Tumgik
sebelumdimas · 30 days
Text
Jadi Ikut 10 Hari Menulis
Saya dulu nggak pernah ikut 10 Hari Menulis. Sekarang saya ikutan. Saya suka nulis tapi jarang bikin tulisan yang buat dibaca orang lain soalnya. Saya nulis buat diri sendiri. Bahkan bukan buat dibaca diri sendiri, tapi sekedar menyampaikan apapun yang mau saya sampaikan dari diri sendiri.
Yang bikin saya akhirnya mau ikutan 10 Hari Menulis adalah karena saya pikir bisa deh nulis buat orang lain. Bikin aja tulisan, segimanapun itu. Nggak perlu cerita yang bagus, nggak perlu tata tulis bahasa yang bagus, nggak perlu bermanfaat, nggak perlu bikin orang lain berkesan, yang penting nulis. Gak usah compare sama tulisan orang lain, yang penting nulis dengan sesukanya diri sendiri. Coba nulis untuk nulis, bukan untuk agenda apapun. Kalaupun ada yang baca, ya salah sendiri ngapain dibaca. Halo para pembaca, selamat datang di tulisan saya, semoga suka.
Wah, ternyata susah. Nulis ternyata butuh waktu. Di 10 Hari Menulis ini saya sering banget bolos. Seinget saya kayaknya cuman 2 kali saya nggak bolos dan tepat waktu. Di 10 Hari Menulis kita diwajibkan untuk menulis setiap hari, padahal saya nggak terbiasa nulis setiap hari. Jadi, misal ketika yang biasanya saya main sama teman-teman ya saya main sama teman-teman. Nggak sempat nulis jadinya. Memang, saya nggak mengalokasikan waktu untuk menulis. Jadinya saya cuman nulis ketika saya lagi punya waktu luang aja.
Tapi sejauh ini sih saya suka. Nulis itu seru. Ada tema itu seru. Ketika temanya bebas, saya bingung. Yang paling seru itu ketika akhirnya udah ketahuan mau nulis apa. Tulisan ngalir aja jadinya. Kadang nyambung, kadang nggak nyambung. Tapi karena ini tulisan buat orang lain, jadinya saya perlu atur-atur sedikit biar agak enak buat dibaca, meskipun masih nggak nyambung. Momen-momen ketika udah kebayang mau nulis apa ini enak banget karena jadinya lupa waktu dan menyelam aja terjerumus mengikuti arus si kepala dan tangan ini mau nulisin apa. Mungkin para pembaca juga terjerumus dengan tulisan saya. Kalo nanti ada acara gini lagi kayaknya saya ikut lagi deh.
0 notes
sebelumdimas · 30 days
Text
Healing
Saya punya cara healing yang saya suka banget dan pengen saya rekomendasiin ke teman-teman sekalian, yaitu ketawa. Cara ini simpel, murah, dan bisa dilakuin kapanpun. Buat saya cara ini efektif banget sampai-sampai saya lupa penyebab perlu healing-nya karena apa.
Tapi saya bohong. Ketawa nggak bisa dilakuin kapanpun. Soalnya, kalau kita lagi nggak pengen ketawa, kita akan sulit untuk ketawa. Semampus apapun lawakannya, kalo lagi nggak pengen ketawa ya nggak akan ketawa. Syarat untuk bisa ketawa adalah kitanya harus membuka diri. Kita harus berani untuk ngelepas pertahanan dan keamanan kita se-vulnerable mungkin sampai bisa kegelitik untuk ketawa. Ketawa cuman bisa dilakuin ketika kitanya mau untuk ketawa.
Memang, kadang kita sesibuk, sestres, atau sekalut itu sampai lupa ketawa. Tapi kalau lagi ingat, coba deh ketawa. Di dunia ini tuh banyak yang bisa diketawain loh. Di HP kamu juga banyak aplikasi yang isinya ketawaan. Temen-temen kamu juga kalo ngomong ada aja yang selalu bikin ketawa. Kelakuan mas-mas di jalan juga ngeselin tapi bisa diketawain. Nggak susah kok untuk nyari bahan untuk ketawa.
Tapi, ketawa tuh solusi atau cuman distraksi sejenak aja? Tergantung. Misal kita lagi stres karena lagi banyak kerjaan. Yang jadi masalah tuh stresnya atau banyak kerjaannya? Kalo masalahnya stres, berarti ketawa itu solusi. Kalo masalahnya banyak kerjaan, berarti ketawa cuman distraksi. Solusinya berarti gimana caranya supaya nggak kebanyakan kerjaan.
Nggak cuman ketawa yang punya peran solusi atau distraksi seperti ini. Kayaknya semua kegiatan healing yang direkomendasiin di internet juga sama. Misal, jalan-jalan. Mau itu jalan-jalan ke alam, ke tempat wisata, ke luar negeri, bisa jadi itu cuman distraksi. Tergantung masalahnya apa. Bisa jadi solusinya ya beneran solving masalahnya, bukan mendistraksikan diri dengan ketawa, jalan-jalan, main game, atau nyari bahan berantem sama tetangga. Yang tahu cuman kamu. Coba aja dulu. Lakuin sesuatu. Hidup. Apapun itu. Kita kan mungkin nggak tau solusinya apa. Nanti tiba-tiba ketemu di jalan. Kalo nggak ngelakuin apa-apa ya masalahnya juga nggak akan kemana-mana kan.
Kata siapa? Kata saya, barusan. Tapi ada juga yang bilang time heals. Dalam artian, nggak ngapa-ngapain pun bisa sembuh tuh kalo emang udah waktunya. Saya kurang paham mekanismenya gimana, tapi mungkin karena kita jadi lupa ya. Atau juga karena masalahnya udah nggak relevan lagi. Soalnya, relevansi kan tergantung konteks, termasuk konteks waktu.
Ketawa tuh enak soalnya. Lagi healing ataupun lagi nggak healing tetaplah ketawa. Jangan ketawa karena lagi butuh healing aja. Jangan juga nggak ketawa karena terlalu kalut dan lupa ketawa. Ketawa itu sebagian dari iman. Imanul Jihad, teman saya. Ketawa itu sebagian dari iman. Iman Santosa, bukan teman saya. Bukan, ketawa itu bukan sebagian dari iman, soalnya saya nggak mau dianggap orang sesat.
0 notes
sebelumdimas · 30 days
Text
Gibran di Sabuga
"Dim! Akhirnya kesampean juga!" Gibran sumringah sekali waktu itu. Bagaimana tidak, cita-cita Gibran sedari dulu yang pengen eFishery ngadain acara di Sabuga akhirnya bisa tercapai. Akhirnya kami pun foto dengan gaya kebanggan kami supaya pencapaian ini jadi lebih terakui.
Tumblr media
Ini adalah cerita seorang pemuda yang memiliki cita-cita tinggi. Seorang pemuda yang ingin bisa ngadain acara di Sabuga. Seorang pemuda yang pada akhirnya bisa mencapai cita-cita itu. Seorang pemuda yang bernama Gibran. Seorang Gibran yang berani bermimpi dan bisa mewujudkan mimpinya. Ajib. Mantap.
Di Sabuga, 11 Oktober 2023, sedang penuh. Semua orang pakai kaos hitam. Beberapa orang berkulit hitam. Mayoritas rambutnya hitam. Kami semua ke sana dalam acara ulang tahun eFishery yang ke 10. Wow sekali di dalam. Orangnya banyak, dekorasinya megah, sound-nya besar, rangkaian acaranya mewah, pokoknya wow lah. Kayak bukan eFishery. Tapi ini eFishery. Bukan eFishery 2017, tapi ini eFishery 2023.
Siapa sangka eFishery bisa ngadain acara ulang tahun yang ke-10 di Sabuga? Siapa? Saya. Iya, saya udah bisa nebak, ini pasti bakal jadi. Pada awalnya saya juga nggak nyangka. Tapi setelah tahu Gibran, saya jadi yakin celetukan yang mungkin iseng doang tentang Sabuga ini pasti kejadian.
Gibran orangnya visioner. Bagi saya, orang yang visioner itu orang yang bisa closing the gap. Berarti, dia paham gap-nya. Karena dia bisa ngukur gap-nya, berarti dia tahu kondisi sekarang gimana versus kondisi tujuan yang mau dia capai gimana. Dia tahu banget tujuan yang dia mau. Ternyata cita-cita eFishery akan gimana tuh sudah dia miliki dari dulu. Saya dulu nggak tahu hal itu. Makanya waktu itu saya belum mau commit dengan eFishery, seperti yang ditulis Gibran di sini.
Ya gimana, dulu eFishery baru punya feeder dan sensor ikan, tapi sudah punya Big Hairy Audacious Goal seperti ini:
To accelerate transition for aquaculture to be the largest animal protein provider in the world.
"Sebentar-sebentar, kayaknya mimpinya kejauhan deh." Itu yang jadi kesan saya di awal-awal masuk eFishery. Ditambah lagi dengan core purpose yang seperti ini:
To feed the world through aquaculture.
To solve fundamental problems using radically affordable technology.
To reduce inequality with truly inclusive digital economy.
Hmmm. Ambisius sekali. Terlalu ambisius. Saya jadi skeptis.
Tapi, Gibran nggak cuman visioner. Dia juga seorang orator. Dipikir-pikir, iya juga sih, visioner doang nggak akan cukup untuk bikin visinya jadi nyata. Dia harus bisa bawa timnya untuk bareng-bareng menuju sana. Di situlah jagonya Gibran. Dari "orasi" dia saat town hall meeting, dia bisa bikin orang-orang jadi termotivasi dan semangat untuk menjalankan misi. Saya selalu excited setiap mau ada town hall karena saya tahu di momen itu saya akan tiba-tiba jadi keluar semangatnya untuk melakukan sesuatu. Teman-teman saya ternyata banyak juga yang merasa seperti itu.
Skeptis namun semangat, saya waktu itu sering minta 1-on-1 sama Gibran. Saya ingin memastikan saya paham betul dengan BHAG dan core purpose tersebut. Saya berkali-kali menanyakan hal itu ke dia. Saya juga ingin memastikan apa saja rencana dia untuk mencapai itu. Saya ingin rencana yang sedetil-detilnya dan sejelas-jelasnya. Gibran dengan sabar menjelaskannya, menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, meluangkan waktunya untuk bikin saya yang skeptis ini jadi paham.
Dan taunya beneran dong. Sedikit demi sedikit eFishery ngeluarin produk-produk yang menuju cita-cita itu. Awalnya dari feeder dan sensor, sekarang menjadi end-to-end value chain yang matang, dioptimalisasi teknologi, dan dengan impact yang bener-bener beneran. Rasa skeptis saya pun runtuh. Berganti dengan gumaman "wah dia udah tahu mau apa", "wah dia tahu harus ngapain", dan "wah dia beneran bisa untuk dapetin cita-cita itu". Makin menarik ketika saya ngobrol dengan teman-teman saya yang sudah tidak di eFishery, meskipun mereka merasakan di tempat-tempat lain mereka tetap punya gumaman yang sama dengan saya. "Gibran emang beneran jago sih. Dia outlier."
Jadi, cita-cita sekecil bikin acara di Sabuga mah udah pasti bisa kekejar lah. Acaranya seru. Terharunya dapet. Puas dan bangga. Nggak rugi saya di sini 7 tahun menonton eFishery sampai bisa ke Sabuga. Nggak rugi saya akhirnya memutuskan untuk lama di eFishery sampai sekarang dan ikut berkontribusi ke akar-akarnya. Nggak rugi saya percaya sama cita-cita eFishery dan arahan-arahan Gibran. Nggak rugi saya kenal Gibran. Nggak rugi saya sering futsal dengan Gibran. Nggak rugi saya pernah naik gunung sama Gibran. Nggak rugi saya pernah tahun baruan di kantor Dago bareng Gibran dengan view kembang api dari semua sudut Kota Bandung yang terlihat dengan jelas dan bebas.
Atas nama Dimas, saya ucapkan terima kasih ya bang gib. Beneran, gw juga suka Sabuga.
0 notes
sebelumdimas · 1 month
Text
Nggak Punya Meja Kerja
Semenjak pindah dari kantor Dago ke kantor Malabar saya ngerasa saya nggak punya meja kerja yang spesifik. "Meja kerja" punya kesan di situlah satu-satunya tempat saya untuk kerja. Rasanya saya nggak suka sama kesan itu. Kesannya terlalu dibatasi. Seakan saya nggak bisa kerja kalo nggak di meja itu. Atau, kalau bisa pun, kerjanya nggak sebagus ketika lagi di meja itu. Nggak mau saya kalo kinerja saya ditentukan oleh dimana saya kerja. Saya mau tetap bebas. Saya mau bisa kerja di manapun. Saya mau kebagusan kerja dan konsistensi kerjaan saya nggak bergantung sama di meja apa saya bekerja.
Tapi nggak selamanya saya ngerasanya kayak gini. Sebelumnya saya nggak apa-apa ketika cuman bisa kerja di sebuah meja kerja yang itu-itu aja. Di kantor Cikutra saya punya meja kerja. Sempat beberapa kali pindah, tapi setiap pindah saya memproklamasikan meja tempat saya pindah itu jadi meja kerja saya yang baru. Di kantor Dago juga sempat beberapa kali pindah, tapi setiap pindah juga saya berproklamasi. Lalu akhirnya pandemi. Meja kerja saya ada di rumah. Satu meja yang sama ini dijadikan meja kerja dan meja bukan kerja. Saya bikin dia senyaman mungkin buat kerja dan bukan kerja. Tapi setelah nyaman, pandemi sudahan. Saya bisa kerja di kantor Dago lagi. Meskipun kantor saya menganut WFA, tapi saya sangat suka kerja di kantor Dago karena kantor Dago seenak itu. Pindahlah meja kerja saya ke kantor Dago. Di tempat yang sama sebelum pandemi. Dengan kondisi yang masih sama dan dengan gitar Ans yang masih ada.
Tahun lalu kami pindah kantor ke Malabar. Kantor Dago yang saya sangat sukai itu sekarang udah nggak ada. Saya coba untuk pindah meja kerja juga ke kantor Malabar. Ikut teman ke sana dan ke sini. Pindah-pindah beberapa kali, seperti biasa, tapi tetep nggak nemu mana yang rasanya "meja kerja". Nggak ada yang rasanya permanen. Nggak ada yang rasanya welcoming saya untuk kerja di situ.
Awal-awal gelisah. Gak bisa move on, yoi. Tapi lama-lama bisa nrimo. Kantor Dago udah nggak ada. Meja kerja yang lama udah nggak ada. Meja kerja yang baru juga mungkin nggak ada. Atau kalaupun ada, bukan di Malabar. Ya gitu weh. Emang gak ada yang mengharuskan kita punya meja kerja di kantor kan. Gak ada peraturan presiden yang membahas soal itu. Di kitab suci juga nggak ada. Jadi, ya nggak apa-apa kalo nggak punya meja kerja. Saya pernah nggak ke kantor selama 2 minggu, kerjanya pindah-pindah dari kafe ke kafe, nggak ngeganggu performance kerjaan kok. Nggak dipenjara sama Jokowi kok.
Nggak punya meja kerja bukan berarti nggak kerja. Tetep kerja, kan. Kerjanya tetep pake meja, kan. Masa laptopnya dipangku. Cuman mejanya aja bukan di meja yang saya proklamasikan. Mejanya bisa dimanapun. Saya dapet mejanya di mana, saya kerja di situ. Saya mau kerjanya di mana, saya kerja di situ. Dan nggak harus selalu di meja kantor. Bisa di meja rumah. Bisa di meja rumah temen. Bisa di meja kafe. Bisa di meja kereta. Bisa di mobil. Di stasiun. Di trotoar. Di bawah pohon. Ada freedom yang muncul ketika saya nggak memproklamasikan meja apapun sebagai meja kerja saya. Jadinya semua meja bisa saya jadikan meja kerja pada saat itu. Meja kerja at the now.
Temen saya pernah nyeletuk, dia kalo liat saya ke kantor gak pernah liat saya buka laptop. Sebenernya saya buka laptop, tapi karena sekarang saya udah jarang ngoding jadi saya bisa ngerjain kerjaan di HP aja. Spiritnya masih sama, freedom dalam bekerja. Saya bisa kerja di laptop saya sendiri, di laptop temen, di HP, di HP temen, di PC di rumah, atau kayaknya saya bisa juga kerja di warnet.
Saya tau nggak semua orang bisa nggak punya meja kerja. Dan memang saya nulis ini bukan untuk ngajak itu. Cuman sharing aja. Dulu juga saya orangnya sangat harus punya meja kerja. Bahkan harus punya laptop kerja. Meja dan laptop saya itu harus saya personalisasi banget sampe dalam bentuk dan feel yang saya suka banget sampe-sampe itu bikin motivasi tersendiri buat saya bekerja. Tapi sekarang lagi nggak gitu aja. Sekarang lagi fleksibel. Lagi nggak suka dibatasi sama personalisasi diri sendiri. Lagi pengen versatile. Awalnya karena emang gak punya meja kerja, tapi lama-lama karena dikarunai nggak punya meja kerja.
0 notes
sebelumdimas · 1 month
Text
How to Nyetir
Saya itungannya lumayan telat untuk belajar mobil. Saya baru belajar mobil waktu umur 31, yaitu tahun kemaren. Penyebabnya karena keras kepala diri sendiri. Saya pengennya belajar nyetir pake mobil punya sendiri, bukan punya orang tua, bukan punya temen, bukan punya tempat kursus. Ini idealisme yang nggak saya rekomendasiin sih. Jangan. Gak ada manfaatnya. Tau gini sih saya belajar nyetir dari dulu banget aja, pake mobilnya Husni atau Satrio.
Ketika saya sama sekali belum bisa nyetir, saya ngerasa nyetir itu sangat amat magical. Saya kagum banget sama yang bisa nyetir. Saya ngerasa mereka tuh udah dewasa banget. Entah kenapa saya waktu itu ngerasa nyetir tuh kegiatan yang sangat adult. Rasa magical ini efeknya dua hal ke saya, yaitu termotivasi dan terintimidasi. Setelah sekarang saya bisa nyetir, biasa aja ternyata, saya nggak ngerasa adult-adult amat. Tapi memang perlu diakui nyetir adalah skill yang kadang diperlukan banget dan setiap orang sangat recommended untuk bisa nyetir.
Karena saya nggak tau apa-apa tentang nyetir, dan saya nggak kursus juga, jadi saya belajar nyetir tanpa kurikulum dan silabus yang jelas. Saya belajar cuman sama tiga orang, yaitu adik saya, Gesek, dan Donny. Dari masing-masing saya punya pembelajaran tersendiri. Dan tiga pembelajaran utama ini adalah hal yang menurut pengalaman saya paling utama dalam belajar nyetir. Bahkan hanya tiga hal ini aja yang perlu dipelajari. Saya bisa bilang gini karena saya merasa saya belajarnya cepat waktu itu.
Dari adik, saya belajar untuk ngerasain gas dan rem. Dua itu doang. Ulik aja, soalnya ini tentang rasa. Objektifnya bukan bisa ngegas dan ngerem dengan baik dan benar, tapi bisa ngerasain gas dan rem. Kalo diinjeknya segini, respons mobilnya gimana. Kalo kakinya gini, efeknya apa. Kalo dalem gimana, kalo dikit gimana, kalo cepet gimana, kalo pelan-pelan gimana. Urusan setir dan lainnya nggak perlu terlalu dipikirin sebenernya, yang penting mindful aja sama gas dan rem. Buat yang belum bisa nyetir tapi bisa naik motor mungkin kebayang maksud saya. Ketika kita ngegas dan ngerem pakai motor kan kita bisa ngontrol banget ya. Kita udah kenal banget kalo mau mempercepat atau memperlambat motor sekian tuh kita haru ngegas atau ngeremnya seberapa dan gimana. Nah ini objektif pertama banget yang perlu dipelajari. Belajarlah untuk merasakan.
Meskipun saya cuman belajar ngerasain gas dan rem, tapi pas ngelakuinnya tetep ada muter-muterin setir kan. Saya waktu itu belajarnya di komplek, jadi pasti pake setir untuk belok sana belok sini. Kurang lebih saya mulai bisa belok, meskipun belepotan. Suatu ketika, temen saya Gesek lagi bawa mobil. Terus kita mau main ke suatu tempat. Gesek tau saya lagi belajar mobil. Dia nawarin saya untuk bawa mobilnya. Tentu saja saya okein. Setelah diokein dan saya duduk di kursi sopir, dia duduk di sebelah kiri saya, barulah saya nanya ke dia. Saya nanya emangnya nggak apa-apa kalo entar nubruk. Dia bilang sih jangan hahaha. Tapi karena dia orangnya gak jelas, jadi jawabnya juga bukan yang takut gitu. Somehow saya ngerasa assured kalo nubruk pun nggak apa-apa.
Assurance itu ternyata penting banget. Kayaknya penghambat orang-orang ketika mereka belajar mobil itu yang paling umum adalah karena takut. Takut nabrak dan mobilnya baret. Takut nabrak dan ternyata yang ditabrak adalah emak-emak. Takut nabrak dan masuk jurang. Macem-macem lah yang ditakutkan. Tapi, misal nggak ada yang perlu ditakutin, apakah akan ada lagi yang ngehambat? Menurut saya nggak. Jadi belajar nyetir itu mungkin sebenernya belajar manage ketakutan ya. Di kasus saya, belajar manage ketakutan si Gesek.
Yang terakhir, belajar sama Donny, yaitu belajar parkir. Kareana saya udah bisa ngerasain gas dan rem, udah bisa manage ketakutan juga, saya udah jalan-jalan di jalan beneran. Suatu hari saya jemput Donny di rumahnya. Emang kita udah janjian, dia mau ngajarin saya nyetir. Meskipun maju, mundur, dan belok saya udah bisa, tapi sebenernya saya belum bisa parkir. Dari rumah aja yang ngeluarin mobilnya adik saya. Alhasil ketika saya sampai di rumahnya Donny saya menggunakan insting nan penuh improvisasi untuk markirin itu mobil. Nggak muluk-muluk, yang penting mobilnya berhenti dan nggak ngehalangin mobil yang mau lewat di belakang. Untungnya Donny cepet keluar. Lanjutlah kita ke parkiran TSM.
Waktu itu weekday, jadi parkiran TSM kosong. Tapi karena kosong, jadinya banyak yang bisa dicoba-coba. Kita emang agendanya mau belajar parkir. Caranya gampang. Donny nyuruh saya keliling-keliling parkiran aja, terus dia bakal nunjuk spot parkir dan saya disuruh untuk parkir di situ. Gak ada penjelasan atau tutorial dulu dari dia, biarin saya ngulik sendiri aja, emang sengaja kayak gitu. Dia turun, tapi nggak jadi tukang parkir yang mandu gitu. Dia cuman ngamanin aja semisal ketika udah mau nabrak barulah dia teriak. Saya suka banget metode ini. Parkiran kosong, ngulik sendiri, Donny juga nggak cepet-cepet ngekoreksi. Dia ngebiarin saya untuk salah. Dia gak ngehina atau ngata-ngatain kalo salah. Dia ngeliatin aja. Saya juga nggak nanya. Saya ngulik aja. Pede aja meskipun sebenernya hahehoh gak tau sebenernya harus ngapain. Barulah pas udah selesai parkirnya, atau stuck mobilnya gak masuk-masuk, kita bahas attempt tadi sambil sebat. Di situ saya ceritain yang saya tangkep gimana, saya nanya-nanya, dia jawab, dia juga jelasin-jelasin. Habis itu lanjut keliling-keliling lagi untuk nyari spot lain. Terus nyoba parkir lagi pake ulikan saya sendiri tapi udah dengan hasil koreksi dari pembahasan attempt sebelumnya. Pas saya lagi melakukan, Donny tetep gak ngomong apa-apa, ngeliatin doang di luar sambil siap-siap teriak kalo udah mau nubruk. Udah selesai parkir kita bahas lagi sambil sebat. Begitu seterusnya dari siang sampai sore dan diakhiri dengan makan chinese food. Habis itu kita pulang. Saya anterin dia ke rumahnya di Antapani. Di jalan saya ngerasa perasaan nyetirnya langsung beda. Saya langsung bisa ngerasain dimensi jalan dan dimensi mobil dengan lebih presisi. Padahal yang dilakuin cuman ngulik parkir doang tapi efeknya sesignifikan itu ke feeling nyetirnya.
Udah, tiga itu doang: ngerasain gas dan rem, manage ketakutan, dan ngulik parkir sendiri tanpa dipandu. Sisanya tinggal jalan-jalan sendiri aja, nambah-nambah jam terbang. Sambil pergi ke tempat-tempat yang belum pernah didatengin pakai mobil, jalan-jalan sama temen sambil ngobrol atau dengerin lagu, nikmatin di mobil pas lagi panas dan pas lagi hujan, ngerasain kaki ketika lagi macet atau lagi lancar jaya, ngerasain nyetir pas lagi banyak pikiran dan pas lagi kosong kepala hahehoh, ngerasain nyetir pagi atau siang atau sore atau malem atau subuh. Sisanya saya serahkan ke kamu dan mobil kamu.
0 notes
sebelumdimas · 1 month
Text
Ngapain di eFishery
Setiap ada yang nanya udah berapa lama di eFishery, lalu saya jawab 7 tahun, pasti mereka semua terkaget-kaget. Wow, udah lama ya. Begitu biasanya kata mereka. Padahal saya sendiri, gimana ya, terkaget-kaget juga. Karena se-enggak kerasa itu. Udah 7 tahun aja. Saya aja waktu SD nggak pernah selama itu.
Jadi saya SD di SD Assalaam. Tapi kejauhan sih kalo cerita dari situ. Jadi saya waktu itu kuliah, terus lulus, terus belum tau mau menjalani hidup seperti apa. Untungnya dulu saya suka ngopi. Di tempat ngopi, saya ngopi sama temen. Si temen ini ada dua orang. Yang satu namanya Ans. Yang satu lagi belum temen. Jadi temen ini cuman satu orang awalnya, satu lagi belum. Yang si satunya lagi ini lama-lama saya tau namanya Iqbal. Dia juga lama-lama tau nama saya Dimas. Tapi itu setelah lama kemudian.
Yaudah lah ya, pokoknya gitu. Singkat cerita, saya masuk ke eFishery. Pas pertama masuk ke eFishery, saya masuk sebagai pegawai. Sekarang juga masih pegawai. Alhamdulillah masih. Tapi pas pertama kali masuk ke kantor eFishery saya belum pegawai. Masih calon waktu itu. Cuman saya ikut futsal. Itu diajak Ans. Pas waktu itu lah saya pertama kali ketemu sama Indra dan Sulthan.
Dulu eFishery suka ngadain futsal bareng. Orangnya masih sedikit, jadi semua pegawai (yang mau ikut) pada ikut futsal. Kadang nggak cuman pegawainya aja yang ikut. Pemiliknya juga. Kalo nggak salah pas saya masih calon pegawai itu pemiliknya juga ikut futsal. Selain si pemilik, waktu itu juga ada Bowo dan Candra.
Lama-lama ada orang bernama Aji. Iya, dia muncul setelah lama. Lalu ada Nadia. Sulthan ini overprotective banget sama Nadia. Dia nggak ngebiarin ada siapapun boleh bikin Nadia nangis. Seumur-umur saya nggak pernah liat Nadia nangis. Jadi saya nggak pernah diapa-apain Sulthan. Dianya sendiri juga sukanya main Dota.
Cerita di atas tidak hanya singkat dan padat, tapi juga sangat menggambarkan situasi life as eFisherian saya pada saat itu. Tulisan ini personal banget buat saya. Kalian kalau bingung sama nama-nama di atas nggak apa-apa. Kan cerita ini singkat dan padat doang, bukan jelas.
0 notes
sebelumdimas · 1 month
Text
Bangun Tidur Ku Terus
Waktu SMP, saya punya temen namanya Agung. Dia punya bapak namanya Bangun. Beneran. Sumpah namanya itu. Zaman SMP kan zaman manggil temen pake nama orang tua ya. Kita waktu itu sangat terkesima ketika tau namanya itu. Kagum. Bayangin kalo bapaknya lagi bangunin dia, ngomongnya gimana coba. "Agung! Cepat saya!"
Ngomong-ngomong soal bangun, saya mau cerita tentang bangun. Jadi Pak Bangun ini punya istri namanya Erna. Bukan, bukan. Bangun tidur, bukan Pak Bangun. Jadi gini. Pas zaman sekolah dulu saya semangat banget buat bangun tidur. Alasannya simpel, karena pengen ke sekolah. Bukan karena nggak sabar ingin segera melaksanakan kegiatan belajar mengajar, tapi karena pengen ketemu temen-temen. Ngobrol-ngobrol, cerita-cerita, ketawa-ketawa, main-main. Dan belajar-belajar. Sekolah masuk jam setengah 7, saya udah dateng jam setengah 6. Ke warung depan.
Kita semua punya alasan masing-masing buat apa kita terbangun dari tidur setiap harinya. Satu kesamaan dari alasan-alasan yang berbeda-beda ini adalah kita terbangun karena kita hidup. Ya iya dong, kalo nggak hidup ya nggak bangun dong, tidur terus dong. Kayak kursi, dia bukan makhluk hidup, dia makhluk tidur.
Karena mau nggak mau kita pasti bangun dari tidur. Ada yang karena pengen pipis, ada yang karena kepanasan, dan ada juga yang karena laper. Bayangkan kalo kebangun dari tidur karena laper, terus inget ini lagi bulan puasa, apa yang kamu lakukan coba. Ya, tidur lagi. Nggak dong, tetep beraktivitas kayak biasa aja. Laper itu bagian dari bulan puasa, emang esensinya itu.
Tapi ada juga yang emang sengaja bangun subuh buat makan. Ya pas bulan puasa itu. Karena sahur. Selain bulan puasa paling bangun subuh tuh kalo buat nonton bola aja. Eh inget nggak sih, yang pas lagi sahur pas ada pertandingan bola. Seru banget ya. Serasa hidup kita tuh efisien banget. Sambil sahur iya, sambil nonton bola iya. Sangat produktif. Apalagi yang sambil nonton TikTok juga.
Hikmah dari tulisan ini adalah nggak tahu, saya belum kepikiran. Saya cuman pengen berpesan aja, jangan lupa sahur. Jangan lupa pasang alarm. Semoga kalian sehat selalu meskipun tidurnya kebangun karena ada yang lagi nonton bola.
0 notes