Tumgik
gilangalfianrizki · 2 years
Text
Berfilsafat Kecil-Kecilan
Memberikan diskon atau potongan harga adalah salah satu teknik menarik pelanggan untuk membeli sebuah barang atau jasa yang cukup efektif.Namun pernahkah kalian mengecek langsung besaran diskon yang diberikan penjual dan harga yang tertera sudah sesuai?
Perihal diskon ini pula yang membuat suasana kelas 7 SALAM menjadi cukup ramai. Karena mereka penasaran dengan kesesuaian potongan harga yang diterima oleh Semesta dengan besaran diskon yang tertera di brosur kelas online coding yang diikutinya. Sungguh fenomena yang aneh. Diberi diskon bukannya senang malah mempertanyakan.
Semesta adalah salah satu anak kelas 7 SALAM yang semester ini melakukan riset coding untuk membuat game dengan bahasa pemrogaman Phyton. Ia memilih riset ini karena kebetulan juga sedang mengikuti kelas online coding yang diadakan oleh suatu lembaga. Selain ia ingin mengetahui lebih banyak tentang coding, Ia memilih kelas tersebut karena diskon yang ditawarkan cukup menggiurkan, yaitu sebesar 40% dari Rp 2.100.000, - yang seharusnya dibayarkan. Kemudian dipertegas lagi di dalam brosur bahwa Semesta cukup membayar Rp 1.323.000, - untuk 16 kali pertemuan dengan huruf tebal nan mencolok.
“Emang kamu udah pernah ngitung, Mes? Jangan-jangan kamu ditipu!” Tanya Tattoo penuh curiga setelah Semesta menceritakan biaya kelas online-nya.
Pertanyaan Tattoo sontak membuat seisi kelas ikut mempertanyakan kebenaran potongan harga tersebut. Salah satu keganjilan yang ditemukan yaitu mengapa potongan harga yang tertera di brosur bisa menghasilkan angka yang cantik, yaitu Rp 777.000, -. Rasa penasaran mereka berlanjut dengan salah satu dari mereka menanyakan bagaimana cara membuktikannya.
Momen ini ditangkap dengan sigap oleh Mbak Indah sebagai momentum untuk belajar berhitung persentase. Mbak Indah mengajak mereka untuk mencoba mencari jawabnnya sendiri dengan cara masing-masing yang mereka ketahui. Contohnya Ranu yg bermodalkan metode pembulatan, Ellen dengan persamaan linier satu variable, dan Uken yang lebih memperhatikan terlebih dulu bagaimana Ellen menghitung.
Kelas semakin ramai. Hasil hitungan kami berbeda-beda. Namun dari semuanya tidak ada angka menunjukan sama seperti yang tertera di brosur. Tidak ada pula yang merasa jawaban mereka paling benar. Mereka mencoba menghitung kembali dan meminta bantuan fasilitator untuk mengecek proses hitung mereka. Hingga ditemukan hasil akhir bahwa diskon yang diberikan hanya sebesar 37%, bukan 40% atau Rp 840.000, -.
Kekhawatiran Tattoo terbukti. Semesta, kapusan brosur, dan merugi sebesar Rp 63.000, -.
Apakah western itu di barat?
Pada hari sebelumnya kelas kami juga tidak kalah ramai. Kala itu bukan hitung-hitungan penyebabnya. Tapi berawal dari Ellen yang bercerita tentang risetnya, yaitu membuat western menu. Lalu merambat sampai apakah negara barat itu benar-benar di barat? Kalau benar di barat, di mana letak  garis tengahnya? bukannya bumi itu bulat? Sebuah pertanyaan yang cukup membuat saya dan Mas Edwin mengernyitkan dahi ketika menemani kelas itu.
Untung kelas kami memiliki ahli perpetaan, yaitu Ayoube. Dia dengan cekatan mengambil gulungan peta dunia di pojok kelas lalu membentangkannya di depan teman-temannya. Ia menunjukan beberapa negara asal dari makanan-makanan yang sudah di buat Ellen.
Kami memperhatikan peta dengan seksama. Pertanyaan-pertanyaan lain kemudian muncul. Contohnya 3 pertanyaan ini,
Pertama, kalau Eropa dikenal sebagai negara barat, mengapa negara-negara Afrika yang tepat dibawahnya tidak dikenal sebagai negara barat?
Kedua, mengapa Australia juga kental dengan budaya barat padahal ia dekat dengan negara timur?
Ketiga, kenapa Amerika Serikat juga ikut sebagai negara barat?
Karena waktu kelas kami sudah habis, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak semua bisa kami temukan jawabnnya pada hari itu juga. Tidak hanya untuk teman-teman kelas 7, beberapa pertanyaan tersebut juga menjadi PR untuk saya dan Mas Edwin sebagai fasilitator hari itu.
Dari dua momen di atas, kelas kami tidak hanya belajar berhitung, belajar tentang urutan makanan barat, atau belajar peta saja. Namun kami juga belajar merespon dan mempertanyakan kembali hal-hal kecil yang sering ditemui sehari-hari. Secara tidak sadar, sebenarnya teman-teman kelas 7 ini sedang belajar berfilsafat. Filsafat kecil-kecilan.
0 notes
gilangalfianrizki · 2 years
Text
Laku Pendidikan dan Kritik Ki Hadjar Dewantara terhadap Intelektualisme
Makna pendidikan dalam pergaulan masyarakat kita semakin mengalami penyempitan. Ketika mendengar kata pendidikan, maka akan diartikan secara terbatas dengan sekolah dan segala pernak-perniknya. Apabila ada anak yang membantu orang tuanya menjaga kedai sepulang sekolah, itu akan dinegasikan dari pendidikan. Jamak dari kita akan melihat aktivitas tersebut sebatas aktivitas membantu atau bakti anak terhadap orang tua.
Ihwal tersebut juga yang menjadi sorotan KHD dalam artikel yang berjudul “Tentang instinct (naluri), intuisi (ilham), laku dan ilmu dalam pendidikan” yang pertama kali dimuat dalam Majalah Pusara (1940), dan kembali dimuat dalam buku Pendidikan pada halaman 433. Menurut KHD pendidikan bisa berupa segala pengaruh dari orang lain, pengalaman, dan lingkungan yang mengarah pada kebaikan (Hlm. 434). Jadi sudah jelas bagi KHD bahwa aktivitas anak membantu orang tua dan segala pengajaran yang diberikan orang tua kepada anaknya juga termasuk dalam pendidikan.
“Jika Seorang ibu menyuruh anaknya duduk yang patut, bangun pagi-pagi, mengalah terhadap adiknya yang masih kecil, membantu pekerjaan di ladang atau di dalam rumah, bersembahyang, mengaji, dsb., itulah pendidikan belaka. Jika seorang bercakap-cakap dengan orang lain, memberi keterangan atau nasihat, misalnya seorang dokter dengan juru rawatnya, seorang ketua dengan pembantunya, seorang tua dengan pemuda, seorang yang satu dengan orang lain pada umumnya, itulah semua pendidikan belaka.” (Hlm. 434, Alinea 2).
Laku pendidikan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya menurut KHD didorong oleh dua hal, yaitu insting dan intuisi pendidikan. Insting pendidikan ini berupa dorongan dari dalam diri manusia atau setiap makhluk untuk mendidik anaknya. Sedangkan intusi pendidikan lebih pada pandangan atau rasa dari dalam batin akan pendidikan dan kebaikan (Hlm. 434).
Namun dalam praktiknya, baik oleh orang tua maupun guru, KHD menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa seterusnya mengandalkan insting dan intuisi. Karena dua hal tersebut rawan tercampuri perasaan-perasaan subjektif dari pendidik, dan berpeluang berjalan dengan tidak baik. Maka KHD menambahkan bahwa keduanya juga harus berdasar pada teori, ilmu, dan pengetahuan yang objektif (Hlm. 435). Ilmu pengetahuan tersebut bagi KHD tidak hanya sekadar pelengkap. Ia memiliki fungsi yang vital sebagai petunjuk jalan dalam praktik pendidikan (Hlm. 436). Ketika insting, naluri, dan ilmu pendidikan bisa berjalan seiringan, segendang sepenarian, maka tujuan dan maksud pendidikan akan terlihat lebih jelas. Yaitu mampu menuntun kehidupan anak-anak menuju kebahagiaan lahir dan batin (Hlm. 439).
Pengajaran Adab dan Intelektualisme
Ketika membaca teks-teks KHD di dalam buku Pendidikan, kita akan banyak menemukan bahwa KHD berulang kali menekankan pentingnya budi pekerti dalam pendidikan, atau dalam artikel ini ia sebut dengan adab.  KHD mengartikan adab ini sebagai sifat ketertiban di dalam hidup manusia yang menyebabkan hidup manusia bisa berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Menurut KHD, adab ini berasal dari kemauan hidup itu sendiri. Buahnya berupa ujud tertib, baik, dan indah yang muncul dari akal dan budi manusia (Hlm. 465).
Mengapa pengajaran adab? Menurut KHD pengajaran adab bertujuan memberikan pelbagai pengajaran secara bersama-sama pendidikan jasmani (raga). Hal ini dilakukan agar jiwa anak dapat terdidik seutuhnya. Bagi KHD jiwa dan raga manusia itu sifatnya khas dan tidak bisa dipisahkan selama ia hidup, karena keduanya saling memengaruhi. Ketika jiwa dan raga mampu mendapatkan pendidikan yang sesuai kodratnya, maka akan terwujud kepribadian atau  jiwa yang merdeka (Hlm. 467).
Tujuan pengajaran adab yang dikemukakan KHD sangat berseberangan dengan tujuan sistem sekolah kala itu yang lebih mengutamakan pendidikan intelektual daripada budi manusia (Hlm. 465). Pengajaran adab bisa dikatakan sebagai sebuah kritik dari KHD terhadap hegemoni tersebut.
Menurut KHD, ketika pendidikan hanya menitik beratkan pada pendidikan intelektual hanya akan menumbuhkan jiwa kenadlaran/ intelektualisme. Intelektualisme dengan sendirinya membawa sifat-sifat turunan lain, yaitu egoisme atau mementingkan diri sendiri, dan meterialisme. KHD melanjutkan bahwa hawa intelektualisme juga akan berdampak pada mundurnya budi pekerti, yang ditandai dengan lunturnya tabiat pemberani, setia, dermawan, rela borkorban, hilangnya jiwa merdeka, dan berkurangnya cinta terhadap sesama (Hlm. 466).
Dari dampak-dampak intelektualisme yang sudah diungkapkan KHD, bukan berarti KHD anti dengan intelektualisme itu sendiri. Titik berat KHD dalam memandang pendidikan pikiran sifatnya hanya sebatas alat pendidikan saja. Dasarnya pendidikannya harus tetap pendidikan yang memajukan budi/ watak manusia. Dengan cara memberikan tuntunan hidup, alih-alih memberi pengetahuan semata (Hlm. 466).
Ketika pengajaran hanya bersifat memberi, menurut KHD hanya akan mengahalangi tumbuhnya jiwa yang merdeka/ kepribadian masing-masing anak. KHD menunjukan sebuah contoh. Apabila cara belajar anak-anak kita masih bersifat hafalan, terlebih menghafal karena terpaksa agar bisa mendapatkan nilai yang tinggi, atau menghindari sanksi yang diberikan guru, maka pendidikan kita masih belum merdeka (Hlm. 466).
Pembagian Pengajaran
KHD membagi tingkat dan metode pengajaran adab menjadi 3 bagian. Hal ini dilakukan agar praktik pengajaran adab bisa tepat guna. 1) Berdasarkan tingkatan jiwa, yang terdiri dari jiwa kanak-kanak, jiwa anak muda, dan jiwa anak dewasa. 2) Berdasarkan metode yang digunakan, yaitu Wiraga, Wiraga-Wirama, dan Wirama. 3) Pertumbuhan anak berdasarkan masa/ hitungan windu, yaitu windu pertama, windu kedua, dan windu ketiga.
Pembagian-pembagian di atas kemudian KHD tempatkan pada 3 tingkatan perguruan. Pertama, Taman Anak. Rentang usianya hingga 7 tahun atau masuk dalam masa windu pertama. Di tulisan lain yang berjudul “Pengajaran adab didalam perguruan” Halaman 468, KHD tidak menyebutkan batas maksimal. Ia hanya menerangkan usia kira-kira, yaitu 5 tahun (Taman Indira). Pada tingkatan ini pengajarannya mengutamakan pembiasan anak pada ketertiban, dengan cara menjaga tingkah laku dan aturan lahir, atau yang KHD sebut sebagai metode Wiraga.
Menurut Karl Gross dan Montessori yang telah dikutip oleh KHD, penekanan pembiasaan pada anak dilakukan karena pada masa tersebut adalah masa bertumbuhnya insting yang akan menjadi tabiat (Hlm. 448). Apabila insting mendapatkan pembiasan dan pengaruh baik, maka akan membawa kebaikan dan kemajuan pula dalam tabiatnya. Kemudian menurut Hugo de Fries dan Montessori yang juga dikutip KHD, masa tersebut adalah masa pertumbuhan sel-sel otak yang akan mempengaruhi pikiran, perasaan, dan kemauan, atau yang KHD sebut dengan tri-sakti (Hlm. 449).  
Kedua, Taman Muda. Rentang usianya 7-14 tahun, atau menempati windu kedua. Pada masa ini, KHD membagi menjadi dua sub-bagian. Sub-bagian pertama disebut Taman Anak, atau masa anak-anak muda dengan rentang usia 8-10 tahun. Pengajarannya tidak jauh berbeda dengan masa kanak-kanak, metodenya masih menggunakan wiraga. Namun karena ini adalah masa pertumbuhan pikiran/ intektual, maka pengajarannya mulai ditujukan pada kesuburan jiwa, kecepatan berpikir, dan merasakan sendiri halus dan kerasnya kemauan.  Sub-bagian kedua disebut sebagai Taman Muda dengan rentang usia 11-14 tahun. Pengajarannya meningkat dan mulai mengenalkan pada keteguhan batin, serta olah rasa dan pikiran dengan mempelajari pengetahuan, agama, dan seni (Wirama).
Ketiga, Taman Dewasa. Masa ini menempati alam windu ketiga dengan rentang usia  14-21 tahun (masa sosial). KHD kembali membagi masa ini menjadi dua sub-bagian. Sub-bagian pertama dinamai Taman Dewasa, dengan rentang usia 15-18 tahun. Pada rentang usia tersebut, fokus pengajarannya adalah penyempurnaan wirama. Pemuda-pemuda sudah harus diberi ruang  kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri, seperti membuat peraturan oleh dan untuk dirinya sendiri (self discipline). Sub-bagian kedua dinamai Taman Dewasa Raya, dengan rentang usia 19-21 tahun. Masa ini adalah masa untuk memperdalam kecerdasan jiwa dengan mempelajari ilmu pengetahuan, ilmu agama, ilmu adab, ekonomi, dan sosiologi. Pada masa ini pula, menurut KHD pemuda harus mulai dituntun untuk mengadakan perhimpuanan. Seperti  koperasi, perusahaan, klub debat, dan badan pertolongan.
Dasar Konsentris
Perihal praktik pengajaran, KHD juga memberikan panduan bagaimana laku pengajaran di setiap tingkatan.  KHD menggunakan Garis Hidup Berlingkaran atau Prinsip Konsentrissebagai petunjuknya (Hlm. 403). Yaitu sebuah prinsip yang mengutarakan bahwa pengajaran harus dimulai dari lingkungan yang terdekat dari anak terlebih dahulu. Kemudian secara perlahan ke lingkungan yang lebih lebar dan luas.
KHD memberikan contoh dalam pengajaran bahasa. Penggunaan bahasa daerah atau bahasa ibu harus menjadi yang pertama diajarkan. Ketika usia anak bertambah maka bertambah pula kebutuhannya, maka bisa segera diajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya. Kemudian baru bisa meluas ke bahasa-bahasa di lingkup Asia, Bahasa Inggris, dan bahasa lainnya.
Tidak terbatas dalam bahasa saja, susunan konsentris bagi KHD bisa dipraktikan dalam pelbagai hal. Misalnya dalam hal seni, budaya, dan keilmuan lain (Hlm. 404). Asalkan dasar lakunya tetap sama, yaitu kodrat alam dari setiap anak. KHD juga tidak lupa mengingatkan dengan bertambahnya pengetahuan yang didapatkan, bukan berarti kita harus kehilangan identitas/ kepribadian. Kita harus mengingat kembali ke lingkaran terkecil dan yang terdekat milik kita sendiri, budaya sendiri, dan bahasa sendiri. Ketika gagasan-gagasan yang telah diungkapkan KHD dapat dijadikan sebagai dasarnya pendidikan, seperti pentingnya ilmu pendidikan, pengajaran adab, pembagian pengajaran, serta prinsip konsentris, seharusnya tidak perlu risau akan akibat-akibat yang ditimbulkan dari hawa Intelektualisme dan sifat-sifat turunannya. Namun sudahkah gagasan KHD dipraksiskan di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat kita?
*Pengantar diskusi kajian teks Ki Hadjar Dewantara. 1) tentang Instinct (naluri), intuisi (ilham), laku dan ilmu dalam pendidikan; 2) Pembagian pelajaran kebangsaan buat tiap tiap pengajaran; 3) Pengajaran adab didalam perguruan; 4) Garis-garis berlingkaran.
Sumber: Dewantara, Ki Hadjar. (2013). Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka 1 Pendidikan. Yogyakarta: UST-Press.
0 notes
gilangalfianrizki · 2 years
Text
Menjadi Individu yang Berpikir Merdeka, Berdaulat dan Berkepribadian
Kalau anda seorang perokok, pernahkah anda ditegur orang di dekat anda untuk berhenti merokok tanpa ada pengantar terlebih dahulu? Sudah pasti pernah. Mungkin tidak hanya sekali dua kali. Biasanya anda tidak hanya sekadar diingatkan, namun juga disertai narasi akibat-akibat yang anda terima kalau terus melakukan aktifitas merokok. Paling sering tentu narasi bahwa merokok akan mendatangkan kerugian pada kesehatan tubuh, atau mungkin anda akan diajak untuk hitung-hitungan berapa uang yang sudah anda habiskan untuk membeli rokok dalam kurun waktu tertentu akan lebih bermanfaat kalau dikumpulkan, lalu diberikan suatu barang yang berharga. Dalam ranah yang lebih ekstrim, aktifitas merokok yang anda lakukan bisa dicap sebagai aktifitas yang Haram dalam pandangan keyakinan tertentu.
Lalu apakah yang anda dengar saat itu bisa dikatan benar? Jawabnnya tidak bisa hitam putih seperti itu. Kalau anda bukan orang yang malas berdebat, pernyataan diatas dapat dipatahkan dengan mudah. Misalnya dalam hal Kesehatan. Merokok mungkin akan berbahaya jika anda memiliki riwayat kesehatan pernafasan. Namun dengan pengalaman empiris yang anda alami, apabila merokok membuat anda tambah bugar, dan membawa dampak-dampak positif baik dalam ranah diri anda atau sosial tentu pernyataan akan bahaya rokok bagi kesehatan belum bisa berlaku bagi anda.
Prasangka-prasangka dalam aktifitas merokok di atas adalah satu dari sekian banyaknya persoalan serampangan dalam mengakuisisi sebuah informasi tanpa ada perbandingan dengan informasi lain secara berimbang, lalu anda suarakan ke khalayak banyak. Ketersedian dan kemudahan untuk mengakses informasi bukanlah jaminan bahwa kita akan juga akan mudah mengakuisisi informasi yang benar dan berimbang. Yang terjadi malah semakin sulit. Semua sumber informasi akan mewartakan dirinyalah yang paling mengandung informasi yang paling benar. Sering terjadi juga, akuisisi kebenaran secara sepihak oleh suatu media arus utama. Informasi alternatif di luar itu apabila menampilkan informasi yang berseberangan akan sangat mudah dicap hoax, propaganda, dan sesat.
Jadi apa yang bisa dilakukan? Berlatih menjadi individu yang merdeka secara pikiran dan tindakan bisa menjadi pilihan. Merdeka bukan berarti bisa semau-maunya dalam bertindak. Merdeka berarti menjadi individu yang bisa berdiri sendiri atas kehendaknya dan tidak mudah bergantung pada orang lain. Dalam ranah berpikir kita tidak mudah disetir oleh sebuah informasi. Kita peka dan cakap untuk bisa mengkritisi/ mempertanyakannya.Memang bukanlah perkara yang mudah. Karena dengan mempertanyakan kembali, kita harus cerdik dalam menciptakan kalimat-kalimat tanya baru. Kita harus mau menyelidiki dan mencari sebuah informasi dengan berimbang.
Dalam ranah tindakan, kita bisa memilih dan melakukan apa yang menurut kita benar dengan berlandaskan argumen yang jelas dan berkesadaran penuh dalam mengambilnya. Kita berdaulat penuh atas diri kita sendiri. Contohnya apabila anda memutuskan untuk merokok, pastikan itu memang berasal dari diri anda sendiri. Berasal dari pengalaman dan pengetahuan anda sendiri. Begitupun ketika merasa harus berhenti. Pastikan itu juga memang dari diri anda sendiri dengan segala pertimbangannya.
Dengan terbiasa menjadi pribadi yang berpikir merdeka dan kritis, kita juga akan tahu Batasan-batasan yang ada di sekitar kita. Kita belajar untuk lebih peka baik dengan diri sendiri maupun Ketika melibatkan orang lain. Misalnya kita memang bebas untuk merokok kapanpun dan di manapun. Namun apabila aktifitas merokok kita bertemu dengan kepentingan dan batasan orang lain, maka kita tidak bisa memaksakan kehendak kita. Kita harus kompromi dan menghormati batasan tersebut.
Dengan alasan yang sama itu pula saya ingin bisa bergabung di dalam Akademi Kretek. Dengan itu maka saya tidak hanya menjadi sekadar perokok. Tapi juga perokok yang mampu berpikir merdeka, berdaulat, dan berkepribadian yang lebih baik lagi.
0 notes
gilangalfianrizki · 2 years
Text
PSS Sleman, Dari Kekalahan Ke Kekalahan
Setiap laga yang dilakoni PSS Sleman pada musim ini menjadi laga yang ndrawasi bagi para pendukungnya. Bagaimana tidak. Kekalahan lebih sering menaungi dari pada raihan 3 poin kemenangan.
Namun tidak dengan pertandingan di pekan 27 kala jumpa Pusamania Borneo. Tendangan Bebas dari Dave Mustaine berhasil menggetarkan jala Pusamania Bornoe. Gol tersebut menjadi gol satu-satunya pada pertandingan tersebut. Sebuah kemenangan yang langka dan patut disyukuri dari pertandingan yang biasa saja, dan sejujurnya lebih cenderung membosankan.
Berlanjut di pekan 28 semalam. PSS Sleman berinisiatif mengambil alih penguasaan bola di awal babak pertama. Sebuah usaha yang tidak sia-sia. Umpan sundulan menggantung dari Dave Mustaine di dalam kotak penalti Bhayangkara FC berhasil dikonfersikan menjadi gol oleh Wander Luiz dengan tendangan salto cantik.
Harapan Sleman fans akan kemenangan kembali muncul. Apalagi kalau para punggawa dapat terus bermain bagus dan menguasai permainan.
Harapan tinggal harapan. PSS Sleman hanya bisa menguasai permainan di 15 menit awal. Sisanya PSS Sleman dibombardir lawannya dan hanya sesekali melakukan serangan. 2 Gol berhasil dilesatkan ke gawang Miswar Saputra, sekaligus menjadi kekalahan ke 13 musim ini.
Tidak Ada Garansi
Sejak ontran-ontran Arthur Irawan dan gerbongnya akhri tahun lalu. PSS Mencoba membangun kembali tim. Ibarat kapal, tim PSS bagai kapal yang baru saja di hantam badai besar. Lubang dimana-mana, lambung kemasukan air, layer sobek, tiang roboh. Setelah badai reda, pemain baru coba didatangkan, nahkoda yang hilang juga sudah mendapatkan gantinya. Kapal sedikit demi sedikit ditambal lubangnya.
Asa para Sleman Fans kembali bermekaran. Apalagi sosok baru nahkoda Tim memiliki karakter bermain yang dirindukan oleh para fans semenjak ditinggal Seto Nurdiantoro. Permainan umpan-umpan pendek cantik. Setidaknya itu yang terlihat dalam cuplikan-cuplikan pertandingan tim yang sebelumnya di asuh oleh pelatih I Putu Gede. Pelatih baru PSS.
Perubahan langsung terlihat. PSS Sleman yang sebelumnya lebih mengandalkan umpan lambung dan langsung diarahkan ke depan, berubah menjadi umpan-umpan pendek yang enak dilihat. Kim Jefri, dan para gelandang juga lebih terlihat perannya. Dan Booom. Pertandingan pertama PSS Sleman dengan asuhan I Putu Gede berhasil meraih kemenangan 4-1 atas Persiraja. Sebuah kemenangan yang berharga dan begitu dinanti
Harapan Sleman Fans bertambah besar. Asa untuk naik ke papan tengah dan merangsek ke papan atas sepertinya tidak akan menjadi hal yang sulit.
Harapan tinggal harapan. Pola permainan I Putu Gede ternyata mudah ditebak oleh tim lain. Tidak ada lagi build up cantik dari para bek dan pemain tengan PSS seperti yang dipertontonkan saat melawan Persiraja. I Putu Gede dan para pemain lebih seperti orang bingung karena ketempelan setan di lapangan. Mereka hanya muter-muter saja tanpa bisa menjangkau gawang lawan.
Mentalitas
Apakah semuanya salah pelatih? Tidak semuanya. Salah satunya dari para pemain itu sendiri. Pemain PSS terlihat tidak memiliki gairah yang menggebu-gebu dalam setiap pertandingan. Apalagi kala tim sudah kemasukan gol. Semuanya lemas, bingung, dan kehilangan harapan.
Wander Luiz salah satunya. Walaupun semalam golnya cantik. Ia juga tidak benar-benar bergairah bermain. Tidak ada tanda bahwa ia bermain dengan hati untuk PSS Sleman. Ia cenderung bermain sekenanya. Malas berlari, malas cari ruang, dan cenderung menunggu mendapatkan umpan dari para sayap ataupun gelandang.
Tapi kan masih ada kapet Bagus Munyeng, Cak Misbah, dan Gufron? Memang. Mereka tampak bermain dengan sepenuh hati. Namun itu juga tidak cukup untuk meraih kemenangan. Bagus Munyeng terlanjur nyaman dengan posisinya. Tidak ada yang menjadi pesaingnya. Ia sering terlena dan terlambat turun ke bawah.
Cak Misbah juga kerap kebingungan untuk mengalirkan bola ke depan. Bola lebih sering mundur ke Gufron atau Evans. Gufron angin-anginan. Bisa dalam satu pertandingan ia sangat solid. Di pertandingan selanjutnya, ia bersama Evans menjadi pemicu penyakit jantungan untuk para Sleman Fans.
Bukannya tidak percaya akan proses. Tapi sebagai sebuah klub, kemengan juga harus menjadi tujuan yang perlu di perjuangkan dengan sepenuh hati. Apabila tim kebanggan warga Sleman ini sampai degradasi, para pemain, pelatih, jajaran manajemen bisa saja pergi dan segera move on dengan berpindah klub baru. Namun Sleman Fans akan menjadi yang paling menderita sepanjang hidupnya. Karena merekalah pewaris abadi klub yang sesungguhnya.
PSS Sleman, Vinci Per Noi.
0 notes
gilangalfianrizki · 2 years
Text
Djarum 76 Madu Hitam, Jatuh Cinta Pada Hisapan Pertama
Dalam keseharian masyarakat Indonesia, merokok bisa dibilang sudah menjadi budaya. Hampir di seluruh kegiatan masyarakat Indonesia rokok selalu hadir. Mulai dari, buang air di toilet, nongkrong bersama teman, kerja bakti warga, bahkan pada acara keagamaan. Hanya sebagian kecil saja aktifitas masyarakat Indonesia yang tidak melibatkan rokok, seperti saat mengisi bahan bakar di SPBU dan mandi.
Masifnya konsumsi rokok pada masyrakat Indonesia dapat dilihat pada laporan Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan di tahun 2020 kemarin. Di mana masyarakat Indonesia telah mengonsumsi 322 miliar batang dalam setahun. Dapat dibayangkan berapa banyak paru-paru masyarakat Indonesia yang smile alias full senyum.
Namun angka tersebut sudah mengalami penurunan sebesar 9.7% dari tahun sebelumnya. Masih dari paparan instansi di atas, salah satu yang menyebabkan penurunan konsumsi tersebut adalah kenaikan harga rokok. Yang barang tentu juga diamini oleh saya sendiri dan anda-anda para perokok.
Kalau menengok ke belakang, saya bisa mendapatkan satu bungkus rokok favorit berisi 16 batang di toko kelontong dekat kost saya dengan harga Rp 16.000 saja. Lalu Ketika pandemi datang di awal tahun 2020, rokok kesukaan saya harganya beranjak naik menjadi Rp 19.000. Dan di awal 2022 ini, harga rokok yang sama dan di toko yang sama sudah berada di angka Rp 22.000 per bungkus. Sebuah kondisi yang membuat saya semakin mengernyitkan dahi dan harus menghemat pengeluaran rokok atau mencari alternatif rokok lain.
Kalau untuk mengurangi konsumsi rokok, sepertinya belum memungkinkan. Maka saya memutuskan mencari alternatif rokok lain yang lebih murah, enak, dan bisa jadi rokok harian. Beberapa macam merk sudah saya coba, tapi belum ada yang cocok. Kebanyakan menawarkan harga yang relatif murah, namun rasanya belum tentu cocok dengan saya. Saya juga sempat mencoba untuk tingwe, atau ngelinting dewe. Ternyata tidak praktis dan saya belum bisa menghasilkan rasa yang konsisten seperti yang saya mau.
Di tengah kebimbangan sebagai anak kost dengan duit cekak namun masih ingin kebal-kebul, munculah Djarum 76 Madu Hitam yang tiba-tiba ramai di salah satu akun twitter. Mayoritas netizen yang terlebih dahulu mencobanya merasa puas dengan rokok ini. Djarum 76 Madu Hitam bak seperti secercah cahaya dalam pencarian saya yang hampir putus asa. Maka tergodalah saya untuk segara meluncur ke toko kelontong dekat kost untuk membeli rokok tersebut.
Djarum 76 Madu Hitam termasuk dalam rokok SKT atau Sigaret Kretek Tangan. Rokok yang proses pembuatannya masih menggunakan tangan atau dan atau dibantu alat sederhana. Untuk harga satu bungkus dengan isi 12 batang dibandrol Rp 13.000. Khusus di toko kelontong yang saya beli, harganya lebih murah lima ratus perak dari harga yang tertera di cukai.
Ketika memegang pertama kali, saya meraskaan kualitas kertas bungkusnya biasa saja, tidak kokoh dan gampang penyok apabila masuk kantong celana. Namun perpaduan warna hitam, merah hati, dan emas pada angka 76 serta motif sarang lebah di desain bungkusnya membuat rokok ini lebih terlihat mewah. Jauh berbeda dengan pendahulunya, Djarum 76 kretek yang bungkusnya berwana coklat Tahu Pong itu.
Ketika bungkus dibuka dan batang rokok pertama keluar, aroma madu hitam langsung semerbak di ruang tengah kost-an saya. Bahkan teman saya yang tidak jauh dari tempat saya duduk juga ikut penasaran dan mengaimini kalau aromanya memang menggoda.
Seperti rokok SKT pada umumnya, rokok ini agak keras dan cenderung padat. Sehinga perlu sedikit pijatan dari jari tangan agar lebih empuk. Selanjutnya saya coba rasakan ujung papirnya. Tidak ada rasa manis seperti pada rokok kesukaan saya sebelumnya. Mungkin ini memang sengaja dibuat agar para penikmat rokok ini bisa merasakan sensasi racikan madu hitamnya lebih paripurna.
Api sedang dari korek gas saya nyalakan. Rokok saya posisikan pada bibir dengan senyaman mungkin. Dengan sedikit hisapan, rokok ini sudah menyala. Dalam waktu yang bersamaan pula saya langsung jatuh cinta dengan cita rasanya. Perpaduan antara pedas rempah, sedikit aroma manis, dan aroma madu hitam menghadirkan sensasi tersendiri yang tidak didapatakan dari rokok lain. Selain itu tarikannya juga cukup halus. Tidak seperti pada rokok-rokok sejenisnya yang memerlukan usaha ekstra.
Memang perlu waktu lumayan lama untuk bisa menghabisakan satu batang rokok ini. Namun bukan masalah besar. Kekurangan rokok ini sudah tertutupi dengan rasa dan harganya yang masuk di mulut dan di kantong. Jadi sudah tepat bagi saya untuk menjadikan Djarum 76 Madu Hitam sebagai jawaban dari problematika akan rokok yang semakin mahal. Tiada rotan, akarpun jadi. Harga rokok tambah mahal, Djarum 76 Madu Hitam bisa jadi solusi.
0 notes
gilangalfianrizki · 2 years
Text
Presentasi Akhir Semester
Di tengah mendung tebal yang menyelimuti SALAM, Lekha berlari kecil menuju ke ruang Togog yang berada di sisi timur SALAM. Lekha sengaja datang lebih awal, karena di hari tersebut ia akan mempresentasikan proses risetnya, yaitu tentang Pastry. Ia langsung mengambil posisi duduk bersandar di tembok dan membuka buku catatan serta laptopnya. Lekha memastikan Kembali apa yang ia siapkan untuk presentasi sudah benar-benar siap. “Aku deg-degan, mas”. Kata Lekha di sela-sela ia melihat catatannya.
Tidak hanya Lekha yang akan mempresentasikan risetnya pada hari itu. Ada Elen dan Febe dari kelas 7, serta Bram dan Mahesa dari kelas 9. Apa yang dilakukan Lekha dan teman-temannya pada hari tersebut adalah bagian dari rangkaian presentasi akhir semester yang sudah dimulai sejak pertengahan bulan November lalu.
Presentasi akhir semester adalah sebutan yang warga SALAM berikan untuk proses evaluasi belajar di akhir semester. Kalau di sekolah lain proses ini biasa di kenal dengan UAS atau PAS. Perbedaaanya di SALAM tidak ada kegiatan mengerjakan soal atau duduk berjarak agar tidak saling mencontek. Apa yang dilakukan teman-teman SALAM adalah berbagi cerita tentang apa saja yang sudah mereka lakukan pada satu semester ini. Dari proses merencanakan, mencari data, mengolahnya, hingga evaluasi.
Sebelum pandemi merebak, anak-anak SALAM bahkan bisa mengadakan workshop dan pameran karya yang bisa dihadiri teman-teman di kelas lain ataupun masyarakat umum. Sehingga presentasi akhir semester di SALAM lebih disebut sebagai perayaan ilmu pengetahuan, alih-alih ujian.
Pada semester ini setidaknya ada 40 tema riset yang akan dipresentasikan oleh teman-teman SMP. Temanya sangat beragam. Dari kuliner, fotografi, seni rupa, membuat game, bahasa, berjualan, hingga memelihara unggas. Beragamnya tema riset ini berbanding lurus dengan semakin banyaknya informasi dan pengetahuan yang bisa didapat secara kolektif.
Bukan tidak mungkin akan ada kesaamaan tema riset dan kesamaan data yang harus dicari. Namun hal tersebut bisa menjadi peluang untuk saling bekerjasama dan berkolaborasi. Sebuah kondisi yang semakin jarang ditemui di dunia sekolah yang sudah mengakar tradisi kompetisinya.
Contohnya pada Febe dan Mayzza yang meriset cookies dan bolu pisang. Mereka berencana akan menjual hasil risetnya. Selain rasa, hal yang perlu mereka perhatikan adalah bagaimana bisa menarik calon pembeli dengan tampilan produk yang menarik. Maka mereka membutuhkan foto produk yang menarik. Bertemulah mereka dengan Gea, teman satu kelasnya yang meriset tentang fotografi makanan. Kerjasama di antara mereka terjadi secara organik. Mulai dari mereka meminta tolong langsung ke Gea, saling berdiskusi bagaimana foto yang diinginkan, dan timbal balik yang diberikan kepada Gea karena sudah mau memotret cookies dan bolu pisang. Simbiosis mutualisme pun terjadi.
Begitupun pada Ranu dan Atar yang memiliki tema riset sama, yaitu membuat game. Apakah mereka bersaing untuk bisa lebih unggul satu sama lain? Tidak. Yang terjadi Ranu mengajak Atar untuk belajar bersama.
Riset yang dilakukan teman-teman SMP SALAM bukan tanpa celah. Mereka malah diminta untuk menyadari celah atau kekurangan dari riset masing-masing. Peran fasilitator dan orang tua dalam merespon proses ini sangat penting. Orang yang lebih dewasa kerap kali tidak sabaran ketika berhadapan dengan situasi tersebut. Karena mencoba mendengarkan dan mencari tahu terlebih dahulu membutuhkan usaha yang tidak kecil.
Lalu bagaimana orang dewasa harus merespon? Bu Nike, fasilitator kelas 8 bisa menjadi salah satu contohnya. Saat presentasi, Lekha memparkan begitu banyak rangkuman artikel yang ia dapatkan terkait risetnya. Namun ada satu hal yang ia belum sampaikan, yaitu bagaimana ia menjalani proses riset (membuat pastry).
Ketika sesi tanya jawab, Tidak ada gestur menghakimi yang keluar dari Bu Nike. Ia terlebih dahulu memberikan apresiasi bahwa Lekha membawakan presentasi dengan lantang, dan menyajikan data yang di dapat dengan sangat detail. Kemudian, Bu Nike baru menggali dengan bertanya mengapa Lekha tidak menyampaikan prosesnya membuat pastry. Setelah Lekha sudah selesai menjelaskan semuanya, Bu Nike tidak lupa untuk memberikan timbal balik secara detail, serta secara perlahan memberikan masukan kepada Lekha. Dialog yang setara pun terjadi.
Proses dialog seperti itu hampir tersaji di semua sesi presentasi yang sudah dilaksanakan, dan berlangsung begitu seru. Jawaban-jawaban otentik yang keluar dari Lekha dan teman-temannya menjadi kekayan tersendiri dalam proses belajar mereka.
Setalah 4 jam berlangsung, tibalah di ujung perayaan pada hari ini. Wajah-wajah semringah tampak keluar dari teman-teman SMP yang sudah mempresentasikan risetnya. Namun presentasi ini bukan menjadi akhir dari proses belajar mereka. Presentasi akhir semester akan menjadi pijakan awal untuk memulai daur belajar selanjutnya.
2 notes · View notes
gilangalfianrizki · 3 years
Text
Belajar Sejarah di Kotabaru
12 Maret 2021
Sejak diberlakukannya PPKM Jawa-Bali pada awal tahun 2021, kelas kami mengalihkan seluruh proses riset dan mentoring secara online. Namun karena kerinduan yaang sudah semakin memuncak, kami memutuskan untuk bertemu secara terbatas dan mematuhi protokol kesehatan di SALAM. Dalam pertemuan tersebut, kami tidak hanya melepas kerinduan bertemu dengan teman sekelas, kami juga menyempatkan mentoring dan merencanakan jalan-jalan.
Ide untuk jalan-jalan dicetuskan Mbak Indah dan disambut dengan antusias oleh teman-teman kelas 8. Dipilihlah area Kotabaru sebagai tempat tujuan kami. Diskusi santai namun serius langsung tersaji. Contohnya saat kami mencoba mengingat-ingat dimana letak Kotabaru. Beberapa dari kami menyebutkan beberapa objek vital seperti toko buku yang ada di sana, hotel yang pernah menjadi objek foto dalam riset hingga stadion kridosono. Namun ada juga yang baru sadar kalau daerah tersebut bernama Kotabaru, walaupun beberapa kali pernah melintas di sana.
Dari hasil kesepakatan, pagi-pagi sekali kami sudah harus berkumpul di Jl. Suroto, tepatnya di depan Kafe Silol. Kami memilih pagi hari karena udaranya masih segar dan belum terlalu panas. Dalam jalan-jalan kali ini, kami dipandu Mas Edwin yang aktif dalam komunitas jogja walk tour. Di awal perjalanan ia memberikan sedikit pengantar berupa sejarah dan gambaran singkat Kotabaru yang awalnya merupakan sebuah perumahan orang-orang Belanda. Bukti peninggalannya  masih ada hingga saat ini, mulai dari rumah tinggal, ruas jalan, gereja, dan sekolah.
Tepat pukul 06.45 kami mulai berjalan ke arah barat menyusuri Jl. Sabirin, atau ruas jalan yang berada disebelah selatan Perpustakaan Kota Jogja. Di sepanjang jalan ini kami mengamati beberapa bangunan bergaya kolonial, dan beberapa bangunan yang sudah mengalami perubahan karena perkembangan zaman dan pengalihan fungsi bangunan. Mas Edwin bercerita bahwa rumah yang masih mempertahankan gaya kolonial di Kotabaru termasuk ke dalam bangunan cagar budaya, atau bangunan yang dilindungi pemerintah. Syarat bangunan menjadi cagar budaya setidaknya sudah berusia 50 tahun dan tidak mengalami perubahan bentuk secara drastis dari aslinya.
Bentuk bangunan kolonial dapat dilihat dengan jelas karena memiliki karakteristik yang menonjol dari bangunan lain. Mas Edwin sempat mengajak kami untuk berhenti dan mengamati di salah satu bangunan bergaya kolonial di ruas Jl. Sunaryo. Dari hasil pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa bangunan bergaya kolonial di Kotabaru memiliki pagar yang rendah, atap yang tinggi dan curam, tembok berwarna putih, menghadap ruas jalan serta memiliki taman di depannya. Atap tinggi dan tembok berwarna putih dipilih karena iklim indonesia yang cenderung panas. Sehingga dengan atap yang tinggi, sirkulasi udara di dalam rumah berjalan lancar dan tidak mudah menyerap panas karena tembokny dilapisi kapur. Sedangkan atap yang curam bertujuan agar ketika musim hujan tiba, air dapat turun dengan cepat dari atas genteng dan tidak menggenang.
Taman yang berada di setiap rumah di Kotabaru merupakan salah satu wujud dari konsep Garden City yang diusung daerah tersebut. Konsep Garden City ini juga terlihat dengan adanya boulevard, atau taman yang berada di tengah-tengah ruas jalan. Dari pengamaan kami, setidaknya kami menemui 4 boulevard, salah satunya yang berada di sepanjang Jl. Suroto. Adanya boulevard memiliki fungsi sebagai penyedia udara segar dan memperindah wilayah tersebut.
Jalan-jalan kami berlanjut ke titik berikutnya, yaitu Masjid Syuhada. Masjid ini dibangun dan dinamai untuk mengeneng para pejuang yang gugur dalam serbuan Kotabaru pada 7 Oktober 1945 ke markas Jepang. Setidaknya 21 pejuang gugur dalam serbuan tersebut. Nama para pejuang yang gugur diabadikan dengan manjadikannya nama jalan di wilayah Kotabaru. Namun dari tuturan Mas Edwin, serangan Kotabaru saat ini seringkali terlupakan, orang-orang biasanya lebih berfokus pada perayan hari jadi Kota Jogja yang jatuh pada tanggal yang sama.
Saat di Masjid Syuhada, Mas Edwin juga bercerita bahwa dahulunya masjid ini tidak hanya menjadi ruang beribadah namun juga menjadi simbol toleransi beragama. Tepatnya ketika Gereja Katolik Santo Antonius Padua yang berada di persimpangan Jl. Abu Bakar Ali dan Jl. I Dewa Nyoman Oka, masih dalam masa renovasi karena sempat dihancurkan tentara Jepang. Dan sementara umat Katolik beribadah di sisi selatan Masjid Syuhada.
Titik terakhir yang kami kunjungi yaitu bangunan Gardu Aniem atau Babon Aniem dan SMA Negeri 3 Yogyakarta, atau akrab di kenal dengan Padmanaba. Namun di titik ini aku tidak banyak menyimak Mas Edwin. Aku sudah mulai susah berkonsentrasi yang mungkin disebabkan kelelahan dan lapar. Sebenarnya masih banyak titik-titik bersejarah yang belum kami sambangi. Karena dalam jalan-jalan kami di hari tersebut baru mencakup Kotabaru bagian barat. Mungkin di lain kesempatan kami bisa berkunjung kembali. Demikian cerita perjalan singkat kami, kelas 8 di Kotabaru. Nantikan cerita perjalan kami selanjutnya.
0 notes
gilangalfianrizki · 3 years
Text
Pendidikan Merdeka Ala Ki Hadjar Dewantara
Berasal dari keluarga bangsawan Pakualaman Yogyakarta, tidak membuat Raden Mas Soewardi Soeryaningrat menjadi sosok yang gemedhe karena statusnya. Ia merupakan pemuda yang rendah hati dan aktif dalam pelbagai gerakan sosial dan politik dalam usaha mewujudkan Indonesia merdeka.
Perjuangan dan pengabdian Raden Mas Soewardi dimulai dengan menjadi wartawan di beberapa surat kabar. Tulisannya yang tajam, komunikatif dan kritis mampu membangkitkan semangat antikolonialisme para pembacanya. Selain aktif sebagai wartawan, Raden Mas Soewardi juga aktif dalam organisasi Boedi Oetomo sebagai seksi propaganda (1908), dan bersama Douwes Dekker serta dr. Cipto Mangoenkusoemo (Tiga Serangkai) pada 25 Desember 1912 mendirikan Indische Partij, sebagai partai pertama beraliran nasionalisme di Indonesia.
Raden Mas Soewardi aktif menulis dan menyerukan protes serta perlawanan kepada pemerintah kolonial. Salah satu tulisannya yang sangat tajam, berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda), yang berisi sindiran terhadap pemerintah kolonial yang akan menarik iuran kepada masyarakat inlander untuk turut membiayai perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis. Tulisannya ini berhasil dimuat dalam surat kabar milik Douwes Dekker edisi 13 Juli 1913.
Pemerintah kolonial khawatir tulisan tersebut bisa menghasut para inlander untuk melawan penguasa. Sebagai hukuman, ia kemudian dibuang ke Belanda. Selama enam tahun masa pembuangan, Raden Mas Soewardi mempelajari pendidikan dan pengajaran. Bahkan ia berhasil mendapatkan Europeesche Akte dalam prosesnya mempelajari pendidikan dan pengajaran di sana.
Pendidikan Sebagai Perlawanan
Pada 1919 ia kembali ke tanah air dan melanjutkan perjuangannya. Namun kali itu tidak melalui politik, tetapi bergeser melalui pendidikan. Ia mencurahkan tenaga dan pikirannya di bidang pendidikan sebagai upaya perlawanan mencapai kemerdekaan, yaitu melalui Taman Siswa yan didirikannya pada 1922. Bersamaan dengan itu Raden mas Soewardi Soeryaningrat mengubah namanya menajdi Ki Hajar Dewantara (selanjutnya disebut KHD) demi mendekatkan diri dengan rakyatnya dan meninggalakan embel-embel kebangsawanannya.
Melalui Taman Siswa, KHD menawarkan dan mencipatakan sistem pendidikan nasional dengan praksis kebudayaan serta menciptakan manusia merdeka sebagai tujuannya. Manusia yang merdeka jiwa dan raganya. Ihwal ini berangkat dari keprihatinannya akan praktik pendidikan ala barat di Indonesia yang seakan-akan hanya menghasilkan buruh-buruh untuk memenuhi kebutuhan pabrik, serta menghilangkan jati diri peseta didiknya.
Sistem pendidikan barat yang berdasarkan regering, tucht dan orde (perintah, hukuman dan ketertiban) dalam praktiknya merenggut kehidupan batin anak-anak. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang rusak budi pekertinya, terutama karena hidup di bawah tekanan dan hukuman.
Sistem Among
Gagasan pendidikan KHD sedikit banyak terinspirasi dari pemikiran Frobel, Montessori maupun Tagore. Dari sana, KHD memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki daya jiwa yaitu cipta, karya dan karsa.
Praksisnya pada pendidikan, KHD menginginkan adanya keseimbangan dalam jiwa manusia. Tidak hanya cakap pada salah satunya saja, baginya ketiganya adalah proses yang berkesinambungan. Apabila peserta didik hanya cakap pada daya ciptanya saja atau acap disebut intelektual belaka dan meninggalkan olah karya dan karsa, maka akan membentuk mereka menjadi kurang humanis dan manusiawi.
Dalam mewujudkannya, tentu tidak bisa mengandalkan salah satu subjek saja, peran guru, keluarga dan masyarakat harus turut andil di dalamnya. Pandangannya ini mengerucut pada salah satu sistem pendidikan Indonesia yang digagas KHD, yaitu Sistem Among.
Among berasal dari bahasa jawa yang berarti mengasuh, dan orang yang mengasuh disebut Pamong. Pamong harus bisa menjadi sosok yang senantiasa mengingat dan mementingkan kodrat-iradat peserta didikannya. Sistem pendidikan dengan gaya perintah, paksaan dan hukuman ditinggalkan, disubtitusikan dengan bimbingan dan dukungan untuk tumbuh serta berkembang sesuai dengan potensinya.
Hal tersebut tentu sesuai dengan sendi Sistem Among itu sendiri, yaitu kodrat alam dan kemerdekakan. Sistem Among ini menitik beratkan pada potensi dan bakat peserta didik. Karena setiap peserta didik memiliki potensinya masing-masing.
KHD menganalogikan anak-anak sebagai sebuah tanaman yang berada dalam sebuah kebun, sang petani tidak bisa memaksakan tanamannnya untuk bisa berbuah yang bukan kodratnya. Petani hanya bisa merawat, memupuk dan menyiangi agar bisa menghasilkan buah dengan kualitas baik.
Begitulah Sistem Among, guru adalah kunci berkembangnya peserta didik, anak-anak diberi kebebasan untuk bisa berkembang dan menemukan pengalamannya sendiri, guru hanya mengingatkan dan meluruskan apabila peserta didik melenceng ataupun mengarah pada bahaya. Sehingga akan menghasilkan proses pembelajaran yang bermakna bagi anak-anak.
Sistem Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai cerminan majunya suatu bangsa, tidak hanya diukur dalam skala angka atau hasil nilai ujian akhir semata. Adanya sistem pendidikan yang mumpuni dan melembaga serta mencerminkan karakter suatu bangsa seharusnya juga menjadi ihwal yang primer diperhatikan. Indonesia saat ini masih terus meraba menemukan sistem pendidikan terbaiknya, terhitung sudah 10 kali Indonesia mengganti kurikulum sebagai ikhtiar mencari jalan terbaiknya.
Patokan pendidikan barat sebagai tolak ukurnya, membuat Indonesia kerepotan sendiri karena harus menyesuaikan akar pendidikan barat yang jelas sangat berbeda dengan budaya kita. Akibatanya pergantian kurikulum hanya lebih sebuah proyek tambal sulam setiap pergantian menteri.
Pendidikan yang seharusnya menyenangkan, menggembirakan dan kontekstual, dikesampingkan. Menghafal dan menghayal menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Penanaman sifat jujur, mandiri dan percaya diri seakan dilupakan. Siswa dituntut memperoleh nilai tinggi dan mengusai segala materi pelajaran. Kalau tidak bisa memenuhinya tentu peserta didik tersebut akan dicap bodoh dan terlempar dari kelasnya.
Revilitasi Pemikiran KHD
Setiap 2 Mei, sebagai hari lahir KHD serta hari pendidikan nasional, upaya merivilitasi pemikian KHD masih jauh panggag dari api, pemikiran KHD lebih dikenang dan tuangkan dalam bentuk-bentuk parade serta terbordir dengan rapi pada topi-topi. Kelangsungan pemikirannya dalam praktik pendidikan nasional semakin tak terdengar.
Sinergi antara pamong, sekolah dan masyarakat untuk merivilitasi pemikiran KHD sudah seharusnya digalakan, demi mendukung iklim pembelajaran yang menyenangkan, bermakna serta berlandasakan kebudayaan.
Semboyan Ing  Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani tidak lagi hanya terbordir pada topi, tapi  sudah seharusnya diinternalisasikan pada setiap proses pembelajaran dan pendidikan. Meminjam perkataan Cak Nun, dari proses tersebut harapannya akan menciptakana manusia yang merdeka dan berdaulat atas dirinya, sehingga mampu menemukan, memetakan dan memecahakan masalah disekitarnya.
Pertama kali dipublikasin pada 28 April 2018 di qureta.com
0 notes
gilangalfianrizki · 4 years
Text
Diskusi “Apa Sekolahku Sudah Merdeka?”
Sabtu, 7 Maret 2020
 Akhir pekanku di minggu pertama bulan Maret sedikit berbeda. Aku harus bangun lebih pagi untuk bisa hadir di sebuah diskusi di bilangan Taman Siswa. Aku berangkat bersama Retno yang pagi ini mengenakan atasan bunga-bunga, celana kain straight loose dan kerudung mbak-mbak guru. Ditemani gerimis tipis, dan obrolan ringan karena sudah cukup lama kami tidak bertemu, tidak terasa kami sudah berada di pelataran Pendopo Agung Taman Siswa.
Di sela menunggu pembicara datang, Retno membuka lagi obrolan perihal ceritanya selama menjadi di guru hampir enam bulan ini. Banyak sekali yang ia ceritakan, tapi kurang lebih intinya dia mempertanyakan “apa sekolah harus kaya gini sih?”
Selama kurang lebih 30 menit, akhirnya pembicara datang, beliau adalah Bu Wahya yang tidak lain adalah pendiri sekolah dimana hampir 1 tahun ini saya nunut sinau dan mengambil data untuk skripsi saya. Di samping Bu Wahya ada mba Zita, yang merupakan Dosen Sosiatri UGM sekaligus mantan fasilitator di sekolah Bu Wahya.
Diskusi dibuka dengan sambutan yang menggugah kembali pernyataan merdeka dari Ki Hadjar Dewantara, yang dimaknai bebas, tidak terperintah oleh orang lain dan mampu mengatur dirinya sendiri, sekaligus melontarkan pertanyaan sekaligus tema untuk diskusi pagi ini, apa sekolahku sudah merdeka?
Selepas sambutan, moderator membersamai pembicara dan peserta untuk memasuki bahasan pada diskusi pagi ini. Bu Wahya mendapat giliran pertama untuk bercerita tentang apa yang telah dan terus ia bangun. Bu Wahya sedikit bercerita mengenai sejarah berdirinya SALAM dan dilanjutkan pertanyaan untuk seluruh peserta diskusi, “kenapa sih pendidikan harus sama? Padahal latar belakang, kemampuan, situasi dan keadaan setiap wilayah berbeda. Kenapa harus seragam?”
Pertanyaan tersebut pula yang menjadi salah satu dasar berdirinya sekolah yang dibangun bu Wahya. Bu Wahya juga mengkritisi bagaimana praktik pendidikan Indonesia dewasa ini yang hanya berfokus  pada hafalan dan tidak mengarah pada substansi.
Mba Zita kemudian melanjutkan dengan memaknai merdeka sebagai merdeka dari dan merdeka untuk. Merdeka dari berarti harus menyadari bahwa yang bersangkutan telah sadar dan bebas dari belenggu. Merdeka untuk berarti yang bersangkutan harus menyadari merdeka yang ia dapatkan atau usahakan untuk apa.
Akar dari pohon pendidikan menjadi fokus pembicaraannya dalam usaha mengurai masalah kemerdekaan dalam pendidikan saat ini, akar tersebut adalah orientasi diri. Iya orientasi atau pandangan yang mendasari suatu pikiran seseorang. Jadi kalau ditanya apakah sekolahmu sudah merdeka, seharusnya kita terlebih dulu bertanya apakah orientasi diri kita sudah merdeka?
Apabila orientasi diri sudah ada dan mantap, aku rasa geger pendidikan merdeka yang dilontarkan menteri pendidikan tidak akan terjadi. Miris lagi, ketika banyak yang hanya berfokus pada penghapusan UN ataupun penyederhanaan RPP. Tapi tidak memperhatikan subtansi atau kembali menilik apasih yang mendasari pernyataan dari menteri pendidikan tersebut.
Padahal sudah seharusnya pendidikan ya merdeka.
0 notes
gilangalfianrizki · 6 years
Text
PENDIDIKAN IPS DAN MASA DEPAN
Tumblr media
Malam ini saya tiba-tiba berkeinginan untuk menulis mengenai jurusan dimana saya berkuliah. Ini bermula dari perbincangan sore ini dengan beberapa elite global tentang betapa tidak populernya dan terbelakangnya jurusan saya ini. Bahkan jalan kedepannya belum tentu terlihat. Mungki bila dibandingkan dengan jurusan-jurusan lain yang berdirinya unda-undi dengan jurusan saya ini, tentu mereka terlihat lebih mentereng. Pandangan saya ini didasari dengan alumni-alumni jurusan sebelah yang beken-beken, ada yang lanjut kuliah diluar negeri, nempel di banner-banner kampus, ada yang kerja di kementrian, perusahaan besar, tenaga pendidik yang tulisan-tulisannya menjadi rujukan dan dikutip setiap minggunya di koran lokal maupun nasional, ditambah lagi input mahasiswa mereka ini pasti cantik-cantik dan ganteng-ganteng, pinter futsal, selebgram, yang intinya mereka adalah idola kawula muda saat ini. Sekarang saya mencoba melihat jurusan saya, gimana alumninya ? yang saya tau masih banyak yang belum tentu arah, yang lanjut S2 hanya segelintir, yang jadi tenaga pendidik baru beberapa dan honorer, mungkin hanya beberapa juga yang mau ikut progam sarjana mengajar di perbatasan dan pedalaman, dan input mahasiswanya yang cantik dan ganteng itu sangat jarang, dengan jumlah jari saya, mungkin hanya lebih satu atau dua saja. Nah, dari situ saya semakin bimbang dan berpikiran yang tidak-tidak tentang masa depan saya. Mau jadi apa ? apakah saya salah ambil jurusan. Memang saya memilih jurusan ini karena memang yang sekirnaya diterima di PTN, dan saya tidak menganggur, itupun bukan pilihan pertama saya.
Oh ya, jurusan saya ini bernama Pendidikan IPS, mungkin agak asing di sebagian orang, bahkan kalau di cari di google pun, jurusan saya ini berada di list paling bawah. Beberapa minggu lalu pada waktu acara Syawalan dikampus saya duduk bersebelahan dengan bapak-bapak lebih tepatnya simbah-simbah, karena memang sudah sangat sepuh, kalau gak salah dia salah satu guru besar difakultas saya. Beliau tiba-tiba bertanya saat saya sedang nikmat-nikmatnya menikmati risol isi ayam, beliau bertanaya “dari jurusan mana mas ?” saya menjawab “Pendidikan IPS pak (sambil senyum, dan sedikit mengunyah risol)”, lalu beliau ngomong “pendidikan IPS itu mas, kan jurusan yang ada karena adanya kebutuhan dan kebijakan pemerintah akan guru IPS SMP, kalau tiba-tiba pemerintah sudah gak butuh dan ganti kebijakan jurusan mas mungkin bisa dihapus loh”, beliua lalu meninggalkan saya dengan meneteng kotak snack, sementara psikologis begitu terguncang dengan perkataan beliau, Mak jegagig, Mental saya langsung down. Kalau dipikir-pikir, ya bener juga. Mungkin ini lebih parah dari Prodi bahasa perancis ataupun jerman yang tidak bisa mengajar karena mata pelajaran yang dihapuskan pemerintah karena kebijakan kurkulum baru, setidaknya mereka focus dengan keilmuan mereka, bisa bahasa perancis, kalau mau merantau ke perancis mereka bisa ngomong dengan lancar. Lah saya, jika benar-benar dihapus, kemampuan saya apa ? ahli sosiologi, ekonomi atau geografi ? padahal mempelajarinya Cuma setengah-setengah. Pinter bahasa inggris ? Blas ra iso. Apa-apanya tanggung.
Memang jurusan saya ini muncul dari permintaan pasar dimana tidak adanya guru IPS yang memang dari sarjana Pendidikan IPS. Tapi ironinya, pemerintah bahkan tidak tahu kalau ada sarjana lulusan Pendidikan IPS, cek saja di web fakultas saya mengenai jurusan Pendidikan IPS. Inikan kebijakan dan kebutuhan sekarang, jika tiba-tiba pemerintah dan pasar merasa tidak lagi memerlukan sarjana Pendidikan IPS. Lah kan Ciloko Mencik. Lihat saja, tiap menteri ganti saja, pasti aka nada kebijakan baru. Dari sini saya dan juga mungkin teman-teman yang merasa memiliki kesamaan jurusan dengan saya, mungkin harus berfikir kembali untuk ke gramedia, toga mas, ataupun social agency untuk melirik pada rak peternakan, pertanian, maupun bisnis untuk membeli beberapa buku ternak love bird, bertani sawi, ataupun jualan online. Ini dilakukan setidaknya apabila hal yang tidak diinginkan terjadi, saya dan teman-teman sudah tau dan bisa mandiri.
5 Agustus 2017
0 notes