Tumgik
sapulady · 20 days
Text
FOTO KELUARGA DI RUANG TAMU
Tumblr media
Aku mengalah. Mataya—Adikku—bilang bahwa Ibu sakit. Entah sakit apa, aku tidak tahu. Lebih tepatnya tidak peduli. Tapi katanya (lagi), ibu mogok makan dan pulang lebih dulu dari rumah sakit sebelum waktunya.
Sejujurnya aku enggan langkahkan kaki ke tempat itu lagi. Tempat di mana aku dibesarkan tanpa keringanan dan kasih sayang. 
Tepat di tahun 2018 aku hengkang dari sana. Aku pergi menuju Kota Metropolitan dengan menumpang pada Limar; sepupuku. Karirku dimulai dari sana. Karir yang selama ini tidak pernah terlintas di benakku, suda mulai aku gemari begitu aku memulainya.
Sejak saat itu, aku jarang pulang ke rumah. Toh tidak ada yang bisa aku lakukan di sana selain menjadi samsak makian Diana dan Harjanto yang memekakkan telinga. Kedua orang itu masih tidak terima dengan kenyataan yang ada.
Tidak sampai di sana, aku semakin sering dibanding-bandingkan dengan adikku, Mataya, karena dia masih bersedia menjadi boneka Ibu dan Bapak.
Aku muak! Itu sebabnya aku tidak ingin pulang ke rumah.
Terakhir kali aku ke sana adalah saat Natal tahun 2021. Terakhir kali aku berpijak di sana, aku diusir. Katanya aku ini pembangkang dan pengkhianat. Orang yang berkhianat tidak boleh masuk ke sana lagi.
Aku sakit hati, amat sangat. Hatiku lebih sakit saat aku melihat Mataya yang diam saja tanpa membantuku barang secuil pun. Sejak saat itu aku tahu bahwa aku tidak memiliki ruang di rumah itu.
Tetapi hati kecilku berkata lain, aku akhirnya kembali berdiri di depan bangunan berwarna krem dengan pagar cokelat yang menjulang tinggi.
Aku menekan bel dan tidak lama setelahnya, ada yang membukakan pintu.
“Cari siapa, neng?”
Aku mengernyit tatkala menyaksi siapa yang keluar dari dalam sana. Sosok asing yang tidak aku ketahui. Apa benar ini masih kediamanku? Aku tidak salah rumah, ‘kan?
Lantas aku mundur beberapa langkah dan menelaah sekeliling; memastikan aku tidak salah alamat.
“Ini rumahnya Pak Harjanto dan Bu Diana?” Aku bertanya pada sosok perempuan paruh baya.
“Iya, betul. Ini rumah Bapak dan Ibu. Eneng siapa, ya?”
Aku agihkan senyum masam, “saya anaknya yang pertama.”
Wanita paruh baya itu terkejut seorang diri. “Oh, Astaghfirullah, Neng Ilda? Maafin Bibi, Neng. Bibi enggak pernah ketemu Ilda. Makanya Bibi gak tau kalau ini Neng Matilda. Masuk, neng, silakan.”
Aku melangkah ke dalam dengan muka masam. Dari awal saja sudah tidak disambut. Perasaanku semakin tidak enak seiring langkah mendekat. Aku membuka pintu utama yang langsung disuguhkan oleh foto keluarga sebesar televisi 70 inch. Ada Harjanto, Diana dan Mataya yang berdiri di tengah-tengah mereka. Tersenyum lebar dengan almamater yang sama.
Pantas saja Bibi tadi tidak mengenaliku, toh memang aku tidak pernah terlihat di sini.
Netraku menyisir ke penjuru ruangan, tidak ada lagi fotoku terpajang di sana. Satu pun, tidak ada. Padahal, dulu fotoku terpajang di satu rak penuh, di rak tumpukan buku.
Lagi-lagi aku merasa jadi orang asing yang bertandang di sini.
Masa bodo! Yang penting aku bertemu dengan Diana dulu sebelum aku hengkang dari sini. Aku sudah tidak betah soalnya.
Lantas aku melangkah ke depan pintu kamar Diana. Pintu diketuk dua kali sebelum akhirnya aku buka.
“Ibu?” Panggilku seraya menyembul dari balik pintu. Yang dipanggil menoleh. Mendelik sinis sebelum akhirnya aku buka pintu lebar-lebar. 
“Ngapain kamu ke sini?” Kan. Dari awal saja sudah tidak disambut baik, apalagi dilanjutkan begini.
Aku berdeham sejenak dan berjalan mendekat, “Aya bilang Ibu sakit. Ibu sakit apa?”
“Enggak usah sok peduli, kamu! Biasanya juga gak pernah merhatiin Ibu, sekarang malah pura-pura tertarik.” Perkataan Ibu membuat aku menghela nafas. Aku curiga kalau Ibu sakit hanyalah akal-akalan Aya saja supaya aku pulang. Buktinya, wanita ini nampak sehat walafiat seperti biasa. Bahkan mampu bersikap tidak ramah, seperti biasa.
“Ibu, Ilda selalu peduli sama Ibu. Tapi Ibunya aja yang udah lupa kalau Ibu punya Ilda. Yang Ibu ingat cuma punya Aya aja, ‘kan?”
“Karena Aya enggak pernah membangkang seperti kamu!” 
“Kapan Ilda membangkang sama Ibu? Ilda selalu turuti semua keinginan Ibu. Ilda gak pernah komplen saat Ibu ambil alih kehidupan Ilda. Semua yang Ibu dan Bapak inginkan selalu Ilda turuti. Hanya karena Ilda gak bisa masuk ke universitas yang sama dengan Ibu Bapak dan Ilda gak bisa ballet lagi, Ibu jadi bilang Ilda pembangkang?”
“Mentang-mentang sudah punya uang sendiri, jadi banyak omong, ya, kamu! Banyak alasan betul! Jangan-jangan kecelakaan dulu hanya akal-akalan kamu saja! Iya, kan!?”
Bagai disambar petir, aku sangat tertegun mendengarnya. 
“Bu, kalau Ilda gak merantau dan cari uang sendiri, apa Ibu dan Bapak mau biayain Ilda? Ilda kerja untuk hidupi diri sendiri, Bu. Ibu pikir Ilda mau kecelakaan? Ibu pikir Ilda mau kesusahan jalan selama setahun karena kejadian waktu itu? Ibu pikir Ilda mau sakit-sakitan kayak gitu dan bahkan hilang arah setelah Ibu sama Bapak buang Ilda?” Aku mengatakan semua itu dengan nafas yang memburu. Pelupuk mataku dipenuhi oleh air mata yang siap buyar kapanpun dia mau.
Ibu masih memunggungiku, bahkan menoleh saja rasanya tidak sudi. Sakit hatiku diperlakukan seperti ini. Karena rasanya seperti Ibu menutup akses komunikasi antara kita. Tapi aku tidak ingin berhenti menyuarakan apa isi hatiku. Aku ingin Ibu tahu kalau selama ini aku tidak bahagia atas apa yang aku lakukan demi dirinya dan juga Bapak. Aku ingin dia tahu bahwa aku juga manusia, yang tidak pernah luput dari kegagalan dan juga kehancuran.
“Udah cukup jadiin Ilda boneka, Bu. Udah cukup jadiin Ilda kambing hitam atas apa yang Ibu gagal lakukan. Ilda gak mau jadi ballerina. Ilda cuma mau jadi model. Ilda muak dengan semua hal yang Ibu kasih ke Ilda dengan dalih demi kebaikan Ilda. Enggak, Bu! Ini demi kepuasan ego Ibu sendiri.” Aku mengusap air mata yang turun dengan kasar. Aku harus tetap bicara, aku harus tetap suarakan apa yang sudah aku pendam selama ini!
“Harusnya Ilda enggak usah dengerin apa kata Ibu dan Bapak dulu. Harusnya Ilda gak nurutin apa yang Ibu dan Bapak mau. Karena akhirnya, Ilda akan dibuang oleh Ibu dan Bapak kalau Ilda enggak bisa capai apa yang kalian mau.”
“Cukup sampai di Ilda aja, Bu. Jangan sampai Aya ikut rasain apa yang Ilda rasakan.” Tuturku sedikit terbata akibat isak tangis yang tidak mereda.
“Ilda ke sini untuk jenguk Ibu karena kata Aya, Ibu sakit sampai enggak mau makan. Tapi melihat Ibu yang masih bisa sakitin hati Ilda, rasanya Ilda gak perlu berlama-lama di sini lagi.”
“Ilda pamit. Enggak tau kapan pulang lagi. Toh dari awal emang gak ada tempat untuk Ilda singgah di sini. Bahkan di foto di ruang tamu pun menjelaskan semuanya; bahwa enggak ada celah untuk Ilda menyelinap ke keluarga ini lagi. Sehat-sehat, Bu. Salam untuk Bapak dan Aya.”
Usai menyelesaikan kalimatku, aku segera hengkang dari sana dengan isak tangis yang begitu hebat melanda.
Aku menyesal karena aku percaya apa kata Aya.
Nyatanya, Ibu tidak sakit. Malah sebaliknya, bak dihunus anak panah, hatiku sakit bukan kepalang.
Aku bersumpah tidak akan pulang ke rumah kecuali Ibu dan Bapak meninggal dunia!
0 notes
sapulady · 23 days
Text
ANTARA MAUT DAN EGO MANUSIA
Tumblr media
AKU TIDAK TAHU APA YANG TERJADI PADAKU!
Seingatku, aku tengah mengendarai mobil usai membuka pengumuman masuk universitas di sebuah kedai kopi. Aku gagal masuk ke universitas yang sama dengan kedua orang tuaku, maka dari itu aku panik sendiri. Sepanjang jalan aku sibuk berpikir hingga aku melihat ada mobil dari arah lain melaju kencang ke arahku. Aku mencoba menghindar dengan membanting stir dan setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Aku membuka mata. Satu-satunya yang menyambutku adalah langit-langit kamar asing berwarna putih. Ada bau yang tidak aku sukai menyeruak ke dalam hidung; bau obat dan alkohol.
Aku mencoba mencerna semuanya sebelum akhirnya aku sadar bahwa aku sudah terbaring di atas kasur rumah sakit. Yang aku sadari setelahnya adalah kaki dan tangan kananku disangga oleh sesuatu yang keras dan juga kepalaku dibungkus oleh apa yang aku tidak tahu.
Tidak lama setelahnya, aku mendengar suara asing yang nampaknya berusaha memanggil dokter.
Aku mengalami pemeriksaan pasca terbangun dari koma selama tiga hari. Katanya, kepalaku mengalami pendarahan dan tulang kakiku dan tanganku patah akibat terjepit badan mobil. Aku berusaha mencerna apa yang terjadi kepadaku. Hingga pada akhirnya lamunanku terpecah karena ada suara Diana yang datang dari arah pintu.
Dokter menjelaskan situasi terkini terkait kondisiku. Tidak ada rasa lega yang terpancar di wajah Diana dan Harjanto usai dokter mengatakan bahwa aku dianjurkan untuk tidak melanjutkan karir balletku.
Setelah dokter pergi, Aku, Diana dan Harjanto ditinggalkan bertiga saja. Aku tidak bisa berkutik lantaran aku bingung sendiri.
Pikiranku melayang-layang, antara pusing karena aku baru saja terbangun dari tidur tiga hari, dan juga harapan Diana dan Harjanto yang pupus begitu saja.
Diana menatapku dingin sebelum akhirnya membuka suara. “Gara-gara kamu gagal masuk universitas, kamu jadi kecelakaan dan gak bisa ballet lagi. Kamu yang menghancurkan diri kamu sendiri, Ilda. Kamu merusak apa yang sudah kami investasikan kepada kamu. Setelah ini, jangan harap Ibu dan Bapak akan membiayai hidup kamu lagi. Urus aja dirimu sendiri!”
Usai berkata seperti itu, Diana angkat kaki dari ruangan ini. Aku melirik Harjanto dengan isyarat meminta bantuan. Tapi nihil, karena Harjanto melakukan hal yang sama kepadaku, “Bapak kecewa sama kamu. Masuk Universitas saja tidak bisa. Bagaimana kamu melanjutkan karirmu ke depannya?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Harjanto menyusul Diana pergi dari sini.
Aku termangu. Bergeming dan mencerna semua ini dengan air mata yang mulai mengalir. Apakah impian mereka lebih penting daripada nyawaku yang hampir terancam? Apakah selama ini aku tidak memiliki arti yang penting dari sekedar anak yang menuruti keinginan orang tuanya?
Aku menyesal. Bukan menyesal karena aku mengalami kecelakaan, melainkan menyesal karena aku baru sadar kalau selama ini aku hanyalah alat pemenuh ego bagi kedua orang tuaku.
Sejak saat itu, kebencianku pada Harjanto dan Diana semakin menggebu.
0 notes
sapulady · 25 days
Text
PROPERTI IBU-BAPAK!
Tumblr media
Boneka Porselen itu pecah! Boneka Porselen itu hancur berkeping-keping! Boneka Porselen itu Cacat dan Malfungsi! Boneka Porselen itu AKU!
AKU ADALAH BONEKA!
ORANGTUAKU DALANGNYA!
AKU TIDAK PERNAH INGIN MENJADI BALLERINA! Sekalipun aku tidak memimpikannya. Seumur hidup, aku menjalani hari dengan disetir kedua orang tua. Harjanto dan Diana dalangnya.
Usai lulus TK, aku disetir untuk menjadi penari yang mengandalkan jinjitan pada kedua kakiku. Aku dituntut untuk menjadi anggun, cantik jelita dan juga tidak sembrono. Sikapku, kegiatanku, semuanya diatur oleh Harjanto dan Diana. 
Usai lulus dari Sekolah Dasar, aku dituntut untuk masuk ke SMP ternama. Lagi-lagi, ini bukan sekolah impianku. Impianku adalah masuk SMP bersama sahabatku, Sarah. Kata Harjanto, sekolah ini bagus dan bisa membuat Harjanto lebih terpandang. Gengsi, aku muak! Tapi tetap aku turuti. Sebab anak sekecil itu belum bisa melawan kuasa dalang dunia.
Masuk ke jenjang lebih tinggi, SMA, Diana menyuruhku masuk ke SMA di mana dia bersekolah dulu. Katanya, dia ingin memiliki almamater yang sama denganku. Bagaimana dengan balletku? Tentu saja masih aku geluti sampai tinggiku sudah menjulang hingga setara dengan pohon bambu. Aku hampir mampus kewalahan setiap harinya. Apa aku menikmatinya? Tentu tidak. Aku banyak kehilangan teman karena aku sering dispensasi di sekolah. Tuntutan Ballet, Diana, dan juga Harjanto membuat diriku terbagi menjadi beberapa bagian. 
Aku bahkan merasa kebingungan bila ditanya apa yang aku mau. Apa cita-citaku yang sebenarnya? Memikirkannya saja membuatku pusing setengah mati; karena semua sia-sia. Sia-sia aku memikirkannya, toh aku tidak pernah mewujudkan hal tersebut.
Aku duduk di dalam jeruji besi, laiknya burung elang yang bertengger di halaman rumah borjuis. Aku muak, tapi, apa aku bisa melawannya?
Kata Harjanto, aku tidak boleh banyak mengeluh! Banyak anak lain di luar sana yang menginginkan posisi di mana aku berpijak. Well, silakan rebut saja! Aku tidak keberatan. Karena aku sudah sangat muak dengan semua ini! Tapi aku bilang itu di dalam hati, karena lagi-lagi aku tidak punya kuasa untuk menentang diktator tersebut.
Aku hidup bagaikan boneka. Boneka porselen yang bisa hancur berkeping bila jatuh tanpa sengaja dari tempatnya. Sampai pada akhirnya, aku jatuh tanpa sengaja, tanpa direncana.
Tahun di mana aku lulus dari bangku SMA. Aku gagal masuk universitas dimana Harjanto dan Diana bertemu. Aku gagal dan tidak bisa memakai almamater yang sama dengan mereka—sehingga tidak ada foto keluarga dengan konsep tersebut di dinding ruang tamu.
Tidak hanya itu, aku kecelakaan. Mobil yang aku tunggangi bertabrakan dengan mobil yang dibawa asal, entah oleh siapa. Kakiku patah. Karir balletku hancur. Diana ikut hancur bersama dengan seluruh karir yang dia investasikan padaku sejak kecil.
Tapi aku senang. Aku bersyukur karena aku mengalami kecelakaan. Aku bersyukur karena aku tidak perlu lagi lakukan gerakan serta putaran anggun yang kerap membuat jari kakiku membiru. Aku bersyukur karena aku tidak memiliki almamater yang sama dengan Harjanto dan Diana.
Tapi setelahnya, aku dibuang oleh mereka. Laiknya boneka porselen yang pecah, aku tidak lagi berguna. Barang yang rusak, dibuang begitu saja. Aku ditelantarkan. Aku tidak lagi dipedulikan, walau dari dulu juga begitu, tapi kali ini lebih parah. 
Laiknya hantu di dalam rumah, aku dianggap tidak ada. Harjanto dan Diana menjadi seribu kali lebih sibuk dari biasanya, bahkan jarang pulang ke rumah.
Apa aku bahagia? Tentu saja!
Sejak saat itu, aku hengkang dari sana. Neraka yang menjadi tempat tinggalku selama delapan belas tahun.
Aku pergi untuk menemukan apa yang aku inginkan. Limar, dia sepupuku yang bersedia menampung keberadaanku. Sedang Sarah, sahabat SD-ku yang membantuku menata hidup. Dia membantuku bangkit dari nol. Dia mengajarkanku apa itu mimpi dan bagaimana cara mendambakannya. Dia memperkenalkanku dengan dunia baru, dunia yang asing bagiku tapi berisi hal mengasyikan.
Aku menemukan mimpi baru, karena Sarah dan Limar. Aku menjadi model, di berbagai brand ternama. Bahkan aku memiliki brand pakaian sendiri dengan namaku di sana!
Apa Harjanto dan Diana bangga akan hal itu? Tentu tidak!
Karena bagi mereka, kebanggaan bisa diraih jika aku tidak kecelakaan. Karena bagi mereka, aku lebih membanggakan jika aku tetap menjadi ballerina dan berkuliah di almamater yang mereka impikan. Karena bagi mereka, aku lebih membanggakan jika aku masih di bawah naungan mereka. Karena bagi mereka, aku hanyalah boneka porselen yang cacat dan malfungsi.
AKULAH PROPERTI IBU-BAPAK YANG TIDAK LAGI BERFUNGSI; MATILDA ALEXANDRA SUSAN.
1 note · View note