Tumgik
regulusky · 3 months
Text
Hari ini hari minggu. Seperti biasa, rutinitas setiap minggu pagi apalagi jika bukan bersih-bersih rumah bersama keluarga, namun pagi ini hanya aku dan ibu yang bekerja sama untuk membersihkan rumah—dan apapun yang kotor.
Biasanya, selain aku dan ibu, ada satu orang lagi yang bertugas membersihkan rumah, dia adalah Bapak, biasanya bertugas menggunting rumput yang sudah panjang dan membersihkan teras rumah yang kotor karena kendaraan kami yang sering keluar masuk.
Namun hari ini tidak ada Bapak.
Mungkin seterusnya tidak akan ada Bapak lagi yang membantu membersihkan rumah kami.
Hari ini tugasku lumayan banyak, selain merapikan kamar, aku juga harus menyapu dan mengepel lantai, juga mencuci piring serta panci yang ibu pakai untuk memasak sop, untuk makan siang katanya.
Aku juga harus membersihkan teras—dan menggantikan Bapak menggunting rumput. Tak apa lah, daripada ibu yang melakukan, lebih baik kita bukan?
Aku melihat ibu yang sedang mencuci pakaian, inilah yang aku salut dari ibuku, ia suka sekali mencuci pakaian, pernah satu kali aku tanya, mengapa ibu sangat suka mencuci pakaian, padahal baru tiga hari lalu ibu mencuci, tapi hari ini sudah mencuci lagi. Apa tidak takut pakaian akan luntur jika dicuci terus menerus?
Namun jawaban ibu sangat simpel namun bisa membuatku merenung hingga sekarang,
“Ibu harus menghilangkan noda-noda yang ada di pakaian, walaupun risikonya harus melunturkan warna pakaian.”
Ku pikir jawaban ibu hanya sampai di situ, namun ibu menambahkan lagi setelahnya,
“Menurut ibu, mencuci pakaian itu sama seperti menjaga pernikahan, kadang ada kalanya kita berusaha untuk menghilangkan noda-noda yang ada, tapi risikonya, bisa melunturkan apa yang kita miliki.”
Awalnya aku tidak mengerti, namun ketika aku melihat apa yang sedang terjadi saat ini, aku mulai paham.
Ibu sedang—mungkin juga sudah berusaha menghilangkan “noda-noda” yang terjadi di rumah tangga ini, namun ternyata itu melunturkan cinta di antara ibu dan bapak.
Mungkin itulah sebab bapak tak pernah lagi pulang ke rumah kami,
nodanya hilang,
namun warnanya luntur.
masalahnya hilang,
namun cintanya sudah luntur.
Mungkin ibu berhasil menghilangkan nodanya di kisah cintanya bersama bapak, namun cinta mereka berdua sudah luntur.
0 notes
regulusky · 1 year
Text
Tuan Topi.
Enak sekali.
Aku menyesap lagi teh vanilla buatanku untuk kedua kalinya. Aku memejamkan mataku saat rasa hangat menjalar masuk ke tenggorokanku. Teh vanilla dengan poffertjes adalah perpaduan yang pas untuk sarapan.
Mataku terkunci pada bunga-bunga yang menghiasi teras rumahku, kebun kecil-kecilan yang ku buat satu tahun lalu. Aku memilih bunga matahari untuk ku tanam dan ku urus bak buah hati sendiri.
Ternyata, melihat mereka tumbuh sebesar dan seindah ini, membuatku tenang. Ah, rasanya aku betah berlama-lama memandangi bunga-bungaku tanpa melakukan apapun.
Aku berjalan mendekati mereka, ku hirup aroma tubuhnya yang menenangkan, ku bersihkan pelan-pelan dari kotoran atau sekadar daun-daun yang berjatuhan di sekitar bunga-bungaku.
Sembari membersihkan buah hati, pikiranku melayang ke memori satu tahun silam, tepat hari ini, adalah satu tahun aku bertemu sekaligus berpisah dengan seseorang yang masih terus saja ada di ingatanku.
Pertemuan singkat yang sangat berkesan— dan yang paling membuatku bahagia, sepanjang aku menghirup udara gratis di dunia ini. Pertemuan dengan Tuan Topi, sesungguhnya aku tidak tahu siapa namanya, namun wajah dan postur tubuhnya masih teringat jelas. Aku memanggilnya Tuan Topi, karena ketika kami bertemu, ia memakai topi berwarna hitam yang basah karena terkena rintik hujan.
Tuan Topi, aku baik-baik saja di sini. Jika kau masih mengingatku— dan mungkin sedikit penasaran dengan kabarku, aku mulai berkebun untuk mengisi waktu luangku yang semakin hari semakin banyak saja, aku tidak lagi berpindah tempat setelah gempa melanda kota Magnolia Springs tahun lalu, rumahku ambruk, hanya menyisakan sedikit barang, itupun barang-barang yang memang kokoh dan padat, sisanya aku tidak tahu di mana, ada yang hilang, ada juga yang hancur tak terbentuk.
Aku menyewa rumah setelah satu bulan mengungsi di balai kota bersama warga lainnya, ketika keadaan dirasa sudah aman, kami diperbolehkan pergi dari pengungsian untuk melanjutkan hidup.
Nasib hidup sendiri dan tak punya sanak saudara, aku kebingungan, kemana lagi aku harus pulang? Tak ada lagi tempat pulang yang biasa ku sebut rumah, ini artinya, aku harus membangun rumah baru, dan ini artinya, aku harus mengocek tabunganku yang harusnya ku pakai untuk berlibur ke negara lain.
Untungnya, ada pemilik rumah berbaik hati yang rela menyewakan rumahnya untukku dengan harga murah sesuai dengan kantong, rumah ini sempit, tapi cukup besar untukku tinggali seorang diri, jika kau belum punya rumah, bolehlah bergabung denganku suatu hari nanti, Tuan Topi. Masih muat untuk tambah satu orang lagi.
Tuan Topi, aku masih sering menggerakan jemariku di atas piano, memainkan lagi Nocturne Op 9 no 2 yang pernah ku mainkan untukmu. Semua masih sama, yang berbeda tak ada lagi tepukan tangan darimu.
Tuan Topi, aku masih setia membuat susu vanilla hangat untuk menghangatkan tubuh di kala hujan datang, semua masih sama Tuan Topi, yang berbeda tak ada lagi yang berkata bahwa susu vanillaku adalah yang paling enak.
Tuan Topi, semua masih sama, aku masih sendiri dan tak punya suami, mungkinkah kau juga sama? Belum ada perempuan yang mendampingi. Tapi, kalau sudah ada, tidak apa-apa juga, sih. Itu hak mu.
Itu hak mu, tapi hak ku juga bukan, berdoa semoga kau masih sendiri. Maaf ya, aku mungkin sudah mulai gila.
Gila karena rindu.
Tapi, aku ingin berterima kasih kepada Tuhan, sudah memberikanku kesempatan bertemu denganmu walau sangat sebentar, setidaknya, aku diizinkan untuk merasakan kehangatan di dalam hati, Tuhan baik sekali, ya?
Tuan Topi, jika kau masih hidup, ku doakan kau agar selalu sehat dan bahagia, namun jika kau telah mati, ku doakan pula agar kau bisa tenang dan bahagia di kehidupan yang baru. Namun aku yakin, kau masih hidup, setidaknya selalu hidup di dalam pikiranku.
Tuan Topi yang berbahagia, ingatlah aku walau hanya satu detik di setiap waktu yang kau lalui,
kenanglah aku di dalam kotak memorimu yang mungkin mulai memudar karena usiamu tak lagi muda,
pikirkanlah aku di malam sebelum kau masuk ke dalam mimpimu walau sebentar, siapa tahu kita bisa bertemu di sana,
sebutlah aku setidaknya satu kali ketika kau sedang berdialog dengan Tuhanmu, siapa tahu malaikat mendengarnya dan ikut mengaminkan,
Tuan Topi yang berbahagia,
tutuplah rapat kotak kenangan manis kita— setidaknya untukku, simpanlah kotak itu di jiwamu, dan bukalah kembali ketika kita bertemu lagi, jika Tuhan mengizinkan untuk kedua kalinya.
Tuan Topi yang berbahagia,
aku baik-baik saja di sini, dan aku selalu merindukanmu.
9 notes · View notes
regulusky · 1 year
Text
Langit Mendengar
Suara robekan kertas berbunyi nyaring di tengah malam yang sepi, kertas itu menjadikannya serpihan-serpihan kecil yang jatuh di atas pasir. Biar saja, biar tenggelam bersama dengan pasir.
Kertas itu adalah surat dari sang kekasih yang begitu ia cintai, berisikan permintaan maaf bahwa sang kekasih, memilih pergi bersama wanita lain.
Di dalam suratnya, hanya kata maaf dan terima kasih yang ditulis. Permintaan maaf dan terima kasih karena telah menjalin hubungan bersamanya.
Saat membacanya, ia hanya tersenyum, tak ada air mata yang mengalir, tak ada isakan tangis yang terdengar, dan tak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya.
Hanya satu kata yang bisa ia ucapkan dalam hati,
Bangsat.
Ia menghela napas berat, lalu mengambil sebatang rokok kretek dari dalam kotak kayu yang selalu ia bawa, lalu menyulut api dan membakarnya, asapnya dihembuskan kuat-kuat, menyatu dengan hembusan angin malam yang menyelimuti tubuhnya dengan kedinginan.
Matanya mengawang, pikirannya berkelana entah kemana, ia hanya mendongak menatap langit malam dan mendengarkan suara deburan ombak yang menemaninya sedari tadi. Semesta seakan mengerti, bahwa perempuan yang tengah duduk sendirian di bibir pantai tidak membutuhkan siapa dan apapun, cukup hanya suara ombak yang menenangkan hatinya saat ini.
Alisnya mengernyit saat ia menghisap kreteknya yang sudah pendek kuat-kuat, lalu mematikannya. Ia merebahkan punggungnya di atas pasir, dan memejamkan matanya sambil memijat pelan dahinya, pikirannya berkecamuk, terlalu banyak suara dari pikirannya sendiri, salah satunya adalah,
Tidak ada gunanya bersedih,
Tapi sedetik kemudian, suara itu berganti,
Bersedihlah. Sebanyak mungkin.
Tidak mau.
Ia tidak mau bersedih. Ia tidak mau menangisi laki-laki bajingan yang ia cintai sepenuh hati dan selalu ia tunggu kepulangannya, namun malah meninggalkannya begitu saja demi wanita lain. Tidak. Ia tidak akan menangisi laki-laki itu.
Tidak akan ada tangisan,
Tidak akan ada makian,
Tidak akan ada perayaan patah hati,
Dan tidak akan ada keikhlasan hati.
Namun, ia sadar bahwa saat ini hatinya sangat hancur, sakitnya tidak tertandingi oleh apapun, menyisakan dendam besar dalam hatinya. Namun ia tahu, bagaimana dendam itu akan tuntas. Dan ia juga tahu, apa yang harus dirinya lakukan.
Sakit hati ini, harus ia tuntaskan.
Walau harus ia bawa mati.
Di bawah langit malam, di hadapan deburan ombak yang saling bersahutan, ia bersumpah, sakit hati yang ia terima hari ini, akan ia bawa mati hingga kekal abadi.
Seluruhnya. Seutuhnya. Selamanya.
Detik berikutnya, ia menanggalkan seluruh pakaiannya di atas pasir, bersamaan dengan kotak kayu dan sepedanya, ia melangkah maju, menerjang arus ombak, menahan angin malam yang menusuk tubuhnya hingga ke tulang, melawan rasa takut kepada semesta.
Ia semakin jauh, tubuhnya semakin mengecil, air laut mulai menyelimuti setengah tubuhnya, perlahan namun pasti, ia akan menyatu dengan alam..
dan dendam.
3 notes · View notes
regulusky · 2 years
Text
The Other Woman
Seorang wanita sedang duduk di tengah-tengah jendela kamarnya yang besar nan mewah. Ia duduk meringkuk seraya menegak sebotol wine seorang diri, melihat ke arah luar jendela, banyak lampu yang mulai menyala, menerangi jalanan dan gedung-gedung, menjadi pertanda bahwa hari sudah malam.
Sebentar lagi, seorang pria pasti akan datang.
Wanita itu beranjak dari duduknya dan menenteng botol winenya yang sudah habis, ia membuangnya ke tempat sampah. Dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Benar saja, ketika selesai membersihkan diri dan bersolek tipis, tepat pukul delapan malam, pintu kamarnya terbuka pelan, muncul seorang pria gagah yang masih menggunakan seragam kerjanya. Ia tersenyum, menghampiri wanita di hadapannya yang terlihat sangat cantik, lebih cantik daripada lampu-lampu kota yang menyala di malam hari, lebih cantik dari bunga-bunga yang baru saja mekar, lebih cantik dari matahari yang terbit dari permukaan, lebih cantik dari bintang-bintang yang bertengger di langit, dan tentunya.. lebih cantik dari istrinya yang menunggunya di rumah.
Ia mencium lembut bibir wanita di hadapannya, namun semakin lama, ia menciumnya bak tiada hari esok dan mengatakan bahwa ia merindukan wanitanya, sang wanita hanya tersenyum menanggapinya, ia mulai melepaskan seragam kekasih gelapnya satu persatu.
*
Pukul 02.15 pagi buta, wanita itu terbangun dari tidurnya, ia membuka matanya perlahan dan memutarkan kepalanya ke kiri, seakan mencari sesuatu. Oh, lelakinya sudah pergi.
Ia menghembuskan napasnya pelan, memang seperti ini, dan akan selalu seperti ini. Kekasihnya, hanya mengunjunginya di jam delapan malam, dan akan pergi setelah mereka bercinta. Kadang bermalam, kadang juga pulang. Katanya, istrinya sendirian di rumah.
Ia lupa, bahwa wanitanya juga sendirian di sini.
Wanita itu beranjak dari kasurnya, memunguti lingerie merahnya yang tergeletak di lantai, lalu memakainya untuk menutupi tubuh polosnya yang tidak dibalut apapun sebelumnya. Ia duduk di depan cermin, melihat dirinya sendiri, ia menyentuh wajahnya, lalu mengelus rambut panjangnya, sentuhannya turun ke dadanya, ada tanda cinta yang telah dibuat kekasihnya tadi, sempurna.
Dirinya terlihat sempurna,
dari luar,
Dirinya selalu merana,
dari dalam.
Ia tersenyum miris, mengasihani diri sendiri. Siapa suruh tergoda oleh bujuk rayu murahan. Bukan rayuannya yang murahan, tapi dirinya.
Tidak punya harga diri.
Pahit sekali.
Ingatannya melayang ke beberapa tahun silam, ketika ia pertama kali bertemu dengan lelaki yang merebut hatinya sekarang, saat itu, ia tengah menghadiri sebuah acara yang diadakan oleh instansi kekasihnya, ia diundang untuk memeriahkan—sekaligus menghibur para abdi negara di sana.
Ia dibalut gaun hitam yang terbuka di bagian belakang mengekspos sebuah tato kupu-kupu di punggungnya, lipstik merah menyala menyatu di bibirnya yang mungil, namun tebal di bagian bawah, kukunya dicat berwarna merah menyala, membuat jari lentiknya semakin cantik dan mahal. Eyeliner hitam menambah keindahan matanya, semakin terlihat tajam dan juga mengintimidasi. Penampilannya seakan menghipnotis siapapun yang melihat dirinya, kecantikannya bak dewi yang baru saja turun dari langit.
Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya, sepersekian detik hanya saling menatap, keduanya sama-sama terdiam, seakan dunia berhenti berputar ketika saling tatap, terasa indah, namun membuat jantung keduanya berdetak cepat.
Seperti yang sudah-sudah, dua insan itu akhirnya berkenalan, mengumbar senyuman paling manis yang mereka punya, saling bertukar nomor ponsel, sebelum berpisah, lelaki itu memberikan rayuan paling klasik namun mampu membuat si wanita tersipu malu.
"Kau perempuan paling cantik yang pernah ku lihat." katanya.
Namun apalah artinya cantik jika akan mendatangkan petaka. Semua itu tiada guna.
Secantik apapun dirinya,
seindah apapun tubuhnya,
senikmat apapun rasanya,
tidak akan pernah membuat kekasihnya menetap dengan dirinya, di sini, di tempat keramat ini.
Kekasihnya akan kembali kepada istrinya, ia akan pulang sambil memeluk dan mencumbu istrinya yang sederhana sampai fajar datang.
Sedang dirinya akan tetap sendirian, menunggu kekasihnya kembali "singgah" ke pelukannya.
Ia tetap ditemani sepi, entah sampai kapan. Mungkin sampai mati.
*
Wanita itu menulis sesuatu di kertas kecil, lalu menaruhnya di atas nakas. Ia melihat sekilas ke arah ranjang yang cukup berantakan akibat aktivitas bersama kekasihnya, ia tersenyum mengingatnya.
Ia berjalan menuju kamar mandi, menyalakan keran bath up, mengisinya dengan air dingin sampai penuh, setelah penuh, ia memasukan kaki kanannya ke dalam air, dingin sekali, pikirnya.
Perlahan tapi pasti, tubuhnya kini telah sepenuhnya terbungkus oleh air, ia turun semakin dalam, semakin sesak dan dingin, ia mulai merasakan banyak air yang masuk ke saluran pernapasannya.
Sesak sekali.
*
Sehari setelahnya, ia ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
0 notes
regulusky · 2 years
Text
In the pouring rain.
Ia terbangun dari tidur nyenyaknya dengan perasaan penuh, garis bibirnya naik ke atas, menampilkan senyum manisnya. Baginya, pagi hari adalah waktu yang paling baik untuk menciptakan rasa semangat.
Cuaca pagi ini tidak terlalu cerah, cenderung gelap karena warna abu-abu menghiasi langit dan menutupi awan-awan, pertanda akan turun hujan sebentar lagi, perlahan gemuruh guntur mulai terdengar pelan memenuhi langit. Masih ada waktu untuk berjalan-jalan sebentar sembari menunggu hujan turun.
Ia menyiapkan teh hijau dan dua buah cupcake untuk sarapannya, sebelum membawa nampannya ke teras rumah, tak lupa ia memutar sebuah lagu dari piringan hitam kesayangannya, tak lama terdengar alunan musik milik Vashti Buryan bersenandung, lalu ia membawa nampan berisi sarapannya ke teras, ia juga menarik kursinya ternyamannya untuk bersantai menikmati semilir angin di pagi hari dan mendengarkan lagu-lagu kesukaannya.
Ia terus saja tersenyum, layaknya seorang wanita yang sedang jatuh cinta, namun nyatanya tidak, dia tidak jatuh cinta. Ia hanya sedang berusaha untuk bahagia.
Ia merasa hangat ketika teh hijau yang telah dibuatnya mengalir ke dalam tenggorokannya. Lalu ia mencoba cupcakenya, mengunyahnya perlahan, mengganggukan kepalanya beberapa kali, tanda bahwa cupcakenya membuatnya puas. Lagi-lagi ia tersenyum.
Tibalah waktunya Jog Along Bess terdengar, lagu kesukaannya. Ia menyesap tehnya sekali lagi, lalu beranjak dari kursinya dan berlari menuju taman kecil di depan rumahnya.
Aku akan menari.
Perlahan tubuhnya bergerak, mengikuti lantunan musik yang terdengar, bibirnya tersenyum, ia memutarkan tubuhnya perlahan sampai gaunnya terangkat dengan anggun,
Ia terus bergerak,
kadang berputar,
kadang melompat kecil,
kadang juga berjalan,
Rintik-rintik hujan telah memberanikan dirinya untuk turun, seakan ikut menemani seorang gadis yang sedang menari seorang diri, tampaknya hujan juga ingin menikmati senyuman ceria milik si gadis.
Teh hijau,
hujan,
dan menari,
Sempurna.
Tak lama rintik hujan tak malu-malu lagi untuk muncul, rupanya ia mengajak teman-temannya turun untuk menjadi pelengkap pagi itu. Suaranya semakin gaduh, angin semakin kencang, langitpun semakin gelap.
Gerakan tubuhnya terhenti ketika alunan musik tidak lagi terdengar. Pertanda lagunya telah selesai.
Ia berlari ke teras, rintik-rintik hujan meninggalkan bekasnya di tubuh dan gaun si gadis. Wajahnya basah, namun tidak membuat senyumnya hilang, malah semakin lebar menampilkan giginya yang rapi. Lalu ia duduk di kursinya sambil mengelap wajah dan tangannya yang basah. Ia memejamkan matanya.
Matanya terbuka setelah tiga detik berlalu, dilihatnya hujan mengguyur taman kecilnya. Bunga-bunganya pasti kenyang.
Ini semua adalah rezeki.
Ia bersyukur dalam hati, di pagi yang dingin ini berhasil membuat hatinya hangat.
Lagi-lagi ia tersenyum, lalu menatap kedua kakinya yang buntung.
1 note · View note
regulusky · 2 years
Text
Sembunyi.
Tumblr media
Kirana terkejut.
Anak panah yang hampir menancap ke arah dirinya tiba-tiba terlempar begitu saja ke sembarang arah, ia membuka matanya, mendapati seekor rusa yang tidak terlalu besar, namun juga tidak terlalu kecil yang kini berada di hadapannya dengan mata yang sayu.
Kirana mematung sesaat. Dirinya hampir saja bunuh diri. Entah harus marah atau berterima kasih kepada rusa, yang telah menyelamatkan dari percobaan bunuh dirinya. Rusa itu yang menyenggol anak panahnya hingga terlepas dari genggamannya. Entah sengaja atau tidak, sepertinya hewan ini bisa mengetahui niat Kirana.
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, dan petir masih setia menemani. Namun langit semakin gelap. Kirana masih setia di tempatnya, di tengah hutan yang ia sendiri tidak tahu di mana. Yang ia tahu, ia sudah jauh dari rumahnya.
Rusa masih saja diam di hadapan Kirana, melihat Kirana dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Kirana mendekat ke arah rusa, "Terima kasih." ucapnya sambil mengelusnya. Ia menangis lagi di hadapan hewan yang telah menyelamatkan nyawanya. Jika hewan ini tidak datang, mungkin saja Kirana telah mati, mungkin saja.
Namun nyatanya tidak.
Rusa ini malah menyelamatkannya.
Kirana berdiri, berniat untuk mencari tempat berteduh untuk rusa, ia memegang tanduknya, mengisyaratkan untuk ikut bersamanya, rusa itu pun patuh.
Mereka berjalan beriringan, ditemani dengan hujan dan dinginnya malam. Tak ada satupun yang bersuara, Kirana tetap diam seraya mencari tempat.
Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di sebuah gubuk, tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka berdua berteduh. Kirana mengusap wajahnya, membuka jubah dan gaunnya, dan hanya menyisakan pakaian dalamnya saja.
Kirana menyandarkan punggungnya, perih sekali, punggungnya terasa perih akibat cambukan dari ayahnya, garis-garis bekas cambukan menghiasi kulitnya yang bersih. Tubuhnya memang sakit, namun hatinya lebih sakit.
Sesak.
Dadanya sungguh sesak ketika ia mengingat kenyataan pahit yang harus ia terima saat ini. Namun ia tidak bisa lagi menangis, matanya lelah, tubuhnya juga lelah, belum lagi perutnya yang lapar karena belum terisi apapun sejak ia pergi dari rumah. Ia memeriksa tasnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia makan.
Dapat. Ia mendapatkan dua buah apel dari dalam tasnya, senyumnya mengembang, setidaknya, untuk malam ini, ia bisa mengganjal perutnya. Kirana bersyukur.
"Kau pasti lapar. Makanlah ini." Kirana memberikan satu buah apel kepada rusa yang langsung menerimanya, Kirana tersenyum. Mereka mulai makan dengan hening.
Hujan telah berhenti. Menyisakan angin malam yang sangat dingin, Kirana tidak punya apapun untuk menutupi tubuhnya dari dinginnya malam, gaun dan jubahnya basah, tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya hangat. Maka ia mendekati rusa, dan memeluk tubuhnya. Hangat sekali. Rusa tidak menolak, seakan tahu bahwa manusia di sebelahnya sedang kedinginan.
Mata Kirana mengawang, ia mengkhawatirkan hari esok. Ia harus pergi dari sini secepatnya, ia takut orang tuanya menemukan dirinya. Ia tidak ingin kembali ke rumah, apalagi harus bertemu dengan keluarganya. Ia takut.
Memikirkan itu membuat kepalanya sakit, Kirana memejamkan matanya, mencoba untuk beristirahat, Ya, ia memang harus istirahat, karena esok pagi ia harus segera pergi dari gubuk ini, ia harus mencari tempat persembunyian lagi. Akan sangat melelahkan sekali.
Setidaknya, untuk saat ini ia bisa bersembunyi.
0 notes
regulusky · 2 years
Text
hope is a dangerous thing for women.
“Nek, ayo ceritakan kisah Putri Vashti.” ucap seorang perempuan kepada neneknya yang sedang bersantai sambil menikmati panekuk di pagi hari.
“Kalau begitu, bantu aku habiskan ini, setelah itu kita ke kamar nenek ya.”
Gadis itu dengan cepat membantu sang nenek menghabiskan panekuk, ia benar-benar penasaran mengenai kisah Putri Vashti yang sangat populer namun juga sangat tragis. Sebelumnya, ia hanya melihat wajah Putri Vashti melalui lukisan yang ada di rumahnya, kata Nenek, ia sangat mengidolakan Putri Vashti.
Begitu sampai di kamar, sang nenek langsung mengambil posisi untuk bercerita, ia duduk di kursi panjang bersama cucunya. Dan mulai bercerita.
*
Putri Vashti adalah anak perempuan satu-satunya dari Raja Abraham dari kerajaan Prussya. Sang raja dikenal sangat menyayangi anaknya lebih dari apapun, begitu pula dengan istrinya, Ratu Ellina, yang juga sangat mencintai anak semata wayangnya.
Kehidupan Putri Vashti sangat sempurna, wajahnya sangat cantik dan bersinar, sikapnya juga sangat baik dan santun, ia tidak pernah terlihat marah, ia selalu tersenyum dan ramah pada siapapun, hatinya lembut selembut kapas, ia bisa bermain piano dan sangat pandai menari balet. 
Ah! Ia juga dikenal sebagai ratu balet karena kepandaiannya menari, banyak perempuan yang ikut menari balet karena terinspirasi dari Putri Vashti dan bercita-cita menari bersama dengan sang putri.
Hampir semua penduduk sangat menyayangi sang putri, anak-anak kecil sangat senang dan mengidolakannya, belum lagi laki-laki yang ingin meminangnya. Sudah banyak laki-laki yang mengantre untuk mendapatkan hatinya, namun sayang, hati Putri Vashti telah direbut oleh Pangeran Casper, mereka adalah sepasang kekasih yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan. Sang putri sangat mencintainya.
Pada saat itu, Pangeran Casper telah berumur dua puluh tahun, dan Putri Vashti berumur delapan belas tahun. Semua orang sangat mendukung hubungannya, Pangeran Casper yang sangat tampan, dan Putri Vashti yang sangat jelita. Sempurna.
*
Tiga puluh hari sebelum Putri Vashti menggelar acara pernikahan, ia disibukkan oleh kegiatannya yang bermacam-macam, ia menginginkan pertunjukkan tari balet yang akan diisi oleh anak-anak perempuan dan juga dirinya. Namun, siapapun boleh ikut untuk memeriahkan acara pernikahannya. Asal harus rutin latihan agar pertunjukkannya lebih baik.
Putri Vashti selalu latihan hingga larut malam, bersama dengan pelatihnya, Elard, biarpun laki-laki, Elard sangat pandai menari dan berdansa, dan sudah bertahun-tahun menjadi pelatih Putri Vashti dan menjadi kepercayaan keluarga Raja Abraham.
Namun siapa sangka, bertahun-tahun menjadi pelatih Putri Vashti, ternyata Elard mempunyai perasaan yang sama dengan pria lain. Ia memendam rasa kepada sang puteri, bahkan, ia sangat terobsesi dan mencoba untuk menarik perhatian anak muridnya yang berjarak lima belas tahun lebih muda.
Malam itu di dalam ruang latihan menari milik keluarga Raja Abraham, Putri Vashti sedang membereskan barang-barang seusai latihan menari, hanya berdua dengan Elard. Melihat kesempatan itu, Elard mengajak Putri Vashti ke kebun yang berada di belakang istana, awalnya sang puteri menolak dengan alasan sudah malam, namun Elard memaksa dengan dalih ingin mengungkapkan rahasia yang ia simpan selama ini. Karena telah menganggap Elard sebagai paman, Putri Vashti menurutinya.
Elard mengungkapkan perasaannya saat mereka tiba di kebun, benar saja, Putri Vashti terkejut setengah mati, tidak menyangka bahwa Elard menaruh perasaan terhadapnya, Putri Vashti menolaknya dengan halus, dan memberikan pelukan kepada Elard sebagai permintaan maaf.
Namun bukan Elard namanya jika berlapang dada begitu saja, ia justru mencium bibir sang putri dengan kasar, tentu saja sang puteri berontak, namun Elard tidak peduli, ia justru semakin liar mencubuinya. Di sela-sela ciumannya, Elard berkata, “Aku sangat menyukai kaki jenjangmu, Vashti. Aku terobsesi. Akan ku setubuhi dirimu, dan aku ciumi kakimu hingga aku puas. Jika kau tidak menurutiku malam ini, akan ku buat kau tidak bisa menari dan berjalan lagi.”
Demi melindungi kehormatannya, Putri Vashti melawan Elard, ia tidak sudi disetubuhi oleh orang selain calon suaminya, Pangeran Casper. Ia terus melawan, sampai akhirnya Elard mengeluarkan pisaunya sebagai ancaman agar Putri Vashti diam. Namun tak disangka, Putri Vashti justru merebut pisau itu dan menggores kakinya hingga berdarah, ia melindungi dirinya karena ia tahu, Elard sangat menyukai kakinya.
Ia terus menggores, Elard mematung sejenak, tidak menyangka bahwa muridnya akan sebegininya, ia mencoba merebut pisaunya, namun genggaman sang putri sangat kuat, dan berakhir menusuk kakinya hingga dalam. Sang putri berteriak kesakitan. Elard menutup mulutnya, namun ketika melihat sang putri menangis kesakitan, Elard malah semakin berahi. Ia menyukai tangis sang putri, maka ia cabut pisau itu dan menusuknya kembali sebanyak tiga kali.
Namun ketika Elard ingin melanjutkan aksi bejatnya, seorang penjaga istana berteriak dan menghampiri mereka, namun sayang, Elard lebih dulu melarikan diri.
Sang putri menangis, merasa kesakitan dan merasa sangat kotor. Pisau masih menancap di kakinya, dan perlakuan bejat dari gurunya juga menancap di ingatannya. Ia menangis hingga tidak sadarkan diri.
Tangisnya sungguh menyayat hati.
*
Tengah malam seluruh manusia yang berada di istana dibuat heboh ketika salah seorang penjaga membopong tubuh Putri Vashti yang bersimbah darah dengan gaun yang telah rusak.
Semuanya histeris, apalagi Raja dan Ratu, melihat anak semata wayangnya tidak sadarkan diri dan banyak sekali goresan pisau di kakinya. Mereka langsung menghubungi dokter kerajaan. 
Namun malang nasibnya, dokter berkata bahwa Putri Vashti tidak akan bisa berjalan lagi. Mendengar pernyataan itu membuat sang putri histeris dan mengurung dirinya selama tiga hari. 
Mendengar hal itu, Pangeran Casper datang ke istana, ia memastikan sendiri keadaan sang kekasih, ternyata benar. Kekasihnya cacat.
Putri Vashti menceritakan semuanya kepada kekasihnya dan membuat sang kekasih terkejut setengah mati. Pangeran Casper terdiam sesaat dan berkata, “Aku tidak sudi menikahi perempuan yang cacat. Batalkan saja pernikahannya.”
Sungguh kejam.
Pangeran Casper adalah iblis yang menjelma sebagai manusia.
Ia meninggalkan Putri Vashti sendirian di dalam kamar. Melihat itu, Raja Abraham langsung menghampiri Pangeran Casper dan memukulinya. Ia bersumpah bahwa akan membunuh Pangeran Casper dengan tangannya sendiri karena telah menyakiti puterinya.
Raja Abraham juga tidak tinggal diam, seluruh orang kepercayaannya ia kerahkan untuk mencari Elard, si pembuat onar. Ia tidak menyangka bahwa anaknya hampir diperkosa oleh gurunya sendiri. Bajingan. Raja Abraham juga bersumpah, ia tidak akan membiarkan Elard mati begitu saja dan akan membuat Elard hidup menderita selama-lamanya.
Putri Vashti merasa tidak punya harapan lagi untuk hidup. Ia merasa sakit sekaligus malu. Ia merasa sia-sia karena berusaha mempertahankan kehormatannya dengan menggores kakinya hingga ia tidak bisa jalan. Ia mencintai calon suaminya, ia rela menyakiti dirinya sendiri demi kehormatan calon suaminya. 
Namun, harapannya hancur ketika orang yang ia cintai meninggalkannya hanya karena kekurangannya, harapannya hancur ketika oranng yang ia sayangi tidak melihat pengorbanannya.
Hatinya hancur berkeping-keping.
Selesai sudah kehidupannya. 
Putri Vashti menuliskan semua yang ia rasakan, tentang apa yang terjadi pada malam itu, tentang perasaannya kepada Pangeran Casper, tentang permintaan maaf kepada orang tuanya. Tidak lupa, Putri Vashti juga menuliskan semua harapannya yang telah hancur. Dan yang terakhir, ia menuliskan salam perpisahan kepada orang-orang yang ia sayangi. Ia menulisnya di buku hariannya. Di belakang bukunya, ia menambahkan tulisan,
Biar ragaku telah hilang,
Dendam dan sakit hatiku tidak akan hilang.
Setelah menulis itu, Putri Vashti bunuh diri dengan meminum semua obatnya hingga overdosis.
*
Setelah kematian Putri Vashti, suasana istana dan kerajaan Prussya berubah. Kepergiannya sangat menyesakkan dada, membuat semua penduduk merasa kehilangan yang mendalam. Kerajaan Prussya terasa sangat.. kosong dan sepi.
*
Setelah bercerita, nenek menghembuskan napasnya pelan, seperti mengingat memori yang kelam.
Sang cucu juga terdiam, ia sedih. Dan ikut merasakan sakit hati yang Putri Vashti rasakan. Lalu ia bertanya, “Bagaimana nasib Elard dan Pangeran Casper?”
Ekspresi wajah sang nenek berubah, seperti memendam kebencian yang mendalam.
“Elard ditemukan oleh Raja Abraham di tengah hutan, sang Raja membawanya ke penjara istana, disiksanya berkali-kali, dan jarinya dipotong satu persatu setiap hari Minggu. Tiga bulan terkurung di istana, ia ditemukan tewas digigit ular.”
Sang cucu merasa ngeri dengan nasib yang diterima oleh Elard. “Lalu, bagaimana dengan Pangeran?”
“Ia kabur bersama kudanya, namun Raja menemukannya, dan dikurung di penjara istananya, Kerajaan Ceylonia yang dipimpin langsung oleh Raja Casperian, orang tua Pangeran Casper, habis dibantai oleh Raja Abraham. Mereka melarikan diri bersama rakyatnya untuk melindungi diri dari pembantaian sang Raja. Setelah membantai Kerajaan Ceylonia, Raja Abraham menghabisi Pangeran Casper hingga ia mati.”
Sang nenek mengambil lukisan wajah Puteri Vashti, ia mengelusnya dengan lembut.
Semoga kau tenang di surga,
Kebaikan hatimu akan dikenang selamanya.
Aku merindukanmu, sahabatku.
2 notes · View notes
regulusky · 3 years
Text
Vanilla.
"Selamat menikmati," Ucap seorang wanita sambil menyerahkan es krim vanilla kepada seorang pria paruh baya.
Pria itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih, dan mengambil es krim yang telah ia tunggu-tunggu. Ia keluar dari toko dan berjalan santai menikmati es krim di tangannya.
Rembang petang hari ini sedang indah dan menenangkan, membuat siapapun yang menikmatinya akan merasa tenang. Beberapa orang terlihat menikmati senja di hadapan mereka, pria itu kemudian duduk di sebuah kursi yang menghadap langsung ke pantai. Pria itu tersenyum menatap matahari yang perlahan-lahan turun. Membuat langit semakin terlihat cantik. Seraya menikmati es krim kesukaannya, pikirannya mulai berkelana ke beberapa bulan silam. Ia ingat pada pertemuan yang singkat dan sangat berkesan itu.
*
Malam itu hujan deras mengguyur kota Magnolia Springs. Seorang pria paruh baya berjalan tergesa-gesa seraya mencari tempat berteduh, karena topi hitam dan coat berwarna kremnya tidak cukup kuat melindungi tubuhnya. Beruntung sepatu bootsnya bisa menahan genangan air agar tidak menyentuh kakinya yang sudah keriput.
Kepalanya menengok kanan kiri, ada satu rumah kecil— seperti rumah kosong yang menarik perhatiannya, pikirnya, mungkin Ia bisa menumpang untuk berteduh sampai hujan berhenti. Ia berjalan cepat menuju rumah itu.
Pria itu hanya berdiri di depan pintu rumah sambil membersihkan coatnya dari air hujan. Selang beberapa menit ia berdiri, pintu rumah terbuka pelan, menampilkan sesosok perempuan paruh baya yang terlihat kebingungan, mengapa ada tamu di depan rumahnya dan hanya diam saja.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Perempuan itu bertanya dengan lembut dan cukup mengejutkan seseorang yang ditanya.
Pria itu terperanjat mendengar ada suara, Ia menoleh, dan mendapati seorang perempuan dari dalam rumah.
Pria itu tersenyum malu dan sedikit membungkuk, "Maafkan aku. Aku kira rumah ini kosong, jadi aku menumpang berteduh di sini. Maaf jika itu mengganggumu."
"Hey, tidak apa-apa. Masuklah, di luar sangat dingin, lagi pula kau sama saja berteduh di sini, akan terkena hujan juga. Masuklah, kau basah sekali. Ayo."
Awalnya pria itu menolak dengan halus, lantaran tidak enak harus mengganggu istirahat tuan rumah, sudah malam pula. Makin tidak enak saja. 
Namun tuan rumah nampaknya tidak keberatan, justru sedikit memaksa agar pria itu berteduh di dalam. 
Setelah berbasa-basi, akhirnya pria itu masuk ke dalam mengikuti tuan rumah, dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Sebentar ya, aku ambilkan handuk dulu. Kau bisa duduk di sini," Perempuan tadi menarik kursi agar tamunya duduk, Ia lalu bergegas mengambilkan handuk dan secangkir susu vanilla hangat.
"Minumlah ini, kebetulan aku sedang membuatnya tadi. Hangatkan dirimu."
Pria itu melepas dan menggantungkan coatnya, menyisakan kemeja hitam yang untungnya belum terlalu basah. Lalu ia duduk di kursi yang berhadap dengan sang wanita. Perlahan-lahan Ia menyesap susu vanillanya.
Enak sekali, matanya menerjap. Kemudian Ia menyesap sekali lagi untuk memastikan bahwa lidahnya tidak salah.
Enak. Betul-betul enak.
Susu hangatnya sisa setengah gelas, pria itu benar-benar menyukai susunya. Rasanya ingin meminumnya hingga tandas, namun ia urungkan niatnya karena malu.
Rupanya si tuan rumah diam-diam memperhatikannya, ia tersenyum lembut, “Kau suka?”
“Ya. Ini susu paling enak yang pernah ku coba. Aku memang suka susu vanilla, tapi ini yang paling enak. Kau meraciknya sendiri?”
“Iya. Aku memang menambahkan beberapa bahan lagi agar semakin enak, itu resepku dari dulu. Syukurlah kalau kau suka, semoga bisa menghangatkanmu.”
Memang benar. Tubuh pria paruh baya itu seakan-akan terhangatkan hanya dengan segelas susu hangat, entah karena susunya, handuknya, rumahnya, atau senyuman lembut dari si tuan rumah.
Mata pria itu bergerak ke kanan kiri seakan-akan sedang mencari sesuatu. Rumah ini sungguh sunyi dan tenang, dari luar rumah ini terlihat kecil, namun ternyata cukup luas untuk ditinggali seorang diri, di dalam rumah ini tidak banyak barang, hanya terdapat sebuah piano, perapian, rak buku, sisanya hanya perabotan rumah tangga yang setiap rumah pasti ada.
“Kau sendirian?” Pria itu bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung perempuan di hadapannya.
Perempuan itu menggangguk sambil menyesap susu vanillanya perlahan.
“Suamimu belum pulang?”
“Aku tidak punya suami.”
Aduh. Pria itu segera meminta maaf karena pertanyaan lancangnya, ia merasa tidak enak, takut menyinggung lawan bicaranya. Namun, ternyata itu bukan masalah, sang tuan rumah justru tertawa, dan tidak merasa tersinggung sama sekali.
“Tidak apa-apa, aku memang masih gadis sampai sekarang, padahal sudah sangat keriput. Hahaha,” Perempuan itu tertawa santai, matanya menyipit, seakan-akan matanya ikut tertawa, hidungnya bangir, giginya masih sangat rapi, rambutnya memang sudah memutih walau tidak seluruhnya, namun kecantikan dari perempuan itu masih sangat nyata, kulit keriputnya tidak melunturkan kecantikannya.
Perempuan itu melanjutkan omongannya, “Dulu, aku sangat cantik, banyak sekali yang ingin denganku, tapi aku menolaknya, karena aku terlalu sibuk bekerja dan selalu jalan-jalan, aku suka sekali pindah dari satu tempat ke tempat lain, kehidupanku sangat seru, tapi kosong.” Perempuan itu tersenyum.
“Aku sudah pernah mengunjungi banyak negara, banyak kota-kota kecil yang tidak tereksplor tapi sudah aku kunjungi, aku juga pernah mengikuti banyak kompetisi, karirku juga sangat baik. Pengalamanku sangat banyak. Cita-citaku sudah tercapai semua, yang tidak bisa aku capai adalah punya keluarga,” Mata perempuan itu mengawang, pikirannya berkelana entah kemana, seraya memutarkan jari telunjuknya pada gelas susunya.
Pria itu terdiam. Berpikir bahwa perempuan ini sangat hebat. Ia melihat sekeliling, memang betul, piala dan piagamnya berjejer dan disatukan di sebuah rak sebelah rak buku, serta medalinya yang digantung seperti melengkapi bahwa perempuan ini sungguh bukan orang biasa. Ia juga melihat banyak foto kejuaraan yang terpajang, namun semua foto tersebut hanya foto dirinya sendiri. Hanya seorang diri.
Pria itu berdeham, “Tak apa. Tidak semua manusia harus berkeluarga, berkeluarga bukanlah tolok ukur kebahagiaan dan kesuksesan manusia. Anggap saja aku keluargamu sekarang, sebagai rasa terima kasihku atas susu hangat ini.”
Perempuan itu terbahak, lucu sekali pria ini, pikirnya berkata. “Wah, kalau begitu, aku boleh pinjam uang ya, jika aku tidak punya uang?”
Kini giliran sang pria yang terbahak, lucu juga, pikirnya berkata. Ia menyesap susunya lagi untuk yang kesekian kali.
“Kalau kau, mengapa sendirian? Istrimu tidak ikut?”
“Istriku tidak ada.”
“Kemana?”
“Diambil orang.”
Mata perempuan itu terbelalak, terkejut dengan penuturan tamunya. Namun pria yang dihadapannya terlihat santai saja, seperti sudah biasa berbicara hal itu. Atau memang kejadiannya sudah lama? Entahlah, yang jelas, si perempuan kebingungan harus merespon apa.
Si perempuan berdeham pelan, lalu tertawa, seperti medengar sebuah lelucon. “Tak apa, tidak semua laki-laki harus punya istri, kan?" si perempuan tersenyum kepada tamunya, yang juga ikut tertawa tertawa kecil, tidak menyangka kalau ia akan ditertawakan, biasanya, kebanyakan orang yang mendengar itu, akan langsung bertanya-tanya, mengapa bisa begini, begitu, dan sebagainya. Namun perempuan paruh baya ini tidak, ia justru menertawakan dirinya. Benar-benar menarik.
Dua manusia saling berhadapan di meja makan yang ditemani susu vanilla hangat dan beberapa potong kue kembali asyik dengan obrolan mereka. Seakan-akan lupa bahwa mereka adalah dua orang yang tidak saling mengenal sebelumnya, namun terlihat seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Petir yang bergema cukup keras, sepertinya tidak menjadi penghalang mereka untuk bercengkrama. Si perempuan selalu tertawa dengan banyolan yang diberikan oleh si lelaki. Saking asyiknya, si perempuan harus membuatkan susu vanilla hangat untuk kedua kalinya.
*
"Kau bisa bermain piano?" Pria itu berjalan mendekati piano seraya menerima gelas yang sudah terisi oleh susu vanilla hangat.
"Bisa. Kau mau aku memainkan apa?" Perempuan itu langsung duduk di depan piano dan bersiap memainkan alat musik kesayangannya ini.
Si pria tampak berpikir, "Bisa kau mainkan Nocturne Op. 9 no. 2?"
Tanpa menjawab, Ia langsung menggerakan jarinya dengan lihai di atas piano, menuruti permintaan tamunya.
Indah.
Hanya itu yang terlintas di pikiran si pria paruh baya yang saat ini sedang menikmati lantunan nada piano yang dimainkan oleh si tuan rumah. Sungguh syahdu dan menenangkan. Ia suka perasaan ini, sangat suka.
Sudah lebih dari lima belas menit si perempuan memainkan lagu-lagu yang diminta oleh tamunya. Ia tidak merasa keberatan sama sekali jika harus bermain piano lebih lama lagi, entah mengapa, ia ingin menunjukan kebolehannya di hadapan tamunya ini. Entah apa namanya. Yang jelas, ia merasa senang ada pria ini.
Tepukan tangan yang cukup keras diberikan oleh si pria untuk teman barunya. Sebagai isyarat bahwa ia sangat menyukai mini konser yang baru saja digelar.
Mereka berdua kembali duduk, namun bukan lagi di meja makan, melainkan di sofa panjang berwarna gading. Mereka duduk dengan menaikan kakinya masing-masing, sangat santai dan terlihat nyaman. Mereka kembali bercengkrama, kembali tertawa-tawa, dan saling melempar senyum ketika salah satu dari mereka bercerita.
Hanya satu kata yang bisa menggambarkan suasana mereka saat ini. Hangat.
*
Jarum jam menunjukkan di angka sepuluh. Artinya, sudah tiga jam si pria paruh baya berteduh di rumah ini. Saking asyiknya, mereka tidak menyadari bahwa hujan sudah berhenti, petirpun sudah tidak lagi terdengar. Yang terdengar adalah suara mereka yang sibuk bercerita dan tertawa.
"Wah, sudah jam sepuluh. Tidak terasa ya. Kalau begitu, aku pulang ya?"
Si pemilik rumah tidak langsung menjawab, terdiam beberapa detik, namun ia menggangguk pelan, terlihat jelas bahwa ia tidak ingin tamunya pergi. Ia masih ingin bersama tamunya, wajahnya terlihat kecewa.
Si pria hanya tersenyum lembut, sebenarnya ia juga tidak ingin pulang, ia merasa betah. Ia berdiri dan berkata, "Aku cuci dulu gelasnya," namun tangannya dicekal, mengisyaratkan tidak perlu dicuci, biar pemilik rumah saja yang mencuci, ia berjalan untuk mengambil coatnya yang digantung, bersiap untuk pulang.
Keduanya sampai di ambang pintu, mereka terdiam beberapa detik, merasa canggung, bingung berbicara apa, yang jelas keduanya merasakan hal yang sama; masih ingin mengobrol hingga pagi datang. Mereka merasa senang, sekaligus tenang. Namun apalah daya, mereka hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu, berniat hanya untuk berteduh, tapi malah saling bertukar cerita.
Akhirnya, si pria paruh baya membuka suaranya, "Terima kasih ya, aku sudah dibiarkan berteduh di sini, maaf sekali aku merepotkanmu. Terima kasih susu dan makanannya. Aku benar-benar merasa hangat," ia menatap perempuan di depannya dan tersenyum lembut.
"Sama-sama. Terima kasih juga sudah menemaniku. Kembalilah ke sini kapan pun kau mau. Aku tidak ada rencana pindah dalam waktu dekat," sang pemilik rumah, nampaknya sangat berharap tamunya kembali ke rumahnya, untuk sekedar mengobrol, dan minum susu vanilla hangat.
Pria itu mengangguk, dan berkata akan kembali dikemudian hari. Sang pemilik rumah terlihat senang.
Mereka berdua tersenyum, entah keinginan dari mana, keduanya berpelukan sebentar dan mengucapkan selamat tinggal. Pria itu beranjak pergi meninggalkan rumah kecilnya, ia berbalik dan melambaikan tangan. Mereka tersenyum, sungguh, hanya merekalah yang mengetahui apa arti senyuman itu. Hari itu, tanggal 21 Oktober, adalah hari yang bersejarah bagi mereka.
*
Duk.
Pria itu terperanjat dan tersadar dari lamunannya. Sebuah bola kecil berhenti tepat di depan kakinya. Ia mengambilnya dan membersihkannya dari pasir yang menempel, punya siapa ini? Pria itu mencari-cari pemilik bola kecil ini.
Selang beberapa detik, seorang anak laki-laki menghampirinya, meminta bolanya agar dikembalikan. Ia memberikannya dan tersenyum.
Selepas kepergiannya, ia kembali menatap ombak di depannya. Pikirannya kembali mengingat hari itu, hatinya terasa sedikit nyeri, sebenarnya apa yang terjadi? Sudah satu tahun berlalu, namun ia masih mengingat jelas apa saja yang terjadi di hari bersejarahnya, ia masih ingat jelas wajah pemilik rumah kecil itu, ia masih mengingat jelas bagaimana cantiknya perempuan itu, ia masih mengingat jelas, bagaimana indahnya lantunan nada yang berbunyi dari piano yang dimainkan oleh teman barunya itu. Ia masih... Ia masih mengingatnya. Sampai hari ini.
Nyatanya, penyesalan itu belum juga hilang, jika saja.. jika saja ia menginap barang sehari, pasti ia masih bisa melihat perempuan itu.
Karena pada kenyataannya, satu hari setelah tanggal 21 Oktober, ia berniat kembali ke rumah itu, ia sudah menyiapkan makanan yang ia masak sendiri untuk dimakan bersama teman barunya.
Tapi takdir berkata lain, sepertinya Tuhan belum ingin melihatnya jatuh cinta dengan perempuan lagi. Tepat jam tiga sore, gempa bumi datang mengguncangkan kota Magnolia Springs sangat dahsyat, saat itu ia berlari keluar apartemen yang ia sewa selama berlibur di sana, suasananya sangat bising dan menegangkan, orang-orang berhamburan keluar berteriak meminta tolong, yang saat itu semua orang sibuk menyelamatkan diri sendiri, bangunan runtuh secara perlahan, pohon-pohon mulai berjatuhan, jalanan bergetar dengan hebat. Saat itu, kondisinya sangat parah.
Setelah dua minggu musibah itu terjadi, pria paruh baya itu pergi dari tempat pengungsian untuk mengunjungi rumah teman barunya. Namun sayang sekali, yang ditemukan hanya bangunan yang sudah hancur, garis polisi mengelilingi rumah itu, pria itu bertanya kepada orang-orang terdekat, kemana pemilik rumah itu, namun tak ada yang tahu, pemilik rumah masih menghilang dan belum ditemukan.
Lemas.
Hanya itu yang ia rasakan. Dadanya mencelos, lututnya lemas, tangannya sedikit gemetar.
Kemanakah ia pergi?
Hingga sampai hari ini, sang pria paruh baya belum bertemu lagi dengan perempuan itu. Tidak menyangka, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan mereka yang pertama dan yang terakhir. Ia sudah mencarinya kemana-mana, namun tiada hasil. Perempuan itu menghilang tanpa jejak, tak ada yang tahu kemana perginya selain Tuhan.
Semoga kau baik-baik saja,
Semoga kita bisa bertemu kembali,
Aku merindukanmu, Nyonya Vanilla.
Tumblr media
3 notes · View notes
regulusky · 3 years
Text
T e n a n g.
Ah, leganya. Akhirnya aku bisa bernapas dengan bebas.
Aku duduk di atas rumput setelah mencopot kostum badutku, lalu kulipat dan kusimpan di tas besarku. Kunikmati angin sepoi-sepoi di sore hari, nikmatnya. Aku mulai merebahkan tubuhku di atas rumput, sambil melihat langit sore. Indah, aku betah memandanginya.
Suasana taman sore ini tidak begitu ramai, hanya ada seorang ibu dan anak sedang bercengkrama, empat orang laki-laki sedang bermain basket, dan satu orang gadis duduk sendirian dan menunduk. Gadis itu terlihat mungil, namun rambutnya panjang sekali, sampai menyentuh pinggangnya, rambutnya berwarna hitam, dan ia mengenakan dress berwarna putih.
Aku berdiri, mulai berjalan menghampiri gadis itu. Entah mengapa aku ingin menghampirinya, sepertinya ia kesepian.
"Halo, bolehkah aku duduk di sini?" Aku bertanya dengan sopan.
Gadis itu menoleh, aku terpaku sesaat. Sungguh indah paras gadis ini. Matanyanya hijau bak batu zamrud, alisnya tebal namun sangat rapi, hidungnya mancung dengan sempurna, dan kulitnya putih pucat. Astaga, cantik sekali. Aku terpana melihatnya, belum pernah melihat gadis secantik ini.
"Silakan." Gadis itu menjawab dengan pelan, lalu bergeser ke kanan, dan menunduk. Sejak tadi ku perhatikan, gadis itu terus menunduk.
Aku duduk di sebelahnya, "Kau sendirian?" Ia mengangguk.
"Tidak bersama teman? Biasanya sore begini, anak-anak senang bermain di taman,"
"Aku tidak punya teman." Gadis itu menjawab pertanyaanku.
"Oh, mengapa tidak bersama orang tuamu?"
Gadis itu menoleh ke arahku, "Aku tidak punya orang tua."
Aku terdiam. Merasa tidak enak karena pertanyaanku barusan. Aku segera meminta maaf kepadanya.
"Tidak apa-apa, Paman. Santai saja," Gadis itu tersenyum lembut kepadaku. Namun aku masih merasa tidak enak, maka aku diam saja. Ia menoleh ke arah lain, ku ikuti arah pandangnya, ternyata Ia memandang dua orang perempuan yang sedang bercengkrama di bawah pohon– seorang ibu dan anak.
"Apa rasanya kematian?" Gadis itu bertanya dengan tiba-tiba, mengapa Ia bertanya seperti itu? Apa yang ada dipikiran seorang gadis kecil ini?
Aku menjilat bibirku, berpikir untuk menjawabnya dengan hati-hati.
"Entah. Mungkin ketenangan? Istirahat dari lelahnya hidup di dunia. Mendapatkan kedamaian, sebagai hadiah dari perjuangannya di dunia."
Gadis itu bertanya lagi, "Jika akan mendapatkan itu, mengapa orang tidak mati saja?"
Huh?
"Karena mereka masih punya tujuan untuk hidup."
"Termasuk Paman?"
"Ya. Termasuk aku," Aku menghela napas pelan. Berusaha menyusun kalimat yang mungkin bisa Ia cerna.
Belum sempat ku menjawab, Ia bertanya lagi, menatap mataku dengan rasa ingin tahu. "Berarti, jika tidak punya tujuan hidup, kita sudah boleh mati?"
Haduh, apalagi ini.
Aku menarik napas panjang setelah mendengar pertanyaan ajaibnya. Ku jelaskan dari mana ya agar Ia tidak berpikir macam-macam?
"Bukan begitu, maksudku, semua orang yang hidup, pasti mempunyai tujuan. Apapun itu. Tujuannya macam-macam, bisa kecil, bisa besar, bisa sederhana, bisa rumit. Apa saja yang bisa dijadikan tujuan,"
Aku berhenti sebentar. Ia terlihat berpikir keras, alisnya bertaut.
"Dulu, ketika istriku meninggal, aku berpikir sudah tidak ada tujuan untuk hidup, makna hidupku hilang bersama istriku yang pergi. Aku benar-benar hancur, tujuan hidupku juga hancur, tidak berarti apa-apa. Hidupku sangat kosong, di dunia yang sangat ramai ini."
"Mengapa kau tidak ikut mati menyusul istrimu?"
Aku terdiam sejenak, mengingat kembali masa-masa kelamku beberapa tahun lalu, ketika aku berusaha membunuh diriku sendiri, yang gagal berkali-kali.
Aku tersenyum, "Entahlah, mungkin karena istriku tidak mengizinkan. Karena aku masih punya tujuan yang harus aku selesaikan sebelum aku mati, aku pikir istriku meminta kepada Tuhan agar aku tidak menyusulnya."
"Apa tujuanmu hidup?"
Aku tersenyum lagi, "Aku ingin membuat orang lain senang dan tertawa karena ku. Terutama anak-anak. Aku senang melihat mereka tertawa, karena aku jadi ikut tertawa, aku senang ketika kesedihan mereka jadi teralihkan karena aku menghiburnya, aku senang menjadi alasan mereka tertawa, itulah mengapa aku memilih menjadi badut. Agar aku bisa menghibur mereka dengan caraku. Aku juga suka membagikan hadiah kepada mereka, biasanya aku memberikan permen atau bunga."
Aku melanjutkan lagi, "Selain itu, aku juga punya anak. Aku merasa masih harus bertanggung jawab untuk menafkahinya, walaupun Ia sudah bekerja dan sepertinya sudah tidak membutuhkanku. Tapi aku masih ingin melihat senyumnya, melihat marahnya, melihat tangisnya, melihat anakku tumbuh semakin dewasa. Aku ingin menyaksikannya sebelum Tuhan memanggilku untuk menemani istriku nanti."
Gadis itu terdiam setelah mendengar jawabanku, Ia menunduk, dan meremas pelan dress putihnya.
Ia menoleh lagi ke arahku dan bertanya, "Bagaimana rasanya punya tujuan hidup, Paman?"
Haduh, belum puas juga dia. Baiklah, sepertinya anak ini sedang tidak baik-baik saja. Semoga jawabanku bisa membuatnya merasa lebih baik.
"Rasanya seperti ada tanggung jawab saja, namun menyenangkan juga dijalani. Hari-hari yang ku lalui memang berat karena tujuan itu, tapi juga membuatku lebih kuat," Aku berhenti menjelaskan. Lalu aku bertanya kepadanya, "Ada apa, Nak? Mengapa kau bertanya seperti ini?"
Gadis itu menjawab pelan, "Aku tidak punya tujuan di hidupku."
Mendengar jawabannya, aku paham betul apa rasanya. Gadis ini sedang kesepian, dan mungkin Ia sedang mencari jawaban, sebenarnya untuk apa Ia hidup di dunia ini?
"Tidak apa-apa. Aku dulu juga berpikir seperti itu. Tidak punya tujuan, satu-satunya tujuanku adalah ingin cepat menyusul istriku. Namun, setelahnya aku sadar, hal sekecil apapun, bisa kau jadikan tujuan. Tergantung bagaimana kau melihatnya,"
Aku berpikir sejenak untuk melanjutkan. "Ada orang yang tujuan hidupnya ingin mendaki gunung sebanyak-banyaknya sebelum Ia mati, ada orang yang tujuan hidupnya hanya untuk meraih cita-citanya, ada orang yang tujuan hidupnya ingin menikah dengan pasangan yang dicintainya. Sesederhana kau ingin melihat matahari pagi juga bisa kau jadikan tujuan untuk hidup. Atau.. ada yang lebih sederhana lagi.."
Aku menatap tepat pada matanya yang berwarna hijau, dan tersenyum kepadanya.
"Bahagia. Jadikanlah menjadi bahagia itu tujuan hidupmu, setidaknya sebelum kau pergi, kau harus merasa bahagia. Kau bisa menjadikan apapun yang dapat menjadi tujuanmu, sederhana saja dulu, agar hidupmu menjadi lebih indah."
Setelah mendengar jawabanku yang cukup panjang, Ia terdiam cukup lama, sepertinya Ia mulai berpikir apa yang bisa Ia jadikan tujuan hidup, atau mungkin Ia berpikir hal lain? Entahlah. Yang jelas, aku ingin membantunya agar Ia merasa hidup ini tidak hampa.
"Tujuan hidupku bahagia bersama mama. Tapi Mama meninggalkanku. Bahagiaku hanya bersama Mama, haruskah aku menyusulnya?"
Aku menggeleng pelan, "Kau bisa mencari yang lain, akan ada saatnya kau akan bertemu. Jangan menyusul, ya, Nak. Tunggu saja, kau akan dijemput jika sudah waktunya."
Ia mengangguk pelan, dan kembali terdiam.
Aku mengambil satu tangkai bunga mawar yang ku simpan di dalam tas, hari ini aku membagikan anak-anak satu tangkai bunga mawar. Akan ku berikan bunga ini gadis di sebelahku.
"Ambil ini. Satu tangkai bunga mawar yang cantik untuk gadis yang tidak kalah cantik."
Gadis itu menoleh, dan tersenyum lebar sampai giginya terlihat, Ia mengambil bunganya dari tanganku, menghirup aroma bunga sambil menutup matanya.
Ia menoleh ke arahku dan tersenyum lebar, "Terima kasih banyak, Paman. Bunganya wangi sekali."
Syukurlah. Aku agak lega melihatnya tersenyum. Sebagai balasan, aku mengangguk.
Kami kembali terdiam. Sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku dengan pemandangan di depanku, satu persatu orang-orang di taman ini mulai pergi meninggalkan taman, karena matahari perlahan-lahan mulai tenggelam. Namun gadis di sebelahku tampaknya masih asyik menghirup aroma bunganya. Maka ku biarkan saja Ia sibuk.
Tidak lama kemudian, Ia berdiri sambil memegang bunga dariku, mengucapkan terima kasih sekali lagi kepadaku. Sepertinya Ia mau pulang. Maka kuucapkan hati-hati kepadanya.
"Sampai bertemu lagi, Paman. Datanglah ke taman ini sesekali untuk bertemu denganku." Sebagai balasan, aku mengangguk dan tersenyum padanya. Ia balas senyumanku dan membungkukkan badannya. Lalu mulai berjalan menjauhiku.
"Paman,"
Aku menoleh ke asal suara, gadis itu memanggilku. Sebagai tanggapan, aku mengangkat kedua alisku.
"Jika nanti aku bertemu dengan istrimu, akan ku sampaikan salammu kepadanya."
Setelah mengatakan itu, Ia kembali tersenyum lebar, lalu memutar badannya dan mulai berjalan lagi dengan langkah lebar.
Aku menggeleng. Jangan sampai Ia melakukan hal yang tidak seharusnya Ia lakukan. Aku hanya bisa berdoa agar Ia baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja. Aku berdoa, semoga aku bisa bertemu dengannya lagi di sini.
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
Namun sayangnya, gadis mungil bermata hijau tidak pernah muncul lagi setelah pertemuan waktu itu. Berkali-kali aku ke taman, tak pernah ku temukan dirinya. Ku tanya pada orang-orang di sekitar sini, juga tak ada yang pernah melihatnya lagi. Cemas. Namun aku hanya bisa berdoa, jika memang Ia telah bertemu dengan istriku, semoga ia tenang..
4 notes · View notes
regulusky · 3 years
Text
T e m p o r a r y
Di tepi sungai yang jernih, terlihat seekor rusa sedang melepas dahaga dengan nikmat dan tenang. Tak lama Ia mendongak, melihat sekelilingnya yang sepi, namun sangat indah pemandangannya, rusa itu tersenyum, lalu berjalan pelan menjauh dari sungai.
Rusa itu bernama Mici, Rusa betina dengan mata yang besar dan indah. Mici berhenti di bawah pohon Ceri yang besar dan duduk dengan tenang. Mici tetap terdiam, karena tidak ada siapapun di sekitarnya saat ini. Seperti hari-hari biasanya, Mici memang selalu sendiri, Mici tidak memiliki teman, untuk makan pun, Mici selalu mencari sendiri, jika sudah makan, Mici akan tidur, dan berjalan-jalan santai. Seperti itulah kehidupan Mici. Membosankan.
Tuk..tuk..tuk..
Terdengar suara langkah kaki mendekat kearah Mici yang sedang bersantai.
Mici mendongak, melihat kearah suara asing berasal.
"Halo." Sapa seekor rusa jantan dengan senyum lebar yang baru saja berhenti tepat di depan Mici.
Mici menyipitkan matanya, dengan kaku Mici menjawab,
"Hai."
"Kau sendirian?"
"Ya."
"Boleh ku temani? Aku punya satu apel, untukmu saja boleh." Rusa itu memberikan sebuah apel merah yang segar dan menaruhnya di hadapan Mici.
Mici langsung waspada, "Siapa kau?"
Rusa jantan itu terkekeh, merasa lucu dengan ketakutan rusa betina dihadapannya.
"Tenanglah. Nama ku Miko, aku juga penghuni hutan ini. Aku sering melihatmu minum di sungai, loh."
"Tapi aku tidak pernah melihatmu." Mici mengambil apel itu, dan mulai memakannya. Manis sekali apel ini, batin Mici.
"Memang. Aku kan sembunyi-sembunyi lihatnya, hehe."
Konyol, pikir Mici. Namun Mici hanya mengangguk sebagai jawaban, agak sulit mengobrol dengan Mici, karena Mici anak yang pendiam, dan sangat jarang mengobrol dengan penghuni hutan lainnya. Mici dan dunianya yang sepi.
Miko terus saja mengajak Mici berbicara, Miko sangat sabar dengan jawaban cuek dari Mici, tidak masalah, Miko senang-senang saja kok ngobrol dengan Mici, walau sembilan puluh persennya, Miko yang berbicara.
-
Hari-hari Mici mulai berubah, dulu Mici selalu sendirian ketika jalan-jalan santai, tapi kini ada Miko yang setiap sore menemani Mici menghabiskan waktu bersama sambil membawa apel segar untuk Mici. Miko selalu berada di samping Mici, berjalan pelan agar sejajar dengan langkah kaki Mici yang lambat, karena Mici adalah rusa betina yang pincang. Ia tidak bisa berjalan dengan normal atau lari dengan cepat seperti rusa lainnya. Mici berbeda.
Mici bahagia. Belum pernah Mici merasakan perasaan seperti ini, rasanya sangat lengkap dan terasa cukup. Kehadiran Miko sangat merubah hidup Mici yang sepi menjadi sangat berwarna, menjadi sangat menyenangkan. Setiap hari Mici selalu tertawa bahagia, berbicara lebih banyak, dan selalu bersemangat. Miko telah merubah Mici. Dan Mici suka itu.
"Miko, besok kita cari buah lain, yuk." Ajak Mici kepada Miko.
Miko menengok, "Buah apa?"
"Apa saja. Jangan apel terus, aku bosan."
"Boleh. Besok sore tunggu aku di tempat biasa."
"Siap, Miko!" Mici tersenyum dengan lucu. Melihat itu, Miko ikut tersenyum.
Sore hari yang sejuk, Mici menghirup udaranya dengan perasaan senang. Hari ini ia akan mencari buah lain untuk dimakan, senang karena akan bersama Miko juga. Bersama Miko sudah seperti kewajiban untuk Mici, jika tidak bersama Miko, Mici selalu merasa kurang, dan Mici tidak suka itu. Pokoknya Mici ingin bersama Miko selamanya.
Mici menguap, mulai bosan menunggu. Sudah berjam-jam Mici menunggu Miko di bawah pohon Ceri, namun Miko tak kunjung tiba. Hari sudah semakin gelap, tapi Mici tetap ingin menunggu.
Kemana Miko? Mengapa lama sekali? Miko tidak pernah telat jika mereka akan pergi. Ada apa dengan Miko?
Mici tetap duduk menunggu Miko.
Semakin gelap, namun Mici tetap tidak beranjak. Ia khawatir dengan Miko, tapi Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia memilih untuk menunggu, siapa tahu Miko lupa dan baru ingat di malam hari, Ya, siapa tahu.
Suara jangkrik mulai terdengar, Mici tahu bahwa hari sudah malam. Mici berdiri, namun tidak kunjung pergi. Ia bersikeras menunggu Miko sebentar lagi.
Satu jam setelahnya, Mici memutuskan untuk pulang dan kembali esok sore.
Seperti janji Mici, Ia kembali ke tempat di mana Mici dan Miko bertemu, Mici masih berpikir mungkin saja Miko akan datang hari ini. Mici sudah siap dengan segala ocehannya nanti, Ia akan memarahi Miko karena lupa dengan janjinya, biar saja, biar tahu rasa. Memikirkan itu, Mici jadi senyum-senyum sendiri, membayangkan Miko dengan wajah bersalahnya. Pasti Miko panik, pikir Mici.
Namun sayang sekali, Miko belum juga datang.
Tapi tidak apa-apa, Mici bisa menunggu sedikit lebih lama.
Satu jam lagi, Mici masih bisa menunggu.
Hujan turun secara tiba-tiba, Mici bergegas mencari tempat untuk berlindung, agar tidak kehujanan.
Waktu terus berjalan, hujan semakin deras, petir mulai terdengar dan hari semakin gelap, Mici takut dengan gelap, tapi Ia masih ingin menunggu. Mungkin saja Miko juga kehujanan, memikirkan itu, Mici jadi khawatir. Semoga Miko baik-baik saja.
Hari-hari berikutnya, Mici masih setia datang untuk menunggu Miko sampai malam tiba. Ia telah mencari Miko, namun tidak pernah bertemu, satu-satunya harapan Mici adalah tempat itu, di bawah pohon Ceri, tempat di mana mereka bertemu untuk pertama kalinya.
Satu bulan berlalu, Mici masih menunggu.
Dua bulan, Mici masih mendatangi tempat itu.
Tiga bulan setelahnya, Mici memutuskan berhenti datang. Ia hanya lelah.. Miko tidak kunjung datang, Mici tidak tahu keberadaannya, selama ini hanya Miko yang selalu datang untuk Mici. Mici hanya menunggu Miko datang setiap kali mereka bertemu.
Mici menyerah. Ia tidak bisa menunggu Miko lagi, mungkin Miko sudah melupakannya, atau Miko memang pergi darinya.
Mici merasa bodoh karena terlalu bahagia bersama Miko, merasa bodoh karena terlalu berharap kepada Miko, merasa bodoh karena telah jatuh cinta, padahal Miko hanya menemaninya sebentar, hanya sebentar sekali.
Tidak ada berjalan santai di sore hari sambil menikmati buah apel dari Miko, tidak ada canda dari Miko yang membuat Mici tertawa renyah, tidak ada perhatian Miko yang membuat hati Mici terasa hangat. Tidak ada lagi..
Mici tidak marah, tidak pula menyalahkan Miko atas semua ini, Mici hanya sadar, bahwa semua yang berkaitan dengan Miko memang hanya ditakdirkan untuk sementara. Kehadiran Miko, perhatian Miko, candaan Miko, jalan-jalan sore ersama Miko, apel dari Miko, dan perasaannya. Ia berharap, perasaannya terhadap Miko hanya sementara, tidak abadi dan akan segera hilang secepat Miko juga menghilang dari hidupnya.
Kehilangan Miko membuat Mici tersadar dan tahu diri, bahwa Mici tidak boleh terlalu bergantung lagi, tidak boleh terlalu dekat dengan yang lain lagi, tidak perlu punya teman lagi. Dan mungkin Miko sudah menemukan teman yang lebih baik dari Mici, yang tidak cacat seperti Mici. Tidak apa, Mici sudah cukup tahu diri dan berdoa agar Miko selalu bahagia.
Selesai sudah semuanya. Mici kembali menjadi Mici yang dulu. Mici yang sendiri, Mici yang tidak punya teman.
Selamat tinggal pohon ceri,
Selamat tinggal jalan-jalan sore,
Selamat tinggal apel merah segar,
Selamat tinggal kenangan yang indah,
Selamat tinggal Miko.
Kini Mici bersiap, untuk hidup yang lebih sepi.
2 notes · View notes
regulusky · 3 years
Photo
Tumblr media
Wisptober day 5 - Unfinished 
“They said she died while finishing her masterpiece, with a paintbrush still in her hand. But, even thought it was hanging in a gallery now, her ghost knew that it was still unfinished.”
947 notes · View notes
regulusky · 3 years
Photo
Tumblr media
Wisptober Day 4 - Dulcet
 “Even though no one had lived in the house for decades, the music box still loved to serenade the small jewelled bird with dulcet tones.” 
 The little bird is a 100% based on Fabergé chick figurine.:D
1K notes · View notes
regulusky · 3 years
Text
Sakit.
Itulah yang dirasakan sang gadis ketika cambukan mendarat dipunggung kecilnya, sang gadis menggigit bibirnya untuk meredam jeritannya, air matanya menggenang, wajahnya merah menahan sakit, tubuhnya gemetaran.
Seorang lelaki tua berkali-kali melayangkan cambukan kepada puteri bungsunya dengan keras sembari menyumpah serapah kepada sang gadis— puteri bungsunya.
Tak ada suara yang terdengar selain suara hujan dan suara ayahnya, alih-alih menolong, sang Ibu hanya terdiam dan menutup pandangannya, tidak mau melihat puteri bungsunya yang sedang dicambuk, tapi juga tidak melawan suaminya, lain hal dengan puteri sulungnya, terlihat menikmati pemandangan di depannya seakan-akan sedang menonton sebuah pertunjukan yang seru sambil memakan buah apel.
Sang gadis akhirnya berdiri, melawan rasa sakit di tubuhnya dan mengabaikan ayahnya yang belum juga berhenti menyumpahi sang gadis.
Sambil membawa anak panah kesayangannya, sang gadis melangkahkan kakinya keluar rumah, tidak peduli dengan hujan deras yang sedang mengguyur tempatnya, tidak peduli dengan petir yang menggelegar, tidak peduli dengan keluarganya, sang gadis tetap keluar dari rumahnya.
Sang gadis terus berlari tanpa tujuan, ditemani hujan deras dan dinginnya malam, tubuhnya menggigil dan sakit, punggungnya terluka, mungkin darahnya sedang mengalir dari dalam gaunnya, namun lagi-lagi, sang gadis tidak peduli, yang Ia inginkan hanya pergi dari tempatnya sejauh mungkin dan tidak kembali.
Tangisnya pecah saat dirinya telah sampai di tepi sungai, Ia menjatuhkan dirinya, menangis sekencang-kencangnya, memukul dadanya dengan keras. Sungguh, rasa sakit di punggungnya seakan tidak terasa dibanding sakit yang Ia rasakan selama hidupnya. Ditengah tangisnya, sang gadis mengingat kembali apa saja yang telah Ia lalui semasa hidupnya. Dari kecil sampai berusia delapan belas tahun.
Sang gadis tak pernah mendapatkan kasih sayang orang tuanya—khususnya Ayahnya, hanya karena Ia tidak rupawan seperti kakaknya. Ia tidak sepintar kakaknya, rambutnya tidak indah seperti kakaknya, bulu matanya tidak selentik kakaknya, kulitnya tidak secerah kakaknya, Ia tidak bisa berkuda seperti kakaknya. Ia benci berkuda, Ia pernah celaka saat berkuda dan tidak ada yang peduli dengan itu. Orang tuanya seakan lupa, bahwa Ia bisa memanah, dan Ia adalah pemanah sejati.
Sang gadis benci orang tua dan kakaknya, mereka semua jahat, walaupun Ibunya tidak sejahat Ayah dan Kakaknya, tapi Ibunya tidak berguna, Ibunya hanya bisa diam ketika sang gadis dimarahi. Seperti saat ini. Sang gadis juga benci dengan calon suaminya—seorang lelaki yang berjarak dua puluh dua tahun dari sang gadis. Sang gadis benci, Ia tidak mau dijodohkan, Ia tidak mau menikah, Ia masih remaja, dan sang gadis bersumpah, bahwa Ia memilih mati dibanding menikah dengan lelaki pilihan keluarganya.
Air matanya terus mengalir sama derasnya dengan hujan, suara tangisnya teredam dengan suara hujan. Tangisnya sungguh menyayat hati. Sungguh malang kehidupan gadis ini, bertahun-tahun dibedakan dengan kakaknya, disiksa jika tidak mengikuti perintah ayahnya, dijodohkan pula dengan lelaki yang sudah tua.
Mengapa hidupnya tidak bahagia?
Mengapa dunia begitu menyakitkan?
Mengapa takdirnya begitu kejam?
Mengapa nasibnya begitu suram?
Sungguh kehidupan yang sangat jahat, sang gadis membenci semua orang, Ia benci orang-orang yang bahagia, sedangkan Ia tidak. Ia benci dengan kehidupannya, Ia ingin mengakhiri hidupnya, Ia tidak sanggup lagi menjalani hidupnya, hatinya sakit, tubuhnya perih, mungkin hari ini adalah hari kematiannya, sang gadis dengan senang hati menerimanya.
Gadis itu bernama.. Kirana.
Kirana, gadis kecil berambut pendek, yang kini bersiap menancapkan anak panahnya ke jantungnya sendiri.
Tumblr media
1 note · View note
regulusky · 3 years
Text
Basah.
Tetesan air jatuh tepat di kepala sang gadis berambut keriting, gadis itu mendongak, mencari tahu dari mana asal tetesan air itu. Rupanya, plafon rumah kecilnya kembali bocor. Di luar sedang hujan deras dengan angin yang kencang, pantas saja plafon rumahnya bocor.
Sang gadis dengan telaten membawa ember dan menaruhnya tepat di bawah tetesan air dari plafon, serta membersihkan tetesan air yang jatuh di lantai, ternyata, ada tiga ember yang ia bawa, karena ada tiga tempat yang bocor, ruang tengah, kamar orang tuanya, dan kamarnya.
Sang gadis menuju ke kamarnya, bermaksud untuk tidur karena hari sudah malam, namun ternyata, ia mendapati adiknya yang paling kecil belum tertidur. Melihat sang kakak masuk ke kamar, sang adik bangun dari tempatnya, menghampiri sang kakak.
"Aku lapar." ucap sang adik sambil memegang perutnya.
Sang kakak mengelus rambut sang adik, "Ada roti di ruang makan, kau bisa memakan itu."
Sang adik menggeleng, "Aku ingin daging kalkun. Aku sangat rindu makan daging. Ibu tidak pernah lagi membawa daging dari istana, aku bosan makan roti dan sup jagung hampir setiap hari."
"Nanti aku akan membelinya, untuk saat ini, makanlah roti dan susumu, setelah itu tidurlah, ini sudah sangat malam. Ayah dan Ibu juga sudah tidur, dan aku juga akan tidur."
Sang adik kembali menggeleng, "Aku ingin tidur saja." Sang adik merebahkan tubuhnya diatas kasur tipis yang sudah tidak layak dipakai. Ia menarik selimutnya dan mulai memejamkan matanya. Bersebelahan dengan kakak laki-lakinya yang hanya terpaut tiga tahun.
Sang kakak mengelus rambutnya dan tersenyum sedih, kasihan sekali adiknya, Ia hanya ingin daging kalkun, tapi sang kakak tidak bisa memberinya, karena memang tidak mampu membeli daging mewah seperti daging kalkun. Uang dari mana? Mereka hidup dengan kemiskinan yang tidak mungkin bisa membeli daging untuk sekali makan, dibanding beli daging, ia akan membeli makanan yang lebih murah dan sederhana yang bisa dimakan keluarganya untuk beberapa hari kedepan.
Tanpa sadar, air matanya menetes. Sungguhlah berat hidup gadis ini, sudah sepuluh tahun, ayahnya sakit dengan penyakit yang tidak kunjung sembuh, ayahnya tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, bahkan untuk berbicara saja, ayahnya kesulitan, Ibunya hanya bekerja sebagai pelayan istana, yang kadang membawa makanan sisa dari istana. Mereka hanya bisa makan enak–seperti daging, hanya dari makanan sisa dari istana. Dan dirinya hanya bekerja sebagai pelayan toko roti yang gajinya hanya mampu untuk hidup sehari-hari, gaji ibunya sudah habis untuk pengobatan ayahnya yang entah kapan akan sembuh.
Sang gadis menatap ke arah luar jendela kamarnya, sambil merenungi nasibnya sebagai gadis yang hidup miskin. Ia bahkan masih delapan belas tahun, remaja yang seharusnya bersenang-senang dengan teman sebayanya. Tapi ia bahkan tidak punya teman, hidupnya sibuk untuk bekerja dan mengurus adik-adiknya yang masih kecil, karena Ibunya sudah sibuk mengurus Ayahnya yang sakit. Mau tidak mau, sebagai anak sulung, Ia yang harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya.
Sang gadis merasa sangat lelah, lelah dengan hidupnya yang tidak kunjung baik, Ia seperti tidak ditakdirkan bahagia dan hidup dengan damai. Sang gadis merasa hidupnya sia-sia dan tidak akan pernah berubah. Sebesar apapun usahanya. Lantas sampai kapan Ia akan hidup seperti ini?
Kenapa Tuhan tidak memberikannya rezeki lebih?
Kenapa Tuhan tidak membiarkannya hidup dengan layak?
Kenapa Tuhan seakan-akan tidak mendengar semua doanya?
Kenapa Tuhan malah membuat Ia membenci hidupnya?
Kenapa Ia tidak mati saja agar Ia bisa bebas dari segala kesusahan hidup?
Sang gadis menghela napas dan memejamkan matanya, sungguh pikiran yang sangat kacau. Sang gadis benci ketika harus memikirkan hidupnya. Tepatnya, sang gadis benci dengan hidupnya yang tidak sempurna.
Gadis itu adalah.. Alana.
Tumblr media
2 notes · View notes
regulusky · 3 years
Text
Hujan.
Malam itu istana putih nan megah diguyur hujan yang cukup deras, menghadirkan petir yang menggelegar, serta angin yang meniupnya cukup kencang hingga membuat rambut panjang nan indah milik Tuan Puteri terkibas dengan bebas, ia merapatkan jubahnya, dan kembali meminum teh chamomile kesukaannya.
Malam itu sangat dingin, dan cukup menyeramkan, namun Tuan Puteri tampaknya justru sangat tenang dan menikmati hujan dimalam hari. Bahkan ia tidak beranjak dari tempat duduk di balkon istana.
Ia suka sekaligus benci dengan hujan.
Ia menatap hujan dengan pandangan kosong, namun di kepalanya, ia memikirkan banyak hal.
Ia senang ketika hujan datang, Ia senang mendengar suara hujan yang berisik, namun menyenangkan, karena hujan lah yang membuat Ia merasa ditemani.
Tapi Ia juga benci dengan hujan, setiap hujan datang, ingatannya pada dua tahun lalu juga ikut datang, memori kelam dan gelap yang selalu menghantuinya setiap hari, sampai hari ini. Tuan Puteri menunduk, dan menghela nafasnya pelan.
Dan terkadang, Ia juga iri..
Ia iri dengan hujan, Ia.. juga ingin seperti hujan, yang selalu bersama-sama turun, hujan tidak pernah sendiri, hujan juga tidak pernah kesepian. Hujan selalu bersama, sedangkan Tuan Puteri selalu sendiri, tidak ada yang menemani, Tuan Puteri kesepian.
Ia sangat kesepian.
Sampai kapan?
Tuan Puteri selalu bertanya, sampai kapan Ia harus sendirian dan kesepian seperti ini? Tidak ada yang mau menemaninya, dan tidak ada yang mau disampingnya.
Tuan Puteri benci hidupnya, Ia benci istananya, Ia benci semuanya. Ia juga selalu bertanya, untuk apa Ia hidup jika harus sendirian seperti ini? Apa arti hidupnya? Tuan Puteri tidak mempunyai arti hidup, Tuan Puteri tidak mempunyai tujuan hidup. Hidupnya hanya untuk menunggu kematiannya datang, Ia selalu bertanya, kapan ajalnya menjemput? Ia selalu menunggu.
Tuan Puteri itu adalah.. Renjana.
Tumblr media
1 note · View note
regulusky · 3 years
Text
Bukan hidup yang berat,
Tapi kita yang kurang kuat.
Bukan hidup yang kejam,
Tapi kita yang kalah tajam.
Bukan Tuhan yang tidak mau menolong,
Tapi kita yang seringkali sombong.
Bukan Tuhan yang tidak peduli,
Tapi kita yang sering melupai.
Tuhan, kuatkanlah aku,
hari ini, esok, dan selamanya.
0 notes
regulusky · 3 years
Text
How can we stay strong, encircled by loneliness and accompanied by emptiness?
0 notes