Tumgik
makelaartjarita · 2 years
Text
Tumblr media
JAKARTA DI LEKUK TUBUHMU
BISING suara rel seakan tak mau terbantahkan oleh sunyi, sedang kereta listrik dan kereta malam masih sibuk mengadu debu. Jakarta tak pernah lelah, Jakarta tak akan tidur. Bahkan Jakarta pun takkan pernah mau tau bila ada dua pemuda yang tengah bercumbu di ujung gang buntu. Dan, pemuda itu ialah aku.
Tepat lima tahun setelah semua bermula, dua tahun pula kita putuskan untuk merantau ke ibukota. Hingga kini, kami tak lebih dari sebatas dua pemuda dungu yang tengah berenang di lautan keringat pekerja lain pada kota metropolis ini. Tak seperti Jakarta yang terus menggerakan gerigi nyawanya, kami lelah, kami perlu bernapas, kami terhimpit—singkatnya, kami ini perlu bercinta.
Masih berkemeja kerja, berpakaian korsa apek bekas seharian berdansa dengan realita, kami menyulam dosa. Perutku keroncongan, namun bayangan pecel lele samping jembatan mulai mengabur, samar terganti oleh bayangan liar. Seliar fantasiku ketika membaca papan spanduk bertuliskan “SELAMAT DATANG DI DKI JAKARTA” saat bis yang pertama kali mengantarku kemari melintasi batas kota.
“Bagaimana kalau malam ini….”
“Kuserahkan, untukmu,” katamu di sela istirahat singkat kita di balkon kamar rusunku. Kami menegak beberapa sloki minuman, cairan itu mengalir perlahan, hangat menusuk lewati tenggorokan.
Lima tahun bukan waktu yang singkat, bahkan jika manusia berusia lima tahun pun mesti kini sudah belajar membaca. Namun bercinta sepenuhnya di kota ini? Oh, sayang, penantian bukan lagi alasan untuk digerutui. Fantasi-fantasi lamaku perlahan tumbuh bertunas kembali, melihat kamu yang masih berkemeja namun sudah tak lagi memakai celana. Bahkan kemeja putih itu ikut basah dilahap keringat—buah daripada pengapnya ruangan—kutang hitammu kini makin jelas terlihat.
Radio lama memutarkan siaran tengah malam, sayu menggema lagu-lagu lawas dari dalam sana. Lamban kujamahi tiap sisi wajahmu. Rambut yang kala itu masih berwarna abu-abu, di kali pertama kita bertemu. Mata yang masih sama dengan dahulu, berkerlip serupai padatnya lampu kendaraan di tol dalam kota. Dan susunan rusukmu, mengingatkanku akan besi rel di stasiun Manggarai. Dengus napas itu, yang selalu kudapati sepulang kita bekerja, kini sirna. Yang kudengar hanya lenguhan napas tak beraturan yang selama ini kudambakan.
Langit-langit kamar jadi penuh gambar. Bukan tentang masa lalu, apa lagi masa depan. Atap seakan terbongkar hilang, angkasa lepas mengawang tepat di atas kita. Kali ini keringat mengalir deras bukan sebab pengapnya rusun sebesar delapan belas meter persegi tanpa pendingin ini, apalagi karena berdesakan di peron ketika hendak masuk kereta. Keringat malam ini berbeda, keringat malam ini ingin kuabadikan selamanya.
Kami terbaring lemas, di atas seprai lusuh yang selalu lupa kuganti tiap bulannya. Lalu kau buka jendela, masih dengan telanjang dada. Membiarkan angin malam kasar menghembus ke dalam.
“Sayang, apa kamu menyesal?”
Kau menggeleng tanpa ragu. Hanya itu jawabanmu.
Mungkin sekarang sejarah dan malaikat sama-sama sedang mengukir sesuatu. Mungkin malaikat di sebelah kanan pundakku tengah sibuk mencongak dosa-dosaku. Sedangkan sejarah lagi mencetak memori tak terlupa.
Maaf bila malam pertama kita selesai hanya di rusunawa. Andai aku ini seorang priyai, pasti akan kubawa kau menunggangi kapal pesiar menyeberangi Selat Sunda dan mengitari Sumatra. Ya, minimal menyewa kamar di gedung-gedung tinggi sepanjang jalan Sudirman sana. Tapi nyatanya? Ya aku cuma orang biasa-biasa saja, yang masih memikirkan besok makan apa, bayar cicilan pakai apa.
Malam Selasa, di rusun kenanga, cinta kita selamanya.
(atau mungkin, nafsunya saja)
2 notes · View notes