Tumgik
hrtn · 7 years
Text
Two Person
Another chapter of my life began since I met you... Kanaya Delbar Pratama. Dulu saat aku masih kecil, aku gak masalah kalau orang-orang memanggil nama lengkapku. Dulu saat aku kecil nama Delbar yang terselip di nama panjangku selalu menjadi nama favorit. Kalian tahu kenapa? Karena Delbar adalah nama ayahku. Dulu aku selalu senang jika ibu guru tidak pernah lupa memanggilku dengan nama lengkapku. Tapi itu semua dulu, ketika aku masih kecil, ketika aku belum mengetahui semuanya. Aku masih ingat dulu, setiap minggu ayah akan pulang kerumah. Kami bermain, lalu aku yang mendapatkan kado, entah itu baju atau boneka. Tapi ada satu pertanyaan yang selalu aku tanyakan kepada ibu. "Kenapa ayah pergi?" "Karena ayah harus kembali bekerja." Iya, itu jawaban yang selalu ibu berikan ketika aku bertanya. Lalu aku juga pernah bertanya. "Kenapa ayah tidak tinggal disini?" Ibu yang semula membereskan boneka-boneka pemberian ayah tiba-tiba saja terdiam. Sambil menatapku, ibu tersenyum. "Karena disini ada papa." Aku menolehkan kepalaku saat mendengar suara berat laki-laki yang selalu menemaniku tidur disetiap malamnya. Iya, laki-laki ini papa, aku biasa memanggilnya begitu. Laki-laki yang menyematkan namanya dibelakang namaku. Sejak kecil aku tinggal bersama papa, mama dan ibu. Lalu ada kakak perempuanku Kayla dan kakak laki-lakiku Keenan. Meskipun kami bukanlah saudara kandung, tapi aku bisa jamin rasa sayangnya kak Kayla kepadaku sama seperti rasa sayangnya kepada abang dan sebaliknya abang pun begitu. "Jika ada yang ejek Aya disekolah bilang aja sama abang. Nanti abang akan pukul teman kamu." Itu kata-kata abang ketika melihatku menangis ketika pulang dari sekolah. Hari itu aku merasakan kejanggalan sejak salah satu temanku mengejekku tentang ayahku yang tidak perah datang menjemput atau menyempatkan diri untuk mengambil rapor disekolah. Hari itu, diumur kesembilan aku pulang dengan menangis. "Ayah kemana?" Itu yang pertama kali aku tanyakan ketika pulang dari sekolah. Hanya ada ibu dan abang dirumah. Papa dan mama masih berada dikantor sedangkan kak Kayla masih disekolah. "Ayah kemana?" Sekali lagi aku bertanya sambil. "Papa masih dikantor, ini kan masih siang." "Bukan papa.. abang, tapi ayah." Kini aku berjalan mendekati ibu yang berada didapur. "Ayah kemana bu?" Tidak ada jawaban dari ibu. "Ayah pergi?" "Ayah kemana?" "Aya... ganti baju dulu ya sama abang." Aku melepaskan pegangan tangan abang dipundak. "Ayah kemana?" dan sekali lagi aku bertanya kepada ibu sambil menarik-narik bajunya. Berhasil. Ibu menolehkan kepalanya tapi aku sedikit terkejut melihat kedua mata ibu yang berkaca-kaca. Ibu menangis, tidak, ibu menahan tangisnya didepanku. "Kanaya, kamu tidak lihat ibu sedang memasak? Tolong jadilah anak baik dan menurutlah dengan abangmu!" Aku terdiam, mengetahui sekali lagi bahwa pertanyaanku ini tidak akan dijawab ibu. Wajah ibu sedikit memerah, aku tidak tahu pastinya memerah karena ibu sedang memasak atau memerah karena ibu sedang menahan marahnya kepadaku. Abang mengambil tangan kananku. "Ayo naik keatas, abang akan membantu Aya berganti baju." Sejak saat itu, aku tidak pernah bertanya kepada ibu tentang ayah. Intensitas kedatangan ayah kerumah pun setiap bulan berkurang. Mungkin dalam satu bulan aku akan bertemu setidaknya sekali. Semakin lama jika aku mendengar nama Delbar, hatiku tidak berdebar karena senang seperti dulu. Debaran itu tiba-tiba saja menghilang. Sejak saat itu juga, aku jarang sekali menghabiskan waktu bersama ibu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama papa dan mama. Ikut kemanapun mereka pergi, mungkin acara itu dari kantor atau bertamasya bersama. Pernah suatu malam sebelum tidur aku bertanya kepada papa tentang ayah, namun dengan wajah sendunya papa terdiam. Sama saja baik ibu, mama atau papa tidak ada yang menjawab pertanyaanku. "Kau anak papa. Papa juga ayahmu." Aku menganggukkan kepalaku. "Tapi pa, kenapa ada nama ayah dinamaku? Nama kak Kayla dan abang tidak ada nama Ayah, kenapa?" "Lalu teman-teman Aya juga hanya punya satu ayah dan satu ibu. Kenapa Aya juga punya papa dan mama?" Wajah sendu milik papa tergantikan dengan senyumnya yang sangat tulus, senyum yang selalu menjadi favoritku. Senyum yang menenangkan. "Karena Aya anak yang special. Tuhan sayang sekali dengan Aya." Dan setelah itu, setelah papa bilang kepadaku jika aku adalah anak yang special dan tuhan sayang sekali denganku, aku berhenti bertanya-tanya tentang keberadaan ayah. Mungkin ibu benar, ayah sedang bekerja diluar sana. Karena aku harus bersekolah dan sekolah juga membutuhkan biaya makanya ayah harus bekerja keras. Simple bukan. Aku selalu menertawai diriku sendiri jika mengingat pemikiranku dulu, nyatanya semua itu tidak sesimple itu, tidak segampang itu. Nyatanya kenyataan yang ada begitu rumit. Jadi saat itu, ketika eyang putri sedang berada dirumah sakit dan keadaannya sedang kritis, hanya aku yang diperbolehkan masuk menemui eyang. Didalam ruangan kamar rawat ada papa, ibu, om Andi dan tante Lusi. Saat eyang mengetahui keberadaanku eyang langsung mengayunkan tangan kirinya yang terbebas dari selang infus. Aku mendekat sambil menahan air mataku. Eyang putri, sudah lama kami tidak bertemu karena eyang memang tidak tinggal dengan kami karena eyang lebih memilih untuk tinggal dengan anak terakhirnya dengan tante Lusi. Eyang termasuk dekat dengan semua cucu-cucunya, namun aku tidak tahu kenapa aku selalu merasa bahwa eyang lebih memperhatikanku dari pada cucu eyang yang lain. Saat aku sudah berada disamping eyang bersama papa dan ibu dikanan dan dikiriku, eyang meminta untuk melepas alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulutnya. Lalu dengan lembut tangan kurus milik eyang mengusap kepalaku lembut. "Aya... tahun ini berumur berapa?" Dengan suaranya yang lemah itu eyang bertanya kepadaku. "Tiga belas tahun eyang, kenapa eyang bisa lupa. Padahal bulan maret kemarin aku baru saja berulang tahun." Eyang tersenyum mendengar jawaban dariku. Senyum mengembang dikulit wajahnya yang sudah keriput itu. "Maafkan eyang yang pikun ini." dengan lembut tangan eyang yang tadinya mengusap rambutku kini beralih menggengam tangan kiriku. "Aya sudah besar ya." Aku menganggukkan kepalaku. "Sebentar lagi Aya juga masuk SMP lo eyang. Eyang doain Aya ya supaya masuk kesekolah pilihan Aya." Eyang menganggukkan kepalanya masih dengan senyum yang terlihat diwajahnya. "Aya... karena Aya sudah besar, Aya perlu tahu satu hal." Aku membalas menggenggam tangan eyang yang saat itu terasa dingin ditanganku. "Tahu apa eyang?" "Eyang tidak bisa menjelaskannya sekarang. Cuma, eyang ingin Aya tahu satu hal. Kami melakukan semua ini karena kami sayang kepada Aya." Lalu aku bisa melihat eyang menangis saat mengucapkannya. "Aya tidak perlu takut, eyang akan menjaga Aya dari sana. Tolong ingat ya, kami melakukan semua ini karena sayang kepada Aya." "Eyang, eyang kenapa?" Namun setelah aku bertanya kepada eyang, dengan jelas aku dapat melihat kedua mata eyang menutup dan tangan eyang yang erada di genggaman tanganku terasa lemas lalu sebuah alat yang berada disamping tempat tidur eyang itu mengeluarkan bunyi panjang. Kemudian semua orang menangis. Aku melihat tante Lusi yang saat ini tengah memeluk ibu. Om Andi juga sedang menangis sambil memanggil nama eyang, sedangkan papa saat ini melepaskan tautan tangan eyang dengan tanganku. Itulah kematian pertama yang harus aku hadapi. Maksudku, aku melihat dengan jelas eyang yang menghembuskan napas terakhirnya sambil menggenggam tanganku. Dan setelah tujuh hari berlalu sejak kepergian eyang, aku mendapatkan jawaban yang selama ini selalu menggantung jika aku bertanya, tidak terkecuali eyang kakung dan eyang putri yang juga tidak menjawab pertanyaanku itu. Ibuku adalah istri kedua dari ayah yang saat itu sudah memiliki keluarga. Saat itu ayah sudah memiliki satu anak laki-laki yang seumuran dengan abang dan ternyata beberapa bulan yang lalu istri pertama ayah telah melahirkan bayi laki-laki. "Lalu kenapa papa tidak mencegah ibu untuk menikah dengan ayah waktu itu?" Seperti biasa setiap malam menjelang tidur papa akan ada disampingku sambil menceritakan semuanya. "Sudah, namun ibumu tidak mau mendengarkan kami." Aku mendengar suara hembusan napas papa yang terdengar berat sekali. "Namun satu hal yang papa syukuri." Aku mendongakan kepalaku, melihat kedua mata teduh milik papa. Dengan tulus papa berkata. "Papa bersyukur kamu terlahir." Dan setelah papa berkata dengan begitu tulusnya aku segera memeluk tubuh papa. Satu hal pa, aku juga bersyukur bisa bertemu dengan papa. Aku bersyukur bisa menjadi anak papa. *** Kini aku mematut diri didepan kaca. Baju kebaya berwarna coklat ini sangat pas aku pakai diacara kelulusan. Iya, hari ini aku lulus dari SMA. Aku tidak menyangka bahwa hari kelulusan ini dapat datang dengan cepat. "Cepat ganti baju Aya." Aku mengulum senyum saat tahu papa sudah kembali lagi ke kamarku. "Aya rasanya gak percaya deh pa." Kami saling memandang lewat kaca, papa juga tersenyum sama sepertiku dan aku menyadari bahwa wajah papa terlihat lelah. Lalu aku membalikkan badan dan menatap papa, kedua tanganku menggapai kantung mata milik papa. "Papa jangan terlalu capek. Nanti Aya kompres pakai mentimun ya." Papa menganggukkan kepalanya. "Cepat ganti baju, semua orang sudah menunggu lo." Papa berbalik dan berjalan keluar dari kamar lalu tiba-tiba sudah kembali lagi. "Ada Bisma dibawah, dandan yang cantik ya." Goda papa. Jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang saat mendengar nama Bisma keluar dari mulut papa. Ah, sepertinya aku salah telah bercerita kepada papa. Bisma Arkananta Mahardika atau yang biasa akupanggil kak Ata. Kak Ata adalah teman abang. Pertama kali aku bertemu dengan kak Ata adalah lima bulan yang lalu, waktu itu kami semua pergi kesebuah café karena di café itu abang dan bandnya sedang tampil. Abang yang dari kecil senang sekali memainkan beberapa alat music itu sekarang mempunyai band, entah apa nama bandnya aku lupa. Saat itu ketika music mulai dimainkan dan lampu sorot mengarah ke sang vokalis tiba-tiba saja kedua mataku seperti dikunci. Dengan suaranya yang merdu semakin membuatku penasaran. Don't you tell me that it wasn't meant to be Call it quits Call it destiny Just because it won't come easily Doesn't mean we shouldn't try Bruno Mars - Easily. Aku tidak tahu ada seseorang yang bisa menyanyikan lagu itu seindah Bruno Mars. Dibawah lampu sorot itu, dia bersinar hingga membuat jantungku berdebar. Abang dan teman-teman bandnnya berjalan menghampiri meja kami. Dengan senyumnya yang lebar abang mengenalkan satu persatu teman-temannya. Tapi tetap saja, kedua mataku tidak bisa teralihkan dari sang vokalis. "Ayaaaaaa." Ucap abang sambil mengguncang kedua bahuku. "Tadi keren deh bang!" Ucapku sambil mengacungkan kedua ibu jariku. "Makasih adik ku yang manis." Balas abang sambil mencubit kedua pipiku. "Nih kenalin teman-teman abang. Itu Cherry yang tadi main piano, ada Malik yang main gitar dan si vokalis Bisma." "Wah kamu keren deh bisa main piano!" ucapku kepada Cherry. "Kamu bakal kaget kalau umur Cherry ini satu tahun lebih tua dari kamu." Aku bertepuk tangan, wah aku sungguh kagum melihat semua pianis apalagi wanita. Tidak tahu kenapa tapi yang pasti aku selalu terkagum-kagum saat melihat seseorang memainkan piano atau alat musik lainnya. Lalu tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Dia berjalan semakin dekat. Indah, satu kata itu yang terlintas dikepalaku saat aku bisa dengan jelas melihat kedua mata itu. Kedua mata kami saling bertatapan dan sang vokalis itu tersenyum kepadaku. "Hai, adik manis, kenalkan aku Bisma Arkananta Mahardika." Bisma mengulurkan tangan kanannya sambil tetap tersenyum kepadaku. Dengan malu-malu aku menjabat uluran tangan Bisma. "Kanaya Pratama. Panggil aja Aya." Senyumnya bertambah lebar ketika aku menjabat tangannya. "Kalau gitu panggi Ata aja deh, biar samaan." Dan sejak saat itu kami mulai dekat. Kadang kalau aku sedang suntuk belajar untuk ujian akhir Ata akan datang kerumah, main sama abang katanya. Tapi akan berakhir diteras belakang menemaniku belajar. *** Bisma Arkananta Mahardika.  Keenan mengirimiku pesan singkat, katanya malam ini kami semua diundang untuk makan malam di rumahnya. Tanpa tahu jika acara makan malam ini dalam rangka perayaan kelulusan Aya. Seharusnya aku datang membawa bunga atau buah tangan lainnya dan lihatlah pakaianku. datang dengan celana jeans, kaos berwarna putih dan hodie berwarna pink. Oh, God, kenapa Keenan tidak memberitahuku terlebih dahulu. Tapi.. entah harus senang atau tidak karena teman-teman yang lain juga datang dengan pakaian biasa. Syukurlah, setidaknya disini aku tidak sendirian dalam urusan pakaian hahaha. Setelah menyanyikan lagu terakhir yang di request khusus oleh kak Rendra, tunangan kak Kayla. Aku berdiri dari gazebo haus melanda karena sedari tadi aku tidak berhenti bernyanyi, tapi sebelum langkahku menggapai meja panjang yang diatasnya terdapat berbagai macam makanan dan minuman, kini Aya sudah berada di depanku dengan segelas air putih di tangannya. Ah, gadis ini benar-benar tahu kalau aku sedang kehausan. Langsung saja aku mengambil segelas air putih itu dari Aya. "Thanks." Aya mengambil lagi gelas yang sudah kosong ini dari tanganku. "Mau makan apa masih haus?" "Makan." Tanpa perlu disuruh Aya langsung melangkahkan kakinya menuju meja panjang itu. Lalu Aya menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya saat mengetahui aku tidak mengikutinya. "Kenapa bengong? Ayo sini." Ini yang aku suka dari Aya. Sikapnya yang lembut dan pengertian. Sejak pertama kali bertemu dengannya aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aya adalah gadis pertama yang tersenyum begitu lebar saat mendengarkanku bernyanyi. Kedua matanya tidak akan terlepas sedikitpun dariku hingga lagu berakhir. Untuk pertama kalinya aku merasa seolah pilihanku untuk terus bernyanyi adalah pilihan yang paling tepat yang pernah aku ambil. Mengingat kedua orang tuaku yang sangat menentang akan apa yang aku pilih saat ini. Walaupun sekarang papa dan mama sudah sedikit melunak, karena aku juga masih mau menuruti keinginan mereka, berkuliah dijurusan yang tentu saja papa yang memilihkan. Bisnis, katanya karena aku anak laki-laki dan agar bisnis keluarga yang sudah lama dibangun ini tidak jatuh ketangan orang lain. Aku berjalan menghampiri Aya yang sekarang sudah membawa piring dikedua tangannya. "Ata mau apa? Nasi putih? Nasi goreng? Kentang?" "Nasi goreng. Sosisnya jangan lupa." Ata. Aya terbiasa memanggilku tanpa embel-embel kak didepannya. Aku yang menyuruhnya agar memanggil namaku saja. Karena rasanya akan terasa jauh jika ada kata kak didepan namaku. Aku tidak tahu kenapa ide itu tercipta, maksudnya panggilan Ata saja tanpa kak.  Mungkin semua itu berawal ketika aku melihat Aya yang saat itu sedang dibonceng oleh laki-laki ditengah hujan yang cukup deras, hanya dengan sebuah jaket yang menutupi kepalanya. Yang aku tahu namanya Aidan. Kata Keenan, Aidan itu sahabat Aya sejak smp. Rumah mereka juga tidak terlalu jauh. Hanya berbeda gang saja. Kata Keenan juga, Aya selalu pulang bersama Aidan kadang kalau papanya atau Keenan tidak bisa mengantar Aya kesekolah Aidan akan siap menjemput Aya dirumah. Dan satu hal lagi yang Keenan ceritakan kepadaku waktu itu, bahwa Aidan menyimpan perasaannya untuk Aya. Awalnya Keenan pikir perasaan Aidan itu hanya sekedar cinta monyet tapi saat Keenan iseng bertanya kepada Aidan tentang perasaannya kepada Aya, Aidan menjawab bahwa perasaannya masih sama kepada Aya. Malah semakin besar. Dan sejak tahu itu, aku seperti orang kebingungan. Bayangkan saja Aidan telah berapa lama menghabiskan waktunya bersama Aya sedangkan aku baru saja kenal beberapa bulan dengannya. "Kamu panggil aku Ata aja deh, gak usah ditambahin kak." Aya yang sedari tadi sibuk mengerjakan soal kimia kini menoleh menatapku dengan pandangan kagetnya. "Kakak gak lagi sakitkan?" "Ih serius. Panggil Ata aja. Berasa tua kali akunya." "Enggak ah, yang ada nanti aku dimarahin abang karena gak sopan." "Bilang deh kalau dimarahin Keenan." "Ya, panggil Ata aja." Aya sedikit mengerutkan keningnya kemudian Aya menganggukkan kepalanya dan saat itu rasanya aku senang banget, gak tahu deh kenapa. Apa lagi setelah dengar Aya manggil nama aku. "Ata." "Iya." Melihat Aya tersenyum membuatku juga ikut tersenyum saat mendengar Aya mengucapkan namaku berkali-kali. "Ata. Ata. Ata. Ata." "Iyaaaaa." *** Aidan Danial Arshad  Ada yang percaya gak sih kalau hubungan persahabatan antara cowok dan cewek itu gak akan bisa langgeng? Karena yang aku tahu, aku udah jatuh cinta sama sahabatku sendiri. Iya, sahabat, kita udah saling kenal sejak SMP. Kurang lebih udah hampir enam tahun. Sahabatku ini orang yang cengeng. Karena dipertemuaan pertama kita, aku udah melihat dia menangis. Waktu itu aku sedang berada di apartemen kakak perempuanku yang baru saja pindah, karena jarak antara rumah ke kampusnya jauh jadi papa nyewa satu unit apartemen yang deket sama kampusnya. Empat kamar dari kamar apartemen kakak, aku melihat ada seorang gadis yang memakai seragam SMP lengkap dengan tas yang masih menggantung dipunggungnya. "Kasian deh dek, anak perempuan itu udah dua hari kesini. Manggil-manggil nama ayahnya, tapi ya gitu gak pernah dibukain pintu." Ucap kak Luna sambil memberikanku beberapa kantong yang berisi bajunya yang akan aku bawa pulang kerumah. Sekali lagi aku menolehkan kepalaku untuk memandang gadis itu. "Ok kak, Aidan pulang ya. Kakak hati-hati." Kakak menganggukkan kepalanya. "Hati-hati ya." Sebelum pergi sekali lagi aku menoleh menatap gadis itu, oh dan syukur sekarang gadis itu sudah tidak menangis sendirian didepan pintu. Laki-laki dewasa itu, mungkin ayahnya telah membukakan pintu. Dengan berat hati aku melangkah pergi menuju lift yang berada diujung. Namun saat aku hendak memasuki lift, suara bentakan yang mungkin berasal dari ayah gadis itu menghentikanku. Sekali lagi aku menolehkan kepala. Benar dugaanku, gadis itu saat ini tengah terduduk didepan pintu apartemen ayahnya. Aku gak bilang keadaan gadis itu baik-baik saja, karena yang aku tahu saat ini wajahnya sudah dipenuhi air mata. Iya, gadis itu menangis, keras sekali, suara tangisannya begitu menyakitkan. Dan kedua kakiku ini tanpa diperintah langsung berjalan mendekatinya. Semakin dekat dengan gadis ini, aku mendengar dengan jelas suara tangisannya. Aku ulurkan tangan kananku yang sedang memengang sapu tangan. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku ingin sekali mendekati gadis ini, mungkin sedari kecil papa yang mengajarkan agar aku selalu menghormati perempuan, menjaga mama dan kakak karena aku satu-satunya laki-laki yang ada dirumah ketika papa tugas keluar kota. "Ambil ini." Gadis ini mendongakkan kepalanya, menatapku dengan air matanya yang mengalir. Aku berjongkok dan sekali lagi aku mengulurkan tangan kananku. "Sudah jangan menangis." Entah ini halusinasiku atau memang aku salah lihat, karena setelah aku berkata jangan menangis, gadis itu menganggukkan kepalanya sambil mengambil sapu tanganku. "Kanaya." Ucap gadis ini dengan suaranya yang serak. "Namaku Kanaya." Aku tersenyum. "Aidan." Kanaya Delbar Pratama atau kita singkat saja Kanaya Pratama. Bukan, bukan aku yang mempersingkat namanya. Aya sendiri yang pernah bilang kepadaku untuk tidak menyelipkan kata Delbar yang jelas-jelas tergabung di nama panjangnya. Sejak pertemuan pertama itu aku tahu namanya, aku juga tahu dimana Aya tinggal, aku juga tau dimana Aya bersekolah. Awalnya aku pikir aku hanya penasaran dengan Aya, ya penasaran. Karena bagiku, Aya menyimpan banyak sekali kejutan, entah apa itu. Setiap kali Aya tersenyum aku merasakan ada kebahagiaan yang sangat besar disana. Marah, seingatku Aya tidak pernah marah, semarah-marahnya Aya tidak akan bertahan selama sehari. Dan selama ini aku hanya sekali saja melihat Aya menangis, iya, menangis saat pertama kali kami bertemu itu. Malah Aya memintaku untuk merahasiakan kejadian itu dari siapa saja. Aya bilang itu adalah rahasia diantara kami berdua. Yang aku tahu juga, Aya ini sangat sering sakit. Lebih tepatnya flu, Aya memang tidak tahan dengan udara dingin, tapi juga tidak tahan jika kepanasan. Jika Aya kehujanan bisa dipastikan paginya ia akan terkena flu berat, tapi jika kondisinya memang sedang tidak baik Aya juga mudah terkena demam. "Aya tuh kuat. Minum obat dulu ya, biar cepat sembuh." Bujuk kak Kayla. Aya tadi sempat pingsan disekolah untung saja Aya sudah selesai mengerjakan ujiannya, padahal malamnya saat aku berkunjung kerumahnya demamnya memang agak tinggi. Papa Aya waktu itu sedang tugas keluar kota selama seminggu bersama mamanya yang ikut menemani. Dirumah hanya ada kak Kayla dan kak Keenan. Ibu Aya waktu itu juga sedang ada di Surabaya menghadiri pemakaman salah satu kerabat. Aya memang susah jika disuruh untuk meminum obatnya, orang yang bisa membujuk Aya hanya papanya saja. Setelah sempat pingsan disekolah, Aya dibawa oleh pihak sekolah kerumah sakit yang untungnya tidak jauh dari sekolah. Dokter bilang Aya harus dirawat, tapi Aya yang terkenal anti memasuki rumah sakit ini berkeras hati untuk pulang. Dibujuk seperti apapun Aya tidak akan mau mendengarkannya. Saat itu aku memasuki kamar Aya, ada kak Kayla yang masih terus membujuk Aya untuk minum obat. Aku menepuk pundak kak Kayla. "Masih gak mau minum obat." Gumam kak Kayla. "Kakak turun dulu deh buat makan, aku tahu kakak belum makan dari tadi siang." "Terus gimana obatnya?" "Biar Aidan deh yang coba." Kak Kayla menganggukkan kepalanya sambil menyerahkan obat yang berada ditangannya kepadaku. "Minta tolong ya." Setelah kak Kayla pergi aku menaruh obat tadi dimeja yang ada disamping tempat tidur Aya. "Aku kan udah bilang kalau gak kuat itu gak usah masuk." Kedua mata Aya yang tadinya terpejam kini sedikit terbuka. "Tadi pagi sih kuat. Kalau gak masuk terus aku nyontek siapa." Ucapnya dengan suara serak khas Aya yang sedang sakit. "Maafin aku ya, gara-gara kemarin kita hujan-hujanan kamu jadi sakit." Tangan kananku mengambil kompres yang ada didahi Aya dan menggantinya dengan yang baru. Saat tanganku bersentuhan dengan dahinya, aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang sedang tinggi. "Yee kok jadi mellow sih" Tuhkan, Aya tuh masih bisa diajak bercanda meskipun dia lagi sakit. "Minum obat ya..." Aya mengerucutkan bibirnya dan dengan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. Tapi sebelum aku mengambil kembali obat yang ada dimeja, suara laki-laki yang memanggil nama Aya membuatku berhenti. Ah, ini dia laki-laki yang beberapa bulan ini selalu Aya ceritakan kepadaku, tidak lupa dengan senyum lebar dan mata berbinar khas Aya jika sedang menceritakannya. Bisma atau yang sering Aya panggil Ata. "Dek, masih panas." Ini suara bang Keenan yang saat ini sudah ada didepanku, tangannya menggenggam tangan Aya yang berada diatas selimut. "Maafin abang ya." Aya tertawa, suara tawanya yang sedikit lemas tapi dapat membuat Keenan menghembuskan napas leganya. "Ih abang, kayak gak pernah lihat aku sakit aja." "Gak gitu dek, masalahnya beda. Gak ada papa sama mama dan disaat kamu pingsan abang juga gak ada." Keenan menoleh melihat kearahku. "Makasih ya Aidan udah jaga Aya." "Iya bang." Iya aku menjawab, tapi kedua mataku tetap mengamati Bisma yang juga sedang menatap Aya dengan cemas. Cemas. Sekali lagi aku tekankan cemas. Seharusnya aku yang cemas karena setiap aku bertanya kepada Aya apa mereka sudah menjalin hubungan Aya selalu menghindar, Aya selalu punya suatu hal yang dapat mengalihkan perhatianku. *** Kanaya Delbar Pratama. Hari minggu adalah hari yang menyenangkan untukku mengganggu Aidan yang bisa dipastikan saat ini masih molor dikamarnya yang super berantakan. Kak Luna yang pertama kali membukakan pintu rumah setelah aku memencet bel. Memang setiap hari minggu atau hari libur kak Luna akan menyempatkan untuk pulang kerumah. Kak Luna adalah wanita terkalem yang pernah aku temui ya meskipun tidak berbeda jauh dengan Aidan. Wajah mereka juga bisa dibilang mirip, hanya saja Aidan adalah versi laki-laki dari kak Luna. Teman-teman disekolahpun juga mengakui ketampanan yang Aidan miliki, apalagi Aidan juga terkenal supel disekolah, punya banyak teman, aktif dikegiatan osis dan satu lagi nilai plus yang dimiliki Aidan adalah dia jago melukis. Tiga hal yang bisa membuatku terkagum-kagum di dunia ini yaitu yang pertama adalah piano, kedua adalah kura-kura dan ketiga adalah pelukis atau siapapun yang bisa menggambar. Aku sangat kagum sekali ketika mengetahui Aidan bisa menggambar. Waktu itu, kami tengah belajar bersama untuk ujian akhir mereka sebelum lulus dari SMP. Aku tidak sengaja menemukan buku sketsa yang tidak sengaja keluar dari tas milik Aidan. Dihalaman pertama buku sketsa milik Aidan ada banyak sekali stiker-stiker lucu, lalu beberapa halaman selanjutnya ada tulisan gravity nama Aidan dan entah ada dihalaman berapa, aku bisa melihat sketsa foto keluarga. Ada om Arshad, tante Gamal, kak Luna dan tidak ketinggalan ada Aidan juga. "Seru amat neng." Aku mendongakkan kepalaku agar bisa menatap Aidan yang sekarang sudah berada didekatku. "Kamu kenapa gak pernah cerita kalau pinter ngegambar?" Aidan mengulum senyumnannya. "Kamu gak pernah tanya." Aku menutup buku sketsa itu lalu memberikannya kepada Aidan. "Kamu tuh seharusnya ngasih tahu aku. Masa iya aku harus tanya dulu baru kamu beritahu." "Aku tuh pinginnya nanti masuk SMA yang sama kayak kamu." "Yee ini bahas apa, jawabnya apa." Aku pukul pundak Aidan. "Kebiasaan ya kamu itu." "Katanya aku disuruh ngasih tahu." Aku menundukkan kepalaku sambil memainkan ujung kaos yang aku pakai. "Dan... kalau ada apa-apa cerita ya. Jangan disimpen sendiri." "Siap tuan putri!" Dan disini lah aku, didepan pintu kamar Aidan yang banyak sekali coretan namanya, entah itu dari sticker, tulisan tangannya sendiri sampai coretan pilox. Aku buka pintunya yang memang tidak pernah Aidan kunci. "Buset kebooo, bangun..." Aku singkap selimutnya yang berwarna biru langit ini. Aidan kalau hari minggu benar-benar susah untuk diajak pergi, dia lebih milih menghabiskan hari dengan bergelung dibawah selimut gak peduli seberapa panasnya cuaca diluar Aidan akan tetap memilih bergelung dibawah selimut. Kata Aidan hari minggu dalah quality timenya bersama bantal, guling dan juga selimutnya. "Daaaan bangun dong." Ucapku sekali lagi sambil menarik sekali lagi selimutnya. "Laper nih, mau kerak telor gak?" Aku berjalan menuju jnedela kamar Aidan dan membuka gorden yang tadi tertutup rapat serta membuka jendela kamar Aidan ini. Bau khas cat air dan bau parfum milik Aidan menyelimuti kamar ini, mungkin semalam Aidan sedang melukis, entah melukis apa. Karena setiap kali aku memintanya untuk menunjukkan lukisannya kepadaku, Aidan selalu saja menolak. Katanya lukisannya belum jadi, ada yang dia bilang lukisannya udah dia buang dan segudang alasan lainnya. Maka dari itu aku tidak mau bertanya-tanya lagi tentang hasil lukisan milik Aidan. "Ketoprak yuk daan..." Kini Aidan sudah setengah membuka kedua matanya dan mulai mendudukkan badannya. Ketoprak, Aidan itu tidak pernah menolak ketoprak. Mungkin Aidan sudah pernah coba semua ketoprak yang ada kali, dari yang enak sampai yang gak enak, dari yang mahal sampai yang murah dan dari yang jauh sampai yang paling dekat di ujung gang sebelah komplek rumah kami. "Kamu yang traktir ya." Ucap Aidan sambil mengucek kedua matanya. "Gampang." Aku berjalan mendekati tempat tidur Aidan dan menarik tangan kirinya. "Cepet mandi kebo." Dengan santai Aidan bangun dari tidurnya dengan dadanya yang telanjang Aidan berjalan menuju kamar mandi. Aku sudah terbiasa melihat dada telanjang Aidan. Ia selalu berkata tidak akan pernah bisa tidur nyenyak jika masih menggunakan bajunya. Aidan itu tinggi, kulitnya berwarna coklat, rambutnya hitam legam namun ia memiliki pupil mata berwarna juga berwarna hitam. Aidan itu simpel, dengan celana jeans, kaos dan sepatu converse kesayangannya saja sudah bisa membuatnya terlihat tampan. Oh, jangan lupakan earphone yang selalu Aidan bawa, katanya biar tidak cepat bosan. Tapi earphone itu akan berakhir dikantung celananya. Aku berjalan menuju meja belajar milik Aidan yang tidak terletak tauh dari jendela. Seperi biasa, diatas meja belajar Aidan terdapat banyak sekali cat air dari berbagai merk, palette milik Aidan juga tidak pernah dibereskan, tisyu-tisyu juga tersebar diatas meja.  Aku menarik kursi dan duduk disana, ah, aku melihat notes milik Aidan, notes ini adalah kumpulan warna-warna yang sebelumnya Aidan coba, jika menurut Aidan warna yang diinginkannya sesuai ia akan menempelkan potongan kertas itu didalam notes. Kedua mataku melihat sebuah surat yang belum dibuka terlihat dari amplopnya yang tidak ada bekas sobekan. Dengan dorongan rasa penasaran yang kuat aku mengambil surat itu. Dari kop yang berada diamplopnya pun aku sudah tahu bahwa surat ini adalah surat undangan untuk melanjutkan kuliah disalah satu universitas terbaik di Indonesia. Dan sekali lagi kedua mataku memastikan bahwa surat itu memang ditunjukkan kepada Aidan. Terbukti ada nama lengkap Aidan yang tertulis diamplop itu. Aku langsung meletakkan kembali amplop itu ketempatnya. Sedih, itu yang aku rasakan saat ini, karena sebagai sahabat Aidan aku sama sekali tidak tahu tentang perihal ini. Mungkin jika itu aku yang ada diposisi Aidan, aku akan datang mencari Aidan menceritakan semuanya. Karena bagiku Aidan sudah termasuk orang terpenting dihidupku. Aku merasa Aidan memang selama ini tidak pernah terbuka denganku. Seperti ada tembok tipis yang tidak kasat mata yang memisahkan kami. Aku pikir sikap Aidan wajar-wajar saja ditahun pertama kami kenal, namun semuanya terlalu jelas sekarang. Mungkin waktu selama enam tahun ini tidak berarti untuk Aidan. Aidan, ya, aku tahu tentangnya. Berapa tingginya, berapa berat badannya, ukuran baju maupun sepatunya, makanan kesukaan sampai makanan yang paling Aidan tidak suka. Dan setelah aku pikir lagi, aku tahu Aidan hanya sebatas itu. Aku tidak pernah tahu isi pikirannya. Ah, memikirkan Aidan yang seperti ini kepadaku membuat kepalaku tiba-tiba saja pusing. Jika Aidan benar-benar mengambil kesempatan itu aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Aidan. Mungkin ini terlalu drama, tapi aku benar-benar tidak pernah melewatkan sehari untuk bertemu dengan Aidan. Jarak Jakarta – Bandung memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja ada jarak beratus kilometer yang memisahkan kami. Ada sebuah tepukan dipundakku, aku menolehkan kepala dan melihat kak Luna yang saat ini berdiri dibelakangku. "Kamu tahu apa yang dikatakan Aidan pertama kali saat surat itu datang?" Aku menggelengkan kepala. Kadang perasaan takut muncul ketika aku hanya berdua dengan kak Luna ini. Karena aku merasa kak Luna ini bisa membaca pikiranku. Bahkan kejadian seperti ini tidak terjadi sekali atau dua kali. Namun belum sempat kak Luna menyelesaikan perkataannya Aidan sudah kembali dari dalam kamar mandi, lengkap dengan celana jeans dan kaos, oh, jangan lupakan bau sabun khas Aidan. Dengan menggosok rambutnya Aidan berjalan menghampiri kami. "Kakak juga mau ikut makan ketoprak?" "Enggak, kakak cuma mau ngobrol aja sama Aya." Lalu kak Luna berjalan keluar kamar meninggalkan kami berdua. Aku berdiri dan berjalan mendekati Aidan, kemudian aku merebut handuk yang ada dikedua tangannya. Aku menarik lengan kanan Aidan dan menuntunnya menuju tempat tidur. "Duduk." Perintahku. Aidan duduk ditempat tidur sementara aku mengeringkan rambutnya. "Sebelum pakai baju tuh keringin dulu rambutnya." Omelku yang hanya dibalas suara tawa Aidan. *** Aidan Danial Arshad. Aku memang tukang tidur, apalagi dihari minggu. Aku tidak akan membuka kedua mata kalau jam matahari masih bersinar terang. Namun semua itu pengecualian untuk Aya. Suaranya yang samar-samar terdengar dari dalam kamar yang saat ini sedang berbincang dengan kak Luna terdengar jelas untukku. Lalu saat pintu kamar terbuka dan suaranya menyapa tanpa sadar aku mengembangkan senyumku dibalik selimut. "Buset kebooo, bangun..." Teriak Aya sambil menarik selimutku. "Daaaan bangun dong." Ucap Aya sambil sekali lagi menarik selimutku. "Laper nih, mau kerak telor gak?" "Ketoprak yuk daan..." Aku mengulum senyum dibalik selimut mendengar ajakan Aya. Hari minggu, Aya memang akan selalu merengek untuk membuatku bangun. Entah itu Aya ingin ditemani ketoko buku, makan ketoprak atau cuma sekedar jalan disekitar komplek. Aya bisa saja mengajak kak Kayla atau bang Keenan untuk menemaninya, tapi Aya ya tetap Aya, dia akan selalu daatang mencariku. Bukan geer sih, tapi Aya memang seperti ini. Manja. Justru aku senang bisa melihat Aya yang manja. Aya tuh gini, Aya tuh gitu. Kadang suka sebel aja sama teman-teman yang ngomongin Aya tanpa tahu kepribadiannya. Aya itu memang terlihat dingin malah menjurus kesinis kalau gak kenal sama orang. Tapi jika kalian sudah kenal Aya, Aya yang diomongkan orang akan berbeda seratus delapan puluh derajat. Aya yang aku kenal itu orangnya terbuka. Dia selalu cerita ke aku tentang semuanya. Tapi ada waktu dimana Aya juga bisa keep ceritanya cuma buat dia. Ya, contoh aja, kalau setiap aku tanya tentang hubungan Aya dan Bisma, Aya akan selalu diem dan mengalihkan perhatian ketopik pembicaraan yang lain. Tapi aku gak pernah menyesal kenal dengan Aya. Aku juga gak pernah terpengaruh oleh omongan orang-orang tentang Aya. Karena aku kenal Aya bukan sekedar hitungan bulan tapi hampir enam tahun. Aku tahu suka dukanya Aya. Aku tahu hal yang membuat Aya senang. Bahkan dipertemuan kami, aku sudah melihat titik lemahnya Aya, hancurnya Aya. Satu yang selalu aku sesalkan dari diriku sendiri yaitu, aku yang tidak bisa terbuka kepada Aya. Karena bagiku sekarang aku telah memandang Aya dengan cara yang berbeda. Bukan lagi pandangan sayang sebagai seorang sahabat. Bukan lagi perasaan khawatir sebagai seorang sahabat. Semuanya berbeda, entah sejak kapan. Mungkin karena sudah terbiasa bersama Aya. Kan kata orang cinta itu datang karena terbiasa. Iya, aku cinta Aya. Aku pikir dulu perasaan ini hanya sebagai pelengkap dimasa muda yang biasa orang-orang sebut cinta monyet. Tapi semakin seiring dengan berjalannya waktu perasaan ini tidak menghilang namun semakin tumbuh bahkan jantungku akan berdegup kencang saat melihat Aya tersenyum dengan begitu lebarnya, tertawa begitu lepasnya. Kertas dan pensil, mungkin begitu ibarat kita berdua. Aku kertasnya. Aya pensilnya. Tanpa pensil kertas itu cuma akan jadi kertas kosong, hambar karena tidak ada cerita didalamnya. "Kakak juga mau ikut maka ketoprak?" Aku bertanya kepada kak Luna yang kini ada disamping Aya. Kadang aku juga iri dengan kak Luna yang sepertinya bisa membicarakan berbagai macam hal kepada Aya. "Enggak, kakak Cuma mau ngobrol sama Aya." Lalu kak Luna berjalan pergi meninggalkan kamarku. Dan kini aku lihat Aya yang berjalan menghampiriku yang masih berdiri didepan pintu kamar mandi. Kedua tangan Aya merebut handuk yang aku pegang, lalu tangannya itu menarik lengan kananku dan menuntunku menuju ketempat tidur. "Duduk."Perintah Aya. Ketika aku sudah duduk dipinggir tempat tidur kedua tangan Aya yang memegang handuk kini mulai terangkat menuju kepalaku. Dengan lembut Aya mengusap rambutku yang masih basah. Perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimuti dadaku ini hanya ada satu penyebabnya, yaitu Aya. Tindakan kecilnya yang selalu memperhatikanku, selalu berhasil membuat dadaku menghangat, jantungku berdegup kencang. "Sebelum pakai baju tuh keringin dulu rambutnya." Aya.. kalau kamu gini, gimana aku bisa ninggalin kamu? Jujur dua hari lalu, aku mendapat surat dari salah satu universitas di Bandung. Disurat itu, aku berhasil masuk kesalah satu jurusan seni yang ada dikampus itu. Senang dan sedih aku rasakan disaat yang bersamaan. Senang karena aku berhasil diterima di universitas yang memang aku inginkan. Sedih karena kenyataannya aku harus tiggal jauh dari Aya. Dulu tidak pernah terlintas dipikiranku bahwa tinggal jauh dari Aya akan sesulit ini. "Ya.. aku mau jujur tentang sesuatu ke kamu." Aku menghembuskan napasku yang tiba-tiba saja terasa berat. Aku memang harus ngomong masalah ini ke Aya. "Hmm.." "Aku.. dapat surat undangan dari ITB." Aku dapat merasakan gerakan kedua tangan Aya sempat berhenti, namun tidak lama kedua tangan Aya kembali bergerak kembali. "Bagus dong. Aku bangga deh." Aku tahu kamu kecewa Aya dengan pura-pura senang didepanku. "Aku gak tahu bakal pergi atau nggak." Kedua tangan Aya turun dari atas kepalaku. Tatapannya sendu. Sesendu tatapannya ketika pertama kali kita bertemu di apartemen. "Pergi dong daan.. kejar impian kamu." Iya, kamu benar Aya. Seharusnya aku pergi untuk kejar impianku. Tapi, itu artinya aku harus ninggalin kamu, meninggalkan impianku yang lainnya. Aku menarik handuk dari kedua tangannya, membiarkan handuk itu tergeletak ditempat tidur. Aku menggenggam kedua tangannya, menatap kedua matanya. "Berat Ya.." Karena aku gak mau ninggalin kamu.
1 note · View note
hrtn · 8 years
Text
Listening to Lotto by EXO
Lipstick, Chateau wine bit colour La La La La Hayan Champagne bubble shower La La La La – Preview it on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
[03 januari 2016] ❎Tabungan ❎Ijin ❎Transportasi
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Total 4 jam buat gambar Chanyeol, rambutnya belom jadi, lehernya salah, tapi puas 😆 #EXO #exofanart #teaser #LOTTO #Chanyeol #Park #Ceye (at Gundih 4)
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Park Chanyeol ssi – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Finally!! 👊 #EXO #exofanart #Suho #singforyou #akhirnya #berhasil #meskipun ...
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
at BG Junction – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
😖😖😖😌 – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Bibirnya gagal lagi 😭 #Chanyeol #EXO at BG Junction – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
#HappybirthdayEonni #HappyEXOLday #Happy9thAnniversarySNSD #EXOL 💜 #SONE
0 notes
hrtn · 8 years
Text
Listening to 유리어항 One and Only by EXO
– Preview it on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Tahun depaan maak 😂👊 with Lina and Epie – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Tanggal tuaa... at BG Junction – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Text
Watching The Conjuring 2
at The Oasis Village – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
Dosen nya dimana ini 😩 at STIE Mahardika – View on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Text
At Ruang 2.01 STIE Mahardhila
At Ruang 2.01 STIE Mahardhila – See on Path.
0 notes
hrtn · 8 years
Photo
Tumblr media
And finally this is the result, kecewa banget sama hasil bibirnya 😩😩 saya harus lebih giat belajar lagi kalau begini dan iyaa happy birthday to eonni @faridatyaszz ini H+4 lo tapi belom jadi 😂
0 notes