finallyindigo - Tumblr blog

finallyindigo · 4 years

Text

Produk Kecantikan Wajah Beserta Fungsinya yang Harus dipahami wanita

Remaja akan memasuki masa-masa dimana kecantikan wajah harus diperhatikan, banyak remaja yang sudah menitik beratkan kecantikan dengan mengenali makeup apa yang cocok untuk mereka, remaja kalimantan barat atau remaja kalbar juga tidak boleh ketinggalan, untuk itu simak artikel dibawah ini

Kulit wajah yang mulus dan bersinar yang menjadi dambaan wanita bisa diperoleh dengan memakai beragam produk kosmetik. Jenis-jenis produk kecantikan untuk wajah sangatlah beragam dan pemilihannya tidak boleh sembarangan. Memilih jenis produk kecantikan wajah memerlukan tips tersendiri agar riasan wajah menjadi lebih sempurna.

Banyaknya produk-produk kecantikan wajah branded yang beredar di toko-toko mungkin saja membuat kamu bingung. Tak jarang, produk-produk kosmetik wajah memiliki kesamaan yang hampir susah dicari perbedaannya antara yang satu dengan yang lain. Memiliki produk kecantikan wajah saja tidak cukup, kamu pun perlu mempelajari teknik-teknik makeup wajah yang benar agar hasil riasan bisa maksimal.

Banyak blog yang membahas tentang produk kecantikan seperti blog bangfad yang baru-baru ini mengikuti lomba seo di Universitas Tanjungpura dengan tema Untan Membangun ekosistem digital menuju Cyber University

Produk kecantikan apa saja yang cocok untuk wajah? Masing-masing orang tentu mempunyai jenis dan warna kulit yang berbeda-beda. Hal itu sangat mempengaruhi pemilihan jenis produk kecantikan wajah. Pemilihan produk kecantikan wajah yang hendak dibeli pastinya mempertimbangkan pula kebutuhan yang diingkinkan. Untuk itu, sebelum membeli, kamu perlu mengetahui jenis-jenis produk kecantikan wajah beserta fungsinya. Yuk, kita simak di bawah ini!

Jenis-jenis Produk Makeup Wajah dan Kegunaannya

1. Foundation

Foundation atau alas bedak merupakan produk kosmetik dasar yang berguna untuk menutupi bagian wajah yang kurang sempurna seperti bekas jerawat, noda hitam atau warna kulit yang tidak sama. Pemilihan jenis foundation yang tepat tentu harus melihat jenis kulit yang miliki, apakah kulit kering, normal, kombinasi atau berminyak.

Ada beberapa jenis foundation yang bisa kamu pakai, yaitu oil-based foundation untuk kulit kering dan matte foundation untuk kulit berminyak. Selain itu, ada pula liquid foundation yang berbahan dasar air atau minyak dan stick foundation yang sesuai untuk kulit kering dan normal. Foundation yang dipilih berdasarkan warna yang senada dengan kulit bisa diaplikasikan dengan kuas maupun tangan ke beberapa bagian wajah yang diinginkan.

2. Powder

Bedak memiliki beberapa jenis yang pemilihannya disesuaikan dengan jenis kulit. Kulit wajah yang kering dan normal lebih cocok menggunakan jenis bedak padat atau compact powder. Selain itu, ada pula compact powder yang diperuntukkan untuk kulit berminyak. Jenis bedak padat yang memiliki multifungsi yaitu two way cake. Fungsi two way cake berfungsi sebagai foundation dan bedak sekaligus. Artinya, kamu tidak perlu lagi foundation ketika memakai two way cake dengan hasil riasan wajah yang terlihat lebih nyata dan tahan lama.

Untuk yang memiliki kulit berminyak, bedak tabur atau loose powder yang berbentuk serbuk atau bubuk lebih cocok digunakan. Sayangnya, loose powder kurang praktis digunakan karena kemungkinan serbuk bedaknya bertebaran keman-mana. Selain itu, ada pula bedak glitter atau shimmering powder yang berupa bedak tabur bercampur dengan glitter untuk riasan wajah yang lebih cemerlang dan berkilau.

3. BB Cream

Apa fungsi BB cream? Bagi wanita berusia muda, BB cream menjadi pilihan favorit karena memiliki banyak kegunaan yang bisa membuat kulit menjadi lebih halus dan bercahaya. BB cream yang merupakan singkatan dari blemish balm atau beauty balm befungsi untuk memperbaiki dan mempercantik tampilan wajah.

Kandungan BB cream terdiri dari tabir surya (UV protection), pewarna kulit wajah, dan pelembab. Selain itu, BB cream dengan teksur yang lebih ringan dari alas bedak juga memiliki kandungan bahan-bahan alami seperti vitamin E sebagai anti oksidan untuk menangkal radikal bebas akibat polusi. Dengan tekstur yang lebih ringan dari alas bedak, BB cream lebih mudah diaplikasikan di wajah tanpa harus repot.

Selain itu, BB cream mempunyai kandungan squalane moisturizer untuk melembabkan kulit, dan kandungan esktrak bahan alami untuk mencegah penuaan. BB cream tak cuma berfungsi sebagai foundation, tapi juga bisa untuk menutupi noda, menyamarkan kantung mata, dan sebagai pelembab.

4. CC Cream

Produk kecantikan wajah yang merupakan penyempurnaan dari BB cream yaitu CC cream. Berbeda dengan BB cream, CC cream yang merupakan singakatan dari color correcting memiliki formula yang lebih ringan dibandingkan dengan BB cream atau alas bedak lainnya. Sesuai dengan namanya, CC cream memiliki fungsi untuk menyamarkan warna kulit wajah yang tidak merata akibat adanya perbedaan warna pada beberapa bagian wajah.

CC cream menjadi pilihan yang tepat buat kamu yang memiliki masalah kulit seperti kemerahan atau pigmentasi, iritasi pada wajah, kerutan, dan wana kulit yang tidak rata. Salah satu kandungan CC cream yaitu lycopene mempunyai khasiat untuk mengurangi warna kemerahan pada wajah. Selain itu, kandungan vitamin C pada CC cream memberikan nutrisi pada kulit sehingga membuat wajah kamu tampak terlihat lebih segar dan bercahaya. Manfaat lain dari CC cream yaitu sebagai pelembab, melindungi kulit wajah dengan kandungan tabir surya, menutupi bekas jerawat, dan sebagai pengganti alas bedak.

5. Highlighter

Mau hidung kamu terlihat mancung? Highlighter, sering disebut juga dengan illuminator, merupakan produk kosmetik wajah yang berfungsi untuk menonjolkan tulang di wajah. Bagian wajah yang ditonjolkan dengan highlighter yaitu di sekitar pipi, dahi, dan hidung. Nah, dengan highlighter ini, hidung kamu akan berkesan lebih mancung tanpa harus menggunakan shading yang berlebihan.

Ada beberapa jenis highlighter yang bisa kamu pakai yaitu yang berbentuk, cair, padat maupun stick. Pemilihan jenis highlighter itu bisa disesuaikan dengan kondisi kulit kamu. Misalnya buat kamu yang memiliki kulit kering, jenis highlighter yang pas adalah yang berbentuk cair. Sedangkan highlighter berbentuk padat cocok digunakan untuk kamu yang memiliki kulit berminyak.

6. Blush

Mau pipi kamu terlihat lebih cerah merona? Produk kosmetik wajah yang bisa membuat wajah kamu kelihatan lebih cerah merona yaitu blush on. Sebelum memakai blush on, alangkah baiknya mengetahui jenis warna yang paling cocok buat wajah kamu. Pemilihan warna blush on tentu saja dipengarui oleh warna kulit yang kamu miliki.

Untuk kamu yang berkulit terang, warna blush on yang paling sesuai yaitu pink muda atau peach. Warna pink muda akan membuat wajah kamu tampak merona kemerahan namun tetap terlihat natural. Blush on dengan warna peach atau mauve cocok bagi kamu yang berkulit medium. Untuk yang berkulit undertone, warna blush on yang pas yaitu bronze, rose, atau orange peach. Sedangkan blush on berwarna cokelat, merah atau cocoa lebih sesuai untuk kamu yang berkulit gelap agar terlihat lebih hidup.

7. Primer

Produk kosmetik face primer seringkali terabaikan namun sebenarnya memiliki fungsi yang bisa memberikan perbedaan besar pada penampilan makeup secara keseluruhan. Primer merupakan semacam lapisan dasar yang diaplikasikan pada wajah sebelum memakai alas bedak atau foundation. Pemakaian primer baik yang transparan maupun berwarna yang tepat mampu membuat riasan wajah menjadi lebih sempurna dan tahan lama. Face primer biasa dipakai dengan cara memulaskan secara merata pada bagian sekitar hidung, dagu, dan pipi.

Masalah kulit berminyak dapat diatasi dengan memulaskan face primer pada bagian alis, samping hidung hingga dagu. Asal kamu tahu, primer juga bisa digunakan untuk menyamarkan jerawat, pori-pori wajah dan noda lain pada wajah. Caranya yaitu dengan mengoleskan eye primer pada bagian wajah yang berjerawat atau pada bagian lain yang bernoda sebelum menggunakan foundation atau concealer. Setelah itu gunakan sedikit bedak agar efek halus pada wajah yang dihasilkan lebih sempurna.

8. Concealer

Sudah merias wajah tapi hasilnya masih kurang sempurna? Tenang ladies, masih ada concealer dengan bentuk cair, padat atau stick yang fungsinya untuk menutupi kekurangan di wajah. Flek hitam, bekas jerawat, lingkar hitam pada mata, dan kantung mata bisa diatasi dengan memoleskan concealer pada beberapa bagian wajah. Dengan penggunaan concealer yang tepat, hasil riasan wajah kamu akan terlihat sempurna dan permukaan kulit menjadi tambah mulus.

Concealer memiliki tingkat ketebalan dan kekentalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan primer atau foundation. Cara pemakaiannya pun hanya pada beberapa area wajah yang perlu ditutupi dengan mengaplikasikan foundation terlebih dahulu. Selain itu, concealer juga bisa digunakan sebagai highlight dan contour untuk memberikan dimensi pada wajah agar tidak terlalu flat.

9. Moisturizer

Pelembab wajah atau moisturizer merupakan produk kosmetik wajah yang pasti sering digunakan oleh cewek untuk menjaga kelembaban kulit. Kandungan yang dimiliki moisturizer seperti mineral dan vitamin yang berguna untuk melembabkan wajah. Selain sebagai pelembab, moisturizer mempunyai banyak manfaat yang berguna untuk melindungi kulit wajah dari sinar UV, menutrisi kulit wajah, mencegah kulit wajah menjadi kering. Tak cuma itu, mositurizer juga dapat menghilangkan komedo, membersihkan wajah dari debu dan polusi serta mencerahkan dan menyegarkan kulit wajah.

Pemakaian moisturizer perlu disesuaikan dengan aktivitas kamu sehari-hari. Hal itu untuk menghindari adanya iritasi dan efek negatif lainnya saat moisturizer diaplikasikan pada kulit. Selain itu, moisturizer dipakai dengan cara membersihkan wajah terlebih dahulu untuk menghindari penyumbatan pada pori-pori kulit. Moisturizer ini digunakan sebelum pengaplikasian produk kosmetik lainnya dan dipilih berdasarkan jenis kulit yang kamu miliki.

10. Bronzer

Apa kegunaan bronzer? Sekilas bronzer hampir sama dengan blush on, namun keduanya memiliki perbedaan. Jika blush on lebih berfungsi untuk menonjolkan rona pipi, maka bronzer berguna untuk menampilkan keseluruhan riasan wajah agar tampak semu kecoklatan. Dengan kandungan partikel pemantul cahaya, bronzer yang diaplikasikan di wajah membuatnya terlihat lebih natural terutama saat terkena paparan sinar matahari.

Bronzer biasanya diaplikasikan di beberapa bagian wajah yang sering terkena sinar matahari seperti dahi bagian kanan dan kiri, tulang hidung, tulang pipi, dan dagu. Untuk mendapatkan hasil terbaik, bronzer bisa digunakan setelah cuci muka dan pastikan kondisi wajah sudah dalam keadaan kering.

Cara pengaplikasian bronzer yaitu dengan memakai kuas berukuran sedang dan lembut untuk memulas bagian-bagian wajah. Riasan wajah dengan bronzer akan lebih sempurna jika tidak memakai alas bedak yang terlalu banyak.

Sekian artikel atau tulisan ini yang dikutip dari highlight.id dan penulis sangat berterima kasih atas artikel yang bagus ini,

#kecantikan remaja edukasi

0 notes

finallyindigo · 4 years

Text

Untan Membangun Ekosistem Digital Menuju Cyber University

Apa Itu Ekosistem Digital dan Cyber University?

kosistem digital berasal dari dua kata yaitu ekosistem dan digital. Ekosistem memiliki pengertian yaitu keadaan khusus tempat komunitas suatu organisme hidup dan komponen organisme tidak hidup dari suatu lingkungan yang saling berinteraksi. Sedangkan kata “digital” menurut KBBI yaitu berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran. Jadi, jika ditarik suatu pengertian, bahwa ekosistem digital yaitu lingkungan digital berbasis teknologi informasi (TIK) yang di dalamnya terdapat orang-orang yang saling berinteraksi secara online, pemanfaatan program dan aplikasi tertentu. Ekosistem digital ini sebagai penunjang berdirinya suatu kampus yang lebih berwarna, penuh ide, dan sebagai infrastruktur dalam pengembangan media informasi kepada civitas akademik dan masyarakat umum.

Sementara itu, cyber university bisa diartikan sebagai pendidikan canggih di era digital. Evolusi digital dapat dimulai dari sistem manajemen universitas, database mahasiswa, pelaporan keuangan universitas, proses akademik, e-scoring, perpustakaan digital, laporan tugas mahasiswa, dan lainnya, (USAID, 2013). Kemudian menurut Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti, Ainun Na’im, seperti dilansir dari situs resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional, bahwa cyber university harus dipandang sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, jangan dipandang sebagai alat yang memudahkan, tetapi untuk memotivasi dalam mengikuti pembelajaran yang berbasis pada internet demi mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik lagi.

Sejarah Berdirinya Universitas Tanjungpura

Di Kalimantan Barat terdapat beberapa Universitas dan Perguruan Tinggi baik di pusat kota maupun di tingkat dua, dari beberapa perguruan tinggi tersebut terdapat satu universitas yang berdiri sejak tahun 1959 dan mendirikan dua fakultas pada masanya yaitu fakultas Hukum dan Tata Niaga dan masih merupakan Universitas Swasta yang pertama di Kalimantan Barat.

Sembilan Fakultas di Universitas TanjungpuraFakultas Hukum

Fakultas Hukum merupakan Fakultas pertama yang dibuka sejak berdirinya cikal bakal Universitas Tanjungpura bersamaan dengan Fakultas Tata Niaga yang searang menjadi Fakultas Ekonomi.

Pada tahun 2020, Fakultas Hukum ingin menjadi lembaga pusat studi hukum di kalimantan barat, yang menghasilkan sumber daya manusia yang lebih baik yang dapat bersaing di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat direncanakan dan melanjutkan, Fakultas Hukum terus menghasilkan lulusan yang baik dengan kompetensi akademik yang tinggi.

Fakultas Hukum mempunyai program studi Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Keperdataan, Bagian Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Ekonomi, Bagian Hukum Internasional

Program Magister, Program Studi Magister Ilmu Hukum (S2) dikelola oleh Ketua dan Sekretaris Program Studi, terdiri atas Konsentrasi Hukum Pidana, Konsentrasi Hukum Bisnis, Konsentrasi Hukum Otonomi Daerah; dan/atau Konsentrasi Lain yang dapat dikembangkan sesuai perkembangan ilmu hukum

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Sama halnya dengan Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Bisnis juga merupakan Fakultas tertua di Universitas Tanjungpura yang saat itu diberi nama Fakultas Tata Niaga. Fakultas Ekonomi terus mengembangkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di Kalimantan Barat untuk menjadi Pusat Informasi Ekonomi di Kalimantan Barat dan juga menjadi lembaga yang selalu menghasilkan lulusan yang kompeten untuk kondisi ekonomi yang lebih baik di Indonesia.

Sejak berdiri sampai sekarang, FEB terus berkembang (Tabel 1.8). Bermula dengan dua jurusan yaitu Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) dan Jurusan Manajemen (MJ), pada 1995 berdirilah Jurusan Akuntansi (AK) sehingga FEB memiliki tiga jurusan sampai sekarang. Ketiga jurusan tersebut masing-masing memiliki program studi sarjana (Strata-1), magister (Strata-2) dan doktor (Strata-3) kecuali Jurusan Akuntansi yang belum memiliki program studi doktor.

Istilah Program Studi baru dimulai pada 1996. Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada mulanya hanya memiliki satu program studi Strata-1 yaitu Ekonomi Pembangunan sementara program studi Ekonomi Islam menyusul pada 2014. Jurusan Manajemen dan Akuntansi masing-masing memiliki program studi Strata-1 Manajemen dan Akuntansi.

Fakultas Pertanian

Fakultas Pertanian didirikan tanggal 20 Mei 1963 bersamaan dengan perubahan Universitas Daya Nasional menjadi Universitas Negeri Pontianak (UNEP).

Pada tahun 2020, Fakultas Pertanian ingin menjadi pusat teknologi informasi dalam ilmu pertanian. Fakultas Pertanian terus mengembangkan ilmu pertanian lingkungan dan lanjutan di daerah lokal atau nasional serta berkontribusi aktif kepada masyarakat denga terus melakukan inovasi dan implementasi dalam teknologi ilmu pertanian dengan tujuan memajukan bangsa.

Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura sampai saat ini memiliki Jurusan dan Program Studi yang terdiri dari Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan (Program D3), Program Studi Agronomi / Agroteknologi, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Program Studi Peternakan, Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Program Studi Magister Agroteknologi.

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian meliputi Program Studi Agribisnis, Program Studi Magister Manajemen Agribisnis (MMA) Sedangkan Jurusan Ilmu tahan mempunyai Program Studi Ilmu Tanah

Fakultas Teknik

Fakultas Teknik terus menghasilkan lulusan yang kompeten untuk kebutuhan lokal dan regional. Fakultas Teknik mendidik mahasiswa untuk memiliki keterampilan yang baik dalam bidangnya, menguasai teknologi, dan mengkontribusikan kreativitas mereka untuk kehidupan sosial guna kemjuan bangsa dan terus mengembangan penerapan ternologi dalam pembangunan.

Fakultas yang memiliki visi untuk menjadi pusat pendidikan tinggi keteknikan dan pusat unggulan ilmiah dalam mengembangkan potensi lokal di Kalimantan Barat yang menghasilkan lulusan yang bermoral Pancasila, berkarater, berwawasan dan berdaya saing nasional, regional dan internasional ini mempunyai 13 Program Studi yaitu: Program Studi Teknik Untan,cArsitektur, Informatika, Perencanaan Wilayah Kota, Teknik Sipil, Magister Teknik Sipil, Teknik Elektro, Magister Teknik Elektro, Teknik Lingkungan, Teknik Industri, Teknik Kelautan, Teknik Kimia, Teknik Mesin dan Teknik Pertambangan.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura didirikan pada tanggal 14 September 1965, secara kronologis Fakultas ini merupakan Fakultas yang kelima dalam lingkungan Universitas Tanjungpura sesudah Fakultas Hukum, Ekonomi, Pertanian dan Teknik.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik mempersiapkan lulusan yang kompeten untuk kebutuhan lokal dan nasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada tahun 2020 ingin menjadi lembaga pusat Politik, Sosial, dan Budaya di Kalimantan Barat khususnya dan Indonesia secara umumnya dengan tujuan selalu mempertahan kan nilai2 luhur serta aspek aspek sosial dalam kehidupan berpolitik atau sebaliknya.

Fakultas FISIP Untan memiliki Program Studi Strata 1 Ilmu Administrasi Negara, Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Ilmu Komunikasi, Hubungan Internasional, Sosiologi, Pembangunan Sosial, Antropologi dan Strata-2 serta Diploma-3.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Fakultas Pendidikan dan Pelatihan Guru sebagai lembaga pendidik menghasilkan guru atau pendidik dengan melakukan pendidikan dan penelitian teladan yang berimbang dengan efektif, restrukturisasi, dan sistem deregulasi.Sebagai fakultas dengan mahasiswa terbanyak di harapkan dapat meningkatkan taraf kepedulian terhapap pendidikan masyarakat Kalimantan Barat.

Fakultas Kehutanan

Pada tahun 2020, Fakultas Kehutanan ingin menjadi lembaga unggul di penelitian dan pengembangan ilmu kehutanan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Fakultas Kehutanan juga memproduksi sarjana profesional yang kompeten untuk kebutuhan lokal, nasional, dan internasional.

Fakultas Kehutanan Untan mempunyai visi untuk menjadi Pusat Peyelenggaraan Pendidikan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang Unggul Berbasis Sumber Daya Hutan Tropis Untuk Menghasilkan luaran Yang Mampu Bersaing Di Tingkat Nasional, Regional Maupun Internasional.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Sebuah lembaga ilmu pasti dan ekstensi yang menghasilkan lulusan dengan karakter berkualitas yang mampu bersaing di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Kami mendidik, meneliti, dan mengembangkan ilmu pasti dalam lingkungan.Tujuan kami adalah terus berinovasi dan mengembangkan iptek guna kemajuan riset dan teknologi di masyarakat

MIPA mempunyai Program Magister dengan Program Studi Ilmu Kimia sedangkan untuk Strata-1 Fakultas ini mempunyai program studi Biologi, Fisika, Ilmu Kelautan, Kimia, Matematika, Rekayasa Sistem Komputer, Sistem Informasi, Geofisika dan Statistika.

Dengan mengusung visi Pada tahun 2020 menjadi pusat penyelenggara pendidikan dan pengkajian ilmu dasar dan terapan yang berbasis sumber daya tropis untuk menghasilkan luaran yang berkarakter, dan mampu berkompetisi di tingkat daerah, nasional serta internasional.

Fakultas Kedokteran

Menghasilkan lulusan berkualitas tinggi yang kompetitif dan profesional di regional, nasional, maupun internasional untuk mewujudkan Kalimantan Barat yang lebih baik. Kami membimbing siswa untuk mengembangkan potensi mereka dengan memfasilitasi mereka dengan ilmu pengetahuan dasar dan menyelesaikan penerapan dalam masalah kesehatan. Kami juga mengembangkan pengetahuan profesional dan keterampilan untuk meningkatkan kinerja lulusan.

Fakultas Kedokteran Untan mempunyai visi untuk menghasilkan sarjana dan profesional yang berkualitas tinggi dan non kompetitif di tingkat regional, nasional, dan internasional untuk mewujudkan Kalimantan Barat sehat pada tahun 2020.

Program studi pada Fakultas Kedokteran program studi Strata-1 Kedokteran, Keperawatan, Farmasi serta dilengkapi dengan pendidikan profesi.

Sumber: http://www.bangfad.com/untan-membangun-ekosistem-digital-menuju-cyber-university.html

#untan cyber university digital

0 notes

finallyindigo · 4 years

Text

“The Snare” Captures How Women Internalize Trauma

About two thirds of the way through The Snare, Elizabeth Spencer’s seventh novel, the protagonist, Julia Garrett, has the following exchange with her uncle, Maurice (who speaks first):

“Don’t let the past pile up, darling. It’s bad, but it’s gone and we can’t help it. Think of the wake of the boat.”

“Oh, no, that won’t work . . . it’s all around . . . around. . . .”

The line is quintessential Julia, whose every word seems matched not just to the present moment but to a personal inquiry or revelation. In this scene, she is specifically grieving the sudden death of her former lover, a wealthy (and married) Mississippi man named Martin. More broadly, though, she is articulating the root of her existential problem—the thing that, in the course of 400 pages, carries her to the brink of self-destruction—which is that Julia cannot, perhaps does not want to, escape her traumatic past.

Spencer’s gift for characterization reaches enviable depth in The Snare. On the surface, Julia Garrett is a society girl who pursues fulfillment in the seedy underbelly of post-war New Orleans. But this overarching plotline is anchored by the protagonist’s interior turmoil, which is both nebulous and rife with conflict. We spend a lot of time in Julia’s head, reflecting on her past and watching her cobble together abusive events with survivalist instincts. Chief among her preoccupations—what prompts her routine flashbacks and uncertain streams of consciousness—are her abandonment by her father and her relationship with her great-uncle and Maurice’s father, Henri “Dev” Devigny.

Though long dead at the start of the book, Dev is the subject of Julia’s love and revulsion, the figure who inspires her to consider herself both a vibrant, sensual “creature” and a whore. For Julia, Dev is “a constant heavy sun along the horizon of her spirit self,” both illuminating and blinding, comforting and oppressive. The implication is that Dev sexually manipulated Julia from the age of six, but Spencer never states this explicitly. Rather, she hews to the intimate third-person perspective that dominates the novel, an authorial choice that creates narrative tension and feels authentic to the way many women process sexual trauma. Julia cannot name what happened to her, so Spencer resists rendering it in categorical terms.

Spencer, who died in December, at age 98, had a penchant for writing characters who are concerned with their pasts. Frequently, they conduct themselves within their own historical contexts, recalling family sagas and ancient grievances amid ordinary affairs—an engagement party, a Christmas pageant, a vacation in the Blue Ridge Mountains. Often, they are Southern, reflecting Spencer’s own heritage as a native Mississippian, and as a person who, like me, was born into a cultural obsession with bearing and unravelling legacies. Early in her career, critics likened her to Faulkner, though she resisted the comparison, citing her subject as the sole similarity. In 1989, she told The Paris Review, “If my material seems like his, as I say, it must be that we are both looking at the same society.”

Read it: Ekosistem Digital

When she left the South—for Italy and, later, Canada—her fictional landscapes shifted, too, though her interest in familial burdens and societal constraints remained constant. For some readers, it was this focus that cemented her as a next-generation Faulkner. Others saw glimmers of Henry James in her tales about Americans abroad. As I make my way through her astonishing body of work, I find myself thinking most often of her friend Alice Munro, so penetrating is her insight into female experiences of complex class structures and rigid social mores.

And yet, despite the fact that her name often appears in grand company, and despite her prize-winning canon that includes nine novels, a memoir, and six collections of short stories, Spencer is largely overlooked in contemporary literary circles. Her best-known work is The Light in the Piazza, a novella she published in 1960 and later called her albatross. “It probably is the real thing,” she said. “But it only took me, all told, about a month to write, whereas some of my other novels—the longer ones—took years.”

Her trauma exists in the backdrop of her quest for self-actualization, an honest reflection of how many women move through their lives.

The Snare is one such novel. It was published nearly five decades ago, but I first encountered it late last August, while entrenched in a reading cycle that seemed pulled from a graduate seminar in #MeToo-era literature. Piled with books like Susan Choi’s Trust Exercise, Jia Tolentino’s Trick Mirror, and Julia Phillips’s Disappearing Earth, my desk signaled my devotion to contemporary examinations of gender and power. In this sense, I was primed to appreciate The Snare as a significant book, one that explores female identity with nuanced precision, and one that captures the messy and prolonged impact of sexual trauma. Immediately, I was drawn to Spencer’s deep exploration of Julia Garrett’s psyche and the way she wields narrative ambiguity to convey the detachment and confusion with which many women internalize abusive events. For all the broadening of conversations around sexual violence that has occurred over the past two years—for all the brilliant books I’ve consumed that deal explicitly and painfully with the subject—I am aware that navigating the aftermath of such a trauma is confusing and, often, intensely private. As she considers the qualities that separate her from her upper-crust society and propel her toward an electric yet dangerous and ultimately violent lifestyle, Julia Garrett struggles in isolation to understand her past. It is not surprising that Dev finds his way into her tortuous musings. “What was it Dev, the old man, had said?” she thinks, at one point. “‘Passion is what you’ve either got or haven’t got. . . .’ Out of such scraps she had stuck her own truth together.”

In many ways, The Snare is a feminist novel, far ahead of its time in its handling of female sexuality and desire, as well as the influence of early and unwanted experiences. Among works aimed at deepening mainstream discussions about sexual exploitation, it becomes essential reading; but one cannot claim the subject as the book’s central concern. Probably, this is why I like it so much. What occurred between Dev and Julia slinks through her mind, never revealing itself as a certain memory and yet never receding completely. Her trauma exists in the backdrop of her quest for self-actualization, which strikes me as an honest reflection of how many women move through their lives.

It is worth noting that what is so potent to the contemporary reader barely registered with the book’s initial critics. One needs only a cursory grasp of cultural history to imagine why. The Snare was first published in 1972, a year before the term “domestic violence” entered the American lexicon, and two years before Barnes v. Train attempted to tackle workplace power dynamics. Issues of child sexual abuse hardly resonated in the public consciousness and would not garner substantial legal attention until the enactment of the Child Abuse Prevention and Treatment Act, in 1974. Spencer’s novel incorporates these themes to varying degrees, usually with the type of subtle probing that suits the introspective Julia. Specifically, Spencer’s deliberate blurring of Julia’s past trauma elicited confusion among reviewers in an era when Americans had, at best, an inchoate appreciation for the sexual autonomy of women and girls.

The novel received a lackluster review in the New York Times and a misogynistic one in Kirkus Reviews. (What the Times described as narrative complexity Kirkus labeled as melodrama, declaring that The Snare was not far removed from “Southern belle lettres.”) The Georgia Review picked up on the necessity of Spencer’s painstaking attention to her protagonist’s history and interiority—elements the Times alternatively described as “the novel’s most damaging flaw”—but determined that the structure was too elevated for the book’s thematic content. This, too, has a sexist ring, considering the great extent to which female desire propels the storyline.

The blurring of Julia’s past trauma elicited confusion in an era when Americans had an inchoate appreciation for the sexual autonomy of women and girls.

Among these pieces of criticism, what was largely agreed upon was the plot. In great or spare detail, each described the events of the book in a similar fashion: Julia Garrett, the adopted niece of Maurice and Isabel Devigny, a respectable New Orleans couple, is tired of her well-bred lifestyle. She seeks excitement with Jake Springland, an aspiring musician and somewhat ambivalent disciple of a religious zealot. With Jake, Julia enters a world of late-night jazz shows and drug dealers and, soon, murder. The novel begins in the 1950s and spans at least a decade, thrusting a clash of societal standards into the backdrop of Julia’s experience. (Her roommate, Edie, a girl from “some dusty little dried-up town,” is her prudish foil.) Julia is, as the book’s title suggests, resisting the snare of the stifling and polite realm in which she was raised; but she is caught nonetheless by a confluence of her own impulses.

The preeminent Spencer scholar, Peggy Prenshaw, further elucidated the central themes of The Snare in 1993, when she wrote an introduction to the book on the occasion of its paperback release. “Julia Garrett,” Prenshaw writes, “seems a misfit, a woman enlivened by sexual experience and nearly destroyed by it, a woman bored by status-seeking and acquisitiveness, whose indifference brings her to the edge of hunger and homelessness.” She goes on to explain that the novel’s setting in New Orleans mirrors Julia’s seductive power and dueling instincts. Like Julia, Prenshaw says, the city is steeped in manners and tradition, but beneath its glossy exterior it is an exotic, indulgent place.

Prenshaw also references the novel’s mixed critical reception, noting the issues reviewers had with narrative ambiguity, but she does not fully explore the resonance of this authorial choice with the book’s violent plot points. Spencer’s rendering of Julia’s darkest moments is frenetic and fragmentary, allowing certain mysteries to rest in the reader’s mind as uncomfortably as they do in Julia’s. In these scenes, the events are clear, but their details are often foggy, punctuated by an image here, a sensation there. We see, for example, the flash of a blade held to Julia’s neck and glimpse, through euphemistic language, the shame she associates with what follows. As in, “After that . . .” and “I’m just going to call it an awful headache.” For Julia, what is contained in the words that and it is unspeakable, even as it holds dominion over her identity.

Crucially, vagueness distinguishes Julia’s memories of her relationship with Dev. Speaking of her protagonist in 1990, Spencer said, “Her early experience with her guardian mentor, . . . a French Cajun man who may or may not have seduced her, had a profound effect on her.” Prenshaw interprets this effect decisively. “The indisputable fact seems to be that Julia does not regard the relationship with Dev as injurious. If corrupting, it was a necessary and inevitable introduction to the ‘crooked world.’” This statement aligns imperfectly with my own impression, because it ignores the yearning that is so critical to Julia’s idea of herself. She does not want to regard the relationship with Dev as injurious. She wants to imagine it as inevitable.

Spencer makes clear that, for Julia, it is easier to live with a terrible thing when it is remembered indistinctly. Julia’s past with Dev haunts the novel because it is essential to how she views herself, and yet she is unable to define it. Violence and sexual exploitation pervade her adult life, too, and yet she never names it as such. Rather, she absorbs it all with a pronounced detachment, as though each experience is the logical conclusion of who she is in the world. After the doctor for whom she briefly works as a receptionist chases her around the office, she thinks: “. . . life was more peaceful than not with him, now that he’d made his pass.” After Jake Springland, her musician boyfriend, rapes and beats her, she thinks: “Why didn’t I find somebody good?” and then concludes that “she hadn’t because she hadn’t wanted to.” She is kidnapped twice, thanks to her association with Jake, and subjected to torture. After the first time, she thinks: “It was something in me . . . Something that wanted to go down forever, to hit the absolute muddy bottom where there’s nothing but old beer cans, fishhooks and garbage.” After the second time, she thinks: “She would gladly live like an animal, simply, instinctively, for the day only.”

For Julia, it is easier to live with a terrible thing when it is remembered indistinctly.

Julia’s enthusiasm for New Orleans and its various vices—her sensual and subversive nature—is palpable and seemingly within her control. From the start she is an intelligent woman who knows her sexual power. But as we navigate the conflicting aspects of her mentality, we learn that her empowerment is marked by shame. At times, she reduces herself to her sexuality. Dressing for a courtroom gallery: “Might as well try to de-sex herself, she thought, as stamp out her natural looks.” Her early sexualization by Dev forms a critical aspect of her identity and self-worth, convincing her that she is incongruous with anything virtuous. She thinks, “The idea of goodness beckons forever to those who can’t have it, but once they catch up to it by luck or accident, they immediately feel uneasy, restless, miserable.”

This vivid interiority is what is largely missing from any summary or critical analysis of The Snare. How Julia decodes her own experiences is a vital aspect of the novel that seems only to have puzzled reviewers in 1972 and failed to thoroughly engage scholars in the following decades. I only learned of the book because several people recommended it to me. Each had read my work and assumed I would appreciate Spencer’s meticulous characterization of Julia Garrett. But at some early point in my first reading, Julia began to resonate as more than a technical feat. We are wildly different people, and yet I identify with her tendency toward self-examination through imperfect recollections. I possess the kind of memory that blurs even the recent past. It recalls the worst things dimly and everything else with rosy nostalgia. This has the effect of making me suspicious of my negative or painful emotions. I am unskilled at relaying the detailed origins of my deepest wounds without a large amount of ambiguity. Spencer captures this deficiency, too. After Jake assaults and abandons her, Julia says, “I don’t think I was even born a virgin.” Her effort to make sense into the plainly nonsensical seems to me like an inherited impulse, something derived from generations of cultural stagnation around gender-based violence.

Months before her death, I spoke with Elizabeth Spencer over the phone. She talked about the months she spent in New Orleans, researching the novel’s setting, and recalled her use of narrative ambiguity as the deliberate choice I had assumed it was. And yet, I absorbed from her a sense that her fixation on Julia’s past diverged from my own. “I don’t spend too much time psychoanalyzing,” she said. I felt somewhat disappointed by her answer, at first. So much of Julia’s persona appears drawn from an intellectual understanding of the functional ways in which human beings process trauma. But maybe Spencer’s more intuitive approach is what accounts for her novel’s brilliance. Perhaps her resistance to determining direct cause and effect is what allowed her to craft such a complicated and authentic character. Julia is not whittled into a particular set of psychiatric ailments, and her interior current is rich and evolving, never cyclical, never wholly diminishing. Spencer allows her protagonist a limitless quality, that of a woman constantly interpreting and reinterpreting her place in the world through her experiences. Who among us isn’t?

About the Author Caroline McCoy’s work appears or is forthcoming in The Georgia Review, Blackbird, Lit Hub, The Bitter Southerner and others. She has received residencies and fellowships from Crosstown Arts, in Memphis, and Emerson College, where she earned her MFA in 2019.

Source: electricliterature.com/the-past-is-present-in-the-snare/

0 notes

finallyindigo · 4 years

Text

How to Apply Liquid Foundation

Liquid foundation is one of the ficklest products to apply. Ever. Not only is its basic application a chore, but even after you feel like you have a routine down, the smallest hiccup — anything from product buildup on your brush to a stray brush stroke — can throw off your entire look for the rest of the day.

But after years (literally, it has been that long) of trying different methods, brushes, and foundations, I think I finally have it down to a handful of simple steps that can make all the difference in the world.

1. Grab your favorite liquid foundation

Grab your favorite liquid foundation. Now, I almost always choose a full coverage one, as this method will sheer it down a bit, making it suitable for most skin types and needs. Pour or pump an amount about the size of a nickel or quarter (this will vary depending on the condition of your skin) onto the back of your hand or a palette.

2. Take a dense, flat-top brush

Take a dense, flat top brush (my favorite is the Sigma F80), and dip it into the foundation. Dot this onto your nose, the cheeks, around the borders of your face, and your chin (one dip should pick up enough product to lightly dot around all of these areas).

3. Starting at the nose…

Starting at the nose, stipple in small, tight areas, moving to the cheeks and the borders of the face, stippling product inward towards the center. Repeat this process for your chin.

Gue is a 17-year-old, oddly tall guy whose love of all things skincare, makeup, and fashion started when he entered the modeling world at 14. Since then, he’s established himself as a freelance makeup artist in the theatre and fashion worlds, and started his own blog to preach the wonders of orange eyeshadow, Asian skincare, and designer fragrances to the masses. You can also follow Sam on Twitter.

4. With what is left on the brush…

With what is left on the brush, stipple over the area above your lips and below your mouth. Avoid the area where you get smile lines for now (this will look weird, but we’ll correct this malfeasance later.

5. If you regularly use foundation under your eyes…

This next step is only if you regularly use foundation under your eyes, rather than or in conjunction with concealer. If you don’t, skip to the next step. Take a bit of foundation on the outer edge of your brush, and dot lightly under the eyes, concentrating the product at the lower inner corners where your under-eyes are darkest. Stipple lightly over this area, taking the foundation applied under the eyes up and onto the eyelid and brow bone.

6. Stipple across your forehead and into the hairline

You should have about 1/3 of the product left. Take some on your brush, and stipple it across your forehead and into the hairline (almost as bad as the jawline is a blatant change in color at your hairline, which many people tend to neglect). Your entire face should now be covered (except for the small area around your smile lines).

7. Dot under your jaw line

Take the remainder of the product on your brush, and dot it under your jawline. Stipple this upwards to connect with the product on your face, and downwards slightly to fade it into your neck. Stipple lightly where your ears connect to your face.

8. Stipple all over your face

Stipple all over your face, using any excess product to deal with problem areas. This distributes the foundation evenly. You may now go over your smile line area, which will only be covered with a small amount of product, greatly reducing the chance of creasing.

9. Buff in a circular motion

After you have stippled all over your entire face once, lightly buff in small circular motions using the same brush. This blurs imperfections and removes any excess product, and melds the product with your skin, giving it a natural skin-like texture. Make sure to buff under your eyes, over your eyelids, and around your hairline to blend the product into the tight borders surrounding these areas. Keep buffing until the foundation starts to feel a bit tacky (it usually takes 2-3 passes over my entire face and under my jaw to get to this point).

10. Apply any cream face products now

Apply any cream face products (blush, highlighter, contour, etc.)

11. Let your foundation set

This step is crucial. Let the foundation set for 3-5 minutes. Take a tissue, and blot all over your face, avoiding the nose if you have large pores. Pay special attention to the eyelids, lines under the eyes, and the corners of the eyes (where excess product will definitely have creased and collected). If your foundation tends to set into your smile lines, you may wish to buff very lightly over this area once more using the same brush as before.

12. Apply loose powder with a puff

Apply loose powder with a puff, rolling and pushing it into the skin.

13. Finish with any other powders and blend

Apply any other powder products (blush, bronzer, contour, etc.), and blend well.

This may seem a tad complicated, but ignoring the setting times, this whole thing takes 5-7 minutes at most, and results in smooth, even, porcelain skin.

If you wish to sheer down this application even further, dampen your brush slightly before application to prevent excess product from being absorbed by the bristles. Make sure to always use a (relatively) clean brush for application (I tend to wash mine every 3-4 days) to avoid caking. And never forget to set and blot!

With this quick tutorial under your belt, you’ll always be able to put your best face forward.

Liked this post? Subscribe!

If you liked this tutorial and just generally love makeup and beauty tips, subscribe to the Makeup and Beauty Blog newsletter. You’ll get makeup tips like this one delivered hot and fresh to your inbox. 🙂 See you soon, beautiful.

#makeup

0 notes