Tumgik
Text
Repot kok gitu aja
Jadi, judulnya udah jutaan tahun lamanya saya gak nulis lagi.
Biasanya saya nulis di tumblr kalo gak bisa mengekspresikan lewat twitter. Saking gilanya dunia sekarang, saya udah gak tau lagi mau gimana ini bahasnya.
Saya bingung, kenapa ya alih-alih ngebantuin, orang-orang sekarang lebih suka cari-cari kesalahan. Berita yang heboh akhir-akhir ini, adalah soal Satpol PP yang ngambil jualan ibu warteg karena jualan di siang hari di waktu bulan puasa. Gw gak mau berdebat kusir atas bawah kiri kanan ngalor ngidul soal boleh gaknya si ibu jualan di siang hari di bulan Ramadan. Beda kontekstual, bisa jadi beda arah debatnya. Saya pribadi sih termasuk golongan yang merasa sah-sah aja ada orang jualan makanan di bulan Ramadan. Gak ada urusan, puasa kan buat Allah.
Anyway, kembali ke topik. Singkat cerita, adalah seseorang yang tergerak hatinya buat ngajakin orang-orang ngumpulin duit buat donasi ke ibu ini. Walhasil terkumpul uang ratusan juta rupiah untuk membantu Ibu warteg ini (gw boleh pinjem buat benerin rumah gak? :p). Lah terus ada aja orang nyinyir yak. Yang nanti kalo pengelolaannya gak bener gak tepat sasaran lah, yang nyalahin ibunya lah, dan 1001 cerita lainnya. 
Buset! Kalo gak mau ikutan bantuin mah kalem aja brosis, kan duit lw gak keambil juga. Kalo ngeliat ada potensi masalah, come up with solution dong. Atau at least, say it nicely, misalnya, dengan terkumpulnya duit yang banyak, mungkin bisa hati-hati dengan potensi tidak tepat sasaran. Kalo dulu ada istilah daripada merutuki gelap mendingan nyalain lilin, sekarang nyalain lilin aja bisa salah. Lilinnya kegedean, kalo nyalain lilin nanti potensi kebakaran, ini gelap karena listrik bergilir jadi ya emang harusnya gelap, banyaklah versi analoginya.
Alih-alih pake statement ‘Gitu aja kok repot’ andalannya Gus Dur, saya akan berhenti sambil merenung, kok jadi pada repot.
0 notes
Text
If you meet Him, what is your first question? For me, it will always be, why her not me? A very selfish question.
0 notes
Text
Sometimes, it's the little things that count most - Alexandra Adornetto
Manusia itu seringkali menyukai sesuatu yang banyak dan besar. Tapi nyatanya lebih sering jatuh cinta pada hal-hal yang kecil bukan? 
Pada hal-hal yang besar kita lebih sering mengukur hidup ini. Dan hasil yang sudah bisa ditebak dari sebuah pengukuran adalah akan ada salah satu yang kurang dibanding yang lain. Karena kita mengukur pada hal-hal yang besar, nyatanya kita lebih sering merasa tidak puas akan apa-apa yang terjadi dalam hidup kita.
Sebaliknya, pada hal-hal yang kecil kita belajar memaknai hidup ini. Dan hasil yang didapat dari pemaknaan adalah sebuah pemahaman. Pemahaman tidak bisa diukur oleh satuan dan karenanya lebih sering memuat kita bersyukur.
Maka betapa lucunya manusia. Dia menyukai hal-hal yang besar, padahal lebih bahagia dengan hal-hal yang kecil.
Termasuk di antara hal kecil adalah ucapan terima kasih. Beberapa waktu yang lalu saya menerima email sederhana dari salah seorang manajer di group saya. Isi emailnya seperti ini:
Tumblr media
To be honest saya terharu banget dapet emailnya. This is what I didn't found in my last office. Kenyataan bahwa mereka peduli. Kenyataan bahwa they appreciate all those sleepless nights, all those tears, all those hard works.
Karena bagi saya, pada akhirnya hal-hal kecil lah yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
0 notes
Text
Beberapa hari yang lalu saya makan dengan seorang teman. Tepat setelah saya diskusi mengenai kinerja setengah tahun saya dengan coach saya. Itu akan jadi diskusi terakhir diantara kami berdua. Mungkin bulan depan saya akan tahu coach saya yang baru.
Waktu ditanya bagaimana perasaan saya setelah diskusi tadi, saya cuma bisa tersenyum dan bilang, I already in the last stage of accepting. Kemudian karena iseng saya berusaha mencari tahu tentang tahap-tahap kehilangan, and here are some info.
Well,, ternyata teori it dikenal dengan model Kubler-Ross. Dan ada lima tahap yang akan dihadapi seseorang ketika kehilangan, yakni Denial, Angry, Bargaining, Depression, and Accepting. 
Oh yeah, saya sudah berada di tahap Accepting mengenai semua ini. Everything will be alright. Kita akan banyak mengucapkan selamat tinggal dalam hidup ini. It won't make it any painless, but it will keeps my sanity. Itu konsekuensi menjalani kehidupan secara utuh. Beberapa akan sangat menyakitkan, beberapa mungkin akan diucapkan dengan perasaan lega. Hubungan akan banyak menentukan bagaimana mengucapkan perpisahan akan berpengaruh terhadap perasaan kita. 
Pada akhirnya, yang terbaik yang mungkin terjadi dalam perpisahan adalah mendoakan yang terbaik. Karena dalam doa, segalanya terasa dekat. Karena doa, tidak mengenal jarak.
Thank you for my first coach,, 
You are one of the greatest thing that ever happen in my early career. 
I will always chasing your "back", coach :)
0 notes
Quote
Pada akhirnya, siapa yang akan kita pilih? Seseorang yang kita cintai atau seseorang yang mencintai kita? Beruntunglah engkau yang tak perlu memilih. Karena kebanyakan diantara kita harus.
0 notes
Quote
Katanya cinta adalah pelaksanaan kata-kata. Maka siapalah yang lebih mencintai Drupadi dibanding Bima. Padanya semua janji ditunaikan dan segala sakit hati tertuntaskan.
0 notes
Text
It’s another year! Well,, ini adalah tulisan pertama di 2015. Dan dalam hal menulis, harapan saya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, berharap bisa lebih konsisten dalam menulis. Mungkin tahun ini pengen challenge diri sendiri dengan minimal satu tulisan setiap bulan. Well, let’s see seberapa konsisten saya di tahun ini.
Seperti pada umumnya, yeah I am too mainstream, tulisan kali ini mengenang tahun 2014. Meskipun banyak hal yang terjadi di tahun ini, tapi bagi saya, tahun 2014 adalah tentang keberanian. Bagi saya setahun kemarin adalah tentang berani mengambil keputusan, berani bersikap, berani kehilangan, dan atas itu semua, berani mencoba sekali lagi.
Momen paling signifikan tahun lalu bagi saya adalah berani memutuskan resign dari tempat kerja yang lama. Ada satu momen dalam hidup saya di tahun lalu di mana saya bangun dan kemudian memutuskan untuk menolak diperlakukan tidak manusiawi. That’s enough. Kemudian memutuskan untuk resign, ada momen-momen mencari kerja dan tentunya diikuti dengan momen-momen ditolak, hahahahaa. Tapi semua momen itu mengajarkan keberanian. Saya merasakan benar bahwa selagi muda, kita harus menjalani hidup dengan berani. Vivere pericoloso!
Kemudian diterima bekerja dalam industry yang sama. Yeah I am in into competitor, hahahaa. Merasakan perbedaan yang signifikan dari tempat bekerja yang lama. Merasakan betul bahwa butuh keberanian untuk mencoba sekali lagi. Dan reward dari itu semua luar biasa. Di tempat yang baru saya menemukan teman-teman baru yang menyenangkan. Tidak seperti di tempat yang lama, we are not talking about each other in back and then keep smiling when we met. Kayaknya saya emang gak bisa basa-basi. Saya bener-bener gak tahan hidup di lingkungan begitu. Here we have performance feedback to evaluate our performance. Gak ada ceritanya bos ngomelin bawahan di denger orang sekampung. Here I found leadership, and then I realize that is what I am looking for. Sesuatu yang tidak saya temukan di tempat yang lama.
Harga dari berani mencoba sekali lagi adalah saya menemukan teman-teman yang baik. Even one of them become my good friends. Buddy yang gak ngerti lagi sih gimana hidup saya di sini kalo gak ketemu buddy saya ini. Dan coach yang luar biasa.
Tahun 2014 juga adalah tentang nyaman dengan pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Memahami bahwa life is not a race. It’s okay to stop and thinking. Tidak ada beban untuk memilih pilihan-pilihan yang tidak biasa. Tidak ada tanggungan untuk memilih pilihan-pilihan yang spontan.
Tahun 2014, sebagaimana tahun-tahun lainnya, seharusnya mengajarkan saya untuk menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Well,, happy new year! And welcome peak season! Hahahaa
1 note · View note
Text
Ujian
Di kantor yang sekarang, saya tak pernah bilang bahwa saya pernah bekerja sebelumnya. Dan dengan mudahnya lebih memilih bilang bahwa lulusnya telat. Entah kenapa. Maybe because sometimes, it is easier to say I am okay rather than explaining all the reason why you are not. Saya capek kalo harus menjelaskan kenapa pindah, mengingat momen itu kayaknya masa-masa terkelam yang pernah dijalani. Atau sebenarnya saya pengecut yang tak berani bilang sudah pernah bekerja karena takut akan ekspektasi orang-orang. Entahlah.
Di kantor yang sekarang saya dapet engagementnya kecil-kecil. Tapi somehow saya suka karena jadi bisa belajar banyak. Nah dari sekian banyak engagement itu ada satu klien yang isinya cuma bertiga. Saya, seorang teman yang juga associate 2, dan seorang senior in charge. Dan beberapa waktu yang lalu, teman saya mengajukan resign. Saya cuma bisa bengong sambil mikir mau gimana pas engagement di final nanti cuma berdua. Tapi kayaknya karena udah shock duluan jadinya otak saya gak jalan.
Teringat di kantor yang lama, insiden yang membuat saya memutuskan untuk final akhirnya resign juga terjadi di peak season. Dan juga di klien yang cuma berdua, isinya saya sama senior in charge. Entah kenapa ini semua terasa dejavu. Karena teringat engagement yang lalu itu, saya akhirnya agak takut dengan engagement yang akan datang ini. 
Kemudian somehow saya teringat kata-kata seorang anak saya di BEM dulu. Konon katanya, kalo kita tidak menghadapi ujian yang diberikan Allah sekarang, kelak ujian itu akan datang lagi dengan bentuk yang berbeda. Rasanya kayak digampar sih.
Mungkin, saya tidak berhasil melewati ujian itu dengn cara yang benar dahulu kala. Dulu saya masih muda, panas, dan besar kepala. Mungkin, Allah sedang menguji saya sekali lagi. Mungkin Allah memberikan kesempatan saya tumbuh dan dewasa sekali lagi.
Dan kali ini berharap bisa lulus ujian kehidupan ini dengan baik.
1 note · View note
Text
Karena jatuh cinta adalah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menghancurkan hati kita, sambil tetap berharap dia tidak melakukannya.
Mungkin itu sebabnya saya orang yang hati-hati banget untuk membuka diri sama orang lain, untuk bilang sayang sama orang lain. Karena ditinggalkan rasanya menyakitkan. Konteksnya bisa apa aja, pacar, teman, sahabat. Saya termasuk orang yang jarang dan sulit bilang sayang. Tapi akhir-akhir ini di kantor saya terkenal dengan gombalnya loh. Dan korban gombal paling parah rasa-rasanya Buddy saya. Untung aja Buddy saya perempuan, kalo laki-laki bisa perkara urusannya, hahahhaaa.
Mungkin jauh lebih mudah bagi saya untuk bilang sayang dengan gaya bercanda, karena saya orang yang sulit mengungkapkannya. Perkaranya adalah orang jadi tak paham mana yang enar-benar bilang sayang, mana yang memang bercanda.
Akhir-akhir ini banyak banget yang mau diceritakan, tapi tiba-tiba saja tidak berdaya untuk menuliskannya. Mungkin keluangan waktu menulis memang sesuatu yang sangat berharga. Dan semakin jarang menulis, semakin menurun pula kemampuan kita.
1 note · View note
Quote
Jatuh cinta itu mudah,, setidaknya lebih mudah dibandingkan saling.
2 notes · View notes
Text
Lost
To be honest, I don't know where to start, or what to say, or how I can explain. Tiba-tiba segala sesuatunya terasa begitu rumit tapi juga begitu sederhana. Bagaimana orang bisa merasakan kesedihan sekaligus kegembiraan, kehilangan tapi juga kelegaan di saat bersamaan? Ternyata banyak hal yang bisa dirasakan manusia sekaligus bukan? Dan di saat-saat seperti inilah saya teringat sebuah quote dari salah satu buku favorit saya, My Sister's Keeper, 'Kemampuan manusia bertahan seperti bambu. Lebih elastis dari yang kita duga sebelumnya'.
Sekitar dua bulan yang lalu, saya masih dalam periode probation di tempat bekerja sekarang. Untuk bisa melewati masa probation tersebut saya diharuskan mengerjakan beberapa tugas. Satu diantaranya adalah membuat diary yang berhubungan dengan kegiatan di kantor. Diary terpanjang dan paling sepenuh hati yang pernah saya tulis terjadi di tanggal 23 Agustus 2014. Untuk pertama kalinya, saya dan teman-teman melakukan coaching dinner bersama coach kami. Saya mengawali diary untuk menjelaskan hari itu dengan sebuah quote dari Rita F. Pierson, salah satu aktivis di bidang pendidikan di Amerika Serikat, "Everyone deserve a champion - an adult who never give up on them, who understand the power of connection, and insist that they can become the best that they can possily be". Saya merasa kalimat pembuka tersebut bisa mendeskripsikan coach saya.
Satu dari sekian banyak hal yang membuat saya resign dari kantor sebelumnya adalah saya tidak menemukan keteladanan atau kepemimpinan di sana. Alasan yang jawabannya saya temukan di tempat yang baru. Jawaban yang salah satunya datang dalam bentuk coach saya ini. Alasan lain adalah lingkungannya yang tidak begitu menyenangkan. Alasan yang jawabannya juga saya temukan di kantor yang baru dalam bentuk teman-teman yang baik dan seorang buddy yang sangat luar biasa. Maka meskipun ini terdengar seperti anak SMA konyol yang alasan memilih jurusan kuliahnya adalah karena teman-temannya banyak memilih jurusan tersebut, mungkin alasan saya bertahan di tempat yang baru dijelaskan dalam tiga alasan utama, Teman yang baik, Buddy yang luar biasa, dan Coach yang perhatian dan bisa dijadikan teladan. Alasan yang konyol memang. Alasan itu mungkin hanya bisa dimengerti oleh orang yang resign, kemudian pindah tempat yang baru dan menemukan jawaban atas alasannya resignnya dulu.
Maka hampir seperti petir di tengah hari bolong (sebenernya dikasih kabarnya malem sih) saat saya mendengar kabar dari coach saya sendiri bahwa dia akan pindah divisi. Ditambah kabar kepastian salah satu teman dekat saya di kantor akan memutuskan untuk resign. Untuk seseorang yang sulit percaya dan membuka hati buat orang lain dan kemudian memutuskan melakukan hal itu kepada mereka berdua, it's almost feel like a betrayal to me, even tough I know they are never meant to. Then I start to cry (minta maaf banget udah bikin suasana coaching dinner kita yang terakhir jadi sendu sedih gajebo begitu). Kalau ditanya kenapa nangis, I cannot explain. Seperti orang yang bertahan untuk alasan-alasan tertentu dan sekarang alasan tersebut hilang. It's like a little kid who lost their hero. Hampir saya kalap di malam harinya untuk mengetik What's App kepada Buddy saya berbunyi, "kalo lw mau resign plis bilang dari jauh-jauh hari biar gw bisa nyiapin hati". Kalimat sudah diketik dan siap di send. Untungnya logika saya masih jalan (dan takut dikatain gajebo sebenernya) sehingga saya mengurungkan niat mengirim kalimat tersebut. Sebagai gantinya saya cuma bisa mengetik emot :") yang mungkin juga menurut Buddy saya sama gajebonya.
Sebenernya saya dan Coach saya ini dibilang deket banget juga enggak. Rasanya sama seperti hubungan saya dengan kabid saya semasa menjadi staff di BEM FEUI saat kuliah dahulu. Someone to look up to. Seseorang yang saya pandangi dan kejar punggungnya. Dan saya ternyata masih sama seperti empat tahun yang lalu, sulit untuk bercerita dan bilang sayang. Maka sebagaimana terhadap kabid saya itu saya jarang bercerita dan tak pernah sekalipun bilang sayang, begitu pula saya terhadap Coach saya ini. Kadang kita bertemu seseorang kemudian kita tahu bahwa kita bisa percaya kepadanya. Dan terhadap teman dekat saya yang satu ini. Well,, she understand me very well. Mungkin karena kita berdua adalah tipe orang yang sama. Sama introvertnya, sama gak enakanya, sama banget deh pokoknya. Jauh lebih mudah bagi saya untuk memahami dia. Dan bagaimana kita bisa tidak percaya terhadap seseorang yang sebenarnya adalah kita sendiri.
Maka ketika Coach saya malam itu mengatakan bahwa saya akan belajar tentang perubahan di tempat ini, ujung lidah saya sudah gatal sekali ingin mendebatnya. It's not just about changing. It's about losing the reason to hang on. It's about losing a hero. If it's not you, it would be so much different. I wouldn't be care kalo seseorang pindah divisi atau resign. Misalnya seseorang yang pernah jadi manajer saya resign gitu, mungkin saya bakal ya sedih sebentar, tapi tidak merasa tersesat seperti sekarang ini. Tapi saya tahu semakin saya berusaha mendebatnya malam itu, saya akan semakin bercucuran air mata. Maka saya memilih untuk diam. Karena kadang berkata-kata sama sulitnya dengan menahan tangis yang hampir pecah di sela tenggorokan.
Mungkin otak saya yang berfungsi menghubungkan momen dalam hidup dengan sebuah lagu atau buku seringkali tidak sinkron. Misalnya saja saya pernah mengaitkan buku Manusia Setengah Salmon nya Raditya Dika dengan proses "kepindahan" saya di BEM. Atau yang lebih absurd lagi saya pernah mengaitkan lagu Tak Pernah Padam nya Sandy Sandoro dengan proses nge run STATA buat skripsi (ini absurd banget sih parah). Dan kali ini saya menuliskan ini semua ditemani Maps nya Maroon 5 dengan reff nya yang terdengar,,
And I wonder where were you when I was at my worst down on my knees.
Yes, I wonder, where were you will be, Coach?
*saya menuliskan ini semua untuk melegakan perasaan. Satu hari, senior saya di kampus pernah nge tweet,
Menulislah, dengan begitu kebahagiaanmu akan terbagikan, dan kesedihanmu akan terhapuskan. Semoga
1 note · View note
Text
Barongsai Berkulit Sawo Matang
Sewaktu SD dulu, saya membaca bahwa Negara Indonesia adalah negara yang majemuk. Bersyukur dibesarkan di tengah keluarga yang sering membaca dan memiliki banyak kosakata, saya paham betul arti kata majemuk dalam konteks kalimat tersebut. Dijelaskan pula bahwa negara yang majemuk harus menghormati perbedaan. Berdarah Jawa dan muslim, otomatis saya besar sebagai sebuah kelompok yang tanpa saya sadari adalah mayoritas. Maka, meskipun belajar di buku bahwa tinggal dalam sebuah negara yang majemuk membutuhkan kebesaran hati untuk menghormati segala bentuk perbedaan, saya tak pernah bertemu perbedaan itu sendiri. Maka semua pelajaran itu hanya tertulis dalam buku semata. Saya tak pernah menghadapinya dalam suatu bentuk yang nyata. Definisi menghormati perbedaan hanya saya rasakan saat saya dan keluarga saling bertukar hantaran dengan tetangga depan rumah yang satu-satunya beragama Katolik di komplek saat Natal dan Lebaran. Saya juga memiliki seorang paman yang keturunan Tionghoa. Dan saya tak pernah merasakan perbedaan itu ada dalam keluarga besar kami.
Di masa yang sama pula meletus krisis 1998. Di umur saya yang baru 7 tahun itu saya melihat orang-orang bertebaran di jalan membawa berbagai senjata. Atau apapun yang tadinya tidak dipergunakan sebagai senjata tiba-tiba bisa dijadikan alat untuk mengahancurkan toko, membuat penyok mobil, dan memukuli orang di jalan. Kata kerusuhan dan krismon begitu akrab di telinga saat itu. Bahkan sebuah lagu dangdut menjadi terkenal dengan judul 9 bahan pokok. Saya sendiri sampai sekarang tak hapal benar apa pula 9 bahan pokok itu. Di masa itu saya melihat toko-toko dan swalayan dimasuki sekelompok orang, dihancurkan atau dibakar, kemudian barang-barangnya di bawa keluar oleh orang-orang tersebut. Saya belajar kosa kata baru saat melihat itu, jarah dan penjarahan.
Hal lain yang sampai sekarang saya ingat adalah tiba-tiba banyak toko dituliskan milik pribumi. Bertanya pada Ibu apa arti pribumi dan paham, pertanyaan lain saya luncurkan kepada Ibu saya. Kenapa kalau bukan milik pribumi? Salah apa mereka yang tergolong bukan pribumi? Hari itu saya mempertanyakan kenapa pelajaran menghormati perbedaan hanya ada dalam buku saja? Mungkin hari itu Ibu saya mungkin sedang menjawab salah satu pertanyaan tersulit dari anaknya. Dan pertanyaan itu bukan adik datangnya dari mana seperti pertanyaan anak-anak lain pada umumnya.
Hari itu saya baru tahu bahwa mereka yang berketurunan Tionghoa tak pernah terekspose keberadaannya meskipun saya melihat mereka semua. Tak memakai nama Cina, tabu menggunakan bahasa mereka, bahkan tak boleh ada pertunjukan kesenian macam barongsai. Hari itu saya melihat barang-barang dijarah. Sayang harga diri dan kehormatan tak kasat mata. Kalau keduanya kasat mata, tentu saya akan melihat ratusan orang pulang dari jalan dengan kehilangan kemanusiaan tapi menjarah harga diri dan kehormatan puluhan atau mungkin ratusan perempuan berketurunan Tionghoa. Hari itu saya belajar melihat realita dengan cara yang paling brutal yang bisa disaksikan seorang anak manusia. Bahwa menghormati perbedaan cuma cerita yang bisa saya baca dalam buku pelajaran sekolah. Bahwa bangsa ini sesungguhnya adalah bangsa yang mudah sekali terbelah.
Terkuburnya keberadaan mereka yang berketurunan Tionghoa selama Orde Baru itulah yang menjelaskan kenapa kini saya memiliki teman-teman keturunan yang bernama Agustina, Jessica, Evelyn, Kevin, Aldo, Alfian, atau bahkan Desy Ratnasari. Sebuah nama yang sama sekali gak ada cina-cinanya. Atau kenapa saya memiliki banyak teman yang jelas-jelas keturunan tapi kemampuan Bahasa Mandarin nya cuma beda sebelas duabelas dengan saya. Juga menjelaskan kenapa banyak diantara mereka yang tak suka dipanggil Cina. Ya bayangin aja, kalo hal terakhir yang terjadi dalam hidup kita setelah dipanggil Cina adalah diuber-uber orang sekampung yang membawa clurit, golok, pisau dan kayu. Atau diperkosa beramai-ramai di depan seluruh anggota keluarganya. Atau hanya karena mereka Cina sebuah keluarga harus terpisah sekian tahun lamanya satu sama lain hanya demi menjaga supaya mereka semua tetap selamat. Trauma macam itu tentu membekas. Trauma macam itu tak akan bisa dipahami oleh seorang yang bukan Cina.
People say don’t judge a book by its cover. Indonesia pernah sekali memiliki presiden yang memiliki kekurangan secara fisik tapi kelebihan dalam hal pemikiran. Ya, Gus Dur adalah potret paling pas dari slogan don’t judge a book by its cover. Gus Dur, seorang yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren, pembesar salah satu partai Islam, nyatanya memiliki anyak keluasan hati dan pemikiran dibanding presiden yang katanya adalah anak petani. Seseorang yang mestinya jauh lebih banyak berinteraksi dengan berbagai kalangan rakyat. Di masa Gus Dur lah banyak perubahan signifikan. Termasuk diantaranya keterbukaan dan penerimaan bagi mereka yang keturunan Tionghoa. Barongsai mulai boleh dipertunjukkan. Menurut saya itu adalah peninggalan Gus Dur yang tidak ternilai harganya. Penerimaan, rekonsiliasi keadaan, dan upaya menyatukan bagian-bagian dalam masyarakat yang sudah kadung terbelah.
Peninggalan Gus Dur lah maka saya hari ini bisa melihat pertunjukan barongsai setiba di Stasiun Pocin. Semua penonton bersorak dan terlihat gembira. Salah seorang di antara anggota tim mereka kemudian mengedarkan kantong plastik bekas permen untuk pemberian seikhlasnya. Ketika seluruh pemain sudah keluar dari kostum barongsai, saya memperhatikan mereka semua. Aneh! Tak ada satupun pemain yang keturunan Tionghoa. Semua berkulit gelap, bermata lebar, bahkan beberapa diantaranya di highlight kuning persis anak layangan. Ya, pertunjukan yang dulu identik dengan mereka yang merupakan keturunan Tionghoa kini sudah bebas dipertunjukkan. Kini kita bisa melihat barongsai berkulit sawo matang.
0 notes
Text
Menulis
Kata Tan Malaka, idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki para pemuda. Bagi saya yang menghabiskan waktu sepanjang kuliah dengan sok-sokan jadi aktivis (hahahaa) kalimat itu udah sering banget saya dengar. Nah selain itu, buat saya kemewahan yang jadi gak sering dirasakan lagi sekarang adalah waktu untuk menulis. Sedih banget ngecek post terakhir di tumblr ini udah setahun yang lalu. Embel-embel tulisan Mr. Skripsi part 1 kayaknya part 2, 3, dan selanjutnya hanya menjadi wacana belaka. Bisa sih di recall tapi kok ya gak timely gitu rasanya. Sebenernya ini mulai ngecek tumblr lagi justru setelah tersentil dengan kelakuan diri sendiri yang seenak jidat ngetawain orang terus realize sendirinya juga begitu.
A lot of things happened in this last years. Selesai sidang skripsi dengan pujian penuh (iya, pujiannya dari diri sendiri, hahahaa), yudisium dan wisuda yang menghabiskan jutaan rupiah (iye, mahal banget yak kuliah, lulusnya masih juga ngeluarin duit banyak), dua hari setelah wisuda saya bekerja di salah satu kantor akuntan publik yang termasuk 4 besar di seluruh dunia, merasakan banget kalimat bahwa pada awalnya semua bangga dengan pilihannya, tapi pada akhirnya tak semua orang bertahan dengan pilihannya. Belum genap satu tahun bekerja di sana, saya memutuskan untuk keluar karena berbeda keyakinan (emang pacaran). Iya, saya yakin saya gak berkembang jadi lebih baik di sana, perusahaannya mah gak tau keyakinannya apa terhadap saya. Proses selama bekerja di sana sampai akhirnya memutuskan untuk resign benar-benar menguji seluruh iman dan keyakinan saya pada Allah. Pada akhirnya proses tersebut mengajarkan saya untuk  tidak khawatir berlebihan. Jangan khawatir, Tuhanmu menyayangimu.
Lepas dari sana saya bekerja di salah satu kantor akuntan publik yang termasuk 4 besar di seluruh dunia. Lah kok sama? Iya, kayaknya saya belum kapok juga jadi auditor (atau karena gak keterima di tempat lain? Hahaha). Sebenernya udah coba apply ke banyak perusahaan, mulai dari MNC sampe yang seumur-umur gak pernah kedengeran ada perusahaan namannya itu. Tapi mungkin jodohnya jadi auditor kali yah. Jadi ya sudahlah. Seenggaknya ini semua menjadikan sebuah pelajaran bagi saya, bahwa boleh jadi saya tidak menginginkan sesuatu tapi sesuatu itu baik buat saya.
Surprisingly, I am much more happier di kantor yang sekarang. Secara keseluruhan kantor ini saya lihat lebih concern terhadap development pekerjanya. Trainingnya lebih rapi dan terstruktur, jadwal masuknya lebih terencana, dan programnya pretty cool sih. Meskipun ada probation 3 bulan (semoga lulus probation amin) programnya terasa menyenangkan. Kebahagiaan tersebut bertambah setelah saya bertemu orang-orang di Grup saya. Berawal dari pengalaman di masa lalu, saya berusaha mencari informasi tentang Grup dimana saya akan bekerja nanti. Thank God banyak yang bilang itu paling oke diantara warna lain di bidang yang sama (lama-lama menjurus dan ketauan deh gw kerja dimana pake ada warna-warnanya). So far semua sangat menyenangkan dan saya berharap terus begini. Yah meskipun gak bisa dipungkiri kalo peak season ya orang bisa jadi senggol bacok semua. But one thing I learned dari tempat sebelumnya, don’t’ shit where you eat. Yah meskipun yang buang kotoran orang lain, kadang kita gak perlu peperin ke mukanya orang yang buang juga. Ini dengan catatan kalo kita mau stay lama di situ. Kalo gak ya peperin aja kayak yang dulu saya lakukan, hahaahaa. Udah bilang belum kalo saya seneng banget di grup ini? Udah ya? Yaudah sekali ini lagi aja ya.
Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, di tempat kerja yang sekarang ada masa probationnya 3 bulan. Selama masa probation itu ada berbagai hal dan project yang harus kita lakukan. Nah saya dapet tugas buat bikin diary setiap hari tapi harus ada nilai-nilai yang dianut di kantor saya. Bingung? Pasti. Tapi seengaknya saya seneng dapet tugas ini karena membiasakan saya menulis lagi. Dan seperti yang sudah diduga, lama gak menulis bikin ide saya gak kuat dan kemamapuan menulis menurun banyak. Pokoknya dari semua tulisan ada yang bagus, ada yang gak jelas banget lah.
Hal lain yang juga berbeda dari tempat kerja yang sebelumnya adalah coach. Di tempat yang sekarang saya punya coach. Mirip mentor gitu fungsinya. Dulu ada juga sih, tapi gak pernah disuruh bikin apa-apa, report nya gak terpantau, kayaknya sampai saya resign kayaknya mentor saya juga gak tau kalo saya mentee nya deh. Kebetulan coach saya dan teman-teman yang satu batch dengan saya di grup ini sama. And she is very famous. Kayaknya kalo tanya ke orang di grup saya, semua orang tau dia. Tapi, coach saya ini sibuk pake bingits karena doi udah Asisten Manajer dan memegang klien yang fantastis. Gak salah coach kita juga sih. Tapi ini udah bulan dimulainya planning dan saya menganggap itu wajar. Seenggaknya udah kenalan. Nah dari coach kami inilah cerita kenapa saya mulai buka tumblr lagi.
Beberapa hari yang lalu, karena gak ada kerjaan, saya dan teman-teman iseng kepo in coach saya ini. Thanks to Mbah Google kita menemukan banyak hal. Salah satunya ternyata coach saya punya blog, yang terakhir di tulis sekita 3 tahun yang lalu. Sontak kami semua tertawa. Tiba-tiba ada suara-suara di kepala saya, ‘kurang ajar ngetawain orang lain, tumblr sendiri apa kabar?’. Jadi mulai hari ini saya mulai belajar menulis lagi. Dosen pembimbing saya dulu pernah mengajarkan bahwa menulis itu adalah pekerjaan yang dilatih dan harus rutin. Dengan begitu semua locked, kebutuhan mencari ide, dan pemilihan kata semakin hari akan semakin bagus. So, let’s begin with a fresh start.
1 note · View note
Text
Dear My Future Daughter...
Beberapa bulan yang lalu saya pernah nge twit bahwa saya sangat salut dengan Ibu pekerja yang mendedikasikan weekend nya untuk keluarganya, salah satunya dengan tidak banyak membalas atau mengecek handphone. Pemicunya sederhana, waktu saya mengecek nama dospem saya lewat WA menunjukkan beliau last seen hari Jumat siang. Padahal itu adalah hari Minggu malam. Mungkin juga tidak ngecek sms saya yang panic setengah mati hari itu, ahahahaha. Juga karena saya tahu bahwa beliau adalah seorang yang sangat sayang keluarga dan anak-anaknya (salah satu alasan mengapa saya agak sungkan menghubungi beliau di weekend atau di luar jam kerja).
Tentu twit tersebut mengundang berbagai reaksi pro dan kontra. Salah satunya adalah dari seorang teman laki-laki yang menyatakan bahwa dia lebih salut dengan Ibu yang seluruh waktunya buat keluarga dan anak-anaknya. Saya me reply dengan jawaban bahwa saya jauh lebih salut pada ibu pekerja yang juga tetap bisa memantau anak-anaknya. I respect for stay at home mother, if only that makes her happy. Saya membalasnya bukan semata-mata gak mau kalah. But I do believe in that. Saya respek dengan stay home mother if only that is her own conscious choice, and that makes her happy. Sama halnya saya respek dengan para Ibu yang memilih kembali bekerja setelah punya anak, because she like to work. Pada akhirnya pilihan untuk bekerja atau tidak setelah berkeluarga dan punya anak-anak bagi perempuan menurut saya adalah pilihan yang sangat personal. Dan tak adil rasanya menghakimi mana yang lebih baik.
Saya dibesarkan dengan seorang Ibu yang bekerja. Kehidupan kemudian membawa saya melihat dengan mata kepala sendiri lewat salah seorang anggota keluarga saya betapa pentingnya perempuan bekerja jika dia memang menginginkannya. Sejujurnya, saya tak merasa kekurangan perhatian dari Ibu saya ketika saya kecil dan kemudian tumbuh sampai besar. If I could turn back time, saya tak akan meminta Ibu saya being a full-time mother. Karena saya tahu betapa bekerja membuat beliau bahagia. Dan kemudian, saya pun tumbuh menjadi seorang yang merasa tak sanggup jika di kemudian hari harus tak bekerja. Tentu saya tak akan bekerja jadi auditor terus seperti sekarang yang kadang memaksa untuk lembur sampai jam 2-3 pagi. Tapi saya tak sanggup rasanya jika setiap hari yang dilihat cuma dapur, WC, kasur, itu-itu terus sampai tua. Well,, namanya hidup pasti tak semua sepaham dengan pandangan saya. Saya tentu bisa menerimanya. Dan tulisan saya di sini juga tidak untuk mengajak orang lain berpandangan sama dengan saya.
Berangkat dari hal itu, beberapa waktu yang lalu saya membaca surat ini. Dan sebagai perempuan yang sampai detik ini memutuskan akan tetap bekerja meskipun sudah berkeluarga kelak, I can feel her emotion in this letter. So, my future kids (especially my daughter, because I do believe kadang anak perempuan emang sangat menguji iman emaknya, ahahahaa), if you ask me why I'm working, here are what I'm gonna tell:
Dear Daughter, Here's Why I Work
0 notes
Text
The Story of My Mr. Skripsi (Part 1)
Finally, punya waktu (dan niat) untuk menulis di tumblr lagi. Berhubung saya belum pernah numpahin semua perasaan selama ngerjain skripsi, this time dan sampe beberapa waktu ke depan kayaknya bakal ngebahas si Mr. Skripsi tercinta ini. Ya, 367 hari adalah waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini sampe semuanya beres. Terhitung sejak pertama kali punya nyali bawa jurnal dan proposal ke calon dospem, she said yes, dan berakhir dengan mengantarkan dua hardcover ke perpus pusat dan perpus FE. Masih inget rasanya pertama kali kepincut sama jurnal Fiechter itu, mengalami masa maju mundur setengah demot karena tahu kalo mau persis sama kayak itu jurnal gak doable dilakukan dengan Indonesia sebagai sampel, nyoba nyari jurnal lain dengan topik mirip tapi hati udah keburu nyangkut di Fiechter, sampe akhirnya dapet pencerahan dengan ngobrol sama calon dospem.
1 tahun lebih 2 hari ngerjain skripsi ini pasti banyak ceritanya. Ya, ngerjain benerannya sih gak sampe setahun. Ngerjain benerannya cuma dari akhir Maret 2013 yang lalu. Tapi selama itu banyak banget cerita dan pelajaran hidup (caelah) selama ngerjain skripsi ini. In this part one saya mau cerita tentang jodoh dan nikah, nfufuffufufu.
No, no, ini gak cerita galau-galauan. Meskipun kalo yang baca ini terus jadi galau risiko ditanggung pembaca yah, hehehehee. Buat saya, ngerjain skripsi ini bener-bener soal jodoh. Tahu kan bahwa setiap harinya kita ketemu puluhan orang, dan out of nowhere ada satu orang yang… snap! mengubah hidup kita. Simply your significant other. Perjalanan saya dengan topik ini juga begitu. Masih ingat di awal pembuatan skripsi ini saya punya tiga keinginan. Satu topiknya tentang nilai wajar atas instrument keuangan. Dua dospemnya pengennya dospem yang emang kemudian jadi dospem saya (sebut merk boleh gak sih? Kalo ke depannya sebut merk yah mohon maaf lahir batin ya Bu. Kalo sampe ini tulisan nyampe ke dospem saya, for God’s sake Bu, gak ada maksud gak baik. Semua tulisan saya yang menyangkut Ibu insya Allah saying that you are as good as angel). Ketiga saya mau bikin skripsi yang bagus. Keinginan yang terakhir itu sempat saya lontarkan kepada dospem saya, yang membuat beliau mengingat saya, bahkan setelah satu semester kabur dan gak pernah bimbingan :p.
What makes me different and the reason why my supervisor loves me (okay ini totally narcissus side of me) saya bikin skripsi karena emang niat penelitian, bukan sekedar literally diajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana. Dan karena emang udah niat mau bikin penelitian, saya cari topiknya yang bener-bener saya suka dan saya mau. Bukan apa aja deh asal gampang dan cepet ngerjainnya. Gak bakal menyalahkan mereka yang bikin skripsi apa aja yang penting cepet lulus juga, we just have a different principle here. Bagi saya, skripsi itu harusnya jadi one of your masterpiece as an undergraduate student.
Nah, proses memilih yang kita suka ini menurut saya sama kayak orang cari jodoh dan memutuskan untuk nikah. Decide to spend your entire life with someone is a big thing. Dan seseorang mestinya memutuskan bersama orang lain karena memang cinta. Orang pacaran ya, sama-sama cinta aja, kalo lagi kesel bisa sama-sama capek nanggepinnya. Apalagi kalo gak cinta. Sama juga kayak skripsi. Saya yang cinta hampir setengah mati sama topiknya ini, kalo lagi capek mindahin data yang emang kampret bener itu suka males ngerjainnya. Gak kebayang kalo topiknya bukan topik yang saya suka. So here a little tips for those who will start to make their thesis. Chose the one that you love. Skripsi itu bukti konkret yang tersisa yang kelak akan dilihat anak keturunan kita kalo emak/bapaknya pernah kuliah di tempat itu. Jadi menulislah yang serius, bikin penelitian yang bagus, dan kerjakan prosesnya dengan baik. Sayang kalo skripsi kita cuma sekedar tulisan yang kita bahkan gak put all of our heart into it. Sesuatu yang dikerjakan pakai hati sama gak itu hasilnya pasti beda J
Setelah selesai bicara soal topik. Lanjut ke masa-masa nge run data. This phase is the one that makes me almost crazy. Hasil run data saya di awal-awal itu jeleknya gak karuan. Sebelas dua belas rasanya kayak orang patah hati. Udah sama-sama cinta, ngerasain segala suka dukanya bersama, at the end of the day kita tahu kalo gak bisa lanjut itu rasanya nyesek. Iya emang, ahahaha. Akhirnya setelah segala cara dicoba, which is H-5 deadline submit model saya belum fix juga, hasil akhirnya tetep aja, gak semua variabel dalam penelitian saya signifikan. What I’ve learned this time? Sama seperti jodoh. Siapa sih yang gak pengen dapet jodoh yang perfect? Baik, tampan, kaya, soleh, dan sederet doa lainnya yang saya yakin dipanjatkan mereka yang sedang mencari pasangan. Tapi at the end of the day, nobody is perfect. You love someone despite of, not because of. Kita mencintai seseorang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sama seperti saya yang pada akhirnya menerima bahwa gak semua variabel dalam penelitian saya signifikan, mungkin begitu pula dengan jodoh kita kelak. Pada akhirnya kita memutuskan mana dari sekian banyak variabel kriteria jodoh yang kita inginkan bisa kita tolerir signifikansi keberadaannya atau tidak. Pada akhirnya kita memilih yang paling baik yang ada, meskipun tidak sempurna.
0 notes
Text
Tumblr media
             367 hari. And I still love it like the first time I chose the topic :")
0 notes
Text
Finished my thesis with a good score, working with a truly researcher as my supervisor, find a lot of joyful moments when doing that research, and surrounded by people who is going into gradschool really makes me consider to take into a gradschool more seriously. Well,, people said that because love is a reaction of hormones, it will only last for two years. Let's see in two years from now if I still want to taking the gradschool this badly and still falling in love with that research thingy this hard :)
For the first time in my life, I am not that sure to stay as an auditor. At the crossroads once again, eh? :)
0 notes