Tumgik
issa-writing-blog · 1 year
Text
Handphone
Punggung Rina yang lemas bersandar pada sofa yang empuk. Matanya menatap layar HP-nya dengan seksama. Sedangkan itu, kakeknya duduk dengan santai di meja makan dengan koran harian di tangannya.
“Rina ini,” ucap Kakek dengan tiba-tiba, “kerjaanmu hanya menatap layar HP tiap hari. Tidak ada kerjaan lain, ya?”
Rina memutar kepalanya ke arah Kakek. “Ini kan, Rina sedang belajar dengan HP.”
Kakek menjerit, “Apa-apaan itu? Pemalas sekali. Tidak ada yang namanya belajar dengan HP.”
“Kakek tidak benar!” Rina memutar matanya.
Kakek pun meletakkan korannya di atas meja makan. Ia kemudian bangkit dari kursinya dan menghampiri Rina dengan berjalan bungkuk. Rina masih saja asyik memandang layar handphonenya. Cucunya yang tidak kunjung menoleh membuat Kakek menjadi geram. Dia kemudian merebut handphone dari tangan Rina.
“Kakek! Kembalikan!” suruh Rina meronta-ronta. Tangannya berusaha meraih handphone dari genggaman Kakek. Meski begitu, ia tak cukup tinggi untuk mendapatkannya.
“Kakek sita ini. Sekarang Rina lakukan kesibukan lain, ya!” Kakek menyimpan handphone di kantongnya. “Jalan-jalan keluar. Di luar ramai. Ada banyak temanmu di sana.”
Rina mulai mendengus kesal. Dia berjalan ke arah pintu depan dengan penuh keluhan yang keluar dari mulutnya. Kakek tersenyum girang menampilkan gigi kuningnya saat melihat Rina pergi menaiki sepedanya dari balik jendela.
Kakek masih saja penasaran dengan apa yang Rina lakukan dengan handphonenya. Dengan itu, Kakek membukanya. Game macam apa yang Rina mainkan? Apakah dia asyik membuka sosial media? Ataukah dia menggunakannya untuk hal tidak berguna lainnya?
Kakek terkejut saat mengetahui kebenarannya. Ternyata Rina hanya sedang menonton video pembelajaran guru Matematikanya di YouTube.
8 notes · View notes
issa-writing-blog · 1 year
Text
Bapak
“Edo!”
“Edo!”
“Edo!”
Susanti menutup telinganya dengan geram. Kekesalannya yang dia pendam dari tadi membuat kepalanya ingin meledak. Sudah berhari-hari teman sekelasnya mengejeknya dengan nama bapaknya. Siang malam dia dipanggil dengan nama yang bukan miliknya dengan intensi mengejek.
“Edo, kenapa marah?” ucap sahabatnya, Udin.
“Aku tidak suka dipanggil dengan nama bapakku!” Susanti berteriak dengan murka. “Aku punya nama. Namaku Su. San. Ti!”
Meimei menyahut, “Namamu Edo sekarang.”
Teman-temannya kemudian tertawa terbahak-bahak. Hal tersebut membuat Susanti mulai mendengus kesal. Bukannya berhenti, teman-temannya malah melanjutkan apa yang mereka kerjakan sebelumnya. Susanti pun menutup telinganya rapat-rapat selagi berteriak keras-keras.
Teriakan Susanti yang memecah telinga temannya membuat mereka berhenti. Susanti kemudian berhenti berteriak. Kelengangan diisi oleh mereka yang saling bertatapan. Susanti kemudian menyingkirkan tangannya dari telinganya dan mulai berbicara untuk dirinya sendiri.
Susanti membuka rahangnya. “Tolong hentikan. Panggil aku dengan namaku. Aku tidak mau dipanggil dengan nama bapakku!”
“Kenapa?” ujar Udin. “Kau tidak perlu malu dipanggil dengan nama bapakmu. Bapakmu punya nama yang indah, kok! Edo itu nama yang bagus.”
“Bukan begitu. Hanya saja ….” Air mata Susanti mulai berkaca-kaca. Mulutnya mulai terisak. Dia mengusap matanya yang berair. “Hanya saja, bapakku sudah meninggal!”
Teman-teman Susanti langsung terdiam dengan muka menganga. Tak ada dari mereka yang berani mengatakan sesuatu. Tetesan air mata penuh kesedihan Susanti makin menjadi-jadi, membuat temannya semakin khawatir dengan keadaan Susanti. Mereka pun bergegas memeluknya dan menghiburnya selagi meminta maaf dengan penuh penyesalan.
1 note · View note
issa-writing-blog · 1 year
Text
That happy moment when your short story get chosen as the best in your school and you’re gonna represent your school to a short story writing competition in your city :>
1 note · View note
issa-writing-blog · 1 year
Text
Istirahat
Kiren berjalan dengan terhuyung-huyung. Badannya bergerak lesu. Tangannya berpegangan lemas pada pagar rumahku yang baru saja kubukakan untuknya. Matanya terlihat sayu dengan wajah yang putih pucat seperti mayat.
“Kiren, kau tidak a….”
Pertanyaanku disela dengan suara kaki Kiren yang hilang keseimbangan. Dengan panik, aku menangkap tubuhnya yang berkeringat dingin.
Aku berseru, “Bertahanlah!”
Aku pun mengangkat temanku yang pingsan ke kamar tidurku.
Di antara siswa-siswi pemalas di kelasku, teman sebangkuku, Kiren bersinar layaknya gemintang di antariksa yang gelap gulita dengan kepandaiannya yang memukau. Di saat guru menerangkan materi, hanya ialah yang fokus memelototi papan tulis. Sepulang sekolah pun ia langsung mengikuti bimbingan belajar. Pada malamnya, dia lanjut belajar mandiri. Hal tersebut sudah cukup membuat orang-orang mengenalnya sebagai seseorang yang rajin.
Mentari dan rembulan silih bertukar posisi. Kiren semakin rajin, tetapi bukan hanya itu yang aku perhatikan darinya. Semakin hari, aku menyadari betapa lemasnya ia ketika melewati pintu kelas. Jalannya lamban, matanya sayu, dan tangan terus menutupi mulutnya yang tak kunjung berhenti menguap. Kiren sering sekali terlihat seperti seseorang yang sakit.
Aku awalnya bingung apakah Kiren benar-benar sakit atau hanya terlihat seperti itu. Melihatnya pingsan saat datang ke rumahku untuk kerja kelompok menjawab pertanyaanku.
Kiren berbaring dengan lemas di kasurku. Hampir dua menit sudah berlalu. Ia belum siuman, tetapi aku ragu bila ingin membangunkannya.
“Ngh?”
Aku menoleh mendengar rintihan Kiren. Ia sudah membuka matanya perlahan-lahan.
“Kiren!” teriakku lantang. “Aku khawatir saat kau tiba-tiba pingsan di depan rumahku. Ada apa?”
“Hah?” Kiren menatapku dengan alis yang menyatu. Matanya masih belum terbuka lebar. “Aku barusan pingsan, ya?”
Aku mengangguk. “Kau pingsan saat baru datang. Untuk kau tak terjatuh di aspal garasi.”
“Maafkan aku, Fafa,” ucap Kiren mengusap matanya. “Aku sedikit lelah akhir-akhir ini.”
“Sedikit?” Aku memelototi mata lesunya. “Kau ini terlihat sangat lelah seperti ada berton-ton beban di punggungmu.”
“Itu tidak benar.”
Aku pun duduk di samping Kiren yang masih berbaring. Kulitnya tidak pucat lagi dan tangannya sudah tidak berkeringat dingin saat aku menyentuhnya. Meski begitu, aku masih khawatir.
“Aku perhatikan kalau kau sering sekali kelelahan.” Aku memainkan tangannya sambil memandang wajahnya. “Kau terlihat seperti tidak tidur berhari-hari dan ada banyak beban di benakmu. Apa yang terjadi?”
Suasana di kamarku lengang untuk sejenak.
“Entahlah. Mungkin aku terlalu banyak beraktivitas,” tebaknya. “Aku sendiri tidak tahu, tetapi sepertinya itu karena jadwalku yang padat. Ada banyak yang kulakukan dalam sehari dan diriku yang tidak sanggup melakukan itu semua hanya menambah beban.”
“Itulah mengapa!” seruku lantang. “Semuanya masuk akal. Kau kelelahan sehingga pingsan.”
Kiren mengangguk dengan pelan. “Akhir-akhir ini, aku juga kurang tidur.”
“Sekarang kau tidur dulu, ya. Aku bisa kerjakan tugas kelompoknya sendiri. Lagipula, kita hanya berdua dan tugasnya tidak begitu sulit.”
Mata Kiren melebar. “Benarkah?”
Aku mengangguk. “Iya. Aku peduli dengan kesehatanmu.” Aku kemudian menarik selimut agak memeluk tubuh Kiren yang membutuhkan istirahat. “Sekarang, tidurlah! Berjanjilah untuk tidak membuat dirimu kelelahan, oke?”
Kiren mengangguk. Matanya yang elok menutup perlahan-lahan sehingga menyisakan bulu matanya yang lentik sebagai satu-satunya hal untuk kupandang. Suara napasnya menjadi lebih tenang dan memelan. Selagi Kiren berusaha menggapai alam mimpi, aku pun bangkit dari kasurku dan mulai mengerjakan tugas kelompok kami berdua.
 Dewi malam menggantikan posisi raja siang, lalu raja siang kembali menyelimuti bumi dengan cahayanya yang terang benderang. Aku menikmati pagiku dengan sarapan di sekolah. Di saat aku menikmati nasi goreng yang lezat, Kiren tiba-tiba berjalan menghampiriku dengan lemas.
“Selamat pagi!” sapaku.
Kiren tidak menyapa, alih-alih langsung menjatuhkan tas ke lantai dan duduk di kursinya dengan kepalanya beristirahat di atas meja.
Aku bertanya dengan khawatir, “Kau baik-baik saja?”
Kiren tidak menyahut. Aku kembali mengulangi perkataanku dan lagi-lagi Kiren tak kunjung menyahut. Keheningan memenuhi kami berdua. Dia tidak bergerak sedikitpun. Napasnya begitu teratur. Sudah jelas Kiren tertidur. Lagi-lagi, itu pasti karena kelelahan.
“Kiren, bangun.” Aku menggoyangkan badannya dengan perlahan. “Kau tidak bisa tidur saat ini. Sebentar lagi, kita harus ikut imtaq.”
Kiren tidak membalas dengan apa pun. Aku hanya bisa menghela napa. Aku mengesampingkan nasi gorengku lalu mencoba berbagai cara untuk membangunkannya. Butuh banyak sekali usaha untuk berhasil dan untunglah dia bisa dibangunkan. Aku pun mengikuti kegiatan imtaq bersama Kiren yang rasa kantuknya mulai berkurang. Meski begitu, hal tersebut tidak menghilangkan kekhawatiranku pada Kiren yang sangat kurang tidur.
 Jam terasa berdetak begitu lama pada jam pelajaran pertama. Saat jarum panjang dan jarum pendek telah menunjuk pada waktu istirahat, aku kegirangan. Akhirnya aku bisa beristirahat setelah kepalaku penat dengan berbagai rumus matematika yang dipenuhi campuran angka, huruf, dan simbol yang tidak sepenuhnya kucerna.
“Kiren, sebaiknya manfaatkan jam istirahat ini untuk tidur sejenak,” usulku bangkit dari kursiku sembari meregangkan tanganku yang lelah menulis. “Kau sangat kurang tidur. Kau bisa sakit lama-lama.”
“Tidak apa-apa.” Kiren menoleh dan menampilkan senyuman manis kepadaku. “Ada materi IPA yang harus aku catat untuk persiapan materi baru. Jam pelajaran IPA kan setelah istirahat. Aku harus memanfaatkannya sebaik mungkin.”
Aku menoleh ke sisi meja miliknya. Mejanya dipenuhi buku IPA yang baru saja dia keluarkan dari tas ranselnya. Mejanya adalah satu-satunya meja yang masih memiliki buku di atasnya. Aku tahu kalau niat Kiren baik dengan belajar dengan keras, tetapi aku tidak setuju bila dia terus memaksakan dirinya sendiri.
“Ayolah, Kiren.” Aku menutup buku IPA di atas meja dengan paksa. “Aku yakin kau sudah belajar di rumah kemarin. Itulah kenapa kau begadang, kan?”
Kiren mengangguk perlahan. Aku menghela napas.
Aku pun kembali mengingatkannya, “Kau lebih baik tidur sejenak dulu. Kau sangat lelah. Badanku terasa sedikit hangat saat aku menyentuh tanganmu. Kalau kau tidak istirahat, kau malah akan sakit besoknya. Kau juga belum sarapan tadi pagi. Ikuti aku pergi ke kantin.”
“Fafa, percayalah aku baik-baik saja. Ini sudah biasa bagiku.”
Dengan frustrasi, aku menepuk dahiku. Aku kembali menghela napas panjang. “Ya sudah, deh. Terserah apa maumu. Bila kau tertidur atau sakit perut pada jam pelajaran IPA nanti, aku tidak akan bertanggung jawab, mengerti?”
Kiren memutar matanya lalu mengangguk. Aku pun meninggalkannya ke kantin bersama sahabatku yang lainnya. Di saat aku seharusnya melahap makanan ringan yang manis dengan perasaan senang, aku malah memikirkan Kiren. Kami tidak begitu dekat, tetapi kejadian yang terjadi akhir-akhir ini membuatku merasa khawatir dengannya.
Saat aku kembali ke kelas tepat sebelum waktunya jam pelajaran IPA, aku menemukan Kiren tertidur di mejanya. Buku-buku yang di atas meja tergeletak begitu saja dengan kepala dan tangannya yang beristirahat di atasnya.
“Sudah kuduga,” kataku kesal.
Aku berusaha membangunkannya, tetapi usahaku gagal. Kiren terlalu terhanyut pada alam mimpi untuk bisa kubangunkan. Dia akhirnya bangun setelah guru IPA kami memasuki kelas dan melihat Kiren dengan raut wajah kesal. Beliau membangunkan Kiren dengan paksa sehingga dia terbangun dan mengikuti pelajaran dengan setengah mengantuk dan perut keroncongan.
 Bukan hanya pada hari itu Kiren tertidur begitu saja di waktu yang tidak seharusnya karena kelelahan. Bahkan pada hari Senin, hari di mana kau benar-benar  butuh istirahat cukup, dia terlihat kelelahan. Aku tidak terlalu yakin apabila keadaannya cukup baik untuk mengikuti upacara bendera.
“Bangun, Kiren!” Aku menggoyangkan tubuhnya dengan paksa. “Kita harus mengikuti acara bendera!”
“Ngh?” Kiren mengangkat kepalanya yang beristirahat dengan lesu di meja.
Aku mengambil topi Kiren yang ada di loker mejanya dan meletakkannya di atas kepalanya. “Ayo, mari turun.”
Dengan pasrah, dia bangkit dan berjalan dengan lambat. Aku menggenggam tangannya yang menghangat selagi mengarahkannya ke lapangan bendera.
Keadaan lapangan bendera sekolah begitu berantakan. Lapangan penuh dengan siswa-siswi yang berbaris dengan berdempet-dempetan. Aku dan Kiren berdiri bersebelah-sebelahan di barisan yang penuh dengan siswa yang tidak bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Celotehan terdengar dengan lantang meskipun guru sudah menegur kami. Sudah lagi, barisan kami yang tidak lurus membuat suasana menjadi lebih kacau balau.
Upacara bendera dimulai. Ketua kelas merapikan barisan kami. Bendera menari-nari di atas tiang bendera dan para pelajar memberi hormat padanya. Lagu Indonesia Raya yang sangat kami agung-agungkan pun dinyanyikan oleh para paduan suara. Berbagai teks dan janji dikumandangkan. Setelah itu, kamu semua diberikan perintah untuk beristirahat di tempat karena kami akan mendengar ceramah dari kepala sekolah.
Bruk!
Aku yang mendengar suara langsung menoleh ke sumbernya. Ternyata suara tersebut berasal dari sebelahku. Kiren terjatuh ke depan. Sebelum kepalanya sempat menyentuh lantai, aku segera menangkapnya.
“Kiren, bertahanlah!” seruku dengan nada panik. Semuanya menjadi menoleh ke arah kami.
Ketua kelas memberi saran, “Cepat bawa dia ke UKS, Fa!”
Aku melaksanakan usulannya dengan sigap. Aku mengangkat Kiren menuju UKS melewati puluhan orang yang memandang kami berdua dengan sepasang bola mata penasaran mereka.
Sesampai di UKS, aku membantu petugas UKS membaringkannya di tempat tidur. Kiren siuman tak lama setelahnya. Aku tetap menemaninya saat itu bukan semata-mata karena aku ingin kabur dari upacara bendera, melainkan karena aku begitu menyayangi temanku sehingga aku tak tega meninggalkannya sendirian. Aku tetap memegangi tangannya supaya Kiren tenang.
“Kau sudah sarapan pagi?” tanyaku layaknya seorang detektif menginterogasi tersangkanya.
Kiren tertawa kecil. “Aku bangun telat, jadi aku tidak sempat.”
Mataku terbelalak.
“Apa-apaan reaksimu itu?” Kiren memandangku sambil kembali tertawa. “Aku ini tidak jarang tidak sarapan, jadi kupikir aku akan baik-baik saja. Ternyata aku salah.”
“Tentu saja kau salah!” seruku marah. “Dasar bodoh. Kau ini membuatku khawatir saja. Bagaimana dengan tidurmu? Kau pasti begadang sehingga bangun telat, bukan?”
Kiren tersenyum lalu mengangguk. “Asal kau tahu, satu-satunya waktu yang aku punya untuk belajar untuk ulangan harian IPA hari ini adalah pada malam harinya. Hanya saja materi yang disuguhkan di buku sedikit menyulitkanku sehingga aku juga harus menonton banyak video pembelajaran di internet. Itulah kenapa aku berakhir tidur jam dua malam.”
“Jam dua malam?” Aku tidak mempercayai kata-katanya. “Kau ini benar-benar menyakiti dirimu sendiri dengan kebiasaan burukmu!”
“Aku tahu kau khawatir, tetapi aku bisa menghadapi ini semua. Aku sudah terbiasa dengan ini.”
“Sudah terbiasa bukan berarti kau berhak mengalaminya, Kiren.”
Kiren terdiam. Dia menghela napas panjang. “Percayalah, menghentikan semua kebiasaanku ini tidak semudah memetik jari.”
“Itu tidak mudah karena kau tidak berusaha sama sekali,” kataku memainkan untaian rambut pendeknya. “Bila kau berusaha, mungkin akan lebih mudah. Tidak mudah, tetapi setidaknya lebih mudah dan kau akan merasa lebih baik.”
Suasana lengang di antara kami. Kiren tak berani merespons. Aku tak berani untuk melanjutkan. Akhirnya kami memutuskan untuk membiarkan kami berdua terhanyut pada kesunyian tersebut.
Tidak lama kemudian, petugas UKS menyuruhku untuk kembali mengikuti upacara karena aku tidak boleh kabur begitu saja, meski untuk menemani temanku. Dengan mengurut dada, aku mengucapkan selamat tinggal pada Kiren dan menuju ke barisanku yang kembali acak-acakan. Sekelilingku ribut dan dipenuhi suara teman sekelasku yang mengobrolkan banyak hal. Meski begitu, aku hanya bisa kembali mendengar suara Kiren terjatuh yang kembali terputar di pikiranku.
Setelah ceramah yang panjang dan pembagian hadiah lomba yang memakan waktu, upacara akhirnya dibubarkan. Aku pun kembali menuju UKS dan menemukan Kiren sudah menggendong tas ransel di punggungnya. Kami melakukan kontak mata dan dia tersenyum masam.
“Aku pulang dulu, ya. Beritahu Bu Guru kalau aku ulangan harian susulan,” katanya.
“Baik!” Aku pun menghampirinya kemudian memeluknya hangat. “Semoga cepat sembuh, ya. Jangan begadang dan jangan lupa makan.”
“Aku akan usahakan. Kau belajar yang rajin, ya.”
Aku pun melepas pelukanku dan membiarkannya melangkah keluar dari UKS. Sungguh ironis karena Kiren begadang semalaman dan melewatkan sarapan untuk ulangan harian yang tidak dia ikuti karena usahanya. Pada akhirnya, usahanya sia-sia dan hanya membuatnya kelelahan. Aku ingin menegurnya, tetapi saat ini, yang aku inginkan hanyalah agar dia menjadi pulih.
 Seragam khas SMP-ku menggantikan posisi seragam putih biru. Setelah dua hari tidak mengikuti pelajaran sekolah, Kiren sudah pulih. Ia memasuki kelas dengan penampilan seperti dia cukup tidur. Saat aku bertanya padanya, dia juga mengaku kalau dia sudah sarapan pagi ini. Aku pun merasa bangga padanya karena membuat kemajuan yang meski terlihat kecil di matanya, kemajuan tersebut terlihat drastis di mataku.
“Aku memang sudah tidak sakit,” ujarnya, “tetapi aku masih kewalahan karena tugas-tugas yang diberikan saat aku tidak masuk. Belum lagi aku harus mengikuti ulangan susulan.”
“Tenang saja.” Aku merangkulnya lalu menepuk pundaknya. “Kau hanya perlu cicil saja satu per satu. Yang penting adalah manajemen waktu. Yang penting, jangan sampai mengerjakannya sampai begadang. Istirahat itu penting.”
“Aku tidak punya cukup waktu. Bagaimana bisa aku melakukannya?”
“Kau memang mengikuti terlalu banyak les. Aku sarankan untuk mengurangi beberapa, seperti les pianomu. Kau ikut itu karena paksaan orang tuamu dan kau tidak terlihat menikmatinya. Itu hanya akan menyita waktumu.”
“Kau ada benarnya.”
“Aku juga bisa memberimu tips belajar. Aku ini memang tidak sepintar kau, tapi aku lumayan pintar dan bisa membantumu, kok!”
“Baiklah!” Kiren tersenyum. “Sebutkan.”
Aku pun memaparkan seluruh yang aku punya kepada Kiren. Aku berbagi berbagai teknik dalam belajar yang aku gunakan, mulai dari mengatur waktu belajar, mengatur saatnya istirahat, mengerjakan tugas tepat waktu, dan dalam mempersiapkan ulangan. Aku terkejut saat mengetahui kalau Kiren belum begitu familiar dengan teknik yang aku gunakan. Yang dia lakukan hanyalah belajar tanpa henti dan penuh paksaan tanpa begitu menikmatinya. Dia berbeda denganku yang belajar sedikit saja tetapi tidak terbebani dengan apa yang aku lakukan. Aku pikir justru Kiren terbebani dalam belajar karena dia terus memaksakan diri tanpa menyempatkan istirahat yang sepadan. Sungguh menyedihkan.
Kami pun lanjut mengobrol sampai bel berbunyi tanda sudah waktunya imtaq. Aku pun bangkit dari kursiku, mengambil alquran, lalu keluar kelas untuk menghadiri imtaq bersama temanku.
 Bel berbunyi dan kali ini menandakan waktunya istirahat. Pak Guru yang mengajari kami Bahasa Indonesia keluar dari kelas lebih awal agar kami mendapatkan waktu untuk sarapan dan sebagainya. Dengan gesit, aku pun memasukkan buku Bahasa Indonesia ke dalam tas dan mengeluarkan kotak bekalku.
“Kiren, ayo makan bersama,” ajakku.
Kiren memandangku heran. “Mengapa?”
“Kau belum sarapan, kan?” Aku pun menunjukkan isi kotak bekalku kepadanya. “Aku bawa sarapan tambahan meski sudah sarapan di rumah. Aku ingin kita memakannya bersama.”
“Aku tidak lapar.”
“Ayolah! Ini enak!” Aku menyodorkannya sendok. “Kau kan suka nasi goreng. Cobalah.”
Kiren mendengus kesal, tetapi ia menerima sendok yang aku berikan. Dia kemudian mulai menyendokkan makanan ke mulutnya. Kiren awalnya mengunyahnya dengan perlahan, tetapi kemudian matanya melebar. Dia kemudian meraih sesendok lagi dan memakannya dengan mulut tersenyum.
“Terasa lezat, bukan?” Aku memandangnya dengan senyuman ria.
Kiren mengangguk-angguk. Dia lanjut melahap sarapanku dengan lahap. Aku juga ikut memakannya meski tidak seberapa. Pada akhirnya, ini semua adalah usahaku untuk membuat Kiren makan. Aku akan membiarkannya memakan sarapanku sebanyak yang dia mau selagi dia masih memiliki nafsu makan.
“Setelah itu, sesekali ikut aku berjalan-jalan, yuk! Aku janji ini akan menyenangkan.”
Kiren kembali mengangguk. Dia pun menghabiskan makanannya dengan sigap. Setelah itu, kami pun keluar kelas sambil bergandengan tangan.
“Ke mana kita akan pergi?” tanya Kiren mengikuti langkahku dengan kebingungan.
Aku pun menyahut, “Ikuti saja aku. Kau akan tahu nantinya.”
Langkah kakiku terhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka lebar. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku membuka ikatan tali sepatuku. Sementara itu, Kiren hanya membeku di depan pintu.
“Kau berniat untuk membawaku ke perpustakaan?” Kiren menoleh ke arahku.
Aku mengangguk. “Sekarang cepatlah buka sepatumu. Kita akan membaca buku!”
“Bukannya itu sama saja dengan belajar?”
“Tentu saja, tetapi itu sedikit berbeda,” terangku. “Kita akan membaca buku sastra. Itu memang tidak mengajarkanmu ilmu pengetahuan, tetapi itu adalah cara yang bagus untuk kabur sejenak dari kenyataan. Lagipula, kau tidak bisa hanya membaca buku pelajaran tanpa mencoba membaca buku sastra!”
“Itu tidak menyenangkan. Lebih baik bila aku membaca buku yang mengajarkanku sesuatu dan tidak banyak dipenuhi drama.”
“Ayolah! Mari coba saja! Membaca buku sastra mengajarkan banyak hal. Literasi sangat baik untukmu. Itu juga memperkaya pengetahuanmu akan dunia sastra.”
Kiren menghela napas lalu memutar matanya. Dengan pasrah, temanku berlutut untuk membuka sepatunya. Aku tersenyum bahagia.
Kaus kaki kami bersentuhan dengan karpet yang lembut. Ibu penjaga perpustakaan sedang asyik membaca buku di meja dekat pintu masuk. Beliau menurunkan bukunya dan menoleh ke arah kami. Matanya memelototi kami berdua di balik kacamata baca yang tebal. Kami mengabaikan beliau dan langsung menuju kumpulan rak buku.
“Aku punya rekomendasi untukmu,” bisikku lirih.
Aku pun meninggalkan tubuh Kiren membeku di belakang. Di rak sastra, mataku berkeliling berusaha menemukan sebuah buku. Aku bisa merasakan tatapan Kiren dari belakangku.
Mulutku tersenyum lebar saat aku akhirnya menemukannya. “Nah, ini dia!”
Aku menarik sebuah buku bersampul hitam dan merah muda yang agak tua. Aku pun berbalik badan dan menginstruksikan Kiren untuk menghampiriku. Angin dari kipas angin perpustakaan berembus meniup rambutnya saat ia berlari mendekatiku.
“Kau bisa coba dengan ini.” Aku menyodorkan buku yang ada di tanganku pada Kiren.
“Laskar Pelangi?”
Aku mengangguk. ”Ini ada kaitannya dengan pendidikan, loh. Salah satu karakternya juga sangat cerdas dan antusias dalam belajar. Kau akan menyukainya.”
“Baiklah. Aku akan memberikan buku ini kesempatan.”
Dengan buku Laskar Pelangi di tangannya, Kiren menarik sebuah kursi terdekat. Ia kemudian mengistirahatkan punggungnya pada sandaran kursi. Tangannya mulai membalik lembaran-lembaran penuh majas menyihir ciptaan Andrea Hirata. Aku juga tidak ingin kalah darinya. Aku mengambil buku ciptaan Andrea Hirata yang lain, Ayah lalu ikut duduk di sebelah temanku.
Saat sedang membaca, aku sedikit teralihkan oleh Kiren. Aku tidak bisa henti-hentinya melirik pada Kiren yang begitu fokus. Matanya menatap bacaannya bak seorang anak SMA menatap pujaan hatinya. Tangannya memegang erat buku tersebut layaknya hanya itu satu-satunya hal yang dia miliki dalam hidupnya. Ini baru lima menit dan Kiren sudah jatuh cinta pada sebuah buku.
Aku bertanya untuk mengisi keheningan di antara kami, “Kau sudah halaman berapa?”
“Dua puluh,” jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
“Cepat sekali!” Aku memandangnya dengan heran. “Kau tidak perlu terburu-buru. Pelankan kecepatan membacamu. Cerna katanya satu per satu. Itulah cara untuk menikmati sebuah buku. Dengan begitu, kau akan jatuh cinta kepada buku itu.”
Kiren akhirnya melirik ke arahku. “Baiklah.”
Aku kembali memandang buku yang ada di tanganku. Di saat itu, aku mendengar suara buku yang dibalik dengan cepat. Aku awalnya mengira Kiren melewati seisi buku untuk menuju ke halaman terakhir, tetapi saat aku kembali melirik ke arahnya, ternyata Kiren mengulang dari awal. Ia ingin mencoba membaca dengan lebih menghayati pada saat yang kedua.
Suasana yang hening di perpustakaan menenangkanku. Suara kipas angin yang mendinginkan ruangan dan halaman buku yang dibalik bagaikan musik di telingaku. Rasanya seperti seluruh kekesalanku dan beban dalam hidupku tertinggal di luar perpustakaan. Semua ini membuatku ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku dengan berada di perpustakaan.
Buku yang kami baca begitu menghipnotis kami berdua hingga kami hampir tidak mendengar suara bel yang berbunyi. Dengan sigap, aku langsung bangkit dari kursiku dan mendorongnya ke dalam meja.
“Ayo, Kiren. Saatnya kembali belajar,” ucapku menepuk pundaknya.
Kiren berbalik badan. Dia menghela napas. Tanpa basa-basi, ia pun berdiri. Kami pun mengembalikan buku kami pada tempatnya. Setelah itu, kami melangkah keluar dari perpustakaan. Tak lupa kami berterima kasih pada penjaga perpustakaan karena telah memperbolehkan kami membaca buku.
Saat kami memakai sepatu di depan pintu perpustakaan, aku pun bertanya padanya, “Kau menyukainya?”
“Aku menyukainya, kok!” seru Kiren dengan senyuman lebar di wajahnya. “Aku tidak menyangka membaca akan seseru ini.”
“Bagus! Kau membaca saja saat ada waktu luang. Hanya belajar setiap hari hanya akan membuatmu stres dan kewalahan. Literasi juga sepenting belajar, asal kau tahu.”
“Baiklah. Mungkin aku akan mencoba membaca buku saat aku punya waktu luang supaya aku tidak merasa terbebani.”
“Benar! Kau bisa membaca buku sebagai caramu untuk beristirahat.”
Kiren mengangguk. Ia mengacungkan jempolnya sembari tersenyum sehangat cahaya mentari pagi. Aku pun membalasnya dengan turut mengacungkan jempolku.
Saat kami berjalan ke kelas, aku tersenyum lega. Akhirnya aku bisa membuat Kiren menemukan hobi yang bisa ia lakukan untuk beristirahat.
 Kehangatan dari raja siang mengetuk jendela kelas kami. Cahayanya begitu menyilaukan mataku yang masih sedikit terkantuk-kantuk. Meski begitu, aku menahan untuk tidak menenggelamkan diriku kembali pada alam mimpi.
“Assalamualaikum!”
Aku terbangun oleh teriakan Kiren yang diselingi oleh suara pintu yang dibanting. Mataku seketika terbelalak dengan sikapnya yang berbeda dari biasanya. Tidak ada langkah kaki lesu, muka yang mengantuk, mata yang sayu, dan nada bicara yang tidak bersemangat.  
“Kiren?” teriakku.
Dia menghampiriku dengan raut wajah kebinguingan. “Ada apa?”
Aku menatapnya selama beberapa detik tanpa berkata apa-apa. “Kau …. Kau bertingkah begitu normal hari ini.”
“Apa maksudmu?”
“Jam berapa kau tidur?”
“Aku tidur lebih awal, lebih tepatnya jam sembilan. Ada apa?”
“Kau bangun jam berapa? Sudah sarapan?”
“Aku bangun jam lima, seperti biasanya. Aku langsung belajar lalu baca buku sebentar. Aku juga kali ini sudah sarapan.”
Aku mengedipkan mataku yang terbukka lebar. “Kiren! Alhamdulillah! Aku sangat bangga padamu!”
Kiren masih saja kebingungan dengan sikapku, terutama saat aku bangkit untuk memeluknya. Kedua tanganku menggenggam erat tas ranselnya yang masih di punggungnya di saat aku memeluknya.
“Ada apa denganmu?” bisiknya keheranan.
“Tidak ada. Hanya saja ….” Aku pun melepaskan pelukanku. “Hanya saja aku sangat senang dengan perkembanganmu. Kau perlahan-lahan berubah menjadi lebih baik. Aku bangga padamu.”
“Terima kasih.” Kiren tertawa kecil dengan girang. “Aku juga sudah mencoba saran-saran yang kau beritahu. Aku bodoh, seharusnya aku belajar dengan cerdas dan bukan dengan keras. Aku juga menyempatkan diriku untuk beristirahat dengan membaca buku novel yang ada di rumahku. Aku menjadi tidak terlalu terbebani. Sudah begitu, aku menyukainya!”
“Baguslah kalau begitu.” Aku tersenyum sehangat mentari. “Nanti kita ke perpustakaan lagi, ya!”
“Mau!” teriaknya sambil melompat karena antusias.
Aku menjadi terharu. Kiren yang ada di hadapanku terlihat berbeda dari yang aku lihat sebelumnya. Kiren yang berjalan lamban dan mulutnya tak kunjung berhenti menguap tidak terlihat seperti Kiren yang saat ini sedang duduk di sebelahku. Kiren di sebelahku membaca buku dengan begitu tenangnya. Ia tidak terlihat seperti Kiren yang kewalahan dengan tugas-tugasnya.
Kiren terlihat seperti Kiren yang seharusnya. Kiren yang dulu aku ingat. Kiren yang dulu aku lihat saat dia maju ke papan tulis dan menjelaskan rumus rumit yang memusingkan layaknya itu seperti matematika dasar anak SD. Kiren yang dulu aku lihat tertawa bahagia tanpa mengurut dada. Kiren yang dulu di saat dia masih baik-baik saja.
 Sehari tidaklah cukup untuk mengubah kebiasaan seseorang yang terbentuk selama berbulan-bulan. Meski begitu, aku tidak henti-hentinya berusaha membantu Kiren untuk menjadi lebih baik.
Aku benci di saat dia memasuki kelas dengan lesu. Kiren yang berjalan seperti dia tidak diberi makan berhari-hari membuatku terganggu. Meski begitu, bukannya hanya mengomentari  betapa malasnya dia untuk melahap sarapan, aku mengajaknya sarapan bersama. Di saat dia terlihat tidak berenergi, aku membagikan sarapan yang aku bawa bersamanya. Awalnya, Kiren sering menolak, tetapi lama kelamaan, dia menjadi lebih tertarik untuk makan. Akhir-akhir ini pun dia tidak melewatkan sarapan.
Aku benci di saat dia menguap saat aku menyapanya. Kiren yang terlihat jelas memiliki mata sayu membuatku marah. Meski begitu, bukannya mengomentari matanya yang terlihat seperti dia sudah lama tidak tidur, aku mengingatkannya untuk tidur yang cepat. Aku selalu mengucapkan selamat malam lewat pesan dan tak henti-hentinya untuk memberitahunya agar tidak begadang. Awalnya, Kiren tetap tidak mau mendengarku dengan alasan dia harus mengerjakan banyak tugas, tetapi lama kelamaan, aku dapat membantunya mengatur waktu sehingga dia tidak perlu mengerjakan tugas pada masa seharusnya ia tidur. Akhir-akhir ini pun dia bisa tidur dengan nyenyak.
Aku benci di saat dia terlihat tertekan di saat ia seharusnya tidak. Kiren yang sering kewalahan membuatku nelangsa. Meski begitu, bukannya mengomentari betapa ia seharusnya tidak bersikap dramatis, aku membantunya menenangkan diri. Di saat dia merasa kewalahan dengan hari-harinya, aku tidak pernah lelah menawarkan diri untuk menemaninya mengeluh. Aku tidak memberikannya saran. Yang bisa aku berikan adalah telinga yang mendengar tanpa menghakimi dan itu sudah lebih dari cukup. Awalnya, Kiren tidak bisa menceritakan banyak hal padaku karena dia belum terlalu memercayaiku, tetapi semakin waktu berlalu, aku menjadi seseorang yang paling ia percaya. Akhir-akhir ini pun dia bersikap lebih tenang dari biasanya.
Aku benci beberapa sifat dan sikap dalam dirinya. Oleh karena itu, aku dengan senang hati membantunya berubah menjadi lebih baik. Hasil tetap saja tergantung pada apa yang ia kerjakan, tetapi berada di sisinya dan menyemangatinya untuk berusaha adalah hal terbaik yang bisa kau lakukan untuk mendukung sahabatmu.
Saat ini, Kiren yang sedang duduk di sebelahku adalah Kiren yang berbeda dari sebelumnya. Kiren yang ada di sampingku adalah sahabatku yang menemaniku ke perpustakaan tiap harinya untuk menyihir dirinya dengan majas dari lembaran buku-buku sastra. Kiren yang ada di sampingku adalah Kiren lebih sehat dari Kiren yang pingsan di depan pintu rumahku pada dua bulan yang lalu.
Setiap hari dalam hidupku, aku melihat Kiren lalu lalang di kelas. Aku melihatnya mengeluarkan buku dan belajar dengan giat. Aku melihatnya berusaha keras untuk menjadi yang terbaik di kelas. Yang tidak aku lihat adalah betapa lelahnya ia dengan hal tersebut. Melihat seseorang yang bekerja tanpa henti layaknya mesin akhirnya mementingkan istirahat dan dirinya sendiri adalah suatu hal yang memuaskanku.
2 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
You’re such a ten, darling I wanna chase you
But sadly pretty girls are doing it too
Is it just me or everyone you know want you?
2 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Pretty, pretty girl With pretty, pretty face I wish I could just be you
Pretty, pretty boy With pretty, pretty face I wish I could just have you
1 note · View note
issa-writing-blog · 2 years
Text
Tak bisa ‘ku berhenti memandangmu dari kejauhan
Berharap suatu hari kau akan memandangku kembali
Apakah kau benar melirikku ataukah perempuan di belakangku?
Apakah kau hanya kebetulan selalu melirik ke sana dan kemari?
Pertanyaan itu menarik perhatianku di tengah malam
Membuatku terjaga karena rasa penasaran
Apa pun itu, hatiku berdegup kencang
Bibirku tidak bisa berhenti tersenyum lebar
Aku merasa kewalahan akan kebahagiaan
Terima kasih telah membuatku merasakan perasaan cinta
1 note · View note
issa-writing-blog · 2 years
Text
Sinetron
Tidak semua orang percaya diri dengan dirinya sendiri. Kebanyakan orang minder dengan penampilan sendiri. Bagi pasangan penulis seperti Roy dan Cinta, mereka tidak percaya diri dengan karya tulis mereka.
Untunglah ada sinetron.
Roy menyalakan televisi. Dia pun duduk di sofa, diikuti dengan Cinta yang duduk di sebelahnya. Kaki mereka bersentuhan. Sebuah laptop berpangku pada pangkuan Roy dengan jari-jari tangan kanannya beristirahat di antara tombol pada keyboard.
Rumah mereka mulai dipenuhi oleh teriakan dramatis dan pertengkaran antar pasutri. Cinta mulai menguap. Roy mulai mengeluh.
“Cinta, benci nggak sih sama sinetron yang alurnya itu-itu aja.”
Cinta mengangguk dengan keras. Dia bersungguh-sungguh.
“Asal kamu tahu, nonton sinetron selalu berhasil untuk bikin aku nggak insecure sama tulisan sendiri.”
“Betul banget!” Cinta berteriak selagi dia melirik ke arah Roy. “Alur ceritaku yang aku kira klise langsung terasa unik sekali. Pokoknya jadi percaya diri secara instan.”
Percakapan mereka berhenti. Hanya tersisa suara dari televisi yang bergema di dalam ruangan. Roy dan Cinta sudah sama-sama kesal dan menahan diri sebisa mungkin untuk tidak mengumpat soal apa yang baru saja mereka lihat. Sebagai warga negara Indonesia, mereka harus mencintai karya anak bangsa, namun bila karyanya seperti ini, mereka kesusahan untuk melakukannya.
Suara merdu dari Rossa mulai terdengar. Rossa berbakat dalam bernyanyi. Akan tetapi, Roy dan Cinta membenci saat Rossa mulai menyanyi. Bukan berarti mereka tidak suka atau sebagainya, hanya saja sinetron selalu memutar satu lagu Rossa yang sama di setiap sinetron. Di. Setiap. Sinetron.
“Argh!” Cinta memukul pahanya dengan keras. “Selalu saja. Aku benci lagu ini.” Mukanya pun berpaling ke arah Roy. “Aku sudah tidak tahan lagi, Roy. Aku berhenti.”
“Aku juga.” Roy mematikan televisi. “Itu adalah lima menit terburuk dalam hidupku.”
“Tunggu, ini semua baru lima menit?”
Roy mengangguk. Cinta merasa ingin menjambak rambutnya.
“Sinetron adalah cerita yang dipungut dari tong sampah yang tidak mengajarkan apa-apa,” ucap Cinta. Mukanya cemberut.
“Nggak juga, kok. Sinetron mengajarkan kita pelajaran yang berharga.”
“Memangnya apa yang sinetron ajarkan?”
“Bahwa kita adalah penulis yang seratus persen lebih berbakat daripada screenwriter sinetron.”
Cinta tertawa terbahak-bahak.
4 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Curhatan Issa #1
Fun fact here, I actually have a test tomorrow and two remaining assignment that I am not done with, but I spend hours with this tumblr blog. This is such a waste of time, but I feel good! This is an achievement because I can finally share my stories to tumblr even if my close friends are the only one who saw it. Not only that, this is such a fun way to rest. Am I actually wasting time? Not really.
Anyways, selamat tinggal dan selamat malam semuanya!
2 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Aku dan Pak Sukarno
Mata Devin terbelalak melihat siapa yang ada di hadapannya.
Devin menutup mulutnya. Mata seorang pria memelototinya dengan tajam seperti cakar elang. Alisnya hitam tebal. Badannya tinggi, bahkan terlihat lebih tinggi dengan postur tegapnya. Sebuah peci hitam mendekorasi kepalanya. Devin merasa kenal dengan orang ini, namun dia tidak bisa mengingatnya.
“Tunggu dulu.” Devin tidak bisa memercayai matanya. “Loh, Pak Sukarno?”
Pria itu mengangguk. “Benar sekali. Nama saya Sukarno.”
Mata Devin melebar. Dia melangkah mundur. Situasi ini tidak mungkin terjadi. Situasi ini tidak mungkin nyata. Situasi ini tidak mungkin benar-benar berlangsung di hadapannya. Pak Sukarno kan sudah tiada!
Semua itu berawal dari kemalasannya yang menghancurkan.
Jika mendengar nama Devin, orang-orang terdekatnya akan mengingat betapa malasnya dia. Devin malas belajar sehingga guru-guru kesusahan mengajarkannya. Devin bahkan terlalu malas untuk memersiapkan ulangan. Alhasil, nilai-nilai ulangannya jatuh. Devin mengikuti remedial dari banyak ulangan tersebut, namun untuk pelajaran IPS berbeda. Siswa yang nilai ulangannya berada di bawah KKM harus mengamati keadaan dan karakteristik pantai sebagai perbaikan nilai. Tugas ini adalah tugas kelompok, dan dia harus bersatu dengan siswa lainnya.
Setelah terjebak di dalam mobil sempit selama sejam, akhirnya mereka sudah memijakkan kaki di Pantai Kuta. Di sinilah tempat mereka melakukan pengamatan, tepat pada saat raja siang berada tepat di atas mereka.
Pemandangan di Pantai Kuta membuat Devin tidak bisa berkata-kata lagi. Matanya terhipnotis oleh panorama yang ada di hadapannya. Air lautnya sebening tetesan embun pagi. Gelombang laut menari-nari membasahi pasir putih yang terbentang di sekelilingnya. Gunung-gunung hijau berbaris jauh di belakang. Langitnya terhias dengan awan putih yang berjejer bagai barisan meja putih. Tempat ini terasa terlalu elok untuk menjadi kenyataan.
Teman-temannya heboh dengan penampakan yang mata mereka lihat. Mereka berlari kegirangan seperti anak kecil yang periang, sedangkan Devin menyusul mereka dengan gaya berjalan bak orang pincang.
“Kumpulkan tas kalian di sini, ya. Kakak bakal jaga sambil duduk-duduk,” kata Kak Dani menepuk sebuah kursi berjemur. Kak Dani adalah kakak temannya, Dika yang mengantar mereka ke tempat ini. Tanpa basa-basi, mereka melakukan suruhan Kak Dani.
Teman-teman Devin mulai sibuk sendiri. Maria dan Devy berfoto bersama. Dika mengabadikandengan kamera digital. Atta tidak berhenti memuji ciptaan-Nya yang satu ini. Devin bereaksi berbeda dari mereka. Dia hanya duduk di kursi berjemur dengan mulut menguap.
“Ayo, Devin. Jangan malas, dong!” seru sahabatnya, Maria.
“Apaan sih Ri. Kita kan bisa tebak-tebak saja atau cari di google. Intinya nggak perlu susah-susah.” Devin memutar matanya.
“Apa-apaan itu? Di mana semangatmu? Bukannya kamu suka jalan-jalan di pesisir pantai?”
“Nggak kalau untuk tugas kelompok.”
“Ayo, Vin. Kita sudah mau mulai, nih,” teriak Dika melambai dari kejauhan. Devin memutar matanya, lalu bangkit mendatangi mereka.
“Kita fokus ke tujuan utama kita ke sini, ya. Kita amati keadaan pantainya,” ujar Maria mengarahkan. Yang lainnya mengangguk, kecuali Devin. Devin malah kembali menguap.
“Aku nggak ada kemauan ngerjain tugas. Malas rasanya,” curhatnya.
Alis mata Maria langsung bertemu. “Kamu ini apa-apa malas, deh. Aku saja sampai heran.”
“Pertama, kita amati apa dulu?” tanya Dika.
“Pasir pantainya,” jawab Maria. “Warnanya putih, toh? Nggak berbatu pula.”
Atta berjongkok dan menyentuh pasirnya. “Pasirnya halus.”
Pulpen Devy menari di atas buku tulisnya. “Selesai. Lanjut!” kata Devy dengan suara lembut bagai sutra.
“Kita tinggal begini saja, ya?” Devin bertanya. Devy menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, tinggal mengasal saja juga bisa, kan?”
“Kamu ini ada-ada saja, deh,” komentar Dika. “Ayo, Vin. Bantu kami juga.”
“Malas ah. Aku duduk-duduk sama Kak Dani saja.” Devin menoleh ke arah Kak Dani.
“Kok begitu, sih. Ini kan kerja kelompok.” Atta menatap tajam Devin.
“Memang, tapi aku nggak setuju dengan cara kalian. Aku maunya cari informasi lewat internet atau tebak-tebak. Aku nggak suka ribet-ribet. Malas.” Devin kembali menguap. “Aku juga ngantuk, nih.”
“Kamu ini ya, kerjaannya malas terus. Kamu harusnya bersyukur karena aku mau jadi sahabatmu, loh. Selain aku sama si Dika, mana ada yang mau jadi temanmu kalau kamu begini?” Maria mulai mengeluh. Devin tidak mengindahkan perkataannya. Pikirannya malah melayang ke tempat lain.
“Gini ya Vin. Kamu nggak perlu ikut kerja kelompok saja deh. Istirahatlah atau apalah. Aku perbolehkan, tapi tolong lain kali jangan begini. Orang jadi kesal karenamu.” Maria memasang wajah serius.
Bukannya merasa bersalah, Devin malah tersenyum lebar dan berlari ke titik temu. Teman-temannya saling bertatapan dengan muka penuh keheranan. Setidaknya mereka bisa mengerjakan tugas tanpa diganggu Devin.
Devin bersantai dengan berbaring di pasir yang tidak jauh dari titik temu. Maria dan Atta benar. Pasirnya putih dan lembut seperti telapak tangan ibunya. Langit biru dengan hiasan awan putih transparan di hadapannya sungguh elok. Cahaya penuh kehangatan dari matahari menyelimuti badannya. Gelombang ombak dan angin sepoi-sepoi bernyanyi, menenangkan pikirannya. Suasananya sangatlah nyaman, sampai-sampai tubuh Devin terasa lelah.
Sebuah tamparan di pipinya membuat matanya yang lelah setengah terbuka. Devin mengusap-usap pipinya, lalu menoleh ke arah pria yang memukulnya.
Matanya terbelalak melihat siapa yang ada di hadapannya. Devin pun menutup mulutnya. Mata seorang pria memelototinya dengan tajam seperti cakar elang. Alisnya hitam tebal. Badannya tinggi, bahkan terlihat lebih tinggi dengan postur tegapnya. Sebuah peci hitam mendekorasi kepalanya. Devin merasa kenal dengan orang ini, namun dia tidak bisa mengingatnya.
“Jangan tidur. Sekarang waktunya pemuda sepertimu berkarya demi bangsa,” tegur pria itu dengan tegas.
“Siapa bapak?” Devin bertanya.
“Masa kamu tidak kenal bapak? Coba lihat-lihat lagi.”
Devin berpikir sejenak. Di mana dia melihat sosok orang ini? Mungkinkah mereka pernah bertemu secara langsung sebelumnya? Atau Devin melihatnya dari internet? Apa jangan-jangan Devin mengenalnya dari majalah dan buku?
“Tunggu dulu.” Devin tidak bisa memercayai matanya. “Loh, Pak Sukarno?”
Pria itu mengangguk. “Benar sekali. Nama saya Sukarno.”
Mata Devin melebar. Dia melangkah mundur. Demi tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Seharusnya Pak Sukarno sudah tiada! Apa jangan-jangan ini arwahnya?
“Jangan takut. Tenang saja. Memangnya muka saya menakutkan, ya? Pasti ini tanda penuaan.” Pak Sukarno tertawa kecil.
“Nggak kok pak. Saya hanya kaget,” jawab Devin sembari tersenyum. “Oh iya pak. Saya minta maaf. Tadi saya agak mengantuk.”
“Kenapa mengantuk?”
“Begini pak. Harusnya saya pergi jalan-jalan sama orang tua saya, tapi gara-gara kerja kelompok, saya dan teman saya pergi ke sini.
“Nah, aslinya nggak perlu jauh-jauh ke sini tapi teman saya terniat. Jadinya malas deh. Sudah lagi saya mengantuk di perjalan dan suasana di sini enak banget untuk tidur,” terang Devin.
“Malas? Kok malas, sih? Kamu ini nggak boleh malas!” Pak Sukarno berteriak. Matanya kembali menatap tajam Devin dengan dahi berkerut.
“Maaf pak, tapi maklumi saja. Saya dari dulu sudah begini. Lagipula, saya kan masih kecil jadi tidak apa-apa.”
Pak Sukarno memukulnya. “Masih kecil, katamu. Kamu sudah remaja. Kamu ini penerus bangsa, loh! Kamu nggak boleh bermalas-malasan!” Suara lantang Pak Sukarno menggetarkan gendang telinga Devin. “Siapa namanya, nak?”
“Devin.”
“Sini, Devin. Bapak tunjukkan kamu sesuatu.”
Pak Sukarno melangkahkan kakinya meninggalkan Devin. Devin menyusul. Rupanya sang tokoh proklamator sedang memerhatikan seorang nelayan yang baru pulang melaut. Nelayan itu menurunkan tangkapan ikan dari sampannya.
“Coba lihat itu, Devin. Bapak itu nggak bermalas-malas. Bapak itu bekerja keras melaut. Alhasil dia bisa menafkahi keluarganya.” Pak Sukarno menggesturkan tangannya pada nelayan tersebut.
“Memangnya uangnya cukup? Apa tidak kurang? Bukannya nelayan gajinya tidak banyak?” Devin bertanya-tanya.
Perkataan itu menyakiti Pak Sukarno. Beliau pun menepuk pundak Devin, lalu berpindah ke tempat lain. Kali ini, Pak Sukarno mengarahkannya ke depan warung kecil di pinggir jalan pantai. Di sana sepi, hanya ada seorang pria yang sibuk bermain game online bersama pemuda lainnya.
“Abdul! Kamu ini sudah dewasa bukannya kerja, tapi malah ngegame. Cari kerja, dong!” seru seorang wanita tua pemilik warung datang tiba-tiba. Wanita tersebut menarik telinga pria tersebut.
“Ampun, Mak! Nanti Abdul cari kerja, kok. Mau main game sebentar.”
“Kamu ini pemalas sekali. Sudah berbulan-bulan janji cari kerja, tapi malah main game online begini. Nggak becus sekali.”
Devin merasa tidak nyaman dengan hal yang dia lihat. Dia dan Pak Sukarno meninggalkan tempat lalu kembali ke pantai.
“Bagaimana? Kamu suka melihat yang tadi?” tanya Pak Sukarno tersenyum menampilkan giginya. Devin menggeleng. “Begitulah. Kamu nggak boleh pemalas. Nanti bisa berakhir seperti pemuda yang tadi. Tak punya pekerjaan dan malah membebani orang tua.”
Devin menunduk. Dia mulai merasa bersalah. Devin tidak ingin berakhir sama dengan orang itu.
“Ada kenalan saya yang pemalas. Kerjaannya hanya tidur di rumah orang tuanya. Nggak punya pekerjaan, nggak punya istri, nggak punya anak, nggak punya banyak uang. Jadinya susah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal orang tuanya sudah tua, nggak sanggup kerja lagi. Saya sangat kecewa dengan orang itu.
“Ada juga kenalan saya yang satu lagi. Bukan hanya sopan, beliau rajin bekerja. Sekarang dia sudah sukses jadi pejabat yang kaya raya. Pasti orang tuanya bangga sama anaknya,” kata Pak Sukarno bercerita.
Devin jadi termenung dengan cara hidupnya. Jika dia masih saja pemalas, Devin khawatir kalau dia dan keluarganya akan sengsara di masa depan. Hari ini adalah hari yang tepat untuk mengubah sikap malasnya itu.
“Jadi kamu mau pilih yang mana? Jadi seperti kenalan saya yang pertama atau yang kedua?” tanya Pak Sukarno selagi tersenyum.
“Yang kedua, pak,” jawab Devin dengan keras.
“Bagus. Kalau begitu, jangan jadi pemalas ya nak. Nanti berakibat fatal pada masa depanmu. Tolong berubah mumpung belum terlambat. Setidaknya belajar yang rajin. Penerus bangsa tidak boleh pemalas,” nasihat Pak Sukarno.
Devin jadi teringat. Satu-satunya alasan dia berada di sini adalah karena tidak rajin belajar. Remedial ulangan IPS yang membuatnya mengerjakan tugas kelompok ini.
“Maaf karena telah mengecewakan bapak. Saya janji untuk berubah menjadi lebih baik, pak. Saya tidak akan mengecewakan bapak kali ini.” Devin menunjukkan senyum penuh tekad. Semangat yang ada pada dirinya berkobar lebih panas dari lahar api.
“Semangat! Bapak percaya pada Devin.” Pak Sukarno mengangkat tangannya yang dikepalkan dengan senyuman di wajahnya. Pak Sukarno orangnya baik, pikir Devin.
“Terima kasih atas motivasinyanya ya pak.”
Devin terhenti. Sang tokoh proklamator tiba-tiba saja menghilang dari hadapannya. Mata Devin berkeliling, tapi dia tidak menemukan beliau. Padahal dia ingin sekali mengucapkan terima kasih.
Devin berbalik ke arah laut, dan matanya terbelalak melihat ombak tinggi yang akan menghantamnya.
“Tsunami!” teriak para pengunjung berlarian tidak karuan.
Devin berlari secepat mungkin untuk menghindarinya, tapi dia tidak cukup cepat. Ombak besar itu menariknya, membuat tubuhnya basah kuyup.
Suara-suara aneh mulai bergema di dalam kepalanya, seperti sebuah lagu yang tidak bisa keluar dari pikirannya.
Suara-suara aneh itu tidak berhenti-hentinya memanggil namanya.
Suara-suara aneh itu semakin tidak asing di telinganya.
Suara-suara aneh itu menariknya.
“Devin!”
Mata Devin terbuka sedikit. Cahaya dari raja siang menyilaukan matanya. Dia menunduk, dan pakaiannya basah kuyup. Devin menoleh ke sekelilingnya, dan rupanya teman-temannya sedang bergotong royong menyeretnya dari ombak.
“Ya tuhan, Devin ini berat sekali. Pasti ini karena lima porsi sate bulayak kemarin lusa,” keluh Maria.
“Ria, Devin sudah bangun,” papar Dika.
Teman-temannya menurunkan Devin. Devin bangkit dan memandang sekelilingnya dengan kebingungan. Otaknya masih belum bisa memproses apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu susah sekali dibangunkan. Maria sudah berulang kali menamparmu, tapi belum bangun juga. Dika juga sudah menggerakkan pundakmu berkali-kali,” ucap Atta.
“Masa?” Devin bertanya dengan suara seberat batu.
Maria mengangguk. “Kamu ketiduran di pasir tadi. Kami coba bangunkan, tapi kamu masih saja tidur. Ada ombak yang membasahi kakimu tadi, jadi kami seret ke atas,” tambah Maria.
“Untung aku bawa baju ganti,” kata Devin dengan volume pelan. “Yah, berarti itu semua hanya mimpi.”
“Mimpi apa?” tanya Maria penasaran.
“Aku mimpi ketemu Sukarno.”
Teman-temannya saling bertatap, lalu tertawa lepas. Devin menatap mereka dengan serius. Yang dia maksudkan bukanlah karangan belaka.
“Oh iya. Maria, aku minta maaf soal yang tadi ya. Aku memang menyebalkan,” kata Devin sembari menunduk.
Maria tertawa kecil. “Ah, yang begitu jangan dipikirkan, dong. Santai saja.”
“Oh iya, tugas kita sudah sampai mana?” Devin mengalihkan pembicaraan.
Devy membalik lembar bukunya. “Pasir, sudah. Laut, sudah. Ombak, sudah. Kebersihan, sudah. Hampir semua sudah, kecuali padatnya pengunjung.”
“Kami belum kerjakan karena tadi melihatmu,” ucap Atta menambahkan.
“Kalau begitu, ayo kita amati di sekitar sini! Di ujung pasti ada lebih banyak pengunjung.” Devin tersenyum seperti anak kecil.
“Apaan sih Vin. Kita kan bisa tebak-tebak saja atau tulis kalau ramai pengunjung. Intinya nggak perlu susah-susah.” Maria memukul pundak Devin.
“Apa-apaan itu? Di mana semangatmu? Bukannya kamu suka jalan-jalan di pesisir pantai?” Devin membalas.
Maria teridam sejenak, lalu tertawa. “Ya sudah, deh. Terserahmu.”
“Kita mulai dari sana, ya.” Devin menunjuk ke sebelah kirinya. “Hitung-hitung olahraga.”
“Eh, Devin. Ganti baju dulu!” teriak Dika.
Devin tidak mendengarnya. Dia berhitung mundur, lalu berlari cepat. Teman-temannya menyusul dengan lamban bagai kura-kura. Mereka tertinggal jauh di belakang.
“Devin kenapa tiba-tiba begini, ya?” Dika bertanya dengan napas terengah-engah.
“Apa pun itu, aku bangga padanya.” Miru tersenyum memandang punggung Devin yang berlari riang.
Kemalasan bisa merusak masa depan kita. Hal ini belum terlihat dampaknya sekarang, dan biasanya kita akan menyadarinya setelah terlambat. Inilah pentingnya mengubah sikap menjadi lebih baik. Berubah bukanlah langkah yang mudah, tapi percayalah, semua itu lebih baik daripada menyesalinya di masa depan.
6 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Kami Tidak Berbeda
Hanya dari mendengar namaku, orang-orang bisa menebak agamaku. Semua yang mendengar namaku langsung berasumsi kalau aku ini beragama Kristen. Meski begitu, itu tidak menghalangiku untuk berteman dengan seorang lelaki yang memiliki Muhammad sebagai nama depannya.
“Hei, Maria. Ayo ke kantin,” teriak Devin dari luar kelas.
“Tunggu, ih! Aku masih cari dompetku.” Aku merogoh isi tasku, mencari dompetku.
“Kau selalu lama. Bahkan kura-kura peliharaanku lebih cepat darimu.”
Aku menyahut sambil tertawa kecil, “Aku tidak pernah menyangka kalau seumur hidupku, aku akan dibandingkan dengan seekor kura-kura.”
Aku dan Devin, sahabatku memang memiliki Tuhan yang berbeda, namun kami tetap sama-sama senang menghabiskan waktu istirahat di kantin bersama satu sama lain. Kami juga sering sekali memesan minuman yang sama, yaitu teh susu. Kami berdua sama-sama berusaha meyakinkan teman kami yang lain untuk ikut membelinya. Sayang sekali, kami tidak pernah berhasil melakukannya.
“Ayolah!” Devin menyodorkan teh susu pada Dika. “Setidaknya coba cicipi milikku.”
“Aku suka teh dan susu, tapi aku tidak suka bila keduanya dicampur,” tolak Dika. “Berikan saja pada Dev ….”
Dengan cepat, Devy memotong, “No, thank you.”
“Atta?”
Atta yang sibuk menatap layar ponselnya langsung menoleh. “Aku sudah pernah mencoba, dan ya Tuhan, menurutku rasanya aneh.”
Aku tertawa selagi menonton Devin dan Atta yang mulai berdebat.
 Aku memahami kalau aku dan Devin membaca kitab yang berbeda, namun kami tetap sama-sama menyukai buku yang sama. Setiap kali kami berniat atau disuruh untuk mengunjungi perpustakaan, aku dan Devin selalu berlomba untuk mengambil buku tentang binatang-binatang dari teman sekelasku yang lain. Kami akan duduk bersebelahan dan membuka halaman secara acak, lalu melihat gambar binatang yang ada dan membaca informasi yang tertera bersama-sama.
“Apa kau suka singa atau kau lebih suka cheetah?” tanya Devin di sela-sela sesi membaca kami.
Dengan yakin, aku menjawab, “Singa.”
“Apa kau serius?”
“Mengapa?”
“Cheetah berlari sangat cepat!”
“Singa adalah hewan yang kuat,” pendapatku.
Kami berdua saling memelototi satu sama lain. Tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Yang ada hanyalah kami saling memandang satu sama lain dengan aneh dan mulai mempertanyakan selera satu sama lain.
“Ya, setidaknya kau tidak menyukai hyena,” kata Devin. “Kau tahu …. Hyena sangatlah payah.”
“Ya.” Aku setuju dengannya. “Aku sangat benci hyena.”
“Betul.”
“Maksudku, mereka adalah perampok licik.”
Kami mengakhiri perdebatan ringan kami dengan membalik secara acak ke halaman lain. Pandangan kami terfokus pada halaman yang berisi gambar berbagai macam hewan primata.
“Eh, Mar.” Devin menunjuk kepada gambar dua ekor kera yang saling berdekatan. Bisa dibilang terlalu dekat. “Ini mirip seperti kau dan Chris.”
Aku menampar tangannya dan dia hanya tertawa nakal.
 Kami memang berpisah setiap kali waktu imtaq dimulai, namun kami sama-sama senang bermain video game sebelum waktu tersebut dimulai.
Pelajaran Matematika adalah pelajaran kedua di hari Jumat. Setelah itu adalah waktu siswa makan siang. Karena siswa muslim di hari Jumat harus ke masjid untuk salat Jumat, aku tidak membuang waktu dengan memanfaatkan waktu makan siang untuk bermain game bersama Devin.
“Mar! Mar! Tolong bantu aku!” Devin berteriak tepat di sebelah telingaku.
“Tenang, ih!” Aku menyenggolnya sedikit karena kesal. “Aku akan assist.”
Aku tidak bisa melihat lingkungan sekelilingku dengan jelas, tapi aku tahu ada yang melirik ke arah kami berdua. Itu pasti karena Devin agak berisik bila dia bermain video game. Ya, itu memang salah kami karena bermain di tempat teman sekelasku makan siang bersama.
“Devin, cepatlah makan. Kita harus berangkat sebentar lagi. “ Atta yang berada di sebelah Devin menepuk pundaknya. Hal itu membuat tubuh Devin melompat dari tempat duduknya, sehingga meyenggolku.
Aku mengeluh, “Devin!”
“Sebentar, Atta. Masih ada waktu,” kata Devin yang masih saja sibuk dengan video game yang kami mainkan.
Di saat aku sedang fokus menembaki musuh dalam video game, tiba-tiba Devin berteriak. Aku pun mengabaikan permainanku dan menoleh ke tempat dia berada. Rupanya Atta telah merebut handphone yang dia gunakan untuk bermain video game.
“Atta!” Dengan menyedihkan, Devin merengek sambil berusaha merebut handphone-nya kembali dari Atta. Sayang sekali karena Atta sangat lihai dengan tangannya sehingga Devin tak bisa merebutnya.
Aku tertawa kecil. “Hei, Devin.” Aku menepuk pundak sahabatku. “Kita sudahi saja. Kau harus salat Jumat. Kita bisa bermain saat kau kembali,” ujarku. “Bukankah makan siang dimulai jam dua belas dan kita akan masuk ke kelas jam setengah dua? Kita masih punya banyak waktu setelah kau pulang dari masjid, bahkan bisa lebih dari setengah jam! Jadi tidak perlu kesal, dasar pecandu video game.”
Devin mengelak, “Aku bukan pecandu!”
“Tenang! Aku hanya mempermainkanmu, bodoh!” Aku kembali menertawakannya.
“Kalau begitu, aku akan makan.” Devin akhirnya menyentuh kotak bekal di hadapannya yang tak tersentuh dari tadi. Kotak tersebut sudah berdiam di tempatnya selama hampir lima belas menit karena kami berdua terlalu asyik bermain video game.
Devin melahap isi kotak bekalnya dengan sedikit tergesa-gesa. Dia memakannya seperti dia sedang berada pada perlombaan makan. Entah karena dia tidak ingin telat pergi ke masjid atau sekadar karena dia kelaparan.
Tidak lupa, aku juga memakan milikku. Kotak bekalku terbuka dari tadi dan terabaikan karena aku fokus pada video game seperti Devin. Tanpa basa-basi, aku menyendokkan sesuap nasi ke mulutku. Karena makanannya adalah menu favoritku, aku jadi bersemangat.
“Jangan cepat-cepat, Devin!” tegur Dika. “Nanti kau tersedak.”
“Tidak! Aku harus bergegas.!” Devin malah melahap makanannya dengan lebih cepat.
Atta berteriak di sebelahnya, “Hei! Berhenti!”
Melihat sikap Devin, aku memutar mataku sambil menggelengkan kepala.
 Aku dan Devin tidak bisa duduk di meja yang sama pada saat pelajaran Agama, namun kami tetap bisa melakukannya pada saat pelajaran IPS.
Pelajaran IPS adalah pelajaran yang susah bagiku. Meski begitu, dengan Devin di sebelahku, hal ini terasa lebih menyenangkan. Itu bukan hanya semata-mata karena Devin menemaniku belajar. Ini karena aku bahkan tidak belajar sama sekali saat ada Devin.
“Asal kau tahu, Chris sudah dekat dengan Caca,” bisik Devin.
“Eh?” Aku mengedipkan kedua mataku dua kali. “Kamu serius?”
“Bercanda.”
“Ih, Devin!” ucapku kesal sambil memukulnya pelan. “Bagaimana kalau mereka benar-benar dekat?”
Bu Guru yang melihatku langsung menegurku dan menyuruhku untuk fokus. Aku berkata kalau aku berjanji akan fokus dalam belajar, namun aku tidak pernah melakukannya. Aku tetap saja bermain-main dengan Devin.
Aksi selalu diikuti dengan reaksi. Karena aku tidak pernah bersungguh-sungguh dalam belajar IPS, nilai ulangan akhir semester untuk mata pelajaran IPS kami berdua sama-sama jelek.
Aku tidak kaget karena sejauh ini, nilai ulangan IPS-ku memiliki nilai yang lebih rendah dari yang lainnya. Devin pun juga begitu. Aku juga tidak kaget karena kami juga tidak pernah serius dalam mempelajarinya pula.
Pada awalnya, aku tidak terlalu peduli dengan nilai IPS-ku yang hancur. Aku hanya perlu mengikuti remedi agar mendapatkan nilai di atas rata-rata mimimum. Meski begitu, aku baru tahu kalau satu-satunya caraku memperbaiki nilai adalah dengan membuat kelompok dengan siswa yang sama-sama ingin memperbaiki nilai dan kami harus melakukan sebuah tugas kelompok khusus.
Melelahkan, namun setidaknya, aku bisa melakukannya bersama sahabatku.
 Kami mengucapkan doa yang berbeda sebelum memulai pelajaran, namun kami sama-sama menyukai musik yang sama.
Sudah menjadi ritual aku dan Devin untuk mendengarkan musik bersama setelah ujian. Setiap kali kami menyelesaikan ujian kami, kami akan mendengarkan musik di luar kelas. Kami biasanya memakai handphone Devin dan menyambungkan sebuah earphone untuk kami pakai berdua.
“Mau mendengarkan album yang ini?” Devin bertanya sembari menunjuk ke sebuah album rap.
“Tentu saja!” kataku sambil mengangguk.
Devin pun menyetel lagu tersebut, dan kepala kami bergerak dengan sendirinya. Mulut kami tidak sengaja menyanyikan nada lagu. Semua itu terjadi selagi kami menikmati lagu dari album rap kesukaan kami.
“Eh, Maria!”
Aku menoleh ke sumber suara yang memanggil namaku, dan ….
“Eh, Chris!” kataku dengan malu-malu.
“Kalian sedang apa?” Chris bertanya sebagai lelucon. Perkataannya membuat seorang perempuan di sebelahnya menjadi tertawa kecil.
Tidak! Sekarang seseorang menjadi salah paham.
Aku berkata untuk meluruskan, “Tidak! Kami hanya sedang mendengarkan lagu.”
Chris menyeringai, lalu dia berkata, “Ya sudah. Aku mau pergi dulu. Aku harus mencari Pak Samsul. Selamat tinggal.”
“Selamat tinggal.” Aku melambaikan tangank ke arahnya.
Tidak, tidak tidak!
Sementara aku merasa malu, Devin malah tertawa dengan terbahak-bahak sambil menghentikan lagu yang kami setel. “Chris jadi salah paham, deh! Kasihan sekali kau ini. Aphrodite atau siapa pun nama dewi cinta itu tidak ingin kau jatuh cinta.”
“Hentikan,” kataku dengan pandangan menusuk. “Asal kau tahu, Malia tadi berjalan bersama Chris juga. Selain itu, nama dewi cinta Yunani memang Aphrodite.”
Mata Devin seketika melebar.
“Aku bercanda! Yang tadi itu Grace.”
Devin pun tersenyum lega. “Ya sudah, lanjut?”
Aku mengangguk, dan Devin kembali menyalakan lagu rap yang terhenti di tengah-tengah. Kami berdua mendengarkan lagu tersebut dengan gembira selayaknya lagu tersebut adalah satu-satunya lagu yang berada di dunia ini, dan lagu tersebut adalah lagu favorit kami berdua.
Aku memang beragama Kristen, dan Devin beragama Islam. Aku pergi ke Gereja, dan Devin pergi ke Masjid. Meski begitu, kami punya banyak kesamaan yang dapat mengalahkan satu perbedaan tersebut. Kami suka ke kantin bersama, suka bermain game bersama, belajar dengan tidak fokus bersama, suka mendengarkan lagu bersama, dan masih banyak lagi. Kami selalu berjalan sepulang sekolah bersama dan sama-sama tidak pernah berhenti berbicara soal acara televisi favorit kami. Jangan lupa kalau kami sama-sama suka mengejutkan satu sama lain dengan memberikan kado di hari ulang tahun satu sama lain. Apalagi kami sama-sama senang menghabiskan waktu bersama satu sama lain dan juga teman kami yang lainnya.
Pada akhirnya, satu perbedaan kecil tersebut tidak akan berhasil menghalangi kami berdua untuk menjadi sahabat yang menjaga satu sama lain.
4 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Kai
Selama tiga minggu, teman dekat sekaligus teman sebangkuku, Naya terus saja membicarakan tentang seseorang. Seseorang ini sebegitu spesialnya sehingga Naya yang tidak biasa membicarakan seorang lelaki menjadi mengisi hampir semua percakapan kami dengan seseorang ini. Seseorang ini bernama Kai.
“Kai itu,” terang Naya tiga minggu yang lalu, “adalah anak baru di tempat aku les. Tampangnya biasa saja, tapi orangnya sangat pintar! Dia juga sangat baik hati dan membantuku saat aku kesusahan.”
Awalnya, pada tiga minggu yang lalu, aku berpikir kalau Naya hanya membicarakan Kai seperti orang yang antusias saat bertemu dengan orang ataupun teman baru. Meski begitu, ini berbeda. Naya tidak bisa berhenti berbicara tentang Kai. Aku pun semakin curiga kalau Naya menyukai Kai.
Suatu hari, di saat kami berdua di kelas pada jam istirahat, aku memberanikan diri menanyakan hal tersebut pada Naya.
“Naya, apa kau menyukai Kai?” tanyaku dengan muka serius.
Dengan pipi yang memerah dan suara yang lebih lembut, Naya pun menjawab, “Apa itu terlalu terlihat seperti itu?”
Aku pun mengangguk. “Kau terlalu sering membicarakan Kai, jadi aku curiga ….”
“Maaf!” potong Naya. “Aku tidak bermaksud untuk terus-menerus membicarakan dia. Aku akan menguranginya, janji!”
Aku tertawa kecil. “Tidak perlu begitu. Aku malah senang karena kau menyukai seseorang. Kai juga terdengar keren, jadi aku malah mendukungmu.”
Setelah Naya jujur pada perasaannya kepadaku, Naya semakin antusias untuk menceritakan tentang Kai kepadaku. Dia bercerita tentang apa saja yang terjadi di tempat lesnya, bagaimana Kai ikut menunggunya saat Naya belum dijemput, dan saat dia tak sengaja bertemu dengan Kai di sebuah supermarket di malam hari.
Di antara cerita Naya tentang Kai, favoritku adalah cerita di saat Naya berjalan pulang ke rumahnya bersama Kai. Saat itu, Naya tidak bisa dijemput oleh kedua orang tuanya karena sibuk. Kakaknya juga tidak bisa menjemputnya. Untunglah, rumah Naya tidak terlalu jauh dari tempat lesnya. Hanya saja, tetap saja Naya pulang les pada malam hari. Oleh karena itu, dia takut bila berjalan sendiri. Saat dia sudah ketakutan, Kai dan kakaknya yang pulang menggunakan motor menawarkan menemani Naya pulang. Naya dan Kai berjalan kaki, sedangkan kakak Kai berkendara pelan di samping mereka. Naya merasa aman. Setelah itu, Kai dan kakaknya pun pulang dengan motor.
Dari semua hal yang dia ceritakan, aku merasa kalau Naya dan Kai adalah kedua orang yang cocok. Mereka sama-sama menyukai pelajaran Matematika, mendengarkan musik yang sama, dan mereka sama-sama senang menghabiskan waktu dengan satu sama lain. Kai juga tidak henti-hentinya membantu Naya. Oleh karena itu, aku berulang kali memberanikan Naya untuk memberitahukan perasaannya pada Kai.
“Apa kau bilang?” tanya Naya malu-malu. “Aku …. Aku tidak bisa begitu saja mengatakannya pada Kai. Bagaimana kalau persahabatan kami hancur?”
“Aku tidak memaksamu. Hanya saja, dia terdengar sangat menyukaimu. Mengapa tidak coba saja?” Dengan bijak, aku pun memberitahunya, “Ini memang berisiko, tapi berdiam saja tidak akan memberimu apa-apa. Ambillah risiko.”
Dia terdiam, lalu menunduk untuk berpikir. Kami tidak berbicara selama semenit. Yang ada hanyalah keheningan menghiasi Naya yang sedang ragu-ragu.
Setelah semenit, Naya akhirnya berbicara, “Baiklah. Aku akan pikirkan soal itu.”
“Eh, tapi ingatlah agar jangan memaksakan dirimu. Kau tidak perlu melakukannya bila kau tidak mau.”
“Tenang saja. Aku rasa ini memang perlu. Aku harus sesekali berani.”
Minggu dan minggu pun berlalu, dan Naya memiliki banyak cerita lainnya soal Kai. Kai melakukan ini, Kai melakukan itu, Kai dekat dengan perempuan ini, Kai dekat dengan perempuan itu, dan lain sebagainya. Naya semakin takut untuk memberitahukan perasaannya pada Kai.
“Cinta, aku takut,” katanya dengan wajah menunduk memandang rok abu-abu.
“Mengapa?”
“Aku takut dia tidak menyukaiku balik.”
Aku tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Kalaupun itu terjadi, setidaknya kau sudah jujur kepadanya. Kai pasti tetap senang karena seseorang menyukainya. Mengetahui kau disukai oleh seseorang tetaplah perasaan yang menyenangkan.”
Perkataan itu membuat Naya tersenyum. “Iya juga, sih. Lagipula, bisa saja dia menyukaiku.”
“Betul!” teriakku. “Itulah mengapa kau seharusnya coba saja.”
Berhari-hari setelah hari itu, aku tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon. Jam menunjukkan pukul sepuluh dan dibalik jendela yang tertutup tirai, terdapat kegelapan dan sinar rembulan. Naya meneleponku dan mengawali cerita dengan sebuah teriakan.
“Cinta!” teriaknya lantang membelah semesta. “Aku tadi mengatakan perasaanku kepada Kai!”
Mendengar hal itu, aku yang awalnya ingin marah karena telepon mendadak di malam hari menjadi gembira sekaligus penasaran.
“Aku menulis surat, lalu menyuruhnya untuk membacanya,” lanjut Naya. “Setelah itu, dia membacanya langsung di hadapanku. Aku ingat kalau dia menutup mulutnya saat membaca suratku.”
“Setelah itu?” tanyaku antusias.
“Dia bilang dia ingin menjadi pacarku.”
Ini semua mengagetkanku. Mataku terbelalak. Ini bukanlah kisah cinta di mana aku adalah karakter utamanya, namun aku merasakan jantungku berdegup kencang. Bibirku tersenyum lebar.
Aku pun tidak bisa menahan diriku dan berteriak, “Selamat, Naya! Aku sangat bangga denganmu. Sudah kubilang kalau dia menyukaimu. Untunglah aku benar!”
Naya tertawa kecil dengan manis. “Aku tidak menyangka ini benar-benar terjadi. Aku sangat bahagia! Aku akan tidur nyenyak malam ini.”
“Itu bagus untukmu! Pastikan saja kalau kau akan menunjukkan Kai padaku. Aku belum pernah sekalipun melihatnya.”
“Tenang saja. Besok adalah akhir pekan, dan tadi, Kai mengajakku untuk bertemu di perpustakaan umum kota kita besok siang. Kalau mau, kau bisa ikut kami untuk melihatnya secara langsung. Hanya saja, setelah itu kau pulang, ya! Aku tidak ingin kau menjadi pengganggu.” Kai kemudian tertawa kecil.
“Benarkah? Perpustakaan Umum tidak terlalu jauh dari rumahku. Aku bisa mengendarai motor ke sana. Setelah itu, tenang saja! Aku akan berkeliling sebentar lalu pulang. Aku tidak akan mengganggu. Janji.”
“Bagus! Bertemu denganmu di sana jam dua belas siang, ya!”
Percakapan dilanjutkan dengan kami membicarakan hal lain selain Kai. Meski memiliki seseorang yang dia sukai, hidup Naya bukan hanya soal Kai. Inilah sisi yang tidak jarang diabaikan oleh orang-orang tentang remaja seumuranku. Itulah remaja yang sesungguhnya.
Pada hari yang dijanjikan, aku sudah menunggu di depan perpustakaan umum. Naya sudah bersamaku, namun tidak ada tanda-tanda tentang Kai. Karena aku tidak tahu rupa Kai, aku hanya berdiri dan menunggu sementara mata Naya berkeliling.
“Ah, Cinta! Itu dia! Itu Kai!” Teriak Naya selagi meloncat kegirangan.
Seseorang yang sedikit pendek melambaikan tangan pada Naya. Naya melambaikan tangan kepadanya. Akhirnya rasa penasaranku sudah terbayarkan karena aku bisa melihat sosok Kai.
Kai memiliki rambut yang cukup panjang bagi seorang lelaki. Tidak ada yang aneh tentang kaos putih dan kemeja flanel hitam yang dia kenakan, namun aku tampak terkejut dengan jeans perempuan yang dia kenakan. Sudah begitu, jeans itu menunjukkan sedikit lekukan.
“Kai!” Suara Naya mengalihkanku dari pikiranku yang sedang kebingungan.
Dengan malu-malu, Kai pun menjawab, “Hai, Nay.” Mataku melebar saat mendengar suara Kai yang sangat lembut dan perempuan.
“Sudah makan?” tanya Naya memulai percakapan kecil.
“Sudah. Kau sendiri?”
“Kai …,” kataku memotong percakapan mereka.
Kai menoleh ke arahku. “Apa kau teman Naya?”
“Iya.”
“Perkenalkan, aku Kayla. Panggilanku Kai. Salam kenal, ya!”
Di saat ini, aku bisa saja pingsan di tempat karena otakku terlalu panas untuk mengolah informasi yang ada di hadapanku. Semua ini benar-benar tidak terduga bagiku. Andai saja Naya mengatakan hal ini dari awal, aku tidak akan sebingung ini.
“Omong-omong, siapa namamu?”
Di antara ratusan ekspektasiku tentang Kai, Kai yang asli bukanlah salah satunya. Aku tidak pernah menyangka kalau Kai adalah seorang perempuan berambut pendek seleher yang ternyata lebih pendek dari Naya. Inilah mengapa seharusnya aku meminta fotonya pada Naya.
“Kuulangi kembali, siapa namamu?”
“Ah, maaf!” kataku meminta maaf. “Namaku Cinta. Sedikit unik, tapi memang itu namaku.”
Naya pun membuka mulut, “Maaf, Kai. Tampaknya dia masih kaget soal aku mengencani seorang perempuan.”
“Oh, jadi kau belum memberitahunya?”
“Dia belum memberitahuku. Selama ini aku mengira kau adalah seorang laki-laki karena Naya belum bilang kalau kau adalah seorang perempuan,” sahutku.
“Maaf. Kurasa kau belum bisa menerima pasangan lesbian, tapi ….”
“Tidak apa-apa, Kai. Ini bukan pertama kalinya bagiku. Aku hanya terkejut saja karena tidak menyangka kalian adalah salah satunya.” Aku tersenyum, lalu menoleh ke arah Naya. “Naya, kau memiliki pacar perempuan yang sangat cantik dan keren. Selamat. Aku tidak bisa menyangka kau mendapatkan yang seperti ini.”
Naya tersenyum. Aku melirik ke arah Kai, dan Kai pun melakukan hal yang sama. Mereka kemudian bergandengan tangan, bersiap untuk masuk ke perpustakaan. Inilah saatnya bagiku untuk pergi.
“Naya, Kai, nikmati kencannya! Aku akan pulang.” Aku melambaikan tangan pada mereka.
Mereka pun menoleh ke belakang, lalu mereka tersenyum dan melakukan hal yang sama. “Selamat tinggal!” teriak mereka serentak. Sungguh serasi.
Aku pun mengendarai motorku ke arah rumah. Selagi menikmati angin sepoi-sepoi dan suara kendaraan di jalan, aku memikirkan betapa beruntungnya Naya. Dia begitu beruntung karena memiliki seseorang untuk menghabiskan masa SMA bersamanya meskipun seseorang tersebut adalah seorang perempuan.
5 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Apel di Atas Meja
Valentine adalah hari yang manis bagi orang lain. Bentuk hati, warna merah, cokelat, cinta, kasih sayang, dan semua hal yang sangat manis sampai-sampai membuat penghuni planet Bumi merasakan sakit gigi. Setidaknya bagi orang lain, karena bagiku, hari itu lebih mengarah pada membingungkan.
“Cindy, anak Profesor Dewi memberiku cokelat tadi pagi. Sungguh tidak terduga,” kata temanku mencurahkan kejadian yang dialaminya.
Temanku yang lain menyahut, “Aku juga tadi diberikan oleh kolega satu minimarket tempat aku bekerja paruh waktu. Dia satu tahun ajaran di bawah kita. Dia memberinya baru saja saat kelas berakhir.”
“Bagaimana denganmu, Roy?” Sahabatku memandangku dengan muka penasaran.
Aku diam di tempat tanpa membuka mulutku. Kemudian, tanganku meraih sebuah keranjang buah berisi sebuah apel. Keduanya aku temukan di atas mejaku tadi pagi, dan alangkah terkejutnya aku saat menemukannya pertama kali.
“Apel.” Hanya itu yang kukatakan kepada mereka selagi aku tersenyum masam.
Ini adalah hari valentine dan seseorang memberiku sebuah apel.
Yang awalnya hanya terjadi pada satu hari, ternyata hal yang aneh nan membingungkan ini berlanjut. Keesokan harinya, di atas mejaku, aku kembali menemukan sebuah apel di atas meja yang biasa aku duduki. Ini sama persis seperti kemarin, kecuali hari ini aku tidak mendapatkan keranjang buah dan aku mendapatkan sebuah surat kecil sebagai tambahan.
Letakkan ini di keranjang buah bersama apel yang kemarin dan makanlah!
“Apa-apaan ini?” teriakku menggapai apel tersebut, lalu melihatnya dengan lebih dekat. “Ini semua masih berlanjut? Yang benar saja!”
Teman kuliah sekelasku yang sedang berada di kelas tertawa melihatku. Aku pun berbalik ke arahnya dan menatapnya dengan tajam.
“Apa kau tahu siapa yang meletakkan ini di sini?” tanyaku.
Sayang sekali, jawaban yang aku dapatkan dari pertanyaanku hanyalah gelengan kecil.
 “APA?”
“Jangan berteriak, Roy.” Sahabatku menutup mulutku dengan telapak tangannya.
“Maafkan aku, tapi kau tidak bercanda, bukan?”
“Tidak!” katanya tegas. “Lihat saja sendiri kalau kau memang tidak percaya.”
Aku pun memasuki ruangan kuliah. Lagi-lagi, peristiwa yang kemarin terulang. Ada yang meletakkan apel lainnya di atas mejaku.
Apa-apaan ini?
Respons yang bisa aku berikan atas kejadian ini hanyalah dengan berkata, “Ya Tuhan, ini semua membuatku kebingungan.”
“Sudah tiga hari sejak hari Valentine, bukan?” tanya seorang teman sekelasku yang sedang duduk di sebelah mejaku.
Aku mengangguk. “Kau melihat siapa orangnya?”
“Sayangnya tidak. Siapa pun yang melakukannya pasti datang pagi-pagi sekali. Mungkin anak dosen.”
“Justru dosen suka datang terlambat.” Sahabatku berkomentar.
“Doktor Wasis tidak akan senang mendengarkan perkataanmu.”
Aku pun menyela pembicaraan antara mereka berdua. “Tolong hentikan dan beri aku saran atau apa pun yang bisa kalian berikan!”
Mereka berdua mengangguk, lalu terdiam. Ya, rupanya tidak ada yang bisa mereka maupun aku lakukan.
“Makan saja apel-apelnya,” usul sahabatku. “Orang misterius ini memberimu buah-buahan untuk kau makan, bukan?”
“Betul sekali!” Temanku mengangguk. “Taruh buah yang kaudapatkan di keranjang yang kaudapatkan pada hari Valentine dan diamkan saja di meja makan kos-kosanmu kalau kau tidak berminat. Meski begitu, masih lebih baik bila dimakan saja.”
Aku pun mengangguk pelan tanda mengerti akan instruksi yang diberikan. “Kalau begitu,” tanyaku, “aku harus bagaimana dengan pemberi buah misterius ini? Aku bahkan tidak tahu siapa dia!”
Sahabatku pun menyahut, “Kau hanya perlu cari tahu! Kalau bisa, tanyakan saja pada staf dan cleaning service kampus.”
“Baiklah!” Aku pun mengacungkan jempol, lalu memasukkan apel yang ada di hadapanku ke dalam tas.
 Sudah seminggu sejak hari Valentine, dan apel masih saja berdatangan secara misterius di atas mejaku. Saking tidak ada teman kuliahku yang tahu—atau mengaku tahu—tentang siapa yang melakukannya, aku lumayan yakin kalau ada hantu apel yang meletakkannya di atas mejaku setiap hari. Teman sekelasku tertawa terbahak-bahak saat mendengar pemikiranku yang seperti anak kecil ini. Agak memalukan karena aku hampir percaya dengan pemikiran itu, sampai-sampai aku membaca surat yang datang bersamaan dengan apelku pagi ini.
Tidak perlu merasa takut. Aku ini manusia, dan aku ini seorang gadis!
Ngomong-ngomong, jangan lupa makan apelmu! Aku memberikannya padamu agar kau bisa memakannya, ingat?
Ah, masuk akal.
Semua ini adalah perbuatan seorang gadis yang menyukaiku, atau hanya ingin mengerjaiku.
Meski begitu, kenapa apel?
“Argh!” Aku memukul kepalaku dengan tidak terlalu keras. “Insiden apel ini aneh!”
“Sudahlah, Roy,” kata temanku dengan nada agak kesal. “Makan saja apel itu. Itu memang aneh, namun apel-apel itu tetaplah hadiah, ingat?”
Aku pun terdiam sejenak. “Benar juga. Aku seharusnya tidak terlalu memikirkannya dan menikmatinya saja.”
Temanku mengangguk dan mengacungkan jempolnya menandakan kalau dia setuju dengan apa yang aku pikirkan. Dengan begitu, aku pun langsung menggenggam apel tersebut dan mendekatkannya ke pada mulutku, namun aku terhenti saat temanku menyela kegiatanku dengan berteriak.
Setelah aku memberinya perhatian, dia pun mengingatkanku, “Cuci tanganmu dan apelmu.”
“Ah, iya! Bisa-bisanya aku lupa.” Aku pun beranjak dari kursi dan membawa apelku ke kamar mandi terdekat dan mencucinya. Selagi air mengalir, aku memikirkan siapa yang kira-kira adalah dalang dari semua ini. Aku bisa mati karena penasaran oleh siapa yang memberiku apel dan siapa yang membantu seseoang itu memberiku apel.
Gadis seperti apa yang sebaik ini padaku?
Aku menghentikan pikiranku saat aku merasa kalau kedua tanganku dan apelku sudah bersih. Dengan begitu, aku pun kembali ke tempat dudukku yang berada di ruang kelas. Beberapa teman kuliahku sudah berada di sana, beberapa masih belum datang, dan beberapa tidak peduli untuk hadir sama sekali. Mereka yang ada melirikku—atau lebih tepatnya, apel yang berada di tangan kananku.
“Wah, itu dia Mas Apel!” canda seseorang. Yang lainnya tertawa. Aku ikut tertawa bersama mereka untuk menyembunyikan rasa penasaranku.
 Cuacanya sangat dingin karena hujan, dan itu menyusahkanku yang bepergian menuju kampus dengan motor. Aku terpaksa mengenakan jas hujan yang menurutku tidak nyaman, dan aku tetap saja berakhir membasahi sebagian dari pakaianku.
Aku juga berakhir sampai di kampus lebih telat dari biasanya, dan aku tahu kalau gadis yang mengirimiku apel tiap hari akan memanfaatkan hal ini untuk kembali meletakkan apel di atas mejaku. Meski begitu, ada kemungkinan kalau dia juga akan datang terlambat. Dengan begitu, aku bisa melihat siapa sosok sebenarnya dari gadis misterius ini. Mulutku tersenyum memikirkan kemungkinan yang menggembirakan tersebut.
Alangkah kecewanya aku saat aku memasuki kelas dengan sebuah apel sudah terletak di atas meja. Sungguh menyedihkan karena kali ini, aku kembali gagal untuk keempat belas kalinya dalam melihat dalang dari semua ini.
Ya, setidaknya apelnya masih berada di atas meja.
Aku meraih apel tersebut, dan aku menemukan sebuah kertas di bawahnya. Surat tersebut terlihat lebih besar dan samar-samar, tulisannya terlihat lebih panjang daripada surat sebelum-sebelumnya. Aku menghela napas, membukanya, dan membacanya dengan perlahan.
Untuk Roy, terima kasih telah menerima apel keempat belas sekaligus yang terakhir dariku. Aku sangat senang mengetahui kau memakannya dengan sepenuh hati. Sayang sekali ini akan menjadi yang terakhir.
Jika kau cukup peduli untuk bertanya mengapa aku melakukan ini, alasannya simpel. Aku hanya ingin memberimu hadiah yang lebih sehat dan lebih bermakna daripada cokelat di hari valentine. Itu berhasil, bukan? Kau jadi rajin memakan apelku dan kau tidak bisa melupakan aku dan hadiah bermaknaku.
Kau tidak tahu siapa aku, dan aku akan biarkan tetap seperti itu. Suatu hari, kau akan tahu, namun bukan hari ini.
Aku pun menutup kertas itu dan memasukkannya ke dalam sakuku. Dengan muka datar, aku pun duduk dan memandangi apel tersebut. Ada saatnya sesuatu bermula, dan ada saatnya sesuatu berakhir. Ini adalah perpisahan terakhirku dengan apel di atas meja. Aku tahu bahwa suatu hari, hari ini akan tiba. Meski begitu, aku tetap tidak menerimanya. Aku ingin semua ini berakhir selamanya. Sungguh egois, namun aku tidak bisa menahan diriku.
Tidak ada gunanya bagiku untuk bersedih. Keempat belas apel yang setiap hari berada di atas mejaku berhasil membuatku pribadi yang lebih sehat, berhasil membuatku lebih bahagia, dan berhasil menjadi kado terbaik yang pernah seseorang berikan padaku pada hari Valentine. Apel ini diberikan padaku untuk dimakan, bukan untung ditangisi. Oleh karena itu, aku memilih untuk memakan apel terakhir dengan senyuman lebar.
Satu gigitan, dan aku teringat dengan pertama kalinya aku melihat apel berada di atas meja.
Satu gigitan, dan aku hampir tertawa mengingat reaksi-reaksi berlebihan yang pernah aku tunjukkan sebelumnya.
Satu gigitan, dan aku senang mengingat kalau ada seseorang yang memiliki niat yang sangat kuat untuk melakukan ini padaku.
Satu gigitan, satu gigitan, satu gigitan, hingga gigitan apel terakhir yang bisa aku dapatkan, aku mengingat senyuman yang ditimbulkan oleh rasa manis yang dimiliki oleh apel ini.
Wahai gadis misterius, tentu saja aku tidak akan melupakan hadiah bermakna seperti ini.
Tidak akan.
4 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Kakak, Mengapa Ibu Melayang?
“Kakak, mengapa Ibu melayang?”
Bukannya menjawab pertanyaan Malika, Dika malah menutupi mata adiknya itu dengan tangannya. Dia tidak akan membiarkan Malika melihat pemandangan horor yang dia lihat.
“Malika tutup mata, ya,” suruh Dika.
“Kenapa mata Malika ditutup?”
Dika tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa menahan tangis melihat leher ibunya yang tergantung erat oleh tali rotan. Kaki ibunya hanya berjarak setengah meter dari lantai kamar ibunya. Leher Dika kesakitan dan matanya tidak tahan untuk menitikkan air mata.
“Kakak, kenapa Kakak nangis? Ibu kenapa?”
Dika sudah tidak tahan lagi. Air mengucur deras dari matanya. Tangan kirinya mengusap tetesan air mata miliknya. Malika terdiam. Dia tidak bisa melakukan apa pun selain mendengarkan kakaknya yang mulai menangis.
“Kakak nggak apa-apa?”
Sang Kakak menangis lebih keras, tidak bisa membendung emosinya. Air matanya memburamkan pandangannya, mencegah Dika melihat bekas luka di tubuh ibunya yang disebabkan oleh perlakuan keras ayahnya. Dia tahu kalau ibunya ingin pergi dari siksaan mengerikan dari ayahnya, tapi Dika tidak ingin semuanya berakhir seperti ini.
“Ibu nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa.” Dika kembali mengelap matanya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih menutupi pandangan adiknya. “Ibu cuma pergi ke surga.”
6 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Aku Cinta Bahasa Indonesia
“Selesai!” Kiren meregangkan tangannya setelah lama menulis di buku catatan Bahasa Indonesia-nya.
Rajin sekali, padahal jam pelajaran Bahasa sedang kosong. Pikir teman sekelasnya.
Suasana kelas jauh dari hening. Siswi sibuk bercakap-cakap dan siswa sibuk berteriak sembari bermain kejar-kejaran. Beberapa saling mengganggu dan beberapa tidak bergeming. Kiren sungguh jauh berbeda dengan mereka. Perbedaannya sangat kontras.
“Ren, ayolah. Istirahatlah dulu sejenak,” ujar sahabatnya, Fahri yang sedang siuk menggambar. Dia pun melanjutkan, “Ini kan jam pelajaran kosong. Seharusnya kamu tidak belajar dan bermain-main saja.”
“Tidak dulu. Aku masih mau belajar.” Kiren menolak suruhan sahabatnya dengan senyuman ramah.
“Kenapa?” Fahri heran.
Kiren hanya membalas dengan mengambil buku PPKn yang terletak di ujung mejanya. Ia membuka suatu halaman, lalu membacanya.
“Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa perstauan, bahasa Indonesia.”
“Tunggu, apa maksud ….”
“Eh, jadi begini.” Kiren memotong perkataan Fahri. “Tadi saat pelajaran PPKn, aku tersadar. Banyak sekali pengorbanan yang pemuda zaman terdahulu lakukan demi kita agar bisa berbahasa yang satu.”
“Tunggu.” Fahri berhenti sejenak. “Jadi, kamu mempelajari bahasa Indonesia dengan penuh semangat untuk menghargai mereka?”
Kiren menganggukkan kepalanya. “Bukan hanya itu, aku juga mau menjadi siswa yang cinta terhadap tanah airnya. Sebagai seorang pelajar, setidaknya ini yang bisa kulakukan,” terangnya.
“Wah, keren!” Fahri yang takjub pun bertepuk tangan singkat.
Kiren pun tersenyum, setelah itu dia menawarkan, “Nah, sekarang, kamu mau belajar bersama atau tidak?”
“Mau!” teriak Fahri dengan mata yang berbinar dan perasaan bersemangat.
Fahri kemudian menggeserkan kursinya ke sebelah meja Kiren. Dia lalu meraih buku bahasa Indonesia yang ada di dalam tasnya. Dengan penuh semangat, mereka pun belajar bahasa Indonesia bersama dengan teman-teman sekelas mereka memandang mereka keheranan di latar belakang.
4 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Hani
Aku melihat Hani dengan kedua tangannya menyatu dan mulutnya tersenyum. Matanya berbinar-binar dan memancarkan aura yang bahagia.
“Ada apa denganmu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Hani menoleh ke arahku, lalu tersenyum dengan lebih lebar. “Edo memegang tanganku.”
Aku tidak berekspresi apa-apa. Entah ini karena aku tidak menganggap hal seperti itu begitu membahagiakan, atau ini karena aku sedang tidak menyukai siapa-siapa. Meski begitu, aku merasa bahagia untuknya.
Tapi, apakah itu sedikit berlebihan? Itu hanya tangan yang bersentuhan, bukan?
Oh, tentu saja tidak.
Orang yang Hani sukai memegang tangannya. Tangan Hani yang punggung tangannya penuh luka yang diciptakan oleh kukunya sendiri. Tangan yang menjadi pelampiasan yang salah atas rasa frustrasinya.
Sejak saat itu, aku tidak pernah mendengar Hani mencurahkan isi hatinya tentang bagaimana dia gagal untuk tidak melukai tangannya lagi. Aku juga tidak pernah melihat bekas luka baru di tangan Hani. Malahan, tangan Hani menjadi lebih baik.
Hani mendengar kalau Edo menyukai gadis lain, namun dia merasa tidak apa-apa. Dia hanya senang karena dia sempat berpegangan tangan dengan orang yang dia sukai. Cinta itu memang menyakitkan, namun kali ini, cinta Hani pada Edo membuat dirinya sendiri berkembang menjadi orang yang lebih baik.
3 notes · View notes
issa-writing-blog · 2 years
Text
Piala yang Seharusnya Berada di Rak Kamarnya
Kehidupan sekolah Avika berjalan lancar seperti biasanya. Huruf A menghiasi rapor akhir tahun kelas sebelas miliknya. Piala emas baru terpajang di raknya. Piagam-piagam tersimpan rapi di laci mejanya yang terkunci. Tidak lupa dengan sebuah buku kumpulan cerpen yang baru saja berhasil dia terbitkan. Sudah begitu, dia juga teringat dengan empat digit angka orang yang mendukungnya lewat kanal YouTube tempat dia berkarya dengan lagunya.
Avika menatap semua pencapaiannya. Semua yang ada di pandangannya membuatnya tersenyum riang. Orang tuanya pasti bangga dengan apa yang dia raih tahun ini. Adik-adiknya pasti senang memiliki kakak sepertinya. Terlebih lagi, dirinya sendiri bangga dengan apa yang dia sendiri raih tahun ini. Ini semua lebih dari yang ia impikan. Seluruh kerja keras dan usahanya dalam belajar tidak mengkhianati hasil yang Avika peroleh.
“Pialamu banyak banget.”
Avika mendengar sebuah suara yang familiar dan asing secara bersamaan. Suara tersebut cukup menarik perhatiannya untuk membuatnya menoleh ke sumber suara. Dia sedang melirik kepada sebuah gadis. Gadis tersebut sebaya dan secara fisik terlihat sama seperti Avika.
Perempuan tersebut terlihat sama dan berbeda dengan Avika di saat yang bersamaan. Wajah mereka berdua sama persis, hanya saja terdapat bekas luka di wajah gadis di sebelah Avika. Bekas luka itu tidak hanya ada di wajah gadis tersebut, namun tersebar ke seluruh tubuhnya. Rambutnya juga lebih berantakan kalau dibandingkan dengan rambut Avika.
Semua itu tidak sedrastis perbedaan terbesar di antara mereka: gadis yang sebaya dengan Avika sedang menggendong seorang bayi di lengannya. Mata bayi tersebut berlinang air mata.
“Siapa kamu?” tanya Avika menatap doppelganger dari dirinya.
“Aku?” Gadis di hadapannya tersenyum. “Aku adalah Avika Yang Kurang Beruntung. Salam kenal.”
“Apa?” Mata Avika melebar. “Ini hanya mimpi, ‘kan?”
“Aku sih berharapnya begitu. Andai saja ini semua hanyalah mimpi.” Gadis tersebut tersenyum, namun senyuman yang berbeda. Senyuman yang awalnya manis berubah menjadi masam dalam seketika. “Asal kamu tahu, aku ini benar-benar iri padamu. Semua prestasi yang kamu raih itu …. Aku tidak bisa meraihnya.”
“Apa maksudmu?”
“Hei, Yang Beruntung. Aku benar-benar ingin bisa menjadi dirimu. Aku ingin bisa menggapai mimpiku dan membahagiakan orang tuaku. Aku ingin bisa mengumpulkan piala sebanyak-banyaknya. Piala yang seharusnya berada di rak kamarku. Piagam yang seharusnya berada di laciku. Semua hal yang harus aku lewatkan karena peristiwa itu.”
Gadis itu melirik ke arah bayi yang ia gendong, lalu mulai menitikkan air mata secara perlahan. Tidak banyak, namun cukup banyak bagi Avika untuk menyadarinya. Avika menyeka air mata gadis itu karena dia tahu dia tidak bisa melakukannya sendirian mengingat seorang bayi yang sedang menyibukkan kedua tangannya.
“Kamu tidak lelah? Sini, biar kugendong adikmu.” Avika berusaha meringankan beban gadis tersebut dengan menawarkan bantuan.
“Dia bukan adikku,” koreksi gadis tersebut. dia memainkan rambut bayi yang dia gendong. “Alex menamainya Kirana. Aku awalnya tidak setuju dan mengusulkan nama yang lebih bagus, dan dia memukuliku karena itu. Aku pun tidak berkutik soal nama itu lagi. Namun, bukan berarti Alex berhenti memukuliku dan menjambak rambutku. Alex sialan, seharusnya aku bunuh diri saja.”
Kali ini, keadaan berbalik. Avika yang mulai menitikkan air mata. Dia melakukannya hanya karena mendengar cerita dari gadis yang ada di hadapannya.
“Aku ingatkan, ya. Jangan sekali-sekalinya kau berusaha untuk merusak masa depanmu, oke? Bahkan dengan tindakan seremeh berpacaran. Jangan bilang kalau aku tidak mengingatkanmu saat keadaan sudah terlambat.” Gadis tersebut memindahkan bayinya ke satu tangan, lalu berganti menyeka air mata dari mata Avika. “Milikku sudah hancur, tapi milikmu tidak. Jangan sampai berakhir sepertiku, oke?”
Avika mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh malang. Dia tidak pernah menyadari betapa beruntungnya dirinya sampai saat ini. Dia menyadari betapa seharusnya dia bersyukur setelah melihat doppelganger dari dirinya sendiri berakhir di kehidupan yang berantakan meskipun mereka berusia sebaya.
Gadis di hadapannya tersenyum selagi tubuhnya menjadi transparan seiring detik berlalu. Butuh waktu seperempat menit bagi gadis tersebut untuk menghilang sepenuhnya dari hadapan Avika. Avika menyeka air matanya sendiri lalu lanjut membaca buku sains yang tergeletak di atas meja belajarnya.
3 notes · View notes