Tumgik
marlinayu · 2 years
Text
Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazan, wa a’udzubika minal ‘ajzi wal kasal, wa a’udzubika minal jubni wal bukhli, wa a’udzubika min ghalabatid-daini wa qahrir-rijal
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, aku berlindung kepadaMu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan bakhil, aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan orang”
Seketika doa ini berkelebat di kepala. Doa yang sering terucap setiap pagi soreku namun tak pernah kumaknai sedalam ini. Mungkin benar, kita tak akan benar-benar memaknai sesuatu sampai ia benar-benar terjadi. Doa ini nyatanya mampu menenangkan, sebab darinya ditunjukkan ada Dzat yang hanya kepadaNya kita mampu bergantung di saat sulit seperti ini.
Di tengah pandemi Covid-19, kerap kita dihadapkan pada sebuah perasaan khawatir, takut, gelisah, hingga sedih. Siapa sangka makhluk kecil tak kasat mata mampu mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia. Hadirnya yang tak pernah diduga mampu memporakporandakan dunia. Sungguh Allah telah menunjukkan kuasaNya, bahwa tanpa karunianya tak lagi berharga apa yang kita miliki di dunia. Kemudian merugilah bagi yang tak mampu mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kini nyata terbentang di depan mata.
Sebagai akibat dari kondisi ini tak ayal berbagai perasaan khawatir mulai menghinggapi. Beberapa menerjemahkannya ke dalam wujud keserakahan. Kepanikan tak mendasar mendorong sebagian orang berbelanja secara brutal macam tak ada hari esok, panic buying kami menyebutnya. Berkedok waspada tak sedikit yang kemudian lupa, bukan hanya ia satu-satunya makhluk yang hidup di dunia, bukan hanya ia yang butuh makan saat ini. Sebagian lain lebih tak manusiawi. Melihat peluang cuan yang besar, pedagang culas bersekongkol menimbun berbagai kebutuhan pokok hingga kebutuhan medis. Menaikkan harga hingga setinggi langit. Hingga tak dipedulikannya tenaga medis yang kelimpungan sebab habis ditimbun alat-alat perangnya. Berbekal peralatan seadanya disediakannya dirinya sebagai garda terdepan. Sungguh, pemandangan matinya nurani mengiringi jatuhnya satu persatu korban pandemi. Dalam kondisi genting ini nampaknya kita sedang disuguhkan sebuah sketsa wajah suram keserakahan nafsu umat manusia yang bukan hanya hadir lewat nasihat orang tua, namun nyata telah jadi realita.
Bukan hanya menyerang kesehatan, bencana ini turut melumpuhkan perekonomian masyarakat. Pasalnya, tak ada obat yang mampu menjamin keselamatan penderita dari virus ini. Upaya pencegahan menjadi yang paling mungkin dilakukan di masa ini. Physical distancing, sebuah upaya mencegahan penyebaran virus dengan membatasi aktivitas manusia ke luar rumah menyebabkan berbagai jenis pekerjaan terpincang-pincang. Bagi saya, dapat mengerjakan tugas kantor dari rumah atau work from home menjadi sebuah kemewahan. Beberapa yang tak memiliki pilihan menjadi golongan yang rentan. Penghasilan yang harus dikumpulkannya dari hari ke hari mau tak mau harus terhenti. Tak mendapat penghasilan hari itu berarti tak ada yang bisa dimakan hari itu pula. Berbagai inisiatif gerakan kemanusiaan muncul dengan bentuk beragam. Yang kemudian menyatukan segalanya adalah keyakinan untuk mampu melewati ini bersama-sama. Nyatanya sebuah angin segar di tengah penuh sesaknya nafsu duniawi manusia memberikan kabar baik bagi berjayanya kemanusiaan di atas segalanya. Lagi-lagi, Allah menunjukkan kuasaNya lewat tangan-tangan baik umatNya. Bahwa setiap yang bernyawa telah diatur rezekinya.
Akhirnya, memiliki perasaan khawatir, takut, gelisah, sedih dalam diri di kondisi seperti ini bagi saya adalah suatu hal yang wajar. Hadirnya tak perlu ditolak hanya perlu dikelola, tentunya dengan cara yang positif. Ia hadir untuk menjadi alarm bagi diri untuk terus mensyukuri sekecil apapun nikmat yang Allah beri. Bahwa bisa menghirup udara yang disediakan tanpa khawatir menjadi nikmat yang akhir-akhir ini sulit didapat. Maka benar jika seluruh air di lautan dijadikan tinta dan seluruh dahan di alam semesta menjadi penanya, tak cukup rasanya kita menuliskan seluruh nikmat yang telah Allah beri. Lalu sudahkah kita menjalankan tugas di dunia yang hanya sementara ini? Sungguh tugas mulia sebagai khilafah yang mampu menjaga bumi dari kerusakan ini nyatanya yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, dan untuk menjawabnya mari kita persiapkan amal terbaik dan jadi sebaik-baiknya umat yang bermanfaat.
0 notes
marlinayu · 2 years
Text
Waktu
“Kakak ada waktu?”
Langkahku terhenti ketika disodorkan sebuah pertanyaan yang rasanya tak lagi perlu jawaban. Kepalaku seketika mengangguk begitu saja tanpa komando, kontras dengan badan yang sangat ingin segera merebah saat itu juga. Usai menyapa calon pengajar muda di barak wanita awalnya rasanya aku hanya ingin segera merebahkan diri di kasur. Tak dipungkiri kegiatan seharian cukup menguras tenaga dan pikiranku hari itu.
Masih ada 15 menit lagi sebelum pukul 23.00. Waktu yang kami sepakati untuk mengakhiri semua kegiatan dalam sehari. Sejak awal memilih jalan ini, bukannya aku telah berjanji untuk memberikan seluruh waktuku pada mereka. Maka rasanya aku tak punya hak untuk menolak ketika permintaan itu datang. Toh hanya waktu yang bisa kuberikan. Lebih dari itu, mendengar cerita mereka, berbagi lelah dengan mereka sudah menjadi semacam kebutuhan, kebutuhan yang menyalurkan energi berkali-kali lipat usai mendengarnya. Dengan tubuh yang dipaksa tetap sigap dan mata yang tak dibiarkan mengatup sekejap pun, kami duduk berdua. Memilih bangku ujung meja makan yang jadi langganan ketika sesi coaching dilaksanakan.
Tak lama setelah duduk, ia luapkan segala yang mengganggu pikirannya. Tentang kegelisahannya tak mampu menyesuaikan diri dengan teman-teman sepenempatan, tentang kekhawatirannya tak mampu menghadapi orang-orang di penempatan di tengah sisi introvert dalam dirinya, yang berujung pada mengikisnya rasa percaya diri untuk menjalani peran sebagai pengajar muda setahun ke depan. Aku hanya diam, mencoba menyelami setiap gejolak dalam dirinya. Tak banyak yang terucap, tapi aku bisa membaca semua isi hatinya. Tepat di hadapannya rasanya aku sedang melihat diriku sendiri setahun lalu. Kekhawatiran itu, kegelisahan itu, rasanya lekat, lekat tersimpan di salah satu ruang kecil di dalam sana. Seketika pula ruang kecil itu menyeruak, menekan dada dan membangkitkan ingatan-ingatan yang sengaja kupendam rapat-rapat di depan mereka.
Menjadi fasilitator, tak seketika menafikan kenyataan bahwa aku pernah berada di posisinya. Kekhawatiran yang sama, kegelisahan serupa pernah jadi tembok imajiner yang menghalangi langkahku setahun lalu. Tanpa tedeng aling-aling di depannya pula kuceritakan segala yang kualami. Bukan sesuatu yang memalukan mengakui kelemahan diri meski saat itu aku sedang dalam posisi yang harus diteladani. Melaluinya kusampaikan bahwa ia tak sendiri. Tak ada solusi terbaik selain menghadapinya. Toh, seribu kata motivasi rasanya tak akan mampu meruntuhkan tembok imajiner yang kini ada di hadapannya. Maka percakapan malam itu ditutup dengan ribuan tanda tanya yang harus ia cari jawabannya sendiri, bukan saat ini tapi nanti.
Sebagai fasilitator tak banyak yang dapat kuberikan saat itu. Aku kembali jadi diriku yang insecure meski kini peranku sudah jauh berbeda. Tempat ini, suasana ini, tak pelak membangkitkan ingatan-ingatan yang mewarnai perjalananku di tempat ini setahun lalu. Betapa aku merasa rendah di balik bayang-bayang tinggi orang-orang di sekelilingku, meski ruang berkembang rasanya terbentang lebar saat itu. Aku terlalu kerdil untuk menyadari potensi diriku sendiri dan memilih untuk terus menjadi kerdil hingga waktu menyentuh batas akhir. Menyiakan kesempatan yang kuyakin tak datang dua kali.
Namun cerita darinya untuk kedua kali seolah mampu mendobrak tembok imajiner itu. Aku tak pernah menyesali pertemuanku dengan mereka di tempat ini. Meski aku tak tahu apakah kehadiranku cukup berarti bagi mereka, namun yang kuyakini tak ada yang lebih ampuh melegakan hati selain merasa didengar, merasa dimengerti. Maka disisa waktu yang kumiliki izinkan aku untuk bisa mendengar lebih baik lagi, memahami lebih dalam lagi.
Setengah perjalanan telah mereka lalui, enam bulan sudah berlalu sejak percakapan malam itu. Sebuah pesan darinya mewarnai malamku saat ini. Di dalam bus yang juga akan membawaku pada jawaban setiap tanda tanya yang kubuat sendiri, aku dibawanya menyelami setiap nilai yang ia petik di sepanjang perjalanan. Tentang tanda tanya yang satu persatu menemukan jawabannya, serta tembok imajiner yang satu persatu coba didobraknya. Senyumku merekah, rasanya tak ada yang lebih membahagiakan saat itu selain mendengar cerita-cerita keberhasilannya di desa. Bukan menunjukkan betapa hebatnya ia, tapi menunjukkan bahwa ia telah mampu mengalahkan ketakutan dalam dirinya, ia telah mampu menakhlukkan tembok imajiner yang menghalangi langkahnya.
Dan terima kasih sudah mempercayakanku untuk mendengar dan menjadi saksi perjalanan ini. Karena nyatanya ini bukan hanya tentang perjalanan mereka, tapi juga perjalananku. Perjalanan menaklukkan tembok imajiner yang berkali-kali menghalangi langkahku.
0 notes
marlinayu · 2 years
Text
Syarif
“Syarif udah pulang sekolah?” tanyaku sepintas ketika tak sengaja berpapasan dengannya sore itu.
Reaksi syarif membuatku bergidik menyadari bahwa sesungguhnya arti pulang sekolah bagi mereka selalu samar. Tepat lima bulan sudah aku kembali merantau, bekerja untuk sebuah NGO pendidikan seperti yang aku inginkan. Bukan organisasi besar, gajinya pun tak seberapa. Terletak di pinggiran kota, jauh dari pusat hiburan dan warung kopi masa kini yang menyediakan tempat nongkrong berkelas, yang ketika bosan dengan pekerjaan langsung bisa melampiaskannya ketika keluar kantor. Fasilitas yang disediakan pun tak semewah kantor lain di ibukota. Alih-alih menempati gedung pencakar langit layaknya kantor-kantor di Jakarta lengkap dengan fasilitas mewah bahkan hingga di kamar mandinya, kantor kami terletak di dalam sebuah sekolah berasrama. Jujur saja, aku masih kerap merindukan suasana ibu kota yang menyediakan banyak pilihan hiburan. Namun lamunan itu seketika buyar ketika membayangkan kenyataan yang harus aku alami setiap paginya jika benar-benar bekerja di Jakarta.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, hari-hari kami dikelilingi suasana anak sekolah yang mondar-mandir di tengah hiruk pikuk pekerjaan yang menuntut kaki dan otak berjalan cepat. Alasan itu pula yang membuat peraturan di kantor kami sedikit berbeda seperti kantor-kantor lain. Perilaku, ucapan, hingga cara berpakaian diatur ketat. Meski tak sampai membuat karyawan yang melanggarnya dipecat, tak jarang peringatan hingga pandangan tak menyenangkan terlontar bagi siapapun yang melanggarnya. Bagi orang-orang yang berbeda dengan lingkungan di tempat ini, bisa jadi aturan-aturan tersebut tentu membuatnya tak nyaman dengan tidak menjadi dirinya sendiri. Tak jarang kebosanan melanda ketika lingkungan kerja dirasa tak mampu menjadi tempat meluapkan ekspresi.
Tapi apakah ada hal yang lebih membosankan daripada tidak bisa menjadi diri sendiri? Selintas pikiran itu muncul usai pertemuan singkat hari ini dengan Syarif. Menginjak di tahun keempatnya bersekolah di tempat ini dengan segala aturan yang mengekangnya untuk mengenal dunia luar, rasa-rasanya kebosanan yang melandaku tak ada seujung kuku pun dibanding yang dialaminya. Bisa jadi hal yang lebih membosankan dari tak mampu menjadi diri sendiri adalah ketika seseorang tidak berhak memiliki hidupnya sendiri. Rasanya inilah yang dirasakan anak-anak di sekolah ini. Hidup 24 jam sehari di dalam asrama yang tak cukup luas untuk menampung segala keingintahuan dan jiwa petualang mereka membuat rasanya hidup begitu membosankan. Peraturan yang mau tak mau harus dijalaninya membuat mereka terkungkung dalam rutinitas yang sama setiap harinya. Masihkah ia memiliki hidupnya sendiri? Lalu apa arti kebebasan bagi diri mereka? Tak jarang rasa iba muncul di benak kami, tak terbayang hidup seperti mereka yang masa remajanya diisi dengan peraturan ketat yang tak mengizinkannya ini itu.
Sedetik kemudian aku terhenti, bertanya pada diriku sendiri. Lalu bagaimana jika keadaannya dibalik? Apa jadinya ketika mereka dibiarkan hidup di luar tanpa aturan. Bagiku yang terlahir dengan lingkungan kondusif, bersekolah sudah menjadi sekadar rutinitas. Bukan sebuah keistimewaan ketika aku bisa bersekolah hingga mendapat gelar sarjana. Lalu bagaimana dengan mereka. Tak jarang perasaan miris menyelimuti hati kami ketika mendengar cerita perjalanan anak-anak ini untuk bisa mengenyam pendidikan hingga di tingkat ini. Berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan latar belakang beragam menjadikan sekolah sebagai barang mewah. Lingkungan keluarga yang kurang mendukung, sarana pendidikan yang sulit dijangkau, hingga pergaulan bebas yang bisa saja menarik mereka dalam lingkaran gelap menjadikan sekolah menjadi layaknya penyelamat. Ditambah kondisi remaja hari ini yang rasanya semakin mencemaskan, tawuran, seks bebas hingga narkoba yang menjangkiti kalangan remaja Indonesia menjadi obrolan hangat di warung kopi hingga kursi menteri. Nyatanya mereka yang diberi kebebasan justru tak mampu mendefinisikan kebebasan itu sebagaimana mestinya.
Maka tak heran jika peraturan ketat di sekolah ini diterapkan. Dengan berbagai peraturan, di sekolah inilah mereka dibina. Tak cukup hanya ilmu pengetahuan, ilmu agama dan kepemimpinan dikuatkan. Tak heran jika kedisiplinan jadi kunci keberhasilan upaya ini. Menanamkan harapan bagi lilin-lilin yang akan menjadi penerang bagi kegelapan di sekitarnya kelak. Tak berlebihan jika dikatakan seorang pemimpin lahir dari tajamnya kerikil dan jalanan berduri yang mewarnai perjalanannya.
Nyatanya aturan menjadi layaknya dua sisi mata pisau yang dalam satu waktu bisa melukai sekaligus melindungi seseorang dari ancaman, bergantung pada bagaimana sudut pandang orang melihatnya dan bagaimana seseorang mampu mempertanggungjawabkan aturan dalam hidupnya.
0 notes
marlinayu · 2 years
Text
Passion
Ada yang sudah nyaman dengan posisi di kantornya, merasa aman dengan finansialnya, mampu membiayai gaya hidupnya, namun diam-diam ia merasa ada yang kosong dalam dirinya. Katanya pekerjaan yang dilakukannya tidak sesuai passion.
Setahun lalu rasanya aku jadi orang paling beruntung. Meski tak bisa memiliki segala yang orang lain miliki, setidaknya aku merasa berada di pekerjaan yang tepat, sesuai passion katanya.
Lalu setahun kemudian passion jadi pertanyaan ketika justru setahunku yang sudah berlalu habis untuk keluhan, perasaan tidak nyaman, dan  sakit hati yang terpendam. Seketika kurasakan sebuah kekosongan di dalam sana. Belakangan aku tahu ternyata perasaan itu bersabab dari rasa tinggi hati yang sedikit demi sedikit menggerus sesuatu yang kunamakan passion. Aku yang merasa sudah berbuat banyak nyatanya tak pernah melakukan apa-apa.
Aku memang sempat membanggakan pekerjaanku saat ini, bekerja di dunia pendidikan seperti yang kuingini. Jika kamu mengenalku maka kamu akan tahu betapa aku mencintai dunia ini. Banyak ilmu baru yang kudapat, tempat baru yang kuinjak, dan pertemuan-pertemuan baru yang memberi pelajaran. Namun nyatanya segala hal baik ini tak serta merta membuatku semakin baik. Hari ke hari tak hanya performa pekerjaanku yang menurun, semangat pun rasanya hilang dari pandanganku. Datang telat, tidak produktif di jam kerja, dan banyak bercanda sudah menjadi keseharianku yang hampir jadi budaya.
Di titik ini rasanya kata passion yang aku agungkan menjadi tak lagi berarti. Aku mulai curiga jangan-jangan aku berlindung di balik kata passion yang membuatku tak lagi ingin belajar. Di titik ini pikiranku mulai meracau, mengutuki diri akan ketidakmampuanku mengakui kelemahanku ini –aku memang sulit berlapang dada akan kritikan, yang bahkan datang dari diriku sendiri.
Akhirnya aku menyadari passion bukan sekadar kata benda yang di dalamnya menggantung perasaan nyaman melakukan sesuatu yang disuka. Sebaliknya, passion harusnya dimaknai sebagai sebuah kata kerja, yang bersamanya mengandung arti melakukan sesuatu dengan gairah terus belajar dan mengerjakannya sepenuh hati untuk mencapai hasil yang optimal. Nyatanya aku dilenakan oleh definisi pertama yang membuatku tak ingin bertumbuh dan justru memilih bertahan di posisi yang sama dalam waktu lama. Layaknya bayi di masa pertumbuhan, ia tak akan pernah bisa berjalan jika ia telah nyaman hanya dengan merasa cukup dengan merangkak. Dan sudah semestinya bekerja memang harus dengan passion, bukan sekadar sesuai passion.
Refleksi menjelang setahun
Februari 2019
0 notes
marlinayu · 6 years
Text
Bom Waktu yang Meledak
Teng teng teng!
Lonceng tiga kali dibunyikan, menandai berakhirnya kelas hari ini. Diiringi anak-anak yang mulai berhambur meninggalkan kelas. Masih ada lima belas menit lagi sebelum jam pulang. Kelasku masih ramai, pelajaran masih seru ingin diteruskan tak ingin disudahi sebelum soal menemukan jawaban. Hingga jarum tepat di angka dua belas, kelas kami bubarkan, tentu dengan sebelumnya menjawab pertanyaan perkalian yang jadi syarat pulang. Dengan langkah gontai akibat lelah seusai mengajar, aku berjalan menuju ruang guru yang berada di seberang. Betapa kagetnya ketika mendapati ruang guru telah terkunci. Sedang tas dan beberapa barang yang kubawa masih ada di dalamnya. Kocar-kacir aku dibuatnya, mencari letak kunci yang tak tahu dimana mereka meletakkannya. Dari seberang seorang berjalan ke arahku. Membawa tas di tangannya. Sepertinya tak asing, tas ransel hitam dengan kantong di depannya. Tepat! Itu tas yang kucari. Rupanya sejak tadi ia menungguku selesai mengajar. Membawa tas dan barang-barangku yang ia amankan sebelum mengunci ruangan.
***
Brakkk!
Sebuah suara mengagetkanku yang sejak tadi sedang berjibaku di balik rumput sekolah yang kini bagai padang ilalang. Rumput tinggi tak beraturan jadi pemandangan sejak kepala sekolah tak lagi membawa pemotong rumput ke sekolahan. Katanya anggaran tak cukup membeli solar. Pandanganku mengitar mengelilingi lapangan mencari sumber suara. Kudapati kerumunan di sudut lapangan, tak yakin apa dan siapa yang sedang berada di dalamnya. Kutinggalkan sapu yang sedari tadi ada di genggamanku, menuju kerumunan yang kini semakin ramai. Sebuah kepalan tangan melayang di udara tepat berada di hadapanku ketika berhasil membelah keramaian.
***
Ugi, si pemilik kepalan yang telah berhasil membuat bonyok teman sekelasnya. Ia juga yang kudapati menungguku tiap pulang sekolah di depan ruang guru. Kejadian hari ini memang membuatku tak percaya. Aku tak pernah melihat Ugi semerah ini wajahnya dipenuhi amarah. Lalu bayangan Ugi yang tiap pagi membantu temannya membawa air ke kelas untuk mengepel ruangan melintas di pikiran. Kuhela napas. Tak percaya mereka yang sedang disidang di hadapan kami adalah anak-anak biasa kulihat menenteng ember berdua dengan tawa riang.
Kata guru-guru ini bukan pertama kalinya kepalan tangan itu mendarat di pipi orang. Meski baik hati anak ini juga dikenal pemarah. Tahun sebelumnya bahkan ia sampai berani bertengkar dengan kakak kelasnya dengan badan yang lebih besar darinya. Tak bisa kubayangkan badan sekecil itu punya kekuatan yang begitu besar untuk berkelahi dan mendaratkan bogem mentah ke tubuh lawannya.
Sumber dari kemarahan Ugi kami ketahui setelah keduanya kami dudukkan di ruang guru. Masih dengan muka merah yang dipenuhi amarah seusai memukul teman di sampingnya, Ugi bercerita. Sedang Dodi, teman berkelahinya tak berhenti menangis, entah karena ketakutan atau kesakitan usai mendapatkan pukulan dari Ugi. Amarahnya memuncak ketika mendengar perkataan yang melukai hatinya saat sedang sama-sama bercanda sambil membersihkan halaman kelas, itu yang kami tangkap dari ceritanya. Meski keduanya sempat beradu mulut, akhirnya pertikaian berhasil didamaikan. Wajah Ugi yang memerah mulai perlahan hilang, ia tak lagi menunjukkan kemarahannya. Beruntung tak ada yang terluka parah. Meski kami tak memanggil orang tua mereka datang, kabar perkelahian ini akan segera menyebar seantero talang. Dan yang kami lakukan hanya mengingatkan, berharap kejadian ini tak terulang.
Meski prestasinya di kelas tak begitu menonjol, Ugi selalu diandalkan menjadi pemimpin di berbagai kegiatan. Ketua kelas, ketua regu pramuka hingga ketua gerak jalan jadi gelar yang selalu disandangnya. Membuatnya menjadi sosok pemimpin yang disegani teman-temannya. Ia juga jadi pemukul bola terjauh di lapangan rounders, atau jadi yang paling berani meloncat dari atas tebing ke sungai dengan berbagai gaya, atau yang sangat terampil membuat pancing dari ranting pohon dan mendapatkan ikan paling banyak. Lain hari saya melihatnya membawa batang pohon yang ditebangnya sendiri dari hutan dan membuatnya menjadi tiang tenda ketika kemah akhir tahun dilaksanakan. Kecerdasan kinestetik dan naturalis yang kental dalam dirinya membuatnya unggul di kegiatan olahraga dan alam. Tak jarang saya memanfaatkannya untuk belajar, tebak-tebakan di sepanjang perjalanan memancing jadi aktivitas yang tak pernah terlewatkan. Lebih dari itu, Ugi tak pernah segan membantu teman-temannya yang kesulitan, mencari janur ketika ujian menganyam hingga mencari kayu di hutan untuk api unggun ketika kemah di lapangan. Bagai bom waktu, Ugi seorang anak yang penuh ketulusan di dalam dirinya ternyata menyimpan energi luar biasa yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Hingga berakhirnya masa penugasan, perkelahian ini jadi yang pertama dan terakhir baginya. Berkali kami ingatkan untuk mengontrol emosinya. Ugi kembali menjadi anak baik hati yang selalu tulus membantu teman-temannya. Ia masih jadi yang setia menungguku seusai mengajar dan membawakan barang-barangku seperti hari-hari sebelumnya. Hubungannya dengan Dodi pun membaik sehari setelah pertikaian itu terjadi. Keduanya telah saling memaafkan bahkan sebelum diminta. Terkadang aku dibuat malu melihat anak-anak yang begitu mudah memaafkan, sedang orang dewasa terlalu sibuk menyimpan dendam hingga berlarut-larut tanpa menyelesaikan masalah.
0 notes
marlinayu · 6 years
Text
Indonesia Mengajar : Bertumbuh Bersama
Tumblr media
Matahari masih mengintip malu di balik pepohonan hutan gunung burangrang ketika saya bangun pagi itu, sedang dingin udara pagi menusuk hingga ke tulang memaksa diri untuk terus bergerak. Membawa saya mengambil air wudhu di sumber mata air tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Kami harus bergegas, sebab pagi ini akan berlangsung upacara yang telah kami nanti. Mengelilingi api unggun kami melingkar, menanti momen sakral yang jadi awal perjalanan 39 orang Pengajar Muda angkatan XV.
Menjadi fasilitator untuk pelatihan intensif calon Pengajar muda angkatan XV jadi salah satu langkah besar dalam hidup saya. 21.376 pendaftar bukanlah angka yang kecil, memecahkan rekor pendaftar terbanyak sejauh perjalanan Indonesia Mengajar. Tak lebih dari 0,2% kesempatan mereka untuk menjadi 40 orang Calon Pengajar Muda yang dicari. Tentu yang terpilih memanglah pemuda-pemuda hebat dari seluruh Indonesia. Kalau boleh meminjam kalimat yang sering jadi bahan bercandaan kami di PM XII, gelar ‘Pemuda Terbaik Bangsa’ agaknya tidak berlebihan disematkan pada mereka. Akhirnya fakta itu tak jarang membuat saya berpikir ulang. Seberapa yakin saya mampu membersamai mereka bertumbuh 6 minggu ke depan? Sedang kemampuan saya mungkin tak sebanding dengan orang-orang yang akan saya dampingi nanti. Kembali pada tujuan awal, belajar jadi alasan saya memilih jalan ini. Dengan mengumpulkan segenap keyakinan saya mantapkan hati saya untuk meniti jalan yang telah saya pilih untuk menjadi bagian mereka bertumbuh di pelatihan intensif Calon Pengajar Muda angkatan XV ini.
Tentu tugas berat ini tidak kami persiapkan dengan biasa saja. Enam hari workshop kami jalani untuk mempersiapkan diri. Berbagai ilmu baru kami dapatkan, tak jarang kami harus merecall memori akan materi pelatihan yang kami dapatkan setahun lalu. Dan benar, semakin banyak yang saya tahu semakin saya merasa miskin, belajar lagi dan lagi jadi kesempatan yang tidak akan saya sia-siakan.
16 Oktober 2017 jadi pertemuan pertama kami dengan 40 orang Calon Pengajar Muda XV. Rombongan CPM XV yang telah disambut di Jakarta sebelumnya tiba di Jatiluhur. Menginjakkan kaki pertama kali di camp pelatihan dengan pemandangan indah waduk jatiluhur yang turun temurun jadi tempat tumbuhnya para Pengajar Muda pendahulu. Tinggal bersama dalam satu barak, berbagi hidup dan lelah bersama selama 6 minggu ke depan. Waktu perkenalan dimanfaatkan dengan saling mengakrabkan diri satu sama lain sebelum hidup bersama selama 6 minggu ke depan di tempat ini.
Datang dengan berbagai latar belakang, membuat masing-masing dari mereka unik. Tak jarang latar belakang ini juga yang mempengaruhi mereka dalam bersikap. Tidak dipungkiri bahwa tidak semuanya datang dengan gelas siap diisi. Melalui pembiasaan, nilai respek dan rendah hati disampaikan. Selama 6 minggu pula mereka mendapatkan berbagai materi pedagogi, metode belajar kreatif hingga pelibatan masyarakat yang cukup menjadi bekal mereka di penempatan. Wajah-wajah yang menegang ketika mendapati materi-materi yang sulit, gelak tawa mereka ketika bernyanyi riang di sela break, jerit ketakutan di adaptasi budaya, juga tangis haru yang pecah ketika pengumuman penempatan mewarnai hari-hari mereka selama 6 minggu di pelatihan. Tantangan bertahan di hari yang sempit yang serasa terus menjepit dengan berbagai tugas angkatan maupun individu pun berhasil mereka takhlukkan. Lalu di akhir masa pelatihan, kembali tangis haru pecah ketika harus merelakan satu orang menyudahi perjalanannya di Indonesia Mengajar. Keputusan sulit bagi semuanya. Namun kami percaya Tuhan telah mempersiapkan rencana yang lebih baik untuknya.
Bersama mereka hampir 24 jam sehari, kami beruntung menyaksikan setiap momen berharga mereka selama di pelatihan. Tak luput dari kami untuk memantau perkembangan mereka satu persatu. Apresiasi dan suntikan semangat juga tak pernah lupa kami sampaikan melalui love box—yang kami namai “Goeboek Cinta” maupun jurnal yang mereka kumpulkan tiap minggunya. Enam minggu kami jadi saksi mereka bertumbuh. Mereka yang kami lihat di akhir masa pelatihan, telah jauh bertumbuh dari mereka yang kami lihat pertama kali di tempat ini 6 minggu lalu. Tapi bukan hanya menyaksikan mereka bertumbuh, saya turut menyaksikan diri saya bertumbuh bersama selama mendampingi mereka 6 minggu di pelatihan.
***
Barisan berseragam PDL lengkap dengan carrier setinggi setengah badan berlari kecil memasuki lapangan upacara. Terlihat letih di wajah mereka yang selama 4 hari bertahan hidup di hutan dengan makanan seadanya. Upacara dibuka dengan sambutan dari Kak Haiva, sekaligus resmi melantik mereka sebagai Pengajar Muda XV, menggugurkan kata Calon di depannya. Tak banyak kata yang terucap. Lagu Bagimu Negeri dinyanyikan lirih, mengiringi khidmat yang tercipta ketika bendera merah putih raksasa menyentuh kepala mereka. Satu persatu maju ke depan, mencium dan mendekap merah putih di dadanya sembari mengikrar janji yang disaksikan langit pagi gunung burangrang yang teduh kala itu. Mengiringi penyematan lencana di dada mereka, menandai tersematnya pula tanggung jawab baru sebagai Pengajar Muda.
  Selamat bertugas Pengajar Muda XV!
0 notes
marlinayu · 7 years
Text
Hujan di Ujung Pagi
Hujan mengguyur talang kami sejak dini hari. Deras tak berhenti. Awan kelabu menggantung, serasa akan runtuh. Menitikkan air yang turun tanpa ampun. Menyambut rindu daun pada air yang telah lama dinanti. Semerbak bau tanah dan ranting yang basah menyapa pagi yang berbeda, pagi pertama di musim penghujan tahun ini. Basah dan dingin menahan selimut untuk disingkap, membuat orang-orang enggan beranjak. Di lantai dua rumah panggung ini aku sudah bangun sejak tadi, melipat selimut dan juga mandi. Di bawah mbah wedok dan mbah kakung menikmati pagi berdua, bersama kopi dan juga roti. Ah, pagi yang sempurna di kala senja mereka berdua.
Pagi biasanya kulihat mbah telah berangkat ke kebun sejak dini hari, menyadap karet untuk bekal semingguan. Begitu juga bagi warga di talang ini. Tapi tidak hari ini. Hujan menjaga mereka tetap di rumah, meninggalkan kebun yang basah. Saat hujan memang pohon karet tak bisa disadap, akan cepat rusak katanya. Alam memang selalu punya cara indah untuk menjaga diri dari eksploitasi dan ketamakan manusia.
Pukul 7, kuraih tas ransel yang kini mulai usang. Jalanan tanah yang kulalui setiap pagi ke sekolah terlihat lengang, tak seperti biasa. Bak kelelawar yang keluar di kala senja, dengan mantel hujan yang kubeli saat pelatihan dan sepatu di tangan aku menyusuri jalan berlumpur dan berbatu yang tertutup air hingga seujung mata kaki. Sengaja kulambatkan langkah, berhati-hati, jangan saja terpeleset, jatuh dan kemudian berakhir dengan basah kuyup ke sekolah. Namun sejujurnya ada kekhawatiran yang lebih dari sekadar terpeleset di jalan, kekhawatiran akan apa yang akan aku lihat di sekolah nanti. Akankah murid-murid datang dengan hujan sederas ini? Bagaimana dengan bapak ibu guru, bisakah mereka masuk, atau mungkin mereka tengah terperosok di jalan becek di tengah kebun sana? Kupercepat langkah, tak peduli kecipak air membasahi setengah bagian rokku, tak sabar tiba di sekolah.
“Bu Lina!” teriak seorang anak tersenyum ke arahku sembari melambaikan tangan ketika aku tiba di depan gerbang bambu sekolah.
Ah, rupanya Shinta, siswi kelas 6 di SD kami. Melegakan melihatnya datang ke sekolah pagi ini. Satu jam perjalanan dari rumah ditambah harus melewati jalan tanah yang semakin sulit dilewati ketika hujan membuat perjalanan ke sekolah menjadi tidak menyenangkan. Tapi beruntungnya ia tetap datang.
Dari tempat aku berdiri aku melihat anak-anak membawa air dalam ember, menyiram dan kemudian mengepel halaman kelas masing-masing. Terpeleset dan tersungkur di lantai yang licin berkali-kali tak ayal membuat badan mereka babak belur, pun dengan baju mereka yang basah kuyup dibuatnya. Alih-alih kesakitan kegiatan itu justru memicu tawa setiap orang. Hingga diulangnya berkali-kali untuk memicu kelakar yang lebih besar. Ah, begitu sederhana untuk bisa bahagia ya Nak.
“Bu, sini!” sebuah panggilan dari suara yang tak asing menyadarkanku yang sejak tadi terpaku di depan gerbang sekolah.  Orang itu membawa air dari belakang sekolah, membantu anak-anak menyiram lantai halaman kelas. Aku baru saja akan menyapanya ketika kakinya tak sengaja terpeleset di lantai keramik licin yang sontak memicu kehebohan anak-anak yang melihatnya. Meski tak sampai terjatuh, kejadian terpeleset yang baru saja mencipta kelakar tanpa henti bagi anak-anak. Dan setelah ini ‘Pak Sandi kepeleset’ jadi topik yang akan terus dibicarakan anak-anak seharian.  
Tanpa pikir panjang, usai meletakkan barang-barang di dalam ruang guru, aku membaur bersama tawa mereka, meraih sapu dan bermain air bersama anak-anak. Siapa sangka hujan pertama di musim ini membawa keceriaan bagi kami. Kekhawatiran tentang anak-anak yang urung berangkat sekolah akibat hujan sirna seketika. Nyatanya hujan tak jadi alasan untuk mereka tetap datang ke sekolah, meski banyak alasan untuk tetap tinggal di rumah di tengah hujan lebat seperti ini.
Hujan telah berhenti. Lonceng dipukul tiga kali, pertanda kelas siap dimulai. Dari kejauhan satu persatu motor guru yang usai berjuang melewati berbagai rintangan untuk tiba di sekolah mulai terlihat. Terjerembab di lumpur, terperosok di air, hingga terpelanting di jalan licin telah dilalui, demi bertemu senyum anak-anak yang kini telah menunggu bapak ibu gurunya di dalam kelas. Sungguh, ketulusan yang membawa langkah mereka untuk tetap datang ke sekolah setiap paginya selalu mampu merekahkan senyum dan juga kebanggaan pernah menjadi bagian dari mereka setahun ini.
0 notes
marlinayu · 7 years
Text
Memilih Mencintai
Kemeja tua, celana panjang dan juga sepatu. Ada pemandangan berbeda yang saya lihat pada Mbah kakung pagi ini. Selain ia yang tak pergi nakok, penampilannya juga sangat berbeda dari hari biasanya. Jujur saja mbah kakung terlihat lebih muda dengan setelan ini. Dengan motor kebun yang selalu menemaninya kemana-mana, ia membonceng ines dan saya di belakangnya.
Ternyata pemandangan yang berbeda bukan hanya terlihat dari mbah kakung. Ketika keluar rumah saya menjumpai warga berjalan menuju sekolah, menyapa kami dengan hangat yang selalu sama, dengan setelan rapi dan pakaian terbaik yang mereka punya. Meninggalkan kebun dan segala rutinitas paginya. Aneh memang. Jarang sekali warga meninggalkan kebunnya. Tak berkebun sehari berarti  berkurang pula penghasilan mereka dalam seminggu ini. Tapi semuanya dilakukan demi menghadiri upacara di sekolah pagi itu. Benar saja, setibanya di sekolah warga telah ramai memadati lapangan, berbaris rapi bersama barisan merah putih di sampingnya, merayakan kemerdekaan dengan upacara bendera.
Lain hari saya melihat bak-bak kayu berisi diangkat tanpa beban, hasil menyadap semingguan. Saya tahu itu tak mudah, terlihat dari keringat yang mengucur sebesar biji jagung yang mengalir di keningnya. Atau otot yang menegang ketika bak itu tiba di atas timbangan. Lalu di tangan para tengkulak lelah itu menjadi begitu tak berharga. Harga karet sedang anjlok, katanya. Tapi mau bagaimana lagi, mengelus dada dan berharap uang yang didapat hari itu akan cukup untuk makan seminggu ke depan jadi satu-satunya yang bisa dilakukan. Lagi lagi, mereka hanya petani di pedalaman.
Lalu tiba-tiba ada sebuah tanda tanya besar menyelimuti hati saya saat itu. Mengapa mereka masih memilih untuk terus mencintai negara ini? Bukankah banyak alasan untuk membenci. Akses yang sulit, listrik yang belum tersedia dan kesulitan-kesulitan lain membuat pilihan untuk mengeluh menjadi semakin luas. Beruntungnya mereka memilih untuk tetap berjalan, melakukan apa saja yang mereka bisa lakukan. Tanpa pernah mengeluh dan bertanya kemana keadilan.
Indonesia Raya
Merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sebelumnya tak terbayang oleh saya akan merayakan kemerdekaan bersama warga di talang ini. Merayakannya bersama mereka, meski tanpa kemewahan membuat saya bersyukur berkali-kali lipat. Dulu, upacara jadi rutinitas yang paling saya benci, ketika harus berdiri di tengah lapangan menantang matahari. Tapi tidak untuk hari itu. Barisan warga dan anak-anak yang berdiri menghadap merah putih di depan saya kala itu berhasil membuktikan rasa cinta paling tulus seorang warga pada ibu pertiwi, rasa cinta tanpa syarat dan isyarat pada Indonesia.
Merah putih kini telah tiba di peraduan, dengan nada sumbang lagu Indonesia Raya diiringkan. Dengungnya memang tak sampai menggetarkan bumi, tapi ia mampu menggetarkan hati-hati kami. Kemudian, menjadi merdeka adalah pilihan. Maka merdeka bagi mereka sesederhana bisa bangun di ujung pagi, meraih pahat untuk menyambung hidup dan juga menyambung mimpi anak-anak kami untuk bisa bebas meraih cita-citanya nanti.
Talang Lugur, 17 Agustus 2016
Setahun yang lalu ketika mencintai menjadi begitu sederhana.
0 notes
marlinayu · 7 years
Text
Untuk Mila
Tumblr media
Dear Mila,
 Jangan berdiri di depanku karena ku bukan pengikut yang baik Jangan berdiri di belakangku karena ku bukan pemimpin yang baik Berdirilah di sampingku sebagai kawan
(Lagu: Ananda Badudu; Lirik: Disampaikan di sebuah orasi oleh Adhito Harinugroho. Konon kutipan tersebut pertama kali diucapkan oleh Albert Camus)
Pukul 3 dini hari. Ia masih disana, di tempat yang sama. Dengan laptop di depannya dan tumpukan buku yang belum selesai ia baca. Kasurnya masih tertata rapi, tandanya ia belum tidur malam ini. Hari-hari sebelumnya beberapa kali saya ikut bangun untuk menemaninya. Berbagi meja dengannya, tenggelam dalam dunia yang berbeda. Tapi malam itu saya hanya bisa menggeliat di kasur dan menarik selimut lebih dalam, tak sanggup mengangkat badan yang kelelahan usai beraktivitas seharian.
Adalah Mila. Seorang pemimpi ulung, bukan bahkan ia tak pernah tidur. Tapi bagi saya Mila tetaplah pemimpi, pemimpi yang memilih untuk terus bangun mengejar mimpinya. Dan benar pemimpi itu kini telah berhasil meraihnya. Saya tak pernah gagal dibuatnya kagum. Mila, teman berbagi kamar dan juga berbagi hidup selama ini.
Mila memang selalu tidak nyenyak tidur di malam hari, apalagi sejak ia berkenalan dengan PKM. Begitulah Mila, selain terkenal sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi, sosok Mila dikenal di kalangan akademisi lewat PKM. Entah di semester ke berapa, karya PKM yang dirancang bersama teman-temannya berhasil jadi salah satu yang didanai. Kontan membuatnya semakin sibuk dari biasanya. Sabtu minggunya tak pernah dibiarkannya terbuang sia-sia, perjalanan Depok-Garut jadi rutinitasnya. Begitu pun dengan saya, satu per satu kegiatan mulai menyita waktu. Waktu bersama pun jadi begitu langka. Meski begitu, kami selalu punya waktu untuk saling berbagi cerita.
“Aku pengen ajak kamu sama Iin ke Garut deh, indah banget tempatnya”
Katanya waktu itu. Memang, kami selalu punya hal indah untuk saling dibagi. Sayang hingga kini janji itu tertelan waktu, belum sempat terlaksana.
Siapa sangka pintu ini membuka banyak pintu-pintu lainnya bagi Mila. PKM-nya lolos Pimnas dan membawanya menyebrang pulau Jawa, ke Lombok. Bahkan membawanya pada salah satu titik membahagiakan dalam hidupnya (untuk hal ini biar kami yang tahu). Tidak hanya sampai disitu, mengabdikan diri untuk prestasi UI di Pimnas jadi jalan yang dipilihnya usai pulang dari Pimnas. Sambil menata mimpinya, ia turut menata sistem untuk ikhtiar ini. Keren bukan!
Prestasinya yang gemilang di kampus tak membuatnya menjadi Mila yang berbeda untuk kami, saya dan Insya. Mila tetaplah jadi Mila kami yang apa adanya, dengan hati yang luar biasa besar. Mila tetap jadi manusia biasa di depan kami, tanpa pretensi dan tedeng aling-aling, manusia yang bisa sakit dan juga kecewa. Ketika sedang berada di titik ini, Mila yang tak pernah nyenyak tidur menjadi begitu dalam mengubur sakit dalam tidurnya. Saat seperti itu kami tahu ia sedang kecewa. Menjadi begitu menyakitkan karena kami tak mampu berbuat apa-apa, sedang ia selalu mampu berbuat banyak hal kala kami sedih. Ia hanya butuh sendiri, menyembuhkan dirinya sendiri dan bersembunyi di balik senyum yang kami tahu begitu sulit dilakukan manusia biasa. Sungguh baru kali ini saya menemukan manusia dengan hati yang tak hanya lembut tapi juga kuat sekuat baja. Ada kekuatan yang membuatnya selalu bisa menahan luka apapun dalam hidupnya, dan kami tahu tidak mudah ada di posisinya.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah : 7)
Lalu, segala kebaikan itu seakan berotasi. Benar, Allah tak pernah bohong. Untuk setiap kebaikan dan ikhtiar yang ia lakukan Allah ganjar dengan kebaikan berkali-kali lipat. Ia lulus dengan sempurna, mendahului kami yang masih keteteran dengan segala kegiatan sebagai mahasiswa. Pun kelulusannya tak membuat ia pergi dari kami. Lagi, ia selalu ada untuk kami apapun kondisinya. Memiliki Mila di saat terpuruk selalu menenangkan bagi kami. Entah, ia layaknya perpanjangan tangan semesta yang selalu mampu memberi jawaban untuk setiap kebuntuan kami.
“Usaha tak pernah mengkhianati hasil”
Utopis kedengarannya. Tapi Mila adalah bukti untuk setiap keutopisan dalam hidup ini. Usahanya meraih mimpinya memang benar-benar tidak sia-sia. Ingat siapa yang saya lihat ketika saya tak sengaja terbangun di tengah malam, atau yang tetap terjaga ketika yang lain memilih tidur untuk terus bermimpi, atau yang menahan lelahnya belajar ketika yang lain menyerah. Ialah Mila, Mila yang melakukan semua yang tak mungkin dilakukan kebanyakan orang. Kini lewat LPDP mimpi itu jadi nyata, mimpi untuk menginjakkan kaki di Eropa, Belanda jadi negara yang dipilihnya. Bukan hanya sampai disana, Mila bermimpi jauh lebih dari itu. Bermimpi untuk para tuna wicara dan berusaha mencari jawaban akan masalah mereka di negeri Van Orange ini, iya! ini yang tak pernah orang lain bayangkan akan terpikirkan. Sekali lagi, saya kagum cara dia berpikir, saya kagum cara dia melihat dunia jauh lebih luas dari apa yang bisa orang lihat dari matanya.
Lalu, setahun ke belakang menjadi begitu berbeda tanpa Mila bersama saya. Waktu menelan hidup kami masing-masing dalam gulungan aktivitas yang membuat kami semakin jauh. Jauh yang saya bayangkan dulu tak ada seujung kuku pun dari jauh yang sama-sama kita rasakan, kan Mil? Nyatanya jauh memang bukan hanya tentang geografis, tapi juga tentang prioritas. Ada sesak yang tiba-tiba datang saat saya tiba di titik ini. Sesak tak sempat menemuinya sebelum ia pergi. Tapi kami sama-sama yakin, jauhnya kami sama-sama di jalan juang, berjuang mewujudkan mimpi kami masing-masing. Mungkin bukan saat ini waktu kami bertemu, bisa jadi nanti dimana pun kaki kami membawa. Pun kami sama-sama yakin, hati-hati kami tetap menyatu sejauh apapun jaraknya, iya kan Mil?
Maka tulisan ini semoga bisa menghantarkanmu kesana. Lalu ketika jika saja nanti ada kerikil yang menghalangi jalanmu, atau belenggu yang memberatkan langkahmu ingatlah kembali apa-apa yang telah kamu lewati untuk tiba di titik ini. Untuk benteng yang berhasil kamu hancurkan dan jurang yang berhasil kamu takhlukkan, kamu pantas ada disana saat ini, kamu layak bahagia dengan pilihanmu. Juga, yakinlah kamu selalu punya tangan-tangan kami, bahu-bahu kami, dan hati-hati kami yang menunggumu di tanah air. Kamu masih punya doa-doa kami yang mungkin tak sampai ke negeri kincir angin tempatmu berada, tapi kami yakin pasti sampai ke hati.
 Adalah kami, yang bahagia pernah memiliki Mila di samping kami dan selalu memiliki Mila di hati kami.
Kediri, 14 Agustus 2017
1:05 AM
0 notes
marlinayu · 7 years
Text
Titik Balik
Tumblr media
Bilur embun di punggung rerumputan
Langit biru kapas awan sapa burung berbalasan
Bisik daun dihembus angin nan pelan
Senandungkan lagu alam menyambut mu tiap hari menjelang
Matahari pagi, hangat dan menerangi
Dunia yang gelap hati yang dingin
Perlahan berganti menjadi bahagia
(Matahari Pagi – Banda  Neira)
 Pernahkah kamu merasa tiba-tiba badanmu panas, rasanya seperti seluruh darah memuncak di ubun-ubun ketika harus mengumpulkan keberanian tunjuk tangan di dalam kelas, atau mulutmu kelu meski apa yang kamu mau sudah tiba di ujung bibir ketika harus mengungkapkan isi kepalamu di depan banyak orang?
Tumbuh jadi anak yang pemalu, atau bisa jadi tak punya nyali membuat hidup saya tak begitu menyenangkan dulu. Ketika masih sekolah butuh kekuatan besar untuk menunjukkan hasil karya saya di depan orang banyak, bahkan untuk sekadar tunjuk tangan di kelas. Parahnya, saya sempat menarik diri dari lingkungan atau pandangan-pandangan yang membuat saya tidak nyaman. Pun ketika berinteraksi dengan orang lain, kerap kali saya membuat penilaian di awal pertemuan yang menempatkan diri saya sebagai inferior. Belakangan saya tahu bahwa semua ketidaknyamanan ini berasal dari diri saya sendiri, Inferiority complex namanya. Rasa rendah diri yang teramat pada diri sendiri jadi jeruji yang mengungkung saya selama ini, mengerdilkan diri di hadapan orang lain.
Ternyata saya tidak sendiri. Seorang Pramudya Ananta Toer pun pernah mengalaminya. Titik baliknya adalah ketika ia berhasil meniduri seorang wanita Eropa. Atau Ananda Badudu yang berhasil membuktikan pada dirinya sendiri bahwa karyanya mampu menyihir banyak orang lewat Banda Neira. Membiarkan dirinya terbebas dari segala rasa rendah diri yang membelenggunya.
“Aku suka tulisanmu, terus nulis ya!”
Terkadang seseorang tak sadar apa yang dikatakannya berdampak besar bagi hidup orang lain, begitu pun dengannya. Siapa sangka susunan kata yang biasa itu mampu menembus tembok pertahanan saya. Hei, saya tak pernah merasa seringan ini menulis sebelumnya, tanpa perlu berpikir penilaian orang lain terhadap apa yang ingin saya katakan lewat tulisan, tanpa perlu peduli mereka suka atau tidak.
Sejak saat itu pula saya beranikan diri untuk menunjukkan tulisan-tulisan saya di akun pribadi saya. Saya tidak berharap akan ada yang menengoknya. Saya hanya ingin melepas belenggu ini. Merengkuh segala ketakutan dan kekhawatiran fana yang berkali menghentikan langkah saya. Lalu, semuanya seakan saling terkait. Saya mulai berani menunjukkan diri saya pada orang lain. Berkomunikasi dengan orang lain tak pernah semenyenangkan itu sebelumnya. Atau kaki saya tak lagi gemetar ketika tiba-tiba diminta berbicara di depan. Saya mulai tak peduli ketika harus tertawa lepas di depan orang-orang yang tak dekat saya kenal, juga bercerita banyak hal tanpa berpikir penilaian mereka tentang saya. Sungguh jeruji itu telah lebur bersama seluruh penerimaan saya akan diri seutuhnya.
Untuk setiap belenggu yang meregang, untuk setiap ketakutan yang terurai dan kekhawatiran yang memudar, izinkan saya memeluknya. Menerima diri seutuhnya dan menyambut tiap harapan yang mungkin akan datang.
Sekali lagi izinkan saya berterima kasih pada semua hal yang terjadi dalam hidup saya. Layaknya Pram dan Ananda yang menemukan titik baliknya, pun dengan saya. Saya tak ingat sejak kapan titik balik itu bermula. Dan mungkin iya, menjadi Pengajar Muda adalah jawabannya.
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Cari saljumu sendiri
Kenanganku bersama Jalung bukan hanya tentang matematika. Suatu ketika saat kami hendak pergi ke kampung sebelah untuk menonton perlombaan 17an yang diadakan teman sesama K2N, Jalung dan beberapa anak lain datang dengan antusiasme yang selalu sama. Raut mereka berubah ketika melihat kami telah rapi akan pergi. Yang menandakan siang ini tak akan ada pelajaran tambahan sepulang sekolah bagi mereka, tak terkecuali bagi Jalung yang kecewa tak bisa mendapatkan soal matematika dariku.
Sembari menunggu jemputan aku duduk di bangku depan rumah kami bersama anak-anak. Menjawab berbagai pertanyaan yang menggelitik seperti pertanyaan berikut:
“Kakak pernahkah ketemu sama Aliando?”
Keningku berkerut. Aliando? Sebangsa aligator? tanyaku pada diri sendiri. Dari mereka pulalah aku tahu bahwa Aliando yang mereka maksud adalah salah satu pemeran sinetron G*S yang kala itu menjadi sinetron paling booming di Indonesia. Anak-anak dengan segala kepolosannya. Jakarta yang mereka bayangkan memanglah Jakarta yang hanya mereka tonton lewat sinetron-sinetron yang menghiasi layar kaca mereka setiap malamnya. Kujawab dengan gelengan kepala yang menghasilkan kekecewaan bagi para penggemar cilik sang Aliando yang ternyata bukan sebangsa aligator.
“Kak di jakarta ada saljukah, kak? Kenapa disini ga ada salju, kak” sebuah tanya terlontar dari seseorang yang sontak membuatku terpaku, dan ternyata orang itu adalah Jalung. Bukan karena sulit menjawabnya. Tapi terpana dengan pertanyaannya, cerdas.
Tentu kujawab dengan tidak. Yang disambut dengan tanya lainnya, kenapa tidak ada? Kujelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah mereka mengerti, menyeolahkan bumi sebagai bola yang memiliki garis yang mengelilingi permukaannya sebagai garis khatulistiwa. Dan dibawahnya ada tanah kita, tanah Kalimantan. Dan itulah sebabnya mengapa bumi pertiwi tak pernah tersentuh salju karena tanah yang dilalui garis khatulistiwa dikarunia Tuhan dengan iklim tropis yang hanya memiliki dua musim, kemarau dan penghujan. Aku tak yakin penjelasanku tepat haha. Namun yang kutahu anak-anak mengerti dengan penjelasanku yang ditandai dengan bentuk mulut yang membundar dan memonyong yang mengeluarkan vokal o dari mulut mereka masing-masing.
Bertepatan dengan berakhirnya penjelasanku seseorang datang memarkirkan motornya di depan rumah kami, motor jemputan kami. Yang menandakan kami harus pergi, yang menandakan obrolan kami tentang salju harus terhenti. Sebelum pergi aku sempat berkata jika mereka ingin melihat salju maka mereka harus pergi ke Amerika. Amerika, yang sontak mencipta tanya sekaligus decak kagum bagi anak-anak. Sayangnya hingga hari terakhir keberadaan kami disana aku tak sempat menjelaskan lebih lanjut tentang salju di Amerika. Tapi aku yakin suatu saat mereka akan mengerti dengan sendirinya.
Jalung, tetap jaga mimpimu tentang salju, dan carilah saljumu sendiri suatu saat nanti.
Ȱ�����u$,�
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Jalung, anak matematikaku
“Dua puluh lima” teriak Dea hampir memekakan telingaku setelah ia berhasil menemukan jawaban atas tebak-tebakan perkalian lima kali lima yang kuberikan.
“Betul, selanjutnya tujuh dikali enam?” lanjutku.
Kali ini ia berpikir sedikit lebih keras dengan terus berkomat kamit seolah merapal mantra untuk menghapal perkalian enam yang diikuti dengan gerakan jari yang melengkapi ritualnya kali ini. Mantranya baru berhenti tepat diurutan tujuh kali enam.
“Empat puluh dua, kak” jawabnya sekali lagi tepat.
Kembali kuanggukkan kepalaku mengisyaratkan bahwa jawabannya kali ini tepat. Bersamaan dengan jawaban Dea, dari tempatku duduk kulihat seorang anak dengan sepedanya melewati depan rumah kami, tempat kami menggelar pelajaran tambahan bagi anak-anak SDN 3 Malinau Selatan, Jalung namanya. Orang-orang sering memanggilnya Bung.
“Jalung, ayo sini belajar bareng” panggilku.
“Belajar apa, kak?”
Ia memacu sepedanya semakin kencang meninggalkanku tepat setelah kuucapkan salah satu spesies mata pelajaran yang dianggap paling menyeramkan bagi anak-anak, matematika. Aku pun tak pernah antusias mempelajari mata pelajaran yang satu ini semasa sekolah. Jika ia berwujud sepertinya wujudnya akan serupa keturunan dinosaurus bermoncong buaya bergigi piranha bercakar harimau dan semenjijikkan kecoak—beruntung ia tak pernah berwujud.
Mungkin ia sedang tak ingin belajar, pikirku. Sudahlah, aku memang tak ingin memaksa anak-anak belajar bersama kami sepulang sekolah. Kulanjutkan memberi Dea soal perkalian yang sempat kutunda.
Aku baru saja akan membacakan Dea sebuah soal ketika seseorang datang memarkir sepedanya di depan rumah kami dengan napas terengah-engah dan keringat yang membanjiri tubuhnya, Jalung. Jalung yang kupikir tak ingin belajar kembali datang ke rumah kami dengan membawa buku dan pensil yang diselipkannya di saku belakang celananya. Aku sempat terdiam. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Sambil mengelap keringat sebesar biji jagung yang membanjir di sekitar wajahnya, ia tersenyum menyodorkan bukunya padaku. Membuatku kembali sadar apa yang harus kulakukan. Akhirnya aku membuat kuis untuk mereka berdua. Suasana belajar menjadi semakin menyenangkan. Keduanya berpacu untuk bisa menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Saat seorang berhasil mendahului yang lainnya, yang lain terlihat geram. Begitu seterusnya.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat.  Pukul lima sore. Kuizinkan mereka pulang untuk mandi dan beristirahat.
“Besok belajar lagikah, kak?” tanya Jalung sebelum kakinya meraih pedal sepeda.
Tepat setelah kuanggukkan kepalaku untuk mengiyakan pertanyaannya, ia mengayuh pedal sepedanya kencang menyapa teman-temannya yang pulang berjalan kaki.
Hari berikutnya ia kembali datang, namun tak sendiri. Ia berhasil membawa teman-temannya ikut serta, Mikael, Rifky, dan Apuy. Kini kelasku bertambah ramai dengan kedatangan anak-anak ini. Jalung memintaku memberinya soal yang lebih sulit dari soal yang kuberikan sebelumnya. Kuberikan ia soal perkalian puluhan yang langsung dilahapnya seperti ia melahap sepiring nasi berlauk RW. Kubiarkan ia bermain-main dengan soal yang kuberikan selagi aku sibuk dengan yang lain.
Bagi apuy, Mikael, dan Rifky yang baru saja bergabung, kuberikan mereka soal perkalian satuan dengan puluhan yang masih sulit mereka selesaikan. Membuatku harus membimbing mereka satu persatu. Belum selesai dengan ketiga anak ini, Jalung memanggilku, memintaku memeriksa hasil pekerjaannya yang ternyata tanpa cacat. Kembali dan kembali ia memintaku memberinya soal yang lebih menantang.
Jalung, anak matematikaku. Ia memang tak pernah puas dengan soal yang kuberikan. Jiwanya selalu haus akan tantangan. Mencari jawaban atas deretan angka yang dikombinasikan dengan berbagai bentuk operasi aljabar yang tak semua anak berani memecahkannya. Sorot matanya selalu berbinar saat kusuguhi soal-soal matematika. Dan aku rindu sorot mata itu. Aku rindu anak matematiku. Aku rindu Jalung.
۾� �,�
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Untouchable
Pagi itu ada pemandangan berbeda. Ada seseorang yang berhasil mencuri perhatianku. Rasanya wajahnya tak lagi asing bagiku meski aku yakin ini adalah kali pertama pertemuan kami. Kulitnya coklat langsat, tak segelap Punan, pun tak seterang Kenyah. Ia terlihat berbeda. Ia kini sedang memutar-mutar bola di tangannya. Tak jarang pula ia tendang bola itu hingga mengenai salah seorang di sampingnya. Sedari tadi perhatiaannya hanya berpusat pada bola. Rasanya ingin kurampas bola itu dan memalingkan perhatiannya padaku, sedikit saja.
Fadli namanya, seorang anak kelas 5 SD. Iya, dia adalah salah satu muridku di SD N 3 Malinau Selatan. Hari ini hari pertamaku bertemu dengannya meski ini bukan pertama kalinya aku mengajar di kelas ini. Ia tak ‘turun’ ke sekolah saat teman-temannya memperkenalkan diri mereka masing-masing di hari pertemuan pertama mereka denganku. Namun namanya tak asing lagi bagiku karena sebelumnya informasi tentangnya sebagai bintang kelas telah sampai di telingaku.
Hari itu senyum merekah di wajah mereka, anak-anak kelas 5 di SD tempatku mengajar, tak terkecuali Fadli. Alasannya tak lain dan tak bukan karena dua hari lagi tanggal 16 Agustus. Bukan karena mereka akan menyambut hari perayaan kemerdekaan negaranya, bahkan aku tak yakin mereka sudah paham arti kemerdekaan. Senyum di wajah mereka bersumber dari sebuah pengumuman bahwa pada hari itu akan ada perlombaan peringatan hari kemerdekaan pertama yang diadakan di sekolahnya. Iya, dua hari lagi kelas kami akan bertanding dengan kelas lainnya pada perlombaan itu.
Maka untuk menyambut momen lomba 17an pertama kali di sekolah mereka ini, kami bersama-sama menyusun strategi. Strategi pertama adalah memilih kontingen yang akan bertanding dengan kelas lain. Cabang lomba yang dibuka beragam, di antaranya lomba menggambar, baca puisi, bercerita, lari, sepak bola, dan cerdas cermat. Setiap anak diwajibkan mengikuti minimal 1 cabang lomba, begitu peraturannya. Satu persatu anak mendaftarkan dirinya masing-masing. Cabang lomba menggambar dan sepak bola menjadi cabang lomba yang paling banyak pendaftarnya. Berbanding terbalik dengan pendaftar lomba cerdas cermat, tak ada satu pun. Beragam alasannya. Akhirnya kupilih Fadli, Kojong, Jeri sebagai tim pertama dan Dea, Alun, Cindy sebagai tim kedua yang akan mewakili kelas 5 dalam lomba cerdas cermat.
“Kak, saya mau ikut lomba sepakbola saja, bah kak. Saya nda bisa lomba cerdas cermat, kak” pinta Fadli padaku.
Sebagian hatiku tak tega melihatnya meminta padaku, namun sebagian lainnya menginginkan ia mengikuti lomba ini. Akhirnya kami membuat sebuah perjanjian bahwa ia dapat bermain sepak bola setelah ia menyelesaikan lomba cerdas cermatnya. Ia menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Fadli seandainya kamu tahu saat itu bukannya kakak ingin menghalangimu bermain bola, kakak hanya ingin menunjukkan pada dirimu sendiri bahwa kamu mampu.
Hari yang ditunggu pun tiba. Sebagai manajer tim kelas 5 saya cukup kewalahan mengatur kontingen-kontingen kelas 5 yang mengikuti berbagai perlombaan yang dilakukan secara paralel. Bak seorang manajer tim profesional tak jarang saya harus berpindah dari satu perlombaan ke perlombaan lain untuk sekadar melihat kondisi kontingen-kontingen kami yang sedang bermain. Pada suatu waktu kebetulan saya sedang masuk ke kelas perlombaan cerdas cermat. Di sana saya melihat kedua tim dari kelas 5 bertarung dengan tim dari kelas lain. Mereka terlihat begitu bersemangat menjawab setiap soal yang diberikan, begitu pun dengan Fadli. Hingga tiba pada satu soal rebutan penentu sebagai tiket masuk menuju babak final, Fadli mengangkat tangannya sebagai isyarat agar ia diizinkan menjawab. Bersamaan dengan keputusan juri yang mengatakan bahwa jawaban Fadli benar, sorak kemenangan dari pendukung tim bergema dari dalam ruang lomba. Satu tim dari kelas kami masuk ke babak final, dan ia adalah Fadli. Wajahnya berpaling ke arahku yang berdiri di depan pintu. Melempar senyum pertamanya padaku. Di sana kutangkap kebahagiaan tiada tara tergurat dalam setiap inchi tarikan bibirnya. Di tempat itu kubalas senyumnya dengan sejuta kebanggaan pada murid paling untouchable yang kini telah menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu.
Meski Fadli bersama tim kelas kami hanya mampu berdiri di posisi kedua dalam lomba cerdas cermat ini, kami sudah sangat puas. Setidaknya segala usaha dan api semangat yang berkobar selama berjalannya kompetisi ini menjadi pengalaman berharga bagi mereka untuk selalu melakukan yang terbaik. Nyatanya bukanlah hasil yang terpenting, melainkan proses,
bukan? :)
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Jatuh Cinta
“Aku ga mau pulang. Aku jatuh cinta sama orang lokal.”
Sebuah SMS melayang menyebrangi pulau Kalimantan setelah ku tekan tombol send di HPku.
Rasanya aku sudah gila hingga mengirim sebuah SMS yang sontak mencipta tanda tanya besar pada seorang teman yang kini berada satu jam lebih lambat dari dimensi waktuku. Menggelikan memang. Namun begitulah adanya. Rasa yang selalu mencipta rindu saat sehari saja tak bertemu, rasa yang selalu mampu menggiringku untuk kembali meski lelah menerpa. Jika ia mengira aku telah diguna-guna, mungkin benar. Mungkin benar aku telah diguna-gunanya hingga bisa mencintainya dengan tulus meski pertemuan kami tak lebih tua dari umur jagung. Namun berbeda dengan cinta yang pernah kurasakan sebelumnya, kali ini bukan hanya satu orang yang berhasil membuatku mampu menerjemahkan perasaan ini, melainkan banyak. Iya, aku jatuh cinta pada banyak orang, lebih tepatnya satu kelas. Haha iya, aku jatuh cinta pada murid-muridku di SD tempatku mengajar.
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Long Loreh
6 Agustus 2014
Sudah sejak sore tadi kami duduk di tempat ini, di balkon lantai dua rumah kami. Dari tempat ini kami dapat menyaksikan awan putih berarak bersama burung-burung yang terbang riang tak peduli panasnya sengatan matahari khatulistiwa, menyaksikan matahari yang  beringsut malu-malu meninggalkan senja dengan corak jingga, atau sekadar menerawang jauh ke puncak gunung sidi yang berdiri gagah di balik pepohonan. Dari atas sini kami juga dapat melihat warga desa dengan saong pulang dari ladang, membawa hasil panen di pundaknya.  Semua terasa indah, nyaman, damai.
“Yeayyyy”
Sorakan bahagia terdengar dari lantai dua rumah kami mengiringi nyalanya lampu, pukul 18.00. Semua orang seakan berlomba, mendahului satu sama lain untuk mendapatkan sumber energi bagi handphone masing-masing. Ada hal yang bagi sebagian orang dianggap sebagai suatu yang sepele. Tapi tidak bagi kami. Listrik, menjadi sesuatu yang paling kami dan warga desa ini nanti. Kenapa harus listrik? Ada apa dengan listrik? Baiklah. Saya ajak kalian mundur beberapa jam sebelum kejadian ini.
           Semalam lalu, tepat pukul 00.00 saat kedatangan pertama kami di rumah ini, lampu di rumah kami tiba-tiba mati. Tak ada yang salah dengan sekering atau bohlam. Apalagi hal-hal mistis lain. Permasalahannya ada pada genset. Iya! Sumber listrik di desa kami didapat dari genset yang menerangi seluruh desa. Suatu pembangkit listrik bertenaga solar yang memberi warna bagi kehidupan warga desa ini. Namun sayangnya tak lebih dari enam jam kami dapat merasakan nyalanya. Begitulah, listrik di desa kami memang hanya menyala sejak pukul 18.00 hingga pukul 00.00. Tak heran jika tepat pukul 00.00 desa kami mendadak berubah menjadi seperti desa tak berpenghuni, tak ada cahaya sama sekali.
Keingintahuan tentang hal ini membawa kami pada Pak Mika, Kepala Desa Long Loreh. Beliau menuturkan bahwa desa ini memang belum terjangkau oleh listrik PLN. Banyak alasan yang membuat rencana pembangunan listrik di desa ini terus saja terkendala. Terpisah hutan puluhan kilometer dari pusat kota tak pelak menjadi alasan mengapa listrik dari PLN tak mampu menjangkau desa ini. Alhasil, seluruh kebutuhan listrik di desa ini hanya didukung oleh sebuah genset hasil sokongan perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di desa ini. Hanya untuk membiayai listrik yang nyala mulai pukul 18.00 hingga 00.00 perusahaan harus membayar hingga milyaran rupiah setiap bulannya (maklum BBM di desa ini tak semurah di Jawa). Bahkan warga sudah biasa menerima keadaan listrik mati berhari-hari akibat cadangan solar untuk sebulan habis sebelum waktunya. Bagi keluarga dengan ekonomi mampu genset pribadi menjadi alternatif, tapi bagi warga dengan ekonomi pas-pasan kondisi ini terpaksa diterima dengan lapang dada.
Malam kembali menjelang. Kami disibukkan dengan kegiatan yang sempat tertunda saat listrik tak ada, mengisi air dan mandi. Air di desa ini memang hanya bisa didapatkan saat listrik menyala. Tak ayal jika kami dituntut bijak untuk menggunakan air. Jika tidak hasilnya sudah kami rasakan siang tadi. Kami harus menimba air dari sumur yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Cara menimbanya pun cukup unik, tanpa katrol. Berbekal timba, ember, dan gerobak yang dipinjam dari tetangga sebelah rumah kami kebutuhan air kami hari ini terpenuhi.
Seperti malam sebelumnya, matinya listrik, dentang lonceng gereja serta gonggongan anjing bersahut-sahutan menutup hari yang melelahkan ini.
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Di Bawah Atap Ujung Utara Indonesia
“Kakak kapan-kapan datang ke Loreh lagi ya. Jangan lupa dengan Bulan ya kak. Kak walaupun Bulan hanya kasih surat tapi aku akan selalu berdoa supaya kakak bisa jadi yang kakak inginkan”
          Tulisan ini berasal dari sebuah surat berpita ungu yang sebenarnya hanya benang wol yang dengan kreatifitas anak-anak disulap menjadi pita pengikat surat. Surat yang selalu mampu menyeret ingatan saya kembali pada mereka, Bulan, Kojong,  Apuy, Jalung, Fadli, Liery, Pia dan anak-anakku lainnya di Desa Long Loreh.
Desa Long Loreh, salah satu desa di propinsi paling ujung utara Indonesia yang menyimpan sejuta keindahan alam maupun budayanya. Desa tempat turunnya dewi-dewi langit ke bumi lewat pelangi yang melengkung di jingganya senja. Langit birunya, hijau alamnya, dan keramahan masyarakatnya selalu mampu mencipta rindu untuk kembali bertemu. Di desa ini, di bawah puncak gunung sidi, orang-orang suku Dayak hidup berdampingan dengan alam. Hijaunya hutan dan derasnya sungai menjadi wahana bermain dan belajar paling menyenangkan bagi anak-anak.
Pagi itu tepat pukul 07.30 barisan merah putih siswa SD N 003 Malinau Selatan telah berbaris rapi mengikuti upacara bendera di bawah teriknya sinar matahari pagi khatulistiwa. Pagi ini menjadi senin pertama kami di desa ini. Panasnya matahari yang menyengat ubun-ubun dan lagu Indonesia Raya yang terdengar sumbang mengiringi berkibarnya merah putih di langit Kalimantan. Pemandangan yang membuat kami kembali percaya bahwa Indonesia akan tetap ada di jiwa anak-anak ini meski segala tantangan sebagai daerah terluar di Indonesia terus membayang. Upacara berjalan hikmat meski sempat diwarnai beberapa kesalahan kecil seperti salah langkah pengibar bendera, pembacaan pembukaan UUD 1945 yang masih terbata-bata, dan kesalahan-kesalahan kecil lainnya.
          Seusai upacara kami dipersilahkan memasuki kelas-kelas untuk memulai pelajaran di hari pertama sekolah di tahun ajaran baru ini. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah bangunan kelas berdinding kayu yang berada di paling ujung sekolah ini dengan kumpulan anak-anak manis dan lugu berada di depannya, menanti kami yang mereka harap dapat menjadi pewarna bagi lembar kegiatan belajar mereka beberapa minggu ke depan, kelas 5. Langkah pertama saya memasuki kelas ini menjadi awal perkenalan saya dengan dunia pendidikan di daerah terluar Indonesia.
          Saya memulai kegiatan pagi ini dengan mencoba mengenal mereka satu per satu lewat cita-cita, hobi, dan warna kesukaan. Tak ada satu pun yang berani maju sampai seorang anak memberanikan diri memperkenalkan dirinya pertama kali, Liery namanya.
          “Oke Liery, cita-cita kamu apa?” tanyaku.
          “Jadi profesor, Bu. Saya mau menciptakan lampu.” jawabnya lantang.
          “Kenapa menciptakan lampu?” tanyaku takjub.
          “Supaya kelas saya tidak gelap, Bu.” jawabnya penuh harap.
          Liery, si profesor cilik. Saat anak-anak lain bercita-cita menjadi dokter atau guru, Liery cilik bercita-cita ingin menciptakan lampu. Mungkin ia telah mengenal sebuah benda bernama lampu yang beratus-ratus tahun lalu telah diciptakan seorang Thomas Alfa Edison yang kini mampu menerangi seluruh dunia. Tapi tidak untuk sekolahnya. Di desa ini anak-anak hanya mengenal lampu dari pukul 6 sore hingga 12 malam. Selebihnya cahaya mataharilah yang menerangi hari-hari mereka.
          Desa Long Loreh memang menyimpan jutaan daya tarik, bahkan hingga di perut buminya. Tak heran jika di desa ini berdiri 2 perusahaan tambang batu bara. Coba kita bayangkan berapa energi yang dapat dihasilkan dari batu bara yang di tambang di buminya? Bukankah seharusnya mampu untuk menerangi seluruh desa selama 24 jam sehari. Namun sayangnya kekayaan alam tanah nenek moyang mereka yang teramat besar ini tak mampu mereka cicipi.
          Mata saya mengitar mengelilingi tiap inchi ruang kelas. Di kelas ini memang tak ada satu pun lampu yang menggantung di atapnya. Atapnya pun hampir roboh, bocor di sana sini. Namun keterbatasan ini tak membuat mereka gentar. Mereka tak pernah lupa membawa senyumnya bersama langkah mereka menuju sekolah. Menemani kegiatan belajar dengan kondisi yang sangat terbatas. Saat hujan turun keadaannya semakin buruk. Kondisi kelas yang memang sudah gelap menjadi semakin gelap. Belum lagi air yang mengucur lewat celah-celah atap yang bocor. Sebelum memulai pelajaran anak-anak harus menggeser meja dan kursinya ke tempat kering. Namun semua dilakukannya dengan senang hati. dari senyum yang tersimpul di wajah mereka saya dapat melihat Indonesia di masa depan. Dan dari guru-guru kecil ini saya belajar bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti berlari mengejar mimpi.
          Di bawah atap ini kami bercerita tentang mimpi-mimpi kami. Di bawah atap ini tawa kami menyatu dengan harapan-harapan indah di masa depan. Dan di bawah atap ini pula cita-cita kami membumbung tinggi menembus awan.
0 notes
marlinayu · 9 years
Text
Selamat Anda Tiba di Desa Long Lore
5Agustus 2014
“Logistik di bikun 1 ya, carrier di bikun 2”
               Kesibukan telah terlihat dari balik gedung PPMT UI meski waktu masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Hari ini berakhirlah penantian kami selama lebih dari 3 bulan mempersiapkan tibanya hari ini, hari keberangkatan K2N UI penempatan Kalimantan. Semua orang sibuk memasukkan barang-barang logistik maupun pribadi ke dalam bus. Setelah yakin tak ada yang tertinggal, perjalanan kami dimulai. Kami tiba di bandara yang diambil dari dua nama pahlawan kemerdekaan setelah sekitar satu jam menempuh perjalanan menggunakan bis dengan warna kebanggaan kami, bis kuning. Dengan mata yang dipaksa tetap sigap dan tubuh yang mulai lunglai akibat kelelahan usai melakukan persiapan sejak hari sebelumnya, kami menurunkan barang-barang dan membawanya ke dalam bandara untuk dimasukkan bagasi. Sungguh, antusiasme yang begitu besar untuk menginjakkan kaki di belahan lain bumi Indonesia membunuh segala kelelahan yang menimpa tubuh kami masing-masing. Tepat pukul 05.00 pagi pesawat kami mengudara menyebrangi lautan menuju pulau hijau yang terbentang sepanjang khatulistiwa.
               Sengatan panas matahari khatulistiwa menyambut kedatangan kami di tanah Borneo. Hari ini, dimulailah perjalanan 30 hari menjejaki bumi Kalimantan. Perjalanan 40 orang yang menyandang nama Indonesia di dadanya, dengan niat tulus mengabdikan dirinya untuk ibu pertiwi. 40 orang yang nantinya akan dipecah menjadi 6 tim yang akan ditempatkan di 6 desa yang tersebar di Provinsi Kalimantan Utara. Dengan upacara sederhana di salah satu hotel di Tarakan yang dihadiri oleh beberapa pejabat UI dan pejabat pemerintahan Provinsi Kalimantan Utara kami resmi dilepas dan selanjutnya akan diantar melalui jalur air menuju dua kabupaten yang akan menjadi tempat persinggahan sementara kami, Malinau dan Nunukan.
               Dan disinilah saya berada, bersama 8 orang peserta lainnya dan 1 orang pendamping lapangan. Long Loreh, tak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Malinau, sekitar dua jam menembus hutan tak berpenghuni, tanpa penerangan sedikit pun. Atau tiga jam? Entahlah, perjalanan malam menembus hutan menggunakan bus membuat kami tak lagi mampu menghitung waktu. Rasanya waktu berjalan begitu lamban. Debu masuk melalui celah jendela membuat napas kami tak lagi lega. Ditambah jalan berbatu yang membuat kami tak bisa tidur nyenyak sepanjang perjalanan. Yang lebih parah, sempat tiga kali mobil kami mogok di tengah hutan. Entah apa yang terjadi. Tapi karenanya kami dapat melihat jutaan bintang yang bertabur di atas kepala kami, tanpa polusi cahaya sedikit pun. Keren bukan? :D
               Setelah melewati perjalanan menantang yang terasa begitu lama akhirnya kami tiba di desa yang akan menjadi tempat tinggal kami selama 30 hari ke depan, Long Loreh. Melihat gapuranya saja sudah membuat kami begitu senang. Tapi tunggu, kenapa tulisan di gapura itu “Selamat Anda Tiba di Desa Long Lore”? Bukan Long Loreh? Ah mungkin karena gelap jadi huruf Hnya ga kebaca, pikirku. Sekitar pukul 23.00 kami diturunkan dari bis yang sejak tadi mengangkut tubuh-tubuh kami hingga tiba di tempat ini. Decak kagum mengiringi langkah pertama kami menginjakkan kaki di Desa Long Loreh. Melihat sebuah rumah panggung yang meski kecil namun terlihat nyaman. Kami hampir saja melangkahkan kaki menuju rumah itu hingga salah seorang Bapak yang sejak tadi menunggu kedatangan kami menunjukkan rumah kami yang sebenarnya. Beliau menunjuk sebuah rumah tepat di seberang rumah yang sebelumnya kami pikir akan menjadi tempat kami bernaung 30 hari ke depan. Sebuah rumah panggung berukuran besar dua lantai yang terlihat sangat nyaman. Kami bersyukur kedatangan kami diterima begitu hangat oleh warga desa ini. Bahkan kami diberikan tempat tinggal yang sangat, bahkan terlalu layak untuk kami.
               Setelah dipersilakan masuk kami berebut menggunakan kamar mandi, maklum kami sudah dua hari tidak mandi. Rasanya rindu merasakan air yang akan melarutkan kotoran-kotoran yang sejak kemarin menempel di badan. Selesai dengan segala urusan kami bergegas tidur. Mencari posisi ternyaman masing-masing. Merebahkan segala kelelahan yang ditahan sejak kemarin. Belum mata ini terpejam, lampu mati diiringi auman anjing yang saling bersaut-sautan.
Apakah yang terjadi? Berlanjut ke cerita perjalanan selanjutnya ;) Tenang, bukan cerita horor kok.
0 notes