Tumgik
incarnatewords · 11 months
Text
Gagasan Pastoral Kaum Muda Berdasarkan Dokumen Christus Vivit, Part. 3
Tumblr media
2.3 Gagasan Pastoral Kaum Muda Menurut Christus Vivit
Setelah membahas gambaran dan situasi seputar kaum muda yang diungkapkan para bapa sinode dan Paus Fransiskus, pada bagian ini akan dibahas bagian utama dari bab ini yaitu gagasan pastoral kaum muda menurut Seruan Apostolik Christus Vivit. Pada bagian ini Paus Fransiskus mengungkapkan gagasannya tentang bagaimana mengembangkan pastoral kaum muda, mulai dari sikap dasar, reksa pastoral yang disarankan serta elemen-elemen yang dapat mendukung pastoral kaum muda yang semakin baik.
2.3.1 Sikap Dasar Sinode atas Situasi Kaum Muda
Situasi kaum muda yang kompleks dan semakin berkembang di masa ini, dibutuhkan tanggapan yang tepat pula untuk menyikapi fenomena yang terjadi pada kaum muda. Melalui sinode Gereja merefleksikan dalam diri, apakah Gereja sudah bersikap dengan tepat dalam menanggapi fenomena yang terjadi di dalam diri kaum muda ini. Idealnya adalah memiliki sikap seperti Yesus yang menjumpai dua orang pemuda di jalan menuju Emaus. Alih-alih seperti Yesus, Sinode mengakui bahwa umat Gereja tidak memiliki sikap ideal itu. Gereja belum mendengarkan dengan penuh perhatian suara kaum muda. Gereja masih berdiri dan bersikap dengan menyiapkan paket-paket jawaban yang sudah jadi (CV 65).
Mendengarkan dengan penuh perhatian memang membutuhkan kualitas tertentu. Sinode menentukan beberapa kualitas mendengarkan yang perlu menjadi perhatian dari seruan orang muda. Yang pertama adalah berjumpa, tidak mungkin ada proses mendengarkan satu sama lain dengan penuh perhatian tanpa adanya perjumpaan. Mendengarkan dengan penuh perhatian berarti mengambil sikap rendah hati, kesabaran, kesiapan untuk memahami pemikiran orang lain dan juga berusaha untuk menggali cara-cara baru dalam memberikan tanggapan. Inilah kualitas mendengarkan yang diungkapkan oleh Sinode (DA 6). Sayangnya sebagaimana Paus Fransiskus mengutip Sinode, Gereja sadar bahwa Gereja belum benar-benar mendengarkan kaum muda.
Paus Fransiskus mengkritik sikap orang dewasa masa ini. Menghadapi kaum muda yang penuh dengan ide dan impian, harapan dan juga peluang-peluang, Gereja cenderung membuat daftar hal-hal negatif yang mungkin dibuat oleh kaum muda. Paus Fransiskus mengkritik bahwa orang dewasa cenderung untuk mendaftar hal-hal apa saya yang menjadi kekurangan dari kaum muda. Orang dewasa bersikap seolah-olah ahli dalam mengidentifikasi hal-hal negatif dan berbahaya. Apa dampaknya? Tentu jarak semakin lebar dan relasi timbal balik kurang terjadi (CV 66).
Dalam hal mendengarkan, menjadi Gereja yang terbuka dan mendengarkan suara kaum muda, jarak dan jurang dapat menjadi halangan yang cukup berarti. Dengan jarak yang ada itu, Gereja akan semakin sulit untuk masuk ke dunia kaum muda, dan bahkan sulit untuk merangkul mereka sebagai saudara dan anggota Gereja yang utuh. Mendengarkan penuh perhatian, dengan melibatkan perasaan mereka juga akan menjadi langkah yang baik untuk memperpendek jarak antar angkatan, bahkan jarak kaum muda dengan Gereja, sebab mereka bukanlah bagian di luar Gereja tetapi bagian dari Gereja sendiri.
Paus Fransiskus mengharapkan para bapak, pastor, pendamping orang muda, menjadi perwakilan Gereja yang sungguh bisa mendengarkan itu. Tentu semua elemen dari tubuh Gereja diharapkan memiliki kapasitas tersebut. Kemampuan mendengar seperti yang diungkapkan dalam Sinode ditambahkan oleh Paus Fransiskus yaitu kemampuan untuk membuat jalan ketimbang membangun dinding (CV 67). Kemampuan inilah yang dimaksudkan dengan kemampuan untuk mempersempit jarak di antara generasi yang berbeda-beda. Harapannya kelompok yang lebih dewasa memandang kaum muda secara lebih positif, bukan pertama-tama mengedepankan daftar negatif tentang kaum muda.
Peka dan sensitif dengan situasi yang ada, Gereja diminta hadir bagi mereka yang menangis. Rasul Paulus berpesan, “Menangislah bersama dengan orang yang menangis.” (Rm 12, 15) demikianlah Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa Gereja harus bisa menangis bersama kaum muda yang dikelilingi tragedi dan keprihatinan (CV 75). Menangis adalah salah satu bentuk simpati atas kondisi hidup yang tidak manusiawi, kesulitan yang dialami, dan juga persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari. Gereja yang menangis berarti Gereja yang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang mengalami tragedi dalam hidupnya. Gereja yang menangis bukan berarti Gereja yang terus menerus berduka tetapi Gereja yang turut peduli dan selalu siap untuk membuka hati pada apa yang dialami kaum muda zaman ini sebagai bagian dari Gereja.
Paus Fransiskus mengharapkan ada sebuah komunitas Kristiani yang dekat dengan orang muda yang menderita untuk mewartakan kembali sabda bahagia dengan tindakan, pelukan dan bantuan-bantuan konkret (CV 77). Komunitas macam ini yang menjadi bentuk dari Gereja yang turut menangis bersama kaum muda yang menderita sekaligus memberikan pertolongan sejauh mereka perlukan. Dalam artikel ini Paus Fransiskus mengungkapkan perlunya komunitas macam ini, yang dengan kata lain Paus berharap gerakan universal Gereja yang menangis bersama kaum muda dapat terwujud dalam lapisan-lapisan Gereja lokal khususnya dengan komunitas-komunitas Kristiani yang ada. Paus Fransiskus berharap agar ini bukanlah sekedar wacana universal tentang peduli pada nasib kaum muda, tetapi sungguh terjadi di level-level paling dekat dengan kaum muda.
Belajar dari Yesus, Yesus hadir untuk memberikan Kabar Sukacita kepada yang miskin dan menderita. Di tengah-tengah orang seperti ini, Yesus memberikan diri-Nya menawarkan sebuah persahabatan. Yesus menjadi sahabat yang menemani kaum muda. Selain bersahabat, Yesus memberi penghiburan (“Berbahagialah orang yang berdukacita sebab mereka akan dihibur.” Mat 5, 5). Dalam konteks ini, Paus Fransiskus menginginkan Gereja menjadi seperti pribadi Yesus yang sungguh-sungguh mau membawa penghiburan dan pendampingan (CV 83).
Di zaman serba digital yang menjadi ciri dunia kontemporer (CV 86), Gereja juga harus siap dalam menanggapi fenomena ini. Banyak negara melakukan aktivitas dengan basis web dan jejaring sosial. Atmosfer ekonomi dan juga dinamika sosial masyarakat mulai beralih ke dunia maya ini. Kita patut bersyukur sebab di era digital ini, muncul juga di tengah-tengah kaum muda inisiatif dan aktivitas pastoral berbasis web dan jejaring sosial (CV 87). Dunia kontemporer macam ini sungguh-sungguh jadi peluang dalam aktivitas pastoral dan dinamika hidup beriman Gereja yang lebih dinamis dan sesuai dengan konteks zaman. Kita tidak bisa menolak perkembangan jaman dan tetap bertahan pada situasi-situasi konservatif yang tidak sesuai dengan kondisi dan juga konteks kaum muda zaman ini. Justru Gereja perlu menemani dan mendampingi kaum muda yang sedang bertumbuh.
Dengan Gereja menaruh simpati yang besar pada kaum muda yang berjumpa dengan fenomena imigran. Paus Fransiskus berharap agar Gereja memiliki rasa simpati dan empati dengan para imigran. Secara khusus Paus Fransiskus menghendaki agar orang muda menjadi sahabat bagi kaum muda lainnya yang menjadi imigran. Ia meminta agar orang muda tidak memandang kaum muda lain sebagai bahaya dan ancaman tetapi sama-sama memiliki martabat sebagai manusia (CV 94). Sering kali kedatangan para imigran dipandang sebagai ancaman dan bahaya, padahal mereka adalah kelompok rentan yang kehilangan tempat tinggal dan mencari perlindungan yang layak bagi diri mereka sendiri. Dalam diri para imigran terdapat martabat yang sama seperti yang diberikan Tuhan kepada kita masing-masing sebagai pribadi yang merdeka dalam kasih Allah.
Dalam Sinode juga dibahas tentang penyalahgunaan jabatan yang terjadi di dalam Gereja. Terhadap fenomena ini, Sinode menegaskan kembali komitmen yang kuat untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan ketat untuk mencegah terulangnya kembali fenomena ini. Ada dua perhatian yang diambil Gereja yaitu mereka yang diserahi tanggung jawab sebagai pendidik (para formator), dan juga penerapan “tindakan dan sanksi” yang dibutuhkan (CV 97). Persoalan abuse ini sudah bukan menjadi rahasia lagi di dalam tubuh Gereja. Kini masyarakat kontemporer sudah lebih berani untuk mencari kebenaran dan akhirnya pun membuka luka bagi Gereja dan perlahan-lahan kehilangan wibawanya.
Sebagai pesan atas sikap Gereja, Paus Fransiskus mengajak untuk melihat dunia secara lebih positif. Memang dunia digital dapat berbahaya karena membuat orang terasing dari dunianya, tetapi di sisi lain ada yang bisa tetap jenius menggunakannya seperti Venerabilis Carlo Acutis (CV 104). Keuntungan dan bahaya dari munculnya dunia digital tidak dapat dihindari. Sebuah perkembangan selalu membawa konsekuensi tersendiri. Kita bisa ingat zaman ketika telepon genggam belum memasyarakat, orang masih nyaman berkirim surat dengan sabar. Kini ketika telepon genggam sudah memasyarakat, orang tidak lagi berkirim surat bahkan mulai resah kalau pesan WA atau Line-nya tidak dibalas dengan segera. Dalam dunia bisnis, pertemuan dan juga dinamika perniagaan dilaksanakan secara online. Kini sudah berkembang dalam media sosial kita akun-akun pewartaan yang menarik dan inovatif berbasis web dan jejaring sosial. Jika boleh disebut, ada akun @sahabatkatolik, @hitz_omk, @sahabatmisdinar, @hidupmembiara dan masih ada lainnya yang menjadi platform digital dalam bidang katekese dan pewartaan.
2.3.2 Saran Reksa Pastoral Sinodal
            Reksa pastoral dan juga pendampingan kaum muda tidak bisa dilepaskan dari konteks kaum muda itu sendiri. Banyaknya kehadiran kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan yang terutama bercirikan kemudaan adalah karya Roh Kudus yang membuka jalan-jalan baru dalam dinamika pastoral kaum muda (CV 202). Pelaku utama dari reksa pastoral kaum muda adalah kaum muda sendiri. Mereka perlu didampingi dan dibimbing tetapi bukan dituntun seperti anak kecil belajar berjalan. Mereka harus punya kebebasan dan diberi ruang dalam kreativitas untuk membuka jalan baru (CV 203). Diperlukan gaya dan strategi baru dalam mengatur reksa pastoral terkait kaum muda. Orientasi baru gaya pastoral tidak bisa ditetapkan secara rutin atau terencana sebaik mungkin, melainkan lebih fleksibel di mana mereka bisa belajar dan mengalami perjumpaan dengan komunitas dan dengan Allah (CV 204).
Garis besar gagasan pastoral kaum muda yang ditawarkan oleh dokumen Christus Vivit ini adalah penjangkauan (outreach) dan pertumbuhan. Penjangkauan adalah aspek di mana Gereja mengambil langkah untuk mengadakan ajakan dan juga panggilan yang bisa menarik perhatian kaum muda sedangkan pertumbuhan yang dimaksud adalah tahapan di mana kaum muda mengalami proses pendewasaan setelah menghidupi pengalaman akan Tuhan (CV 209). Paus Fransiskus menarik dua kata ini sebagai garis besar dan menjadikannya sebagai arah dari tahapan pendampingan kaum muda. Dua garis besar ini yang menjadi warna dasar dari strategi dan gagasan pastoral yang hendak ditawarkan Paus Fransiskus.
2.3.2.1 Penjangkauan
Di bagian penjangkauan, Paus menyadari bahwa kaum muda lebih mengerti tentang dunia mereka sendiri daripada Paus sendiri. Hal ini nampak dalam kalimat yang ia gunakan pada artikel 210, “Saya yakin akan kemampuan orang-orang muda sendiri, yang tahu bagaimana menemukan jalan-jalan menarik untuk mengajak.” Kalimat ini menunjukkan penghargaan yang tinggi Paus Fransiskus kepada kaum muda. Sembari menyadari perbedaan umur yang memang sangat jauh dari kaum muda, Paus Fransiskus memberi kesempatan kepada sesama kaum muda untuk mengajak dan memanggil kaum muda lainnya untuk bisa merasakan pengalaman akan Allah. Kaum muda dengan segala potensinya mendapat kepercayaan Paus Fransiskus untuk juga bisa menjangkau sebanyak mungkin kaum muda lainnya bisa melalui nyanyian-nyanyian, video, atau jejaring sosial.
Mengingat adanya penemuan kesadaran baru dalam Sinode, bahwa Gereja kerap kali kurang bersikap seperti Yesus yang mendekati dua pemuda ke Emaus (DA 8), Paus Fransiskus menyarankan bahasa yang tepat dalam menjangkau kaum muda (CV 211). Kaum muda tidak didekati dengan ceramah ataupun nasihat-nasihat. Bahasa yang digunakan dalam menjangkau kaum muda adalah bahasa kasih tanpa syarat. Pertama-tama bukan mendikte kaum muda (bdk. CV 66), tetapi membangun keakraban, menyentuh hati, barulah bisa mempengaruhi hidup. Orang yang berusaha menjangkau kaum muda juga perlulah orang yang memberikan hidupnya bagi kaum muda, dia yang mau hadir di sana demi mereka dan untuk mereka.
            Kaum muda adalah kelompok yang sedang mengalami krisis berhadapan dengan situasi dan fenomena dunia kontemporer. Gempuran dunia digital, maraknya eksploitasi kaum muda untuk kepentingan bisnis dan periklanan, kaum migran, dan juga praktik abuse adalah fenomena-fenomena yang dihadapi oleh kaum muda kita (CV 71-101). Dari segi hidup sehari-hari mereka sudah menerima cukup banyak masalah di dalam hidup mereka. Banyak kaum muda tidak bisa hidup dengan normal seperti orang-orang pada umumnya. Kondisi ini bukanlah kondisi yang mudah untuk didekati dan dijangkau. Di sinilah letak pentingnya bahasa kasih yang dikehendaki Paus Fransiskus terkait dengan penjangkauan kaum muda. Tanpa adanya bahasa kasih yang tulus, dengan mengingat dan mendaftar kesalahan dan kekacauan yang mungkin ditimbulkan bukannya menjangkau kaum muda tetapi malahan memberi jarak yang semakin jauh.
            Bahasa kasih ini penting dalam kerangka untuk menyelidiki setiap kenyataan yang dialami oleh kaum muda. Setiap negara, setiap wilayah, bahkan setiap komunitas akan menghadapi kenyataan dan fakta yang berbeda-beda terkait dengan kaum muda (CV 103). Sinode menegaskan pentingnya mendengarkan dengan penuh perhatian ini sebagai elemen kunci pelayanan pastoral.
“Mendengarkan adalah kunci dari pelayanan para gembala, dan lebih-lebih kunci pelayanan dari para uskup, karena terkait kewajiban mereka, mereka perlu untuk terus berjuang memberikan waktu yang cukup untuk pelayanan yang penting ini.”[1]
Mendengarkan dengan penuh perhatian, menangkap situasi yang berbeda-beda dari kondisi dan situasi kaum muda, itulah yang akan membantu untuk bisa sungguh-sungguh menjangkau mereka. Sikap ini yang bisa menentukan strategi penjangkauan yang paling tepat seperti apa, sesuai dengan situasi dan kondisi kaum muda setempat dengan sambil melibatkan kaum muda itu sendiri untuk saling mengajak dan menjangkau sesama kaum muda.
2.2.3.2 Pertumbuhan
Setelah mengantar kaum muda untuk saling berjumpa, menjangkau mereka dengan segala kondisi dan keadaan mereka, terjadi pertumbuhan dalam diri kaum muda. Pertumbuhan itu terjadi secara alami sejauh kaum muda mengalami sendiri berjumpa dengan sesama kaum muda dan lebih jauh lagi berjumpa dengan pengalaman mendalam akan Allah. (CV 212). Sinode menemukan bahwa kaum muda memiliki kerinduan untuk berjumpa dengan Allah dalam rangka menemukan makna dalam hidup mereka (DA 49). Pertumbuhan inilah yang diharapkan dapat sungguh terjadi bahwa kaum muda bertumbuh dalam perjumpaan dengan Allah melalui sesamanya, sehingga mereka menemukan makna dalam hidup mereka.
            Dalam tahap pertumbuhan ini penting sekali untuk mengingat kembali seruan Evangelii Gaudium yaitu pentingnya menumbuhkan Kerygma. Dalam pengajaran doktrinal dan moral, Kerygma menjadi pengalaman mendasar yang perlu digali dan diperdalam (CV 213-214). Kerygma merupakan formasio paling konsisten, lebih pasti dan lebih bijaksana. Dengan kesaksian hidup yang autentik, orang semakin terbantu untuk menemukan kehadiran Allah.
“Kaum muda meminta Gereja untuk menunjukkan pancaran dari contoh-contoh yang autentik, teladan hidup, kompetensi, pembagian tanggung jawab dan kemantapan dalam budaya.”[2] Dalam mengusahkan kesaksian sejati, autentisitas menjadi penting dan sungguh diminta oleh para kaum muda melalui Sinode. “Hendaklah kasih itu tidak pura-pura” (Rm 12, 9) demikianlah kata rasul Paulus. Kaum muda menghendaki sebuah pewartaan yang tulus dan jujur. Dengan pewartaan yang autentik itu, kaum muda belajar juga bagaimana menjadi seorang yang dapat mewartakan kabar baik bagi orang lain.
“Oleh karena itu, reksa pastoral kaum muda hendaknya selalu mencakup kegiatan untuk memperbarui dan memperdalam pengalaman pribadi kita akan kasih Allah dan Yesus Kristus yang hidup.” (CV 214). Dengan mengenal Kristus, mengalaminya secara pribadi dalam kehidupan kita sehari-hari, barulah kita mampu menjadi seorang pewarta. Kegiatan kaum muda hendaknya terarah pada pengalaman itu. Dengan demikian kaum muda juga dapat turut ambil bagian dalam baptisannya untuk melaksanakan tritugas Kristus salah satunya jabatan Kristus sebagai nabi. Setiap anggota Gereja mengambil bagian dalam tugas jabatan Kristus sebagai nabi yaitu dengan cara pewartaan. “Penginjilan dilakukan dengan melakukan pewartaan tentang Kristus yang disampaikan dengan kesaksian hidup dan kata-kata.” (KGK 905).
Pertumbuhan dalam aspek Kerygma ini dapat dicari dalam kesaksian-kesaksian orang yang sudah lebih dewasa, lagu-lagu, saat-saat adorasi, saat-saat refleksi dengan ayat Kitab Suci sehingga kaum muda semakin terbantu untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan (CV 214). Perjumpaan dengan Tuhan haruslah menjadi perjumpaan penuh sukacita, dan hal ini tidak bisa digantikan dengan segala bentuk indoktrinasi.
Selain mengutamakan perjumpaan penuh sukacita dengan Tuhan (CV 214), Paus Fransiskus menekankan tumbuhnya kaum muda dalam suasana persaudaraan. Dalam suatu komunitas kaum muda diharapkan dapat hidup sebagai saudara bagi yang lainnya, membantu satu sama lain, melayani orang lain, dan lebih lagi menjadi dekat dengan orang miskin. Kasih persaudaraan hendaknya mendapatkan tempat yang utama dalam diri kaum muda.
2.3.3 Elemen Pendukung Pastoral Kaum Muda
            Paus Fransiskus memang meletakkan kaum muda sebagai pusat perhatian dan juga pelayanan. Merekalah pelaku utama dari pastoral ini Setelah melihat saran reksa pastoral yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus, pada bagian ini penulis akan membahas elemen-elemen yang dapat mendukung berjalannya pastoral kaum muda secara lebih baik. Elemen-elemen itu antara lain lingkungan dan situasi yang mendukung, serta pendamping dengan kualitas yang memadai. Pada bagian ini akan dibahas lingkungan dan situasi seperti apa yang mendukung dinamika kegiatan kaum muda, dan juga akan dibahas secara lebih terperinci tentang kualitas pendamping seperti apa yang diharapkan oleh Paus Fransiskus untuk bisa menjadi sahabat seperjalanan kaum muda.
2.3.3.1 Lingkungan dan Situasi
Gagasan pastoral yang dibangun terkait lingkungan dan situasi dalam pendampingan pastoral adalah sebuah lingkungan rumah. Rumah bukan berarti suatu ikatan dalam darah (biologis semata). Rumah dan keluarga yang dimaksud oleh Paus Fransiskus bukan berarti sekedar relasi mutualisme, di mana anggota yang satu saling membutuhkan yang lain. Paus Fransiskus memberi gambaran tentang rumah di mana setiap anggota dapat merasa bersatu dan mengalami semakin menjadi manusiawi.
Dalam CV 217, Paus Fransiskus memberikan gambaran suasana rumah yang baik bagi kaum muda. Di dalam rumah itu, keseharian terasa ramah, ada kepedulian dan pengenalan satu sama lain. Tentu bukan sekedar pengenalan di permukaan saja tetapi mengenal lebih dalam di mana ada ikatan, kerja sama, dan relasi yang kuat satu sama lain. Menanggapi konteks rumah seperti di atas Paus Fransiskus menyarankan bahwa lembaga-lembaga Gereja harus menyediakan tempat yang memadai bagi orang-orang muda berdinamika.
Kita ingat bagaimana kaum muda tidak terlalu tertarik dengan sesuatu yang diatur secara kaku dengan jadwal rutin atau terencana (CV 203). Oleh sebab itu, Rumah itu hendaknya bersifat fleksibel, di mana mereka dapat datang dan pergi secara bebas. Kebebasan itu akan menunjang kreativitas kaum muda, dan juga pastinya memudahkan mereka untuk mengatur waktu berkumpul mengingat bahwa kaum muda menghadapi situasi yang sedang berubah dengan cepat di mana tuntutan hidup pun menjadi semakin tinggi. Kebebasan dan fleksibilitas dalam mengatur waktu berkumpul juga memungkinkan mereka secara bebas bertemu dengan sesama kaum muda atau orang dewasa yang mendampingi mereka, bukan saja dari segi waktu, tetapi juga dari segi suasana batin. Dalam keadaan suasana batin seperti apa pun, tempat itu menjadi tempat kaum muda berkumpul dan berbagi hidup mereka, entah kebosanan, kesedihan, ataupun sukacita-sukacita hidup (CV 218).
Rumah itu, menjadi tempat di mana mereka bisa mengalami persahabatan, jatuh cinta, berbagi musik, aktivitas rekreatif, olah raga, dan bahkan refleksi dan doa (CV 218). Paus Fransiskus juga mengungkapkan, biarlah rumah itu memfasilitasi aneka talenta manusia. Talenta-talenta yang disebut oleh Paus meliputi bidang musik, olahraga, maupun kegiatan-kegiatan di luar ruangan seperti camping, outbond dan kegiatan yang bersentuhan dengan alam (CV 226-228).
Dalam rumah itu, baik juga ada kelompok yang kurang lebih terstruktur. Menurut Paus Fransiskus hal ini diperlukan untuk memberi ruang bagi percakapan sosial dan relasional. Tentu saja kelompok ini tidak bersikap sebagai kelompok yang menilai dan menghakimi. Mereka hanyalah fasilitator untuk semakin mempererat pengalaman kelompok. Sebab bagi Paus Fransiskus, pengalaman kelompok juga merupakan hal yang penting untuk kaum muda bisa berbagi iman dan tempat mereka untuk saling membantu dalam membagikan kesaksian. (CV 219).
Kehadiran tempat/rumah/kelompok ini bukanlah sesuatu yang terpisah atau terisolasi dari komunitas parokial maupun kelompok dan lembaga gerejawi lainnya. Paus Fransiskus lebih menghendaki adanya integrasi antar kelompok-kelompok ini (CV. 220). Sebaliknya, komunitas parokial dan juga kelompok atau lembaga gerejawi lainnya perlu untuk menciptakan suasana “rumah” ini agar kaum muda tidak segan untuk berintegrasi.
Dalam seruan Christus Vivit no 233 Paus Fransiskus menyarankan agar Gereja tidak menyesaki kaum muda dengan sekumpulan peraturannya yang memberi gambaran reduktif dan moralistik terhadap Kristenitas. Sebaliknya, Gereja dipanggil untuk menumbuhkan keberanian mereka dan mendidik mereka untuk memikul tanggung jawab, dengan keyakinan bahwa kesalahan, kegagalan dan krisis merupakan pengalaman yang dapat memperkuat kemanusiaan mereka. Rumah dan tempat kaum muda ini tidak dinuansai oleh peraturan yang mengekang yang hanya membuat gerakan kaum muda terbatas. Rumah dan tempat yang dibangun ini adalah rumah di mana mereka bisa belajar bertanggungjawab, turut ambil bagian dalam kehidupan kendati membuat kekeliruan. Kesalahan dan kekeliruan bukan untuk dikecam melainkan sebuah jalan untuk semakin mengenal dimensi kemanusiaan mereka.
Berulang kali Paus Fransiskus menekankan keterbukaan Gereja dalam mendampingi kaum muda dan berjalan bersama kaum muda. Gereja terbuka dengan semua pintu-pintunya bagi semua orang muda (CV 234). Secara lebih mendalam, Paus Fransiskus membuka pintu sebesar-besarnya bagi semua kaum muda yang memiliki kerinduan dan kesiapsediaan untuk membiarkan diri dijumpai oleh kebenaran Allah. Dalam hal ini Paus Fransiskus tidak menetapkan pengertian ajaran Gereja sebagai syarat. Kerinduan hati itu sudah cukup bagi Paus Fransiskus agar kaum muda dapat berkumpul dan mengalami perjumpaan dengan saudara-saudarinya serta berjumpa dengan Allah.
Yesus berjalan bersama dengan dua pemuda ke Emaus. Selain berjalan bersama, Yesus bertanya, kemudian mendengarkan dengan baik apa yang mereka ceritakan. Setelah itu barulah Yesus membantu mereka mengenali peristiwa yang mereka alami dengan baik. (CV 237). Lewat nomor ini Paus Fransiskus ingin mengatakan bahwa perjalanan mendampingi kaum muda bukanlah sebuah perjalanan yang terjadi dengan cepat. Tahap demi tahap harus dijalani dengan sabar hingga akhirnya kaum muda sendiri yang memilih untuk memutar balik dan membagikan pengalaman Kristus bangkit kepada komunitas mereka.
2.3.3.2 Para Pendamping
Jelas sekali pelaku pastoral kaum muda adalah kaum muda sendiri (CV 203), namun sama seperti dua pemuda di Emaus, tetap diperlukan adanya pendamping. Dalam dokumen ini, Paus Fransiskus tetap menginginkan adanya tempat yang tepat bagi para orang tua dan juga pendamping. Terkait pendamping, Paus Fransiskus mengutip dari Kitab Suci tentang relasi orang tua dan anak. Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa relasi anak-orang tua tetap perlu dijaga, bahkan sejak zaman Kitab Suci, relasi orang tua dan anak kebanyakan membawa hasil yang menggembirakan bagi perkembangan anak. (CV 189). Dari sisi si anak, ia harus menghormati orang tuanya tanpa kehilangan daya kritisnya. Orang tua adalah penjaga kenangan dan sejarah serta penjaga juga kebijaksanaan. Orang tua yang akan menunjukkan kepada kaum muda, jalan keluar atas kesulitan mereka. (bdk. CV 195-198). Paus Fransiskus percaya, bahwa jika orang-orang muda dan tua berjalan bersama, kehidupan akan berjalan dengan akar yang kuat. Akar itulah yang membuat orang muda dan orang tua mampu menghadapi masa kini di posisi ini (bdk. CV 199-201).
            Terkait dengan pendampingan, Paus Fransiskus menempatkan posisi pendamping sebagai orang yang benar-benar menemani perjalanan. Dalam artikel 230 Paus Fransiskus menekankan bahwa jangan sampai kehadiran pendamping memberikan banyak hambatan, norma, pengawasan, dan aturan-aturan wajib. Hendaknya para pendamping membatasi diri hanya untuk mendampingi dan menyemangati kaum muda. Percaya pada tuntunan Roh dan daya kreatif kaum muda, pendamping membiarkan kaum muda berkembang dalam tuntunan Roh yang menghidupkan itu.
            Dalam artikel selanjutnya Paus Fransiskus mengungkapkan kualitas pemimpin yang dirasa cocok untuk reksa pastoral kaum muda masa kini. “Kita bicara tentang pemimpin yang sungguh-sungguh populer, tidak elitis atau tertutup dalam kelompok-kelompok kecil pilihan.” (CV 231). Paus menekankan bahwa pemimpin yang hendak menjadi pendamping kaum muda adalah orang yang memiliki semangat seperti Yesus yang berbaur dengan banyak orang. Paus tidak menghendaki pemimpin yang hadir hanya untuk kelompok-kelompok tertentu. Pemimpin itu harus memperhatikan juga kelompok kaum muda yang tumbuh dari keluarga non-Kristiani. Memperlakukan mereka tidak bisa sama dengan kelompok muda yang lebih dahulu mengenal dunia Kristiani. Paus Fransiskus menegaskan bahwa ilalang yang kita cabut juga akan mencabut ribuan tunas yang berusaha tumbuh di tengah-tengah keterbatasan (CV 232).
Dalam Sinode, terungkap bahwa masih banyak tenaga ahli dan berdedikasi terkait tugas pendampingan kaum muda. Maka Sinode mengusulkan agar para pendamping ini sungguh-sungguh dipersiapkan baik itu berasal dari kaum hidup bakti maupun dari kaum awam. (CV 244). Ini bukan pekerjaan sambilan yang bisa dikerjakan sambil mengerjakan hal lain. Paus Fransiskus menangkap kemendesakan dalam mempersiapkan pendamping yang sungguh-sungguh siap melaksanakan perutusan ini. Inilah kualitas yang dikehendaki Paus Fransiskus berdasarkan suara orang muda, tentang kualitas seperti apakah yang harus ada dalam seorang pendamping:
Seorang Kristiani yang setia,
Terlibat pada Gereja dan Dunia.
Terus-menerus mencari kekudusan.
Seorang yang mempercayai, bukan menghakimi.
Mendengarkan secara aktif kebutuhan-kebutuhan orang muda, serta mampu memberi jawaban yang tepat
Penuh kasih dan sadar diri.
Mengenali keterbatasan-keterbatasan dirinya
memahami suka-duka hidup rohani.
Perlu diingat, bahwa para kaum muda menghendaki pribadi-pribadi yang autentik, yang pertama-tama mengakui kemanusiaannya. Pemimpin yang terlalu sempurna terkadang memberikan efek yang lebih luas terkait dengan saat-saat jatuh mereka. Perlulah diingat bahwa tugas pendamping adalah berjalan di samping kaum muda. Kebebasan para kaum muda perlu dijaga dan seorang pendamping hendaknya sungguh yakin akan kemampuan orang muda untuk berperan serta dalam hidup Gereja. Peran pendamping akan berkurang ketika mereka mulai menetapkan kriteria-kriteria kaku bagi para siswa yang akan masuk atau tinggal dalam kelompok. Hal ini juga berlaku bagi pendidikan-pendidikan Katolik yang juga dipanggil untuk memberikan pendampingan yang tepat bagi kaum muda. (CV 246-247).
2.4 Rangkuman
Kaum muda bukanlah sekedar orang yang sedang melewati masa muda. Masa muda itu sendiri tidak ada. Paus Fransiskus mengungkapkan, yang ada adalah orang-orang muda dengan kehidupan mereka yang konkret (CV 71). Itulah masa muda. Kaum muda adalah orang-orang muda yang menjalani kehidupannya sehari-hari sebagai orang muda, itulah masa muda. Dari pernyataan ini, dapat kita kenali bahwa pendampingan kaum muda pun tidak bisa memisahkan mereka dari kehidupan mereka. Menemani dan mendampingi kaum muda perlu melihat dan mengenal kaum muda beserta kehidupan mereka. Orang muda perlu dibantu untuk menyambut kedewasaan mereka dan hidup secara penuh (CV 134).
Memperlakukan kaum muda tidak bisa sama dengan seperti memperlakukan anak-anak atau orang dewasa, sebab mereka ada di tahap yang berbeda. Bahkan dalam sifat-sifat kepribadiannya, kaum muda punya corak yang berbeda dengan orang dewasa dan anak-anak.[3] Gereja menyadari bahwa selama ini belum memberikan metode yang tepat dalam mendampingi kaum muda. Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa Gereja tergoda untuk menyiapkan jawaban siap pakai dan bahkan lebih jauh lagi cenderung mendaftar hal-hal negatif dari kaum muda (CV 65-66).
Kaum muda hidup dalam krisis dan hal-hal krusial yang dihadirkan zaman ini. Gereja perlu menjadi seperti Yesus yang hadir bagi kaum muda. Perjalanan Emaus menjadi model ideal pendampingan kaum muda. Paus Fransiskus ingin agar Gereja bisa seperti Yesus, yang hadir di tengah-tengah, berjalan bersama, mendengarkan mereka bercerita, membuka mata mereka, memberikan kesadaran baru, dan mendorong semangat mereka untuk bermisi (CV 67).
Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa Gereja perlu hadir mendengarkan kaum muda. Selain itu Gereja juga perlu untuk menjadi lebih terbuka, bahkan lebih jauh lagi melibatkan kaum muda dalam aneka dinamika Gereja. Kendati kaum muda belum sepenuhnya dewasa, kaum muda tetaplah bukan anak-anak yang masih tergantung dengan orang tuanya. Kaum muda sudah dapat dilibatkan dalam tanggung-jawab bersama dengan orang dewasa. Dengan segala impian dan kreativitas yang mereka miliki, kaum muda dapat turut memberi warna pada dinamika kehidupan Gereja.
Yang pertama penting diingat adalah bahwa pelaku dari reksa pastoral ini adalah kaum muda sendiri (CV 203). Gereja memfasilitasi kaum muda untuk berkumpul para kaum muda di mana mereka dapat dengan bebas keluar-masuk secara fleksibel untuk berjumpa dengan kaum muda lainnya, berkumpul, berbagi kisah dan suka-duka hidup, atau saat mereka ingin merayakan sukacita mereka (CV 218).
Poin kedua adalah sikap Gereja dan orang dewasa. Paus Fransiskus menekankan pentingnya relasi yang baik antar generasi dari kaum muda dengan yang lebih dewasa. Dalam relasi yang saling mendukung kaum muda memperkaya dunia dengan kreativitas dan semangat muda bersama dengan orang dewasa yang sudah lebih dulu mengenal kebijaksanaan sebagai pemberi arah dan tujuan. Ketika orang-orang muda dan tua berjalan bersama, Paus Fransiskus yakin bahwa Gereja akan berakar kokoh di masa kini. Relasi yang dikehendaki ada dalam Gereja adalah relasi saling bersatu padu, saling belajar, menghangatkan hati, dan memberi inspirasi (CV 199).
Poin ketiga yang dapat digarisbawahi adalah pentingnya memperhatikan kompetensi dan kualitas dari para pendamping kaum muda. Mengingat bahwa kaum muda adalah pelaku reksa pastoral kaum muda itu sendiri, peran pendamping adalah sebagai teman perjalanan bagi kaum muda yang tugasnya mendampingi dan menyemangati kaum muda (CV 230). Pendamping juga adalah pribadi yang dapat berbaur dengan siapa pun, bukan sekedar tokoh pemimpin elite atas kelompok-kelompok tertentu (CV 231). Lebih-lebih, pendamping perlu juga menaruh perhatian pada kaum muda yang berasal dari keluarga non-Kristiani (CV 232). Paus Fransiskus menghendaki para pendamping memiliki 8 kualitas yang telah diungkapkan pada sub-bab sebelumnya, sehingga memungkinkan seorang pendamping untuk bisa menjadi teman perjalanan yang dapat kaum muda menjadi peserta aktif dalam perjalanan mereka (CV 246).
Itulah gagasan pastoral yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus melalui seruan apostolik Kristus Vivit. Gagasan pastoral yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus bukanlah strategi-strategi praktis untuk dikerjakan. Melalui seruan apostolik ini, Paus Fransiskus ingin mengobarkan “api” pendampingan kaum muda yang lebih baik kepada segenap anggota Gereja. Paus Fransiskus ingin agar Gereja semakin berwarna berkat pendampingan kaum muda yang tepat. Strategi pastoral di lapangan, cara-cara pendampingan, cara mengumpulkan kaum muda tidak ada dalam seruan ini, tetapi semangat dasarnya yang diungkapkan dalam dokumen ini sehingga setiap wilayah, daerah dapat dengan tepat menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka berada. Pendampingan kaum muda secara lebih konkret  dan detail harus berasal dari kaum muda itu sendiri, dan itu berarti melibatkan Gereja terdekat yang ada di sekitar kaum muda.
[1] “Listening is a key element in the ministry of pastor, above all in that of bishops, who, due to their many obligations, struggle to find enough time for this essential service.” (DA 9)
[2] “The young ask the Church to offer a shining example of authenticity, exemplarines, competence, co-responsibility and cultural solidity.” (DA 57)
[3]“Youth and adult traits also differ in important ways (e.g. in their foundational level and mean level.” Christopher J. Soto, Jennifer L. Tackett, Personality Traits in Childhood and Adoloscence: Structure, Development, and Outcomes, Association for Psychological Science Vol 24(5) 358-362, 2015. 361, DOI: 10.1177/0963721415589345
0 notes
incarnatewords · 11 months
Text
Gagasan Pastoral Kaum Muda Berdasarkan Dokumen Christus Vivit, Part. 2
Tumblr media
2.2 Pandangan Paus Fransiskus tentang Orang Muda
2.2.1 Perspektif Alkitabiah
Dalam Christus Vivit, Paus Fransiskus mengungkapkan identitas kaum muda mulai dari landasan alkitabiah. Metode ini sering kali digunakan Paus Fransiskus untuk memulai sebuah ensiklik ataupun pemikirannya. Dapat kita lihat dalam seruan apostolik Amoris Laetitia, di mana Paus juga mengawali pembahasannya “Dalam Terang Sabda” sebagai bab pertama. Dalam bab pertama ini, Paus Fransiskus ingin menyentuh kekayaan Kitab Suci yang memuat kisah-kisah orang muda inspiratif dan bagaimana Tuhan menjumpai mereka, dan juga bagaimana mereka menjumpai kaum muda (CV 5).[1]
Kita tak bisa memungkiri, bahwa kekayaan rohani yang ada di dalam Kitab Suci, juga memuat kekayaan rohani tentang pandangan tentang kaum muda. Lewat Kitab Suci, kita bisa melihat bagaimana Allah berkarya melalui orang-orang muda. Di saat zaman ini kadang orang muda kerap kali dipandang sebagai pribadi yang belum matang, ataupun belum siap mengemban tanggung jawab, nyata-nyata sejak Perjanjian Lama, Allah telah menggunakan figur-figur muda untuk menjadi tangan kanan-Nya dalam berkarya.
Dalam Perjanjian lama, Paus Fransiskus menyebut: Yusuf, Gideon, Samuel, Raja Daud, Salomo, Yeremia, Gadis Ibrani cilik, dan Ruth (bdk. CV 6-11). Dalam Perjanjian Baru memang tidak disebutkan tokoh tertentu, tetapi lebih dikaitkan pada Figur Yesus yang selalu muda (CV 12-21).
Yusuf adalah pribadi yang menarik. Di antara saudara-saudaranya, Ia adalah anak yang paling kecil. Ia sungguh disayang oleh bapanya, dan itu membuat para saudara lainnya merasa iri. Kendati Yusuf adalah yang paling kecil, Allah menggunakannya sebagai alat-Nya untuk menyelamatkan keturunan Israel dari bencana kelaparan. Pertama-tama Allah mengaruniakan kepadanya kemampuan untuk menafsir mimpi (Kejadian 40-41). Setelah karunia luar biasa itu, Yusuf dipercaya oleh Firaun untuk menjadi penguasa dan akhirnya menjadi alat Allah untuk menyelamatkan keturunan Yakub dari bencana kelaparan dan akhirnya keturunan Yakub dapat hidup di Mesir dengan tenang dan jauh dari bencana kelaparan di negerinya. (Kej. 42-46). Allah tidak memilih dari yang sulung, melainkan dari yang terkecil (termuda) untuk melakukan tugas-tugas penting di umur 20 (bdk. CV 6).
Gideon adalah sosok yang paling muda di dalam keluarganya (Hak 6, 15b). Paus Fransiskus menerangkan bahwa Gideon ingin menggambarkan salah satu karakteristik kaum muda yaitu tidak menutup-nutupi kenyataan. Kaum muda punya ciri khas tulus dan jujur apa adanya. Bahkan bisa dibilang, dari sosok Gideon terdapat karakter kritis pada imannya sendiri. Ketika dikatakan Tuhan bersamanya ia berkata, “Ah tuanku, jika Tuhan menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami?” (Hak 6,13). Ia terbuka dengan apa yang ia pikirkan dan ia rasakan. Ia mengkritisi sesuatu dari pengalaman riil, kendati itu merupakan pengalaman ketidaktahuan. Allah memilih dan menggunakan Gideon untuk menyelamatkan orang Israel. Keluhan Gideon tidak membuat Allah berhenti berkarya dalam dirinya, Allah tetap memilihnya. Allah mengutusnya dan menyertainya dalam rencana-Nya menyelamatkan Israel. “Pergilah dengan kekuatanmu ini dan selamatkanlah orang Israel.” (Hak 6, 14). “Akulah yang menyertai engkau, sebab itu engkau (Gideon) akan memukul kalah orang Midian itu sampai habis.” (Hak 6, 16). (bdk. CV. 7)
Samuel seorang muda yang dipanggil Allah. Dalam diri Samuel dikenali salah satu karakter kaum muda yang belum matang. Panggilan Allah yang bahkan sejak dini telah ada, jika tanpa kematangan dan kesiapan tertentu tidak ditangkap dengan baik. Dalam kisahnya, kita mengenal bahwa Allah memanggil Samuel berulang kali (1 Sam 3, 1-8). Dengan bantuan Eli, Samuel dapat mengenali Allah yang memanggilnya. Eli mengarahkan Samuel bagaimana menjawab panggilan Allah (1 Sam 3, 9). Lewat panggilan itu, Samuel menjadi nabi besar yang turun bagi Bangsa Israel (bdk. CV 8).
Tak henti-hentinya memilih sosok muda jadi pilihan-Nya, Allah memilih Saul yang masih muda dan elok rupanya (1 Sam 9, 2). Ketika bangsa Israel meminta seorang raja bagi mereka, Allah meminta Samuel untuk mengurapi Saul sebagai raja bangsa Israel (1 Sam 15, 1). Memang selepasnya, Saul tidaklah menjadi raja yang patuh akan kehendak Allah.
Dalam diri Daud, raja yang masyhur itu, nampak bagaimana Allah lebih memilih keunggulan internal daripada keunggulan fisik. Ketika dipilih menjadi Raja masa depan, Daud masih seorang pemuda. Ketika Samuel mencari raja masa depan bagi Israel, Samuel berjumpa dengan Isai dan anak-anaknya. Dari 7 anak yang lewat di hadapan Samuel tidak ada yang dipilih Tuhan, sebab “Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Sam 16,7). Paus Fransiskus mengungkapkan kemuliaan atau kualitas “kemudaan” ada di dalam hati, melampaui kekuatan fisik atau dalam kesan yang ditimbulkan orang lain (bdk. CV 9).
Salomo diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya. Dia pun merasa ragu dengan dirinya sendiri karena ia masih sangat muda. “Aku masih sangat muda dan belum berpengalaman” (1 Raj 3, 7). Sebagai seorang pemuda, ia tahu apa yang ia butuhkan. Ini ciri khas pemuda yang dalam keterbatasan tahu harus meminta apa pada Allah. Dalam dirinya yang sadar akan kurangnya pengalaman, ia berani meminta kepada Allah kebijaksanaan untuk dapat menjadi raja yang baik (bdk. CV 10).
Adapun Paus Fransiskus mengangkat figur yang kurang lebih sama yaitu nabi Yeremia. Nabi Yeremia adalah seorang nabi yang masih muda ketika dipilih oleh Allah. Kepada Allah ia menjelaskan bahwa ia tidak pandai bicara sebab ia masih muda (Yer 1, 6). Bagi Paus Fransiskus, kombinasi tepat antara kemudaan dan juga kekuatan Allah membuat Yeremia mampu menjalankan perutusannya sebagai seorang nabi bagi Allah. (CV.10).
Dua sosok terakhir Perjanjian Lama yang Paus Fransiskus angkat adalah para gadis. Yang pertama adalah gadis Ibrani cilik yang menjadi pelayan istri Naaman seorang panglima raja Aram. (2 Raj 5,2). Gadis muda itu membantu tuannya untuk sembuh dengan menunjukkan kepadanya nabi yang dapat membawa kesembuhan baginya. Sosok kedua adalah Rut sebuah contoh keteladanan dalam kesetiaan dan ketaatan. Meskipun ibu mertuanya mengalami kemalangan, Rut tidak meninggalkan ibu mertuanya itu (Rut 1,1-18) (bdk CV 11).
Dalam dunia Perjanjian Baru, Paus Fransiskus memproyeksikan masa muda Yesus sebagai model melihat kaum muda. Yesus yang selalu muda adalah model kaum muda yang ideal. Selalu muda dalam pandangan Paus Fransiskus berarti selalu menjadi baru, selalu segar, menjadi adonan baru. Kualitas kaum muda Yesus sebagai orang yang muda dan selalu muda antara lain memiliki belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran. Aneka kualitas itu disimpulkan dengan satu kemampuan yaitu kemampuan untuk mengasihi. Kemudaan atau masa muda Yesus menunjukkan suatu kemampuan untuk mengasihi sesama. Dalam diri seseorang yang memiliki kemampuan itu akan nampak kualitas-kualitas seperti belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran. (bdk. CV. 13).
Yesus mengangkat martabat kaum muda. Kaum muda yang kerap kali dinilai belum dewasa atau pun belum memiliki kematangan dirangkul oleh Yesus dan bahkan Ia bersabda agar kita bisa seperti anak kecil. Usia tidak memberikan kepada seseorang hak istimewa tertentu. Walaupun ada yang lebih muda dan lebih tua, setiap orang punya martabat yang sama di mata Allah (bdk. CV 14). Dalam perumpamaannya Yesus mengangkat kisah tentang gadis-gadis bijaksana yang telah siap sedia menyambut hari sang mempelai.
Dalam Injil Markus dan Matius dapat terlihat semangat muda dari seorang yang melakukan pencarian yang lebih dari pencarian duniawi kepada Yesus. Dalam Injil Markus, seorang datang berlari-lari kepada Yesus bertanya akan cara memperoleh hidup yang kekal. Ketika Yesus meminta dia melaksanakan perintah Allah ia mengatakan bahwa ia telah melakukan semuanya itu sejak masa mudanya (Mrk. 10:20). Dalam Injil Matius dihadirkan sosok pemuda yang dengan semangat muda hendak melakukan pencarian akan sesuatu yang lebih, namun sayang hanya di mulut. Kekayaan sudah memikat hatinya sehingga ketika Yesus mengajaknya masuk lebih dalam pada pemberian diri yang lebih, ia menjadi kecewa dan pergi dengan sedih sebab banyak hartanya (Mat 19,22). (bdk. CV 17-18).
Yang paling kental dalam Perjanjian Baru adalah sosok Yesus sebagai orang muda yang melaksanakan kehendak Allah. Ketika wafat di kayu salib untuk menebus umat manusia, Ia berada di usia 33 tahun yang masih terbilang muda. Dalam Injil kita tidak terlalu mengenal masa kecil Yesus. Kitab Suci mengisahkan masa kecil Yesus amat terbatas, terakhir adalah ketika Yesus kembali ke Nazaret setelah Keluarga Kudus Nazaret mengungsi dari kejaran Herodes. Mereka tinggal di Mesir sampai Herodes mati (Mat 2,13-23). Masa remaja-Nya amat menarik, Yesus berbincang-bincang dengan para ahli Taurat di Bait Allah (Luk 2, 41-52). Dalam kisah itu juga Yesus menunjukkan kualitas seorang remaja yang patuh pada perintah orang tuanya. Ketika orang tuanya mengajaknya pulang, Yesus sedikit menjawab namun sesudahnya Ia ikut kedua orang tuanya pulang ke rumah. (CV. 26).
Pribadi ilahi Yesus nampak dalam relasi-Nya dengan Allah Bapa, yaitu ketika Ia menjawab, bahwa “Bukankah Aku harus berada di rumah Bapaku?” (Luk 2, 49). Selain itu, ketika menerima pembaptisan di Sungai Yordan Allah bersabda, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Luk 3, 22b). Suara Bapa ini memberi kesan kuat relasi yang sangat personal. Lukas menggambarkan dengan sangat baik relasi cinta kasih Bapa dan Putra dalam dialog ini. Dialog ini terkesan personal karena Allah berkata langsung kepada Putra “Engkaulah”.
Pribadi Yesus muda juga normal seperti orang pada umumnya. Ia awalnya dikenal sebagai anak tukang kayu (Yosef). Pada Mat 13, 55 Yesus disebut anak tukang kayu. Pada Mrk 6, 3 ia disebut hanya “tukang kayu”. Perbedaan sebutan ini menunjukkan siapa Yesus remaja dan masa mudanya. Menurut Paus Fransiskus, Yesus menjalani kemanusiaannya sama seperti orang pada umumnya yaitu belajar dan bekerja. Ia belajar dari ayah-Nya yang adalah tukang kayu, hingga diri-Nya sendiri disebut sebagai tukang kayu. Ia mewarisi pekerjaan Yosef ayah-Nya (CV 28).
Ketika mengambil rupa menjadi seorang manusia, Yesus mengambil bagian pula dalam setiap bagian pahit hidup manusia. Ia hidup sebagai seorang yang setia dengan sahabat-sahabat-Nya, para murid yang dikasihi-Nya. Kesetiaan-Nya menjalankan kehendak Bapa mendorong-Nya menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabat-Nya. (Yoh 15,13). Dalam masa hidupnya, ia mengembangkan kualitas hidup seorang kaum muda yang peduli pada orang lain. Solidaritas pada mereka yang paling lemah, para miskin, orang-orang berdosa, ditunjukkannya dalam Sabda dan mukjizat-mukjizat-Nya. Semangat muda-Nya penuh dengan keberanian, ia menghadapi para pemimpin agama dan politik yang menghalangi karya-karya-Nya. Waktu berjalan menuju Kalvari, ia mengalami rasa sakit yang dialami kaum muda umumnya seperti perasaan tidak dipahami, ditolak oleh orang-orang, takut akan penderitaan, dan mengalami perasaan rapuh menghadapi Paskah-Nya. Paus Fransiskus berkata, setiap kaum muda dapat menemukan diri mereka dalam diri Yesus (CV 30-31).
Paus Fransiskus juga mengajak melihat dalam diri Maria. Menurut Paus Fransiskus, Maria adalah teladan antusiasme dan kepatuhan. Kita bisa ingat betapa mudanya Bunda Maria ketika menerima kabar sukacita. Dalam peristiwa kabar sukacita pun nampak bahwa ia juga memiliki kesamaan seperti Gideon yang berani mengungkapkan apa yang ia pikirkan terkait hidup imannya, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi sebab aku belum bersuami.” (Luk 1, 34). Pertanyaan itu merupakan kualitas kaum muda yang ingin tahu terhadap segala sesuatu dengan daya eksplorasi tertentu. Maria menggunakannya dengan cara bertanya pada malaikat Tuhan. Selain itu Maria juga menunjukkan sikap siap sedia pada perutusan yang Allah berikan kepadanya. Ia menjawab, “Aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.” (Luk 1, 38).
2.2.2 Para Kudus Muda
Dalam dokumen ini Paus Fransiskus banyak menyebutkan kelompok Para Kudus Gereja yang memiliki umur relatif muda. Paus Fransiskus setuju dengan pendapat para bapa sinode bahwa pada zamannya masing-masing, ada banyak kaum muda yang menghidupi kekudusan dan akhirnya menjadi nabi-perubahan sejati. Hidup yang mereka jalani telah menjadi hidup yang patut diteladani oleh umat beriman. Hidup mereka juga menunjukkan bahwa perjumpaan dengan Kristus akan membawa kaum muda dapat memperlihatkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. (DA 65 Via CV 49-50)
Dalam dokumen akhir Sinode, para bapa sinode mengungkapkan betapa luar biasanya karya Allah yang memampukan setiap orang untuk turut menyumbangkan kemampuan-kemampuannya. Kaum muda zaman ini tumbuh dalam kondisi sosial ekonomi yang sungguh-sungguh tidak memberikan atmosfer yang baik bagi kaum muda (DA. 65). Keadaan macam ini dapat menyebabkan kemandulan dalam kreativitas dan karya. Apabila kaum muda tidak memberikan diri mereka pada karya Allah, berserah pada-Nya, selamanya mereka menjadi korban zaman yang tidak bisa apa-apa. Oleh karena itu, kaum muda perlu juga mengenal banyak orang kudus yang dalam masa mudanya, berjumpa dengan Allah, menerima kasih-Nya dan akhirnya menggunakan segala kemampuannya dalam karya sehari-hari.
Paus Fransiskus mengungkapkan beberapa tokoh para Kudus muda dari berbagai periode waktu yang berbeda. Santo Sebastianus adalah seorang martir yang jaya. Sebagai seorang muda, ia bicara tentang Kristus di mana-mana. Ia menyerukan pertobatan dan mengajak teman-temannya untuk kembali ke jalan Kristus. Teman-temannya tidak menyukainya, mereka ingin agar Sebastianus untuk menyangkal imannya. Ia sempat hendak dibunuh dengan dipanah, namun ia masih hidup. Pada kesempatan lainnya ia disiksa hingga mati. Ia tidak sempat mengalami masa tua, dan mati dengan bangga sebagai martir Kristus yang jaya.[2]
Tokoh berikutnya adalah Santo Fransiskus Asisi. Bisa dikatakan, bahwa dia adalah kehadiran pemuda kaya yang mencari Yesus, bedanya ia akhirnya memilih Yesus sedang dalam perumpamaan pemuda kaya tersebut memilih mencintai hartanya. Di usianya yang masih muda, ia hendak mengikuti Kristus dengan hidup miskin (CV 52). Ia adalah gambaran dari sosok kaum muda yang kritis, yang mampu bersimpati terhadap kesusahan yang ada di sekitarnya. Ia peka dengan kesulitan orang lain, bahkan di saat orang lain tidak menaruh perhatian terhadap hal itu. Hal ini dapat kita lihat pada kisahnya ketika ia berjalan bersama dengan teman-temannya dan mereka berjumpa dengan seorang pengemis. Teman-temannya tidak ada yang menghiraukan pengemis itu. Beda dengan Fransiskus, ia memberikan semua uang yang ada di kantongnya kepada pengemis itu. Di umur 20 tahun setelah ia ikut berperang melawan pemberontak di Perugia dan ditawan, ia mendekatkan diri pada Tuhan. Sesudah bebas, ia memutuskan untuk hidup miskin, pergi ke Roma dan hidup dengan cara mengemis. Hasil yang ia peroleh tidak ia nikmati sendiri tetapi justru ia masukan pada kotak persembahan di Gereja St. Damiano. Pribadi yang kritis, peka pada situasi sekitar, punya empati tinggi kepada yang miskin, dan berani dalam mengambil keputusan, itulah St. Fransiskus Asisi muda.[3]
Santa Joana D’Arc seorang gadis petani yang gagah berani, di masa mudanya ia ikut berjuang mempertahankan Prancis dari para penjajah (CV 53). Ia mendapat penglihatan ajaib di umurnya yang masih sangat muda yaitu 13 tahun. Di umur 16 tahun ia mengalami penglihatan itu lagi dan ia digunakan Allah untuk membela pasukan Prancis. Naas ia harus wafat di umur 19 tahun karena tuduhan palsu hidup sebagai tukang sihir. Ia menjadi orang kudus bukan karena patriotisme ataupun keberanian dalam berperang, tetapi karena kesalehan hidupnya dan juga kesetiaannya mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah.[4]
Paus Fransiskus memasukkan seorang Santo yang amat menarik, yang wafat di usia 14 tahun. Moto hidupnya adalah “Lebih baik mati daripada berbuat dosa.” Komitmen hidupnya pada kekudusan membawa dia pada kedekatan dengan Allah. Ia kuat dalam bermatiraga dan hidup doanya amat konsisten. Ia adalah Santo Dominikus Savio. Ia sempat bergabung di Tarekat Salesian Don Bosco, di bawah asuhan Santo Yohanes Don Bosco. Ia adalah gambaran kaum muda yang memiliki semangat doa dan kedekatan intim dengan Tuhan.[5]
Sosok orang terakhir yang saya ambil adalah Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Di umur 15 ia masuk biara Karmel dan menghidupi semangat penyerahan total pada kasih Allah (CV 57). Ia adalah sosok kaum muda yang taat pada kehendak Allah, setia pada perkara kecil yang dipercayakan kepadanya. Ia mengerjakan dengan tulus hal-hal yang tidak disukainya. Masa muda yang penuh pengorbanan, mengusahakan nilai yang lebih luhur untuk dikerjakan. Demikanlah ia menjadi orang Kudus karena penyerahan hidupnya yang total pada kasih Allah, bukan dalam hal-hal besar, namun dalam perkara sederhana yang dilakukan dengan tulus hati.[6]
Masih ada beberapa tokoh para Kudus muda yang diungkapkan Paus Fransiskus, namun pada intinya semuanya menghadirkan sosok kaum muda yang percaya pada kehendak Allah, mengenal dan melaksanakan kehendak Allah dengan segenap kemampuan mereka dan membuahkan hasil bagi kehidupan umat beriman. Semangat muda macam itulah yang ingin ditampakkan Paus Fransiskus dengan menyebut tokoh para Kudus muda, yaitu agar setiap orang muda percaya, kemudaan tidak berarti jauh dari kematangan relasi pada Allah. Dalam kemudaan dan seluruh diri orang muda, Allah menyapa dan memberikan kepercayaan besar untuk dilaksanakan dengan sebaik mungkin.
2.2.3 Situasi Umum Seputar Kaum Muda Zaman Sekarang
Kaum muda sering diklasifikasikan dalam golongan umur tertentu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengklasifikasikan umur 14-25 sebagai kaum muda, sedang banyak konferensi para uskup menentukan umur 18-35 sebagai kelompok kategori umur bagi sebutan “kaum muda”.[7] Sinode juga awalnya menentukan umur 16-29 sebagai kelompok kategori umur kaum muda, namun Sinode lebih menyadari kompleksnya situasi hidup kaum muda sehingga tidak bisa begitu saja dikategorikan dengan generalisasi yang sama dalam kelompok kategori umur tertentu. Paus Fransiskus setuju dengan pandangan para bapa sinode bahwa kelompok umur 16-29 tahun tidak mewakili keseluruhan secara homogen, namun kaum muda lebih terkait juga dengan situasi-situasi khusus yang mereka alami juga (CV 68).
Bagi Paus Fransiskus, kaum muda adalah masa depan sekaligus masa kini Gereja. dalam pembahasan tentang perspektif alkitabiah dan juga teladan para kudus muda, Paus Fransiskus memberi gambaran bagaimana kaum muda turut ambil bagian dalam karya-karya Allah. Dalam hal ini terlihat bahwa kaum muda adalah potensi bagi masa depan Gereja karena kaum muda merupakan pribadi yang punya banyak potensi. Namun mereka juga merupakan masa kini Gereja, karena mereka tidak berkarya hanya nanti di masa depan tetapi juga mulai dari saat ini. Kaum muda tidak sama dengan anak remaja yang masih memiliki ketergantungan tinggi dengan orang tua mereka. Kaum muda sudah memikul tanggung jawab dalam partisipasi bersama orang dewasa (CV 64).
            Paus mengungkapkan, ada tiga kondisi yang menerpa ataupun menjadi warna dari kehidupan kaum muda. Kondisi itu antara lain: 1) perbedaan demografi negara: 2) perbedaan sejarah; 3) perbedaan aksesibilitas globalisasi.
Tentang perbedaan demografi negara Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa ada negara dengan tingkat kelahiran tinggi, sehingga dari segi demografi didominasi oleh rentang umur yang umumnya disebut muda (16-35), sebaliknya juga ada negara yang tingkat kelahirannya rendah sehingga sedikit saja yang berusia muda. Paus menyadari bahwa tingkat demografi ini juga membawa pengaruh bagi lingkungan kehidupan kaum muda.
Yang kedua adalah perbedaan sejarah. Senada dengan para bapa sinode, Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa ada negara dan benua-benua yang terlahir dari tradisi Kekristenan kuno. Ada juga negara-negara yang terlahir dengan tradisi religius keagamaan lain di mana Kristenitas menjadi minoritas, dan akibat sejarah perkembangan masyarakat tertentu terdapat pula negara-negara di mana kaum muda menjadi korban penganiayaan.
Kondisi ketiga adalah perbedaan aksesibilitas terhadap globalisasi. Paus mengungkapkan bahwa ada negara yang amat dekat dan akrab dengan peluang-peluang dan tawaran globalisasi, sedang ada negara lain di mana banyak kaum muda masih terisolir dan amat jauh dari globalisasi. Mereka hidup di pinggiran-pinggiran dan pedalaman-pedalaman. Beberapa mengalami pengucilan dan penyingkiran sehingga membuat mereka mengalami penderitaan (CV 69).
             Selain tiga kondisi yang menjadi warna kehidupan kaum muda, Paus Fransiskus mengungkapkan beberapa krisis dan keprihatinan yang ada dalam kehidupan kaum muda. Para bapa sinode mengungkapkan setidaknya ada tiga macam krisis yang mengelilingi kaum muda. Krisis itu antara lain 1) Lingkungan peperangan dan kekerasan fisik, 2) lingkungan kekerasan sosial, dan 3) lingkungan kemiskinan.
Krisis pertama adalah krisis yang diakibatkan oleh kekerasan fisik. Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa banyak kaum muda hidup di lingkungan peperangan serta kekerasan dalam berbagai bentuk. Penculikan, pemerasan, kejahatan terorganisasi, perdagangan manusia, perbudakan dan eksploitasi seksual, pemerkosaan dalam peperangan, dan lain sebagainya menjadi warna dari banyak kaum muda dunia. Ini baru situasi kekerasan fisik yang menimpa mereka.
Tidak sedikit juga kaum muda hidup yang selain mengalami kekerasan fisik juga mengalami kekerasan sosial, inilah bentuk krisis kedua yang diungkapkan Paus Fransiskus. Kekerasan sosial ini dialami oleh kaum muda sebagai akibat perbedaan agama; karena iman mereka tidak diterima di tempat mereka berada. Penolakan sosial karena perbedaan latar belakang dan juga kepercayaan turut mewarnai pengalaman kaum muda di beberapa negara, terlebih pada negara-negara berkembang.
Krisis ketiga yang diungkapkan Paus Fransiskus adalah krisis yang diakibatkan oleh situasi kemiskinan. Situasi kemiskinan kerap kali memaksa kaum muda untuk tidak memiliki pilihan lain dari hidup dalam kejahatan. Ada juga yang karena paksaan hidup dalam kejahatan. Kejahatan itu antara lain: tentara anak-anak, geng bersenjata, kriminal, perdagangan narkoba, terorisme dan sebagainya. Karena hidup di lingkungan seperti itu, akhirnya tidak sedikit kaum muda yang masuk penjara dan mengalami hukuman pidana. Hamil di luar nikah, aborsi, narkoba, perjudian, pornografi dan sebagainya juga menjadi situasi yang sulit dihindari oleh kaum muda zaman ini (CV 71-74).
            Di sisi lain Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa beberapa kaum muda hidup dalam kondisi yang nyaman, yang berbalikan dengan situasi sebelumnya. Mereka yang terlahir di bawah atap yang aman, keluarga yang sejahtera, tempat tidur yang nyaman, makanan yang hangat, masa depan yang terjamin, mengalami situasi yang amat berbeda dengan situasi yang disebutkan oleh Paus Fransiskus di atas. Paus Fransiskus menduga atau khawatir, bahwa mereka yang hidup dalam kenyamanan macam ini tidak tahu bagaimana menangis. Menangis bagi Paus Fransiskus adalah salah satu bentuk belarasa dan belas kasih. Ada dua jenis tangisan yang diungkap oleh Paus Fransiskus yaitu tangisan karena melihat anak yang kelaparan atau yang memakai narkoba di pinggir jalan, dan tangisan atas kemalangan atau penderitaan hidup orang lain. Tangisan kedua adalah tangisan rengekan yang menginginkan sesuatu yang lebih bagi diri sendiri (CV 76).
            Di tengah munculnya rasa sakit itu, betapa Tuhan menjanjikan Kebahagiaan yaitu “Berbahagialah mereka yang menderita, karena mereka akan dihibur.” (Mat 5, 4). Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa ia amat bersyukur karena di antara penderitaan yang terjadi pada kaum muda, masih ada kaum muda yang telah mencapai janji ilahi ini dan mengamalkan penghiburan bagi sesama kaum muda yang menderita (CV 77). Pada nomor sebelumnya, Paus menghendaki agar kaum muda dapat menumbuhkan belarasa dalam dirinya, sebab banyak dari kaum muda memiliki wajah penderitaan dan mengalami kesulitan hidup yang tidak mudah untuk dihadapi. Dengan muncul dan tumbuhnya belarasa dalam diri setiap kaum muda, maka akan ada banyak penghiburan terjadi pada kaum muda yang menderita.
            Wajah kaum muda saat ini juga diwarnai dengan lingkungan yang melakukan daya upaya untuk menghilangkan jejak waktu (CV 79). Jejak waktu yang dimaksudkan adalah jejak penuaan seperti perawatan kulit yang mengendur, menghilangkan bekas jerawat dan komedo. Bahkan dengan usaha-usaha itu, banyak orang dewasa menjadi model kecantikan dan bagi Paus Fransiskus ini termasuk ancaman karena kegiatan ini bukan untuk menghargai kaum muda, tetapi justru merupakan usaha orang dewasa merebut masa muda atau kegemilangan masa muda untuk kepentingan diri sendiri (lih. iklan dan keuntungan).
            Tidak bisa dipungkiri kaum muda juga berasal dari lingkungan keluarga. Keluarga tidak hanya memuat suatu ikatan darah antara orang tua dan juga anak, tetapi juga sekaligus ikatan budaya dan tradisi yang diwariskan di dalamnya. Beberapa orang muda tidak nyaman dengan adanya tradisi-tradisi keluarga. Beberapa merasa bahwa tradisi keluarga adalah sesuatu yang mengekang dan mereka melarikan diri dari hal tersebut. Dengan adanya globalisasi, kaum muda membawa diri mereka lari pada globalisasi dan menyebabkan terjadinya konflik antar generasi. Generasi sebelumnya merasa bahwa kaum muda resistan dengan tradisi, sedangkan generasi yang lebih muda merasa terkekang dan tidak bebas akibat tradisi. (CV 80).
            Dalam hal seksualitas, kaum muda zaman ini menyadari pentingnya tubuh dan seksualitas dalam hidup mereka. Sayangnya praktik menunjukkan banyak hal terjadi berseberangan dengan moralitas seksualitas Kristiani. Jarak rentang antara realita yang terjadi dengan moralitas Kristiani menyebabkan jurang di antara kaum muda dengan Gereja. Moralitas Kristiani kerap dipandang sebagai ruang penghakiman dan penghukuman. Di sisi lain kaum muda lebih menginginkan sebuah pembicaraan terkait persoalan seksual dengan Gereja, tanpa merasa dihukum atau dihakimi. Di ranah medis, perkembangan sains mengembangkan teknologi biomedis yang berpengaruh pada persepsi tubuh. Kemampuan sains untuk mengintervensi DNA, kemungkinan untuk memasukkan unsur-unsur buatan dan perkembangan neurosains merupakan perkembangan baik yang sekaligus membawa persoalan etis dan antropologis. Dalam fakta-fakta seperti ini, tidak sedikit kaum muda hidup dalam pribadi dengan jiwa-jiwa yang terpukul. Kegagalan, rasa malu, kesedihan, luka akibat kesalahan sejarah sendiri, diskriminasi, ketidakadilan, perasaan tidak dikasihi, tidak diakui. Padahal di dalam hati mereka, ada juga perasaan dan kerinduan untuk mengalami Allah, kendati masih kabur. Dalam diri kaum muda juga muncul mimpi tentang persaudaraan. Beberapa di antaranya punya rasa kepedulian pada keselarasan dengan alam, dan juga keinginan mendalam untuk menghayati hidup yang berbeda (CV 81-85).
            Melihat aneka warna kehidupan kaum muda tersebut, Paus Fransiskus mengungkapkan beberapa kesimpulan terkait situasi kaum muda yang telah dibahas dalam sinode. Ada tiga tema yang dibahas Sinode terkait dunia kaum muda yaitu: 1) Lingkungan digital; 2) imigran; dan yang terakhir 3) abuse. Tiga tema ini termasuk tiga tema krusial yang direfleksikan dalam sinode (DA 21-31).
Tema krusial pertama adalah tentang dunia kontemporer yang diwarnai dengan ciri digitalisasi. Dunia digital memasuki segala aspek kehidupan dan membawa pengaruh pada konsep ruang dan waktu dari kehidupan saat ini. Hal itu juga telah mempengaruhi persepsi seseorang tentang dirinya sendiri, orang lain dan juga dunia. Hal-hal itu berasal dari cara komunikasi, cara belajar, cara mendapatkan informasi dan cara berelasi dengan orang. Cara komunikasi, cara belajar, cara mendapatkan informasi dan cara berelasi dunia digital difasilitasi dalam bentuk hadirnya internet dan media sosial. Internet dan media sosial telah menjadi ruang publik bagi orang-orang muda untuk saling bertemu dengan mudah (CV 86-88).
            Selain melihat internet dan media sebagai ruang publik komunikasi yang memudahkan orang muda bertemu dan berelasi, perlu juga dilihat bahaya yang ada di sampingnya. Dark web, pornografi, berita bohong menjadi nuansa negatif dari internet dan media sosial. Di dalamnya juga terdapat cyberbullying, di mana orang muda terintimidasi di dalam dunia maya. Selain yang bentuknya vulgar seperti itu dan berkesan negatif, ada juga hal negatif yang sifatnya tidak terlihat dan sulit disadari. Hal itu adalah invasi ideologi. Kepentingan ekonomi raksasa juga turut beraksi di dunia digital, dan akhirnya menyebarkan suatu mekanisme yang memanipulasi hati nurani dan proses demokrasi. Hal ini biasanya diawali dengan sebuah perjumpaan antara orang-orang dengan pemikiran yang sama, dan sekaligus menghindari konfrontasi dengan orang-orang yang berbeda pandangan dan pemikiran. Ruang digital membuat manusia menjadi buta terhadap kerapuhan orang lain, dan mencegah diri untuk introspeksi. Kaum muda saat ini menghadapi tantangan dalam relasi dan interaksi dengan dunia real dan dunia virtual. Demikianlah Paus Fransiskus mengatakan:
Orang muda masa kini adalah orang-orang pertama yang terkena dampak sintesis antara apa yang personal, apa yang khusus untuk suatu budaya, dan apa yang global. Akan tetapi hal ini juga menuntut bahwa mereka mampu beralih dari hubungan virtual menuju komunikasi yang baik dan sehat. (CV 90)
Tema krusial kedua yang diangkat oleh Paus Fransiskus adalah tentang fenomena munculnya imigran. Migrasi bukanlah suatu yang asing lagi di zaman ini. Migrasi menjadi fenomena di seluruh dunia dan bukan keadaan darurat sementara. Keprihatinan Gereja terfokus terutama kepada mereka yang melarikan diri dari perang, kekerasan, persekusi politik atau agama, bencana-bencana alam, dan kemiskinan ekstrem. Di antara mereka yang bermigrasi terdapat orang-orang muda. Para migran mengharapkan keadaan yang lebih baik daripada di tempat asal mereka. Ada pula imigran yang berpindah karena tertarik oleh budaya Barat. Dengan harapan-harapan yang kurang realistis, akhirnya mereka malah terjebak di negeri orang, dan lebih parah lagi terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan di negeri tersebut misalnya kartel narkoba, kartel senjata, mengalami kekerasan, pelecehan psikologis dan fisik serta penderitaan yang mungkin tak terkatakan. Kaum muda yang bermigrasi telah tercabut dari akar budayanya, dan juga tercabut dari agama mereka. Dengan adanya migrasi ini juga menambah jumlah keterpisahan dalam keluarga (bdk. CV 91-93).
Selain permasalahan migran, Paus Fransiskus mengungkapkan situasi kaum muda yang dirundung ketakutan dan juga keresahan akibat penyalahgunaan wewenang (abuse) yang terjadi di dalam Gereja. Inilah tema krusial ketiga. Para korban abuse mengalami penderitaan yang berlangsung sepanjang hidup dan tidak dapat disembuhkan oleh penyesalan apa pun. Fenomena kekerasan seksual sudah menjadi sejarah yang meluas di seluruh budaya dan masyarakat. Selain kekerasan seksual, penyalahgunaan wewenang imamat juga terjadi pada bidang kekuasaan, ekonomi dan hati nurani. Paus Fransiskus bersyukur bahwa para imam yang terlibat atas kasus ini bukanlah mayoritas (CV 95-100).
2.2.4 Kaum Muda di Mata Allah
Setelah melihat pandangan Paus Fransiskus dari kekayaan alkitabiah, dan juga para kudus, serta meninjau situasi umum yang terjadi di sekitar kaum muda kontemporer serta segala sesuatu tentang mereka di masa ini, dalam bab keempat suratnya Paus Fransiskus menyerukan empat hal penting yang perlu diketahui kaum muda tentang siapa kaum muda di mata Allah.
Pertama-tama Paus Fransiskus mengungkapkan kembali jati diri Allah yaitu Allah adalah kasih. Allah mengasihi semua orang, sebab Allah adalah kasih. Ia mengasihi kaum muda dalam berbagai keadaannya. Tanpa batas, Allah mengasihi segala kondisi kaum muda (CV 112). Paus Fransiskus menyinggung figur kebapakan/keayahan yang mungkin tidak semua kaum muda mengalaminya dengan baik. Beberapa memiliki ayah yang tidak baik, bahkan tidak ada. Ada juga ayah yang sangat dominan dan posesif. Situasi macam itu tidak akan ditemukan dalam diri Bapa Ilahi yaitu Allah Bapa. Dengan bebas dan penuh keyakinan kaum muda dapat menjatuhkan diri pada rangkulan Bapa Ilahi, Dia sang pemberi hidup dan selalu mengasihi dan memberi di setiap waktu. Kasih Allah bagaikan seorang ayah yang mengangkat kuk dari tulang rahang mereka (Hos 11, 4), dan juga kasih Allah bagaikan seorang ibu yang punya cinta mendalam dan tulus tak pernah putus. Kehadiran kita di dunia ini adalah kehendak-Nya dan tiada satu pun dari kita hadir begitu saja oleh karena kebetulan. Kita sungguh-sungguh berharga di mata-Nya dan amat mulialah kita karena Dia sungguh mengasihi kita (Yes 31, 4). Kita adalah perpanjangan tangan-Nya (CV 111-114).
            Kita menjadi berharga dan penting bagi Allah, termasuk kaum muda. Allah mengingat setiap dari kita dengan kasih, tetapi Paus Fransiskus mengingatkan bahwa Allah bukanlah hard disk yang menyimpan segala sesuatu. Ia lemah lembut dan penuh belas kasih, menghapus segala kejahatan dari dalam diri kita (CV 115). Kasih-Nya adalah kasih yang bijaksana dan menghargai, kasih yang bebas dan membebaskan, kasih yang menyembuhkan dan memajukan. Ia tidak pernah menjatuhkan melainkan membangkitkan kita. Ia memberi kesempatan bukannya menyalahkan dan Ia lebih tahu masa depan daripada mengingat masa lalu. Sesekali Allah menantang kaum muda. Tantangan itu bukan untuk menghambat atau mempersulit melainkan untuk membuat kaum muda lebih maju daripada sebelumnya.( CV 116-117).
Allah yang adalah kasih itu memberikan kasih-Nya yang paling besar yaitu mengutus Kristus Putera-Nya bagi kita manusia. Dalam diri Kristus, kita dapat mengenal Kasih Allah yang sungguh totalitas. Ia merentangkan tangan-Nya dan memberikan nyawa-Nya bagi kita semua. Dalam pandangan-Nya yang tersalib, ia melihat kaum muda yang Ia tebus dengan darah-Nya sendiri. Dia mengampuni dosa kita tujuh kali tujuh puluh kali banyaknya (CV 118-119). Oleh karena penebusan-Nya yang berharga semakin mempertegas martabat kaum muda bahwa kaum muda adalah pribadi yang tak ternilai. Kaum muda tidak bisa dilelang, diperbudak dalam penjajahan ideologis. Darah-Nya yang ditumpahkan bagi semua orang memurnikan diri kita semua dalam kasih-Nya. Lewat peristiwa ini kita selalu dilahirkan menjadi baru oleh-Nya.
Kristus yang telah mengasihi kita dan juga memberikan diri-Nya bagi kita bukanlah figur yang hanya sekali datang. Keselamatannya tidak hilang semenjak kenaikan-Nya ke Surga. Ia tetap berkarya dalam hati kita masing-masing melalui Roh Kudus. Ia bukanlah figur masa lalu yang dapat dilupakan dan hilang begitu saja. Ia adalah figur yang hidup hingga hari ini. Dia hidup dan hadir di setiap waktu kita, mengisi hidup kita dengan cahaya. Ia yang senantiasa hidup menunjukkan kepada kita semua bahwa kebaikan dapat berhasil dalam hidup kita dan upaya-upaya kita akan menghasilkan sesuatu karena Dia hadir dalam setiap waktu kita. Dia ingin selalu menjumpai kita semua, termasuk kaum muda. (CV 124-129).
Kehadiran Bapa dan Kristus selalu juga melibatkan kehadiran Roh Kudus. Justru Roh Kuduslah yang banyak berperan membuka hati kaum muda untuk bisa mengalami perjumpaan dengan Allah. Dengan hadirnya Roh Kudus, gairah kaum muda dipuaskan. Roh Kudus menjauhkan kelesuan dalam diri kaum muda (CV 130-133).
2.2.5 Kaum Muda dan Jalan-jalan Mereka
Pada bab kelima, Paus Fransiskus menyatakan bahwa masa muda adalah masa yang penuh berkat, sebab itu kaum muda adalah kelompok yang penuh berkat. Paus Fransiskus berkata bahwa Allah menyelenggarakan masa muda untuk dijalani dengan penuh sukacita. Momen ini bukanlah fase yang bisa dilewatkan begitu saja, tetapi justru harus mendorong kaum muda untuk berjalan menuju umur dewasa. Sebagai sebuah tahapan, kaum muda mengalami masa di mana mimpi-mimpi diri terbentuk, dan terbangun juga relasi-relasi semakin konsisten dan seimbang. Masa ini juga diisi dengan eksperimen-eksperimen dan pilihan-pilihan bertahap yang membangun proyek kehidupan.
            Paus Fransiskus mengungkapkan juga tentang apa yang ia lihat dalam diri kaum muda. Dalam artikel 139 Paus Fransiskus mengungkapkan cukup banyak tentang kaum muda. Bagi Paus Fransiskus yang terlihat dalam diri kaum muda adalah seorang anak lelaki dan perempuan yang sedang mencari jalan mereka sendiri, yang ingin terbang dengan kaki mereka, yang menghadapi dunia, dan memandang cakrawala dengan mata yang penuh dengan harapan, penuh dengan masa depan dan khayalan (CV 139). Itulah karakter kaum muda, dipenuhi dengan mimpi. Dunia mereka tak terbatas pada apa yang mereka jalani saat ini, tetapi melampaui itu dan oleh karenanya mereka ingin menemukan dan menjalani hal-hal baru dalam hidup mereka.
            Sama seperti orang dewasa, kaum muda juga berjalan dengan dua kaki, tetapi kaum muda selalu dengan satu kaki di depan yang lain. Yang dimaksud oleh Paus Fransiskus adalah kaum muda merupakan kelompok di mana orang ingin selalu menjadi lebih maju. Ia ingin berada di depan, tidak suka dengan keadaan yang stagnan dan begitu-begitu saja.
            Kaum muda juga dikatakan memiliki semangat dan mampu melihat sebuah janji hidup dengan tingkat keuletan tertentu. Mimpi dan proyek kehidupan yang dibangunnya membawa kaum muda untuk melesat maju. Visi dan mimpinya penuh dengan harapan, bahkan di dalam situasi gagal sekalipun, ia sanggup memulihkan dirinya dari kekecewaan atas kegagalan yang disebabkan dirinya sendiri. Semangat kaum muda tidak patah hanya karena sebuah kegagalan. Harapan dan mimpinya tetap hidup meski harus mencoba berulang kali (CV 139).
            Paus Fransiskus mengungkapkan beberapa kaum muda menolak tahapan ini. Ada yang ingin tetap menjadi anak-anak, atau ada yang tetap ingin menjadi remaja. Orang muda berbeda dengan dua kelompok ini sebab dalam diri kaum muda sudah ada nuansa pemilihan-pemilihan dan juga pengambilan keputusan di bidang profesional, sosial, politik dan bidang-bidang lainnya (CV 140). Penolakan dapat dipahami sebagai ancaman, sebab penolakan terhadap masa muda menggoda orang untuk tinggal dalam zona nyamannya tanpa menyentuh realita sesungguhnya dari kehidupan yaitu turut ambil bagian dalam membangun dunia.
            Penulis mencoba membayangkan indahnya masa kanak-kanak dalam rangka mencoba memahami maksud ungkapan Paus Fransiskus dalam CV 40. Masa kanak-kanak memang masa yang paling menyenangkan mungkin. Tanggung jawab sekolah belum terlalu berat. Tugas di rumah banyak dikerjakan oleh orang-orang dewasa. Waktu bermain sungguh-sungguh tersedia. Berbeda sekali dengan ketika sudah memasuki masa-masa SMA. Pada saat SMA anak muda mulai tergabung dengan organisasi sekolah agar mendapatkan pengalaman. Tugas-tugas semakin banyak, sehingga waktu bermain menjadi kurang. Tak heran jika beberapa kaum muda memilih tetap dalam masa anak-anak di mana waktu bermain masih banyak dan beban tanggung jawab hidup tidak teralu besar.             Selain merupakan pribadi yang penuh mimpi dan visi ke depan, mereka bukan para pengkhayal yang tidak bisa menjalankan kehidupan mereka secara nyata. Kaum muda adalah orang-orang yang selain memiliki mimpi, punya keinginan untuk menjalani masa kini (CV 144). Dimensi realistis dari mimpi dan visi hidup tetap ada dalam diri kaum muda. Paus Fransiskus menangkap adanya karakteristik macam ini. Mimpi membuat diri kaum muda lebih hidup, bersemangat dan antusias, dan semangat serta antusiasme itu muncul justru dalam menjalani hari-harinya setiap hari bukan dalam alam mimpi atau khayalan belaka.
[1] Paus Fransiskus, Christus Vivit: Kristus Hidup (Terj. Agatha Lydia Natania, Jakarta: Dokpen KWI, 2019), 8.
[2] Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun (Jakarta: Obor, 2004), 35.
[3] Sifi Masdi, Orang-orang Kudus Populer Sepanjang Masa (Bogor: Penerbit Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2019), 352-353.
[4] Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM., 2004. 268-270.
[5] Sifi Masdi, 2019, 288-290.
[6] Sifi Masdi, 2019. 307-309.
[7] Manoj Sunny, “Youth Pastoral Ministry,”. Tersedia dari
http://www.laici.va/content/dam/laici/documenti/aamm/proclaiming-jesus-christ-in-asia/conferences/youth-pastoral-ministry.pdf diakses 24 Feb 2019.
0 notes
incarnatewords · 11 months
Text
Gagasan Pastoral Kaum Muda Berdasarkan Dokumen Christus Vivit
Part. 1
Tumblr media
1 Latar Belakang Dokumen
1.1 Proses dalam Sinode Kaum Muda 2018
Pada tanggal 3-28 Oktober 2018 dilaksanakan sinode para uskup dengan tema pembicaraan “Orang Muda, Iman dan Discernment Panggilan”. Sinode ini dilaksanakan dalam rangka meneruskan semangat misi di zaman sekarang yang didengungkan oleh Paus Fransiskus yaitu Evangelii Gaudium. Sinode Keluarga dan Seruan Apostolik Amoris Laetitia juga dilaksanakan dengan tujuan untuk menjawab seruan Evangelii Gaudium, dan keduanya telah menjadi aksi nyata yang mendahului sinode kaum muda dan seruan Apostolik Christus Vivit. Lewat Sinode bertema “Kaum Muda, Iman dan Diskresi Panggilan” Gereja mau melihat ke dalam bagaimana Gereja dapat membimbing kaum muda untuk berkembang dengan beberapa indikasi antara lain: menyadari dan menerima panggilan pada kepenuhan hidup dan kepenuhan cinta. Gereja juga meminta anak muda untuk berkontribusi tentang dengan cara apa Gereja dapat mewartakan Kabar Gembira secara efektif di zaman ini.[1]
Gereja menyadari bahwa Gereja perlu menjadi lebih terbuka pada suara kaum muda. Di zaman ini di mana kaum muda hidup, Gereja menyadari pentingnya kehadiran kaum muda dalam tubuh Gereja. Hal ini dirasa penting sebab untuk menjalankan dan mengamalkan dengan semakin baik evangelisasi, tidak bisa tidak Gereja harus melibatkan kaum muda. Demi pewartaan yang lebih efektif, kaum muda diajak untuk turut terlibat dalam pewartaan zaman ini.
Dalam kesempatan yang sama, membawa pewartaan yang efektif berarti membutuhkan peninjauan ulang pula. Lewat sinode ini, Gereja ingin melihat kembali perjalanan Gereja selama mendampingi dan membimbing kaum muda. Hal ini menjadi penting sebab zaman berubah dengan cepat dan akhirnya membawa perubahan juga pada masyarakat dan kebudayaan kontemporer. Perubahan zaman yang cepat ini telah menyebabkan angkatan zaman ini sungguh berbeda dengan orang tua dan juga para pendidik. Aspirasi, kebutuhan perasaan dan bagaimana cara orang muda zaman ini berelasi, telah berubah.[2]
Sinode ini dilaksanakan dengan proses yang cukup komprehensif. Di dalamnya ada kuesioner secara online. Ada juga testimoni personal yang tidak sedikit jumlahnya. Selain itu pertemuan pra-sinode juga memberi kesan mendalam untuk pelaksanaan sinode.[3] Proses ini mau menunjukkan bahwa sinode ini bukanlah sebuah sinode yang berkutat pada pemikiran filsafat-teologis dogmatik belaka, melainkan benar-benar mengacu pada kehidupan riil kaum muda dan juga situasi zaman yang sedang dan terus berubah ini.
Kalau kita bicara zaman sekarang, kita melihat sebuah panorama dunia kontemporer yang selalu berdasar pada ilmu pengetahuan. Sering kali ilmu pengetahuan ini juga dikaitkan dengan dominasi penguasaan teknologi.[4] Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, aneka kebutuhan manusia mulai dimudahkan. Sejak ditemukan mesin uap, masalah sosial mulai bermunculan karena segala sesuatu yang dikerjakan dengan tangan mulai dikerjakan oleh mesin uap. Orang yang dapat bekerja adalah orang yang dapat menguasai pengetahuan tentang teknik menggunakan mesin uap. Kini sudah berkembang zaman komputerisasi, dunia maya, dan bahkan robotisasi. Asimo 2000 yang dibuat oleh perusahaan kenamaan Jepang yaitu Honda telah cukup membuat dunia tercengang karena kepintarannya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, dan juga membersihkan perabotan di rumah.
Dapat tergambarkan masyarakat macam apa yang akan mengisi dunia ini ketika penggunaan teknologi semakin dianggap lumrah dan wajar, tergambarkan juga bagaimana masyarakat mengalami ketimpangan terutama bagi mereka yang tidak dapat menguasai teknologi. Kaum muda kita sekarang hidup dalam konteks seperti itu. Mereka dididik dalam konteks perkembangan teknologi yang masif. Oleh sebab itu pendekatan teologis dogmatis maupun filosofis perlu dilengkapi dengan pengetahuan kontekstual tentang situasi masyarakat dan juga zaman yang berkembang ini.
Memang menarik bahwa dalam seluruh proses pelaksanaan sinode ini, banyak elemen hadir dan memberikan kontribusi, antara lain konferensi para uskup, dukungan para imam, kelompok para religius, umat awam, para ahli, guru-guru, dan elemen-elemen lainnya. Semua sumbangsih mereka dirangkum dalam Instrumen Laboris yang adalah dasar kokoh untuk didiskusikan selama sinode berlangsung. Setelah diskusi sinode berlangsung, disusunlah dokumen akhir dari sinode yang merupakan kumpulan hasil dari semua proses dan mengarahkan untuk langkah ke depannya. Dokumen akhir sinode mengekspresikan aneka kesadaran, interpretasi dan juga keputusan-keputusan bapa-bapa sinode.[5]
Dengan adanya keterlibatan dari aneka elemen, dapat dirasakan perbedaan dalam hasil diskusi, yakni kesadaran bahwa Gereja tidak berdiri sebagai sebuah otoritas, melainkan teman seperjalanan. Begitulah para bapa sinode menggambarkan perjalanan mendampingi kaum muda bukanlah sebuah pelayanan di mana otoritas menuntun dan serta merta mengarahkan dengan otoritas ataupun kuasa Gereja. Dalam berdiskusi tentang pelayanan kaum muda, para bapa sinode mengambil contoh Yesus yang datang kepada dua murid yang sedang berjalan ke Emaus (Luk 24,13-35).
Dalam kisah perjalanan dua orang murid ke Emaus, Yesus hadir di tengah-tengah mereka dan berjalan bersama mereka. Yesus mendengarkan mereka secara saksama dan dengan penuh perhatian Yesus mewartakan Sabda kepada mereka. Yesus membuka mata mereka dan mereka menyadari Yesus, hingga mereka kembali segera kepada para rasul yang lain. Demikianlah dalam dokumen akhir sinode (Final Document, selanjutnya disingkat “DA”) para uskup tentang kaum muda terdapat tiga bagian besar, yaitu:
1) ”Yesus berjalan bersama mereka.”
2) ”Mata mereka terbuka.”
3) ”Dengan segera mereka pergi.”
1.2 Garis Besar Isi Dokumen Akhir (Final Document)
1.2.1 “Yesus berjalan Bersama Mereka”
Pada bagian ini para bapa sinode mengungkapkan sebuah pandangan tentang bagaimana Gereja berusaha berperan seperti Yesus yang telah datang mendekati para murid dari Emaus.[6] Setelah hari kebangkitan-Nya, Yesus mulai menampakkan diri kepada para murid-murid-Nya. Salah satu peristiwa penampakan itu terjadi di perjalanan dua orang murid yang sedang menuju Emaus. “Dua orang murid berjalan dari Yerusalem menuju Emaus dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang terjadi. Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka.”
Para bapa sinode mau menunjukkan bahwa tindakan Yesus ini menjadi salah satu bentuk pastoral Yesus. Yesus hadir dan berjalan bersama orang muda. Selama perjalanan kedua murid itu bercakap-cakap tentang apa yang terjadi. Yesus yang hadir di tengah mereka tidak hanya sekedar hadir di antara mereka, tetapi juga sembari mendengarkan dengan saksama tentang apa yang mereka pikirkan terkait peristiwa Paskah. Maka di sini para bapa sinode mau menegaskan bahwa pertama-tama Gereja ingin seperti Yesus, yaitu hadir dan mendengarkan.
Mendengarkan merupakan sebuah perjumpaan. Perjumpaan itu menuntut kerendahan hati, kesabaran, kesediaan untuk memahami, juga usaha-usaha untuk memberikan tanggapan dengan jalan-jalan yang baru (DA 6). Dalam artikel ini dikatakan tentang bagaimana kualitas mendengar yang benar, yaitu seperti Yesus. Paska Konsili Vatikan II Gereja memang sudah menjadi lebih terbuka daripada sebelumnya, namun tak dapat dipungkiri, belum tentu sifat terbuka ini benar-benar mengakomodir sifat mendengarkan dengan kualitas Yesus. Ketika mencoba mendengarkan orang lain, godaannya adalah mendengarkan begitu saja tanpa ada perhatian terlebih kesediaan untuk memahami.
Keprihatinannya adalah adanya kecenderungan dalam Gereja untuk menyediakan paket-paket jawaban dan solusi-solusi yang sudah ada, tanpa memberi ruang bagi peran kaum muda untuk memunculkan sendiri apa yang mereka perlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan dunia (DA 8). Kualitas mendengarkan khas Yesus adalah sebuah kualitas mendengarkan dengan adanya kesediaan untuk memahami, dan juga ada kesabaran serta kerendahan hati. Tanpa kesabaran dan kerendahan hati, kembali Gereja akan mengulang kembali kesalahan yang sama yaitu tergoda untuk memberikan paket jawaban dan solusi-solusi praktis yang sudah ada namun terkesan usang juga. Tentang Gereja yang ingin mendengarkan suara dan wajah kaum muda terungkap aneka wujud dan realita kehidupan kaum muda yang mengalami aneka tantangan antara lain, perubahan-perubahan zaman, pengucilan, diskriminasi gender, dan kolonisasi budaya.
Dalam bab ini diungkapkan juga bagaimana relasi dengan kaum muda dilihat. Relasi yang dimaksud tentu juga terkait pada kaum muda dengan kehidupannya antara lain dengan perkembangan zaman, ajaran Gereja, perubahan yang masif, akar-akar kebudayaan bawaan lahir, tentang seksualitas dan gender dan juga terkait dengan moralitas hidup dan Gereja.
Bab ini bahkan mengajukan beberapa persoalan yang dihadapi kaum muda. Para bapa sinode menerima masukan bahwa kaum muda sangat ingin diterima apa adanya dengan segala dimensi orisinalitas mereka (DA 45). Adapun karakter lainnya adalah mereka ingin punya komitmen pada kehidupan sosial. Bentuknya bisa beragam mulai dari menjadi volunteer dan aktivis, warga negara yang aktif dan juga kelompok-kelompok yang bergerak di bidang solidaritas sosial. Pendampingan sangat diperlukan agar karakter tersebut terpelihara dalam kegiatan bermasyarakat, dan kaum muda dapat menyumbangkan kreativitas dan juga segala bakat mereka untuk ikut terlibat dalam kehidupan dunia (DA 46).
Dalam kaitan dengan hidup religius dan spiritual, kaum muda dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di mana mereka tinggal. Oleh sebab itu penghayatannya pun berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Pencarian mereka di bidang hidup spiritual dan agama adalah pencarian makna hidup. Agama dan religiusitas dikaitkan dengan pencarian makna hidup yang mereka jalani. Sayangnya kerap kali pencarian ini ditemukan dalam bentuk bantuan psikologis ketimbang keterbukaan pada misteri Allah yang hidup (DA. 48-49). Dimensi sosial dan religius dalam kaum muda mengarahkan mereka pada hasrat untuk terlibat dan masuk dalam suatu gerakan konkret. Oleh sebab itu para bapa sinode menyarankan agar diadakan pendampingan yang memang melibatkan mereka. Mereka membutuhkan bantuan juga dari teman sebaya, serta komunitas yang autentik, serta penuh dengan rasa persaudaraan (DA. 52-57).
1.2.2 “Mata Mereka Terbuka”
Setelah mendengarkan kedua murid itu bercakap-cakap tentang peristiwa salib, Tuhan menyampaikan sabda-Nya pada mereka sehingga mata mereka terbuka. Pada bagian ini para bapa sinode memaparkan tahapan selanjutnya yaitu tahap di mana mata para murid terbuka akan kehadiran Yesus yang berjalan bersama mereka. Dalam tanda Ekaristi, akhirnya kedua murid menyadari siapa yang berbicara dengan mereka sepanjang jalan. Tentu saja ini juga merupakan karya Roh Kudus. Roh Kudus itu pula yang membimbing mereka pada pengalaman autentik bersama Allah (DA 58-62).
Pada vigili menjelang World Youth Day 8 April 2017, Paus Fransiskus mengatakan, bahwa banyak orang dalam hidupnya menghabiskan banyak waktu untuk bertanya “siapa saya” dan itu tidak masalah. Namun pertanyaan utamanya adalah, “untuk siapa aku hidup?” (DA 69). Lewat pertanyaan ini Paus Fransiskus mengajak kaum muda untuk melihat makna terdalam hidupnya yaitu pemberian diri kepada Allah melalui sesama. Apakah kaum muda sudah menjalani hidup demi orang-orang yang dikasihinya, atau hanya masih memikirkan diri sendiri?
Untuk membantu kaum muda membuka mata, diperlukan orang dewasa yang sanggup mendampingi mereka. Mendampingi bukan pertama-tama dengan arahan-arahan dan perintah, atau bahkan paksaan. Mereka butuh pendamping yang mendorong mereka untuk tumbuh dan berkembang. Dalam ikatan keluarga, di sanalah kaum muda mendapatkan bantuan macam itu. Memang dalam banyak kasus, keluarga tidak begitu sempurna dan terbatas, tetapi di tempat inilah mereka pertama kali mendapatkan bantuan macam itu (DA. 70-72).
Keterbukaan pada Roh Kudus mengantar kaum muda pada kematangan. Dengan pendampingan yang tepat dari orang dewasa yang tepat, kematangan pribadi dapat dicapai. Dari kematangan pribadi itu akan tumbuhlah panggilan dalam hati kaum muda. Figur Yesus memberikan daya tarik tersendiri bagi kaum muda sebab ia sederhana dan miskin, namun tetap terlihat baik. Figur Yesus membantu mereka untuk menemukan hidup iman, panggilan dan juga kemuridan. Dari Maria, kaum muda belajar bagaimana menanggapi panggilan dengan jawaban “ya” (DA 81-83).
Dengan aneka kekayaan rohani Gereja, kaum muda diperkenalkan dengan banyaknya kharisma dalam tarekat-tarekat. Pendampingan dalam mengenali panggilan menjadi bagian kunci dari orang-orang yang ingin mulai memilih (DA 104). Panggilan itu dapat dikenali dan ditemukan dalam Sabda dan juga dalam diri Gereja. Bapa sinode mengungkapkan bahwa Allah bicara melalui hati, dan inilah yang perlu disadari kaum muda, untuk mendengar Allah bicara dalam hati mereka. Untuk itu, mereka perlu dilatih ber-discernment. Perjumpaan dengan Tuhan selalu berada di dalam hati manusia. Para pendamping kaum muda perlu dilatih dalam pengalaman mendampingi kaum muda untuk berjumpa dengan Tuhan (DA 110-113).
1.2.3 “Dengan Segera Mereka Pergi”
Bab ini lebih membahas pertama-tama semangat para pendamping dan pelayan pastoral kaum muda. Melalui sub judul “Dengan segera mereka pergi” Paus Fransiskus ingin menyampaikan tentang bagaimana proses pendampingan kaum muda haruslah seperti Yesus dan para murid-Nya. Yesus yang menjumpai kedua orang di Emaus mendorong hasrat para murid itu untuk segera pergi dan mewartakan kepada murid lain-Nya tentang perjumpaan mereka. Lebih spesifik Paus Fransiskus mengajak kaum muda dan para pendamping pastoral untuk memiliki hasrat untuk berjumpa dengan Yesus dan kemudian pergi menjangkau banyak kaum muda tentu saja dengan lebih dahulu melakukan pertobatan setelah perjumpaan itu. Pertobatan ini bukan hanya di bidang spiritual melainkan juga di bidang pastoral dan karya misionaris.
Sebagaimana Yesus hadir dan berjalan bersama dua murid ke Emaus, kaum muda meminta Gereja berjalan bersama mereka. Sinode pun dilaksanakan demikian, yaitu dengan cara kolaborasi antara para bapa sinode dengan kaum muda. Sinode selalu menjadi salah satu cara bagaimana Gereja terbentuk. Dalam relasi antara Kristus, sesama dan komunitas, iman diwariskan. Dalam kerangka misi, Gereja dipanggil untuk mengadopsi beberapa cara atau pola relasi seperti ini. Gereja dalam sinode adalah Gereja yang mendengar, yang menyadari bahwa mendengarkan bukanlah sekedar mendengar. Mendengarkan juga berarti saling mendengarkan, sehingga ada relasi di dalamnya (DA 122). Dari sikap saling mendengarkan itu, para bapa sinode menyerukan agar Gereja memiliki kesiapsediaan mengambil peran untuk menyediakan pembagian tanggung-jawab yang dinamis dengan setiap anggota Gereja. Diharapkan, pembagian tanggung jawab yang dinamis ini juga dapat dilaksanakan di aneka level, antara lain di wilayah gereja lokal, konferensi episkopal, dan bahkan dalam level gereja universal (DA 123).
Pembagian tanggung jawab di aneka level itu perlu dilakukan mulai dari level paling lokal yaitu Gereja Paroki, bahkan lebih dalam lagi pembagian tanggung jawab dalam kelompok kecil di dalam keluarga-keluarga bersama keluarga lainnya di dalam lingkungan Gereja dan masyarakat. Pembagian tanggung jawab itu menuntut adanya pembaruan di dalam paroki. Para bapa sinode memandang bahwa paroki-paroki perlu melakukan pembaruan. Pembaruan itu meliputi gaya hidup dan juga struktur dalam Gereja. Bahkan komunitas Gereja harus terbuka pada otoritas sipil dan juga jaring-jaring hidup sosial lainnya (DA 132).
Pembaruan dalam katekese juga mendesak. Para bapa sinode merasa penting sekali untuk menemukan tipe-tipe yang tepat dalam bahasa dan metodologi untuk menyampaikan katekese kepada kaum muda. Katekese tidak kehilangan esensinya, berisi perjumpaan dengan Kristus, tetapi juga dengan penyampaian bahasa dan metodologi yang tepat (DA 133).
Selain itu, bab ini mengajak agar Gereja menjadi rumah bagi para kaum muda. Gereja perlu menampilkan diri sebagai rumah yang setia menyambut dengan ramah, dipenuhi dengan atmosfer kekeluargaan seusai dengan yang dinasihatkan oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Evangelii Gaudium art. 288. Gereja diharapkan menunjukkan sifat keibuannya, dan juga dari situ, nampak tindakan kenabian yang membawa sukacita, di mana Gereja menerima setiap orang yang datang dan menjadi rumah bagi kaum muda (DA. 138).
Dengan sikap terbuka ini, Gereja memperbarui karya misioner Gereja. Para bapa sinode menyadari adanya beberapa hal-hal penting yang menjadi tantangan Gereja dewasa ini. Tantangan itu antara lain misi dalam dunia digital (DA 145), meruntuhkan tembok dan membangun jembatan bagi para migran (DA 147), peranan perempuan di dunia kontemporer (DA 148), seksualitas yang autentik, bersih dan bebas (DA 149), Politik-ekonomi-pekerjaan dan rumah bersama (DA 151), konteks interkulturalitas dan interreligiusitas (DA 155), dan Dialog ekumenis (DA 156).
Pada bagian akhir bab ini, dibahas oleh para bapa sinode bagaimana dengan aneka situasi tantangan kontemporer di atas, Gereja menyiapkan diri dalam formasi yang integral. Cirinya antara lain, konkret, kompleks dan integratif (DA 157). Hal ini juga merupakan usaha Gereja untuk mendampingi kaum muda agar sungguh “siap dan segera pergi” melaksanakan tugas yang mereka terima dari baptisan. Dalam terang pembaruan ini, diperlukan juga formator-formator baru untuk dipersiapkan (DA 158). Formator-formator itu akan membentuk para rasul-rasul misionaris yang siap menjawab kebutuhan iman kontemporer (DA 159).
Tugas spesifik dari formasi yang integral bagi para calon tertahbis dan juga biarawan-biarawati dirasa penting oleh bapa sinode. Para formator tidak hanya punya kualifikasi tinggi, tetapi juga mampu membangun persaudaraan dan punya empati untuk mendengarkan, kompeten dalam tugasnya bersama dengan tim formasi lainnya termasuk dengan kaum perempuan (DA 163).
1.2.4 Rangkuman
Pada bagian “Rangkuman”, ditegaskan beberapa poin penting, yakni meski berbeda-beda dalam panggilan hidup, kita semua dipanggil pada satu panggilan yang sama yaitu panggilan kepada kesucian. Kaum muda meminta dan merindukan Gereja yang autentik, kokoh, transparan dan juga penuh sukacita (DA 165-166). Kesucian itulah yang akan membangunkan dunia dari kegelapan korupsi. Kaum muda membutuhkan orang-orang kudus yang juga akhirnya bisa melahirkan orang-orang kudus lainnya. Nampak jelas dalam sinode ini, bahwa pembentukan dan pembinaan kaum muda sungguh-sungguh bagian esensial dalam Gereja.
[1] Synod of Bishops, Preparatory Documen XV Ordinary General Assembly (2018), tersedia dari http://www.synod.va/content/synod2018/en.html Diakses pada 10 September 2019, 3.
[2] Synod of Bishops, Preparatory Documen XV Ordinary General Assembly, 5-6.
[3] Synod of Bishops, Final Document of the Synod of Bishops: Young people, The Faith, and Vocational Discernment (2018). Tersedia dari http://www.synod.va/content/synod2018/en.html, 3.
[4] Synod of Bishops, Preparatory Documen XV Ordinary General Assembly, 5.
[5] Synod of Bishops. Final Document of the Synod of Bishops: Young people, The Faith, and Vocational Discernment, 3
[6] Synod of Bishops. Final Document of the Synod of Bishops: Young people, The Faith, and Vocational Discernment, 4.
0 notes
incarnatewords · 11 months
Text
Tumblr media
0 notes
incarnatewords · 11 months
Text
Memperingati 200 Tahun Madona Oblat
Pengalaman Rohani Santo Eugenius de Mazenod 15 Agustus 1822
Tumblr media
Kita mengenal patung maria yang amat khas dihormati oleh para Oblat, yang sering disebut Madona Oblat (Oblate Madonna). Madona Oblat memperlihatkan Bunda Maria sebagaimana tertulis dalam Wahyu 12 ayat 1 yang berbunyi, “Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.” Patung Madona Oblat yang dimaksud adalah Patung Bunda Maria yang saat ini ada di Rumah Generalat OMI Via Aurelia 290.  Kita melihat Patung Bunda Maria yang amat cantik, berpakaian emas (berselubung Matahari) dengan Bulan di bawah kakinya dan Mahkota 12 Bintang di kepalanya.
Patung Madona Oblat di Rumah Generalat OMI. Pengalaman Rohani yang dialami oleh Santo Eugenius de Mazenod pada 15 Agustus 1822 menjadi sebuah momen penting dalam kongregasi kita. Dalam suratnya yang ia tujukan kepada keluarga besar Oblat di seluruh dunia pada 5 Mei 2022, Romo Superior Jendral Louis Lougen OMI mengundang kita semua, para oblat, keluarga besar oblat, semua orang yang menghidupi kharisma Oblat untuk merayakan hari penuh syukur ini.[1]
Antara Tradisi Lisan dan Sumber yang kita miliki
Banyak dari kita mengenal sebuah tradisi yang amat mengagumkan pada hari bersejarah ini. Pada peringatan 15 Agustus 1822, kita mengenal perayaan Madona Oblat di mana Bapa pendiri kita melihat dengan mata imannya Bunda Maria yang tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dari penglihatan rohani itu, Bapa pendiri merasa yakin bahwa kelompok kecil yang sedang berdiri ini akan selalu mendapatkan penyertaan dari Maria sebagai Bunda kita. Tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun sejak para Oblat pertama hingga hari ini menyebut Madona Oblat sebagai “Madonna Del Soriso” atau sebagai “Bunda yang tersenyum”.
Peristiwa ini kita peroleh dari tradisi lisan para Oblat yang hidup satu masa dengan Bapa Pendiri dan diteruskan ke generasi selanjutnya. Beberapa peneliti sejarah spiritualitas kongregasi seperti Yvon Beaudoin OMI, Fabio Ciardi OMI dan Frank Sanctucci OMI mengungkapkan bahwa tidak ada jejak tertulis langsung dari bapa pendiri terkait tradisi ini. Kesaksian akan peristiwa Bunda Maria yang tersenyum adalah tradisi lisan di antara para oblat pertama yang ingin mengisahkan perjalanan hidup bapa pendiri sesudah wafatnya tahun 1861.
Setidaknya ada dua jejak tertulis yang bisa penulis temukan akan adanya tradisi lisan ini. Kesaksian tertulis pertama tentang peristiwa ini datang dari E. Lamblin (1840-1919). Ketika ia mengisahkan peranan kehadiran Maria Imakulata dalam Asosiasi Kaum muda Aix, Lamblin menulis, “Lewat tradisi lisan yang dikumpulkan dan juga dilestarikan dengan hati-hati, mengatakan kepada kita semua bahwa patung tersebut (yang diberkati oleh St. Eugenius de Mazenod 15 Agustus 1822) membuka matanya, menganggukkan kepalanya dan memberikan sebuah peneguhan bagi mereka yang setia memohon rahmat Allah melalui perantaraannya.”[2] Kesaksian tertulis kedua datang dari seorang Oblat Prancis bernama Prosper Monnet OMI. Beliau mempresentasikan kapel internal Gereja misi di Aix di mana terdapat altar utama (tempat Eugenius mengikrarkan kaul ketaatan satu sama lain dengan Tempier), dan “juga Patung Maria yang pada saat itu memberikan senyumnya kepada bapa pendiri kita dan hingga hari ini masih berdiri di atas sebuah marmer yang indah.”[3]  Dictionary of Oblate Values menyebut ada dokumentasi tertulis tentang tradisi lisan ini yang diungkap oleh Edmond Dubois dalam tulisannya “Introductione Causae S.D., Eugenii de Mazenod… Rome, 1935, hlm. 716. Pada kesempatan ini penulis belum bisa menampilkan apa yang dituliskan oleh Edmond Dubois.
Bapa pendiri sendiri tidak mendeskripsikan secara detail tentang “penglihatan eksternal” yang ia alami.[4] Pada kesempatan ini penulis mengajak untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi di hari yang amat bersejarah ini. Pengalaman rohani Eugenius de Mazenod dan konsolasi rohani yang ia alami di hadapan Madona Oblat adalah sesuatu yang nyata dan sungguh terjadi. “Saya percaya bahwa saya berhutang budi padanya terlebih atas pengalaman spesial yang saya rasakan pada hari ini, saya tidak menceritakannya terlalu berlebihan, tetapi tentu saja dengan cara yang lebih dari biasanya. Saya tidak bisa mendeskripsikan dengan baik karena terkandung banyak hal dalam pengalaman ini, tetapi semuanya saling terkait, pada suatu objek, yaitu Kelompok misionaris kita tercinta.”[5]
Konsolasi Rohani Eugenius di Hadapan Maria
               Sesudah pemberkatan patung baru di Gereja Misi Aix, Eugenius menulis kepada Pastor Tempier sahabat dekatnya itu. Dalam surat itu Eugenius menulis, “Saya ingin sekali berbagi denganmu segala apa yang saya alami khususnya sebuah konsolasi yang saya rasakan di hari yang indah ini, hari yang dipersembahkan bagi Maria Ratu kita!”[6] Dari apa yang beliau tulis kepada kita, ada beberapa aspek penting yang bisa kita dalami di hari yang amat bersejarah ini.
“It seemed to me that what i saw, what i could put my finger on, was that within her lies hidden the germ of very great virtues, and that she can achieve infinite good. I found her worthy, everything pleased me about her, I cherisehed her rules, her statutes; her ministriy seemed sublime to me, as it is indeed. I foun in her bosom sure means of salvation, even infallible, such is how they looked to me.”[7]
Yang pertama adalah penemuan kembali Eugenius akan kehadiran Bunda Maria. Selama hidupnya Eugenius mempraktikkan sebuah disiplin iman yang cukup berakar, khususnya devosi kepada Bunda Maria. Pada pengalaman rohani ini, ia menemukan secara lebih jelas, siapa itu Maria, yaitu seorang Bunda yang memiliki aneka keutamaan, dan ia adalah bunda yang memiliki kebaikan tak terbatas. Eugenius menemukan kesempurnaan dalam diri Maria dan kemudian ia menyandingkan dengan dirinya sendiri yang bagi dia jauh dari teladan kesempurnaan itu. Ia menulis, “Hanya ada satu alasan yang mengurangi dan hampir menghilangkan seluruh sukacita yang olehnya saya sendiri setuju yaitu; Diri saya sendiri. Saya melihat diri sendiri sebagai satu-satunya batu sandungan dari segala kebaikan yang harusnya terjadi itu.”[8]
               Namun bukan hanya kesadaran dan penemuan akan Bunda Maria yang ia bandingkan dirinya sendiri. Refleksinya tidak berhenti pada sebuah penyesalan. Ia melanjutkan, “Saya dapat melihat bahwa hal yang harusnya saya lakukan yaitu agar bisa lebih berguna bagi Kelompok misioner kita dan juga bagi Gereja.”[9] Sebagai sebuah pengalaman konsolasi, kesadaran akan kelemahan serta kekurangan diri tidak menjadi dasar untuk berhenti mengusahakan yang terbaik. Eugenius menyadari kelemahan manusiawinya, dan bercermin dari kesempurnaan Maria, ia mendorong dirinya sendiri agar dapat menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi kelompok bentukannya dan juga bagi Gereja.
Para peneliti sejarah dan kharisma Oblat juga mengungkapkan bahwa dalam pengalaman rohaninya ini, Santo Eugenius de Mazenod menyadari tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh kongregasinya di masa mendatang.[10] Ia bersikap realistis bahwa apa yang sedang dimulainya bersama dengan kelompok kecilnya ini, pada saatnya nanti akan berkembang dan tentu saja mengalami banyak tantangan yang akan dihadapi.
“…the way they presented themselves to view, I saw the mas in battle array and all the more formidable in that the persons on whom we depend are placed in the forefront, not so much like other enemies to fight us openly and seek like them to destroy us, but to neutralize all the efforts inspired by our zeal and to prevent…”[11]
Ia menggambarkan masa depan yang akan dihadapi kelompoknya. Bagaikan sebuah medan perang, di mana orang-orang berusaha menebar pengaruh di garis terdepan, dan yang dihadapi bukanlah musuh yang terang-terangan ingin menghancurkan kita melainkan musuh yang ingin agar setiap usaha dan hal inspiratif yang kita kerjakan, tidak lagi dirasakan oleh orang lain. Saya melihat betapa tajamnya pandangan ke depan bapa pendiri kita. Ia tidak hanya mengungkapkan tantangan yang sifatnya kasat mata (berdiri di medan perang, maju di garis terdepan), tetapi juga tantangan yang sifatnya tidak terlihat namun akan memberi pukulan keras dalam karya dan kerasulan suatu keluarga religius (musuh yang ingin agar pengaruh dan hal inspiratif yang kita kerjakan tidak dirasakan oleh orang lain).
“The conclusion was that with more virtues I would have more wisdom and
ability to surmount such obstacles”.[12]
Bertolak dari kebaikan tanpa batas yang dimiliki oleh Maria, di hari yang amat bersejarah itu, di hadapan Madona Oblat yang baru saja diberkati di Pesta Maria Diangkat ke surga, Santo Eugenius de Mazenod merasakan kekuatan dan dukungan yang bisa melampaui aneka tantangan yang mungkin dihadapi oleh kongregasi di masa-masa mendatang. Dengan adanya teladan dan dukungan Maria, Santo Eugenius de Mazenod merasa memiliki cukup kebijaksanaan untuk melalui halang-rintang yang ada.
Benang Merah antara Pengalaman Rohani Bapa Pendiri dan Tradisi Lisan
               Pada suatu kesempatan sarapan pagi bersama di komunitas IRS, penulis bersama beberapa konfrater membicarakan pesta besar yang akan sama-sama kita rayakan di tanggal 15 Agustus nanti. Sama halnya seperti yang saya ungkap di atas, beberapa ada yang menganggap pesta ini sebagai “tradisi” belaka sebab tidak ada catatan tertulis otentik dari bapa pendiri tentang pesta “Madona yang tersenyum” ini. Di sisi lain ada konfrater lain yang mengatakan bahwa tradisi ini sekalipun tidak berdasarkan pada tulisan langsung bapa pendiri, tetap merupakan tradisi luhur kongregasi. Pada waktu itu penulis menawarkan sebuah alternatif refleksi yang sekiranya bisa menjembatani keduanya.
               Bagi penulis, yang terpenting adalah pengalaman rohani Eugenius de Mazenod di mana ia mengalami suatu konsolasi rohani yang meyakinkan dirinya bahwa kelompok misionaris yang baru saja dibentuknya ini akan selalu mendapatkan teladan dan bimbingan Bunda Maria. Terlepas dari benar tidaknya tradisi lisan yang beredar tentang Bunda Maria yang tersenyum dan menganggukkan kepala kepada Eugenius, itu nomer dua. Kenyataan bahwa suasana doa, perasaan berapi-api, dorongan semangat yang ia alami di hadapan Madona Oblat yang baru saja diberkati, adalah deskripsi terpenting dari Pesta 200 Tahun Madona Oblat ini. Di hari itu Eugenius merasa yakin akan penyertaan teladan Maria yang dengan penuh keutamaan akan membimbing keluarga religius yang baru saja ia bentuk, dan faktanya, kita para misionaris Oblat telah berdiri lebih dari 200 tahun dengan segala tantangan, sukacita dan juga pencapaian yang kita miliki sebagai rekan sekerja Sang Juru Selamat.
Penulis terbantu sekali dengan apa yang diungkapkan oleh Fabio Ciardi OMI, seorang ahli spiritualitas dan kharisma kongregasi dengan gelar doktoral, ketika beliau menulis tentang sejarah asal-usul Patung Madona Oblat yang ada di Rumah Generalat Roma. Beliau mengungkapkan bahwa pada Pesta Maria Diangkat ke Surga, bapa pendiri mengalami sebuah pengalaman rohani luar biasa yang akhirnya memberi peneguhan bagi karya dan misi keluarga religius yang dibentuknya. Keutamaannya, kebesarannya, dan kebaikan tanpa batas yang dimiliki Maria membantu bapa pendiri untuk mengatasi segala tantangan. Beliau mengatakan, “Sejak Santo Eugenius mengalami kelemahlembutan Maria, ia menerima sebuah ‘kekuatan’ baru seakan-akan Bunda Maria memberikan ‘senyumnya’ kepada Eugenius. Oleh sebab itulah, Madona Oblat juga dikenal sebagai ‘Maria del Soriso’ atau Bunda Maria yang tersenyum.”[13]
Penjelasan Fabio Ciardi memberikan kepada kita sebuah pengertian, bahwa ‘senyum’ yang dimaksudkan oleh tradisi lisan bisa jadi memang sebuah pengalaman spektakuler dan mujizat eksternal yang dialami oleh bapa pendiri kita. Di lain sisi, jikalau bukan ‘senyum’ sebagaimana dimaksudkan atau digambarkan secara eksternal, senyum itu adalah sebuah ekspresi atau kesan mendalam yang dialami Eugenius di dalam hatinya, atas segala pengalaman rohani dan konsolasi yang ia rasakan sebagaimana digambarkannya dalam suratnya kepada Pastor Tempier. Senyum Maria bisa dipandang secara eksternal, tetapi juga secara internal seturut pengalaman nyata Santo Eugenius de Mazenod yang menimba kekuatan baru dari Maria.
Merefleksikan Pesta 200 Tahun Madona Oblat
Sebagaimana pengalaman rohani amat memberikan pengaruh, keyakinan, dan semangat berkobar dalam diri Santo Eugenius de Mazenod, kita semua yang menghidupi kharisma dan semangat yang sama dari beliau harus juga memiliki pengalaman yang sama. Pesta 200 tahun Madona Oblat hanyalah sebuah selebrasi apabila kita tidak memahami apa yang terjadi dalam situasi batin Bapa pendiri.
Kehadiran Maria yang memberi kekuatan kepada bapa pendiri bisa menjadi pijakan refleksi kita untuk melihat perjalanan kita ke depan. Sudah pasti, akan ada kesulitan yang akan kita hadapi di sekitar kita, baik secara langsung maupun tidak langsung terlebih yang berkenaan langsung dengan orang miskin.  
Bertolak dari pengalaman Eugenius yang menyadari kelemahan dirinya, serta melihat tantangan-tantangan yang ada secara realistis, kita juga diajak untuk melihat bagaimana relasi kita dengan Bunda Maria, Bunda, teladan dan pedoman kita? (Konst. 10). Kita bisa melihat lagi, sedalam apa kita mengenal Bunda Maria, keutamaannya, ketetapannya, kelemahlembutannya, kehadirannya dalam diri kita. Apakah kita bisa mengalami sungguh Per Mariam ad Jesum seperti mujizat anggur di Kana?
Pengalaman rohani Santo Eugenius de Mazenod di hadapan Madona Oblat adalah sebuah pengalaman konsolasi yang memberikan semangat, semangat baru apa yang bisa kita timba dari Maria yang bisa kita gunakan dalam karya dan misi kita sebagai rekan kerja Sang Juruselamat. Lewat pesta 200 tahun Madona Oblat ini kita diajak untuk meilhat secara baru peranan signifikan Bunda Maria dalam hidup, karya dan misi kita sebagai Oblat. Romo Louis Lougen OMI menegaskan bahwa “Maria terus menerus memberikan senyumnya bagi kita, dan memberkati kita semua dalam menghadapi tantangan misioner zaman ini.”[14]
Bagaiamana Pesta ini Dirayakan
Penulis mendedikasikan bagian terakhir ini bagi keluarga besar Oblat yang mungkin belum pernah merayakan Pesta Madona Oblat secara berbeda. Berhubung pesta Madona Oblat ini bersamaan dengan Pesta Maria Diangkat ke Surga, maka rumusan misa dan juga tata liturgi misa disesuaikan dengan Pesta Maria Diangkat ke Surga. Untuk tambahannya, para penyusun Buku Doa Oblat yang baru saja diperbarui di tahun 2019 silam, kita diminta untuk menambahkan doa di bawah ini untuk didoakan bersama.
Doa Kepada Santa Perawan Maria yang Diangkat Ke Surga
Pada hari ini Perawan Maria diangkat ke surga, bersukacitalah sebab ia mulia bersama Kristus selamanya.
Pemimpin       : Para malaikat di surga bersorak-sorai ketika Maria diangkat ke surga.
Umat                  : Mereka menyembah Allah dan menyanyikan bagi-Nya puji-pujian.
Marilah berdoa:
Allah yang Mahakuasa dan kekal, engkau telah mengangkat ke Surga, segenap Jiwa dan Raga Perawan Maria yang tak bernoda, Bunda Putera-Mu. Semoga kami semua dapat mengarahkan diri kami pada perkara-perkara surgawi dan akhirnya berbagi kemuliaan bersamanya. Ini semua kami mohon dengan pengantaraan Yesus Kristus PutraMu, Tuhan kami. Amin.
Tambahan lain yang bisa menjadi suatu pembeda perayaan 200 Tahun Madona Oblat berasal dari Pastor Superior Jendral.[15] Dalam suratnya ia mengatakan kepada kita bahwa pada hari yang bersejarah ini, marilah kita mempromosikan suatu peziarahan ke tempat-tempat peziarahan Maria. Peziarahan adalah cara yang paling unik untuk menjalin relasi antara para oblat berkaul, para awam, kaum muda, dan juga menjadi kesempatan untuk saling mengenal lebih dalam, bahkan untuk semakin mendalami kharisma secara lebih intens. Beliau juga mengatakan bahwa ada baiknya jika dibuat sebuah perayaan bersama dengan keluarga besar Oblat di unit masing-masing. Bentuknya bisa berupa Ekaristi bersama, doa Rosario bersama, atau pun sebuah faith-sharing terpimpin tentang pengalaman menghidupi kharisma oblat, harapan-harapan di masa mendatang. Tak lupa pastor superior jendral mengingatkan untuk mengikutsertakan juga orang-orang miskin dan terabaikan.
               Semoga pengalaman rohani Santo Eugenius de Mazenod di hadapan Madona Oblat menginspirasi kita semua, dan kita bisa merayakannya dengan penuh rasa syukur dan bangga, bahwa Allah berkenan kepada kongregasi kita, dan Bunda kita selalu menolong serta membimbing langkah kita.
Terpujilah Yesus Kristus dan Bunda Maria Imakulata
+Paroki Santa Agnes Perugia-Italia, 13 Agustus 2022+
Fr. Henrikus Prasojo, OMI
[1] Louis Lougen, Letter From the Superior General For the Feast of St. Eugene de Mazenod May 21, 2022.
[2] “La tradition orale, précieusement recueillie et conservée, nous dit que 'la statue ouvrit les yeux et inclina la tête en signe d'adhésion pendant que son zélé serviteur lui demandait une grâce”. Dikutip dari E. Lamblin OMI, 1904 oleh Kazimierz Lubowicki OMI dalam Vie Oblate Life Vol. 47, Canada, 1988. Hlm. 11.
[3] “Avec sa Vierge antique, souriant jadis à notre vénére Fondateur et dominant aujourd’hui le riche piédestal en marbre.” R.P. Monnet,“Rapport De La Maison D’Aix” dalam Missions, Vol.27, (Paris, 1889), hlm. 145. (Sekarang Patung itu berada di Kapel Utama Rumah Generalat Roma).
[4] Association for Oblate Studies and Research, Dictionary of Oblate Values, (Rome, 2000) hlm. 553-548.
[5] Blessed de Mazenod, Letters to the Oblates of France 1814-1825, Rome: 1984, hlm. 91.
[6] Blessed de Mazenod, hlm. 91.
[7] Blessed de Mazenod, hlm. 93.
[8] Blessed de Mazenod, hlm. 93.
[9] Blessed de Mazenod, hlm. 93.
[10] Association for Oblate Studies and Research, hlm. 533.
[11] Blessed de Mazenod, hlm. 93.
[12] Blessed de Mazenod, hlm. 93.
[13] Fabio Ciardi OMI, Tre Tesori di Famiglia La casa generalizia OMI in Via Aurelia a Roma.
[14] Louis Lougen, hlm. 3.
[15] Louis Lougen, hlm. 3
0 notes
incarnatewords · 11 months
Text
Sekilas Dogma Maria Imakulata
(Artikel ditulis dalam rangka memperingati HR Santa Maria Imakulata 8 Desember)
8 Desember merupakan hari yang istimewa bagi Keluarga Besar Oblat Maria Imakulata, sebab pada hari tersebut Gereja Universal merayakan Hari Raya Santa Maria Imakulata yang adalah pelindung Kongregasi OMI.
Sekilas Dogma Maria Immakulata
Praksis penghormatan kepada Maria Imakulata sudah berkembang dalam tubuh Gereja jauh sebelum Dogma Maria Imakulata definitif diserukan bagi Gereja, bahkan Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI) berdiri lebih dahulu daripada Dogma tersebut. Doktrin tentang kesucian Maria yang sejak lahir tidak bernoda dikembangkan oleh para Bapa Gereja Kuno pada abad Keempat. Sebutlah diantaranya Santo Ephrem, Santo Ambrosius dan Santo Agustinus, yang masing-masing memiliki pemikiran teologis bahwa Maria adalah suci dan tak bernoda.[1]
Seringkali Doktrin ini mendapat serangan balik karena Kitab Suci tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Maria dikandung tidak bernoda. Dasar alkitabiah yang dapat menjelaskan keutamaan Maria ini bisa kita lihat dalam Injil Lukas 1:28 yaitu ungkapan malaikat Gabriel kepada Maria, “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan Menyertai Engkau.”
Bila melihat teks asli dari Injil Lukas Bahasa Yunani, frasa tersebut berbunyi κεχαριτωμενη (kecharitomene) yang berarti “yang diberkati”. Dalam terjemahan Latin (Vulgata) frasa tersebut diterjemahkan “gratia plena” yang berarti “penuh rahmat”. Frasa ini secara inplisit memberi kesaksian tentang keunggulan Maria yang diakui oleh Malaikat Gabriel yaitu “diberkati, penuh rahmat, atau dikaruniai”.  Dari teks ini, mau ditekankan peranan Allah yang menguduskan Maria dan secara khusus memilihnya untuk mengandung, melahirkan dan merawat Sang Juruselamat.
Dengan berpegang pada teks ini, banyak teolog yang mengungkapkan bahwa Maria memiliki segala rahmat yang diberikan Allah. Dari pemikiran bahwa Maria menerima rahmat penuh dari Allah, para teolog menarik bermacam-macam pemikiran misal bahwa Maria tidak berdosa, tidak membawa dosa asal, dikandung tanpa noda.[2]
Doktrin ini terus berkembang dengan pro dan kontranya melalui zaman ke zaman hingga puncaknya ketika berkembang gerakan doa yang berdevosi kepada Bunda Maria Imakulata dengan rumusan” O Maria yang dikandung tanpa noda, doakanlah kami yang memohon pertolonganmu.”[3]
Barulah melalui Bulla Ineffabilis Deus pada 8 Desember 1854 yang dikeluarkan oleh Paus Pius IX, Gereja menghormati Maria secara definitif sebagai pribadi “Yang Terberkati” – “Yang Penuh Rahmat” – Yang suci dan Tak bernoda dan menjadikan Maria Imakulata sebagai salah satu Dogma dalam Gereja Katolik. Konsili Vatikan II pun menegaskan keutamaan yang dimiliki Maria ini. Dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium dikatakan, “Maria yang menerima Yesus dalam rahimnya adalah suci seutuhnya dan tidak tercemar dosa mana pun juga, bagaikan makhluk yang diciptakan dan dibentuk baru oleh Roh Kudus.” (LG 56).
Maria Imakulata Bagi Kongregasi OMI
            Santo Eugenius de Mazenod-pendiri OMI, memiliki devosi yang kuat kepada Santa Perawan Maria sejak masa mudanya. Di masa-masa awal kongregasi OMI hadir, Santo Eugenius de Mazenod membiasakan komunitas untuk saling memberi salam dengan mengatakan “Terpujilah Yesus Kristus, dan Maria Imakulata”. Salam ini juga pernah digunakannya ketika mendampingi asosiasi kaum muda di Aix, juga dalam misi parokinya.[4]
Dalam Konstitusi dan Aturan Kongregasi OMI No.10 dikatakan, “Bunda Maria Tak Bernoda adalah pelindung Kongregasi.....Kita akan memandang Maria sebagai ibu kita, Dalam kedekatan yang mendalam dengan Maria, Bunda Belaskasih, kita menghayati penderitaan dan kegembiraan sebagai misionaris. Dalam Konstitusi dan Aturan ini terlihat peranan dan kedudukan Maria dalam Kongregasi OMI serta bagaimana seorang Oblat bisa meneladan hidup iman Maria.”[5]
Perlu diingat kendati menyandang nama Maria, spiritualitas yang paling utama dalam Kongregasi OMI adalah mewartakan Kristus yang tersalib. Maria Imakulata berperan sebagai pelindung karya misi dan hidup bakti OMI. Maria menjadi model persembahan diri Oblat, sebagaimana Maria mempersembahkan dirinya sendiri sebagai hamba Allah yang rendah hati.
Berkat kesucian yang diterimanya dari Allah, Maria menghadirkan Yesus Sang Allah Putera bagi dunia. Para Oblat yang menyandang nama Maria dengan penuh cinta dan rasa bangga juga menerima perutusan yang sama, yaitu untuk menerima rahmat kesucian Allah lewat pengudusan diri dan menjalankan karya misioner mewartakan Kabar Sukacita Yesus bagi mereka yang tidak terlayani.
Sebuah Perayaan yang Menggembirakan
            Merayakan Hari Raya Santa Maria Imakulata pada tanggal 8 Desember adalah sebuah momen untuk meneguhkan iman kita sebagai seorang beriman. Merayakan momen ini menegaskan kesadaran betapa besarnya peran Allah bagi keselamatan manusia. Allah pertama-tama memilih orang yang dikehendaki, menguduskannya, dan menjadikannya alat bagi Allah untuk membawa keselamatan dan semua itu nampak dalam diri Maria Imakulata yang dirayakan pada hari ini. Perayaan ini juga menjadi sebuah perayaan yang menggembirakan bukan karena semata-mata dirayakan dengan liturgi meriah, pesta besar ataupun hiruk-pikuknya, tetapi terutama karena dalam perayaan ini kita diingatkan siapa jati diri kita yang sejati.
            Melalui perayaan ini, kita semua diajak untuk mengingat kembali siapa jati diri kita yang sesungguhnya. Kita adalah para Oblat-Nya (baik religius maupun awam), dipilih dari tengah dunia, dikuduskan dengan berkat dan rahmat-Nya, serta diutus-Nya mewartakan kabar sukacita melalui perkataan maupun perbuatan kita. Kita diundang untuk melaksanakan karya perutusan yang dipercayakan kepada kita dengan penuh sukacita dan tanggung jawab, juga dengan perlindungan Bunda Maria Imakulata kita akan menerima kekuatan untuk mengatasi segala kesulitan yang kita hadapi.
            Bunda Maria Imakulata melindungi setiap karya hidup bakti kita, baik bagi para Imam yang menguduskan dunia lewat pelayanan sakramen, bagi para bruder dan suster yang membawa kesaksian hidup religius yang sejati serta melayani dunia dengan keahlian di bidangnya masing-masing, juga melindungi segenap Oblat Awam yang berjuang di tengah dunia memberi kesaksian hidup seorang Kristiani sejati yang penuh cinta kasih. Dengan peran dan panggilan yang kita miliki masing-masing, kita semua diajak untuk seperti Bunda Maria, menghadirkan Yesus bagi sesama.
            Sungguh momentum iman yang luar biasa. Semoga kita semua bisa menjadi berkat dan sukacita bagi setiap mahkluk yang kita jumpai. Terpujilah Yesus Kristus dan Maria Imakulata.
“Semoga kita mengerti dan menyadari siapa kita ini sesungguhnya! Saya berharap Tuhan akan menganugerahkan rahmat ini dengan bantuan dan perlindungan Bunda kita yang kudus, Maria Imakulata.” (Santo Eugenius de Mazenod).
-Henrikus Prasojo, OMI-
Referensi:
O’Carrol, Michael
            1987    Theotokos: A Theological Encyclopedia of the Blessed Virgin Mary. Quezon
                      City: Claretian Publications.
Eddy Kristiyanto OFM, A
            1987    Maria Dalam Gereja. Yogyakarta: Kanisius.
Lembaga Alkitab Indonesia
            1989    Kitab Suci Perjanjian Baru Yunani-Indonesia. Jakarta: LAI.
Ciardi OMI, Fabio dkk
            2000    Dictionary of Oblate Values. Rome.
Asodo OMI, Henricus
            Draft Terjemahan Prancis-Indonesia Konstitusi dan Aturan Kongregasi OMI.
Hardawiryana SJ, R. (Penerjemah)
           2013    Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor.
[1] Michael O’Carrol. Theotokos: A Theological Encyclopedia of the Blessed Virgin Mary. (Quezon City: Claretian Publications, 1987). Hlm. 180
[2] A. Eddy Kristiyanto OFM. Maria Dalam Gereja. (Yogyakarta: Kanisius, 1987). Hlm. 39
[3] Michael O’Carrol. Hlm.182
[4] Fabio Ciardi OMI, dkk. Dictionary of Oblate Values. (Rome, 2000). Hlm. 535
[5] Henricus Asodo OMI (penerjemah). Draft terjemahan Prancis-Indonesia Konstitusi dan Aturan Kongregasi OMI.
0 notes
incarnatewords · 11 months
Text
Introduction
Through this personal webpage, i would like to share my personal studies and reflection about spiritual life, religious life and the charism in the Congregation of Mary Immaculate. Hope this blog could help you to feel the incarnating words today. Some of articles might be in Indonesian, english, more or less in Italian. Hope the help of e-translators will help you to follow this blog... Have a nice day.
1 note · View note