilan rumah. Biaya bersalin. Sekolah. Makan sehari-hari, dan lain-lain. Segalanya berputar di kepalaku. Tapi aku bisa apa. Aku memang tak punya kuasa apa-apa. "Iya mbak, gapapa. Terima kasih ya informasinya. Alhamdulillah bisa fokus ngurus anak dulu." Aku menjawab sekenanya. Tapi hatiku sudah terlanjur teriris, menangis, dan berteriak kencang sekencang-kencangnya. Aku pulang dengan hampa. Bagaimana kepada suamiku aku akan bercerita? Bagaimana kepada ibuku aku akan mengatakan semuanya? Dan begitu banyak pertanyaan tentang bagaimana yang tak kutemukan jawabnya. --- Rasanya aku tak ingin pulang. Ingin kutenangkan diriku barang sebentar. Seharusnya si kecil dalam perutku tak perlu ikut merasakan beban. Dan setidaknya anak pertamaku di rumah sudah aman bersama nenek dan kakak sepupunya. Kuputuskan turun dari angkot di pinggir jalan seberang perumahan. Dekat masjid besar. Ya, aku butuh kedamaian. "Ya Allah, maafkan aku jika hanya datang padamu di saat seperti ini. Aku malu. Tapi aku tak tau kepada siapa lagi harus mengadu." --- "Mas, nanti kalo udah pulang jemput aku di masjid dekat perempatan ya. Tadi angkot nya pecah ban." Aku berbohong padanya. Tapi setidaknya inilah caraku untuk berbicara padanya tanpa harus diketahui keluarga lainnya. --- Setelah berdiskusi dengan suamiku. Aku mulai mencoba menghitung sisa uang yang tersisa. Apakah akan cukup hingga setidaknya gaji terakhirku bulan ini cair? Apakah akan cukup bila dikurangi bayar cicilan rumah ini? Apakah masih cukup untuk biaya aku melahirkan dan merawat bayiku nanti? Ah tapi, bukankah Allah selalu menghadirkan rizki disaat yang tepat untuk setiap manusia di bumi? Suamiku menenangkanku dan memintaku percaya padanya, ia akan berusaha mencari cara. Bukankah sudah seharusnya dalam sebuah pernikahan, suami istri saling percaya? Aku tak meragukan upayanya, tapi jujur aku masih saja khawatir dengan kemungkinan terburuk yang ada. Karena secara matematika memang nyata-nyata tak cukup. Aku harus memutar otakku dan ikut berusaha mencoba berbagai cara.   --- "Mbak Nur, biasanya jualan gitu ambil dari mana ya? Aku kepengen coba jualan online nih." "Oh biasanya ada gudangnya sendiri mbak, nanti kita bisa reseller jadi nggak perlu ngestok, bisa kirim langsung dari gudangnya tapi pakai nama toko kita. Cuma modal upload gambar aja mbak kayak aku biasanya itu." "Wahh berarti modal share foto aja bisa ya mbak?" "Betul mbak." Akhirnya aku mencoba peruntunganku dengan jualan online. Kumulai upload foto jualan itu di WhatsApp ku. Setiap hari. Kubuka juga orderan jajan pasar, kue dan asinan, dengan modal kecil-kecilan. Tapi sungguh ini tak semudah yang kubayangkan. Hasilnya minim. Nyaris nihil. --- Mendekati akhir bulan. Aku pusing bukan kepalang. Aku tak sanggup lagi Ya Allah. Pintu rizki mana lagi yang harus kuketuk? Mungkin satu-satunya jalan adalah menghubungi sanak sudaraku. Barangkali mereka berkenan membantuku. Aku telan mentah-mentah harga diriku. Perlahan kukumpulkan semua keberanianku. Berani untuk menyampaikan kondisi dan maksudku, termasuk segala bentuk penolakan yang akan membenturkan aku. Dan benar saja. Aku terbentur untuk kesekian kalinya. Babak belur sudah hati ini rasanya. "Ya Allah aku tidak ingin menyerah untuk memperjuangkan hidup anak-anak dan keluargaku. Tolong berikan aku sedikit saja petunjukmu." --- Kuketik dan kuhapus ulang pesan itu. Satu nama terakhir yang ada di kepalaku. Dia jauh. Tapi aku tau ia selalu baik pada orang-orang di sekelilingku. Aku tau dia pernah dekat dengan keluargaku juga denganku. Aku tau ia akan mengusahakannya untukku. Bukankah begitu Ya Allah? Maka, semoga dia benar-benar adalah jawaban untukku dari Mu. Butuh waktu hampir 30 menit untuk menuliskannya. Hingga akhirnya kuputuskan mengirim pesan WhatsApp itu sambil menutup mata. "Assalamu'alaikum.. Halo Dinda, apa kabar disana?"
5 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Suatu Saat Nanti
Seorang pria duduk sendirian di bangku taman. Di sekelilingnya ramai pasangan remaja yang asik bercengkerama. Ada pula pasangan muda dengan buah hatinya yang sedang belajar berjalan. Caranya berdiri belum kokoh, langkah kakinya pun masih kaku, sesekali hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di rerumputan. Dan ketika berhasil berjalan tanpa kehilangan keseimbangan, sang ibu menghadiahi tepuk tangan dan pelukan.
Sang pria melihat sekitarnya dengan saksama. Pandangannya tertuju pada setiap pasangan yang bersendau gurau dengan anak-anaknya. Sesuatu hal yang belum dapat ia rasakan.
Sudah selustrum perjalanan rumah tangganya. Masih berdua saja bersama istri tercinta. Anak adalah impian yang tertunda untuknya. Ia sudah siap pada kemungkinan menua berdua bersama istrinya.
Tak ada yang salah dengan kesehatan mereka berdua. Karena ia tahu bukan itu alasannya.
Ada luka lama, trauma masa lalu yang masih singgah dalam diri istrinya adalah sebab mereka maju mundur memiliki anak. Ia tak ingin memaksa. Tak sanggup ia melihat istrinya cemas bertubi-tubi akan ketidaksiapan memiliki buah hati. Tak juga ia berpaling hati.
Ia selalu percaya pada ketetapan Sang Kuasa. Dan saat ini segala usaha bukan mengarah pada memiliki keturunan, melainkan menyembuhkan istrinya. Ia telah merasa cukup melihat istrinya bahagia dan berdamai dengan masa lalu.
"Hei! Kok melamun?" sebuah suara menyapa dirinya. Perempuan dengan kedalaman mata penuh cerita, menatapnya heran.
"Sudah selesai?" Ia balas bertanya.
Perempuan itu hanya mengangguk. "Pulang, yuk?"
"Anak itu lucu ya. Gemas. Lihat dia baru latihan jalan. Lucunya," celetuk sang perempuan yang tampak gemas terpancar dari sorot matanya. "Kapan ya kita?" ucap perempuan itu dengan tatapan masih tertuju pada balita yang sedang belajar berjalan.
Sang pria pun menoleh ke arah yang ditunjuk perempuan itu. Lantas digenggamnya tangan sang perempuan. "Nanti. Saat semuanya sudah siap."
"Saat aku siap," kata perempuan itu lirih dengan senyum getir yang tertangkap olehnya.
Pictures from Pinterest
2 notes · View notes
nurkhanifah · 1 year
Photo
Tumblr media
JARAK
“Kapan sih LDM ini berakhir,?” aku mecoba mengeluarkan unek-unekku.
“Sabar,” jawaban andalan dari lelaki cuek yang sudah menikahiku hampir 3 tahun lalu.
“Suruh sabar aja terus, aku ikut kamu ke lombok aja ya Mas, Ibu diajak aja sekalian!” ucapku.
“Ga segampang itu dek, Kamu tau kan udah secinta apa ibu sama rumah ini dan udah nyaman sama suasana disini,”.
“Tapi kata ibu kemarin juga udah ngizinin aku ikut kamu lho?” meski rasanya ini tak mungkin karena aku sendiri yang tak tega melihat kalo beliau tinggal sendiri.
“Dek kita udah bahas ini dari sebelum menikah lho,!”
“Tapi mau sampai kapan mas aku harus jauh jauhan dari kamu? Kamu janji beberapa bulan sekali bakal pulang, kenyataannya jarang bahkan bisa dibilang setahun sekali bahkan komunikasi kita berantakan semenjak kamu pindah tugas,?  Udah hampir 3 tahun lo mas ini dan masih gini gini aja,!” ucapku panjang lebar
“Hmmm”
“Kenapa mas? Ga bisa jawab kan,? Siapa tahu kalo kita tinggal bersama, keturunan yang kita harapkan juga hadir,” ucapku semakin lirih kemudian berlalu meninggalkannya mencegah emosi ku dan emosinya bertemu
Selama ini aku berusaha pendam semua ini, tapi kali ini rasanya dia harus tahu bagaimana rasanya memendam rindu setengah mati, bagaimana ocehan ocehan manusia tentang rumah tangga ini, istri yang durhaka lebih mementingkan karir, istri yang ga bisa ngurus rumah jadi tinggal sama mertua bahkan tentang kami yang belum dikasih keturunan.
Bagaimana bisa mereka berkomentar kalo aku lebih mementingkan karir dan juga ga bisa ngurus rumah jadi numpang di mertua padahal nyatanya tinggal bersama Ibu adalah kesepakatan kami dan agar aku tak kesepian dia tinggal, sekaligus menemani ibu yang tinggal sendiri di rumah dan kalo aku memang disuruh resign pun dengan senang hati aku akan melakukannnya. Dan terakhir, tentang kami yang belum mempunyai keturunan, ya bagaimana bisa dikaruniai kalo dia jarang pulang atau ya mungkin memang belum waktunya. Ingin rasanya membungkam mulut mereka, tapi juga tak ada gunanya dan rasanya sayang energi ku kubuang untuk menjelaskan itu semua.
 Dari balkon kamar aku menatap langit malam yang bersih tanpa hamparan bintang bintang dengan tatapan nanar, berharap bisa sedikit menenangkan pikiran yang berkecamuk dan juga hati yang bergejolak, hingga aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku dan sudah tentu aku tahu siapa orangnya.
“Maaf,” ucapnya terdengar memelas.
Aku tak berniat membalas ucapanya.
“ Manusia berencana dan Allah lah yang berkehendak dan menentukan, Mas selalu berusaha untuk kita bisa bareng-bareng dek tapi nyatanya sampai sekarang surat pindah tugasku belum diterima, malah sekarang dioper ke Lombok dan sudah pasti jam kerja juga pasien ku juga nambah banyak karena disana memang kekurangan dokter spesialis. Doain dek biar semua dipermudah,” tuturnya begitu tulus.
“Apa ada masalah kamu dengan Ibu, ada perkataan atau perlakuan ibu yang membuatmu sakit hati,?” tanyanya menyelidik menelisik ke bola mataku.
Aku menghela napas “Bukan tentang ibu Mas, Ibu selalu baik, menguatkanku bahkan dari awal aku tak pernah mempermasalahkan jika harus tinggal bersama ibu, tapi ini tentang hubungan kita yang rasanya perlu diperbaiki,!” Aku berkata jujur karena nyatanya ibu mertuakulah yang selalu menguatkanku untuk bertahan menjalani LDM ini dan rasanya aku bersyukur mendapat ibu mertua seperti beliau.
“Sekali lagi aku minta maaf ya dek belum bisa jadi suami seperti yang kamu mau, aku janji bakal lebih sering pulang dan sering ngabarin kamu, memperbaiki komunikasi kita. Terima kasih sudah mau tinggal sementara bersama ibu dan selalu sabar,” ucapnya sembari menggenggam tanganku dan memelukku.
“Semoga aku kuat Mas,”ujarku dalam hati.
5 notes · View notes
ariekdimas · 1 year
Text
Kisah Seorang Suami dan Gunpla nya
Tumblr media
Yang namanya hidup berumah tangga pastinya perlu pengaturan keuangan  yang baik antara suami dan istri. Tapi kalau sudah urusan hobi sudah pasti sulit untuk dilepas bagi suami, apalagi hobi mengkoleksi mainan.
Eits tapi jangan kira semudah itu Ferguso untuk bisa lolos dari omelan istri. Contoh si Raden, dia gemar mengkoleksi Gunpla atau model kit Gundam di rumahnya. Walaupun sudah menikah, Raden tetap bisa membeli rutin mainan robot sultan tersebut.
Raden punya trik sendiri gimana dia bisa lolos dari omelan istri. Mau tau bagaimana triknya si Raden?
Pertama, ketika membeli Gundam, Raden selalu minta Mas-mas penjaga toko untuk mencopot label harganya. Terus ia request untuk diganti label harganya jadi Rp200 ribu, padahal harga aslinya Rp800 ribu. Tujuannya biar istrinya mengira kalo harga semua mainan Raden itu cuma 200 ribu. Jadi kelihatannya masih aman di budget toh.
Trik kedua. Nah biar gak dicurigain istri karena beli Gundam melulu, Raden kadang request ke penjaga toko buat jadi bestie-nya. Maksudnya gimana? Jadi setelah membelinya, Raden menitipkan terlebih dahulu Gundam tersebut ke Mas Penjaga Toko. Terus si penjaga toko diminta dateng ke rumah pas malem ,  lalu pura-pura jadi teman Raden yang minta bantuan untuk ngerakitin robotnya.
Lanjut trik ketiga. Khawatir istri googling sendiri harga Gundamnya di internet. Raden juga sering beli Gundam tanpa kotak dus,  biar kotaknya gak keliatan istri. Karena dikotak itu tertulis nama Gundamnya, nanti kalo di googling kan jadi bisa ketahuan harganya.
Berkat trik menipu istri nya tersebut, Raden sampai bisa mengkoleksi dua lemari display penuh Gundam. Raden tentu bangga atas skillnya tersebut.
Tapi sepandai-pandainya tupai  melompat pasti jatuh juga. Kali si Raden ketimpa apes. Di suatu hari, si Mas Penjaga Toko datang ke rumah namun bukan untuk ‘minta Raden rakitin robot’ melainkan buat menagih hutang, karena si Raden ternyata punya  hutang yang lama belum ia bayar dengan Mas Penjaga Toko. Di hari itu Raden sedang tidak ada dirumah, hanya ada istri nya di rumah. Dan akhirnya terbongkar juga trik licik Raden, si Mas Penjaga Toko memberitahukan semuanya ke istri Raden. Sejak saat itu senyum Raden berubah jadi rak lemari kosong.
by Ariek Dimas
2 notes · View notes
mellyniaainur · 1 year
Text
Jangan Lupa 'Pulang'
Jakarta, kota metropolitan dengan beribu manusia yang diiringi oleh kemacetan di setiap sudutnya. Sore itu senja menghampiri langit jakarta. Indah ku pandang dari sudut kamarku.
"Tok tok tok…." Tiba-tiba suara ketukan pintu mengagetkanku. Lalu ku bergegas keluar kamar tuk membuka pintu.
"Siapa gerangan diluar?" Tanyaku dalam hati.
"Assalamualaikum Teh Rifdah" Sapanya setelah kubuka pintu rumah.
"Waalaikumsalam, Masyaallah kamu Rin. Ayo ayo masuk dek" Sambutku kepada Adik bungsuku ini.
"Kenapa kamu tiba-tiba ke Jakarta Rin, Baba Umi sehat di Bandung?" Sambungku setelah kita duduk di sofa.
"Rina ke Jakarta karena mendadak ada panggilan wawancara kerja disini Teh. Sebenarnya Baba lagi sakit Teh, penyakitnya kambuh. Tapi Umi melarangku ngasih tau Teteh" 
"Astagfirullah, kenapa aku tidak ditelpon sebelumnya? Maaf ya Teteh jarang telpon rumah" Jawabku dengan ekspresi kaget dan sedih mendengarnya.
"Iya Teh, Umi paham masalah keluarga Teteh. Makanya Umi gak mau menambah beban pikiran Teteh. Baba juga sudah dibawa ke RS kok Teh, insya allah sembuh. Kemarin pas Rina berangkat Baba dah mendingan, sudah bisa duduk santai di teras belakang" Rina menjelaskan.
Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, kalau di ingat-ingat sudah lama aku tak bertukar kabar dengan Baba Umi. Sekedar menelpon saja, terakhir kali 3 bulan lalu. 
"Astaghfirullah Rifdah, karena kamu terlalu sibuk dengan masalah keluargamu sendiri, sampai lupa kalau ada Baba dan Umi yang menunggu kabarmu. Mereka memahamimu Rifdah, tapi coba sedikit kamu memahaminya juga, jangan terlalu fokus dengan masalahmu hingga kau lupa dengan orang tuamu" Diriku bermonolog dengan si empunya raga.
"Teteh….Teteh….Teh Rifdah" Suara Rina menyadarkanku dari lamunanku
"Eh iya Rin kenapa?" 
"Rina cuma mau bilang tapi tidak niat menggurui ya Teh. Sejauh-jauhnya Teteh meninggalkan tempat lahir, jangan lupa pulang ya. Apalagi Baba Umi masih hidup Teh. Rina memahami kondisi ekonomi keluarga Teteh, paling tidak telpon rumah, tanya kabar Baba Umi. Semenjak menikah Teteh juga jarang pulang. Aku tidak tau mengapa Teteh seperti ini, kami masih keluarga Teteh, kalau ada apa-apa cerita, jangan dipendam. Kalau Teteh malu cerita ke Baba Umi, masih ada aku adik perempuan Teteh. Teteh juga manusia, meskipun teteh anak pertama gak perlu selalu kuat. Baba Umi cuma butuh kabar Teteh, Baba Umi sebenarnya kangen Teteh, tapi mereka mengerti Teteh. Coba Teteh memahami mereka, pulang ya Teh, Jakarta-Bandung tidak jauh Teh. Kami selalu ada dirumah untuk menjadi tempat pulang. Maaf ya Teh, jadi panjang lebar Rina ngomongnya" 
Kata maaf yang adik bungsuku terakhir sampaikan. Seharusnya aku yang meminta maaf karena sibuk dengan urusanku sendiri, merasa harus selalu kuat karena sebagai anak pertama di keluarga. Hingga diriku lupa ada orang tua yang menunggu kabarku disana.
Tumblr media
2 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Setelah sekian kilometer kami jalani, nada lagu Sad Song oleh We The Kings mengalir. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku mencari kata-kata yang tepat untuk memulai bincangan.
Aku mengecilkan volume radio hingga tak terdengar lagi suara apapun. Hanya kesunyian yang memenuhi ruang antara aku dengannya.
"Mas, aku boleh bicarain sesuatu?" tanyaku dan dia menganggukkan kepalanya.
"Mas, jujur aku ngerasa terkekang tinggal sama mama dan papa. Aku udah kerja di weekdays full day. Seengganya aku weekend mau istirahat dirumah. Tapi ini aku malah jadi masak seharian."
"Akhir-akhir ini perbedaan pendapatku dan mama makin banyak. Aku lagi sleep training buat kakak. Aku udah coba jelasin sama mama, sleep training itu bagus buat kakak, manfaatnya banyak. Tapi mama malah bilang ke aku, kok aku tega ninggalin anak 4 bulan tidur sendiri di kamar."
"Aku juga ngelatih kakak buat setiap makan duduk di kursi. Kalo ga mau makan, ga aku paksa. Tapi kebiasaan yang mau aku bentuk itu buyar, sekali mama ngeliat." Aku jadi meluapkan emosiku. Tak sengaja nada suaraku jadi meninggi.
Dia tak berkata dan membalas apapun. Satu menit berlalu, "Say, Mas ngerti perasaan itu." Mendengar suaranya yang berat dan tenang, hatiku langsung terasa ringan.
"Pertama, Mas bilang gini bukan karena Mas lebih sayang sama mama ya say. Mama dan kamu sama-sama prioritas bagi Mas," ucapnya dengan tatapan mata tetap melihat jalan.
"Tapi menurut Mas, kamu bisa mulai coba mengalah. Mengalah itu ga selalu kalah. Justru yang mengalah itu adalah orang yang menang diakhirnya."
Tangan kirinya melepas setir mobil dan meraih tanganku.
"Ada yang bilang, kalau kita mau didengerin, kita harus mendengarkan orang lain dulu."
"Ada yang bilang, kalau kita mau orang berbuat baik dengan kita, kita yang mulai berbuat baik kepada orang itu. Menurut Mas konsepnya sama dengan ini."
"Mas ngerti gimana sifat keras kepalanya mama. Mas ngerti kita harus mulai independen dari mama. Untuk kepentingan mendidik anak kita juga. Kita coba pelan-pelan ya," ucapnya sambil menggenggam lebih erat tanganku.
Aku menganggukkan kepalaku. Pikiranku jadi lebih tenang.
Pola pikir open minded sangat dibutuhkan.
Tujuannya sama tapi beda jalan. Ibarat perselisihan antara sayur dicuci dulu baru dipotong atau dipotong dulu baru dicuci.
Tujuannya sama, mau mendidik anak kita. Hanya jalannya yang beda.
"Maaf ya Mas udah emosian tadi. Makasih udah kasih nasehat buat aku. Aku kagum sama mama yang bisa mendidik kamu bisa jadi kayak kamu sekarang. Nanti Mas baik-baik juga ya sama mama. Dengerin mama, mijitin mama. Bilangin aku yang suruh Mas buat ngelakuin itu." Ujarku.
3 notes · View notes
truegreys · 1 year
Photo
Tumblr media
40–a flash fiction #5CC #5CC10 #DioramaCareerClass #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/Cp1SiaBvNb8/?igshid=NGJjMDIxMWI=
“Ada dua hal paling gak masuk akal di dunia. Satu, orang-orang yang bertahan padahal udah gak ada cinta. Dua, orang-orang yang bilang cinta tapi malah ninggalin. Aku gak mau jadi salah satunya. Mereka semua pembual. Aku gak mau jadi pembual.” Kataku. “Jadi itu alasannya kamu gak percaya pernikahan? Takut jadi pembual?” Tanyanya dengan dahi mengernyit. “Kamu juga, kan? Aku yakin kamu setuju.” “Aku gak percaya pernikahan sesederhana karena orang tuaku gagal. Hasilnya? Ya, ini. Hidupku yang berantakan. Skeptikal sama pernikahan, gak punya keluarga fungsional, dan hidup seadanya.” Kedua tangannya menunjuk dirinya sendiri dari ujung kepala hingga kakinya, seolah mempersilakanku untuk melihat sekeping hidup yang baginya adalah produk gagal. “Padahal bapakmu kerja di KUA, ya. Tapi, cerai-cerai juga dia.” Timpalku. “Emang kehidupan profesional gak ada korelasi apa-apa sama kehidupan pribadi. Dia jadi kayak dua orang yang beda dalam satu kehidupan.” Pembicaraan itu mengalir seolah kami berdua adalah teman lama yang tidak pernah saling cinta, tidak pernah saling benci, dan tidak pernah saling merasa bersalah. Tak kusangka hubungan antara mantan kekasih ternyata bisa baik-baik saja. ** “Tapi, kalau udah umur 40 tahun, kita sama-sama sendiri, mau hidup bareng aja, gak?” Ajakanmu sungguh lucu. Tawaku sinis mendengarnya. “Kita, kan, lagi ngomongin ketidakpercayaan kita sama pernikahan, kok malah jadi ngajak hidup bareng, sih?” Timpalku. “Hidup bareng, kan, gak sama dengan pernikahan.” “Main gila. Di mana-mana nikah itu, ya, hidup bareng.” “Ya…kita nikah, tapi gak perlu pake konsep suami-istri yang kebanyakan orang pegang, kayak ekspektasi istri bakalan selalu melayani, atau suami yang merasa paling capek, gak perlu kita kayak begitu. Hidup bareng aja cukup.” Untuk beberapa saat, aku berpikir bahwa apa yang dia bilang mungkin cukup menguntungkan buatku. “Lihat nanti.” Jawabku.
5 notes · View notes
Text
Suamiku teman sekolahku
"Zi besok baju dinasnya yang warna apa mau dipakai?" Teriakku dari dalam ruang pakaian rumah kami.
Batik biru rah. Sahutnya dari dapur.
"Ini kaus kaki yang mana pasangannya ?" Kamu sini dulu dong zi" teriakku
Mama yang mendengar percekcokan kami dari ruang tv langsung menghampiri ke kamar
Ributin apa sih kak? Kok sambil teriak-teriak tanya mama. Enggak ma ini lagi mau nyiapin baju mas ozi buat besok.
Kak, mama boleh bicara ga?
Ya boleh lah ma, ih mama ini godaku pada mama.
Kalian kan sudah menikah bukan teman sekolah lagi, walaupun kalian seumuran tapi mas ozi sekarang kan suami kamu. Mama gak mau dengar lagi kamu manggilnya nama ya. Manggilnya pakai mas kan bisa atau panggil papa atau sayang. Ujar mama sambil tersenyum simpul menggodaku.
Mas ozi sayang ini bajunya aku letak disini ya biar besok pagi kamu enggak ngerusuhi aku buat bersiap siap ke kantor balasku saat suamiku berada tepat disampingku.
Untuk kami yang baru genap sebulan menjadi suami istri rasanya banyak hal yang baru kami sama-sama tau. Walaupun usia pertemanan kami sudah menghitung belasan tahun ternyata itu tidak cukup buat kami saling mengenal satu sama lain. Ternyata benar kata petuah orang tua dahulu kalau pertemanan lama tidak menjamin kita mengenali seutuhnya karakter seseorang.
3 notes · View notes
nydaafsari · 1 year
Text
Kasih Tak Sampai
“Ma, bisa nggak sih gak usah ngomel melulu. Capek Papa dengernya!”. 
Seakan sudah menjadi rutinitas harian, kalimat itu selalu Nala dengar setiap mereka bertiga duduk di meja makan. Makan malam bersama, berujung huru hara. Nala tak begitu menyukainya.
Di lain waktu, saat semuanya hening dan hanya terdengar denting alat makan, Nala melempar pertanyaan kepada Papanya. “Papa, besok Sabtu bisa dateng ke sekolah Nala nggak? Ada pertemuan wali murid”. Keduanya hanya diam.
“Pa, ditanyain anaknya tu”, ujar Mama menekankan.
“Hmm”, sambil mengangguk.
Nala adalah anak semata wayang di keluarga itu. Kelas tiga SMA saat ini. Terlahir seorang diri, sulit berteman. Nala sering merasa kesepian, orang tuanya sibuk bekerja. Hanya ingat Nala saat awal bulan, iya, memberi uang saku bulanan.
“Ma, sebenernya Nala ngerasa sendirian kalo akhir pekan nggak ada Mama sama Papa. Boleh nggak kalo sesekali kerjanya libur? Kita main ke Taman Safari Bogor yuk”.
“Mama kan kerja juga buat kamu, Nak. Besok Mama belikan dress warna lilac kesukaanmu ya. Mama sempetin pulang kerja”.
Papanya hanya diam, tidak merespon seperti biasa.
Nala ikut membisu.
-----------
Akhir pekan itu, seperti biasa, suram rasanya. Nala ingin membagi perasaannya kepada orang lain. Tapi ia bingung kepada siapa ia bisa menumpahkan isi pikirannya. 
Saat sendiri, pikirannya ruwet, moodnya berantakan. 
“Kok Mama sama Papa nggak kayak orang tuanya Lina ya”, ia mulai membandingkan nasibnya dengan milik teman baiknya. 
Lantas teringat, di sebuah video yang dia lihat belakangan ini melalui media sosialnya, dia sadar bahwa dia butuh pertolongan professional. Sekalipun beberapa temannya juga datang ke psikolog, tapi dia terlalu takut untuk bercerita pertama kali kepada orang asing. Dia takut dinilai, dianggap tidak bersyukur terlahir dari keluarga yang kaya raya.
Dengan hati berdegup, Nala mulai membuka salah satu website biro psikologi yang berada di dekat rumahnya. Ia terenyuh, saat mendapati sebuah kalimat dari seorang psikolog bertengger di halaman awal website itu.
“Menerima itu tidaklah mudah, butuh proses untuk berani bertemu dengan diri sendiri. Saat kamu merasa tidak sanggup melaluinya sendiri, yakinlah ada tempat untuk berteduh dengan luasnya penerimaan”.
Tekadnya bulat.
Nala akan mencari pertolongan.
0 notes
nqamariah · 1 year
Text
[RADAR]
Bau khas rumah sakit ialah yang pertama menyambut kesadaran seorang wanita yang tengah terbaring di ruang inap, dialah Kala. Ia mencoba melihat sekeliling untuk memastikan keberadaannya, hingga menemukan satu sosok yang sedang mengistirahatkan tubuhnya. Dari pengamatannya ia paham sedang berada dimana, seperti beberapa waktu lalu ia kembali menempati tempat ini untuk ke sekian kalinya.
Ketika indra penglihatannya selesai memantau sekitarnya, tiba-tiba ia kembali menolehkan pandangannya. Satu benda yang menarik perhatiannya, sebuah paper bag putih yang cantik.
Kala pun membukanya dan disambut sebuah kertas kecil di bingkisan tersebut yang isinya ...
“𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘩𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪𝘳, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘱𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘳𝘢𝘥𝘢𝘳𝘮𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯? 𝘴𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘯𝘵𝘶𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘪𝘴𝘪 𝘑𝘢𝘭𝘢𝘭𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯 𝘙𝘶𝘮𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘬𝘢𝘳𝘺𝘢 𝘚𝘩𝘢𝘬𝘦𝘴𝘱𝘦𝘢𝘳𝘦 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴 𝘵𝘦𝘰𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘢𝘴𝘶𝘴-𝘬𝘢𝘴𝘶𝘴 𝘚𝘪𝘳 𝘈𝘳𝘵𝘩𝘶𝘳 𝘊𝘰𝘯𝘢𝘯 𝘋𝘰𝘺𝘭𝘦. 𝘓𝘦𝘬𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩, 𝘒𝘢𝘭𝘢.” -𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘮𝘱𝘪𝘯𝘨𝘮𝘶, 𝘎𝘦𝘯𝘵𝘢.
Kala pun tersenyum menyambut bingkisan yang bisa ia tebak dari siapa. Kemudian ia menyimpannya dengan telaten sembari menatap seseorang yang sedang terbaring 10 kaki darinya, yang erat menemani sejak beberapa warsa terakhir.
“Terima kasih”, ucap Kala setengah berbisik.
0 notes
prhndini · 1 year
Text
Flash Fiction: Hari Pernikahan
Di depan cermin, Sarah melihat dirinya berbalut kebaya dengan dress dibawahnya. Warna coklat muda sangat pantas ia kenakan.
"Sudah siap, Nduk?" Ibu menengok melalui pintu, membuyarkan lamunannya.
"Iya, sudah buk. Setelah ini Sarah keluar ya"
Sarah duduk bersama ibu dan adik perempuannya. Tampak Bapak penghulu dan mempelai pria saling berbicara sambil berjabat tangan, hingga akhirnya.. "Sah.."
Gemuruh ucapan hamdalah memenuhi ruangan.
Diantara isak tangis orang-orang, dia yakin dialah yang paling keras tangisannya. Adik perempuannya mengusap punggung dan tangannya,
"Sabar ya, mbak.."
Sarah telah berbesar hati mengizinkan adik laki-laki yang amat ia sayangi untuk menikah terlebih dahulu mendahuluinya. Berbagai afirmasi telah ia rapalkan supaya perasaannya baik-baik saja. Tak mungkin pula dia menghalangi adiknya menyempurnakan setengah agama. Tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?
instagram
0 notes
inesyafr-blog · 1 year
Text
PERNIKAHAN DAN KELUARGA : “Bu, aku minta restumu”
“Mas, sarapan dulu yuk.
“Pagi sayang, makasih ya. Kapan kita ke Ibu ya Sayang?
“Aku kangen sama Ibu”
1,5 tahun kami menikah. Tapi kami belum berjumpa dengan ibu semenjak hari pernikahan kami. Sungguh kami rindu. Ibu tidak menyetujui hubungan kami hanya karena istriku berdarah batak. Aku yang berdarah sunda diharuskan menikah dengan satu suku. Menurut ku itu bukan kreteria yang masuk akal. Istriku adalah wanita baik, paham agama, pandai mengurus rumah. Aku sangat mencintainya. Kami bertemu di dunia kampus. Kami selalu mengirim makanan melalui tetangga, dan tanpa menyebut nama kami sebagai pengirim.
Sampai detik ini, disaat usia kandungan istriku memasuki lima bulan, Ibu tidak pernah mengangkat telfon kami.
Diana,Istriku, selalu berusaha menenangkan aku dan menunjukkan rasa sayangnya kepada ibukku dengan cara menceritakan perkembangan skripsi kami dan menyakinkan ibukku bahwa kami akan segera wisuda tahun ini.
“Mas, nanti sore aku mau kirim kue putri kesukaan ibu. Mas mau ikut?”
“Sayang, terimakasih suah mencintai Ibu sebaik ini. Maaf kalau sampai detik ini aku belum mampu meyakinkan Ibu”
“Mas, tak perlu minta maaf, aku mengerti, Ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk kita.Aku yakin ibu bisa mencintai kita setelah anak kita lahir dan tentunya akan mudah untuk ibu memberi restu setelah kelulusan kita nanti. Aku yakin itu.”
Begitulah Diana. Selalu mengeluarkan kata-kata penenang dan percaya bahwa keputusan kami untuk menikah sebelum wisuda tidak salah. Dia selalu berusaha untuk menyemangati aku yang sudah sangat rindu dengan ibu.
“Besok kalo anak kita lahir, semoga ibu luluh dan mencintai cucunya seperti kita mencintai ibu. Aku ingin sekali melihat anak kita ditimang-timang ibu. Sudah tidak sabar rasanya”
Diana memelukku dengan penuh cinta, mendengarkan imajinasi dan mengaminkannya.
--Cerita dan Tokoh adalah fiktif—
-- HEAR YOURSELF-FLASH FICTION--
#5CC10 
#5CC
#bentangpustaka
#flashfiction 
#DioramaCareerClass
0 notes
chrmngman · 1 year
Text
Beban
Raina sedang merasakan hembusan angin sore yang jauh dari kata syahdu. Biasanya angin sore di hari yang cerah akan berhembus dengan lembut dan menyejukkan. Angin sore kali ini berhembus begitu kencang hingga membuat Ammar kesulitan menyeimbangkan laju motornya. Langit berwarna abu gelap. Menyeramkan.
"Kayaknya bakal hujan deres deh" ucap Ammar.
Ucapan Ammar seperti langsung diaminkan. Hujan mulai turun tanpa satu dua tetes air sebagai pembukanya namun langsung dengan rinai yang begitu deras tanpa ampun. Raina dan Ammar terpaksa menepi di sebuah halte bis terbengkalai. Baju mereka seketika kuyup. Sebenarnya mereka membawa dua pasang jas hujan namun berkendara di hujan yang begitu rapat bukan ide yang bagus.
"Kamu ngga kenapa-napa, Mas? Pusing ngga?" tanya Raina cemas. Sebelum hujan, Ammar berkata kalau ia sedikit tidak enak badan. Namun Ia tetap ingin menjemput Raina yang baru selesai berkegiatan di kampus. Muncul sebongkah rasa bersalah di hati Raina.
"I am okay. Basah segini doang cepet keringnya kok." Meski senyumnya masih begitu manis, Raina dapat melihat kelelahan di  mata Ammar. Jawaban Ammar membuat bongkahan di hati Raina makin besar.
Sendu diam-diam menelusuk ke dalam benak Raina. Akhir-akhir ini sepertinya ia banyak membebani suaminya. Beberapa bulan yang lalu, Raina meminta izin untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah didiskusikan baik-baik, Ammar meridhoi keingininan Raina. Namun, melihat Ammar seperti ini Raina jadi tidak tega. Bukan hanya biaya kuliah yang tidak sedikit, tapi Ammar juga harus mengorbankan beberapa waktunya untuk membantu Raina di rumah, atau bahkan mengantar jemput Raina. Padahal Ammar sudah cukup lelah dengan tugasnya sebagai kepala keluarga.
Belum berhenti disitu, Informasi tentang Ammar yang lebih muda tiga tahun dari Raina mendadak terlintas.
"Seharusnya di umur Mas Ammar, Ia masih bisa menikmati waktunya seperti teman-teman lainnya.  Bukannya dibebani olehku seperti ini." rutuk Raina pada dirinya sendiri dalam hati.
Raina memalingkan wajahnya untuk mengusap air mata di pipinya. Ammar sudah mengenal Raina lebih dari 8 tahun, jadi ia tahu perubahan suasana hati Raina tanpa meilhat wajahnya.
"Raina, Are you okay?" sekarang giliran Ammar yang cemas.
Satu pertanyaan itu seperti membobol bendungan air mata Raina. Ammar pun mendekap Raina dan membiarkan Raina menangis beberapa saat.
____________________________________________
Hujan sudah mulai mereda. Raina sedang menjelaskan isi hatinya meski dengan sedikit tersedu-sedu. Ammar mendengarkan dengan seksama sambil mengusap-usap punggung Raina.
"Kamu inget ngga? Di awal pernikahan saat aku masih bingung dengan karierku sendiri, kamu menyarankanku untuk ikut banyak program, menemui orang-orang baru dan juga mengembangkan potensi yang aku miliki. Kita juga pake dulu tabungan liburan kita, bahkan kadang akhir pekan kita pun harus dikorbankan. Kamu mendukung aku."
Raina mengangguk pelan.
"Sekarang waktunya, Aku yang mendukung kamu untuk mengejar mimpimu. Tidak ada kata terbebani. Karena memang sudah bagian dari tugas aku sebagai suamimu. Konsekuensi dari pilihan-pilihanku pun sudah aku pikirkan matang-matang dan memang harus aku hadapi. Kita jalani sama sama ya. Insya Allah, Allah akan mudahkan"
Raina pun tersenyum. Hujan pun tak sederas sebelumnya.
"Kita beli Ronde Jahe Alkateri yuk!"
0 notes
walidahchoirun · 1 year
Text
Tumblr media
MAS
Ajari aku untuk tidak tersenyum saat teringat setiap jengkal kenangan pernikahan kita. Atau beritahu aku rahasia agar tak menangis saat teringat bahwa harapan itu tak boleh ada (lagi).
Ajari aku untuk tidak bahagia saat hurufmu menyapa atau beritahu aku rahasia agar tak menangis saat teringat bahwa ada dia dalam setiap langkahmu.
Ajari aku agar semangatku tak berlipat saat tahu kamu masih mengingat mimpiku
Atau beritahu aku rahasia agar tak menangis saat teringat
mas juga yang pernah memukul semua semangatku
Pernikahan kami berumur 3 tahun, mas yang terlihat bijaksana sebagai pemimpin rumah tangga nyatanya tega menduakan hati dan tidak menetapi janji ijab qabulnya. Memilih untuk berpisah dan membesarkan bumi seorang diri dengan penuh kasih, mungkin ini memang jalan hidup pernikahan kami. Sampai disini~
@langitlangit.yk @careerclass @bentangpustaka-blog
1 note · View note
ririsxamelia · 1 year
Text
FF5
Gina memandangi Kino yang tengah asik di dapur. Lagi dan lagi, dia bereksperimen dengan resep masakan yang dia temukan di CookPad dan Youtube. Cita-citanya untuk menjadi koki yang gagal tercapai membuat Gina harus ekstra sabar selama 7 tahun pernikahan mereka. Bagaimana tidak? Setiap weekend Kino akan menguasai seluruh area dapur. Ia tak pernah mau dan tak akan bisa diganggu saat memenuhi obsesinya.
Setiap Sabtu pagi, dia tidak pernah absen untuk pergi ke pasar. Membeli dan memilih bahan kualitas terbaik. Raut mukanya begitu serius bak Chef Arnold. Komentarnya begitu pedas layaknya Chef Juna.
"Bahan-bahan yang segar akan membuat masakan kita hidup. Bahan-bahan berkualitas mampu meringankan lebih dari 50% beban chef." Celotehnya tiap kali mengajakku ke pasar.
Tentu, sebagai seorang istri aku bahagia karena setiap weekend aku punya jatah cuti dari urusan masak-memasak. Eits tapiii, bukan berarti aku bisa cuti dari urusan dapur!
Tiap kali suamiku selesai menghidangkan makanan, bukannya lapar jenggotku, eh, hatiku malah rasanya seperti terbakar.
Setiap habis memasak, dapurku berubah jadi seperti kapal pecah. Medan yang ditinggalkan oleh para prajuritnya setelah menang perang. Kacau! Pantaslah dia gagal jadi chef! Lolos babak eliminasi saja mustahil!
Disaat-saat seperti ini aku jadi mempertanyakan kewarasanku saat menerima lamarannya dulu. Dibanding anak bungsu kami, tingkahnya lebih susah ku mengerti dan pahami. Absurddd!
0 notes